Anda di halaman 1dari 14

Mind body problem

2.1 Konsep mind body problem


Berdasarkan penjelasan mengenai jiwa Plato mempunyai 3 elemen dalam
jiwanya : (a)  Akal, untuk berpikir dan berbahasa, (b)  Raga / Badan, terdapat nafsu
badaniah dan hasrat, (c) Rohani, terdapat emosi, ambisi, kemaraan, dan lain
sebagainya. Menurut Aristoteles, jiwa ibarat bentuk dan tubuh adalah materi ke
daduanya yaitu satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Rene Descrstes,
mengaakan bahwa tubuh yaitu benda lainnya yang memiliki partikel-partikel dan bisa
bergerak, sedangkan jiwa yaitu kesadaran dan berpikir. Begitu juga William & Klaus
(1988) mengungkapkan bahwa jiwa sudah terikat oleh tubuh yang mempunyai
hubungan yang sangat erat.
Apa maksudnya mengatakan bahwa kita memiliki masalah tubuh – jiwa?
Perlukah kita memikirkan relasi antara “luar” dan “dalam” kehidupan kita sebagai
suatu “interaksi” antara dua hal yang terpisah seperti ini, ketimbang antara aspek-
aspek dari keseluruhan manusia? Akal (mind) dan materi (matter), yang
dikonsepsikan terpisah seperti ini, adalah abstraksi yang ekstrim. Kedua term ini
didesain secara matang oleh pemikir seperti Rene Descartes hingga masing-masing
menjadi ekslusif dan tidak kompatibel, itulah mengapa keduanya sangat sulit
dipersatukan hingga saat ini.
Pada masa Descartes, pemisahan ini dimaksudkan sebagai karantina untuk
memisahkan sesuatu yang baru, Sains fisika yang berkembang pesat dengan bentuk
pemikiran lain yang bersebrangan dengannya.  Namun demikian, ini hanyalah
sebagian dari kecenderungan umum saat itu, upaya untuk memisahkan pemikiran dan
perasaaan dan mengukuhkan pemikiran (Akal) sebagai patner dominan, perasaan
menjadi sekedar bagian dari tubuh, tidak lebih. Itulah mengapa, selama abad
pencerahan, kata soul (jiwa)  secara bertahap digantikan dengan kata mind (akal), dan
kata mind  dicerabut dari penggunaan “biasa” menjadi yang murni bermakna kognitif.
Sebagai bagian dari perang antara pikiran  (reason) dan perasaan (feeling),
gagasan tentang akal dan jiwa telah disamaratakan agar nampak parallel dengan dan
untuk memberikan kecocokkan jawaban atas pertanyaan metafisik yang saat ini
dianggap tidak menarik. Ini masih merupakan pertanyaan pra-Socratic; “Apakah
bahan dasar dari alam semesta?” dan jawaban seorang dualis adalah tidak hanya satu
bahan tapi sebenarnya dua – akal (Mind)  dan materi (matter). Pendekatakan yang
mengakar luas ini adalah tipikal filsafat abad 17.  Mungkin dikarenakan kekacauan
politik yang luar biasa pada masa itu. Para pemikirnya secara khusus terarahkan
untuk mewujudkan tatanan (order) dengan cara yang simpel, jawaban final terhadap
pertanyaan-pertanyaan filosofis melulu dengan logika murni, ketimbang
memperhatikan fakta-fakta yang kompleks. Dalam filsafat, sebagaimana dalam
politik, mereka menyukai tatanan yang absolut. Struktur besar yang telah mereka
bangun termasuk yang satu ini menjadi elemen esensial bagi tradisi kita. Tapi
mungkin saja hal itu lebih banyak bermanfaat bagi mereka. Kita tidak harus memulai
penyelidikan dari pijakan yang sudah terlampau jauh. Ketika kita tahu pendekatan
rasionalis tidak membantu, kita dapat meninggalkannya dan mencoba pendekatan
lain.
Saat ini, kami filosof berbahasa Inggris secara resmi telah melakukannya
