Aku tidak hanya berada dalam tubuhku seperti seorang nakhoda kapal….aku secara
sangat intim tergabung, seperti tercampur satu sama lain, jiwa dan badanku
tergabung dalam kesatuan tertentu. Jika ini tidak terjadi, semestinya aku tidak
merasa sakit ketika tubuhku terluka.’ (A Discourse on Method, tr. John Veitch, Dent
& Dutton 1937 p.135)
Jiwa yang terisolasi ini, tentu saja, didesain secara sempurna untuk bertahan
setelah kematian. Descartes sangat concern dengan hal ini. Namun, kehidupan setelah
mati bukanlah hal pertama yang perlu dipikirkan ketika kita membentuk konsepsi
tentang diri kita. Hal pertama yang perlu kita perhatikan adalah cara bagaimana
membuat masuk akal kehidupan yang kita jalani saat ini. Dengan membuat kehidupan
batin kita begitu renggang dan dapat dilepaskan, Descartes menempatkannya pada
posisi berbahaya dilihat sebagai tidak terlalu penting.
Manusia bukanlah kombinasi longgar dari bagian yang kurang cocok. Mereka
adalah keseluruhan, makhluk kompleks dengan banyak aspek yang mesti dipikirkan
dalam cara-cara yang berbeda. Jiwa badan lebih seperti bentuk dan ukuran ketimbang
seperti es dan api, atau minyak dan air. Pikiran sadar bukanlah, seperti yang
dikatakan Descartes, suatu jenis non fisis yang aneh di dalam dunia (a queer kind of
extra-stuff in the world), ia hanyalah salah satu hal yang kita lakukan.
Filsafat merupakan satu bentuk ilmu pengetahuan yang selalu mengiringi liuk
kehidupan manusia. Sebuah ilmu pengetahuan tertinggi yang dihasilkan oleh
manusia, yang dapat memuliakan manusia, atau bahkan memusnahkan peradaban
manusia itu sendiri. Selaku layaknya ilmu pengetahuan yang mengikuti zaman, tentu
filsafat juga dapat di bagi dalam beberapa periode, yakni klasik dan modern.
Materialisme, sebagai sebuah madzhab dalam filsafat, tentu juga terkena “bias”
periodesasi yang kemudian secara umum dapat dibagi menjadi dua periode, yakni
Materialisme klasik dan Materialisme modern.
a. Materialisme Klasik
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mendefenisikan istilah klasik
adalah dengan mengetahui dan memahami istilah modern. Berkaitan dengan hal
tersebut, modern merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahas latin yang berarti
sekarang, ataupun saat ini. Berangkat dari akar kata ini, maka modernitas bukan
hanya merujuk pada periode, melainkan juga menunjukkan adanya suatu kesadaran
yang terkait dengan kebaharuan. Tentunya istilah pembaharuan, revolusi ataupun
perubahan, dapat dijadikan sebagai kata kunci atas kesadaran modern. Menurut F.
Budi Hardiman , modernitas - sebagai suatu bentuk kesadaran - dapat dicirikan atas
tiga hal, yakni: Subjektivitas, kritik, dan kemajuan. Berangkat dari defenisi maupun
ciri dari modern tersebut maka dapat ditarik sebuah garis yang menunjukkan adanya
sebuah fase ataupun periode dimana manusia belum menyadari bahwa manusia dapat
melakukan perubahan-perubahan secara kualitatif, agaknya fase inilah yang
kemudian dapat dikatakan dengan periode klasik.
Berkaitan dengan hal tersebut, sejarah telah mencatat bahwa Materialisme juga
telah hadir dan mewarnai corak pemikiran manusia di masa sebelum manusia
menyadari adanya kemampuannya untuk melakukan perubahan secara kualitatif. Hal
ini dapat dilihat ketika Materialisme diperkenalkan oleh filsuf Yunani yakni
Leukippos dan Demokritos (460 SM-370 SM.) pada abad ke-5 sebelum masehi
seiringan dengan teori atom yang mereka lahirkan, pada masa itu teori mereka
seakan-akan dapat menyediakan penjelasan tentang fenomena apa saja yang ada di
dunia ini . Namun sebenarnya, aliran pemikiran dengan corak Materialisme telah
muncul pada abad ke-5 atau ke-4 sebelum masehi di India, tepatnya pada sebuah
aliran yang akrab di sapa dengan sebutan Charvaka. Nama Carvaka itu sendiri
sebenarnya diambil dari nama pendiri aliran pemikiran ini, Carwaka, seorang pemikir
Hindu skeptikal. Menurutya, tiap unsur materi memiliki sifat dan watak tertentu,
kombinasi dari materi dengan unsurnyalah yang membentuk alam semesta .
Materialisme di periode ini ternyata telah mampu untuk membahas kajian seputar
teori nilai. Hal ini di tandai dengan hadirnya Epikuros seorang filsuf Yunani yang
berusaha untuk melanjutkan tradisi ini. Alih-alih berfokus pada kajian ontology
ataupun metafisika, Epikuros malah berfokus dengan teori nilai. Ini terlihat jelas dari
asumsinya yang menyatakan bahwa kesenangan dan penderitaan merupakan
dominator dalam nilai-nilai manusia.
b. Materialisme Modern
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa terdapat pasang surut dan berkibarnya bendera
Materialisme. Ini terlihat jelas ketika gaung Materialisme tidak lagi terdengar dan
bahkan sempat hilang dari peredaran jagad raya sejak abad ke-11. Namun, pada abad
ke-17, Tomas Hobbes (1588-1679) berusaha menghidupkan kembali Materialisme
dengan memperluasnya bahasa dan epistimologi. Pandangannya yang terkenal adalah
konsep manusia dari sudut pandang empirisme-Materialisme. Hobes(1588-1679)
menyatakan bahwa persepsi dan operasi mental bekerja dengan fantasi indra. Dan
sama sekali bergantung kepada materi.
Segaris dengan hal tersebut, hadir pula Holbach (1715-1771) yang menyadari
adanya keharusan materi bergerak menurut keharusan mekanik. Tampakya pada abad
ini pemikir Materialisme menyadari bahwa realistik bekerja berdasarkan kerja
masing-masing dan bekerja dalam kaitan satu dan lainnya, semua saling
menggerakkan. Uniknya, walaupun pemikiran Materialisme seperti ini menafikkan
adanya campur tangan Tuhan dalam kehidupan serta pergerakan alam semesta,
namun madzhab pemikiran ini menolak adanya kebebasan (will) manusia, karena
seluruh alam semesta (termasuk manusia) bergerak dan bekerja sesuai dengan
fungsinya masing- masing.
Salah satu dari banyak hal yang menjadi pembeda antara Materialisme modern
dengan Materialisme yang lebih tua adalah terletak pada kemajuan ilmu, segala
macam bentuk ataupun hasil penyelidikan fisika ataupun kimia (yang tentunya
berdasarkan materi), pada hakikatnya hanyalah sebuah upaya untuk mencari
pembatas mengenai apa yang dikatakan tentang materi.
Spiritualism
Spiritualitas berasal dari spirit yang berasal dari bahasa latin yaitu spiritus
yang berarti nafas. Dalam istilah modern mengacu kepada energi batin yang non
jasmani meliputi emosi dan karakter. Dalam kamus psikologi, kata spirit berarti suatu
zat atau makhluk immaterial, biasanya bersifat ketuhanan menurut aslinya, yang
diberi sifat dari banyak ciri karakteristik manusia, kekuatan, tenaga, semangat, moral
atau motivasi (J.P Caplin, 1998:480). Istilah “spiritualitas” berasal dari kata
spirituality, yang merupakan kata benda, turunan dari kata sifa spiritual. Dalam
bentuk kata sifat spiritual mengandung arti “yang berhubungan dengan spirit”, “yang
berhubungan dengan fenomena dan makhluk supernatural” (Hendrawan, 2009: 18).
Spiritual mencakup seluruh aspek kehidupan manusia yang merupakan sarana
pencerahan diri dalam menjalani kehidupan untuk mencapai tujuan dan makna hidup
(Hasan, 2008: 288)
Menurut Adler, manusia adalah makhluk yang sadar, yang berarti bahwa ia
sadar terhadap semua alasan tingkah lakunya, dan menyadari sepenuhnya arti dari
segala perbuatan untuk kemudian dapat mengaktualisasikan dirinya. Spiritualitas
diarahkan kepada pengalaman subjektif dari apa yang relevan untuk manusia.
Spiritualitas tidak hanya memperhatikan apakah hidup itu berharga, namun juga
fokus pada mengapa hidup itu berharga. Spiritualitas kehidupan adalah inti
keberadaan dari kehidupan. Spiritualitas adalah mengenai kesadaran tentang dirinya
dan kesadaran individu tentang asal, tujuan, dan nasib.
Dari beberapa pendapat beberapa ahli diatas dapat digaris besari bahwa
definisi tentang spiritualitas dengan pendekatan yang berbeda-beda, berpendapat
bahwa spiritualitas adalah aspek kemanusiaan yang mengacu pada cara individu
mencari makna tersurat, tujuan dan cara mereka mengalami keterhubungan mereka
untuk saat ini, untuk diri, orang lain, dengan alam, dan dengan kebermaknaan atau
suci. Jadi, dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa spiritualitas adalah
dimensi supranatural yang dapat mempengaruhi dan membentuk kualitas jiwa,
mensinergikan hubungan dengan Tuhan dan alam semesta demi keseimbangan dan
tujuan hidup yang baik.
Hartono, Dick .(1986). Kamus Populer Filsafat. Jakarta