Anda di halaman 1dari 18

Maksiat Kepada Allah Itu Dapat Menghalangi Ilmu

MAKALAH
HADIST TEMATIK

Dosen Pemangku
Dr. M. JAFAR, M.Ag

Program Studi: Manajemen Pendidikan Islam

Oleh:

MUSLEM ILYAS (2022530062)

PROGRAM PASCASARJANA
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE
2022 M / 1443 H
Maksiat Kepada Allah Itu Dapat Menghalangi Ilmu

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Maksiat adalah lawan ketaatan, baik itu meninggalkan perintah maupun


melakukan suatu larangan. Sedangkan iman, sebagaimana telah diketahui ada 70
cabang lebih, yang tertinggi adalah ucapan “laa illaha illallah” dan yang terendah
adalah menyingkirkan gangguan di jalan. Jadi cabang-cabang ini tidak bernilai atau
berbobot sama, baik yang berupa mengerjakan (kebaikan) maupun meninggalkan
(larangan).1 Begitu pula dengan maksiat, maksiat mempunyai jenis-jenis tersendiri
yaitu ada yang mengkibatkan pelakunya keluar dari Islam dan maksiat yang tidak
mengeluarkan pelakunya daripada Islam.

Secara hakiki maksiat adalah perbuatan durhaka (asha) kepada Allah Swt.


Perbuatan maksiat bisa berupa menolak melaksanakan perintah Allah Swt atau
melanggar  larangan-Nya.2 Orang yang tidak mau melaksanakan kewajiban sholat,
kewajiban shaum Ramadhan, kewajiban membayar zakat, dan kewajiban pergi haji
bagi muslim yang punya kemampuan, adalah perbuatan maksiat.3 Demikian juga
perbuatan melanggar larangan Allah Swt seperti perbuatan melanggar larangan
mencuri, larangan merampok, larangan berzina, larangan minum-minuman keras dan
memakai narkoba, larangan membunuh, larangan memakan riba, larangan
mensekutukan Allah Swt dengan sesuatu yang lain.4

1
Izzan, Ahmad dan Saehudin, Tafsir Pendidikan, Studi Ayat-ayat Berdimensi Pendidikan, cet
I, (Tangerang: Pustaka Aufa Media (PAM Pres) 2012), h. 11
2
Masduki, Mahfudz, Tafsir Al-Mishbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur’an,
cet I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012), h. 53
3
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an, Juz
‘Amma, Volume 15, cet I, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 67
4
Izzan, Ahmad dan Saehudin. Tafsir Pendidikan, Studi Ayat-ayat Berdimensi Pendidikan, cet
I, (Tangerang: Pustaka Aufa Media (PAM Pres), 2012), h. 107
Ketika Imam asy-Syafi‘i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam
Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat syaikh ini
tercengang. Beliau pun berujar, "Sesungguhnya aku memandang Allah telah
memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya
tersebut dengan kegelapan maksiat".5 Imam asy-Syafi'i berkata dalam syairnya,
‫ص ْي‬ ِ ْ‫ فََأرْ َش َدنِ ْي َإلَى تَر‬، ‫ت ِإلَى َو ِكي ٍْع سُوْ َء ِح ْفظَ ْي‬
ِ ‫ك الم َعا‬ ُ ْ‫َش َكو‬

‫ َوفَضْ ُل هللاِ اَل يُْؤ تَاهُ عَا‬، ‫صقَا َل اَ ْعلَ ُم بَِأ َّن ال ِع ْل َم فَضْ ٌل‬

"Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku. Dia menasehatiku


agar aku tinggalkan kemaksiatan. Dia pun berkata: 'Ketahuilah, sesungguhnya ilmu
itu karunia. Dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang bermaksiat," Diwan
asy-syafii, al-Fawa-idul Bahiyyah dan Syarh Tsulatsiyyatil Musnad.6
Oleh karena itu, prinsip dari perbuatan dikatakan maksiat dalam ajaran Islam
adalah tindakan menyalahi syariat Allah, atau mengambil alternatif selain keputusan
Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt berfirman: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya
Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka
sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al Ahzab 36).7 Dengan demikian
makalah ini sangat penting untuk di kaji dan di bahas sehingga dapat diketahui bahwa
maksiat kepada Allah dapat menghalangi seseorang dalam menuntut ilmu dan
kemaksiatan dapat menjerumuskan kita ke dalam api neraka. Dengan harapan kiranya
makalah ini dapat menjadi motivasi dalam mempelajari dan mendalami islam
khususnya ketaatan diri kepada Allah Swt dasn menjauhkan diri dari perbuatan
maksiat kepada Allah Swt.

