Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
Bacalah, dengan nama Tuhan Yang menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah.
Yang mengajar dengan Kalam (Pena). Dia mengajar manusia sesuatu yang tidak
diketahui. (Q.S. Al Alaq: 1-5)
Surat Al Alaq ayat 1-5 merupakan wahyu pertama yang diterima oleh
Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai penegasan bahwa beliau
adalaah seorang Rosul Allah. Dalam surat ini mengadung makna bahwa manusia
diciptakan dalam keadaan awal yang tidak tahu apa-apa (“Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
pun, dan memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu
bersyukur,”(Q.S. Al Nahl:78)) , yang kemudian Allah mengajari manusia,
menyuruh manusia untuk belajar, membaca apa yang pada dirinya dan sekitanya.
Hal ini kemudian menciptakan kondisi yang lebih dikenal dengan istilah
pendidikan.
Menurut Mansour Fakih pendidikan sudah ada sejak manusia itu
diciptakan. Ia mendefinisikan pendidikan sebagi proses yang dilakukan oleh suatu
masyarakat dalam rangka menyiapkan generasi penerusnya agar dapat
bersosialisasi dan beradaptasi dalam budaya yang mereka anut. Dari definisi ini,
pendidikan menekankan pada prosesnya, mendidik dari generasi ke gerasi untuk
dapat hidup sesuai dengan zamannya.
Syed Al Attas berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu proses
penanaman sesuatu kedalan diri manusia. Definisi ini terdiri dari tiga unsur, yaitu
proses, kandungan, dan penerima. Menurut beliau definisi ini seolah-olah masih
menekankan pada sebuah proses pendidikan itu sendiri, padahal esensial dari
pendidikan adalah kandungan yang diberikan kepada penerima. Untuk itu Al
Attas memberikan definisi yang kedua, pendidikan adalah sesuatu yang secara
bertahap ditanamkan ke dalam manusia. Yang kemudian definisi ini
memunculkan konsep pendikan dalam islam menurut dia.   
  Dalam perjalanan peradaban manusia, tradisi pendidikan tetap
dipertahankan dan terus dikembangkan melaui berbagai bentuk dan institusi
pendidikan. Masing-masing model dan bentuk pendidikan tersebut saling
berlomba untuk mendidik manusia.  Berbagai usaha yang dilakukan manusia
untuk melakukan pendidikan tersebut lambat laun memunculkan berbagai model
dan instansi pendidikan yang tercatat dalam sejarah pendidikan, salah satunya
adalah model pendidikan menurut islam.
Islam sebagi agama rahmatanlil ‘alamin mempunyai peranan yang penting
untuk mendidik manusia sesuai sunahtullah. Karena manusia mempunyai amanah
untuk menjadi kholifah di bumi, tetap menjaga bumi dengan sebaik-baiknya
dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak merusak. Menurut Al Attas
pendidikan dalam islam adalah memciptakan manusia yang baik (insan kamil)
yang mencotoh pada diri Rasulullah. Karena beliau merupakan insan didikan
langsung dari Allah, seperti sabda Nabi saw, “Tuhanku telah mendidikku, dan
demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik”. Sehingga pendidikan dalam
islam haruslah menghasilkan manusia yang seperti atau mendekati akhlak
Rasullah saw.
Berbicara tentang pendidikan Islam maka tidak akan terlepas dari sejarah
islam yang mencapai kejayaan peradaban dan ilmu pengetahuan di abad
pertenghan dari zaman rasulullah, sahabat, hingga sampai abad ke-13masehi
dengan ditandai dengan beberapa peristiwa, diantaranya yaitu jatuhnya
Andalausia ketangan Kristen oleh kerajaan  Inggris dan Prancis, gagalnya
ekspansi ke Wina Austria, mengakibatkan pemerintahan Ottoman (Usmaniyah) di
Istambul mengalami kemunduran. Peristiwa ini mengakibatkan mundurnya
pendidikan Islam dalam bidang ilmu pengetahuan. Dan menjadi berbalik arah
Islam mengalami massa kegelapan dan barat mengalami massa pencerahan
dengan ilmu pengetahuan yang telah mereka capai. 
Dalam sejarah, Pendidikan Islam memberikan sumbangan yang sangat
luar biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Banyak ilmu pengetahuan
yang telah dicapai oleh Islam dalam dunia pendidikan  diantaranya yaitu ilmu
hitung, filsafat, sastra, pengobatan, ekonomi, sosial, logika, astronomi, dan masih
ada lagi yang lain. Kemajuan yang telah dicapai oleh umat Islam terdahulu tidak
terlepas dari pemikiran para tokoh Islam (yang selalu berfikir untuk mempelajari
ilmu dan mengembangkannya) dan dan dukungan dari kekhalifahan. Hal ini
berarti adanya kerja sama antara pemerintah dan warganya. Namun kejayaan umat
Islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan hanya mampu dipertahankan
selama kira-kira 5 abad saja.
Mundurnya ilmu pengetahuan umat islam mungkin ini disebabkan oleh
beberapa hal, diantaranya yaitu adanya perseteruan interen pemerintahan umat
islam dalam merebutkan kekuasaan, adanya perselisihan pemahaman tentang
Islam dikalangan para ulama sehingga mengakibatkan pendidikan Islam menjadi
stagnan dan hanya terfokus pada ilmu agama, selain itu juga adanya serangan dari
luar misalnya dari bangsa Mongol ke Turki, serta serangan dari bangsa Eropa
yang telah mendapatkan pencerahan ilmu pengetahuan dari Islam.
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi Eropa (barat)
dewasa ini tidak lepas dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dari Islam.
Perkembangan ilmu pengetahuan di barat diawali dengan lahirnya renaisan di
Prancis dan revolusi industri di Inggris sebagai bentuk protes terhadap
kesewenang-wenangan penguasa yang mengatasnamakan agama. Traumatik
keagamaan orang barat menjadikan mereka tidak mau menerima lagi kerelegiusan
ilmu pengetahuan. Sehingga menimbulkan dikotominya ilmu pengetahuan yang
berkembang di barat. Ilmu agama tidak boleh lagi mengurusi kepentingan
perkembangan ilmu pengetahuan dunia. Akibatnya ilmu pengetahuan yang telah
dicapai oleh umat islam yang diadopsi oleh orang barat hanyalah ilmu yang
berurusan tentang dunia saja dan menolak ilmu agama islam. 
Pengkotoman ilmu dunia dan ilmu agama  di barat mengakibatkan
berkembangnya ilmu pengetahuan yang hanya berlandaskan pada rasio, materi,
dan logika yang harus bisa diterima secara empiris. Pemikiran empiris orang barat
ini memunculkan paham materialis, bahwa segala sesuatu harus dapat diindrakan.
Paham ini oleh orang barat kemudian dikawinkan dengan traumatik keagamaan
untuk menggugat keberadaan Tuhan, teologi. Secara materi memang Tuhan tidak
dapat diindrakan. Ketika mereka tidak dapat menemukan zat Tuhan, mereka
melontarka bahwa Tuhan tidak ada (ateis Karl Max), atau Tuhan telah mati oleh
Nietzsche.
Dengan kesadaran penuh bahwa hidup tidak ada campur tangan Tuhan,
orang barat dengan semangat tinggi mengembangkan Ilmu pengetahuan dan
memunculkan teknologi modern (tenaga manusia diganti oleh mesin) dewasa ini.
Pengembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) disadari memerlukan
biaya yang sangat besar sehingga dibutuhkan dana yang tidak sedikit (feodal).
Karena biaya pengambangan iptek yang mahal maka segala sesuatu hal penemuan
yang baru harus dapat menghasilkan uang untuk mengembalikan modal dan
mendapatkan keuntungan dari penemuan itu serta hasil penemuan itu harus
dihakmilikkan untuk mendapatkan keuntungan yang besar lagi (kapitalis).
Akhirnya memunculkan paham kapitalis.
Capitalism is economic system with ownership and control of capital in
private hands (kamus Oxord). Awalnya kapitalisme hanya ada dalam bidang
pengembang ilmu pengetahuan, tapi pada akhirnya merambah pada bidang lain,
seperti ekonomi, sosial, politik, agama, dan tidak ketinggalan sebagai ladang
paham ini adalah dunia pendidikan. Berkembangnya iptek, selalu diiringi
berkembangannya kapitalisme. Selain itu iptek selalu identik dengan
berkembangnya perusahaan industri. Sehingga dikatakan negara maju apabila
negara itu yang memiliki industri yang besar.
Semantara itu Pola produksi sebuah industri yang
modern memiliki memiliki ciri sebagai berikut; kepemilikan
bersifat individual, produksi bersifat kolektif, Penjualan bersifat kolektif,
pembagian keuntungan bersifat individual. Dalam pola produksimodern ini,
yang bekerja adalah buruh-buruh perusahaan. Majikan sebagai pemilik
perusahaan, kenyataannya tidak pernah terlibat dalam proses produksi. Akan
tetapi, majikanlah yang menikmati seluruh keuntungan yang dihasilkan oleh
perusahaan tersebut. Sementara itu tenaga para buruh hanya dianggap sebagai
bagian dari komponen biaya produksi. Sesuai dengan teori ekonomi kapitalisme,
untuk memperoleh keuntungan yang maksimum, maka salah satu metodenya
adalah dengan menekan biaya produksi seminimum mungkin. Jika nilai barang
itu diukur dari besarnya tenaga yang telah dikorbankan, maka sesungguhnya telah
terjadi surplus nilai tenaga buruh yang telah diambil oleh majikannya. Dengan
demikian, ekonomi kapitalisme adalah ekonomi yang sangat dzalim terhadap
kaum buruh dan menjadi surga bagi para kapitalis.
Atas tercapainya kemajuaan iptek ini orang barat mulai menyebarkan
penemuan mereka kepada dunia. Walaupun sebenarnya ada niat lain dari itu, yaitu
mengekspansi sumber daya alam dunia dan menyebarkan kapitalisme dan ateisnya
kepada dunia. Maka dengan ini akan menguntung bagi pengusaha besar saj, atau
bisa dibilang negara majulah yang akan diuntungkan dan negara berkembang
tidak akan pernah menjadi negara maju kalau tetap mengekor pada negara
kapitalisme.
Keberasilan ekspansi kapitalisme barat ke dunia lain, baca negara
berkembang, dapat kita lihat di Indonesia dalam bidang pendidikan akhir-akhir
ini. Sebagaimana yang diberitakan dalam sebuah surat kabar catak sebagai
berikut; Dianggap Komersial, RSBI Dihapus, sebuah judul berita yang terdapat
pada surat kabar harian Jawa Pos pada halaman pertama, Rabu, 9 januari 2013
sangat menggemparkan dunia pendidikan di Indonesia. Mahkamah Konstitusi
(MK) membuat keputusan yang mengejutkan, yaitu memutuskan untuk
menghilangkan status rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Karena hal
ini dinganggap bertentangan dengan UUD 1945.
Keputusan MK tersebut diatas diambil berdasarkan beberapa alasan,
diantaranya yaitu pertama, biaya sekolah RSBI dianggap mahal oleh masyarakat,
akibatnya akses siswa dari keluarga miskin tertutup. Ini berarti ada didkriminasi
antara siswa kaya dan miskin.Kedua, adanya perbedaana fasilitas menjadikan
sekolah biasa sulit mengejar prestasi siswa RSBI. Ketiga, tidak adanya standar
internasional yang menjadi rujukan. Keempat,menonjolkan penggunaan bahasa
asing, bahasa Inggris, dikhawatirkan akan menghilangkan jati diri anak bangsa.
Berdasarkan pada alasan MK tersebut di atas maka dapat diindikasikan
bahwa terjadi perdagangan dalam pendidikan. Pendidikan sebagai barang
komuditas dalam jual beli akan memberikan keuntungan bagi pihak tertentu,
swasta. Melangsir pada sejarah asal RSBI, salah satu alasanya adalah RSBI
didirikan pemerintah untuk menyaingi sekolah bertaraf internasional yang
didirikan oleh pihak swasta. Melihat anggaran RSBI yang besar, maka
memungkinkan pemerintah tidak mampu membiayai semua sekolah di Indonesai
dengan sarana prasarana yang bertaraf internasioanl, sehingga dinas pendidikan
hanya memberikan fasilatas pada sekolah tertentu. Sehingga dengan berjalannya
waktu, memungkinkan sangat besar, pendidikan Indonesia di lempar kepada pihak
swasta. Menjadikan pendidikan akan lebih mahal lagi.
Terjadinya komersialisasi dalam dunia pendidikan di Indonesia tidak lepas
dari kepentingan sosial politik dan ekonomi.  Bahkan pada masa orde baru,
pendidikan dirasakan telah digunakan oleh para penguasa untuk melanggengkan
atau melegitiminasi dominasi mereka. Dalam bidang ekonomi, dewasa ini
pendidikan dapat dimaanfaatkan sebagai media untuk mengeruk keuntungan yang
sebesar-besarnya.
“Orang miskin dilarang sekolah!” Demikian jeritan pilu masyarakat
dewasa ini untuk menanggapi mahalnya biaya pendidikan, khususnya biaya
pendidikan tinggi. Hal ini tidak terbebas dari umat manusia yang berada pada
zaman pasar bebas, yang dikenal dengan zaman globalisasi, dimana segala
sesuatunya ditentukan oleh permintaan pasar. Tradisi umat manusia untuk
mempertahankan eksistensi mereka melalui pendidikan mendapatkan tantangan,
karena pendidikan ternyata bagi sebagian manusia dapat digunakan untuk
akumulasi kapital dan mendapatkan keuntungan.
Menurut Mansour Fakih, kata pengantarnya dalam buku Kapitalisme
Pendidikan, paham pasar bebas dalam pendidikan dapat dilihat dari cici-cirinya
sebagai berikut; pertama, paham pasar bebas menuntut pemerintah untuk
melepaskan semua sekolah yang dikelola pemerintah dan menyerahkan semua
urusan pendidikan kepada perusahan swasta. Kedua, paham pasar bebas menuntut
kepada pemerintah untuk menghentikan subsidi pendidikan dan biarkan
mekanisme pasar dalam sektor pendidkan yang menentukan. Ini semua
merupakan hasil dari pemikiran orang-orang liberal yang ingin menanamkan
paham kapitalis dalam pendidikan. Akibat dari liberalisasi pendidikan ini,
pendidikan akan hanya mampu dijangkau oleh mereka yang secara ekonomi
diuntungkan oleh struktur dan sistem sosial yang ada. Sementara itu bagi mereka
yang datang dari kelas yang dieksploitasi secara ekonomi tidak akan mampu
menjangkau pendidikan.
Melihat fenomena tersebut di atas maka pendidikan Islam sangat
diperlukan perannya untuk mengatasi dan melepaskan diri dari cengkraman
kapitalisme global tersebut. Memang sangat sulit dan akan menghadapi rintangan
yang besar untuk mengatasinya. Pendidikan Islam masa kini dihadapkan kepada
tantangan yang jauh lebih berat dari tantangan yang dihadapi pada masa
permulaan penyebaran Islam. Tantangan tersebut berupa berupa timbulnya
aspirasi dan idealitas umat manusia yang serba multi-inters yang berdimensi nilai
ganda dengan tuntutan hidup yang mulai multi komplek pula. (Prof. Arifin: 5).
Sehingga pendidikan Islam harus mencoba untuk membuat dan ataume miliki
sistem dan metode pendidikan yang baik dan menarik. Dan orientasi pendidikan
Islam dalam berkembangnya iptek ini juga perlu diubah, yaitu tidak hanya
mementingkan akhirat (ilmu agama), tetapi juga mementingkan kebahagian dunia
(ilmu dunia). Maka dari itu makalah ini mencoba untuk menyusun konsep
pendidikan islam yang terbebas dari pengaruh kapitalisme global.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Konsep Pendidikan Islam
Prof. M. Arifin (1993:11) menyebutkan bahwa pendidikan islam adalah
sistem pendidikan yang dapat memberikan memberikan kemampuan seseorang
untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita islam, karena nilai-nilai
islam telah menjiwai dan mewarnai corak pribadinya. Dengan kata lain bahwa
manusia muslim yang telah mendapatkan pendidikan islam itu harus mampu
hidup di dalam kedamaian dan kesejahteraan sebagaimana yang diharapkan oleh
cita-cita Islam. Maka dapat dikatakan tujuan akhir dari pendidikan Islam pada
hakekatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri,yang membawa
misi bagi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah lahir dan batin, di
dunia dan akhirat.
Sedangkan Ishak Ahmad Farhan (2002:26) mengatakan bahwa pendidikan
Islam merupakan sekumpulan metode dan media untuk mewariskan ajaran-ajaran
agama yang bersumber dari Allah, nilai-nilai kehidupan sosial dan ilmu
pengetahuan empirik, yang digunakan oleh para ilmuan dan pendidik untuk
mendidik, melatih dan mengembangkan individu, masyarakat dan manusia
seluruhnya dengan tujuan mencapai ketakwaan kepada Allah di dalam hati dan
merasa takut kepada-Nya di dalam jiwanya. Maka dapat dikatakan bahwa
pendidikan islam bertujuan mewujudkan individu mukmin yang takut kepada
Allah, bertakwa kepadaNya, serta beribadah sebaik-baiknya agar ia memperolah
kemenangan di akhirat dan mencapai kebahagian di dunia
Pendidikan yang khas Islam didefinisikan sebagai pengenalan dan
pengakuan, yang secara berangsur-angsur ditanamkan di dalam manusia, tentang
tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan
sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan
tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keperiadaan. Dalam hal ini
ilmu sebagai objek dan manusia sebgai subjek dalam proses pendidikan, dan
keridhoan Tuhan adalah sebagai tujuannya.
Setiap manusia tidak ubahnya sebuah miniatur kerajaan, representasi
mikrokosmos dari makrokosmos. Ia adalah seorang penghuni di dalam kota
dirinya sendiri, tempat ia menyelenggarakan dinnya. Karena dalam Islam, tujuan
mencari pengetahuan pada puncaknya adalah untuk menjadi manusia yang baik
dan bukannya seorang penduduk yang baik dari sebuah negara sekular, maka
sistem pendidikan dalam Islam mestilah mencerminkan manusia, bukan negara.
Perwujudan paling tinggi dan paling sempurna dari sistem pendidikan adalah
universitas. Dan mengingat bahwa universitas merupakan
sistematisasi  pengetahuan yang paling tinggi dan paling sempurna- yang
dirancang untuk mencerminkan yang universal- maka ia mestilah juga merupakan
pencerminan dari bukan sekedar manusia apa saja, melainkan manusia universal
atau sempurna (Insan Kamil).
Dilihat hubunga antara manusia, ilmu, dan universitas dalam pendidikan
Islam maka dapat skema sebagai berikut:
I.                   Manusia
1.      Jiwa dan wujud batiniah (ruh, nafs, qalb, ‘aql)
2.      Jasad, fakultas jasmaniah dari indera-inderanya
II.                Pengetahuan
1.      Ilmu berian Allah
2.      Ilmu capaian
III.             Universitas
1.      Ilmu-ilmu agama (fardhu ‘ain)
2.      Ilmu-ilmu rasional, intelektual, dan filosofis (fardhu kifayah)
Jika ditumpangtindihkan skema pengetahuan dengan skema manusia,
tampak jelas bahwa pengetahuan berian Allah mengacu pada fakultas dan indera
ruhaniah manusia, sementara ilmu capaian mengacu pada fakultas dan indera
jasmaniahnya. Intelek (‘aql)nya adalah mata rantai penghubung antara yang
jasmaniah dan rahaniah, karena ‘aql pada hakekatnya adalah substansi ruhaniah
yang menjadikan manusia bisa memahami hakikat dan kebenaran ruhaniah.
Demikian pula jika ditumpangtindihkan skema manusia – yang mencerminkan
universitas – dengan skema ilmu dan manusia, tampak jelas bahwa ilmu-ilmu
agama memiliki pengetahuan fardhu ‘ain pada jantung universitas yang,
sebagaimana jiwa manusia, merupakan pusat universitas yang permanen dan
abadi, dan mewujudkan pengungkapan dan sistematisasi tertinggi dari segala yang
wajib atas tiap muslim. Apa yang secara umum di masa kini telah dipahami
sebagai konsep fardhu ‘ain adalah bentuk terbatas yang tersusun dari sebuah
rumus statis yang diajarkan pada tahap kehidupan anak-anak dan dibatasi hanya
pada esensi-esensi pokoknya. Yang mesti dipahami mengenai konsep itu adalah
makna dan maksud aslinya, yaitu bahwa ilmu seperti itu bebas alirannya, dan
tidak tersekat, dan bertambah dalam hal ruang lingkup dan kandungannya,
sebagaimana seseorang bertambah dalam hal kedewasaan dan tanggung jawab
serta sesuai dengan kapasitas dan ptensi seseorang. Jadi, dalam sistem pendidikan
tiga tahap (rendah, menengah, tinggi) ilmu fardhu ‘ain diajarkan tidak hanya pada
tingkat primer (rendah) melain juga pada tingkat sekunder (menengah) pra-
universitas dan juga tingkat universitas. Ruang lingkup dan kandungan pada
tingkatan universitas harus lebih dahulu dirumuskan sebelum bisa diproyeksikan
ke dalam tahapan-tahapan yang lebih sedikit secara berurutan ke tingkat-tingkat
yang lebih rendah, mengingat tingkat universitas mencerminkan perumusan
sistematisasi yang paling lengkap dan paling tinggi, dan hanya jika hal itu bisa
dicapai barulah dia akan bisa menjadi model bagi yang berikut di bawahnya. Jika
tidak – yaitu kalau dimulai dengan usaha perumusan ruang lingkup dan
kandungannya dari tingkat-tingkat yang lebih rendah – ini tidak akan pernah
berhasil, mengingat tidak adanya model yang sempurna dan lengkap dari
keteraturan yang lebih tinggi agar bisa bertindak sebagai kriteria bagi perumusan
ruang lingkup dan kandungannya. Pengertian inti yang mencerminkan fardhu ‘ain
– yang terpadukan dan tersusun sebagai sesuatu kesatuan harmonis pada tingkat
universitas sebagai struktur model bagi tingkat-tingkat yang lebih rendah, dan
yang mesti dicerminkan dalam bentuk yang lebih mudah secara berurutan pada
pra-universitas, tingkat-tingkat sekunder dan primer dari sistem pendidikan di
seluruh dunia muslim – harus mencerminkan tidak hanya pemahaman Sunni
tentangnya, tapi juga menyangkut penafsiran Syi’i. Pembagian dua jenis ilmu
tersebut bisa secara ringkas diikhtisarikan sebagai berikut:
I.          Ilmu Agama
1.    Al-Qur’an: pembacaan dan penafsirannya (tafsir dan ta’wil)
2.    As-Sunnah: kehidupan Nabi, sejarah dan pesan-pesan para rasul sebelumnya,
hadits dan riwayat-riwayat otoritatifnya.
3.    Asy-Syari’ah: undang-undang dan hukum, prinsip-prinsip dan praktek-praktek
islam (Islam, Iman, Ihsan)
4.    Teologi: Tuahan, EsensiNya, sifat-sifat dan nama-namaNya serta tindakan-
tindakanNya (Tauhid).
5.    Metafisika Islam (Tashawwuf), psikologi, kosmologi dan ontologi; unsur-unsur
yang sah dalam filsafat Islam (termasuk doktrin-doktrin kosmologi yang benar,
berkenaan dengan tingkatan-tingkatan wujud)
6.    Ilmu-ilmu lingustik: bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi dan kesusastraannya.
II.       Ilmu-ilmu rasional, intelektual, dan filosofis   
1.      Ilmu-ilmu kemanusian
2.      Ilmu-ilmu alam
3.      Ilmu-ilmu terapan
4.      Ilmu-ilmu teknologi
Sehubungan dengan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofi, setiap
cabang mesti diserapi dengan unsur-unsur dan konsep-konsep kunci Islam setelah
unsur-unsur dan konsep-konsep kunci asing dibersihkan dari semua cabangnya.
Proses ini meliputi Islamisasinya. Islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari
penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekular, dan dari makna-
makna serta ungkapan-ungkapan manusia-manusia sekular. Pembuangan unsur-
unsur asing dari semua cabang ilmu mengacu terutamapada pada ilmu-ilmu
kemanusian, meskipun mesti juga diperhatikan bahwa dalam ilmu-ilmu alam dan
terapan khususnya pun – ilmu-ilmu yang berhubungan dengan penafsiran-
penafsiran fakta-fakta dan perumusan-perumusan teori – proses pembuangan yang
sama juga harus dilakukan. Pada pengetahuan ini mesti ditambahkan disiplin-
disiplin baru yang berkaitan dengan;
1.      Perbandingan agama dari sudut pandang Islam
2.      Kebudayaan dan peradaban barat. Disiplin ini mesti dirancang sebagai sarana
bagi orang-orang muslim untuk memahami Islam sehubungan dengan agama-
agama, kebudayaan-kebudayaan dan peradaban-peradaban lain, khususnya
kebudayaan dan peradaban yang selama ini dan di masa yang akan datang akan
berbentrokan dengan Islam.
3.      Ilmu-ilmu linguistik: bahasa-bahasa Islam, tata bahasa, leksikografi dan literatur.
4.      Sejarah Islam: pemikiran kebudayaan dan peradaban Islam; perkembangan ilmu-
ilmu sejarah Islam; filsafat dan sains Islam; Islam sebagai sejarah dunia. (Dikutip
dari pemikiran Syed Al Attas).
Sudah sangatlah jelas paparan tersebut diatas bahwa sistem pendidikan
Islam harus dikembalikan kepada sistem ajaran Islam, yaitu berdasarkan pada Al
Qur’an dan As Sunah serta ijtihat pada ulama. Bahwa pendidikan Islam haruslah
diawali dari pendidikan ilmu agama, baru kemudian dikembangkan dalam
pendidikan ilmu dunia. Pemisahan ini bukanlah dikotomi ilmu, tetapi bagaimana
setiap muslim dibekali ilmu agama dalam memandang segala ilmu dunia.
Dan dalam penyampainya harus melalui proses atau tahapan baik secara
materi maupun perkembang kapasista penerima (siswa). Hal ini untuk
mempermudah penerima untuk memahami Islam dan biar lebih sistematis, dari
jenjang rendah, menengah,dan tinggi. Dengan tahapan ini maka umat islam akan
siap menghadpi perkembangan global, paling tidak, tidak akan terpengaruh oleh
perkembangan global tersebut, sehingga dapat menciptakan manusia yang baik
dan mandiri, yang tidak bergantung pada orang lain melainkan hanya kepada
Allahlah, ia akan berserah diri untuk mencapai kebahagian akhirat dan mencapai
kebahagian dunia.
Ketika konsep pendidikan Islam mampu menciptakan manusia yang baik
maka manusia itu akan menjadi warga negara yang baik pula. Saat warganya baik,
maka akan tercipta pemerintahan yang baik pula. Dan ketika sudah tercipta
kebaikan dalam sebuah negara maka biaya pendidikan akan dapat dipikirkan
dengan baik sehingga pendidikan bukan lagi menjadi barang mewah.
B.       Tanggung Jawab Pembiayaan Pendidikan Islam
Dalam pandangan Islam seluruh pembiayaan pendidikan Islam, baik
menyangkut gaji para guru/dosen maupun infrastruktur serta sarana dan prasarana
pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam
pendidikan disediakan secara gratis oleh negara. Sebab, negara berkewajiban
menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat: pendidikan, kesehatan, dan
keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu (sandang, pangan, dan
papan) yang dijamin secara tak langsung oleh negara, pendidikan, kesehatan dan
keamanan dijamin secara langsung oleh negara. Maksudnya, tiga kebutuhan ini
diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Abdurahman al-
Maliki, 1963).
Imam bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas
gembalaannya itu. (HR Muslim).
Ijmak Sahabat juga telah terwujud dalam hal wajibnya negara menjamin
pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada
para guru, muazin, dan imam shalat jamaah. Khalifah Umar memberikan gaji
tersebut dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah,
kharaj (pajak tanah), danusyur (pungutan atas harta non-Muslim yang melintasi
tapal batas negara).
Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang
menyediakan  pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah
membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan
berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi
itu dilengkapi dengan “iwan” (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan
dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman
rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan.
Namun, perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung
jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya, khususnya mereka yang
kaya, untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan,
sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas.
Hampir di setiap kota besar seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-
lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf.
Walhasil, dengan Islam rakyat akan memperoleh pendidikan formal yang
gratis dari negara. Adapun melalui inisiatif wakaf dari anggota masyarakat yang
kaya, rakyat akan memperoleh pendidikan non-formal yang juga gratis atau murah
bagi rakyat.
Dalam paparan tersebut diatas maka dapat diindikasikan bahwa biaya
pendidikan dalam Islam tidak hanya menjadi tanggung jawab penuh pemerintah,
tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat, terutama masyarakat yang berada
pada tingkatan ekonomi sosial menengah ke atas. Sudah menjadi keharusan
masyarakat muslim dan pemerintah untuk bekerja sama menciptakan pendidikan
Islam yang murah sehingga pendidikan Islam dapat dinikmati oleh semua
kalangan tanpa adanya diskriminasi dalam pendidikan. Ketika pendidikan Islam
dapat dijangkau oleh semua kalanagan maka akan memudahkan menciptakan
generasi yang dapat diandalkan sehingga tidak perlu tergantung lagi pada
perusahaan swasta (kapitalisme global).
BAB III
PENUTUP
“Maka Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang
yang diberi ilmu beberapa derajat,” (Q.S. Al Mujadalah: 11)
Pendidikan islam adalah pendidikan Rabbaniyah, karena tujuan
pendidikan Islam tidak menyimpang dari esensial utama dari ajaran agama Islam,
yaitu menciptakan manusai yang yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Islam
adalah agama rahmatanlil’alamin akan mengajarkan manusia menjadi manusia
yang sempurna (insan kamil). Yang akan beriman dan bertakwa ketika bertambah
ilmu serta akan tetap menjaga amanah sebagai khalifah di bumi.
Masalah yang dihadapi pendidikan Islam saat ini adalah tantangan global
dalam paham kapitalisme dimana segala aspek dikuasi oleh kapitalisme barat,
termasuk dunia pendidikan. Sehingga umat islam harus bisa bangkit dari tidur
lamanya dalam perkembangan ilmu pengetahuan untuk mengatasi permasalahan
ini.
Pendidikan Islam memerlukan konsep pendidikan yang baru dan menarik
untuk dapat keluar dari cengkraman kapitalisme global, yaitu dengan melihat
kembali sejarah pendidikan islam di masa kejayaannya, di abad pertengahan
masehi. Islam harus mengembalikan integrasi ilmu, yaitu menyatukan ilmu agama
dengan dan Ilmu dunia. Maka dengan ini pendidikan islam akan mampu
menciptakan manusia yang sempurna,  insan kamil.  Manusia yang bertakwa
kepada Allah. Selain itu juga akan menciptakan manusia yang mandiri, yang akan
mampu memciptakan negara dan masyarakatnya peduli akan pendidikan Islam.
sehingga masalah pembiayaan dalam pendidikan dapat terselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an
Al Hadits
Al Attas, Syed Muhammad Al Naquid. 1996. Konsep Pendidikan Dalam Islam. Bandung:
Mizan.
Al-Maliki, Abdurrahman. 1963. As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah Al-Mutsla.(Hizbut
Tahrir: t.p.),.
Farhan, Ishak Ahmad. 2002. Menyiasati Perang Peradaban. Jakarta: Harakah.
Prof. H. M. Arifin, M.Ed. 1991. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta:
Bumi Aksara.
Prof. H. M. Arifin, M.Ed. 1993. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Swannell, Julia. 1987. The Little Oxford dictionary sixth Edition. Great Britain: The
Chaucer Press.
Wahono, Francis.2001. Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetisi dan Keadilan.
Yogyakarta: INSIST PRESS, Dindelaras, dan Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai