Anda di halaman 1dari 10

Metode Muhammad Ali al-Shâbuni dalam Tafsir Rawâi’ al-Bayân “Tafsir al-

Ayat al-Ahkâm Min al-Qur’ân”

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Tafsir kontemporer


Dosen pengampu:
Misbachul Munir, M.Ud

Disusun oleh:
LAILATUL ISMI (18)

FAKULTAS USHULUDIN DAN STUDI AGAMA


PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN & TAFSIR
INSTITUT AGAMA ISLAM PANGERAN DIPONEGORO NGANJUK

2020/2021
A.  Pendahuluan
Al-Qur’ân adalah sumber utama dan fundamental bagi agama Islam, di samping
berfungsi sebagai petunjuk,  ia juga berfungsi sebagai pembeda. Disadari bahwa al-Qur’ân
menempati posisi sentral dalam studi keislaman, maka lahirlah niat di kalangan pemikir
Islam untuk mencoba memahami isi kandungan al-Qur’ân yang dikenal dengan aktivitas
penafsiran (al-tafsir). Kesadaran tersebut telah dimulai sejak masa turunnya al-Qur’ân yang
dipelopori sendiri oleh Nabi Muhammad s.a.w. Setelah berakhir masa salaf sekitar abad
ke-3 H. seiring dengan majunya peradaban Islam, lahirlah berbagai mazhab di kalangan
umat Islam. Masing-masing mazhab meyakinkan pengikutnya dengan menanamkan dan
mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, tidak jarang mereka
menjadikan al-Qur’ân dan hadis Nabi sebagai legitimasi-nya.
Hal ini menjadi salah satu penyebab beralihnya bentuk tafsir dari ma’tsur menjadi
ra’yu (tafsir melalui pemikiran atau ijtihad akal). Sebagai contoh, kaum fuqaha’ yang telah
menafsirkan al-Qur’ân dari sudut pandang hukum fiqh, seperti al-Qurtubi dalam al-Jami’ li
Ahkâm al-Qur'ân. Kaum teolog telah menafsirkan al-Qur’ân sesuai dengan pemahaman
teologis mereka, seperti al-Tafsir al-Kabir karya al-Râzi, begitu juga kaum sufi yang juga
menafsirkan al-Qur’ân sesuai dengan pemahaman dan pengalaman batin mereka, seperti
Ahmad ‘Atha ‘Abd al-Qâdir dalam karyanya at-Tafsir al-Sufi li al-Qur'ân. Realita ini
sesuai dengan pandangan teori hermeneutika yang menyatakan bahwa seorang mufassir
ketika menafsirkan al-Qur’ân ia tidak bisa lepas dari pengaruh konteks sosial, politik,
ekonomi, psikologis, teologis, dan lain-lain.
Lebih lanjut sejarah telah mencatat, sejak al-Qur’ân diwahyukan kepada Nabi
Muhammad s.a.w. hingga sekarang, aktifitas atau dinamika penafsiran al-Qur’ân tidak
pernah mengalami kemandekan. Sebab, al-Qur’ân memberikan kemungkinan-
kemungkinan arti yang tidak terbatas, ia selalu terbuka untuk interpretasi baru, tidak
pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal, sehingga dapat dimaklumi jika
kemudian muncul beragam metode penafsiran yang telah ditawarkan oleh para mufassir,
baik klasik, pertengahan, maupun pada masa modern, yang bila ditelusuri sejarah
perkembangannya akan ditemukan secara garis besarnya empat metode penafsiran, yakni
metode ijmâli (global), metode tahliliy (analisis), metode muqaran (perbandingan), dan
yang terkini adalah metode maudhu'i (tematik).
Salah satu dari sekian banyak tafsir yang ada adalah tafsir Rawâi’ al-Bayân fi
Tafsiri Ayât al-Ahkâm min al-Qur’ân karya Muhammad Ali al-Shâbuni. Salah satu metode
yang ditempuh al-Shâbuni, sebagaimana yang dijelaskan dalam muqaddimah tafsirnya;
adalah mengambil kandungan hukum dan argumentasi-argumentasi dari para ulama
sebelumnya, kemudian ia melakukan al-tarjih di antara dalil-dalil tersebut.
Maka hal inilah yang menjadi kajian penulis dalam makalah ini, pada sub bahasan
selanjutnya akan dipaparkan sekilas biografi Muhammad Ali al-Shâbuni, gambaran umum
kitab tafsir Rawâi’ al-Bayân, Metode (manhaj) al-Shâbuni dalam tafsir Rawâi’ al-Bayân,
terakhir kesimpulan dan saran. Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan (library
research) dengan menghimpun data-data dari berbagai sumber yang terkait dan relevan
dengan pembahasan.

B. Sekilas Biografi Muhammad Ali al-Shâbuni


Syekh Ali al-Shâbuni ditetapkan sebagai tokoh muslim dunia 2007 oleh DIQA.
Nama besar Syekh Muhammad Ali al-Shâbuni begitu mendunia. Beliau merupakan
seorang ulama dan ahli tafsir yang terkenal dengan keluasan dan kedalaman ilmu serta sifat
wara-nya. Nama lengkapnya adalah Muhammad Ali Ibn Ali Ibn Jamil al-Shâbuni. Beliau
dilahirkan di Madinah pada tahun 1347 H/1928 M. Ia alumni Tsanawiyah al-Syari’ah.
Syekh al-Shâbuni dibesarkan di tengah-tengah keluarga terpelajar. Ayahnya, Syekh Jamil
al-Shâbuni, merupakan salah seorang ulama senior di Aleppo. Ia memperoleh pendidikan
dasar dan formal mengenai bahasa Arab, ilmu waris, dan ilmu-ilmu agama di bawah
bimbingan langsung sang ayah. Sejak usia kanak-kanak, ia sudah memperlihatkan bakat
dan kecerdasannya dalam menyerap berbagai ilmu agama. Di usianya yang masih belia, al-
Shâbuni sudah hafal al-Qur’ân. Tak heran bila kemampuannya ini membuat banyak ulama
di tempatnya belajar sangat menyukai kepribadiannya.
Selain belajar kepada ayahnya, Ia juga berguru kepada para ulama terkemuka di
Aleppo, seperti Syekh Muhammad Najib Sirajuddin, Syekh Ahmad al-Shama, Syekh
Muhammad Said al-Idhbi, Syekh Muhammad Raghib al-Tabbakh, dan Syekh Muhammad
Najib Khayatah. Untuk menambah pengetahuannya, al-Shâbuni juga sering mengikuti
kajian-kajian para ulama lainnya yang biasa diselenggarakan di berbagai Masjid. Setelah
menamatkan pendidikan dasar, al-Shâbuni melanjutkan pendidikan formalnya di sekolah
milik pemerintah, Madrasah al-Tijariyah. Di sini, ia hanya mengenyam pendidikan selama
satu tahun. Kemudian ia meneruskan pendidikan di sekolah khusus Syari’ah, Khasrawiya,
yang berada di Aleppo. Saat bersekolah di Khasrawiya, ia tidak hanya mempelajari bidang
ilmu-ilmu Islam, tetapi juga mata pelajaran umum. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan
di Khasrawiya dan lulus tahun 1949. Atas beasiswa dari Departemen Wakaf Suriah, ia
melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar, Mesir, hingga selesai Strata satu dari
Fakultas Syari’ah pada tahun 1952. Dua tahun berikutnya, di Universitas yang sama, ia
memperoleh gelar Magister pada konsentrasi Peradilan Syari’ah (Qudha al-Syari’ah).
Studinya di Mesir merupakan beasiswa dari Departemen Wakaf Suria.
Selepas dari Mesir, al-Shâbuni kembali ke kota kelahirannya, beliau mengajar di
berbagai Sekolah Menengah Atas yang ada di Aleppo. Pekerjaan sebagai guru Sekolah
Menengah Atas ini ia lakoni selama delapan tahun, dari tahun 1955 hingga 1963. Setelah
itu, ia mendapatkan tawaran untuk mengajar di Fakultas Syari’ah Universitas Umm al-
Qura dan Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz. Kedua Universitas
ini berada di kota Makkah. Ia menghabiskan waktu dengan kesibukannya mengajar di dua
perguruan tinggi ini selama 28 tahun. Karena prestasi akademik dan kemampuannya dalam
menulis, saat menjadi dosen di Universitas Umm al-Qura, al-Shâbuni pernah menyandang
jabatan ketua Fakultas Syari’ah. Ia juga dipercaya untuk mengepalai Pusat Kajian
Akademik dan Pelestarian Warisan Islam. Hingga kini, ia tercatat sebagai guru besar Ilmu
Tafsir pada Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz.
Di samping mengajar di kedua Universitas itu, Syekh al-Shâbuni juga sering
memberikan kuliah terbuka bagi masyarakat umum yang bertempat di Masjid al-Haram.
Kuliah umum serupa mengenai tafsir juga digelar di salah satu Masjid di kota Jeddah.
Kegiatan ini berlangsung selama sekitar delapan tahun. Setiap materi yang disampaikannya
dalam kuliah umum ini direkamnya dalam kaset. Bahkan tidak sedikit dari hasil rekaman
tersebut yang kemudian ditayangkan dalam program khusus di Televisi. Proses rekaman
yang berisi kuliah-kuliah umum Syekh al-Shâbuni ini berhasil diselesaikan pada tahun
1998.
Di samping sibuk mengajar, al-Shâbuni juga aktif dalam organisasi Liga Muslim Dunia.
Saat di Liga Muslim Dunia, ia menjabat sebagai penasehat pada Dewan Riset Kajian
Ilmiah mengenai al-Qur’ân dan Sunnah. Ia bergabung dalam organisasi ini selama
beberapa tahun. Setelah itu, ia mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk menulis dan
melakukan penelitian. Salah satu karyanya yang terkenal adalah “Shafwah al-Tafâsir”.
Kitab tafsir al-Qur’ân ini merupakan salah satu tafsir terbaik, karena luasnya pengetahuan
yang dimiliki oleh sang pengarang.
Selain dikenal sebagai pengahafal al-Qur’ân, ia juga memahami dasar-dasar ilmu
tafsir, guru besar ilmu Syari’ah, dan ketokohannya sebagai seorang intelektual muslim.
Pemikirannya dituangkan dalam bentuk karya tulis, seperti dapat dilihat pada kitab
Shafwah al-Tafâsir, Rawâi’ al-Bayân fi Tafsir Ayat al-Ahkâm min al-Qur’ân, al-Tibyan fi
‘Ulum al-Qur’ân (Pengantar Studi al-Qur’ân), Para Nabi dalam al-Qur’ân, Qabasun min
Nur al-Qur’ân (cahaya al-Qur’ân),  dan lain-lain.

C. Gambaran Umum Kitab Tafsir Rawâi’ al-Bayân “Tafsir al-Ayat al-Ahkâm Min al-
Qur’ân”.
Amin Suma  mengatakan bahwa kitab Rawâi’ al-Bayân  ini terdiri dari dua jilid,
dengan tebal halaman masing-masing 627 dan 637 halaman. Disusun oleh Muhammad Ali
al-Shâbuni, salah seorang guru besar Fakultas Syari’ah di Jami’ah Umm al-Qurân Makkah
al-Mukarramah.  Namun ketika penulis melihat kitab tafsir Rawâi’ al-Bayân tersebut
terbitan Dâr al-Kutb al-Islamiyah; Jakarta, cetakan pertama tahun 1422 H. / 2001 M.
dijumpai jilid I dengan daftar isinya berjumlah 496 halaman dan jilid II 518 halaman yang
memuat 40 pembahasan.  Ini tampak sedikit berbeda dengan apa yang dipaparkan oleh
Amin Suma dalam bukunya “Pengantar Tafsir Ahkâm”.
Kemudian kitab ini juga berbeda dengan tafsir ayat al-Ahkâm Muhammad Ali al-
Sayis yang tidak memiliki fihris (daftar isi), kecuali hanya menyebutkan ayat-ayat yang
akan dibahas, Rawâi’ al-Bayân Tafsir Ayat al-Ahkâm min al-Qurân (berbagai kekaguman
keterangan tentang tafsir ayat-ayat hukum) susunan Ali al-Shâbuni ini memiliki daftar isi
yang gamblang dan lengkap dengan topik-topik yang akan dibahas. Hanya saja pada daftar
isinya tidak disebutkan nomor-nomor ayat dan nama-nama surat yang akan dibahas. 
Barangkali inilah salah satu bentuk kekurangan kitab tafsir Rawâi’ al-Bayân ini dalam
perspektif para mufassir kontemporer saat ini.
Sistematika penyusunan Rawâi’ al-Bayân adalah mengurutkan susunan tafsirnya
yang dimulai dari surat al-Fâtihah hingga surat al-Muzammil, dan hanya memfokuskan
pada ayat-ayat hukum, sehingga tidak semua ayat dalam surat ditafsirkan, meskipun
demikian ia tetap menafsirkan sesuai dengan tartib al-mushâfi.

D. Metode Muhammad Ali al-Shâbuni dalam Tafsir Rawâi’ al-Bayân “Tafsir al-Ayat al-
Ahkâm Min al-Qur’ân
Pada Muqaddimah tafsir Rawâi’ al-Bayân Muhammad Ali al-Shâbuni
mengatakan bahwa “ sungguh aku berkeinginan kuat untuk bergabung dengan kelompok
orang-orang mulia itu dan meniru jejak mereka, meskipun aku tidak seperti mereka,
dengan harapan semoga aku dapat berhasil memperoleh sekelumit dari pahala yang
merekaperoleh”  seperti kata seorang penyair:
‫ إِ َّن التَّ َشبَّهَ بِ ْال ِك َر ِم فَالَح‬,‫فَتَشبَّهُوْ ا إِ ْن لَ ْم تَ ُكوْ نُوْ ا ِم ْثلَهُ ْم‬
“berusahalah menyerupai mereka, kendatipun kamu tidak seperti mereka, sebab
menyerupai orang-orang yang mulia itu akan membawa kesuksesan” Lebih lanjut beliau
mengatakan bahwa “aku telah mempunyai cita-cita luhur, mudah-mudahan Allah s.w.t.
memberikan kemudahan kepadaku untuk mengabdi kepada agama Islam dan ilmu
pengetahuan. Lalu aku mengeluarkan sebagian kitab-kitab yang dapat dimanfaatkan oleh
umat manusia, karena dorongan keyakinanku, bahwa hal ini merupakan warisan-warisan
yang baik (al-baqiyat al-shalihat) yang akan menjadi simpanan bagi manusia setelah ia
meninggal dunia.
Allah s.w.t. telah memberikan kemudahan kepada al-Shâbuni untuk dapat bertetangga
dengan “negeri yang aman sentosa” (Makkah al-Mukarramah)  seraya beliau mengajar
pada Fakultas Syari’ah dan Dirasah Islamiyah, dan Allah telah berkenan menyediakan
untuknya situasi dan kondisi yang membantunya dalam meluangkan waktu guna menelaah,
belajar, menulis, dan mengarang, sehingga ia diberi oleh Allah s.w.t.
kemuliaan bertetangga dengan Bait Allah al-‘Atiq, di negeri yang aman dan iman,
negeri yang penghuninya telah dikarunia Allah s.w.t. sejak dulu kala dengan kemanan,
ketenangan, dan ketentraman. Kitab Rawâi’ al-Bayân ini merupakan kitab yang terakhir
ditulis oleh Muhammad Ali al-Shâbuni yang diterbitkan dalam dua jilid.  Di dalamnya
terhimpun ayat-ayat tentang hukum secara khusus dalam bentuk ceramah-ceramah ilmiah
yang singkat tapi padat yang dapat mengkombinasikan antara metode lama dalam
kesempurnaan isinya, dan metode baru dalam kemudahan pemahamannya. Dalam
memberikan ceramah-ceramah tersebut ia menempuh suatu metode yang barangkali baru,
sistematis lagi praktis. Ia bermaksud menggunakan sistematika yang lembut, di samping
ketelitian yang mendalam.
Kemudian dalam menyampaikan uraian tentang ayat-ayat hukum pada kitab ini, al-
Shâbuni memperhatikan sepuluh segi,  yaitu:
1. Uraian lafaz dengan mengambil saksi dengan pendapat para mufassirin dan pakar-
pakar bahasa Arab.
Contoh: kata al-Sufahâ’ dalam surat al-Baqarah: 142  dan dalam surat an-Nisâ’: 5 .
Meskipun kata ini secara bahasa memiliki arti yang sama yakni “tidak cerdas”.
Namun, dalam aplikasinya ia memiliki makna yang berbeda, kata ini dalam surat
pertama diartikan dengan “orang-orang Yahudi, musyrikin, dan munafiqin”,
sementara dalam surat yang kedua diartikan dengan “orang-orang yang tidak bisa
mengelola keuangan atau al-mubazzirin.”
2. Menjelaskan pengertian global bagi ayat-ayat yang mulia secara sepintas.
Menurut al-Shâbuni, ijmali adalah dikemas dalam bahasa sendiri, tidak
menggunakan catatan kaki, atau sumber pengambilan sebagaimana lazimnya
tulisan (karya ilmiah). Tujuannya adalah agar pembaca tidak terganggu
perhatiannya dalam memahami maksud ayat secara ringkas dan menyeluruh.
3. Memaparkan asbab al-nuzul ayat, jika memang ada.
Dalam muqaddimah tafsirnya, ia menjelaskan bahwa tidak semua ayat al-Qur'ân
memiliki al-asbab al-nuzul. Oleh karena itu, ia tidak selalu menampilkan al-asbab
al-nuzul-nya. Meskipun demikian, al-asbab al-nuzul termasuk salah satu aspek
yang dibahasnya dalam Rawâi’ al-Bayân.
4. Menceritakan segi-segi pertalian (munasabah) antara ayat-ayat terdahulu dan ayat-
ayat yang datang kemudian.
Hal ini disebut juga dengan wajh al-munâsabah bain al-ayât (segi kesesuaian di
antara ayat-ayat). Munasabah berangkat dari pemahaman bahwa ayat dan surat
dalam al-Qur’ân adalah satu kesatuan yang utuh, memiliki hubungan antara satu
kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat lain
dalam satu surat, atau antara satu surat dengan surat yang lain.
5. Menjelaskan analisis tentang wajah-wajah bacaan yang mutawatir.
Al-Shâbuni dalam tafsirnya mengkaitkan qira’at dengan akibat hukum dan
kesejarahannya, seperti penafsirannya tentang persoalan hukum wudhu’ dan
tayammum
6. Memberikan analisis singkat tentang wajah-wajah I’rab-nya.
Dalam hal ini al-Shâbuni tampak lebih banyak menerangkan tarkib (susunan) kata
untuk menjelaskan mana yang menjadi al-mubtada’, fâ’il, al-maf’ul, al-sifat, dan
lain-lain
7. Menjelaskan intisari tafsir, dan ini mencakup rahasia-rahasia dan faedah-faedah
ditinjau dari segi sastra dan pengetahuan-pengetahuan yang detail. Kehalusan tafsir
dianggap penting oleh al-Shâbuni, dengan alasan pembaca akan lebih tertarik dan
mudah mencerna makna yang dikandung dalam suatu ayat.
8. Menjelaskan kandungan hukum dan argumentasi-argumentasi Fuqaha’ dan men-
tarjih  di antara dalil-dalil yang mereka kemukakan. Sesuai dengan namanya, maka
pembahasan tentang hukum dalam tafsir ini menjadi sangat penting. Al-Shâbuni
dalam tafsirnya mengambil sumber dari pendapat para sahabat, tabi’in, kemudian
para imam mazhab. Dalam masalah fiqh, al-Shâbuni mengambil metode al-talfiq
dan al-tarjih, yakni tidak berpegang pada satu mazhab, dan mengambil pendapat
yang lebih kuat.
9. Memaparkan kesimpulan tentang petunjuk-petunjuk ayat-ayat yang mulia.
Dalam hal ini al-Shâbuni mengemukakan petunjuk-petunjuk yang diperoleh dari
ayat, atau dalam bentuk kesimpulan ringkas yang biasanya berupa point-point
dengan menggunakan nomor 1, 2 dan seterusnya. Ia selalu memuat makna global
dan kesimpulan pada setiap pembahasannya. Jika makna global diletakkan di awal
pembicaraan, maka kesimpulan berada di akhir pembahasan sebelum al-hikmah al-
tasyri’.
10. Menuliskan penutup (pembahasan akhir) dan bagian ini meliputi hikmah
disyariatkan ayat-ayat hukum tersebut.
Tujuan dari pembahasan terakhir ini adalah untuk menunjukkan bahwa
pada setiap ayat hukum yang dibahas mengandung hikmah, dan dapat diambil
pelajarannya, sehingga dapat menjadi pendukung bagi pemberlakuan ayat-ayat
hukum. Dalam konteks inilah al-Shâbuni banyak mengutip pendapat para mufassir
tentang al-hikmah al-tasyri’.
Kemudian dengan segala kerendahan hati al-Shâbuni mengatakan bahwa
apa yang ada dalam kitab Rawâi’ al-Bayân tersebut bukanlah jerih payahnya
semata, tetapi merupakan kongkulasi dan persepsi-persepsi mufassirin yang
tersohor, baik yang lama maupun yang baru, dan merupakan produk otak-otak
genius dari pakar-pakar ulama intelek dan ahli tafsir terkemuka yang tidak tidur
dalam rangka mengabdi kitab yang mulia ini, demi mencari ridha Allah semata. Di
antara mereka itu ada yang ahli fikih, ahli hadis, ahli bahasa, ahli ushul, ahli tafsir,
ahli istinbat hukum dan orang-orang yang menulis kitab al-Qur’ân lainnya.
Ia tak ubahnya seperti seorang manusia yang melihat berbagai intan
permata dan mutiara-mutiara berharga yang bertaburan di sana sini, lalu dihimpun
dan disusun dalam untaian yang satu. Kemudian ia laksana orang yang masuk ke
dalam pertamanan yang kaya, yang di dalamnya terdapat buah-buahan yang bagus,
bunga-bunga yang indah menawan, kemudian ia mengulurkan tangannya dengan
pelan-pelan seraya mengambilnya, lalu dikumpulkan dalam sebuah onggokan dan
dipasang dalam sebuah fot bunga, sehingga mengembirakan hati dan
mempesonakan mata.
Dalam penafsiran al-Shâbuni berusaha menyimpulkan apa yang
dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu dan ulama-ulama belakangan, dan
dikompromikannya antara metode lama dan metode baru, dan ia tidak menulis
suatu keteranganpun, sehingga ia membaca terlebih dahulu lebih dari lima belas
referensi dari beberapa induk referensi tafsir, di samping juga referensi di bidang
bahasa Arab dan hadis. Kemudian ia tuliskan (muhadharat) tersebut dengan
memberikan petunjuk kepada sumber-sumber pengambilan yang ia kutip dengan
segala ketelitian dan kepercayaan.
Metode tafsir adalah langkah-langkah yang teratur dan seperangkat ulasan
materi yang disiapkan untuk penulisan tafsir al-Qur’ân agar sampai pada maksud
dan tujuan.Al-Shâbuni ketika menafsirkan ayat al-Qur’ân tentang masalah Qurban
ia melihatnya sebagai jalan untuk taqarrub ila Allah. Selanjutnya ia mengkaji al-
Munasabah al-ayat dan al-asbab al-nuzul-nya, pembahasan kosa kata dan lafaz,
kandungan hukum dengan mengambil sumber dari hadis, pendapat para ulama
guna memperjelas masalah.
Hampir dari setiap praktek penafsirannya ia selalu menekankan pada
pengambilan sumber-sumber penafsiran yang telah ada. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa karyanya masuk dalam kategori metode tafsir muqarran
(perbandingan). Sementara itu, terkait dengan corak (al-laun) penafsiran di sini
adalah pemikiran yang mendominasi dari karya-karya mufassir sesuai dengan
kecenderungan atau latarbelakang keahlianya.
Corak penafsiran selama ini yang dikenal antara lain adalah corak sastra
(bahasa), filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqh atau hukum, maka
kitab Rawâi’ al-Bayân karya al-Shâbuni ini termasuk dalam kategori tafsir fiqh atau
hukum. Sebab, karya ini lebih banyak mengkaji ayat-ayat hukum, dan beliau pun
tidak terpaku pada suatu mazhab tertentu.
Hal yang dapat dilihat dari karya ini adalah penggunaan istinbât al-hukm,
yakni usaha mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya. Rawâi’ al-Bayân
adalah tafsir yang berusaha menampilkan ketetapan hukum dari ayat-ayat hukum,
dan dalam menetapkan hukum, al-Shâbuni mengikuti cara yang digunakan ahl al-
ushul, yakni penetapan hukum dapat dilakukan dengan menggunakan ijtihad.
Ijtihad tidak dapat dilakukan manakala kasus yang hendak ditetapkan hukumnya
telah ada dalil yang sharih (jelas) serta qath’i (pasti). Ijtihad berlaku ketika suatu
kasus belum ada nash hukumnya.
Hal ini dapat dilakukan melalui qiyas, istihsan, istishab, atau
memperhatikan ‘urf, ataupun maslahah al-mursalah. Al-Shâbuni dalam tafsir
Rawâi’ al-Bayân ini terikat dengan pendapat-pendapat serta mengikuti ijtihad-
ijtihad ulama salaf. Sebab, ia dalam mengemukakan permasalahan-permasalahan
hukum selalu menyebutkan beberapa pendapat yang berbeda-beda disertai dengan
dalil-dalil dan alasan-alasannya. Selanjutnya, ia mengakahiri pembahasannya
dengan tarjih yakni menguatkan (memberikan penilaian), pendapat mana yang
shahih dan pendapat mana yang jauh dari kebenaran. Caranya ini dalam kaca mata
ilmu ushul al-fiqh disebut dengan talfiq.Sementara itu, ia tidak terikat oleh salah
satu mazhab. Salah satu contoh dalam masalah sihir, ia menilai pendapat jumhur
lebih kuat ketimbang pendapat Mu’tazilah.
Kemudian dalam hal wajib tidaknya qadha puasa sunat yang rusak atau
batal, ia lebih memilih Hanafiyah ketimbang Syafi’iyah. Sementara masalah debu
yang suci dalam tayamum, ia menguatkan pendapat Syafi’iyah daripada
Hanafiyah. 
.
E. Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tafsir al-Shâbuni; Rawâi’ al-Bayân fi
Tafsiri Ayât al-Ahkâm min al-Qur'ân dapat disebut sebagai tafsir perbandingan (muqaran).
Sebab, sumber penafsiran yang digunakan al-Shâbuni adalah sumber-sumber yang sudah
ada, ia telah melakukan usaha pengkomparasian dengan metode tarjih atau dalam ilmu
ushul al-fiqh disebut dengan talfiq, dan usahanya dalam istinbat hukum adalah usaha wajh
al-istidlal (usaha mencari petunjuk dalil). Sementara, coraknya adalah corak al-fiqh.
F. Saran
Barangkali inilah yang dapat penulis sajikan tentang Metode Muhammad Ali al-Shâbuni
dalam Tafsir Rawâi’ al-Bayân “Tafsir al-Ayat al-Ahkâm Min al-Qur’ân” pada makalah ini,
semoga bisa dijadikan sebagai salah satu bahan untuk menambah wawasan keilmuan kita
pada matakuliah Manahij al-Tafsir. Akhir kata, penulis menyadari makalah ini tentunya
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis membuka peluang bagi pembaca
agar bersedia memberikan kritikan dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan untuk
masa yang akan datang.

G. Daftar Rujukan
Al-Shâbuni Muhammad Ali, Shafwah al-Tafâsir, Tafsir li al-Qur’ân al-Karim, cetakan ke-
1, Beirut: Dâr al-Kutb al-Islamiyyah, 2002,
Muhammad Ali, Rawâi’ al-Bayân “Tafsir Ayat al-Ahkâm Min al-Qur’ân”, cetakan ke-I,
Jakarta: Dâr al-Kutb al-Islamiyah, 2001
Suma Muhammad Amin, Pengantar Tafsir Ahkâm, cetakan ke-2, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002

Anda mungkin juga menyukai