dalam permasalahan ini. Setengah abad yang lalu Gilbert Ryle dalam karyanya The
Concept of Mind telah mengajak kita untuk berhenti berbicara dalam term “Hantu
dalam mesin” (ghost in a machine). Namun demikian, dalam tradisi kita, cara berpikir
yang demikian ternyata jauh lebih mengakar daripada yang kita duga.  Kebiasaan
membuat gagasan itu begitu jelas dan nyata. Apa seharusnya langkah yang harus
ditempuh? Pada akhirnya kita dapat menjawab dengan gemilang pertanyaan kuno
“Manakah yang masih dipandang penting?” dengan satu solusi saja. Kita dapat
mengukuhkan satu aturan bahwa segala sesuatu adalah materi. Kita tetap pertahankan
mesinnya (materi) dan kita buang hantunya (Soul).
Para psikolog behaviorisme telah mencoba langkah ini.  Selama abad 20,
mereka telah berhasil membungkam semua pembicaraan tentang “inner life”. Orang
yang ingin nampak seperti saintis tidak pernah menyebutkan kesadaran atau
subyektivitas sama sekali. Namun, upaya ini tidaklah berhasil. Sebuah dunia mesin
tanpa pengguna atau desainer – sebuah dunia obyek tanpa subyek – tidak dapat dibuat
meyakinkan.  Akhirnya menjadi jelas bahwa konsep mesin tidaklah memadai karena
pemahamannya menjadi begini; mesin mestilah telah dirancang sebelumnya agar
cocok hantunya. Oleh karena itu, sekitar 30 tahun yang lalu, para saintis menemukan
kembali kesadaran dan memandangnya sebagai masalah yang krusial. Namun
konsep-konsep yang telah ada tentang kesadaran tetap tidak menjadi suatu
pembicaraan.
Inilah kesulitan kita saat ini. Collin McGinn telah memaparkannya dengan
sangat mengagumkan dalam bukunya The Mysterious Flame; Conscious Minds in A
Material Worl (Basic Books, 1999): “Masalahnya adalah bagaimana kumpulan sel
dapat menghasilkan adanya kesadaran. Masalahnya terdapat pada bahan material.
Jika demikian adanya, jenis baru realitas telah “disuntikkan” ke dalam
semesta….Bagaimana bisa materi belaka yang menghasilkan kesadaran?..Jika otak
bersifat spasial, sebongkah materi dalam ruang, bagaimana di bumi ini muncul
kesadaran yang berasal dari otak? Ini nampak seperti sebuah keajaiban, sebuah
keterputusan dalam tatanan dunia natural.” (hal. 13 dan 15)
Satu area dari penyelidikan manusia mengandung anomali, sebuah bintik
hitam (black spot) di mana cahaya pikiran tidak dapat menembusnya; subyek yang
kita sebut ‘filsafat’ apa yang kita sebut filsafat adalah sebuah masalah sains di mana
secara mendasar kita tidak memiliki kelengkapan untuk memecahkannya… Masalah
mind – body sama halnya dengan masalah fisika dan sains lainnya; kita hanya
kekurangan instrumen konseptual untuk memecahkannya.”(hal. 212, Pengarang
menekankan)
Jelas sekali, ini kabar baik bahwa ada sebuah analisis yang dengan rendah
hati menerima bahwa ada keterbatasan dalam pemahaman kita. Namun, saya pikir
masalah besar pada bagian ini muncul dari sumber yang biasa – bahwa tradisi kita
mengarahkan untuk salah menempatkan masalah. Kita tidak harus kembali pada
solusi putus asa McGinn yang menyalahkan ketidakmampuan otak. Bahwa masalah
filosofis hanya merupakan masalah sains, nampak janggal. Masalahnya adalah
bagaimana cara kita berfikir. Dan di sini, sebagaimana sering terjadi, jalan terbaik
yang berkaitan dengan hal ini adalah memulai kembali dari jalan lain, berpikir beda.
Descartes sendiri nampaknya kesulitan mengenai hubungan jiwa – badan. Dia
menulis:

Aku tidak hanya berada dalam tubuhku seperti seorang nakhoda kapal….aku secara
sangat intim tergabung, seperti tercampur satu sama lain, jiwa dan badanku
tergabung dalam kesatuan tertentu. Jika ini tidak terjadi, semestinya aku tidak
merasa sakit ketika tubuhku terluka.’ (A Discourse on Method, tr. John Veitch, Dent
& Dutton 1937 p.135)

Namun, dia tidak menghentikan argumennya bahwa keterpisahan tersebut


bersifat absolut, membuat jiwa begitu simpel, murni, cahaya kesadaran yang tidak
berubah. Dia berbicara seolah tubuh sebagai sesuatu yang di luarnya, sesuatu yang
asing dimana jiwa menemukannya ketika ia mulai melihat di sekitarnya. (Pilot
terbangun, kemudian bicara, menemukan dirinya secara misterius terkunci di dalam
kapalnya). Kodrat dua substansi ini, dia mengatakan, tidak memiliki hubungan yang
dapat dipahami (intelligible).

Jiwa yang  terisolasi ini, tentu saja, didesain secara sempurna untuk bertahan
setelah kematian. Descartes sangat concern dengan hal ini. Namun, kehidupan setelah
mati bukanlah hal pertama yang perlu dipikirkan ketika kita membentuk konsepsi
tentang diri kita. Hal pertama yang perlu kita perhatikan adalah cara bagaimana
membuat masuk akal kehidupan yang kita jalani saat ini. Dengan membuat kehidupan
batin kita begitu renggang dan dapat dilepaskan, Descartes menempatkannya pada
posisi berbahaya dilihat sebagai tidak terlalu penting.

Dengan berkembangnya sains fisika, materi dilihat sebagai sesuatu yang


masuk akal (intelligible) pada dirinya sendiri. Jiwa dan badan memang mulai dilihat
lebih seperti sang nakhoda dan kapalnya, dan orang mulai mempertanyakan apakah
pilotnya benar-benar diperlukan. Persepsi dan aksi secara fisis dapat bekerja dengan
baik tanpanya. Dengan demikian para psikolog behavioris membuang sang nakhoda
ke laut, meninggalkan dunia material yang bekerja otomatis tubuh yang tak
berpenghuni. Dualisme teistik  Descartes berbalik menjadi monisme materialistik.Ini
adalah latar belakang yang aneh di mana setiap orang tiba-tiba ingin mempertanyakan
masalah kesadaran. Hal itu menjelaskan mengapa penyelidikan-penyelidikan ini
seringkali dilihat sebagai masalah bagaimana memasukan sebuah term “extra”, yaitu
kesadaran, ke dalam sains fisik. Dalam mengupayakan hal itu, mereka mencoba
membangkitkan lagi jiwa abstrak-nya Descartes cahaya kesadaran murni dan
mencocok-cocokkannya dalam studi dunia fisik. Sejak upaya memisahkan jiwa dan
badan pertama kali tidak bisa dihandel dengan metode-metode sains fisik, upaya ini
pun gagal.

Manusia bukanlah kombinasi longgar dari bagian yang kurang cocok. Mereka
adalah keseluruhan, makhluk kompleks dengan banyak aspek  yang mesti dipikirkan
dalam cara-cara yang berbeda. Jiwa badan lebih seperti bentuk dan ukuran ketimbang
seperti es dan api, atau minyak dan air. Pikiran sadar bukanlah, seperti yang
dikatakan Descartes, suatu jenis non fisis yang aneh di dalam dunia (a queer kind of
extra-stuff in the world), ia hanyalah salah satu hal yang kita lakukan.

