Kelas : EK-5D
Nim : 2105042028
Identitas Buku
Judul Buku : Madilog
Cetakan : 5, 2016
Warna : Merah
MADILOG ditulis di Rajawali dekat pabrik sepatu Kalibata, Cililitan,
Jakarta. Proses penulisan ini terjadi selama kurang lebih 8 bulan antara 15 Juli
1942 sampai dengan 30 Maret 1943. Tan Malaka menulis bukunya ini saat
pemerintahan Jepang menguasai semua musuh dengan pedang terhunus dan
bahkan sering kehilangan kesabaran terhadap pekerja bangsa Indonesia. Asumsi
dasar penulisan MADILOG adalah keyakinan Tan Malaka atas kekuatan proletar
di Indonesia untuk merebut dan membentuk Indonesia untuk merebut dan
membentuk Indonesia merdeka.
Namun kekuatan ini belum bias maksimal karena pemikiran mereka masih
dibelenggu berbagai macam tahayul. Mereka kekarangan pandangan dunia dan
filsafat dan masih diselimuti dengan ilmu buat akhirat dan tahayul yang campur
aduk. Mental yang demikian inilah yang mau dikoreksi dan dibersihkan oleh Tan
Malaka lewat MADILOG-nya.
Pemikiran Tan Malaka dalam Madilog pun tidak berbeda dengan paham
filsafat di atas dalam memandang materialisme. Bukti adalah fakta, dan fakta
adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama
adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme
menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada,
yang pokok dan yang pertama, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum
dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Setelah itu, dialektika dan logika. Dua hal tersebut berkaitan dengan sudut
pandang dan cara berpikir kita dalam memahami sesuatu. Logika adalah ketika
suatu permasalahan dapat dilihat dari sudut pandang "ya" atau "tidak". Sementara
dialektika adalah ilmu berpikir kontradiksi yang digunakan ketika suatu
permasalahan tidak dapat disederhanakan menjadi "ya" atau "tidak" karena harus
memperhatikan berbagai aspek lainnya.
BAB 1 LOGIKA MISTIKA
“Pemikiran yang sifatnya rohani. Menurut Tan Malaka, Logika Mistika ini
memberi jawaban tidak memuaskan karena sekedar mitos atau tahayul yang
berpandangan bahwa zat atau materi berasal dari yang rohani.”
Selain klaim mereka bahwa alam semesta ada dalam waktu yang tak
terbatas, materialis juga menyatakan bahwa tidak ada tujuan atau sasaran di dalam
alam semesta. Mereka mengklaim bahwa semua keseimbangan, harmoni dan
ketertiban yang kita lihat di sekitar kita hanyalah produk dari kebetulan.
"Pernyataan kebetulan" ini juga diajukan ketika muncul pertanyaan tentang
bagaimana kemunculan manusia. Teori evolusi, secara luas disebut sebagai
Darwinisme, adalah aplikasi lain materialisme pada dunia alam. Namun, sebagai
manusia modern dan berakal, tentunya kita akan lebih kritis dalam memandang
paham ini, karena materialisme tumbuh di tengah-tengah teknologi yang saat
perkembangannya sangat terbatas. Di zaman modern ini, tentunya kita akan lebih
mampu lagi untuk membedakan antara ilmu pengetahuan dan materialisme.
Semua yang ada di dunia ini TIDAK terjadi secara kebetulan, semua ada maksud
dan tujuannya. Oleh karena itu, kita berserta alam semesta tidak bisa terlepas dari
peran Tuhan. Alam semesta ini terlalu kaya dan kompleks bila dilihat dari ukuran
materialisme.
BAB 2 FILSAFAT
Diawal paragraf dari bab ini dibuka dengan sebuah contoh kasus :
Ia menjadi salah satu sosok penting di bab ini. Sebagai co-creator Engels
melanjutkan dan mendalamkan paham Dialektis Materialisme dan komunisme,
dengan bahasa yang lebih jelas, populer, jitu. Engels kemudian memisahkan para
ahli filsafat dari jaman Yunani sampai pada masa hidupnya Marx-Engels dalam
dua barisan. Pada satu barisan terdapat kaum Idealis yang bertentangan dengan
barisan kedua, kaum materialis.
Menurut pemisahan yang diadakan oleh Engels, maka pada barisan idealis,
kita dapati penganjur terkemuka sekali seperti Plato, Hume, Berkeley dan Hegel.
Pada barisan materialis, kita dapati Heraklit, Demokrit dan Epikur, di masa
Yunani, Diderot, Lamartine di masa revolusi Perancis dan Marx-Engels. Namun,
ternyata juga muncul gologan diantaranya banyak ahli filsafat campur aduk
scientists, setengah idealis setengah materialis.
Walapun buku ini sepertinya harus dibaca berulang kali, ada beberapa hal
yang dapat saya tangkap dalam putaran pertama (ditambah sedikit pencarian di
Google). Mohon koreksi jika saya salah. Salah satunya adalah materialisme.
Selama ini, materialisme dikaitkan dengan harta, tahta, foya-foya, dan sebagainya.
Namun, di buku ini saya dikenalkan dengan materialisme yang lain, yang
dipertentangkan dengan idealisme, yang tentu saja berbeda dengan idealisme yang
selama ini saya tahu. Kata kunci dari materialisme adalah materi (you don't say),
di mana materi atau bukti bendawi sebagai titik awal kita dalam berpikir.
Sementara idealisme tentu sebaliknya, ide yang menjadi patokan. Hal-hal gaib
(yang tidak ada bukti bendawi dan/atau termaterialisasi) tergolong ke dalam ide.
Secara umum beberapa referensi sudah ada yang tidak relevan lagi
(terutama di bagian logika dan turunan teorinya), namun cukuplah menggugah
kita bahwa di masa itu ada seorang pemikir yang sudah sangat matang di zaman
yang serba kurang itu (terutama dalam mencari pustaka).
Terlepas dari semua itu, buku ini memang memberikan gagasan yang
ingin mengganti gagasan masyarakat Indonesia yang sangat percaya pada logika
mistika/supernatural dan tidak mau berusaha/berubah. Well, buku ini mengandung
banyak hal yang tidak asing bagi pelajar SMA jurusan IPA atau mahasiswa
pendidikan teknik, contohnya bab tentang matematika, hukum fisika, logika, dan
premis-premisnya yang sangat bertentangan dengan logika mistika.
Bacaan bagus untuk para pemuda yang ingin mengenal lebih jauh
pemikiran Tan Malaka mengenai gagasan kebangsaan. Terlihat sekali bahwa Tan
Malaka adalah seseorang dengan pengetahuan yang sangat luas (mulai dari
matematika, fisika, politik, hingga filsafat) dan memiliki pemikiran yang
revolusioner.
Catatan akhir, buku ini sangat layak untuk kembali dikonsumsi dan
disebarluaskan kepada publik —bahkan dan terutama untuk hari ini. Betapa kita
menyaksikan, di tengah kemajuan ilmu dan teknologi, ternyata hukum berpikir
bangsa ini belum bergerak jauh. Kita melihat dan menggunakan kemajuan teknik
hanya sebatas kulit. Sementara mindset tetap berbauh takhayul. Entah dalam ranah
budaya, ekonomi, dan bahkan politik.