Anda di halaman 1dari 19

HALAMAN JUDU L

TUGAS KELOMPOK 1

MAKALAH
Jual Beli, Hutang Piutang dan Riba
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas

Mata Kuliah : Fiqih

Dosen : Norwili, M.H.I

Disusun oleh:

Mahliana
NIM: 1701140494

Emeilia Afitri
NIM: 1701140503

PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
2018

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Segala puji bagi Allah SWT. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
serta telah menurunkan Al-Qur’an untuk menjadi pedoman hidup manusia.
Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, kepada
keluarga, sahabat dan pengikutnya. Alhamdulillahirobbil’alamiin atas karunia
Allah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Jual beli, hutang
piutang dan riba.

Tujuan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqihdan
untuk menambah pengetahuan agar pembaca lebih mengetahui dan memahami
tentang jual beli, hutang piutang dan riba.

Kami menyadari bahwa sepenuhnya masih ada kekurangan dalam


penulisan makalah ini sehingga makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Semoga Allah SWT. Selalu memberikan rahmat dan ridho-Nya kepada
kita semua. Amin.

Palangkaraya, Maret 2018

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2

C. Tujuan................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

A. Jual Beli ................................................................................................ 3

B. Hutang Piutang (al-qardh) .................................................................... 3

C. Riba ...................................................................................................... 9

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 15

A. Simpulan............................................................................................. 15

B. Saran ................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 16

iii
BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial, yakni tidak dapat hidup sendiri dan
selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi segala kebutuhan
hidupnya. Terutama dalam hal muamalah, seperti jual beli, pinjam
meminjam, sewa menyewa hingga urusan utang piutang maupun usaha-
usaha yang lain, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan
umum.Namun sering kali dalam kehidupan sehari-hari banyak kita temui
kecurangan-kecurangan dalam urusan muamalah ini, seperti riba yang
sangat meresahkan dan merugikan masyarakat.Untuk menjawab segala
problema tersebut, agama memberikan peraturan dan pengajaran yang
sebaik-baiknya kepada kita yang telah diatur sedemikian rupa dan termaktub
dalam Al-Qur’an dan hadits, dan tentunya untuk kita pelajari dengan sebaik-
baiknya pula agar hubungan antar manusia berjalan dengan lancar dan
teratur.

Jual beli adalah kegiatan tukar menukar barang dengan cara tertentu
yang setiap hari pasti dilakukan namun kadang kala kita tidak mengetahui
apakah caranya sudah memenuhi syara’ ataukah belum. Begitu pula dengan
utang piutang yang sering kali tidak dapat kita hindari karena sangat kental
dengan kehidupan manusia. Kita perlu mengetahui bagaimana cara utang
piutang menurut syariat. Kegiatan jual beli dan utang piutang ini juga sering
dikait-kaitkan dengan yang namanya riba. Riba menurut syariat hukumnya
adalah haram karena tidak menunbuhkan manfaat tetapi menimbulkan
madharat.

Oleh karena itu, dalam makalah ini, sengaja kami bahas mengenai jual
beli, utang piutang dan riba karena ketiganya sangat kental dengan
kehidupan masyarakat. Disini pula akan banyak dibahas mulai dari tata cara
jual beli dan utang piutang yang benar sampai hal-hal yang diharamkan atau

1
2

dilarang. Begitu pula dengan riba juga akan dibahas mulai dari
hukumnya,sampai macam-macam bentuk riba, untuk mempermudah
praktek muamalah kita dalam kehidupan sehari-hari dan supaya kita tidak
mudah untuk terjerat dalam lingkaran riba yang sangat meresahkan dan
merugikan masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan tentang jual beli?
2. Bagaimana penjelasan tentang hutang piutang?
3. Bagaimana penjelasan tentang riba?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang jual beli.
2. Untuk mengetahui tentang hutang piutang.
3. Untuk mengetahui tentang riba.
BAB II PEMBAHASAN

PEMBAHASAN
A. Jual Beli

B. Hutang Piutang (al-qardh)


1. Pengertian Al-Qardh
Qardh secara etimologi merupakan bentuk masdar dari qaradha
asy-syai’- yaqridhuhu, yang berarti dia memutuskanya.
Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan
qaradhtu asy-syai’a bil-miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting.
Al-Qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.
Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada
orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya
dikemudian hari. Menurut Firdaus, qardh adalah pemberian harta
kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam
literatur fikih, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwu’i atau akad
saling membantu dan bukan transaksi komersil.
Menurut ulama Hanafiyah:

َ ‫ار ٍة أ ُ ْخ َرى ُه َو‬


ٌ ‫ع ْقد‬ َ ‫أ َ ْو ِب ِع َب‬، ُ‫ضاه‬
َ ‫ض ُه َو َما ت ُ ْع ِط ْي ِه ِم ْن َما ٍل ِم ِثلي ٍ ِلتَتَقَا‬
ُ ‫القَ ْر‬
ُ‫علَى دَ ْف ِع َما ٍل ِمثْ ِلي ٍ ِِلخ ََر ِل َي ُردَّ ِمثْلَه‬
َ ُّ‫وص َي ُرد‬
ٌ ‫ص‬ُ ‫ُم ُخ‬
Artinya:

“Qaradh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang
memiliki perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan.
Atau dengan ungkapan yang lain, qaradh adalah suatu perjanjian yang
khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsil) kepada orang lain untuk
kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.”

Sayyid Sabiq memberikan definisi qardh sebagai berikut:

3
4

ُ ‫ض ِل ْل ُم ْقت َِر‬
َ ‫ض ِليَ ُردَّ ِمثْلَهُ ِإلَ ْي ِه ِع ْندَ قُد َْرتِ ِه‬
‫علَ ْي ِه‬ ُ ‫ِي يُ ْع ِط ْي ِه ْال ُم ْق ِر‬
ْ ‫ض ُه َو ْال َما ُل الَّذ‬
ُ ‫ْالقَ ْر‬
Artinya:

“Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid)


kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan
kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu
membayarnya.”

Hanabilah sebagaimana dikutip oleh ali fikri memberikan definisi


qardh sebagai berikut:

ُ ‫ا َ ْلقَ ْر‬
‫ض دَ ْف ُع َما ٍل ِل َم ْن َي ْنت َ ِف ُع بِ ِه َو َي ُردُّ َبدَلَه‬

Artinya:

“Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkan


nya dan kemudian mengembalikan penggantinya.”

Adapun pendapat Syafi’iyah adalah sebagai berikut:

‫ش ْي ِء ْال ُم ْق َرض‬ ْ ‫ضي‬


ً ‫ُطلَ ُق ش َْر‬
َّ ‫عا ِب َم ْعنَى ال‬ ُ ‫ ا َ ْلقَ ْر‬: ‫شا فِ ِعيَّةُ قَالُ ْوا‬
َّ ‫اَل‬.

Artinya:

“Syafi’iyah berpendapat bahwa qaradh dalam istilah syara’ diartikan


dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu
saat harus dikembalikan).”

2. Landasan Hukum Al-Qardh


Dasar disyari’atkannya qardh (hutang piutang) adalah al-qur’an, hadits,
dan ijma’:
a. Dasar dari al-Qur’an adalah firman allah swt:

ْ َ ‫ضا ِعقَهُ لَهُ أ‬


ً ‫ض َعافًا َك ِثي َْرة‬ َ ُ‫سنًا فَي‬ ُ ‫َم ْن ذَا الَّذِي يُ ْق َر‬
ً ‫ض هللاَ قَ ْر‬
َ ‫ضا َح‬
Artinya:

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah pinjaman


yang baik (menafkahkan harta di jalan allah), maka allah akan
5

melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang


banyak.” (Q.S Al-Baqarah :245)

Sisi pendalilan dari ayat diatas adalah bahwa Allah swt


menyerupakan amal salih dan memberi infaq fi sabilillah dengan
harta yang dipinjamkan. Dan menyerupakan pembalasannya yang
berlipat ganda dengan pembayaran hutang. Amal kebaikan
disebut pinjaman (hutang) karena orang yang berbuat baik
melakukannya untuk mendapatkan gantinya sehingga menyerupai
orang yang menghutangkan sesuatu agar mendapat gantinya.

b. Dasar dari as-sunnah :

ِ ‫ َم‬: ‫سلَ َم قَا َل‬


‫ام ْن ُم ْس ِل ٍم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَى هللا‬ َ ‫ي‬ ًّ ‫ع ِن اب ِْن َم ْسعُ ْو ٍد ا َ َّن النَّ ِب‬
َ
َ ‫ضا َم َّرتَي ِْن ا ََِّّل َكانَ َك‬
ً ‫ص َد قَ ٍة َم َّرة‬ ً ‫ض ُم ْس ِل ًما قَ ْر‬ ُ ‫يُ ْق ِر‬
Artinya:
“Dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “tidak ada
seorang muslim yang menukarkan kepada seorang muslim qarad
dua kali, maka seperti sedekah sekali.” (HR. Ibn Majah dan Ibn
Hibban)
c. Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa qarad dibolehkan dalam islam.
Hukum qarad adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan
mubah bagi muqtarid.
3. Hukum Al-Qardh
Hukum qardh (hutang piutang) mengikuti hukum taklifi: terkadang
boleh, terkadang makruh, terkadang wajib, dan terkadang haram.
Semua itu sesuai dengan cara mempraktekannya karena hukum
wasilah itu mengikuti hukum tujuan.
 Jika orang yang berhutang adalah orang yang mempunyai
kebutuhan sangat mendesak, sedangkan orang yang dihutangi
orang kaya, maka orang yang kaya itu wajib memberinya hutang.
6

 Jika pemberi hutang mengetahui bahwa penghutang akan


menggunakan uangnya untuk berbuat maksiat atau perbuatan
yang makruh, maka hukum memberi hutang juga haram atau
makruh sesuai dengan kondisinya.
 Jika seorang yang berhutang bukan karena adanya kebutuhan
yang mendesak, tetapi untuk menambah modal perdagangannya
karena berambisi mendapat keuntungan yang besar, maka hukum
memberi hutang kepadanya adalah mubah.
 Seseorang boleh berhutang jika dirinya yakin dapat membayar,
seperti jika ia mempunyai harta yang dapat diharapkan dan
mempunyai niat menggunakannya untuk membayar hutangnya.
Jika hal ini tidak ada pada diri penghutang. Maka ia tidak boleh
berhutang.
 Seseorang wajib berhutang jika dalam kondisi terpaksa dalam
rangka menghindarkan diri dari bahaya, seperti untuk membeli
makanan agar dirinya tertolong dari kelaparan.
4. Rukun dan Syarat Al-Qardh
Rukun qardh (hutang piutang) ada tiga, yaitu shighah, ‘aqidain (dua
pihak yang melakukan transaksi), dan harta yang dihutangkan.
Penjelasan rukun-rukun tersebut beserta syarat-syaratnya adalah
sebagai berikut.
a. Shighah
Yang dimaksud shighah adalah ijab dan qabul. Tidak ada
perbedaan dikalangan fuqaha’ bahwa ijab itu sah dengan lafal
hutang dan dengan semua lafaz yang menunjukkan maknanya,
seperti kata,”aku memberimu hutang” atau “aku menghutangimu”.
Demikian pula qabul sah dengan semua lafal yang menunjukkan
kerelaan , seperti “aku berhutang” atau “aku menerima” atau “aku
ridha” dan lain sebagainya.
7

b. Aqidain
Yang dimaksud dengan ‘aqidain (dua pihak yang melakukan
transaksi) adalah pemberi hutang dan penghutang. Keduanya
mempunyai beberapa syarat berikut.
1) Syarat-syarat bagi pemberi hutang
Fuqaha’ sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang adalah
termasuk ahli tabarru’ (orang yang boleh memberikan derma),
yakni merdeka, baligh, berakal shat, dan pandai (rasyid, dapat
membedakan yang baik dan yang buruk). Mereka
berargumentasi bahwa hutang piutang adalah transaksi irfaq
(memberi manfaat). Oleh karenanya tidak sah kecuali
dilakukan oleh orang yang sah amal kebaikannya, seperti
shadaqah.
2) Syarat bagi penghutang
Syafi’iyah mensyaratkan penghutang termasuk kategori
orang yang mempunyai ahliyah al-mu’amalah (kelayakan
melakukan transaksi) bukan ahliyah at-tabarru’ (kelayakan
memberi derma). Adapun kalangan ahnaf mensyaratkan
penghutangkan mempunyai ahliyah at-tasharrufat (kelayakan
memberikan harta) secara lisan, yakni merdeka, baligh, dan
berakal sehat.
Hanabilah mensyaratkan penghutang mampu menanggung
karena hutang tidak ada kecuali dalam tanggungan. Misalnya,
tidak sah member hutangi kepada masjid, sekolah, atau ribath
(berjaga diperbatasan dengan musuh) karena semua ini tidak
mempunyai potensi menanggung.
c. Harta yang dihutangkan
Rukun yang ketiga ini mempunyai beberapa syarat berikut.
1) Harta yang dihutangkan berupa harta yang ada padanannya,
maksudnya harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama
tidak banyak berbeda yang megakibatkan perbedaan nilai,
8

seperti uang, barang-barang yang dapat di takar, ditimbang,


ditahan, dan dihitung.
Tidak boleh menghutangkan harta yang nilainya satu sama
lain dalam satu jenis berbeda-beda. Yang perbedaan itu
mempengaruhi harga, seperti hewan, pekarangan dan lain
sebagainya. Hal ini karena tidak ada cara untuk
mengembalikan barang dan tidak ada cara mengembalikan
harga sehingga dapat menyebabkan perselisihan karena
perbedaan harga dan taksiran nilainya. Demikian ini pendapat
kalangan hanafiyah.
Malikiyyah dan Syafi’iyyah, menurut pendapat yang paling
benar di kalangan mereka, menyatakan bahwa boleh
menghutangkan harta yang ada padanya. Bahkan, semua
barang yang boleh ditransaksikan dengan cara salam, baik
berupa hewan maupun lainnya, yakni semua yang boleh
diperjual belikan dan dapat dijelaskan sifat-sifatnya meskipun
harta itu berupa sesuatu yang berubah-ubah harganya.
Mereka berargumentasi bahwa nabi Muhammad saw pernah
berhutang unta muda sehingga masalah ini dikiaskan
dengannya.
Tidak boleh menghutangkan sesuatu yang tidak boleh
diperjualbelikan dengan cara salam, yakni sesuatu yang tidak
dapat dijelaskan dengan sifat, seperti permata dan lain
sebagainya. Hanya saja, Syafi’iyyah mengecualikan sesuatu
yang tidak boleh dijual dengan salam, yakni hutang roti
dengan timbangan karena adanya kebutuhan dan toleransi.
Hanabilah berpendapat bahwa boleh menghutangkan
semua benda yang boleh dijual, baik yang ada padanannya
maupun yang berubah-ubah harganya, baik yang dapat
djelaskan dengan sifat maupun tidak.
9

2) Harta yang dihutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah


menghutangkan manfaat (jasa). Ini merupakan pendapat
kalangan Mazhab Hanafiyyah dan Hanabilah. Berbeda
dengan kalangan syafi’iyyah dan malikiyyah, mereka tidak
mensyaratkan harta yang dihutangkan berupa benda sehingga
boleh saja menghutangkan manfaat (jasa) yang dapat
dijelaskan dengan sifat. Hal ini karena bagi mereka semua
yang boleh diperjualbelikan dengan cara salam boleh
dihutangkan, sedangkan bagi mereka salam boleh pada
manfaat (jasa). Seperti halnya benda padaa umumnya.
Pendapat yang dipilih oleh ibnu taimiyyah dan ahli ilmu
lainnya adalah bolehnya menghutangkan manfaat (jasa).
3) Harta yang dihutangkan diketahui. Syarat ini tidak
dipertentangkan oleh fuqaha’ karena dengan demikian
penghutang dapat membayar hutangnya dengan harta
semisalnya (yang sama).
Syarat ketiga ini mencakup dua hal, yaitu 1) diketahui
kadarnya dan 2) diketahui sifatnya. Demikian ini agar mudah
membayarnya. Jika hutang piutang tidak mempunyai syarat
ketiga ini, maka tidak sah.

C. Riba
1. Pengertian Riba
Riba menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu:
a. Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta
tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
b. Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah
membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan
kepada orang lain.
c. Berlebihan atau menggelembung
10

Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut


Imam Maliki ialah: “Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu
yang tidak diketahui pertimbangannya menurut ukuran syara’, ketika
berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak salah
satu keduanya”.

Menurut Muhammad Abduh, yang dimaksud dengan riba ialah


penambahan-penambahan diisyaratkan oleh orang yang memiliki
harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena
pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah
ditentukan.

Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, yang dimaksud dengan riba


ialah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui
sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya.

Sedangkan menurut terminologi syara’, riba berarti: “Akad


untuk satu ganti khusus tanpa diketahui perbandingannya dalam
penilaian syariat ketika berakad atau bersama dengan mengakhirkan
kedua ganti atau salah satunya.”

Dengan demikian, riba menurut istilah ahli fiqih adalah


penambahan pada salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa ada
ganti dari tambahan ini. Tidak semua tambahan dianggap riba, karena
tambahan terkadang dihasilkan dalam sebuah perdagangan dan tidak
ada riba didalamnya hanya saja tambahan yang diistilahkan dengan
nama “riba” dan Al-Quran datang menerangkan pengharamannya
adalah tambahan tempo.

2. Macam-macam Riba
Riba bisa diklasifikasikan menjadi : Riba Al-Fadl, riba Al-yadd, riba
Qardhi dan riba An-nasi’ah. Berikut penjelasan lengkap macam-
macamnya:
a. Riba Al-Fadhl
11

Riba Al-Fadhl adalah kelebihan yang terdapat dalam tukar


menukar antara tukar menukar benda-benda sejenis dengan tidak
sama ukurannya, seperti satu gram emas dengan seperempat
gram emas,maupun perak dengan perak.
Hal ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad saw. sebagai
berikut:

َّ ‫ضةُ بِ ْال ِف‬


‫ض ِة َو ْزنًا‬ َّ ‫ب َو ْزنًا بِ َو ْز ٍن ِمثْ ًًل بِ ِمثْ ٍل َو ْال ِف‬
ِ ‫َب بِالذَّ َه‬
ُ ‫الذَّه‬
‫ِب َو ْز ٍن ِمثْ ًًل ِب ِمثْ ٍل فَ َم ْن زَ ا َد أ َ ْو ا ْست َزَ ا َد فَ ُه َو ِربًا‬
“Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan
perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah
atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba”.
(HR Muslim dari Abu Hurairah).

b. Riba Al-Yadd
Riba Al-Yadd, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual
beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya,
seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual
langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum
ditimbang apakah cukup atau tidak.

‫ب ِربًا إِ ََّّل هَا َء َوهَا َء َو ْالب ُُّر بِ ْالب ُِر ِربًا ِإ ََّّل هَا َء َوهَا َء‬
ِ ‫َب بِالذَّ َه‬ ُ ‫الذَّه‬
‫ير ِربًا إِ ََّّل هَا َء‬ َّ ‫ير بِال‬
ِ ‫ش ِع‬ ُ ‫ش ِع‬ َّ ‫َوالت َّ ْم ُر بِالت َّ ْم ِر ِربًا إِ ََّّل هَا َء َوهَا َء َوال‬
‫َوهَا َء‬
“Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan,
gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan;
kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan;
kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan
(HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khathab)
12

c. Riba An-Nasi’ah
Riba Nasi’ah, adalah tambahan yang disyaratkan oleh orang
yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas
penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A
meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian
waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A
belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A
menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau
menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B menawarkan
kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta
ditunda dengan memberikan tambahan.
Mengenai hal ini Rasulullah Saw. menegaskan bahwa:

َ ‫سلَّ َم نَهى‬
‫ع ْن بَي ِْع‬ َ ُ‫صلَّىاهلل‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ٍ ‫س َم َرةِ ب ِْن ُج ْن ُد‬
َّ ‫ب ا َ َّن النَّ ِب‬
َ ‫ي‬ َ ‫ع ْن‬
َ
ِ ‫ان ِب ْال َحيَ َو‬
ً‫ان نَ ِس ْيئَة‬ ِ ‫الَ َحيَ َو‬
“Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw.
Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan
bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh
Turmudzi dan Ibnu Jarud)”

d. Riba Qardhi
Riba Qardhi adalah riba yang terjadi karena adanya proses utang
piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan
(bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang.
Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp.
1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp.
1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu rupiah).
Terhadap bentuk transaksi seperti ini dapat dikategorikan
menjadi riba, seperti sabda Rasulullah Saw.:

‫ض َج َّر َم ْن َفعَةً فَ ُه َو ِربًا‬


ٍ ‫ُك ُّل قَ ْر‬
13

“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.”


(Riwayat Baihaqi)
3. Dasar-dasar Hukum Riba
Al-Quran menyinggung keharaman riba secara kronologis diberbagai
tempat.
 Pada periode Mekkah turun firman Allah swt. Dalm surat Ar-
Ruum ayat 39 yang artinya:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang
berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)”.
 Pada periode Madinah turun ayat yang seccara jelas dan tegas
tentang keharaman riba, terdapat dalam surat Ali-Imran ayat 130
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan”.

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim


secara jelas riba adalah perbuatan haram, termasuk salah satu dari
lima dosa besar yang membinasakan.

Dalam hadist lain keharaman riba bukan hanya kepada


pelakunya, tetapi semua pihak yang membantu terlaksananya
perbuatan riba sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Muslim:

ِ ‫سلَّ َم آ ِك َل‬
ُ‫الربا َ َو ُم ْو ِكلَهُ َو َكا ِت َبه‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ُ ‫لَ َعنَ َر‬
َ ‫ ُه ْم‬:‫ َو َقا َل‬,‫َوشَا ِه َد ْي ِه‬
‫س َواء‬
“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan
riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka
semua sama”. (HR Muslim).
14
BAB III PENUTUP

PENUTUP
A. Simpulan

B. Saran

15
DAFTAR PUSTAKA

Mas'adi Ghufron A. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT Rajagrafindo. 2002.

Syafei Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia. 2001.

Huda Qomarul. Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Teras. 2011.

16

Anda mungkin juga menyukai