2.2 Materialism vs spiritualism


2.2.1 Materialism

Materialisme dipandang sebagai suatu teori memang menyangkal adanya segala


sesuatu yang ruhial. Dalam artian lain, faham ini dapat di terjemahkan sebagai sebuah
faham yang menekankan keunggulan faktor kebendaan (material) atas faktor
immaterial (ruhanial). Sesuai dengan perkembangan dan perjalanannya sebagai
sebuah mazhab filsafat, tampaknya faham ini meluaskan defenisi dari kebendaan itu
sendiri, sehingga fikiran ataupun buah (hasil) dari fikiran merupakan produk dari dan
bergantung sepenuhnya kepada materi. Akibatnya, faham ini mengantarkan kepada
sebuah asumsi yang menyatakan ketidak adaannya sang Maha Mengatur, dan tidak
ada lagi ketergantungan materi (benda) terhadap non materi (ide, fikiran, dan hal
immateril lainnya). Hal-hal ruhaniah tidaklah lagi sesuatu yang penting dan bahkan
dapat dikatakan sebagai hal yang tidak ada. Maka adalah suatu kewajaran jika
didalam paradigma umum materisalisme hanya hadir sebagai sebuah faham yang anti
Agama dan anti Tuhan.
Namun demikian, pada dasarnya Materialisme merupakan sebuah faham yang
menekankan keunggulan faktor-faktor material atas yang spiritual dalam metafisika,
teori nilai, fisiologi, epistimologi, ataupun penjelasan historis. Terdapat cukup banyak
defenisi yang berusaha untuk menjabarkan apa dan bagaimana Materialisme itu
sendiri. Suatu kutub ekstrem, memahami Materialisme sebagai sebuah keyakinan
bahwa tidak ada sesuatu melainkan materi yang sedang bergerak, pikiran, ruh,
kesadaran ataupun jiwa tidak lebih dari Materialisme yang sedang bergerak.
Sedangkan kutub ekstrem lainnya, meyakini adanya fikiran walaupun hanya sebuah
manifestasi dari perubahan ataupun pergerakan material dan sama sekali tergantung
oleh materi .

Dalam perkembangannya, Materialisme cukup tegas dalam menekankan bahwa


tidak adanya hantu, roh, setan, malaikat, maupun pelaku-pelaku immateri. Setiap
perubahan (peristiwa, aktifitas) mempunyai sebab material, oleh karena itu penjelasan
material merupakan penjelasan yang paling tepat untuk menjelaskan segala fenomena
yang ada. Dikarenakan realitas satu-satunya adalah materi, tentu segala sesuatu dalam
alam semesta dapat dijelaskan dalam kerangka material (fisik), tidak ada Allah
ataupun dunia suprantural, karena segala sesuatu merupakan manifestasi dari materi.

Filsafat merupakan satu bentuk ilmu pengetahuan yang selalu mengiringi liuk
kehidupan manusia. Sebuah ilmu pengetahuan tertinggi yang dihasilkan oleh
manusia, yang dapat memuliakan manusia, atau bahkan memusnahkan peradaban
manusia itu sendiri. Selaku layaknya ilmu pengetahuan yang mengikuti zaman, tentu
filsafat juga dapat di bagi dalam beberapa periode, yakni klasik dan modern.
Materialisme, sebagai sebuah madzhab dalam filsafat, tentu juga terkena “bias”
periodesasi yang kemudian secara umum dapat dibagi menjadi dua periode, yakni
Materialisme klasik dan Materialisme modern.