2. Rumusan Masalah

5
https://www.republika.co.id/berita/qfzpz8366/maksiat-menghalangi-masuknya-ilmu
6
Ibid, h. 01
7
Baca (Al-Quran surat Al Ahzab ayat 36),
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam makalah ini adalah:

a. Apa saja Hadist Shahih yang menjelaskan tentang maksiat kepada Allah
Itu Dapat Menghalangi Ilmu?
b. Bagaimana Asbabul Wurud Hadist tentang maksiat kepada Allah Itu
Dapat Menghalangi Ilmu?

3. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan pembahasan
dalam makalah ini adalah:
a. Mampu menyebutkan dan menmendiskripsikan hadits tentang maksiat
kepada Allah Itu Dapat Menghalangi Ilmu.
b. Mampu memahami tentang asbabul wurud hadist yang berkaitan dengan
maksiat kepada Allah Itu Dapat Menghalangi Ilmu.
B. PEMBAHASAN

1. Hadist shahih yang menjelaskan tentang maksiat kepada Allah Itu Dapat
Menghalangi Ilmu.

Ada salah satu ungkapan yang berasal dari hadis Nabi saw., bahwa kebaikan
itu adalah apa yang membuat hati menjadi tenang, dan keburukan sebaliknya,
membuat hati menjadi gelisah. Kebaikan dan keburukan di dalam hati ini digambarkan
sebagai titik putih dan titik hitam di dalamnya. Hati kita pada awalnya bersih, tidak
ada satu noda sedikit pun. Namun, ketika ada dosa yang diperbuat, satu dosa membuat
hati kita memiliki satu noda hitam. Itu akan terus bertambah jika dosa terus kita
perbuat dan kita tidak kunjung bertobat.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam Abdullah al-Haddad dalam


karyanya al-Nashaih ad-Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah (h. 6),

‫إن اإليمان يبدو في القلب لمعة بيضاء ثم تزيد حتى يبيد القلب كله وإن النفاق يبدو في القلب نكتة سوداء‬
‫ثم تزيد حتى يسود القلب كله‬

Sesungguhnya keimanan di dalam hati itu muncul seperti cahaya putih. Cahaya
itu terus bertambah hingga memenuhi seluruh hati (ketika terus istiqamah dalam
keimanan). Sementara, kemunafikan itu seperti titik hitam di dalam hati. Titik hitam
akan terus bertambah hingga akan menghitamkan hati seluruhnya (jika kita terus
bertahan dalam dosa dan kemunafikan.Mencari ilmu adalah kewajiban agama yang
dibebankan kepada umat Islam sejak dari buaian hingga mau masuk liang lahat.
Kewajiban tersebut harus dilakukan sendiri setiap orang yang sudah baligh tanpa
kecuali, sedangkan bagi yang belum baligh, orang tua atau walinya yang harus
bertanggung jawab. Mereka wajib mendidik sendiri atau dengan menyerahkan kepada
guru untuk membantunya jika tidak mampu.8
8
https://bincangsyariah.com/kolom/dosa-itu-seperti-titik-hitam-di-hati-ini-penjelasan-ulama/
al-Imam Abdullah al-Haddad dalam karyanya al-Nashaih ad-Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah
(h. 6),
Penjelasan ini serupa dengan hadis Nabi Saw. yang diriwayatkan di antara oleh
Imam at-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya,

« -‫عليه وسلم صلى الل هَّلل ِ َرسُو ِل َأ هُ َر ْي َرةَ بِىا عن‬


‫ قَا َل‬- ‫َت خَ ِطيَئةً َأ ْخطََأ ْال َع ْب َد ِإ َذا ِإ َّن‬
ْ ‫َاب َوا ْستَ ْغفَ َر نَ َز َع ه َُو فَِإ َذا َسوْ دَا ُء نُ ْكتَةٌ قَ ْلبِ ِه فِى نُ ِكت‬
َ ‫َوِإ ْن قَ ْلبُهُ ُسقِ َل َوت‬
(َّ‫هَّللا ُ َذ َك َر الَّ ِذى الرَّانُ َوه َُو قَ ْلبَهُ تَ ْعلُ َو َحتَّى فِيهَا ِزي َد عَادَ… » )يَ ْك ِسبُونَ َكانُوا َما قُلُوبِ ِه ْم َعلَى َرانَ بَلْ َكال‬

“Jika seorang hamba melakukan satu dosa, niscaya akan ditorehkan di hatinya
satu noda hitam. Seandainya dia meninggalkan dosa itu, beristighfar dan bertaubat;
niscaya noda itu akan dihapus. Tapi jika dia kembali berbuat dosa; niscaya noda-noda
itu akan semakin bertambah hingga menghitamkan semua hatinya. Itulah penutup
yang difirmankan Allah (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Hadits
ini dinilai hasan sahih oleh Tirmidzi).9

Orang dengan kecerdasan dan daya hafal istimewa diatas rata-rata saja sangat
terganggu dengan sedikit kemaksian yang menimpanya, lalu bagaimana dengan
zaman sekarang? Zaman penuh kemaksiatan, tentu lebih berat lagi jika ingin
mendapatkan ilmu. Tak heran jika Imam Malik ra pernah menasihati Iman Syafi’i
sebagai usaha ingin menjaganya. Ketika Imam Malik ra melihat kecerdasan ada pada
diri Imam Syafi’i muda yang luar biasa, maka beliau menasihatinya:
‫صيَ ِة‬ ْ ُ‫ فَاَل ت‬،‫ك نُورًا‬
ِ ‫طفِْئهُ بِظُ ْل َم ِة ْال َم ْع‬ َ ِ‫ِإنِّي َأ َرى هَّللا َ قَ ْد َأ ْلقَى َعلَى قَ ْلب‬
Sesungguhnya aku melihat (tanda) Allah ta’ala telah menganugerahkan
cahaya (ilmu) di hatimu, maka janganlah engkau padamkan cahaya tersebut dengan
kegelapan maksiat. (Al-Jawaabul Kaafi, hal. 52).10

Ilmu adalah cahaya, sedangkan kemaksiatan adalah kegelapan. Cahaya dan


kegelapan tidak mungkin bisa bersatu dalam satu waktu dan tempat, salah satu pasti
akan mengalahkan lainnya. Jika cahaya lebih kuat,maka teranglah tempat itu, namun
jika kegelapan lebih kuat, maka cahaya otomatis akan meredup bahkan hilang sama
sekali. Persis seperti yang Ibnul Qoyyim ra katakan:
9
HR. At Tirmidzi no. 3334, Ibnu Majah no. 4244, Ibnu Hibban (7/27) dan Ahmad (2/297).
10
Hadist al- jawaabul Kaafi, dalam sanat arba’in, h. 52
‫ك النُّو َر‬ ْ ُ‫صيَةُ ت‬
َ ِ‫طفُِئ َذل‬ ِ ‫ َو ْال َم ْع‬،‫ب‬
ِ ‫فَِإ َّن ْال ِع ْل َم نُو ٌر يَ ْق ِذفُهُ هَّللا ُ فِي ْالقَ ْل‬.

Sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya yang Allah curahkan di hati seorang
hamba, dan maksiat mematikan cahaya tersebut. (Al Jawaabul Kaafi, hal. 52).11

Kemaksiatan atau dosa bisa menghalangi ilmu masuk dalam kalbu sesuai
dengan kadarnya, semakin besar dosa yang dilakukan semakin banyak pula ilmu
agama yang tergerus karenanya. Aneka kemaksiatan juga menentukan jenis ilmu
yang bisa dihilangkan. Ibnu Taimiyah ra berkata dalam Majmu' Al-Fatawa, 14/160
bahwa;12

‫من الذنوب ما يكون سببا لخفاء العلم النافع أو بعضه بل يكون سببا لنسيان ما عُلم‬

Diantara dosa-dosa, ada yang dapat menjadi sebab yang menghalangi ilmu
yang bermanfaat atau sebagiannya, bahkan dapat menjadi sebab terlupanya ilmu yang
sudah diketahui. Proses atau urutan kemaksiatan bisa menutup dan menghilangkan
ilmu adalah hati menjadi gelap karenanya. Setiap perbuatan maksiat akan menutup
hatinya, jika terus berlangsung bisa sampai pada matinya hati. Allah Swt berfirman
tentang perbuatan maksiat.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan: “Yang dimaksudkan dalam


ayat tersebut adalah dosa di atas tumpukan dosa, sehingga bisa membuat hati itu
gelap, dan lama kelamaan pun mati.” Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid,
Qatadah, Ibnu Zaid dan selainnya. (Tafsir Alquran Al-‘Azhim, 7: 512).13

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan perkataan Hudzaifah dalam


fatwanya. Hudzaifah berkata: “Iman membuat hati nampak putih bersih. Jika seorang
hamba bertambah imannya, hatinya akan semakin putih. Jika kalian membelah hati
orang beriman, kalian akan melihatnya putih bercahaya. Sedangkan kemunafikan

11
CD Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam Hadits. Lidwa Pusaka i-Software.
12
Hamka. 1982. Tafsir Al-Azhar, Juzu’ I. Jakarta: Pustaka Panjimas.
13
Tafsir Alquran Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Abu
Ishaq Al-Huwaini. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
membuat hati tampak hitam kelam. Jika seorang hamba bertambah kemunafikannya,
hatinya pun akan semakin gelap. Jika kalian membelah hati orang munafik, maka
kalian akan melihatnya hitam mencekam.” (Majmu’ Al-Fatawa, 15: 283).14

2. Asbabul wurud hadist yang berkaitan dengan maksiat kepada Allah Itu
Dapat Menghalangi Ilmu.

Hadist ini merupakan salah satu hadist sahih yang di riwayatkan langsung oleh
abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:

« -‫عليه وسلم صلى الل هَّلل ِ َرسُو ِل َأ هُ َر ْي َرةَ بِىا عن‬

‫ قَا َل‬- ‫َت خَ ِطيَئةً َأ ْخطََأ ْال َع ْب َد ِإ َذا ِإ َّن‬


ْ ‫َاب َوا ْستَ ْغفَ َر نَ َز َع ه َُو فَِإ َذا َسوْ دَا ُء نُ ْكتَةٌ قَ ْلبِ ِه فِى نُ ِكت‬
َ ‫َوِإ ْن قَ ْلبُهُ ُسقِ َل َوت‬

(َّ‫هَّللا ُ َذ َك َر الَّ ِذى الرَّانُ َوه َُو قَ ْلبَهُ تَ ْعلُ َو َحتَّى فِيهَا ِزي َد عَادَ… » )يَ ْك ِسبُونَ َكانُوا َما قُلُوبِ ِه ْم َعلَى َرانَ بَلْ َكال‬

“Jika seorang hamba melakukan satu dosa, niscaya akan ditorehkan di hatinya satu
noda hitam. Seandainya dia meninggalkan dosa itu, beristighfar dan bertaubat;
niscaya noda itu akan dihapus. Tapi jika dia kembali berbuat dosa; niscaya noda-noda
itu akan semakin bertambah hingga menghitamkan semua hatinya. Itulah penutup
yang difirmankan Allah (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Hadits
ini dinilai hasan sahih oleh Tirmidzi).

Asbabul wurud dari hadist ini bermula dari kisah ketika Nabi Muhammad
SAW sampai di Madinah, diketahui bahwa orang-orang Madinah termasuk orang-
orang yang paling curang dalam menakar dan menimbang. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh An Nasai dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih dan
bersumber dari Ibnu Abbas. Sehingga Allah Swt menurunkan ayat-ayat dalam surat
Al Muthaffifin sebagai ancaman. Khususnya kepada orang-orang yang berperilaku
curang dalam menimbang dan menakar. Setelah ayat-ayat dalam surat Al Muthaffifin
turun, orang-orang Madinah kemudian menjadi orang-orang yang jujur dalam

14
Sumber: https://rumaysho.com/12804-pernah-tahu-atau-rasakan-sendiri.html
menimbang dan menakar. Kemudian Rasulullah berkata dalam hadist terkait
kecurangan dan kemaksiatan ummat kepada Allah sehingga hadist ini hadist di
Madinah.

Salman Al Farisi menjadikan makna ancaman dalam surat Al Muthaffifin ini


bukan hanya berlaku pada proses jual-beli saja. Tetapi juga pada pekerjaan maupun
kondisi lainnya. Intinya yang dapat diambil dari ayat ke-2 dan ke-3 adalah menuntut
hak pada orang lain, namun tidak memberikan hak yang sama pada orang tersebut.
Misalnya, pegawai yang mencuri waktu pekerjaannya seperti datang terlambat dan
pulang diam-diam. Alih-alih merasa bersalah, dia justru menuntut untuk mendapatkan
gaji yang tinggi dari perusahaannya. Tentu saja hal itu termasuk ke dalam makna
menuntut hak namun enggan menunaikan kewajibannya. Seperti diketahui,
memberikan hak kepada orang lain merupakan kewajiban yang harus dipenuhi.
Apabila mengurangi hak orang lain meskipun hanya sedikit saja, maka celakalah
kalian di akhirat kelak. Inilah penjelasan terkait hadist yang dapat menguatkan hadist
ini.

Pelajaran Yang Terdapat Dalam Hadits Diatas:

1. Setiap hari tidak bosan-bosannya kita melakukan maksiat, kadang meninggalkan


yang wajib dan menerjang yang haram. Aurat terus diumbar, tanpa pernah sadar
untuk mengenakan jilbab dan menutup aurat yang sempurna. Shalat 5 waktu
yang sudah diketahui wajibnya seringkali ditinggalkan tanpa pernah ada rasa
bersalah. Padahal meninggalkannya termasuk dosa besar yang lebih besar dari
dosa zina. Padahal pengaruh maksiat pada hati sungguh amat luar biasa. Bahkan
bisa memadamkan cahaya hati. Inilah yang patut direnungkan saat ini.
2. Jika bintik, noda dan noktah hitam itu sudah penuh dan menutupi hatinya, maka
noktah hitam yang datang berikutnya ke dalam hati akibat dari perbuatan dosa
dan kemaksiatan, maka hati itu akan merasa tidak terpengaruh dengan noda yang
mengotorinya, sebagaimana tidak terlihatnya noda hitam yang menempel pada
kain hitam. Saat perbuatan dosa sudah tidak terasa lagi sebagai sebuah dosa,
maka yang ada adalah rasa nyaman.
3. Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksudkan dalam hadist
tersebut adalah dosa di atas tumpukan dosa sehingga bisa membuat hati itu gelap
dan lama kelamaan pun mati.” Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid,
Qotadah, Ibnu Zaid.
4. Inilah di antara dampak bahaya maksiat bagi hati. Setiap maksiat membuat hati
tertutup noda hitam dan lama kelamaan hati tersebut jadi tertutup. Jika hati itu
tertutup, apakah mampu ia menerima seberkas cahaya kebenaran? Sungguh
sangat tidak mungkin. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika hati sudah
semakin gelap, maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran."
5. Perbanyaklah taubat dan istighfar, itulah yang akan menghilangkan gelapnya hati
dan membuat hati semakin bercahaya sehingga mudah menerima petunjuk atau
kebenaran.
6. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Dan (efek negatif dosa) yang paling
berbahaya (paling mengkhawatirkan) bagi seorang hamba adalah dosa dan
kemaksiatan bisa melemahkan keinginan hati sehingga keinginannya untuk
melakukan perbuatan maksiat semakin kuat. Dosa melemahkan keinginan hati
untuk bertaubat sedikit demi sedikit sampai akhirnya semua keinginan untuk
taubat tercabut dari hati (tanpa meninggalkan sisa sedikitpun). (Padahal)
seandainya separuh dari hati seseorang itu sudah mati, maka itu sudah susah
untuk bertaubat kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, hilang rasa khisyah ( takut )
dan khusyu (tunduk). Tidak membekasnya ketaatan, tidak berguna nasehat, tidak
takut lagi berbuat maksiyat.
7. Jadi memang demikianlah jika hati diperhatikan, di jaga dan di pedulikan maka
kehidupan dunia dan akhirat kita akan selamat dan akan mendapat kebahagiaan.
karena dengan hati yang sehat, bersih, orang bisa menahan diri dari syubhat,
menahan diri dari syahwat. Sebaliknya, jika hati di abaikan maka penyakit,
halangan dan duri berupa syubhat dan syahwat mudah hinggap dalam perjalanan
kita menuju akhirat, dan niscaya kita akan sengsara, nelangsa.
8. Kiat untuk dijauhkan dari perbuatan dosa:- Mengetahui kalau itu perbuatan dosa
dan tau akibatnya. - Selalu membenarkan ancaman Alloh. - khawatir kalau
taubatnya tidak diterima Alloh.

Sudah tidak asing lagi ditelingga kita perkataan Imam Syafi’i yang berbunyi,
“Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau
menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa
ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.”
(I’anatuth Tholibin, 2: 190). Saudaraku, hafalan Imam Syafi’i sungguh amat luar
biasa. Diumur 7 tahun sudah hafal Al-Quran dan diumur 10 tahun sudah hafal kitab
Al-Muwatho’ karangan Imam Malik. Dan diumur 15 tahun sudah menjadi mufti
(Thorh At Tatsrib, 1: 95-96).15

Namun, suatu hari Imam Syafi’i pernah mengadukan kepada gurunya atas
sulitnya mengulang hafalannya. Si guru menegurnya, “Engkau pasti pernah
melakukan suatu dosa. Cobalah engkau merenungkan kembali!”

Imam Syafi’i pun merenung, ia merenungkan keadaan dirinya, “Apa yah dosa
yang kira-kira telah kuperbuat?” Beliau pun teringat bahwa pernah suatu saat beliau
melihat seorang wanita tanpa sengaja yang sedang menaiki kendaraannya, lantas
tersingkap pahanya -ada pula yang mengatakan: yang terlihat adalah mata kakinya-
Lantas setelah itu beliau memalingkan wajahnya. Saudaraku, hafalan beliau bisa
terganggu karena ketidak-sengajaan. Itu pun sudah mempengaruhi hafalan beliau.
Bagaimana dengan kita yang keseharian tidak bisa lepas dengan barbagai aurat
wanita. Seperti rambut, betis, leher, bahkan bagian lutut keatas. Di zaman Imam
Syafi’i aurat tersebut tersingkap secara tidak sengaja. Namun, hari ini aurat diumbar

15
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Terjemah Tafsir Al-Maraghi: Jilid 28. Cetakan II.
Semarang: CV. Toha Putra.
dan diperlihatkan di mana-mana. Bahkan lebih parahnya, banyak model yang dengan
bangga menontonkan aurat mereka.

Sungguh, kita memang benar-benar telah terlena dengan maksiat. Lantas


maksiat tersebut menutupi hati kita sehingga kita pun sulit melakukan ketaatan, malas
untuk beribadah, juga sulit dalam hafalan Al Qur’an dan hafalan ilmu lainnya. Maka
benarlah firman Allah Ta’ala yang berbunyi,

َ‫َكاَّل بَلْ َرانَ َعلَى قُلُوبِ ِه ْم َما َكانُوا يَ ْك ِسبُون‬

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan


itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14).16

Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan dalam ayat


tersebut adalah dosa di atas tumpukan dosa sehingga bisa membuat hati itu gelap dan
lama kelamaan pun mati.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 14: 268).17

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika hati sudah semakin gelap,


maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran.” (Ad Daa’ wad Dawaa’,107.) 18
Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata,

‫بقدر ما يصغر الذنب عندك يعظم عند هللا وبقدر ما يعظم عندك يصغر عند هللا‬

“Jika engkau menganggap dosa itu kecil, maka itu sudah dianggap besar di
sisi Allah. Sebaliknya, jika engkau mengganggap dosa itu begitu besar, maka itu akan
menjadi ringan di sisi Allah.” Imam Ahmad berkata bahwa beliau pernah mendengar
Bilal bin Sa’id menuturkan,

‫ال تنظر إلى صغر الخطيئة ولكن انظر إلى عظم من عصيت‬

16
Tafsir Al Jalalain, Al Mahalli dan As Suyuthi, Mawqi’ At Tafasir, 12/360
17
Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7/442.
18
Al-Farmawi, Abd. Al-Hayy. 1996. Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’y: Dirasah
Manhajiah Mawdhu’iyyah. (terj). Suryan A. Jamrah. Cetakan II. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
“Janganlah engkau melihat pada kecilnya dosa. Akan tetapi lihatlah pada
agungnya siapa yang engkau maksiati (yaitu Allah Ta’ala).” (Muhammad bin Ibrahim
al-Bikri, Dalil Al-Falihin litarqi Riyadhus Shalihin, cet IV, jilid 1, hal 239).19 Ya
Allah, berilah taufik pada kami sehingga mudah melakukan ketaatan dan menjauhi
maksiat serta berilah hidayah pada kami untuk giat bertaubat. Semoga Kau bimbing
kami tetap dijalan-Mu, serta mendapatkan ilmu yang bermanfaat di dunia maupun di
akhirat

Hadis sebagai sumber ajaran utama bagi umat islam setelah Al-Qur’an
memiliki peran yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup beragama umat
islam, karenanya hadis tidak hanya sekedar hadis saja. Hadis juga memiliki disiplin-
disiplin ilmu yang dapat menuntun kita pada kebenaran beragama. Salah satu contoh
disiplin ilmu yang mendukung pemahaman hadis secara kontekstual adalah Asbabul
Wurud. Dengan adanya asbabul wurud kita dapat memahami hadis secara
kontekstual, tidak hanya secara tekstual.20

Seiring berkembangnya zaman dan meluasnya peradaban islam, pemahaman


terhadap hadis Nabi Muhammad Saw pun ikut mengalami perkembangan,
mengetahui asbabul wurud menjadi hal yang sangat penting agar dapat mengurangi
kesalah pahaman dalam memahami dan memaknai hadis. Asbabul wurud dapat
diartikan sebagai segala sesuatu yang terjadi baik itu peristiwa maupun pertanyaan
yang terjadi ketika hadis disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw Dalam memahami
hadis dengan asbabul wurud kita dapat memperhatikan bagaimana suasana ketika
hadis tersebut muncul, kepada siapa hadis tersebut dilontarkan, dan juga perlu
diperhatikan sebagai siapa kapasitas Nabi Muhammad Saw ketika menyampaikan
hadis tersebut, apakah sebagai panglima perang, hakim, ataupun kepala negara.

19
Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426,
15/283.
20
Benny Afwadzi, Membangun Integrasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Hadis Nabi, Jurnal Living
Hadis. Vol 1, No 1. Mei 2016. Malang.
Dengan memperhatikan asbabul wurud suatu hadis kita dapat mengetahui dan
memahami lebih dalam makna yang dikandung oleh hadis tersebut.21

Asbabul wurud juga memiliki fungsi yang sangat signifikan diantaranya


menjadi sebuah pengkhusus hadis yang bersifat umum, menjadi sebuah pembatas
pengertian hadis yang mutlak, menjadi sebuah perinci hadis yang bersifat global,
menjadi penentu akan ada atau tidaknya naskh dan mansukh dalam suatu hadis,
menjadi penjelas sebab-sebab ditetapkannya suatu hukum, menjadi penjelas hadis-
hadis yang masih sulit dipahami atau musykil (Putri, 2020:11).22

Pada masa ketika Nabi Muhammad Saw masih hidup beliau selaku utusan
Allah berinteraksi langsung dengan masyarakat sehingga setiap hadis yang beliau
sampaikan memiliki aspek historis didalamnya. Hadis Nabi Muhammad Saw ada
yang memiliki asbabul wurud khusus “Asbabul wurud al-khassah” dalam artian hadis
tersebut memiliki aspek historisitas tersendiri ketika munculnya, dan adapula asbabul
wurud umum “Asbabul wurud al-‘ammah” seperti keadaan sosial dan kebudayaan
masyarakat Arab pada masa itu.23

Kita menyadari bahwasannya tidak semua hadis Nabi Muhammad Saw


memiliki asbabul wurud khusus “Asbabul wurud al-khassah”. Maka faktor sosial dan
kebudayaan ketika hadis tersebut muncul atau asbabul wurud umum “Asbabul wurud
al-‘ammah” dapat dijadikan sebuah landasan.24 Walaupun kembali lagi harus kita
ingat bahwa ada beberapa hadis yang tidak harus dituntut memiliki “Asbabul wurud
al-‘ammah” seperti hadis yang membahas tentang akhirat dan hal yang ghaib.

21
Munawwir Mu’in, Pemahaman Komprehensif Hadis Melalui Asbab al Wurud, Jurnal
Addin, Vol 7, No 2, Agustus 2013. Purwokerto.
22
Widia Putri, Asbab al Wurud dan Urgensinya dalam Pendidikan, Al-Tarbawi Al-Haditsah;
Jurnal Pendidikan Islam, Vol 4, No 1. Juni 2020. Yogyakarta.
23
Subehan Khalik, Sosio Kultural dalam Asbab Wurud Al-Hadis Al-Nabawi, Jurnal Al-
Daulah, Vol 7, No 2, Desember 2018. Makassar.
24
Ja’far Assagaf, Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living
Hadis, Jurnal Holistic al-Hadis, Vol 1, No 2, Juli-Desember 2015, Surakarta.
Sungguh, maksiat tersebut boleh menutupi hati kita sehingga kita pun sukar
melakukan ketaatan, malas untuk beribadah, juga sukar dalam hafazan Al Qur’an dan
hafazan ilmu lainnya. Allah Ta’ala berfirman ;

َ‫َكاَّل بَلْ َرانَ َعلَى قُلُوبِ ِه ْم َما َكانُوا يَ ْك ِسبُون‬

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan


itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14).

Dr Yusuf al-Qardhawi menyenaraikan di antara kesan dan pengaruh maksiat :

a. Terhalang dari ilmu dan rezeki serta sulit urusan hidupnya.


b. Hati gelap, menyebabkan hati terasa jauh dari Allah dan manusia yang soleh,
terhalang dari ketaatan serta memendekkan umur.
c. Mengundang laknat Allah, mendapat kehinaan Allah dan hilang nikmatNya.
d. Menganggap kecil maksiat pada Allah dan bangga dengan maksiat yang
dilakukan akhirnya tidak sensitif dengan dosa.
e. Maksiat akan mengundang maksiat lainnnya sehingga terasa berat untuk
meninggalkannya.

Jiwa kita perlu sensitif dengan apa sahaja yang kita buat ; mata yang melihat,
telinga yang mendengar, lidah yang berbicara. Maksiat akan melemahkan perjalanan
jiwa menuju pada Allah dan hari Akhirat, hilanglah kekuatan perjuangan mujahadah
serta sukar perjalanan memperbaiki diri.

C. KESIMPULAN

Adaun kesimpulan dalam penulisan makalah ini sebagai berikut:

1. Maksiat adalah sebuah perbuatan yang dilaknat oleh Allah Swt sesuai dengan
Alquran yang mengatakan bahwa maksiat merupakan salah satu dosa yang
tidak diampuni oleh Allah hanya dengan syarat bertaubat barulah dosanya
diampuni allah.
2. Sesuai dengan hadist Rasulullah Saw mengatakan bahwa maksiat akan
meredupkan cahaya pada hati setiap hamba dan bagi seorang yang menuntut
ilmu jika ia dalam keadaan bermaksiat maka ilmu yang ia pelajari tak akan di
pahami bahkan berguna bagi ia.
3. Jika seseorang melakukan maksiat kepada Allah namun ia dalam keadaan
menuntut ilmu di istilahkan seseorang itu cahaya hati nya akan padam dan
bernoda, namun jika seseorang dalam keadaan menuntut ilmu namun ia taat
kepada Allah maka di istilahkan bahwa hatinya bercahaya dan bersih dalam
menerima ilmu dari Allah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Farmawi, Abd, Al-Hayy, 1996, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’y: Dirasah


Manhajiah Mawdhu’iyyah, terj, Suryan A, Jamrah, cet II. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, 1993, Terjemah Tafsir Al-Maraghi: Jilid 28, cet II,
Semarang: CV, Toha Putra.
Baca al-Quran surat Al Ahzab ayat 36).
Benny Afwadzi, Membangun Integrasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Hadis Nabi, Jurnal
Living Hadis, Vol 1, No 1, Mei 2016, Malang.
CD Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam Hadits, Lidwa Pusaka i-Software.
Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7/442.
Hadist al- jawaabul, Terkait maksiat kepada allah menjauhkan diri dari ilmu yang
dipelajari, Kaafi,2004, h. 52
Hamka, 1982, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ I, Jakarta: Pustaka Panjimas.
HR. At Tirmidzi no. 3334, Ibnu Majah no. 4244, Ibnu Hibban (7/27) dan Ahmad
(2/297).
https://bincangsyariah.com/kolom/dosa-itu-seperti-titik-hitam-di-hati-ini-penjelasan-
ulama/
https://www.republika.co.id/berita/qfzpz8366/maksiat-menghalangi-masuknya-ilmu
Ibid, h. 01.
Izzan, Ahmad dan Saehudin, 2012, Tafsir Pendidikan, Studi Ayat-ayat Berdimensi
Pendidikan, cet I, Tangerang: Pustaka Aufa Media (PAM Pres).
Ja’far Assagaf, Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living
Hadis, Jurnal Holistic al-Hadis, Vol 1, No 2, Juli-Desember 2015, Surakarta.
Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cet ketiga, 1426,
15/283.
Masduki, Mahfudz, 2012, Tafsir Al-Mishbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal
Al-Qur’an, cet I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Munawwir Mu’in, Pemahaman Komprehensif Hadis Melalui Asbab al Wurud, Jurnal
Addin, Vol 7, No 2, Agustus 2013, Purwokerto.
Shihab, M. Quraish, 2000, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
AlQur’an, Juz ‘Amma. Volume 15, cet I. Jakarta: Lentera Hati.
Subehan Khalik, Sosio Kultural dalam Asbab Wurud Al-Hadis Al-Nabawi, Jurnal Al-
Daulah, Vol 7, No 2, Desember 2018, Makassar.
Sumber: https://rumaysho.com/12804-pernah-tahu-atau-rasakan-sendiri.html
Tafsir Al Jalalain, Al Mahalli dan As Suyuthi, Mawqi’ At Tafasir, 12/360
Tafsir Alquran Al-‘Azhim, cet I, tahun 1431 H. Ibnu Katsir, Tahqiq: Abu Ishaq Al-
Huwaini, Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
Widia Putri, Asbab al Wurud dan Urgensinya dalam Pendidikan, Al-Tarbawi Al-
Haditsah; Jurnal Pendidikan Islam, Vol 4, No 1. Juni 2020. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai