Anda di halaman 1dari 14

“Telaah Kitab Tafsir Ibnu Abbas Al Musamma Shohifah Ali bin Abi Talhah”

(Kitab Tafsir Ibnu Abbas dengan Periwayatan Paling Sahih)

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Kitab Tafsir

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag.

Disusun oleh:

Ahmad Nadlif (23205031016)

PROGRAM MAGISTER (S2) ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGJAKARTA

2023

1
A. Pendahuluan

Al-Qur’an merupakan kalam Tuhan yang absolut, tidak ada keraguan apapun
terhadap substansi di dalamnya. Namun karena sifat ayatnya masih universal, ia
terkadang memerlukan penafsiran-penafsiran supaya teksnya bisa dipahami oleh
khalayak. Dahulu, Nabi Muhammad SAW setiap menerima ayat al-Qur’an melalui
malaikat Jibril, beliau kemudian langsung menyampaikannya kepada para sahabat
dan menafsirkan ayat-ayat yang perlu diberi penjelasan. Penafsiran Nabi
Muhammad SAW terhadap ayat al-Qur’an adakalanya menggunakan ayat al-
Qur’an yang lain dan adakalanya menggunakan hadits.1 Dengan demikian,
sebenarnya hal ini menandakan bahwa proses penafsiran al-Qur’an telah dimulai
sejak zaman Nabi Muhammad SAW, dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ut
tabi’in kemudian dilanjutkan lagi oleh para ulama atau cendekiawan Muslim dari
masa ke masa hingga sekarang ini.2
Mengenai tafsir bil ma’tsur di kalangan sahabat, para ulama tampaknya
memiliki perspektif yang beragam. Misalnya Al Hakim (w. 405 H), beliau
berpandangan bahwa, mengutip dari Al Bukhari dan Muslim, tafsir sahabat yang
turut menyaksikan proses turunnya wahyu disebut hadits musnad.3 Kemudian Az
Zarkasyi (w. 794 H), senada dengan pendapat Al Hakim, beliau menjelaskan bahwa
tafsir sahabat kedudukannya sama dengan hadits marfu’ yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW.4 Namun menurut Ibnu Ash-Sholah (w. 647 H), mengenai
pendapat bahwa tafsir para sahabat merupakan hadits yang disandarkan, beliau
berpandangan bahwa hal ini hanya mencakup pada tafsir yang berhubungan dengan
sebab-sebab diturunkannya ayat, atau sesuatu yang tidak dapat diijtihadkan oleh
akal. Sedangkan tafsir sahabat yang tidak dihubungkan dengan Nabi Muhammad
SAW maka dianggap sebagai hadits mauquf.
Mengenai penafsiran al-Qur’an di kalangan para sahabat, diantara sahabat
yang masyhur dalam menafsirkan al-Qur’an adalah keempat khulafa’urrasyidin,
Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari,

1
Permana, Asep Amar. “Tafsir bil Ma’tsur dalam Studi Naskah Al-Qur’an”, Jurnal Iman dan
Spiritualitas Volume 2, Nomor 3. (Agustus, 2022), h. 462
2
Manaf, Abdul. “Sejarah Perkembangan Tafsir”, TAFAKKUR Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Vol. 1, No.
02. (April, 2021), h. 148-149
3
Al Hakim, Al Mustadrak Ash Shohihain (Jilid. 2; India: Haidar Abad Ad-Dakan, 1341 H), h. 258
4
Az-Zarkasyi, Al Burhan fi Ulumil Qur’an (Juz 2; Kairo: Dar at-Turats, 1984) h. 157

2
Abdullah bin Zubair dan lainnya.5 Diantara beberapa sahabat tersebut, Ibnu Abbas
merupakan salah satu sahabat yang mendapatkan gelar Turjuman al-Qur’an, beliau
bahkan pernah didoakan oleh Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, “Ya Allah,
pahamkanlah Ibnu Abbas dalam urusan agama, dan ajarkanlah ia ilmu tafsir al-
Qur’an”.6
Sebab Ibnu Abbas merupakan ikon tokoh tafsir di eranya, serta ia merupakan
sahabat yang memiliki banyak sumbangsih dalam bidang tafsir. Tentu aktivitas
penafsiran yang telah dilakukan sangat menarik untuk dikaji. Makalah ini akan
mencoba menelaah tentang penafsiran yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas yang
telah ditulis dalam kitab Tafsir Ibnu Abbas Al Musamma Shohifah Ali bin Abi
Talhah. Dipilihnya kitab tersebut tentu bukan tanpa pertimbangan, hal ini didasari
sebab riwayat Ali bin Abi Talhah adalah riwayat yang paling kuat dibanding yang
lainnya. Terakhir, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Maka saran dan masukan sangat dibutuhkan demi
perkembangan dan kemajuan studi Al-Qur’an dan Tafsir.
A. Biografi Ibnu Abbas & Ali bin Abi Talhah
1. Ibnu Abbas
Ibnu Abbas lahir di Makkah pada tahun 619 M. Nama lengkap beliau
adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf al
Quraisyi al Hasyimi. Beliau merupakan putra dari paman Rasulullah yang
bernama Abbas bin Abdul Muthalib. Sementara itu, ibunya bernama Lubabah
al Kubra binti al Harits bin Hazan al Hilaliyah.7 Menurut riwayat al Bukhari,
Ibnu Abbas merupakan sahabat yang dididik langsung oleh Rasulullah, bahkan
kala itu Rasulullah juga memprediksi bahwa Ibnu Abbas akan menjadi
seseorang yang ahli dalam bidang ilmu tafsir al-Qur’an.8
Banyak sekali literatur yang memaparkan bahwa Ibnu Abbas memang
sangat ahli dalam urusan agama khususnya di bidang tafsir. Diantaranya seperti
yang dipaparkan oleh al Baihaqi dalam al-Dalail, bahwa sebaik-baik juru bicara
atau penerjemah al-Qur’an adalah Ibnu Abbas, kemudian juga pandangan dari
Ibnu Hanafiah yang mengatakan bahwa, “Ibnu Abbas adalah tinta umat ini”.

5
Ash-Shuyuthi, Al Itqon fi Ulumil Qur’an (Damaskus: Muassasah Risalah Nasyirun, 2008) h. 783
6
Ibid, h. 783
7
Mukhtar, Zainuddin. “Ibnu Abbas (Studi Biografi Generasi Awal Mufassir al-Aqur’an)”. Al I’jaz Vol. 1,
No. 1 (Juni, 2019) h. 97
8
Ibid, h. 97

3
Bahkan yang paling fenomenal, ada sebuah riwayat dari Hasan, bahwa dia
berkata, “Ibnu Abbas mengetahui tentang semua Al-Qur’an yang diturunkan.
Umar berkata, ‘Bagi kalian adalah pemuda itu. Dia memiliki lidah yang banyak
bertanya dan memiliki hati yang selalu berpikir.’”9 Dari beberapa literatur
tersebut tentu kita bisa memahami serta mengkontemplasikan bahwa Ibnu
Abbas bukan orang biasa yang tiba-tiba didoakan Rasulullah menjadi ahli tafsir,
namun ada sisi lain sehingga Rasulullah mendoakan Ibnu Abbas supaya
menjadi ahli tafsir.
Ibnu Abbas hidup di lingkungan yang mencintai Rasulullah, tentu saja,
hal ini tidak lain karena beliau merupakan sepupu dari Rasulullah itu sendiri.
Dalam perjalanan hidupnya, Ibnu Abbas banyak melakukan dialog dengan
Rasulullah sekalipun rentang usia beliau masih terbilang sangat muda. Saat usia
Ibnu Abbas sekitar 13-15 tahun, Rasulullah berpulang ke rahamatullah,
sehingga, bisa dikatakan bahwa putra dari Abbas bin Abdul Muthalib tersebut
masih sangat muda tatkala hidup semasa dengan kehidupan profetik
Rasulullah.10 Meskipun demikian, Ibnu Abbas masih tetap memberikan banyak
sumbangsih keilmuan bahkan dalam bidang hadits sekalipun. Beliau termasuk
dalam lima perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits, diantaranya; Abu
Hurairah (5.374), Abdullah bin Umar (2.630), Anas bin Malik (2.286),
Sayyidah Aisyah RA (2.210) dan Abdullah bin Abbas (1.660).11
Ibnu Abbas tidak hanya mengambil ilmu dari Rasulullah, namun lebih
dari itu, beliau juga berguru kepada beberapa sahabat yang lain untuk
melengkapi beberapa materi keilmuan yang belum didapatkan sebelumnya.
Karena semangatnya yang begitu tinggi untuk belajar, serta masyhur dengan
budi pekertinya yang luhur, Ibnu Abbas sering dipuji-puji oleh Para Sahabat,
antara lain oleh Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali dan Sayyidah Aisyah.12 Bahkan,
dikisahkan jika beberapa sahabat berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas, mereka
memilih untuk mengikuti Ibnu Abbas sebab kedalaman dan keluasan ilmu yang

9
Ash-Shuyuthi, Al-Itqon fi Ulum al-Qur’an. h. 783
10
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun (Juz 1; Kairo: Darul Hadits, 2005), h. 61
11
M. Subhi Sholih, Ulumul Hadits wa Mustholahuhu (Libanon: Matba’atul Ulum, 1974), h. 359-367
12
M. Izdiyan Muttaqin, “Abdullah bin Abbas dan Perannya dalam Penafsiran Al-Qur’an”, Misykat Vol.
4, No. 2(Desember, 2019), h. 67

4
dimiliki. Terlebih lagi, dalam fatwa dan pendapatnya, Ibnu Abbas juga
memperkuatnya dengan hadits Rasulullah SAW.13
Keberadaan Ibnu Abbas di Makkah telah memberikan konstelasi
pemikiran tafsir yang luar biasa. Terlebih lagi, beliau disebut-sebut sebagai
penggagas awal metode tafsir bil ma’tsur dan bil ra’yi di kalangan para sahabat.
IbnuAbbas meninggal pada tahun 68 H di Thoif. Jenazahnya disalatkan oleh
Muhammad bin al-Hanafiyah. Pada saat pemakaman jenazahnya, beliau
berkata: “Telah berpulang ulama umat ini untuk selama-lamanya”.14
2. Ali bin Abi Talhah
Ali bin Abi Talhah memiliki nama lengkap Ali bin Abi Talhah Al
Makhariq. Nama ayahnya adalah Salim bin Al Makhariq. Dia lebih sering
dipanggil Abu Al Hasan, namun ada yang mengatakan Abu Muhammad. Selain
itu, ada juga yang mengatakan Abu Talhah Maula Al Abbas Abu Al Hasan Al
Hasyimi Al Jazari.15 Dari segi nasab, beliau sampai kepada bani Hasyim, oleh
karenanya Ali bin Abi Talhah dikenal juga dengan nama Ali bin Abi Talhah Al
Hasyimi.
Para cendekiawan muslim tidak dapat memastikan secara tepat tanggal
kelahiran Ali bin Abi Talhah, hal ini tidak lain karena kelalaian para sejarawan
kala itu. Mereka hanya menyebutkan tanggal wafatnya saja, tanpa menyebutkan
kapan kelahirannya. Namun kalau diperkirakan, Ali bin Abi Talhah hidup
semasa dengan beberapa ulama yang lain seperti Sa’id bin Jubair (lahir 45 H,
wafat 95 H) dan Mujahid bin Jabar (lahir 21 H, wafat 103 H). Atau dari para
ulama yang meriwayatkan darinya, seperti Atha’ al Kharasani (lahir 50 H, wafat
135H) dan Al Hakim bin Utaibah (wafat 113 H).16
Masa ini membentang lama dan meliputi dua masa kekhalifahan, yakni
Umawiyah dan Abbasiyah. Sementara itu, Ali bin Abi Talhah lebih lama hidup
pada masa Umawiyah dan dua khalifah dari Abbasiyah, yaitu Abu Al Abbas
Abdullah (yang bergelar Abu Al Abbas as-Saffah) dan Abu Ja’far al-Manshur.
Mengenai tahun wafatnya, setidaknya ada dua pendapat yang menyebutkannya.

13
Ibid, h. 67
14
Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, terj. Khoirul Amru Harahap
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 115
15
Ibnu Abi Hatim, Al Jarh wa At-Ta’dil (Cet. I; India: Haidar Abad Ad-Dakan, 1952), h. 188
16
Ali bin Abi Talhah, Tafsir Ibnu Abbas al Musamma Shohifah Ali bin Abi Talhah (Libanon: Mu’assasah
Kitab ast-Tsaqafiyah, 1991), h. 11

5
Diantaranya, Al Mazzi, Adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan
kutipan dari Abu Bakar bin Isa (penulis Tarikh Hamsh), bahwa Ali bin Abi
Talhah wafat pada tahun 143 H, di Hamsh. Ada pula pendapat lain yang
mengatakan bahwa Ali bin Abi Talhah wafat pada tahun 120 H, yakni pendapat
Khalifah bin Khayyath. Namun Ibnu Hajar membantah pendapat ini dengan
mengatakan, “Pendapat pertamalah yang lebih shahih”. Dalil yang
membuktikan kebenarannya adalah yang diriwayatkan oleh Abu Zar’ah ad-
Dimasyqi, yakni berbagai peristiwa yan terjadi pada masanya menunjukkan
bahwa itu terjadi setelah tahun 132 H, sesudah kekuasaan bani Abbasiyah
menjadi kuat. Oleh karenanya, dapat dilegitimasikan bahwa pendapat pertama
lah yang lebih shahih.17
Sebagaimana jamak diketahui, Ali bin Abi Talhah terkenal sebagai
seorang mufassir sekalipun juga dikenal sebagai muhaddits. Lembaran-
lembaran tafsirnya sangat masyhur di kalangan ulama, sehingga Imam Ahmad
bin Hanbal (w. 241 H) menasehatkan kepada para pelajar agar bepergian ke
Mesir untuk mendapatkan lembaran tafsir yang sangat berharga tersebut.
Malahan beliau berkata, “Di Mesir terdapat lembaran tafsir yang diriwayatkan
oleh Ali bin Abi Talhah. Jika ada seseorang yang bepergian ke negeri itu,
banyak diantara mereka yang mencari kitab tafsir tersebut.”18
Selain itu, dahulu Ali bin Abi Talhah banyak mengambil ilmu dari para
tabi’in, di antaranya; Sa’id bin Jarir (w. 94 H), Mujahid bin Jabir (w. 103 H),
Al-Qasim bin Muhammad (w. 107 H), Abu Al-Waddak Jabar bin Nuf Al-
Hamdani, Rasyid bin Sa‟d Al-Hidani (w. 108 H), Ikrimah mawla Ibnu Abbas
(w. 105 H).19 Kemudian jika kita melihat pendapat para ulama ahli hadits, kita
akan paham bahwa Ali bin Abi Talhah memiliki catatan yang baik, meskipun
ada juga yang menganggapnya kurang baik sebab keyakinannya untuk melawan
pemimpin yang berperilaku zholim. Ulama meyakini bahwa Rasulullah Saw
lebih menekankan pentingnya bersabar ketika menghadapi pemimpin yang
zholim. Imam Abu Ja’far At-Thohawi juga menyatakan bahwa: “kami tidak
memandang perlunya memerangi pemimpin (waliyul amri), meskipun mereka

17
Ibid, h. 15-16
18
Ash-Shuyuthi, Al Itqon fi Ulumil Qur’an, h. 785
19
M. Izdiyan Muttaqin, “Abdullah bin Abbas dan Perannya dalam Penafsiran Al-Qur’an”, h. 72

6
berperilaku buruk”.20 Meskipun Ali bin Abi Tholhah memiliki pendapat dan
ijtihad yang dipandang kurang baik dalam hal ini, namun hal ini secara umum
tidak mengurangi kredibilitasnya sebagai seorang yang cukup dipercaya
termasuk dalam hal periwayatan hadits sekalipun.
B. Seputar Tafsir Ibnu Abbas Al Musamma Shohifah Ali bin Abi Talhah
Setidaknya ada dua kitab tafsir masyhur yang dinisbatkan kepada Ibnu
Abbas, di antara yang pertama adalah Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibni Abbas yang
ditulis oleh Abu Thahir Muhammad bin Ya’kub al Fairuz Abbadi asy-Syafi’i dan
yang kedua adalah Tafsir Ibnu Abbas al Musamma Shohifah Ali bin Abi Talhah
yang tentunya ditulis oleh Ali bin Abi Talhah. Namun di kalangan para ulama, kitab
Tanwir al Miqbas memiliki catatan yang kurang baik, bukan dari segi substansinya,
namun lebih kepada sanad para perawinya yang dinilai tidak shohih dan tidak dapat
dijadikan rujukan lantaran ke-dhoif-an perawinya.21
Berbanding terbalik dengan penilaian yang diberikan kepada kitab Tanwir
al Miqbas, kitab tafsir yang ditulis oleh Ali bin Abi Talhah justru mendapat
penilaian yang sangat baik, bahkan beberapa ulama memberikan pujian
terhadapnya. Muhammad Husain Adz-Dzahabi dalam al-Tafsir wal Mufassirun
mengatakan, “Jalur Muawiyah bin Shalih, dari Ali bin Abi Talhah, dari Ibnu Abbas,
merupakan jalur yang paling baik darinya”.22 Tidak hanya itu, Dr. Sayyid Ahmad
Khalil juga berkata, (tentang jalur-jalur yang ma’tsur dari Ibnu Abbas), “Jalur yang
terbaik darinya adalah jalur Ali bin Abi Talhah al-Hasyimi (w. 143 H), dan
riwayatnya dijadikan sandaran oleh al Bukhari dalam shahihnya”.23
1. Karakteristik Tafsir Ibnu Abbas Al Musamma Shohifah Ali bin Abi Talhah
Fitur yang dapat digunakan sebagai identifikasi dalam hal penafsiran
sekurang-kurangnya ada tiga komponen. Yakni metode, pendekatan dan corak.
Dalam konteks Tafsir Ibnu Abbas Al Musamma Shohifah Ali bin Abi Talhah,
bisa kita katakan bahwa penafsiran yang dilakukan oleh Ibnu Abbas
menggunakan metode ijmali, yakni dengan menguraikan isi kandungan ayat al-
Qur’an secara global (umum), namun sang mufassir diharapkan mampu
memberikan informasi makna-makna ayat dalam bingkai suasana qur’ani.24 Hal

20
Ibid, h. 73
21
Ali bin Abi Talhah, Tafsir Ibnu Abbas al Musamma Shohifah Ali bin Abi Talhah 54-55
22
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir Wal Mufassirun, jilid 2, h. 277-278
23
Ali bin Abi Talhah, Tafsir Ibnu Abbas al Musamma Shohifah Ali bin Abi Talhah, h. 48
24
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2019), h. 324

7
ini bisa kita ketahui misalnya saat menafsirkan QS. Al-Qari’ah (101): 1. Firman
Allah Ta’ala (‫“ )القارعة‬Hari Kiamat”. Dijelaskan oleh Ibnu Abbas bahwa kata
tersebut merupakan di antara nama Hari Kiamat yang diagungkan oleh Allah
SWT dan yang diperingatkan kepada hambanya.25
Kemudian dari segi pendekatan, tentu sudah jelas bahwa penafsiran ini
termasuk dalam karegori tafsir bil ma’tsur, sebab aktivitas penyingkapan makna
ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh Ali bin Abi Talhah berbasis pada riwayah.
Secara definitif, Tafsir bil ma’tsur merupakan serangkaian keterangan yang
terdapat dalam al-Qur’an, hadits Nabi serta perkataan para sahabat bahkan
tabi’in dalam memaknai ayat al-Qur’an.26 Sementara dalam hal ini, penafsiran
terhadap al-Qur’an selalu dinisbatkan pada Ibnu Abbas yang notabene sebagai
sahabat Rasulullah, maka dari itu, terlihat jelas bahwa pendekatan tafsirnya
adalah bil ma’tsur.
Terakhir, kalau kita mengalisisnya dari segi corak penafsiran, kita akan
menemukan kecenderungan penafsiran dalam kitab tafsir Ibnu Abbas al
Musamma Shohifah Ali bin Abi Talhah ini mengarah pada corak lughowi. Di
mana dalam prakteknya mencoba mengungkapkan kandungan-kandungan ayat
al-Qur’an menggunakan kaidah kebahasaan, dapat dikatakan pula bahwa tafsir
ini merupakan upaya menyingkap makna al-Qur’an melalui interpretasi
semantik atau semiotik yang meliputi etimologis, morfologis, leksikal,
gramatikal dan retorikal.27 Misalnya dalam tafsir surah at-Takaatsur, lebih
tepatnya pada QS. At-Takaatsur (102): 8. Ibnu Abbas memberikan argumentasi
bahwa kata (‫ )النعيم‬adalah “sehatnya badan, pendengaran dan penglihatan yang
akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah kepada seorang hamba dalam
hal apa saja dia mempergunakannya. Sedangkan Allah lebih mengetahui hal itu
daripada mereka sendiri”.28 Atau dalam QS al-Asr (103): 1. Dijelaskan bahwa
(‫ )العصر‬merupakan waktu dari sebagian waktu siang.29
2. Prinsip Penafsiran

25
Ali bin Abi Talhah, Tafsir Ibnu Abbas al Musamma Shohifah Ali bin Abi Talhah, h. 573
26
Junizar Suratman, “Pendekatan Penafsiran al-Qur’an yang Didasarkan pada Instrumen Riwayat,Nalar
dan Isyarat Batin,” dalam Intizar, Vol. 20, No 1, (2014), h. 46

27
Syafrijal, “Tafsir Lughawi”, Jurnal Al-Ta’lim Jilid 1, Nomor 5., (Juli, 2013), h.422.
28
Ali bin Abi Talhah, Tafsir Ibnu Abbas al Musamma Shohifah Ali bin Abi Talhah, h. 538
29
Ibid, h. 538

8
Sebenarnya tafsir yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Talhah dari Ibnu
Abbas RA ini pada prinsipnya bukan hanya tafsir yang menekankan pada
bahasa yang singkat. Namun sebagaimana yang dipahami oleh Dr. Abdullah
Khuraisyid, tafsir ini juga menjelaskan aspek kosa kata bahasa, disamping
menjelaskan aspek lainnya dalam tafsir, misalnya riwayat yang sampai pada
kita tentang hukum-hukum fikih yang disimpulkan oleh Ibnu Abbas dari al-
Qur’an. Riwayat-riwayat tersebut juga menyebutkan kepada kita tentang sebab-
sebab turunnya ayat, serta nasikh dan mansukh. Kemudian juga ada ijtihad Ibnu
Abbas sendiri dan pendapatnya yang secara global menunjukkan bahwa Ibnu
Abbas adalah seorang mufasir yang ideal, seperti yang tampak pada
kesempurnaan tafsirnya yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Talhah darinya.30
C. Nasikh Mansukh dan Sabab Nuzul dalam Tafsir Ibnu Abbas Al Musamma
Shohifah Ali bin Abi Talhah
1. Nasikh Mansukh
Nasikh mansukh menjadi salah satu prinsip kajian yang digunakan oleh
Ibnu Abbas dalam menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini terlihat saat
beliau menafsirkan QS. Al Baqarah (2): 221.
ۡ َٰ ‫َ َ َ ُ ْ ۡ ُ ۡ َ َٰ َ ى‬
..... َّۚ‫َّت يُؤم ىِن‬‫تح‬ِ ‫ۡشك‬ِ ‫وَل تنكِحوا ٱلم‬

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan


wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman”.

Ibnu Abbas kemudian memberikan penafsiran bahwa, “Kemudian


dikecualikan wanita ahli kitab”. Hal ini tertuang dalam QS. Al Maidah (5): 5.
َ ْ ‫ِني َغ‬
َ ‫ْي ُم َسافِح‬
‫ني‬ ِ ِ َ ‫وه ىن أُ ُج‬
َ ‫ور ُه ىن ُُمْصن‬ ُ ُ َُْ َ ْ ُ َْ ْ َ َ ْ ُ ُ َ ‫َ ُْ ْ َ َ ُ َ ى‬
‫والمحصنات مِن اَّلِين أوتوا الكِتاب مِن قبل ِكم إِذا آتيتم‬

ْ َ ‫َ ى‬
‫خذِي أخ َدان‬
ِ ‫َوَل ُمت‬

Artinya: “(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga


kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.”

30
Ibid, h. 33-34

9
Kasuistik seperti ini lah yang menunjukkan bahwa Ibnu Abbas juga
memberikan pemaknaan ayat al-Qur’an dengan perspektif nasikh-mansukh.31
2. Sabab Nuzul
Dalam Tafsir Ibnu Abbas Al Musamma Shohifah Ali bin Abi Talhah,
terdapat juga riwayat tentang sebab turunnya sebuah ayat al-Qur’an. Di
antaranya terdapat dalam QS. Al-Baqarah (2): 178.
َ ُ ۡ َ ۡ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ َ ُ ۡ ُّ ُ ۡ َ ۡ َ ۡ ُ َ ۡ ُ ُ ۡ َ َ َ ُ ْ ُ َ َ َ ‫ََٰٓ َ ُّ َ ى‬
َٰ‫نث‬ ‫يأيها ٱَّلِين ءامنوا كت ِب عليكم ٱلقِصاص ِِف ٱلقتَل ۖٱۡلر بِٱۡل ِر وٱلعبد بِٱلعب ِد وٱۡل‬
ُۡ
َٰ َ ‫بِٱۡل‬
.... ٰۚ ‫نث‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisash


berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan
merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita”.

Dalam penafsirannya, Ali bin Abi Talhah meriwayatkan dari Ibnu


Abbas bahwa dulu mereka tidak meng-qisash laki-laki yang membunuh
perempuan, akan tetapi mereka hanya menerapkan qisash untuk laki-laki
dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan. Lalu Allah menurunkan
firman-Nya. Jadi, Allah menjadikan orang yang merdeka sama qisash-nya pada
pembunuhan yang disengaja, baik pada laki-laki maupun perempuan, baik pada
jiwa maupun selain jiwa. Allah juga menjadikan budak sama dengan budak
lainnya dalam pembunuhan yang disengaja, baik pada jiwa maupun selain jiwa
atau pada laki-laki maupun pada perempuan.32
D. Pembahasan Korupsi
1. Korupsi secara umum
Korupsi dalam tinjauan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bisa
didefinisikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negaran untuk
keuntungan pribadi atau orang lain.33 Makna leksikal ini menggambarkan
bahwa korupsi termasuk ke dalam aktivitas yang tidak bermoral sebagai
cerminan perilaku buruk yang menyimpang dari kesucian diri dan dapat
menimbulkan fitnah yang akan menggoyahkan tatanan kehidupan individual
atau kolegial, baik dalam skala sempit dan informal, semacam bertetangga
maupun dalam skala luas dan formal seperti berbangsa dan bernegara,

31
Ibid, h. 105
32
Ibid, h. 93
33
App Kamus Besar Bahasa Indonesia

10
tergantung kepada ringan atau beratnya, serta kuantitas atau kualitas perbuatan
korupsi tersebut.34
Di Indonesia sendiri, jika kita melihat pada konteks masa lalu hingga
masa kini, korupsi memang menjadi sebuah problem yang susah untuk
dituntaskan. Hal ini bisa kita ketahui dengan semakin banyaknya kasus korupsi
dari tahun ke tahun yang tidak kunjung terselesaikan. Misalnya kita mengenal
mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara, salah satu politisi Partai
Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) yang tersandung kasus korupsi
Bantuan Sosial covid-19. Ia dijadikan tersangka oleh KPK pada tanggal 6
Desember 2020 silam.35 Kemudian ada pula kasus korupsi pengadaan Kartu
Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) yang telah melibatkan berbagai pihak
dengan mencatatkan kerugian negara yang besar, mencapai Rp 2,3 triliun.36 Dua
kasus tersebut tentu hanya merupakan sebagian kecil dari bergelimangnya kasus
korupsi di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa korupsi ternyata masih
menjadi permasalahan yang memiliki resonansi tinggi di negara yang telah
merdeka sejak 78 tahun yang lalu.
2. Korupsi dalam Tafsir Ibnu Abbas Al Musamma Shohifah Ali bin Abi
Talhah
Sebenarnya tidak ada ayat yang spesifik membahas korupsi dalam al-
Qur’an, namun setidaknya, kita bisa menemukan keterangan yang relevan dan
memiliki korespondensi dengan tindakan korupsi yang selama ini merajalela.
Di antaranya adalah QS. An Nisa (4): 29.
َ َ ُ َ َ ٓ‫ى‬ ۡ ُ ُ َ َ ْ ُ ُ ۡ َ َ ْ َ َ َ ‫ََٰٓ َ ُّ َ ى‬
‫ام ُنوا َل تأكل ٓوا أ ۡم َوَٰلكم بَيۡ َنكم بِٱل َبَٰ ِط ِل إَِل أن تكون ت َِجَٰ َر ًة َعن ت َراض‬‫يأيها ٱَّلِين ء‬

ُ َ َ َ‫ُ ۡ ََ َۡ ُ ُ ْٓ َ ُ َ ُ ۡ ى ى‬
ٗ ‫ك ۡم َرح‬
‫ِيما‬ ِ ‫مِنك َّۚم وَل تقتلوا أنفسك َّۚم إِن ٱَّلل َكن ب‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta


sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.

34
Slamet Firdaus. “Korupsi dan Moralitas (Suatu Pengantar dengan Perspektif Tafsir”. Diya’ al Afkar
Vol. 9 No. 2 (Desember, 2021) h. 236
35
Data berasal dari website Suara.com, Diakses pada tanggal 18 September 2023
36
Data berasal dari website Kompas.com, Diakses pada tanggal 18 September 2023

11
Ibnu Abbas memberikan keterangan bahwa orang-orang muslim
berkata,‘Allah telah melarang kami untuk memakan harta sesama kami dengan
cara yang bathil. Makanan adalah harta yang paling baik’.37 Berdasarkan
penafsiran tersebut, tentu saja korupsi menjadi sebuah tindakan yang tidak bisa
dibenarkan, sebab hal tersebut sama saja menggunakan uang rakyat dalam hal
yang bathil, dan itu dilarang oleh agama. Bahkan dalam partikel terkecil pun,
misalnya, melakukan pungutan liar, penyuapan, uang pelicin dan sebagainya,
hal itu juga merupakan tindakan petty corruption dan jelas tidak bisa
dibenarkan.
E. Kesimpulan
Tafsir Ibnu Abbas al Musamma Shohifah Ali bin Abi Talhah merupakan
kitab tafsir yang paling shahih berdasarkan riwayat yang sampai kepada Ibnu
Abbas. Muhammad Husain Adz-Dzahabi dalam al-Tafsir wal Mufassirun
mengatakan, “Jalur Muawiyah bin Shalih, dari Ali bin Abi Talhah, dari Ibnu Abbas,
merupakan jalur yang paling baik darinya”. Berdasarkan karakteristiknya, kitab
tafsir yang ditulis oleh Ali bin Abi Talhah ini menggunakan metode ijmali untuk
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, memakai pendekatan bil ma’tsur serta corak
penafsiran lughowi. Tidak hanya itu, beberapa riwayat juga menyebutkan kepada
kita tentang sebab-sebab turunnya ayat, kisah-kisah al-Qur’an, hukum serta nasikh
dan mansukh. Kemudian juga ada ijtihad Ibnu Abbas sendiri dan pendapatnya yang
menafsirkan secara global.
Dalam memaknai ayat-ayat tentang korupsi yang dikontekstualisasikan
dengan perbuatan memakan harta orang lain dengan cara yang bathil. Ibnu Abbas
memberikan keterangan bahwa orang-orang muslim berkata,‘Allah telah melarang
kami untuk memakan harta sesama kami dengan cara yang bathil. Makanan adalah
harta yang paling baik’.

37
Ali bin Abi Talhah, Tafsir Ibnu Abbas al Musamma Shohifah Ali bin Abi Talhah, h. 144

12
Daftar Pustaka

Al Hakim, Al Mustadrak Ash Shohihain (Jilid. 2; India: Haidar Abad Ad-Dakan, 1341 H)

Ali bin Abi Talhah, Tafsir Ibnu Abbas al Musamma Shohifah Ali bin Abi Talhah (Libanon:

Mu’assasah Kitab ast-Tsaqafiyah, 1991)

App Kamus Besar Bahasa Indonesia

Ash-Shuyuthi, Al Itqon fi Ulumil Qur’an (Damaskus: Muassasah Risalah Nasyirun, 2008)

Az-Zarkasyi, Al Burhan fi Ulumil Qur’an (Juz 2; Kairo: Dar at-Turats, 1984)

Data berasal dari website Suara.com, Diakses pada tanggal 18 September 2023

Data berasal dari website Kompas.com, Diakses pada tanggal 18 September 2023

Ibnu Abi Hatim, Al Jarh wa At-Ta’dil (Cet. I; India: Haidar Abad Ad-Dakan, 1952)

Junizar Suratman, “Pendekatan Penafsiran al-Qur’an yang Didasarkan pada Instrumen

Riwayat,Nalar dan Isyarat Batin,” dalam Intizar, Vol. 20, No 1, (2014)

Manaf, Abdul. “Sejarah Perkembangan Tafsir”, TAFAKKUR Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan

Tafsir Vol. 1, No. 02. (April, 2021),

M. Izdiyan Muttaqin, “Abdullah bin Abbas dan Perannya dalam Penafsiran Al-Qur’an”,

Misykat Vol. 4, No. 2(Desember, 2019)

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2019)

M. Subhi Sholih, Ulumul Hadits wa Mustholahuhu (Libanon: Matba’atul Ulum, 1974)

Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun (Juz 1; Kairo: Darul Hadits, 2005)

Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, terj. Khoirul Amru

Harahap (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007)

Mukhtar, Zainuddin. “Ibnu Abbas (Studi Biografi Generasi Awal Mufassir al-Aqur’an)”. Al

I’jaz Vol. 1, No. 1 (Juni, 2019)

Permana, Asep Amar. “Tafsir bil Ma’tsur dalam Studi Naskah Al-Qur’an”, Jurnal Iman dan

Spiritualitas Volume 2, Nomor 3. (Agustus, 2022)

13
Slamet Firdaus. “Korupsi dan Moralitas (Suatu Pengantar dengan Perspektif Tafsir”. Diya’ al

Afkar Vol. 9 No. 2 (Desember, 2021)

Syafrijal, “Tafsir Lughawi”, Jurnal Al-Ta’lim Jilid 1, Nomor 5., (Juli, 2013)

14

Anda mungkin juga menyukai