a. Materialisme Klasik
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mendefenisikan istilah klasik
adalah dengan mengetahui dan memahami istilah modern. Berkaitan dengan hal
tersebut, modern merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahas latin yang berarti
sekarang, ataupun saat ini. Berangkat dari akar kata ini, maka modernitas bukan
hanya merujuk pada periode, melainkan juga menunjukkan adanya suatu kesadaran
yang terkait dengan kebaharuan. Tentunya istilah pembaharuan, revolusi ataupun
perubahan, dapat dijadikan sebagai kata kunci atas kesadaran modern. Menurut F.
Budi Hardiman , modernitas - sebagai suatu bentuk kesadaran - dapat dicirikan atas
tiga hal, yakni: Subjektivitas, kritik, dan kemajuan. Berangkat dari defenisi maupun
ciri dari modern tersebut maka dapat ditarik sebuah garis yang menunjukkan adanya
sebuah fase ataupun periode dimana manusia belum menyadari bahwa manusia dapat
melakukan perubahan-perubahan secara kualitatif, agaknya fase inilah yang
kemudian dapat dikatakan dengan periode klasik.

Berkaitan dengan hal tersebut, sejarah telah mencatat bahwa Materialisme juga
telah hadir dan mewarnai corak pemikiran manusia di masa sebelum manusia
menyadari adanya kemampuannya untuk melakukan perubahan secara kualitatif. Hal
ini dapat dilihat ketika Materialisme diperkenalkan oleh filsuf Yunani yakni
Leukippos dan Demokritos (460 SM-370 SM.) pada abad ke-5 sebelum masehi
seiringan dengan teori atom yang mereka lahirkan, pada masa itu teori mereka
seakan-akan dapat menyediakan penjelasan tentang fenomena apa saja yang ada di
dunia ini . Namun sebenarnya, aliran pemikiran dengan corak Materialisme telah
muncul pada abad ke-5 atau ke-4 sebelum masehi di India, tepatnya pada sebuah
aliran yang akrab di sapa dengan sebutan Charvaka. Nama Carvaka itu sendiri
sebenarnya diambil dari nama pendiri aliran pemikiran ini, Carwaka, seorang pemikir
Hindu skeptikal. Menurutya, tiap unsur materi memiliki sifat dan watak tertentu,
kombinasi dari materi dengan unsurnyalah yang membentuk alam semesta .

Materialisme di periode ini ternyata telah mampu untuk membahas kajian seputar
teori nilai. Hal ini di tandai dengan hadirnya Epikuros seorang filsuf Yunani yang
berusaha untuk melanjutkan tradisi ini. Alih-alih berfokus pada kajian ontology
ataupun metafisika, Epikuros malah berfokus dengan teori nilai. Ini terlihat jelas dari
asumsinya yang menyatakan bahwa kesenangan dan penderitaan merupakan
dominator dalam nilai-nilai manusia.

b. Materialisme Modern

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa terdapat pasang surut dan berkibarnya bendera
Materialisme. Ini terlihat jelas ketika gaung Materialisme tidak lagi terdengar dan
bahkan sempat hilang dari peredaran jagad raya sejak abad ke-11. Namun, pada abad
ke-17, Tomas Hobbes (1588-1679) berusaha menghidupkan kembali Materialisme
dengan memperluasnya bahasa dan epistimologi. Pandangannya yang terkenal adalah
konsep manusia dari sudut pandang empirisme-Materialisme. Hobes(1588-1679)
menyatakan bahwa persepsi dan operasi mental bekerja dengan fantasi indra. Dan
sama sekali bergantung kepada materi.

Pandangan Hobes (1588-1679) ini kemudian mengantarkan paham Materialisme


ke-fase selanjutnya, yakni Materialisme abad ke-18. Materialisme pada abad ini
memiliki corak yang khas, setidaknya di abad ini Materialisme telah menyadari
bahwa materi adalah sesuatu yang terikat oleh ruang dan waktu sehinga materi
tunduk kepada hukum-hukum alam, dalam dataran ini materi dapat dipahami dengan
cara mekanis. Corak Materialisme yang seperti ini dapat di jumpai didalam konsep
yang dimiliki oleh beberapa pemikir semisal Julian de La-Mattrie (1709- 1751) yang
menyatakan bahwa manusia dapat di jelaskan dalam prinsip-prinsip mekanistik .

