Anda di halaman 1dari 21

PEMIKIRAN MAQASID SYARIAH JASSER AUDA

Oleh:
Hamka Husein Hasibuan
(17200010102)
Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik, Interdiciplinary Islamic
Studies (IIS), Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Abstrak
Tulisan ini merupakan kajian terhadap pemikiran maqasid Jasser Auda. Maqasid
sendiri merupakan tujuan yang ingin dicapai melalui penerapan agama dengan basis
memaksimalkan maslahah dan meminimalisir mafsadah. Originalitas pemikiran
maqasid Auda terletak pada pergeseran paradigma (shifting-paradigm) dan
pengembangan maqasid melalui a system approach yang ia lakakukan. Ini
dikembangkan Auda, karena melihat teori maqasid klasik yang cenderung
individual, kaku, sempit, bahkan terkesan hierarkis. Auda menggeser maqasid
klasik yang coraknya protection (perlindungan) dan preservation (penjagaan)
menjadi development (pembangunan) dan human right (hak-hak manusia). Di
samping itu, Auda juga medekati maqasid dengan fitur-fitur sistem yang ia buat:
cognition,wholeness, openness, interrelated-hierarchy, multidimensionalituy, dan
porposefulness. Eksistensi sebuah fitur terletak pada kebermaksudannya
(purposefulness; al-maqasidiyah).

Kata kunci: maqasid, a system approach, development, human right

A. Pendahuluan
Salah satu intelektual-muslim modern –tanpa menafikan intekletual lainya
–yang concern terhadap pengkajian maqasid adalah Jasser Auda. Dalam bahasa
Auda, ada dua faktor yang melatarbelakangi pemikiran maqasid-nya, yakni adanya
krisis kemanusian (ajmah insaniyah) dan minimnya metode (qushur manhazhiy)
untuk menyelesaikannya.1 Krisis kemanusian sebagai faktor pertama merupakan
realitas yang dialami oleh hampir semua negara-negara muslim; di mana angka
kemiskinan, pengangguran, minimnya tingkat pendidikan, keamanan, pemerataan
ekonomi serta kesejahteraan sosial belum terwujud. Bahkan, laporan terakhir
Human Development Index (HDI) menunjukkan tidak ada satupun negara muslim

1
Jaser Audah, Khatutun ‘Ammah li Naqlah Manhajiyah fi Kasyfi wa Taf’il Maqasid al-
Qur’an al-‘Azhim, makalah, hhtp//www.jasserauda.net, diakses 9 November, 2017.

1
yang masuk sepuluh peringkat pertama. Belum lagi adanya aksi-aksi teror, yang
mengatasnamakan hukum Islam (in the name of Islamic law?) –yang saat itu terjadi
di tempat tinggal Jaser –membuat semua orang khawatir, takut, dan was-was.2
Realiatas ini kemudian membuat Jasser bertanya-tanya: apa ini yang disebut dengan
hukum Islam?
Berangkat dari realitas ini, kemudian Auda melihat ada sesuatu yang bisa
ditawarkan kepada dunia, yang dalam hukum Islam sebenarnya jarang disentuh dan
dikembangkan, yaitu konsep maqasid syariah. Akan tetapi, ia juga harus realistis,
bahwa menawarkan konsep maqasid apa adanya --sebagai faktor kedua--
merupakan upaya sia-sia. Hal ini, tidak lepas dari corak maqasid lama yang kaku,
sempit, dan heararkis, pada tataran tertentu justru tidak memberikan efek positif
terhadap perkembangan Islam umumnya, dan hukum Islam khususnya. Berangkat
dari situ, Auda menggunakan maqasid syariah sebagai basis pangkal tolak filosofi
berpikirnya dengan penggunakan pendekatan sistem sebagai metode berpikir dan
pisau bedah analisisnya. Tidak berhenti di situ, Auda juga menawarkan konsep
maslahah yang lebih terukur melalui Human Development Index (HDI) dan Human
Development Targets.
Selain memperbaharui teori maqasid lama, Auda juga menyajikan fakta
sejarah, bahwa hukum Islam adalah lahir dari Al-Quran dan Hadis. Penafsiran dan
ijtihad terhadap kedua sumber tersebut melahirkan dinamika kecenderungan, yang
ia sebut: era tradisionalis, modern, dan post-modern. Di era post-modern ini dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia perlu proses dialogis.
Proses dialogis yang dimaksud adalah adanya tegur sapa antara bangunan dasar
cara berpikir umat manusia (humanities) di satu sisi dan bangunan dasar cara
berpikir keagamaan Islam (ulum al-din) di sisi yang lain. Dengan adanya proses
dialogis di atas, maka mau tidak mau, setiap orang harus bersentuhan dengan
metode filsafat (rasional) dan metode sains (empiris) sekaligus. Dengan kata lain,
memperkenalkan dan mendiskusikan hukum Islam, tidaklah cukup hanya berkutat
pada sekitar syari’ah, ushul fiqh, dan fiqh. Akan tetapi, harus juga dengan

2
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach
(London: The International Institute of Islamic Thought, 2007), hlm. xxi.

2
pendekatan lain yang sifatnya interdisipliner. Disini lah kemudian Jasser
menawarkan metode baru apa yang ia sebut dengan “a system approach” dalam
mendekati maqasid syariah sebagai filsafat hukum Islam.
Dengan latar belakang di atas, pertanyaan yang menjadi bahasan dalam
tulisan ini adalah: bagaimana konsep maqasid syariah dengan a system approach
yang dicanangkan oleh Jasser Auda? Pertanyaan pokok ini berbicara dalam ranah:
1) maqasid syariah sebagai tujuan hukum Islam; dan 2) teori sistem (system theory).
Jika dipecah lagi, maka maqasid syariah sebagai metodologi; a system approach
sebagai analisis; dan mendekati maqasid syariah dengan a system approach sebagai
pengembangan teori. Dengan demikian, tulisan ini berbicara dalam tiga tingkatan:
metodologi; analisis; dan pengembangan teori.

B. Biografi Jasser Auda (1966- Sekarang)

1. Setting Sosio-Historis
Jasser Auda dilahirkan pada tahun 1966 di Kairo, Mesir. Sebagai seorang
yang dilahirkan pada keluarga yang taat beragama, sejak kecil dia sudah terbiasa
dengan ilmu-ilmu keislaman tradisional. Ditambah lagi, dia hidup di sebuah negeri
yang dalam sejarah peradaban Islam dikenal sebagai negara yang iklim akademik,
sumber pengetahuan keagamaan –yang dalam banyak hal telah melahirkan pemikir-
pemikir hebat –tidak diragukan lagi. Dia merupakan keponakan dari Abdul Qadir
Audah, tokoh Ikwanul Muslimin (IM), pengarang kitab al-Tasyri’al-Jinai al-
Islami, yang bagi sebagian kalangan menjadi sumber rujukan ketika berbicara
tentang hukum pidana Islam. Jasser Auda adalah intelektual muslim yang dalam
dirinya bersentuhan dengan dua tradisi sekaligus: barat dan timur; tradisional dan
modern. Sejak muda, Jasser sudah terbiasa mengaji secara tradisional di Masjid Al-
Azhar, yang memungkinnkanya bisa mengakses pemikiran-pemikiran turast klasik.
Di samping belajar secara tradisional di masid Al-Azhar, ia sekaligus kuliah di
jurusan ilmu komunikasi, Cairo University, Mesir, pada tingkat strata satu dan dua.

2. Karir Intelektual
Dalam memperkayaan corak pemikiran, Jasser Auda tidak hanya berpuas
diri haya mendapat pengetahuan dari Mesir saja, akan tetapi, dia juga mendapat

3
gelar B.A dari Jurusan Islamic Studies pada Islamic American University, USA,
tahun 2001, dan Master Fikih diperoleh dari Universitas Islam Amerika, Michigan,
pada fokus kajian Maqashid Syariah tahun 2004. Ia memperoleh gelar Ph.D dari
Universitas Waterloo, Kanada, dalam kajian Analisis Sistem tahun 2006. Dan gelar
Ph.D yang kedua diperoleh dari university of Wales, Inggris, pada konsentrasi
Filsafat Hukum Islam tahun 2008.
Beberapa jabatan penting pernah ini dudukinya, di antaranya adalah
Associate Professor di Fakultas Studi Islam Qatar (QFTS) dengan fokus kajian
Kebijakan Publik dalam Program Studi Islam. Dia adalah anggota pendiri Persatuan
Ulama Muslim Internasional, yang berbasis di Dublin; anggota Dewan Akademik
Institut Internasional Pemikiran Islam di London, Inggris; anggota Institut
Internasional Advanced Sistem Research (IIAS), Kanada; anggota pengawas
Global Pusat Studi Peradaban (GCSC), Inggris; anggota Dewan Eksekutif Asosiasi
Ilmuan Muslim Sosial (AMSS), Inggris; anggota Forum Perlawanan Islamofobia
dan Racism (FAIR), Inggris dan konsultan untuk Islamonline.net.3
Sekarang Jasser Audah adalah direktur sekaligus pendiri Maqashid
Research Center di Filsafat Hukum Islam di London, Inggris. Dan menjadi dosen
tamu untuk Fakultas Hukum Universitas Alexandria, Mesir, Islamic Institute of
Toronto, Kanada dan Akademi Fikih Islam, India. Dia menjadi dosen mata kuliah
hukum Islam, filsafat, dan materi yang terkait dengan isu-isu minoritas Muslim dan
kebijakan di beberapa negara di seluruh dunia. Dia adalah seorang kontributor
untuk laporan kebijakan yang berkaitan dengan minoritas Muslim dan
pendidikan Islam kepada Kementerian Masyarakat dan Dewan Pendanaan
Pendidikann Tinggi Inggris.4
Sampai sekarang ia sudah menulis 25 buku dalam bahasa Inggiris dan
Arab, dan beberapa diantaranya sudah diterjamahkan ke dalam 25 bahasa lain.
Selain itu, ratusan tulisan dalam bentuk jurnal, tulisan media, kontribusi tulisan di

3
Jasser Auda, Al-Maqasid Untuk Pemula, terj. ‘Ali ‘Abdelmon’im, (Yogyakarta: SUKA-
PRESS, 2013), hlm. 137-139. Lihat juga website: www.jasserauda.net, diakses pada 5 November
2017.
4
Ibid.

4
buku, ceramah umum, dan jurnal online yang tersebar di seluruh dunia. Di antara
karyanya adalah:5

1. Maqasid al-Syariah, A Beginner Guide, London: The International Institute


of Islamic Thought, 2007;
2. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach,
London: The International Institute of Islamic Thought, 2007;
3. Fiqh al-Maqasid: Inathah al-Ahkam al-Syar’iyyah bi Maqashidiha, Al-
Ma’had al-‘Ali li al-Fikr al-Islamiyah;
4. Rethingking Islamic Law for Minorities: Towards A Westren-Muslim
Identity, London: The International Institute of Islamic Thought;
5. Reclaiming The Mosque, London: The International Institute of Islamic
Thought;
6. Shari’a and Politics, London: The International Institute of Islamic
Thought;
7. Al-Mar’ah wa al-Masjid, London: The International Institute of Islamic
Thought;
8. Khatutun ‘Ammah li Naqlah Manhajiyah fi Kasyfi wa Taf’il Maqasid al-
Qur’an al-‘Azhim, Makalah.

Melihat latar belakang beliau seperti di atas, ada yang menarik dari Jaser
–tentunya ini sangat berpengaruh terhadap produk pemikirannya, terutama dalam
konteks pengembangan teori maqasid – untuk diperhatikan, yaitu: pertama, dia
hidup di tengah-tengah era kontemporer, di tengah-tengah arus deras era global
sekarang ini. Kedua, dia datang dari belahan dunia Eropa, namun mempunyai basis
pendidikan Islam tradisional dari negara yang berpenduduk Muslim. Ketiga, Jasser
Audah adalah salah satu intelektual minoritas Muslim yang hidup di dunia Barat,
di wilayah mayoritas non-Muslim. Keempat, Jasser Auda mempunyai kemampuan
untuk mendialogkan dan mempertautkan antara paradigma Ulumu al-Din, al-Fikr
al-Islamiy dan Dirasat Islamiyyah kontemporer dengan baik dengan Dirasat

5
Untuk melihat semua karya Jasser Audah, lihat website: www.jasserauda.net.

5
Islamiyyah yang menggunakan sains modern, social sciences dan humanities
kontemporer sebagai pisau analisisnya dan cara berpikir keagamaannya.6

C. Tradisionalisme, Modernisme, dan Postmodernisme: Melacak Posisi Jasser


Auda
Untuk melihat pemikiran maqasid syariah Jaser Audah, terlebih dahulu
dilihat di mana posisinya dalam peta pemikiran Islam. Hal ini terkait dengan a
system approach yang ditawarkanya. Menurut Amin Abdullah, a system approach
menghendaki perlunya mengusai dua approaches sekaligus secara profesional.
Pertama, approaches yang terkait dengan dimensi waktu dan kesejarahan. Kedua,
approaches yang berhungan dengan konsep dan pemikiran kefilsafatan.7 Jasser
Auda mengajukan tiga lapis kunci masuk –dia meyebutnya sebagai kecenderungan
dalam hukum Islam, bukan sebagai mazhab8 –untuk melihat dan mengalisis dalam
upaya mengembangkan ijtihad kontemporer. Yakni, tradisionalisme, modernisme,
dan post-modernisme Islam.9
Pertama, tradisionalisme Islam (Islamic traditionalism). Ada empat
varian: a) Tradisonalisme bermazhab (scholastic traditionalism), dengan ciri
berpegang teguh pada salah satu mazhab fikih klasik sebagai sumber hukum dan
jarang menggunakan dalil yang mandiri. Mereka membolehkan ijtihad –biasanya
dengan qiyas – ketika sudah tidak ada lagi ketentuan hukum pada mazhab yang
dianut.10 b) Neo-tradisionalisme bermazhab (scholastic neo-traditionalism),
bersikap terbuka terhadap lebih dari satu mazhhab untuk dijadikan referensi terkait
suatu hukum yang sah, dan tidak terbatas pada satu mazhab saja. Ada beberapa jenis
sikap terbuka yang diterapkan, mulai dari sikap terhadap seluruh mazhab fiqh

6
M. Amin Abdullah, “Epistemologi Keilmuan Kalam dan Fikih dalam Merespon
Perubahan di Era Negara-Bangsa dan Globalisasi (Pemikiran Filsafat Keilmuan Agama Islam Jasser
Auda)”, Media Syariah, Vol. XIV No. 2 Juli – Desember 2012, hlm. 126.
7
Abdullah, M. Amin, “Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Pendekatan Filsafat
Sistem dalam Usul Fikih Sosial”, Jurnal Salam, Vol. 14 No. 1 Januari - Juni 2011, hlm. 12
8
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah (Bandung: Mizan,
2015), hlm. 210.
9
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach
(London: The International Institute of Islamic Thought, 2007), hlm. 211
10
Ibid, hlm. 212.

6
dalam Islam, hingga sikap terbuka pada mazhab sunni atau syiah saja.11 c) Neo-
literalisme (neo-literalism), adalah aliran yang menolak ide untuk memasukkan
purpose atau maqasid sebagai sumber hukum yang sah (legitimate).12 d) Teori-teori
berbasis ideologi (ideology-oriented theories). Aliran ini merupakan aliran yang
mengkritik rasionalitas modern dan nilai-nilai sentral Eropa yang dianggap bias dan
penuh kontradiksi.13
Kedua, modernisme Islam (Islamic modernism). Setidaknya ciri pokok
aliran ini adalah adanya upaya mengintegrasikan pendidikan Islam dan Barat yang
diperoleh oleh para tokohnya, untuk diramu menjadi tawaran baru bagi reformasi
Islam dan penafsiran kembali. Aliran ini ada lima varian, yang memiliki corak yang
berbeda: a) Reinterpretasi reformis (reformist re-interpretation); b) Reinterpretasi
apologis (apologetic reinterpretation); c) Teori-teori berbasis maslahah (maslahah-
based theories); d) Revisionis usul (usul revisionism); dan e) Re-interpretasi
berbasis sains (science-oriented re-interpretation).14
Ketiga, pos-modernisme (post-modernism). Beragam definisi diberikan
oleh ahli terkait itu apa posmodernisme. Bila dirangkum, posmodernisme
merupakan kritik, koreksi, wajah arif, bahkan proyek modernisme yang belum
selesai.15 Akan tetapi, ciri yang mencolok, bahwa posmodernisme adalah kekuatan
atau proses intelektual, politik dan kultural yang kontemporer, yang bertujuan untuk
mendekonstruksi dan memformat ulang banyak tradisi artistik, kultural, dan
intelektual konvensional.16 Dengan demikian, metode yang paling umum
digunakan dari posmorenisme adalah dekonstruksi. Deconstruction (dekonstruksi;
pembongkaran) merupakan tawaran dari Derrida sebagai ganti dari destruction
(penghancuran). Dekonstruksi berarti menata kembali dengan konsep dasar yang
sama sekali baru.17

11
Ibid, hlm. 213-217.
12
Ibid, hlm 217-219.
13
Jasser Audah, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah... hlm.219
14
Ibid, hlm. 220-235.
15
Masykur Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: IRCiSoD,
2013), hlm. 366.
16
Jasser Audah, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah... hlm. 235.
17
Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam (Yogyakarta:
Gama Media, 2002), hlm. 37.

7
Dalam bukunya Maqasid al-Shariah as Philosophy Of Islamic Law: A
Systems Approach, Jaser Auda mengklasifikasikan kecenderungan ini kepada
beberapa varian, di antaranya: a) Pos-strukturalisme (post structuralism), yang
berusaha membebaskan masyarakat dari otoritas dan kungkungan nash dan
menerapkan teori semiotik, yaitu teori yang menjelaskan bahwa ”Language does
not refer directly to the reality”; b) Historisme (histrosm), yang menilai al-Qur’an
dan hadis sebagai ‘cultural products’ dan menyarankan agar deklarasi hak-hak
asasi manusia modern dijadikan sebagai sumber etika dan legislasi hukum; c) Studi
legal kritis (critical –legal studies), yaitu aliran bertujuan untuk mendekonstruksi
posisi ‘power’ yang selama ini mempengaruhi hukum Islam, seperti powerful suku
Arab dan “male elitism; dan d) Pos-kolonialisme (post-colonialism), mengkritik
pendekatan para orientalis klasik terhadap hukum Islam.
Meskipun ia tidak menyebut dirinya secara langsung berada pada
kecenderungan mana, akan tetapi sesuai dengan analisis yang dia tawarkan –
sebagaimana dijelaskan di bawah ini –akan kelihatan bahwa dia berada pada posisi
pos-modernisme. Artinya dengan fitur-fitur yang dia sebutkan pada a systems
approach, dia menolak mendekati maqasid as-syariah (hukum Islam ada umumnya)
secara parsial, atau hanya dengan mengandalkan metode deduksi, induksi, apalagi
hanya berkutat pada bebarapa teks saja. Hal ini sesuai dengan semangat
posmodernisme yang mengkritik grand design yang dibuat oleh modernisme.
Dengan kata lain, Auda mengingikan agar “sesuatu” itu harus didekati secara
holistik, di mana entitas apa pun dipandang sebagai satu kesatuan sistem yang
terdiri dari sejunlah sub-sistem. Ini tentunya, bertolak belakang dengan
modernisme, yang meangasumsikan bahwa “sesuatu” itu bisa berdiri sendiri.

D. A Systems Approach sebagai Pisau Bedah Analisis


Seperti yang dijelas di atas, bahwa a system approach memandang susuatu
secara holistik; dan terdiri dari sejumlah sub-sistem yang saling berhubungan.
Dalam mendefinisikan sistem, Jaser meminjam definisi umum yang diberikan oleh
Skyttner, yakni, sistem adalah serangkaian interaksi unit-unit atau elemen-elemen
yang membentuk sebuah keseluruhan terintegrasiyang dirancang untuk beberapa

8
fungsi.18 Sistem adalah disiplin baru yang independen, yang melibatkan sejumlah
dan berbagai sub-disiplin. Pendekatan sistem mengkritik modernitas dengan cara
yang berbeda dari cara yang biasa digunakan oleh teori-teori pos-modernisme.
Dalam menentukan fitur apa saja yang digunakan oleh Jasser pada a
system approach, Jasser dipengaruhi oleh bebarapa tokoh teori sistem, di antaranya:
Von Bertalanffy, yang disebut sebagai “bapak teori sistem”; Skyttner, D. Katz, L.
Kahn, D. Hitchings, D. Bowler, dan lain sebagainya. Fitur-fitur sistem yang
diusulkan oleh Jasser adalah:

1. Kognisi (Cognition; al-Idrakiyah)


Inti dari fitur ini adalah adanya pemisahan wahyu dan kognisi manusia;19
dalam konteks ini, fikih harus digeser dari klaim sebagai pengetahuan ilahiah
menuju bidang kognisi manusia. Hal ini sesuai dengan konsep fikih itu sendiri,
bahwa ia adalah penalaran dan hasil ijtihad dari manusia terhadap nash sebagai
upaya menangkap makna tersembunyi di dalamnya. Pemisahan ini akan
berimplikasi terhadap cara pandang, bahwa ayat-ayat al-Quran adalah wahyu, tetapi
interpretasi ulama atau faqih terhadap ayat-ayat tersebut bukanlah wahyu. Dengan
adanya pemisahan ini, tidak ada klaim, bahwa pendapat inlah yang paling benar dan
paling baik. Karena semua interprtasi manusia terhada wahyu yang berbentuk teks
tadi sifanya adalah subjektif. Dalam konteks kajian maqasid, dari fitur ini –
sekalipun Auda tidak menyebutnya secara eksplisit –bisa dipahami, kenapa
kemudian ia mengkritik konsep maqasid klasik. Hal ini terkait dengan
kecenderungan maqasid klasik yang dideduksi dari literatur-literatur fikih, bukan
dari Al-Quran dan Sunnah.

2. Utuh (Wholeness; al-Kulliyah)


Dalam teori sistem memandang, bahwa setiap relas sebab-akibat adalah
satu bagian dari keseluruhan, di mana setiap hubungan menghasilkan
kemenyeluruh yang utuh.20 Cara pandang ini sekaligus menghendaki, segala

18
Jasser Audah, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah... hlm. 70.
19
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law.. hlm. 45-46
20
Ibid, hlm. 46.

9
sesuatu itu harus dilihat secara holistik. Hal ini sekaligus mengkritik cara kerja usul
fikih klasik yang terkesan reduksionis dan otomestik. Ketika fitur ini dikaitkan
dengan pengembangan teori maqasid, bisa dimaknai, bahwa dalam mencari
maqasid sesuatu harus dilihat secara menyeluruh, bukan hanya satu atau dua ayat.
Dalam hal ini, usulan maudhu’i-nuzuli (tematik-kronologis)21 bisa digunakan.

3. Keterbukan (Openness; al-Infitahiyah)


Teori sistem membedakan antara sistem terbuka dan sistem tertutup.22
Sistem yang hidup adalah sistem tebuka. Dalam sejarahanya, fikih adalah sistem
yang terbuka. Keterbukaan fikih ini bisa dilihat pada wilayah metodologinya, di
mana para ushuliyyuun, mengembangkan bervariasi metode –di antaranya ada
qiyas, istihsan, maslahah mursalah, sad al-zariah, dst –untuk menjawab
problematika yang mereka hadapi yang terus bergerak. Jika pada masa itu metode
itu sudah memadai, maka untuk konteks sekarang, seorang mujtahid harus
membuka diri untuk menerima berbagai macam keilmuan dalam memecahkan
masalah. Selain membuka diri, setiap hasil ijtihad selalu terbuka terhadap berbagai
kemungkinan perbaikan dan penyempurnaan. Dengan demikian, fitur ini
menghenadaki adanya pendekatan interdisipliner, multi-disipliner, bahkan trans-
disipliner untuk memecahkan berbagai persoalan kontemporer. Hal yang sama juga
berlaku dalam mencari dan mewujudkan maqasid.

4. Hierarki Saling Keterkaitan (Interrelated-hierarchy; al-Harakiriyah al-


Mu’tamadah Tabaduliyan)
Fitur ini menjelaskan bahwa sesuatu itu adalah saling terkait. Auda ketika
menjelaskan ini, berangakat dari klasifikasi yang dibuat oleh ilmu Kognisi
(Cognitive science). Dalam ilmu tersebut, ada 2 alternasi teori penjelasan menurut
Auda tentang kategorisasi yang dilakukan oleh manusia, yaitu kategorisasi
berdasarakan kemiripan (feature similarity) dan kategorisasi berdasarkan konsep
mental (mental concept). Dalam hal ini, Auda lebih memilih kategorisasi yang
berdasarkan konsep untuk diterapkan pada usul-fikih. Salah satu implikasi dari fitur

21
Ini adalah istilah yang disampaikan oleh Bapak Dr. Ali Sodiqin ketika mengampuh mata
kuliah Teori-teori Maqasid Syariah di Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga.
22
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law.. hlm. 47.

10
interrelated –hierarchy ini adalah baik daruriyyat, hajiyyat maupun tahsiniyyat,
dinilai sama pentingnya. Lain halnya dengan klasifikasi al-Syatibi (yang menganut
feature smilarity), sehingga hirarkhinya bersifat kaku. Konsekwensinya, hajiyyat
dan tahsiniyyat selalu tunduk kepada daruriyyat. Contoh penerapan fitur
Interrelated –hierarchy adalah baik salat (daruriyyat), olah raga (hajiyyat) maupun
rekreasi (tahsiniyyat) adalah sama-sama dinilai penting untuk dilakukan.23 Selain
itu, fitur ini juga memperbaiki dua dimensi maqasid: perbaikan pada jangkauan
maqasid dan perbaikan orang yang diliputi maqasid. Hal ini akan terlihat pada
penjelasan sub-bab di bawah.

5. Multi-Dimensionalitas (Multidimensionalituy;Ta’addud al-Ab’ad)


Fitur ini menghenadaki bahwa sesuatu itu harus dilihat dari berbagai
dimensi, bukan hanya satu dimenasi. Cara pandang satu dimenasi kan
mengakibatkan banyak kontradiksi-kontradisi. Inilah yang selama ini menimpa
hukum Islam, sehingga mengakibat adanya istilah taarud al-adillah. Dengan fitur
multi-dimensionalitas, konsep taarud al-adillah selama ini bisa diselesaikan.

6. Kebermaksudan (Porposefulness; al-Maqasidiyah)


Kelima fitur yang dijelaskan di atas, yakni kognisi (Cognitive), utuh
(Wholeness), Keterbukaan (Openness), hubungan hirarkis yang saling terkait,
(Interrelated Hierarchy), mulidimensi (Multidimensionality), dan terakhir
ditambah Purposefulnes adalah saling berhubungan dan terkait satu dan lainnya.
Semua fitur lainnya dibuat untuk mendukung fitur 'purposefulness' dalam sistem
hukum Islam, yang merupakan fitur yang paling mendasar bagi sistem berpikir.
Dengan kata lain, fitur terkahir ini adalah common link, yang menghungbungkan
antara semua fitur tersebut. Dari sinilah kemudian, Auda memulai pengembangan
teori Maqasid. Sebagaimana dilihat di bawah ini.

23
Abdullah, M. Amin, “Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Pendekatan Filsafat
Sistem dalam Usul Fikih Sosial”, Jurnal Salam.. hlm. 28.

11
E. Maqasid Syariah: dari Tradisionalisme Menuju Kontemporer
Dalam kajian Islam, maqasid syariah sangat penting peranannya, ini terkait
dengan posisinya sebagai tujuan dari syariah itu sendiri.24 Secara etimologi maqasid
adalah bentuk jamak dari maqṣhad, yang mempunya arti: maksud (purpose),
sasaran (abjective), prinsip (principle), niat (intent), tujuan (goal), dan tujuan akhir
(end).25 Sementara secara terminologi maqasid syariah didefinisikan sebagai
makna-makna yang dituju oleh syari’ untuk diwujudkan yang terdapat di balik
ketentuan-ketentuan syariah dan hukum.26 Maqasid syariah sebagai sebuah teori,
metodologi, dan terminus technicus, baru muncul pada abad ke delapan hijriah, di
tangan Imam Syatibi, dengan kitabnya Al-Muwafaqat27 –disebut sebagai Bapak
Maqasid. Sebelumnya, kajian maqasid masih satu paket dengan kajian al-maslahah
al-mursalah. Setidaknya ada tiga alasan Syatibi disebut sebagai Bapak Maqasid:
pertama, keberhasilan Syatibi menarik maqasid yang semula hanya sekadar
‘maslahah-maslahah lepas’ menjadi ‘asas-asas hukum’. Kedua, dari ‘hikmah di
balik aturan’ kepada ‘dasar aturan’. Ketiga, dari ‘ketidaktentuan’ menuju
‘keyakinan’.28
Para ahli maqasid klasik mengklasifikasikan maqasid sesuai dengan
jenjang kemaslahatannya menjadi tiga tingkat: al-ḍarūrῑyyah (primer;
keniscayaan), al-hᾱjῑyyah (sekunder; kebutuhan), dan al-tahsῑnῑyyah (tersier;
kemewahan). Kemudian, al-ḍarūrῑyyah dibagi lagi kepada: hifz al-din (pelestarian
agama), hifz al-nafs (pelestarian nyawa), hifz al-mal (pelestarian harta), hifz al‘aql
(pelestarian akal) dan hifż al-nasl (pelestarian keturunan). Sebagian ahli
menambahkan hifz al-‘ird (pelestarian kehormatan) untuk menggenapkan kelima
al-maqᾱṣid itu menjadi enam tujuan pokok/primer atau keniscayaan. Dari ketiga
ketegori klasifikasi maqasid itu, hanya al-dharuruyah atau al-hajiyah yang bisa

24
Muhammad Hashim Kamali, Maqᾱṣid Syariah Made Simple (Malaysia: International
Institute of Advanced Islamic Studies (IAIS), ttt), hlm. 1.
25
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law... hlm. 2.
26
Jasser Auda, Fiqh al-Maqasid: Inathah al-Ahkam al-Syar’iyah bi Maqasidiha (London:
al-Ma’had al-‘Aliy li al-Fikr al-Islamiy, 2006), hlm. 15.
27
Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyah (Qatar: Wijarah al-
Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyah: 2004), hlm. 28.
28
Jasser Auda, Al-Maqasid Untuk Pemula... hlm. 46-48.

12
dijadikan bahan dan dasar untuk istinbat al-ahkam. Selain klasifikasi di atas, Abdul
Majid an-Najjar membuat klasifikasi lain. Dilihat dari kekuatan sumber (quwwah
al-subut) maqasid dibagai kepada: al-maqhasid al-qat’iyyah, al-maqhasid al-
zhanniyah, al-maqashid al-wahmiyah; dari keasliannya (bi hasab al-ashliyah)
menjadi: maqasid al-ushul dan maqasid al-wasail.29
Akan tetapi, dengan perkembaangan zaman dan terjadinya globalisasi –di
mana manusia bukan hanya warga lokal (local citizen), melainkan sudah menjadi
warga dunia (world citizen), –mau tidak mau teori maqasid tradisional itu harus
dikembangkan. Menurut Auda, setidaknya ada beberapa kritikan yang disajikan
oleh para ahli teoritikus maqasid terhadap klsifikasi keniscayaan maqasid
tradisional, yaitu:30
a. Teori maqasid tradisional tidak memasukkan maksud khusus dari suatu
atau sekelompok nash yang meliputi topik fikih tertentu;
b. Maqasid tradisional masih berkutat di seputar individu, belum
menyentuh ranah makro: keluarga, masyarakat, dan umat manusia;
c. Maqasid tradisonal tidak memasuk nilai-nilai fundamental, seperti
keadilan (al-‘adl) dan kebebasan (al-hurriyah);
d. Maqasid tradisional masik dideduksi dari kajian literatur fikih, belum
dari sumber-sumber syariat: Al-Quran dan Sunnah.
Upaya pengembangan maqasid dari tradisionalisme menuju kontemporer inilah
yang diupayakan oleh Jasser Audah dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Perbaikan pada Jangkauan Maqasid


Klasifikasi kontemporer membagi maqaṣid menjadi tiga tingkatan sebagai
rangka perbaikan jangkauan hukum yang dicakup oleh maqasid. Pertama, maqasid
umum (al-maqaṣid al-‘ammah), yaitu maqaṣid yang dapat diperhatikan pada
hukum Islami secara keseluruhan. Seperti keniscayaan dan kebutuhan yang
dijelaskan di atas, dan nilai-nilai seperti keadilan (al-adl), universalitas (al-

29
Abdu al-Majid al-Najjar, Maqasid al-Syari’ah bi Ab’ad Jadidah, cet. ke-2 (Maroko: Dar
al-Garb al-Islami, 2008), hlm. 37-45.
30
Jasser Audah, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah... hlm.36.

13
kulliyah), kemudahan (al-taisir), dan kebebasan (al-hurriyah). kedua, maqasid
khusus (al-maqasid al-khassah), maqasid yang dapat diperhatikan pada salah satu
bab tertentu dari hukum Islami. Seperti kesejahteraan anak pada bab hukum
keluarga, mencegah kejahatan pada bab hukum pidana, dan mencegah monopoli.
Ketiga, maqasidd parsial (Al-maqashid al-juz’ῑyyah), maqasid ini adalah “maksud-
maksud” di balik suatu teks atau hukum tertentu. Seperti maksud terungkapnya
kebenaran pada penetapan jumlah saksi tertentu pada kasus- kasus hukum tertentu.
Maksud menghilangkan kesukaran dalam memperbolehkan orang sakit untuk tidak
puasa, dan maksud menjamin makanan para fakir miskin dalam melarang kaum
Muslimin untuk menyimpan daging pada hari-hari lebaran haji, dan lain
sebagainya.31
Dengan klasifikasi dan perluasan cakupan ini dapat digunakan untuk
menyusun sebuah sistem hukum yang lebih utuh. Karena boleh jadi, yang selama
ini ia dianggap sebagai maqasid syariah yang harus diwujudkan, akan tetapi dengan
klasifikasi ini, ternyata ada maqasid yang lebih fundamental yang harus diwujudkan
lebih dahulu. Begitu juga, dengan klasifikasi ini bisa menghindarkan adanya
kemungkinan kontradiksi dan pertentangan antara beberapa maqasid; di mana
maqasid khusus tidak boleh bertentangan dengan maqasid umum.

2. Perbaikan pada Jangkauan Orang yang Diliputi


Pengembangan selanjutnya adalah memperbaiki kekurangan teori maqasid
klasik terkait coraknya hanya membahas jangkauan “individual”, maka para
cendekiawan Muslim modern dan kontemporer memperluas jangkauan “manusia
yang lebih luas”, yaitu: masyarakat, bangsa, bahkan umat manusia. Seperti Ibn
Asyur, memberikan prioritas pada maqasid yang berkaitan dengan kepentingan
“bangsa” atau umat di atas maqasid seputar kepentingan individual; Rasyid Ridha,
Memasukkan “reformasi” dan “hak-hak wanita” ke dalam teori maqasid: dan Yusuf
al Qaradhawi, menempatkan “martabat” dan “hak-hak manusia” pada teori

31
Jasser Auda, Fiqh al-Maqasid: Inathah al-Ahkam... hlm. 15-17.

14
maqasidnya.32 Dengan pengemngan ini, kesan bahwa maqasid itu individual, kaku
dan hierarkis bisa hilang dengan sendirinya.

3. Perbaikan Pada Sumber Induksi Maqasid dan Tingkatan Keumuman


Maqasid
Para ahli maqasid kontemporer memperkenalkan teori maqasid umum
baru yang secara langsung digali dari nash, bukan lagi dari literatur fikih dalam
mazhab-mazhab fikih. Pendekatan ini, secara signifikan memungkinkan maqasid
untuk melampaui historisitas keputusan fikih serta merepresentasikan nilai dan
prinsip umum dari nash. Maka, hukum detail (ahkᾱm tafṣilῑyah) dapat digali dari
prinsip-prinsip menyeluruh (kulliyat).33

4. Pergeseran Paradigma (Shiftting-Paradigm)


Selain memetakan perkembangan maqasid dari tradisonal menuju
kontemporer, Auda juga melakukan pergeseran paradigma (shifting-paradigm) dari
teori maqaṣid lama ke teori maqaṣid baru terletak pada titik tekan keduanya. Titik
tekan maqasid lama lebih pada protection (perlindungan) dan preservation
(penjagaan, pelestarian) sedangkan teori maqᾱṣid baru lebih menekankan
development (pembangunan, pengembangan) dan human right (hak-hak
manusia).34 Dari pergeseran ini kemudian, cakupan dan sasaran maqasid menjadi
lebih luas.
Berdasar landasan berpikir tersebut, Auda berkeyakinan bahwa tujuan dari
hukum Islam (maqasid al-syari’ah al-Islamiyyah) menjadi prinsip fundamental
yang sangat pokok dan sekaligus menjadi metodologi. Dengan jangkauan maqasid
yang lebih luas, maka efektifitas dari sebuah sistem diukur berdasar pada
terpenuhinya tujuan yang hendak dicapai. Efektifitas dari sistem hukum Islam juga
diukur berdasarkan terpenuhinya tujuan-tujuan pokoknya. Untuk merealisasikan
itu, Audah menawarkan Human Development Index (HDI) dan Human
Development Targets, sebagai tujuan pokok dari kemaslahatan yang ingin dicapai.

32
Jasser Audah, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah... hlm.37.
33
Ibid, hlm. 37.
34
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law... hlm. 21.

15
Di mana, HDI dan HDT bisa diuji, dikontrol, diukur, dan divalidasi dari waktu ke
waktu.35 Dari penjelasan di atas, berikut adalah peta pemikiran Jasser Auda yang
penulis rangkum.

Peta Pemikiran Maqasid Jasser Auda

Tingkatan Jangkauan Pendekatan


kebutuhan Maqasid Sistem

1. Cognition
2. Wholeness 1. Maqasid al-
3. Openness Amm
1. Daruriyat
4. Interrelated 2. Maqasid al-
2. Hajiyat
hierarchy Khassoh
3. Tahsiniyat
5. Multydimensio 3. Maqasid al-
nality Juziyyah
6. Purposefulness

Terciptanya Maqasid syariah

Hifz al-din Hifz al- Hifz al-Aql Hifz al- Hifz al-Mal
Nafs Nasl/al-Ird

Development Human Right

35
Ibid, hlm. 45.

16
Maqasid syariah sebagai metodologi hukum yang jangkaunnya sudah
luas, maka dalam pengambilan maqasid bisa menggunakan motode yang selama ini
dipakai dalam kajian ushul fiqh, akan tetapi tetap mempertimbangakan nilai-nilai
maqasid. Di antaranya:
a. Istihsan (juridical preference) berdasarkan maqasid.
Istihsan bukanlah sebagai kritikan terhadap qiyas secara keseluruhan,
sekalipun ia diangggap senagai kritikan. Menurut Auda, yang dikritik oleh istihsan
adalah pemaknaan dan pemakaian ‘illat (causa efektif) yang terlalu saklek dan
formalistik sekali, sehingga mengabaikan maqasidnya. Oleh sebab itu Istihsan
hanya dimaksudkan untuk mengabaikan implikasi qiyas dengan menerapkan
maqasidnya secara langsung. Sebagai contoh: Abu Hanifah mengampuni (tidak
menghukum perampok, setelah ia terbukti berubah dan bertaubat berdasarkan
Istihsan, meskipun ‘illat untuk menghukumnya ada. Alasan Abu Hanifah, karena
tujuan dari hukum adalah mencegah seorang dari kejahatan. Kalau sudah berhenti
dari kejahatan mengapa harus dihukum? Contoh ini menunjukkan dengan jelas ,
bahwa pada dasarnya istihsan diterapkan dengan memahami dulu maqasid dalam
penalaran hukumnya. Bagi pihak yang tidak mau mengggunakan Istihsan, dapat
mewujudkan Maqasid melalui metode lain yang menjadi pilihannya.36

b. Fath Zarai’ (opening the means) untuk mencapai Maqasid.


Beberapa kalangan Maliki mengusulkan penerapan fath zarai’ di samping
sadd zarai’. Al-Qarafi menyarankan, jika sesuatu yang mengarah ke tujuan yang
dilarang harus diblokir (sadd zara’i), maka semestinya sesuatu yang mengarah ke
tujuan yang baik harus dibuka (fath zarai’). Untuk menentukan peringkat prioritas
harus didasarkan pada maqasid. Dengan demikian, dari kalangan Maliki ini, tidak
membatasi diri pada sisi konsekensi negatifnya saja, tetapi memperluas ke sisi
pemikiran positif juga.

36
Ibid, hlm. 238.

17
c. ‘Urf (customs) dan tujuan universalitas.
Hukum Islam harus bersifat universal, sebab ada pernyataan bahwa hukum
Islam dapat diterapkan untuk semua kalangan, di manapun dan kapanpun, sesuai
dengan pesan yang terkandung dalam sejumlah ayat Al-Quran dan hadis. Nabi
memang berasal dari Arab, yang saat itu merupakan kawasan yang terisolasi dari
dunia luar, yang kemudian berinteraksi secara terbuka dengan dunia luar. Agar
tidak terjadi kontradiksi, maka sudah semestinya pemahaman tradisi lokal (baca:
Arab) tidak dibawa ke kancah tradisi internasional. Jika demikian maka
kemaslahatan tidak dapat dicapai dan tidak sesuai dengan Maqasid al-Syariah. Oleh
sebab itu, kasus-kasus tertentu dari ‘urf tidak boleh dianggap sebagai peraturan
universal. Ibn Asyur mengusulkan sebuah metode untuk menafsirkan teks/nass
melalui pemahaman konteks budaya Arab saat itu. Demikian, Ibn Ashur membaca
riwayat dari sisi tujuan yang lebih tinggi, dan tidak membacanya sebagai norma
yang mutlak.37
d. Istishab (reassumption of continuity) berdasarkan maqasid.
Prinsip Istishab adalah bukti logis (dalilun ‘aqliyyun). Tetapi, penerapan
prinsip ini harus sesuai dengan maqasidnya. Misalnya, penerapan asas “praduga tak
bersalah sampai terbukti bersalah” (al-aslu bara’at al-zimmah). Maqasidnya
adalah untuk mempertahankan tujuan keadilan. Penerapan “Praduga kebolehan
sesuatu sampai terbukti ada dilarang (al-asl fi al-asya’i al-ibahah hatta yadullu al-
dalil ‘ala alibahah), maqasidnya adalah untuk mempertahankan tujuan kemurahan
hati dan kebebasan memilih.38
Dengan memadukan maqasid syariah dan a system approach terutama
pada fitur porposefulness;al-maqasidiyah, maka bisa ditarik dipetakan pergeseran
paradigma dari maqasid tradisionaisme menuju maqasid kontemporer, sebagai
berikut:39

37
Jasser Auda, Fiqh al-Maqasid: Inathah al-Ahkam... hlm.99.
38
Jasser Audah, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah... hlm.314.
39
Disadur dari: M. Amin Abdullah, “Epistemologi Keilmuan Kalam dan Fikih dalam
Merespon Perubahan di Era Negara-Bangsa dan Globalisasi... hlm.146.

18
No. Teori Maqasid Klasik Teori Maqasid Kontemporer
1. Menjaga agama (hifz al- Menjaga, melindungi dan menghormati
din) kebebasan beragama atau berkepercayaan
.
2. Menjaga Keturunan Teori yang berorientasi kepada perlindungan
(hifz al-nasl) keluarga; kepedulian yang lebih terhadap
institusi Keluarga
3 Menjaga Akal (hifz al- Melipatgandakan pola pikir dan research ilmiah;
aql) mengutamakan perjalanan untuk mencari ilmu
pengetahuan; menekan pola pikir yang
mendahulukan kriminalitas kerumunan
gerombolan; menghindari upaya-upaya untuk
meremehkan kerja otak.

4. Menjaga kehormatan; Menjaga dan melindungi martabat


menjaga jiwa (hifz al- kemanusiaan; menjaga dan melindungi hak-hak
irdh) asasi manusia

5. Menjaga harta (hifz al- Mengutamakan kepedulian sosial; menaruh


mal) perhatian pada pembangunan dan
pengembangan ekonomi; mendorong
kesejahteraan manusia; menghilangkan jurang
antara miskin dan kaya.

F. Kesimpulan
Dari semua paparan di atas, bisa disimpulkan, bahwa Jasser Audah
menjadikan fitur sistem sebagai pisau bedah analisis. Enam fitur yang dimaksud
adalah Cognition; al-Idrakiyah: adanya pemisahan wahyu dan kognisi manusia;
wholeness; al-kulliyah: melihat persoalan secara utuh; openness; al-infitahiyah:
selalu terbuka terhadap berbagai kemungkinan perbaikan dan penyempurnaan;
interrelated-hierarchy; al-harakiriyah al-mu’tamadah tabaduliyan: saling
keterkaitan antar nilai-nilai; multidimensionalituy; ta’addud al-ab’ad: melibatkan
berbagai dimensi; dan Porposefulness; al-maqasidiyah: kebermaksudan. Fitur yang
disebutkan terkahir merupakan fitur yang bisa menghubung anatara satu fitur
dengan fitur yang lain. Dengan alasan ini, kemudian Jasser Auda mengembangkan
maqasid syariah klasik untuk konteks kontemporer. Pengembangan itu adalah
memperluas jangkauan maqasid dari yang sebelumnya: individual, reduksi dari

19
literur fikih, dan atomistik, menjadi lebih luas, tersistem dan berangkat dari sumber
nash. Selain itu juga, Jasser Auda menggeser paradigma teori maqasid klasik yang
sifatnya protection dan preservation menuju development dan human right.
Tentunya, dalam rangka mengusulkan sistem hukum Islam, Jasser Auda untuk
mengusulkan berbasis maqasid syariah. Akan tetapi, berbasis maqasid di sini
pengertiannya adalah harus didekati dengan sistem yang holistik; di mana semua
entitas saling terkait dan tidak bisa dipisahkan.

20
Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin, “Epistemologi Keilmuan Kalam dan Fikih dalam Merespon


Perubahan di Era Negara-Bangsa dan Globalisasi (Pemikiran Filsafat
Keilmuan Agama Islam Jasser Auda)”, Media Syariah, Vol. XIV No. 2
Juli – Desember 2012.
Abdullah, M. Amin, “Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Pendekatan
Filsafat Sistem dalam Usul Fikih Sosial”, Jurnal Salam, Vol. 14 No. 1
Januari - Juni 2011. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
al-Najjar, Abdu al-Majid, Maqasid al-Syari’ah bi Ab’ad Jadidah, cet. ke-2
(Maroko: Dar al-Garb al-Islami, 2008).
Asyur, Muhammad Thahir bin, Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyah (Qatar: Wijarah
al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyah: 2004).
Auda , Jaser, Khatutun ‘Ammah li Naqlah Manhajiyah fi Kasyfi wa Taf’il Maqasid
al-Qur’an al-‘Azhim, makalah.
Auda, Jasser, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A System
Approach (London: The International Institute of Islamic Thought, 2007)
Auda, Jasser, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah (Bandung:
Mizan, 2015)
Auda, Jasser, Al-Maqasid Untuk Pemula, terj. ‘Ali ‘Abdelmon’im, (Yogyakarta:
SUKA-PRESS, 2013)
Auda, Jasser, Fiqh al-Maqasid: Inathah al-Ahkam al-Syar’iyah bi Maqasidiha
(London: al-Ma’had al-‘Aliy li al-Fikr al-Islamiy, 2006).
Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam
(Yogyakarta: Gama Media, 2002)
Kamali, Muhammad Hashim, Maqᾱṣid Syariah Made Simple (Malaysia:
International Institute of Advanced Islamic Studies (IAIS), ttt).
Rahman, Masykur, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: IRCiSoD,
2013), hlm. 366.
Sirry, Mun’im, Tradisi Intelektual Muslim: Rekonfigurasi Sumber Otoritas Agama
(Malang: Madani, 2015)

21

Anda mungkin juga menyukai