Segaris dengan hal tersebut, hadir pula Holbach (1715-1771) yang menyadari
adanya keharusan materi bergerak menurut keharusan mekanik. Tampakya pada abad
ini pemikir Materialisme menyadari bahwa realistik bekerja berdasarkan kerja
masing-masing dan bekerja dalam kaitan satu dan lainnya, semua saling
menggerakkan. Uniknya, walaupun pemikiran Materialisme seperti ini menafikkan
adanya campur tangan Tuhan dalam kehidupan serta pergerakan alam semesta,
namun madzhab pemikiran ini menolak adanya kebebasan (will) manusia, karena
seluruh alam semesta (termasuk manusia) bergerak dan bekerja sesuai dengan
fungsinya masing- masing.

Materialisme pada awal kehadirannya hingga abad ke-18 hanya memandang


materi berdasarkan kebendaan, meluasnya defenisi ke-bendaan itu sendiri juga
melahirkan pemikir- pemikir besar dengan teori-teori mereka yang menyangkut
manusia, identitas, defenisi, maupun ekesitensinya. Feurbach (1804-1872) salah
seorang murid Hegel (1770-1831) mengasumsikan bahwa yang nyata ialah benda.
Berbeda dengan Hegel, bagi Feurbach bukan Roh yang menjadi titik pangkal, tetapi
materi, satu-satunya yang ada adalah alam. Karena manusia merupakan bagian dari
alam, maka sudah seharusnya manusia menerima hidup ini dengan apa adanya, tanpa
adanya permohonan (doa) yang utopis karena Agama hanyalah sebuah usaha untuk
merubah arah yang tidak mungkin akan terjadi. Feurbach juga mengasumsikan
adanya keterasingan manusia terhadap dirinya sendiri, keterasingan ini diawali
dengan suatu keadaan dimana manusia merasa lemah dalam menghadapi alam
semesta dalam mempertahankan eksistensinya. Keadaan dimana manusia merasa
menderita inilah (dalam padangan Feurbach) yang mendorong manusia untuk
menciptakan sebuah entitas yang tidak pernah merasa menderita, lemah, dan selalu
berkuasa. Entitas iniah yang kemudian dijadikan sandaran dalam segala penderitaan
hidup manusia yang kemudian dilabelkan oleh manusia dengan lebel Maha, ialah
Tuhan, sebuah dominator utama bagi keterasingan manusia .

Teori Feurbach mengantarkan Karl Marx (1818-1883) untuk merubah anggapan


tentang kebendaan yang selama ini hanya berkisar tentang segala susuatu yang
tampak dan kemudian menggeser anggapan tersebut . Penggeseran anggapan ini
seiring dengan adanya pemberian defenisi baru tentang materi. Menurutnya, materi
tidak hanya sebuah kebendaan di luar manusia melainkan kesadaran manusia beserta
pergerakan masyarakat dapat dikategorikan kedalam materi. Pendefenisian ini terjadi
dikarenakan Marx menyusun filsafat sejarah dan berkesimpulan bahwa segala
gerakan sosial bersumber dari ekonomi Pendefenisian ini tentu dilakukan seiring
dengan lahirnya teori Materialisme historis yang dilahirkannya. Pun demikian, faham
ini kemudian berkembang dan memberikan pengaruh cukup besar, ini dapat di
buktikan dengan lahirnya sebuah teori yang disebut-sebut sebagai pembenaran atas
teori materalisme historis, yakni Materialisme-dialektis sebuah sumbangan terbesar
bagi Materialisme pada abad ke-19 yang di cetuskan oleh Engels (1820-1895).

Salah satu dari banyak hal yang menjadi pembeda antara Materialisme modern
dengan Materialisme yang lebih tua adalah terletak pada kemajuan ilmu, segala
macam bentuk ataupun hasil penyelidikan fisika ataupun kimia (yang tentunya
berdasarkan materi), pada hakikatnya hanyalah sebuah upaya untuk mencari
pembatas mengenai apa yang dikatakan tentang materi.

 Spiritualism

Spiritualitas berasal dari spirit yang berasal dari bahasa latin yaitu spiritus
yang berarti nafas. Dalam istilah modern mengacu kepada energi batin yang non
jasmani meliputi emosi dan karakter. Dalam kamus psikologi, kata spirit berarti suatu
zat atau makhluk immaterial, biasanya bersifat ketuhanan menurut aslinya, yang
diberi sifat dari banyak ciri karakteristik manusia, kekuatan, tenaga, semangat, moral
atau motivasi (J.P Caplin, 1998:480). Istilah “spiritualitas” berasal dari kata
spirituality, yang merupakan kata benda, turunan dari kata sifa spiritual. Dalam
bentuk kata sifat spiritual mengandung arti “yang berhubungan dengan spirit”, “yang
berhubungan dengan fenomena dan makhluk supernatural” (Hendrawan, 2009: 18).
Spiritual mencakup seluruh aspek kehidupan manusia yang merupakan sarana
pencerahan diri dalam menjalani kehidupan untuk mencapai tujuan dan makna hidup
(Hasan, 2008: 288)

Menjelaskan di Pargament (2013), spiritualitas diartikan sebagai kesadaran


atau keyakinan pada kekuatan yang lebih tinggi atau energi yang menginspirasi
seseorang untuk mencari makna dan tujuan di luar dirinya kehidupan. Didefinisikan
sebagai perubahan sebesar apapun dalam spiritual atau orientasi atau pengalaman
agama, ke segala arah (misalnya, pertumbuhan spiritual dan perjuangan spiritual;
Balk, 1999).

Spiritualitas dipahami secara luas konstruksi yang mencakup pengalaman


pribadi yang beragam, di dalam dan di luar konteks agama yang berbeda. Sebagai
ilustrasi, spiritualitas dapat mencakup semua orang pengalaman yang sakral, baik di
gereja atau sinagoga, alam, atau seseorang dalam kamar tidur sendiri. Demikian pula,
dapat memasukkan perubahan yang secara eksplisit bersifat religius alam (misalnya,
perubahan keyakinan atau afiliasi agama ), serta sering terjadi di luar konteks agama
(misalnya, perubahan rasa keterhubungan ke alam

Spiritualitas menurut Nelson kerap kali dianggap sebagian besar masyarakat


sebagai istilah yang bersinggungan dengan agama dan pengalaman transendental.
Selama beberapa dekade, spiritualitas juga berada dalam konteks yang dianggap
sakral dan transenden. Nelson menggambarkan bahwa spiritual ini menjadi sesuatu
yang tidak dapat lepas dari agama dan Allah SWT, seperti halnya manusia melakukan
peribadatan maupun melakukan kegiatan yang berbau keagamaan (Arina dan
Yohaniz, 2014:3).

Menurut Adler, manusia adalah makhluk yang sadar, yang berarti bahwa ia
sadar terhadap semua alasan tingkah lakunya, dan menyadari sepenuhnya arti dari
segala perbuatan untuk kemudian dapat mengaktualisasikan dirinya. Spiritualitas
diarahkan kepada pengalaman subjektif dari apa yang relevan untuk manusia.
Spiritualitas tidak hanya memperhatikan apakah hidup itu berharga, namun juga
fokus pada mengapa hidup itu berharga. Spiritualitas kehidupan adalah inti
keberadaan dari kehidupan. Spiritualitas adalah mengenai kesadaran tentang dirinya
dan kesadaran individu tentang asal, tujuan, dan nasib.

Menurut Rosito, spiritualitas meliputi upaya pencarian, menemukan, dan


memelihara sesuatu yang bermakna dalam kehidupannya. Pemahaman akan makna
ini akan mendorong emosi positif baik dalam proses mencarinya, menemukannya,
dan mempertahankannya. Upaya yang kuat untuk mencarinya akan menghadirkan
dorongan (courage) yang meliputu kemauan untuk mencapai tujuan walaupun
menghadapi rintangan, dari luar maupun dari dalam. Pada dorongan itu mencakup
kekuatan karakter keberanian (bravery), kegigihan (persistence), semangat (zest).
Apabila sesuatu yang bermakna dalam kehidupannya tersebut ditemukan, maka
karakter itu akan semakin kuat didalam diri seseorang, terutama dalam proses
menjaga dan mempertahankannya. Semakin seseorang memiliki makna akan
hidupnya, semakin bahagia dan semakin efektif dalam menjalani kehidupannya
(Rosito, Jurnal, 2010:37).

Spiritualitas merupakan sebuah konsep yang luas dengan berbagai dimensi


dan perspektif yang ditandai adanya perasaan keterikatan (koneksitas) kepada sesuatu
yang lebih besar dari diri kita, yang disertai dengan usaha pencarian makna dalam
hidup atau dapat dijelaskan sebagai pengalaman yang bersifat universal dan
menyentuh. Beberapa individu menggambarkan spiritualitas dalam pengalaman-
pengalaman hidupnya seperti adanya perasaan terhubung/transendental yang suci dan
menentramkan.

Spiritualitas yang berhubungan dengan Tuhan dikuatkan oleh pendapat


Mickle yang dikutip dari Achir Yani bahwa spiritualitas sebagai suatu yang
multidimensi, yaitu dimensi ekstensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial
berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus
pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Penguasa (Young dan Koopsen, E-
book, 2011:12). Berdasarkan konsep spiritual yang dikenalkan oleh Piedmont secara
garis besar terdapat tiga indikator yang bisa diterapkan dalam mengukur
spsiritualitas.. Tiga hal tersebut adalah pencapaian dalam ibadah yang menurut
Piedmont adalah suatu perasaan positif seperti kebahagiaan atau ketenangan, hal yang
kedua adalah universalitas yaitu sebuah kesadaran akan kesesuaian hubungan antara
manusia, makhluk lain, alam dan pencipta. Hal yang ketiga adalah ketertarikan antara
hubungan manusia dengan sesamanya, hubungan manusa dengan alam, dan hubungan
manusia dengan Tuhan. Menurut Piedmont spiritualitas merupakan dimensi yang
berbeda dari perbedaan individu. Sebagai dimensi yang berbeda, spiritualitas
membuka pintu untuk memperluas pemahaman kita tentang motivasi manusia dan
tujuan kita sebagai makhluk, mengejar dan berusaha untuk memuaskan diri
(Piedmont, 2001:9-10).

Dari beberapa pendapat beberapa ahli diatas dapat digaris besari bahwa
definisi tentang spiritualitas dengan pendekatan yang berbeda-beda, berpendapat
bahwa spiritualitas adalah aspek kemanusiaan yang mengacu pada cara individu
mencari makna tersurat, tujuan dan cara mereka mengalami keterhubungan mereka
untuk saat ini, untuk diri, orang lain, dengan alam, dan dengan kebermaknaan atau
suci. Jadi, dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa spiritualitas adalah
dimensi supranatural yang dapat mempengaruhi dan membentuk kualitas jiwa,
mensinergikan hubungan dengan Tuhan dan alam semesta demi keseimbangan dan
tujuan hidup yang baik.
Hartono, Dick .(1986). Kamus Populer Filsafat. Jakarta

Hadiwijono, H .(2005). Sari Sejarah Filsafat 2. Yogyakarta

Wiramihardja, Sutardjo A.(2009). Pengantar Filsafat, Sistematika dan


Sejarah Filsafat Logika dan Filsafat Ilmu (Epistimologi) Metafisika dan
Filsafat Manusia Aksiologi. Bandung

Achmadi, A. (2010). Filsafat Umum. Jakarta

Kattsoff, Lois O. (1996). Element of Philosopfy Terj. Soejono


Margono. Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai