Anda di halaman 1dari 104

A DA N A R A KÇ

CAR A
MA

Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea


Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) Menjadi Pajak Daerah

Kementerian Keuangan Republik Indonesia


Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

Jakarta, 2011
Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah

Pengarah:
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktur Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah

Tim Penulis:
Anwar Syahdat, Anang Adik Rustandi, Riva Setiara, Dian Putra, Bonatua
Sinaga, Erny Murniasih, Eko Wahyu Nugroho (DJPK);
Tim Auracher, Budi Sitepu, Sonny Syahril (GIZ)

Kementerian Keuangan Republik Indonesia,


Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

Didukung oleh:
Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH
atas nama Kementerian Federal Jerman untuk Kerjasama Ekonomi dan
Pembangunan (BMZ)

Melalui Proyek:
Decentralisation as Contribution to Good Governance (DeCGG)

Jakarta, 2011
Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
Daftar Isi
Halaman

Kata Pengantar iv
Foreword: Indonesia-Germany Technical Cooperation vi
Executive Summary viii
1. Pendahuluan 01
1.1 Latar Belakang 01
1.2 Kebijakan BPHTB 02
1.3 Justifikasi Pengalihan BPHTB 03
1.4 Ketentuan Mengenai BPHTB 04
2. Strategi Pengalihan BPHTB 07
2.1 Perencanaan Pengalihan BPHTB 08
2.2 Pembagian Tugas dan Tanggung Jawab 11
3. Pelaksanaan Pengalihan BPHTB 14
4. Monitoring dan Evaluasi 31
4.1 Perkembangan Kesiapan Daerah Memungut BPHTB 31
4.2 Isu-Isu Strategis dan Solusinya 34
5. Analisis Efektifitas Pengalihan BPHTB 43
5.1 Efektivitas Kebijakan Pengalihan BPHTB 43
5.2 Efektivitas Langkah-Langkah yang Dilakukan 45
5.3 Efektivitas Pemungutan BPHTB 48
Kesimpulan 50
Rekomendasi 53
Referensi 57
Lampiran 58

ii Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
Daftar Tabel
Halaman
Tabel 1. NPOP, NPOP-TKP dan Saat Terutang BPHTB 06
Tabel 2. Rencana Strategis Pengalihan BPHTB Menjadi Pajak Daerah 10
Tabel 3. Kegiatan Sosialisasi Pengalihan BPHTB Tahun 2009-2010 17
Tabel 4. Kegiatan Pelatihan dan Bimbingan Teknis Tahun 2010 20
Tabel 5. Kesiapan Daerah Memungut BPHTB (Posisi: 30 Nopember 2010) 32
Tabel 6. Kesiapan Daerah Memungut BPHTB (Posisi: 31 Desember 2010) 33
Tabel 7. Kesiapan Daerah Memungut BPHTB (Posisi: 30 Juni 2011) 34
Tabel 8. Pengelompokan Daerah Berdasarkan Potensi BPHTB 44
Tabel 9. Perkembangan Penyiapan Perda BPHTB
(30 November 2010 s/d 30 Juni 2011) 46
Tabel 10. Perkembangan Potensi BPHTB yang Dapat Dipungut Daerah 47
Tabel 11. Realisasi Penerimaan BPHTB (Daerah Tertentu) 49

Daftar Grafik

Grafik 1. Perkembangan Penyiapan Perda BPHTB


(30 November 2010 s/d 30 Juni 2011) 46
Grafik 2. Perkembangan Potensi BPHTB yang Dapat Dipungut Daerah 47

iii
Kata Pengantar

Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari pajak pusat
menjadi pajak daerah merupakan langkah strategis dalam pelaksanaan desentralisasi fi skal
di Indonesia. Disamping memiliki justifi kasi teknis, pengalihan BPHTB menjadi pajak
daerah akan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) sebagai salah satu sarana
untuk meningkatkan kualitas belanja daerah (local spending quality). Peningkatan kualitas
belanja daerah akan memperbaiki kualitas pelayanan publik yang merupakan tujuan dari
kebijakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan data realisasi penerimaan BPHTB tahun 2009, terlihat bahwa potensi
BPHTB belum merata. Sekitar 98,5% dari realisasi penerimaan BPHTB Tahun 2009
dipungut di 235 kabupaten/kota (48% dari jumlah kabupaten/kota). Sisanya, sebanyak
1,5% BPHTB dipungut di 257 kabupaten/kota (52% dari jumlah kabupaten/kota).
Kondisi yang demikian, kemungkinan berpotensi menghambat implementasi pengalihan
BPHTB. Daerah yang memiliki potensi BPHTB tinggi cenderung aktif mempersiapkan
pemungutan BPHTB, sebaliknya daerah yang memiliki potensi BPHTB rendah
cenderung bertindak pasif. Namun, sampai dengan 31 Juli 2011, daerah yang telah mulai
memungut BPHTB telah mencapai 409 Kabupaten/Kota dan telah meng-cover sekitar
99,5% dari total potensi penerimaan BPHTB.

Gambaran di atas memberikan sinyal kepada kita bahwa strategi yang dipersiapkan dalam
pengalihan BPHTB seyogayanya menggunakan pola pendekatan yang berbeda antara
satu daerah dengan daerah lainnya meskipun menggunakan landasan hukum dan prinsip

iv Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
pemungutan pajak daerah yang sama. Demikian juga dengan langkah-langkah yang
ditempuh, tentunya akan memberikan hasil yang berbeda antara satu daerah dengan
daerah lainnya meskipun menggunakan metoda yang sama.

Saya menyambut gembira inisiatif untuk melakukan analisis terhadap pelaksanaan


pengalihan BPHTB yang dilakukan oleh Indonesia. Hasil analisis ini dapat memberikan
gambaran kepada kita mengenai hal-hal yang telah berhasil dijalankan dengan baik
dan hal-hal yang masih perlu disempurnakan dalam rangka optimalisasi pemungutan
BPHTB. Disamping itu, pelajaran yang dapat dipetik dari proses pengalihan BPHTB
ini akan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam perencanaan dan pelaksanaan
langkah strategis pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang
saat ini sedang kita laksanakan.

Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada GIZ-Indonesia yang telah mendukung
kegiatan peninjauan pelaksanaan pengalihan BPHTB di Indonesia dan melakukan
analisis yang hasilnya dituangkan dalam buku ini. Semoga kerjasama yang baik ini dapat
terus dipelihara dan ditingkatkan di masa-masa mendatang.

Jakarta, 1 November 2011


Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan,

Marwanto Harjowiryono

v
Foreword

As part of fiscal decentralisation policies, Indonesia has taken a strategic measure to devolve
land and building transfer tax (BPHTB) to districts and municipalities by enacting Law
28/20009 concerning local taxes and charges. Th e succes of the tax devolution requires
good planning, consistent implementation, appropriate monitoring and evaluation, as
well as adequate analysis to indicate the strength and the weaknesses of the process.

Deutsche Gesellschaft fuer Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH through its


Decentralisation as Contribution to Good Governance (DeCGG) program is delighted
to provide support on the activity of reviewing the implementation of BPHTB devolution
to local governments, as part of the strategy to improve Law 28/2009 implementation. A
close cooperation between GIZ and Directorate General of Fiscal Balance in every step of
the review process has resulted in a valuable output and outcomes.

Th e fi ndings of the review can be used as inputs for various purposes, such as to plan
further technical measures for optimzing BPHTB collection, to formulate solutions on
the issues encounterred during the transition phase, and to provide guidance for a better
implementation of rural and urban land and building tax (PBB-P2) devolution.

vi Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
Finally, we would like to thank the Director General of Fiscal Balance, Ministry of Finance,
and all of his staff s, who have shown their valuable trust in GIZ support. Hopefully, this
good cooperation can be maintained and improved in the future.

Jakarta, November 1, 2011.

Joerg-Werner Haas
Decentralisation as Contribution to Good Governance (DeCGG)
Head of Programme

vii
Executive Summary

Overview of the Implementation of Land and Building


Transfer Tax Devolution to Local Governments

Government of Indonesia has Through a systematic plan and a significant


managed to devolve BPHTB from support from various agencies and
institutions, government had taken some
central government to districts strategic measures and steps to hand over
and municipalities successfully. BPHTB to local governments. Despite
Lessons learned from the process some minor weaknesses, measures that had
has a significant value as inputs for been taken and its results reflected in the
designing and implementing the analysis had shown that the devolution of
BPHTB to local governments has been
devolution process of the rural and sucessfully done.
urban land and building tax (Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan In the planning stage, the government had
Perkotaan). been able to identify strategic activities
that need to be taken for preparing
Devolution of Land and Building Transfer local governments to be able to collect
Tax (BPHTB) to local governments BPHTB in an appropriate manner. The
is one of strategic measures in the strategic activities include socialization
implementation of fiscal decentralization (diseminination) of local tax policies,
in Indonesia. Based on Law 28/2009, formation of a task force for handing
BPHTB becomes one of local taxes since over BPHTB, capacity development,
January 1, 2011. In addition to technical facilitation, technical support, and
justification, devolution of BPHTB to developing a ‘help-desk’ function. Besides a
local governments was meant to increase clear time table, the responsible institution
local own revenues as an instrument and person have been determined for each
for supporting a better quality of local activity.
spending. The increase of local spending
quality will result in a better public services The implementation of the plan worked
as one of the local autonomy objectives, i.e. smoothly and coverred a wide range of
to increase social welfare. regions and stakeholders. Participation

viii Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
of various institutions in the policy Another interesting fact was that some
disemination process was remarkably local governments had managed to achieve
noted. International agencies such as their annual revenue target by June 2011.
Asian Development Bank also took part It shows that some local governments were
in conducting seminars and workshops seriously made efforts to optimize the
on BPHTB devolution. Some other BPHTB collection.
development donors also offered a
great deal of support to make BPHTB There were also a number of issues arouse
devolution work well. in the devolution process, either related
to policy or to technical aspects, such as
Some challenges had been encounterred tax exemption and special treatment in
during the implementation stage of the the transitional period. Almost all related
devolution process. A big disparity of institutions seemed were enthusiastically
BPHTB potentials among regions had cooperate to solve any issue arisen. The
required a differential strategy and approach. Task force on BPHTB Devolution played
Around 98.5% of total BPHTB revenue an important role in finding solution to
(2009) was collected in 235 municipalities any problems/issues.
(48% of total municipalities). Only 1,5%
of BPHTB revenue was collected in Monitoring and evaluation was another
other 257 municipalities (52% of total instrument for the government to make
municipalities). These small BPHTB sure that the devolution process work
potential local governments were in favour smoothly. Monitoring was done in a
of the previous centralized BPHTB system weekly basis and reported to the Director
as it guaranteed a significant amount of General of Fiscal Balance as well as to the
revenue sharing with a limited efforts and Minister of Finance. Some directions were
responsibilities. given by the Minister of Finance and the
Director General of Fiscal Balance to speed
With a number of adjusted efforts, the up the local government prepration in
government had managed to encourage collecting BPHTB.
those small BPHTB potential local
governments to prepare the collection Dispite the succesfull implementation of
of BPHTB. It is shown that by the end BPHTB devolution, there are a number
of 2010, 60% of total local governments of issues that are still on the way. More
(represnting 90% of BPHTB revenue) had technical guidance, capacity building, and
issued local regulations on BPHTB, and by systems development are still needed by
the end of June 2011, only 4 municipalities local governments to optimize BPHTB
had not issued local regulations on BPHTB. collection. The role of government,
This is a proof that local governments were especially Directorate General of Fiscal
ready to accept the BPHTB devolution. Balance, to fullfil these needs is central.

Executive Summary ix
Some factors are considered to be the As a lesson learned, government needs to
key factors to the successful of BPHTB consider the strategic measures that have
devolution process, among others: been taken for BPHTB devolution to be
a. Clear plan and approach on how adopted in the process of devolving Land
to hand over BPHTB from central and Building Tax. Since disparities of tax
government to local governments. (both BPHTB and PBB-P2) potential
b. Consistent implementation of adopted among regions are significantly large,
plan. the possibility of different treatment and
c. Full support from key stakeholders and support to local governments needs to
related agencies. be considered and formulated. Provision
d. Intensive monitoring and support. of technical guidance and template of
e. Responsive to the problems local regulation are among measures that
encountered during the transition are very helpfull to local governments. In
phase. addition, a pilot project and a government
supported IT system development are
considered to be key factors for a better
implementation of Land and Building Tax
devolution.

x Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
Pendahuluan
01
Dilihat dari berbagai aspek, pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah
merupakan kebijakan yang tepat. Untuk kelancaran pengalihannya
diperlukan perencanaan yang matang, implementasi rencana yang konsisten,
serta monitrong dan evaluasi yang berkesinambugan sebagai landasan untuk
melakukan penyempurnaan.
Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Retribusi Daerah, salah satu jenis pajak
Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari pusat yang dialihkan menjadi pajak daerah
pemerintah pusat kepada pemerintah adalah BPHTB. Kebijakan pengalihan
daerah merupakan langkah maju yang BPHTB menjadi pajak daerah dilakukan
dilakukan oleh Indonesia dalam penataan melalui suatu proses pembahasan rancangan
sistem perpajakan nasional. Berbagai undang-undang yang cukup panjang
pihak menilai ‘kebijakan’ tersebut sudah antara pemerintah dan dewan perwakilan
tepat dilakukan, namun yang tidak kalah rakyat. Dengan mempertimbangkan
pentingnya adalah ‘bagaimana’ kebijakan berbagai faktor strategis serta kondisi
tersebut diimplementasikan sehingga daerah yang berbeda-beda, pemerintah
daerah benar-benar dapat melakukan dan dewan perwakilan rakyat akhirnya
pemungutan BPHTB dengan baik. menyepakati pengalihan BPHTB menjadi
pajak daerah dengan beberapa kondisi,
Tulisan ini akan memberikan gambaran antara lain: (1) pemungutan BPHTB dapat
mengenai langkah-langkah yang dilakukan dilakukan oleh daerah secara optimal, dan
pemerintah dalam mengalihkan BPHTB (2) pelayanan kepada masyarakat tidak
ke daerah sekaligus memperlihatkan mengalami penurunan.
hasil dari langkah-langkah yang diambil.
Pengalaman mengalihkan BPHTB Masa transisi pengalihan BPHTB
menjadi pajak daerah akan sangat berguna ditetapkan selama 1 (satu) tahun sejak
dalam proses pengalihan pajak lainnya. berlakunya UU Nomor 28 Tahun 2009
dan mulai efektif menjadi pajak daerah
1.1 Latar Belakang pada tanggal 1 Januari 2011. Selama
masa transisi, Pemerintah melakukan
berbagai kegiatan untuk mempersiapkan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28
daerah menerima pengalihan BPHTB dari
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
pemerintah pusat.

01
Dalam pelaksanaan pengalihan suatu jenis Dari gambaran yang diperoleh dalam
pajak, akan terdapat sejumlah kendala implementasi pengalihan BPHTB
dan hambatan, terlebih-lebih apabila jenis yang telah dilakukan, dapat diambil
pajak tersebut merupakan jenis pajak langkah-langkah lanjutan untuk lebih
baru bagi daerah seperti BPHTB. Dalam mengoptimalkan pemungutan BPHTB.
proses pengalihan BPHTB, akan terdapat Pelajaran yang diperoleh dari proses
beberapa kendala, baik yang bersumber tersebut akan merupakan bahan masukan
dari kekurangsiapan pemerintah pusat, yang penting dalam mempersiapkan dan
kekurangsiapan pemerintah daerah, memperlancar pengalihan jenis pajak
kondisi di lapangan, dan lain-lain. Kendala lainnya, seperti pengalihan PBB Perdesaan
yang timbul perlu mendapat penanganan dan Perkotaan (PBB-P2).
segera dan dicarikan pemecahannya untuk
kelancaran pemungutan pajak daerah.
1.2 Kebijakan BPHTB
Hampir seluruh instansi terkait, utamanya
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
jajaran Kementerian Keuangan dan
Bangunan (BPHTB) adalah pajak atas
Kementerian Dalam Negeri, memberikan
perolehan hak atas tanah dan bangunan.
kontribusi yang signifikan dalam
Jenis pajak ini mulai dipungut oleh
memperlancar pemungutan BPHTB oleh
pemerintah Indonesia (sebagai pajak pusat)
daerah. Namun demikian, persiapan yang
pada tahun 1997 dengan diterbitkannya
matang dan partisipasi aktif dari pemerintah
UU Nomor 21 Tahun 1997 yang telah
daerah dalam mengimplementasikan UU
mengalami perubahan, terakhir dengan
Nomor 28 Tahun 2009 merupakan faktor
UU Nomor 20 Tahun 2000. Berdasarkan
penentu kelancaran pengalihan BPHTB
undang-undang tersebut, tarif BPHTB
menjadi pajak daerah.
ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP).
Tinjauan pelaksanaan pengalihan BPHTB
dari pajak pusat menjadi pajak daerah
Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004
ditujukan untuk memperoleh gambaran
tentang perimbangan keuangan antara
mengenai proses pengaliihan BPHTB
pemerintah pusat dan pemerintahan
yang dilakukan oleh Indonesia dengan
daerah, pendapatan BPHTB dibagikan
melihat kelemahan dan kebaikan dalam
ke daerah dengan pola distribusi sebagai
implementasiya. Untuk mencapai tujuan
berikut:1
tersebut, dilakukan survai dan analisis
berdasarkan fakta dan informasi serta
data yang objektif sehingga dapat dilihat
keberhasilan dan kekurangan dalam proses
1 Pasal 12 ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 33
pengalihan BPHTB. Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah

02 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
a. 80% merupakan bagian daerah yang pengalihan BPHTB yang semula sebagai
dibagikan kepada daerah provinsi dan pajak pusat menjadi pajak daerah, antara
kabupaten/kota dengan porsi: lain:
a. BPHTB layak ditetapkan sebagai pajak
16% untuk daerah provinsi yang daerah.
bersangkutan, dan BPHTB memenuhi kriteria dan
64% untuk daerah kabupaten/kota prinsip-prinsip pajak daerah yang baik,
penghasil. seperti:
objek pajaknya terdapat di daerah
b. 20% merupakan bagian pemerintah (local-origin),
pusat dan dibagikan kepada seluruh objek pajak tidak berpindah-
kabupaten/kota dengan porsi yang pindah (im-movable), dan
sama. terdapat hubungan yang erat antara
pembayar pajak dan pihak yang
Dengan demikian, seluruh pendapatan menikmati hasil pajak tersebut (the
BPHTB yang dipungut oleh pemerintah benefit-tax link principle).
pusat pada dasarnya diserahkan kepada
daerah melalui mekanisme Dana Bagi b. Meningkatkan Pendapatan Asli
Hasil. Daerah.
Penetapan BPHTB sebagai pajak
Berdasarkan pertimbangan efisiensi dan daerah akan meningkatkan pendapatan
dalam upaya menata kembali sistem yang bersumber dari daerah itu
perpajakan nasional yang dikaitkan sendiri (Pendapatan Asli Daerah)
dengan pelaksanaan otonomi daerah dan Hal ini berbeda dengan penerimaan
desentralisasi fiskal, maka dengan Undang- BPHTB sebagai pajak pusat, meskipun
Undang Nomor 28 Tahun 2009, BPHTB pendapatan BPHTB kemudian
dialihkan dari pajak pusat menjadi pajak diserahkan kepada daerah, penerimaan
kabupaten/kota. Undang-Undang No. 28 ini tidak dimasukkan ke dalam
Tahun 2009 ditetapkan pada tanggal 15 kelompok pendapatan asli daerah,
September 2009 dan berlaku secara efektif melainkan sebagai dana perimbangan
pada tanggal 1 Januari 2010. Khusus (Dana Bagi Hasil).
untuk BPHTB, mulai dapat dipungut oleh
daerah pada tanggal 1 Januari 2011. c. Meningkatkan akuntabilitas daerah
(local accountability).
Dengan menetapkan BPHTB sebagai
1.3 Justifikasi Pengalihan pajak daerah, maka kebijakan BPHTB
BPHTB (objek, subjek, tarif, dan dasar
pengenaan pajak) ditetapkan oleh
Secara konsepsional, terdapat beberapa daerah dan disesuaikan dengan kondisi
dasar pemikiran mengenai kebijakan dan tujuan pembangunan daerah.

Pendahuluan 03
Demikian pula dengan pemungutan Bertitik tolak dari konsepsi dan
BPHTB, sepenuhnya dilakukan pemikiran tersebut di atas, maka setiap
oleh daerah sehingga optimalitas upaya pengalihan pajak ke daerah perlu
pemungutannya tergantung pada didukung serta dipantau dan dievaluasi
kemauan dan kemampuan daerah.. implementasinya. Pemberian fasilitasi
Selanjutnya, penggunaan hasil BPHTB yang memadai akan dapat meningkatkan
ditentukan oleh daerah (melalui . proses efisiensi dan efektivitas pemungutannya.
alokasi belanja dalam APBD). Dengan
demikian, daerah mempertanggung-
jawabkan segala sesuatu terkait
1.4 Ketentuan Mengenai
dengan pemungutan BPHTB BPHTB
kepada masyarakat di daerahnya dan
masyarakat memiliki akses untuk ikut Pada dasarnya tidak terdapat perbedaan
serta dalam pengawasan penggunaan yang besar antara ketentuan mengenai
hasil pungutan BPHTB. BPHTB yang diatur dalam UU Nomor
21 Tahun 1997 (BPHTB sebagai pajak
d. Internationally good practice. pusat) dan BPHTB yang diatur dalam UU
Praktek di berbagai negara, BPHTB Nomor 28 Tahun 2009 (BPHTB sebagai
(property transfer tax) ditempatkan pajak daerah). Perbedaan pokok terletak
sebagai pajak daerah. pada fleksibilitas yang diberikan kepada
daerah dalam perumusan kebijakan
Argumentasi lain yang mendukung BPHTB untuk memberi ruang bagi daerah
kebijakan pengalihan BPHTB menjadi menetapkan kebijakan perpajakan yang
pajak daerah adalah berkaitan dengan sesuai dengan kondisi daerahnya.
kualitas belanja daerah (local spending
quality). Secara teoritis, pengalihan suatu Dasar pemungutan BPHTB adalah
jenis pajak dari pajak pusat menjadi pajak peraturan daerah yang memuat ketentuan
daerah akan dapat meningkatkan kualitas mengenai objek pajak, subjek pajak,
pengeluaran daerah. Kualitas belanja wajib pajak, tarif pajak, dasar pengenaan
daerah akan menjadi lebih baik dengan pajak, dan lain-lain. Namun demikian,
semakin besarnya penerimaan yang pengaturan dalam peraturan daerah harus
bersumber dari pendapatan asli daerah disesuaikan dengan kebijakan yang termuat
(PAD). Peningkatan kualitas belanja daerah dalam UU atau Peraturan Pemerintah.
secara langsung akan memperbaiki kualitas Kebijakan pokok mengenai BPHTB yang
pelayanan publik yang merupakan salah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009
satu tujuan kebijakan otonomi daerah. adalah sebagai berikut:
Hal ini pada gilirannya akan mempercepat
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan a. Objek pajak adalah perolehan hak
kesejahteraan rakyat. atas tanah dan/atau bangunan

04 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
(seperti hak milik, hak guna usaha, d. Wajib pajak adalah orang pribadi atau
hak guna bangunan, hak pakai, dan badan yang memperoleh hak atas
hak pengelolaan), baik pemindahan tanah dan/atau bangunan. Termasuk
hak (seperti jual-beli, tukar-menukar, wajib pajak BPHTB adalah pejabat
hibah, hadiah, dan waris) maupun pembuat akta tanah/notaris, kepala
pemberian hak baru. kantor lelang negara, dan kepala kantor
pertanahan, yang berdasarkan undang-
b. Sejumlah objek pajak tidak dikenakan undang diberikan kewajiban tertentu
BPHTB, seperti objek pajak yang dalam proses pemungutan BPHTB.
diperoleh perwakilan diplomatik
dan konsulat, negara, badan atau e. Tarif BPHTB paling tinggi 5%. Setiap
perwakilan lembaga internasional, daerah dapat menetapkan tarif BPHTB
konversi hak yang tidak merubah sesuai dengan kebijakan daerahnya
nama, wakaf, dan kepentingan sepanjang tidak melampaui 5%.
ibadah. Khusus mengenai badan atau
perwakilan lembaga internasional yang f. Dasar pengenaan BPHTB adalah ‘Nilai
dikecualikan dari pengenaan BPHTB Perolehan Objek Pajak’ (NPOP) dan
diatur dalam Keputusan Menteri saat terutang BPHTB adalah tanggal
Keuangan Nomor 147/PMK.07/2010 peralihan hak, dengan ketentuan
tanggal 27 Agustus 2010. sebagai berikut:
Nilai yang digunakan untuk
c. Subjek pajak adalah orang pribadi atau menetapkan NPOP dan NPOP-
badan yang memperoleh hak atas tanah TKP (NPOP Tidak Kena Pajak)
dan/atau bangunan. serta saat terutang BPHTB untuk

Pendahuluan 05
Tabel 1. NPOP, NPOP-TKP dan Saat Terutang BPHTB
NPOP-
Pengalihan Hak Dalam
No. NPOP TKP Saat Terutang BPHTB
Hal
Minimal
1 Jual-beli Harga transaksi Rp 60 juta Tanggal dibuat dan
2 Tukar-menukar Nilai pasar Rp 60 juta ditandataganinya Akta
3 Hibah Nilai pasar Rp 60 juta
4 Hibah wasiat Nilai pasar Rp 300 juta
5 Waris Nilai pasar Rp 300 juta Tanggal mendaftar-kan
peralihan hak ke kantor
pertanahan
6 Pemasukan dalam perseroan Nilai pasar Rp 60 juta Tanggal dibuat dan
atau badan hukum lainnya ditandataganinya Akta
7 Pemisahan hak Nilai pasar Rp 60 juta
8 Pelaksanaan putusan hakim Nilai pasar Rp 60 juta Tanggal putusan
pengadilan yang
mempunyai kekuatan
hukum yang tetap
9 Pemberian hak baru atas Nilai pasar Rp 60 juta
tanah sebagai kelanjutan
dari pelepasan hak Tanggal diterbitkan-
10 Pemberian hak baru atas Nilai pasar Rp 60 juta nya surat keputusan
tanah diluar pelepasan hak pemberian hak
11 Penggabungan usaha Nilai pasar Rp 60 juta Tanggal dibuat dan
12 Peleburan usaha Nilai pasar Rp 60 juta ditandataganinya Akta
13 Pemekaran usaha Nilai pasar Rp 60 juta
14 Hadiah Nilai pasar Rp 60 juta
15 Penunjukan pembeli dalam Harga transaksi Rp 60 juta Tanggal penunjukan
lelang pemenang lelang

berbagai transaksi pengalihan hak dan Bangunan), dasar pengenaan


adalah: BPHTB adalah NJOP-PBB.
Apabila NPOP tidak diketahui Setiap daerah dapat menetapkan
atau lebih rendah dari pada NPOP-TKP yang berbeda
NJOP-PBB (Nilai Jual Objek sepanjang tidak lebih rendah dari
Pajak yang digunakan sebagai jumlah tersebut di atas.
dasar penghitungan Pajak Bumi

06 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
Strategi Pengalihan BPHTB
02
Perencanaan pengalihan BPHTB telah dibuat secara komprehensif dengan
menetapkan langkah-langkah yang konkrit disertai pembagian tugas yang
jelas antar instansi terkait dan jadwal waktu pelaksanaan yang ketat.

Pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah 2010. BPHTB disetor ke Kas Umum
diawali dengan perumusan kebijakan yang Negara dan hasilnya dibagikan kepada
dituangkan dalam UU Nomor 28 Tahun daerah sesuai porsi yang ditetapkan
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi dalam peraturan perundang-undangan.
Daerah. Dalam undang-undang tersebut
ditetapkan bahwa BPHTB dialihkan b. Menteri Keuangan bersama-sama
menjadi pajak kabupaten/kota dan mulai dengan Menteri Dalam Negeri
berlaku secara efektif pada tanggal 1 mengatur tahapan persiapan
Januari 2011. Dengan demikian terdapat pengalihan BPHTB sebagai pajak
waktu satu tahun sejak saat berlakunya UU daerah.
Nomor 28 Tahun 2009 (1 Januari 2010)
dengan saat diberlakukannya BPHTB c. Pemerintah daerah dapat memungut
sebagai pajak daerah. Masa transisi BPHTB mulai tanggal 1 Januari 2011
ini dimaksudkan untuk memberikan dengan menerbitkan peraturan daerah.
kesempatan kepada pemerintah pusat dan BPHTB disetor ke Kas Umum Daerah
pemerintah daerah untuk secara bersama- dan hasilnya merupakan pendapatan
sama mempersiapkan berbagai aspek asli daerah (PAD).
dalam pemungutan BPHTB.
Ketentuan umum mengenai pengalihan Proses pengalihan BPHTB merupakan
BPHTB antara pemerintah pusat dan serangkaian langkah yang ditempuh
pemerintah daerah diatur sebagai berikut: oleh pemerintah untuk melaksanakan
ketentuan yang diatur dalam UU Nomor
a. Pemerintah pusat (Direktorat Jenderal 28 Tahun 2009, yakni mengalihkan
Pajak) masih tetap memungut BPHTB BPHTB dari pemerintah pusat kepada
sampai dengan tanggal 31 Desember pemerintah daerah dengan lancar. Sesuai

07
kondisi yang diharapkan dalam perumusan BPHTB sejak tahun 1997 sehingga
kebijakan pengalihan BPHTB menjadi memiliki kompetensi, sumber
pajak daerah, terdapat 2 (dua) indikator daya, dan sistem yang memadai
yang dapat digunakan untuk melihat untuk diberikan kepada daerah.
tingkat keberhasilan pengalihan pajak Dalam konteks ini, Direktorat
tersebut, yaitu (1) sebagian besar potensi Jenderal Pajak bertanggungjawab
BPHTB yang ada dapat dipungut oleh memberikan dukungan dan fasilitasi
daerah, dan (2) kualitas pelayanan kepada teknis pemungutan BPHTB kepada
wajib pajak tidak mengalami penurunan. pemerintah kabupaten/kota.

b. Direktorat Jenderal Perimbangan


2.1 Perencanaan Pengalihan Keuangan, Kementerian Keuangan.
BPHTB Unit kerja ini merupakan instansi yang
bertugas melakukan pembinaan pajak
Di Indonesia terdapat 3 (tiga) instansi daerah sehingga dapat mengambil
yang secara fungsional memiliki tugas langkah-langkah yang diperlukan
dan tanggungjawab dalam pelaksanaan untuk kelancaran pemungutan BPHTB
pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah, yang ditetapkan menjadi pajak daerah.
yaitu: Dalam konteks ini, Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan, khususnya
a. Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi
Keuangan. Daerah, bertanggungjawab melakukan
Unit kerja ini merupakan instansi sosialisasi dan pembinaan daerah agar
yang telah melaksanakan pemungutan dapat memungut BPHTB dengan
baik.

08 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
c. Direktorat Jenderal Keuangan Daerah, menerima pengalihan BPHTB juga
Kementerian Dalam Negeri. perlu diatur dan ditetapkan dengan
Unit kerja ini merupakan instansi suatu peraturan, sehingga setiap daerah
yang bertugas melakukan pembinaan terdorong untuk segera mempersiapkan
administrasi pajak daerah sehingga segala sesuatu yang diperlukan untuk
dapat mengatur dan membina aspek pemungutan BPHTB.
administrasi pemungutan BPHTB,
termasuk pemberian pedoman Penyusunan langkah strategis untuk
penyusunan organisasi dan sumber mengalihkan BPHTB menjadi pajak
daya manusia. Dalam konteks ini, daerah harus memperhatikan kondisi
Direktorat Jenderal Keuangan Daerah masing-masing daerah dan menetapkan
bertanggungjawab menyiapkan kegiatan yang dapat meningkatkan
pedoman di bidang administrasi, pemahaman, kesadaran, dan kesiapan
organisasi, dan sumber daya manusia daerah untuk memungut BPHTB pada
untuk kelancaran pemungutan waktunya. Sementara itu, koordinasi antar
BPHTB di daerah. instansi pusat dalam pelaksanaan kegiatan
yang telah direncanakan perlu dipelihara
Untuk mengoptimalkan langkah- agar tujuan pengalihan BPHTB menjadi
langkah yang diambil oleh ketiga instansi pajak daerah dapat dicapai secara optimal.
tersebut, maka pembagian tugas dan
tanggungjawab ketiga instansi ini harus Secara keseluruhan, langkah strategis yang
diatur dan ditetapkan secara jelas dengan didesain dalam rangka pengalihan BPHTB
suatu peraturan, sehingga masing-masing menjadi pajak daerah dapat digambarkan
instansi dapat lebih memaksimalkan pada tabel 2 berikut.
langkah dan strateginya dalam rangka
memperlancar pengalihan BPHTB. Melalui langkah-langkah tersebut di
atas, pemerintah daerah diarahkan dan
Proses berikutnya dalam pengalihan difasilitasi untuk segera mempersiapkan
BPHTB adalah pemberdayaan daerah kelengkapan untuk pemungutan BPHTB
untuk segera mempersiapkan pemungutan secara baik, antara lain untuk:
BPHTB sesuai jadwal waktu yang perumusan dan penetapan Perda
ditetapkan dalam undang-undang. BPHTB
Dengan ditetapkannya BPHTB sebagai penyusunan tatacara pemungutan
pajak daerah, maka seluruh aspek BPHTB (Standard Operating
pemungutan BPHTB menjadi tanggung Procedures) dengan menerbitkan
jawab daerah, mulai dari perumusan Peraturan Bupati/Walikota
kebijakan, pelaksanaan pemungutan, penyediaan sarana dan prasarana
dan pemanfaatan pendapatan BPHTB. (komputer, sistem aplikasi)
Tugas dan tanggung jawab daerah dalam penyiapan SDM yang memadai

Strategi Pengalihan BPHTB 09


Tabel 2. Rencana Strategis Pengalihan BPHTB Menjadi Pajak Daerah
No. Kegiatan Tujuan/Sasaran UIC Waktu
1 Perumusan Menyediakan landasan hukum Pemerintah Sep 2009
Kebijakan pengalihan BPHTB menjadi dan DPR
pajak daerah
2 Sosialisasi Kebijakan Menyampaikan kebijakan Kemenkeu Okt 2009 s/d
baru PDRD kepada seluruh dan Des 2011
stakeholder Kemendagri
3 Pembentukan Tim Meningkatkan koordinasi Kemenkeu Jan 2010 s/d
Persiapan Pengalihan antar instansi dalam Des 2011
BPHTB mempersiapkan pengalihan
BPHTB
4 Penyusunan Menyediakan landasan Kemenkeu Okt 2009 s/d
peraturan operasional pengalihan dan Sep 2010
pelaksanaan BPHTB Kemendagri
5 Pelatihan dan Meningkatkan kapasitas Kemenkeu Okt 2009 s/d
Bimbingan Teknis daerah (khususnya aparatur Des 2011
pemda) dalam pemungutan
BPHTB
6 Fasilitasi Pengalihan Mempermudah daerah dalam Kemenkeu Jan 2010 s/d
mempersiapkan pemungutan Des 2011
BPHTB
7 Launching Public announcement tentang Kemenkeu 2010
Pengalihan pengalihan BPHTB.
8 Pendampingan Mengarahkan aparatur Kemenkeu Jan 2011 s/d
pemerintah daerah untuk Des 2011
dapat memungut BPHTB
secara baik.
9 Pembangunan ‘help- Memudahkan daerah dan Kemenkeu Jan 2010 s/d
desk’ pihak lain memperoleh Des 2011
informasi mengenai BPHTB
10 Dukungan Mempercepat evaluasi Gubernur Jan 2010 s/d
penyusunan Perda rancangan perda BPHTB Kemenkeu Des 2011
BPHTB

10 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
pelaksanaan sosialisasi kepada 53 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan
seluruh pemangku kepentingan Pengalihan BPHTB Menjadi Pajak
(Notaris, PPAT, Kantor Pertanahan, Daerah.
Kantor Lelang, Masyarakat) tentang Untuk mempersiapkan pengalihan
pengalihan BPHTB dari pajak pusat BPHTB, dalam peraturan bersama
menjadi pajak daerah tersebut diatur pokok-pokok tugas dan
pembukaan rekening penerimaan tanggungjawab masing-masing instansi
BPHTB dan pemerintah daerah disertai dengan
pembangunan kerjasama dengan pihak batas waktu penyelesaiannya, sebagai
terkait. berikut:

a. Direktorat Jenderal Pajak bertugas dan


2.2 Pembagian Tugas dan bertanggungjawab untuk:
Tanggung Jawab menyelenggarakan sosialisasi
mengenai pengalihan kewenangan
Pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah pemungutan BPHTB,
melibatkan sekurang-kurangnya 2 (dua) mengkompilasi peraturan
pihak, yaitu pihak yang mengalihkan pelaksanaan BPHTB, sebagai
(pemerintah pusat) dan pihak yang bahan acuan pemerintah daerah
menerima pengalihan (pemerintah dalam menyusun peraturan daerah
kabupaten/kota). Dalam proses pengalihan dan peraturan kepala daerah, paling
tersebut perlu disepakati mengenai tugas lambat tanggal 30 September 2010,
dan tanggungjawab masing-masing pihak mengkompilasi standar prosedur
sehingga dapat diperoleh hasil yang operasi terkait BPHTB, sebagai
optimal. bahan acuan pemerintah daerah

Untuk memberikan landasan hukum bagi


semua pihak untuk mengambil langkah-
langkah yang diperlukan dalam pengalihan
BPHTB, Pasal 182 angka 2 UU Nomor
28 Tahun 2009 mengamanatkan kepada
Menteri Keuangan bersama-sama dengan
Menteri Dalam Negeri mengatur tahapan
persiapan pengalihan BPHTB sebagai
pajak daerah. Dalam rangka pelaksanaan
ketentuan tersebut, pemerintah telah
menetapkan Peraturan Bersama Menteri
Keuangan dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 186/PMK.07/2010 dan Nomor

Strategi Pengalihan BPHTB 11


dalam menyusun standar prosedur 2006 sampai dengan tahun 2010,
operasi, paling lambat tanggal 30 paling lambat tanggal 31 Desember
September 2010, 2010,
mengkompilasi struktur, tugas, mengusulkan penutupan rekening
dan fungsi organisasi Direktorat penerimaan BPHTB pada bank
Jenderal Pajak terkait pemungutan persepsi, dan
BPHTB, sebagai bahan acuan memberikan pelatihan teknis
pemerintah daerah untuk pemungutan BPHTB kepada
merumuskan struktur organisasi pemerintah daerah.
dantatakerja pemungutan BPHTB,
paling lambat tanggal 30 September b. Direktorat Jenderal Perimbangan
2010, Keuangan bertugas dan
mengkompilasi data piutang bertanggungjawab untuk::
BPHTB beserta berkas menyelenggarakan sosialisasi
pendukungnya, paling lambat mengenai pengalihan kewenangan
tanggal 31 Desember 2010, pemungutan BPHTB,
mengkompilasi data pendukung menggandakan hasil kompilasi
dalam rangka pelaksanaan dokumen yang disiapkan oleh
pemungutan BPHTB oleh Direktorat Jenderal Pajak,
pemerintah daerah berupa data menyerahkan hasil kompilasi
NJOP per 1 Januari 2011, paling kepada pemerintah daerah, paling
lambat tanggal 1 Januari 2011, lambat tanggal 15 Oktober 2010,
mengkompilasi surat Keputusan dan
Menteri Keuangan mengenai melakukan pemantauan dan
penetapan NJOP-TKP sejak tahun pembinaan pelaksanaan pengalihan

12 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
BPHTB kepada pemerintah pemungutan BPHTB,
daerah. menyiapkan sarana dan prasarana,
paling lambat tanggal 31 Desember
c. Kementerian Dalam Negeri bertugas 2010,
dan bertanggungjawab untuk: menyiapkan struktur organisasi dan
menyelenggarakan sosialisasi tata kerja, paling lambat tanggal 31
mengenai pengalihan kewenangan Desember 2010.
pemungutan BPHT, . menyiapkan sumber daya manusia,
memfasilitasi, membina, dan paling lambat tanggal 31 Desember
mengawasi pemerintah daerah 2010,
dalam rangka pengalihan BPHTB menyiapkan peraturan daerah,
kepada pemerintah daerah, peraturan kepala daerah, dan
menyiapkan pedoman struktur standar prosedur operasi, paling
organisasi dan tatakerja pemerintah lambat tanggal 31 Desember 2010,
daerah, dan menyiapkan kerjasama dengan
memberikan bimbingan, konsutasi, pihak terkait, antara lain kantor
pendidikan dan pelatihan teknis, pelayanan pajak, perbankan,
serta pelaksanaan supervisi dalam kantor pertanahan, kantor lelang,
rangka pengalihan BPHTB kepada dan notaris/pejabat pembuat akta
pemerintah daerah. tanah, paling lambat tanggal 31
Desember 2010, dan
d. Pemerintah daerah bertugas dan menyiapkan pembukaan rekening
bertanggungjawab untuk: BPHTB pada bank yang sehat,
menyelenggarakan sosialisasi paling lambat tanggal 31 Desember
mengenai pengalihan kewenangan 2010.

Strategi Pengalihan BPHTB 13


03
Pelaksanaan Pengalihan
BPHTB
Pelaksanaan rencana pengalihan BPHTB telah dilakukan secara konsisten
dan mendapat dukungan yang luas dari berbagai pihak, tidak hanya dari
instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah tetapi juga oleh lembaga
swadaya masyarakat, perguruan tinggi, asosiasi, dan lembaga donor.

Sesuai langkah strategis yang telah disusun, Sosialisasi dan diseminasi


pemerintah pusat melaksanakan berbagai
kebijakan pengalihan BPHTB
kegiatan yang diperlukan untuk membantu
daerah mempersiapkan pemungutan
Kegiatan sosialisasi dan diseminasi
BPHTB, antara lain:
kebijakan pengalihan BPHTB dilakukan
oleh pemerintah pusat secara intensif
a. sosialisasi dan diseminasi kebijakan,
dengan menjangkau sebanyak mungkin
b. pelatihan dan bimbingan teknis,
pemangku kepentingan, seperti instansi
c. pembentukan Tim Persiapan
pusat terkait, pemerintah daerah, dewan
Pengalihan BPHTB,
perwakilan rakyat daerah, lembaga swadaya
d. penyiapan peraturan pelaksanaan,
masyarakat, lembaga pendidikan, asosiasi
e. fasilitasi pengalihan,
usaha/bisnis, dan tokoh masyarakat.
f. melakukan launching dan coaching
clinic,
Pelaksanaan sosialisasi BPHTB dilakukan
g. mendorong percepatan penerbitan
dalam beberapa tahap dengan berbagai
perda BPHTB,
format disesuaikan dengan kebutuhan,
h. membentuk ‘help-desk’,
dengan penjelasan sebagai berikut:
i. melakukan pemantauan dan
pembinaan, dan
Penjelasan Umum.
j. melakukan pendampingan.
Pada tahap awal, kepada pemangku
kepentingan disampaikan informasi secara
Di bawah ini diuraikan secara ringkas
umum tentang penyempurnaan kebijakan
pelaksanaan langkah-langkah yang telah
pajak daerah dan retribusi daerah
dilakukan oleh pemerintah pusat dalam
sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor
rangka pengalihan BPHTB menjadi pajak
28 Tahun 2009 yang di dalamnya terdapat
daerah.

14 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
kebijakan pengalihan BPHTB menjadi dipungut dengan peraturan daerah dan
pajak kabupaten/kota. Dalam tahap ini, tidak dapat berlaku surut.
pelaksanaan sosialisasi lebih diarahkan pada
kelompok masyarakat luas dan pejabat o Pemerintah daerah diingatkan bahwa
pengambil keputusan di pemerintahan apabila daerah tidak atau belum
daerah. Kegiatan ini dilakukan sejak bulan menerbitkan Perda tentang BPHTB
Oktober (sebulan setelah UU Nomor 28 pada tanggal 1 Januari 2011, maka
Tahun 2009 ditetapkan) sampai dengan implikasi dari keadaan tersebut adalah:
akhir Desember 2009. - di daerah tersebut tidak boleh
dipungut BPHTB. Sementara itu,
Selama tahun 2009, pemerintah pusat telah pemerintah pusat hanya dapat
melakukan kegiatan sosialisasi kebijakan memungut BPHTB sampai dengan
pajak daerah dan retribusi daerah sebanyak tanggal 31 Desember 2010.
7 frekwensi dengan jumlah peserta - persyaratan menyertakan bukti
sebanyak 924 orang dari 232 daerah, baik lunas BPHTB dalam proses
provinsi, kabupaten, maupun kota. Secara administrasi pengalihan hak atas
garis besar, perubahan kebijakan pajak tanah dan bangunan tidak berlaku
daerah telah disebarkan kepada hampir sejak 1 Januari 2011.
seluruh daerah di Indonesia.
o Pemerintah daerah agar
Penjelasan teknis mempersiapkan sarana dan prasarana
Tahap berikutnya, kepada kelompok yang diperlukan untuk pemungutan
sasaran diberikan sosialisasi yang sifatnya BPHTB, termasuk mendidik sumber
lebih teknis mengenai pengalihan BPHTB daya manusia yang siap memungut
(bersama-sama dengan pengalihan BPHTB dan membangun kerjasama
PBB-P2). Kegiatan ini dilakukan mulai dengan instansi terkait (Notaris,
bulan Februari sampai dengan April 2010. Kantor Pelayanan Pajak, PPAT, Kantor
Pada tahap ini, pemberian sosialisasi Lelang, dan Kantor Pertanahan).
lebih ditekankan pada hal-hal yang perlu
dipersiapkan oleh daerah untuk dapat Pada tahap ini, sasaran sosialisasi lebih
memungut BPHTB pada tanggal 1 Januari diarahkan kepada pejabat teknis di
2011, antara lain: pemerintahan daerah yang terlibat
langsung dalam perumusan kebijakan
o Pemerintah daerah agar segera dan pemungutan pajak daerah
mempersiapkan dan menetapkan (utamanya pejabat sekretariat daerah,
Perda tentang BPHTB untuk unit yang menangani pendapatan
diberlakukan pada tanggal 1 Januari daerah, dan bagian hukum) karena
2011. Berdasarkan UU Nomor 28 mereka inilah yang berperan dalam
Tahun 2009, pajak daerah hanya dapat mempersiapkan aspek legal dan

Pelaksanaan Pengalihan BPHTB 15


aspek teknis serta dukungan SDM Kegiatan sosialisasi tahap ketiga ini
serta sarana dan prasarana untuk dilakukan sejak Januari 2011 dengan pola
pemungutan BPHTB. yang tidak terstruktur (disesuaikan dengan
kebutuhan) dan akan berlanjut terus
Kegiatan sosialisasi tahap kedua sampai dengan segala permasalahan yang
ini mulai dilaksanakan pada bulan timbul dalam pemungutan BPHTB dapat
Februari sampai dengan April 2010 terselesaikan.
sebanyak 6 frekwensi dengan jumlah
peserta sebanyak 409 orang dari 122 Pelaksanaan sosialisasi dan diseminasi
pemerintah daerah. kebijakan BPHTB utamanya dilakukan
oleh Kementerian Keuangan melalui
Penjelasan khusus. 3 (tiga) unit kerjanya, yaitu Direktorat
Setelah memberikan penjelasan yang Jenderal Perimbangan Keuangan,
sifatnya umum dan khusus, kepada Direktorat Jenderal Pajak, dan Badan
aparatur pemerintah daerah dan lembaga Pendidikan dan Pelatihan Keuangan.
yang terkait dengan pemungutan Disamping itu, kegiatan sejenis juga
BPHTB diberikan penjelasan yang lebih dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri,
rinci mengenai langkah-langkah yang khususnya Direktorat Jenderal Keuangan
seharusnya ditempuh oleh berbagai pihak Daerah. Sesuai dengan tugas pokok dan
terkait permasalahan yang timbul dalam fungsinya, beberapa kementerian/lembaga
pemungutan BPHTB. Sosialisasi dalam juga turut menyelenggarakan sosialisasi
tahap ini lebih diarahkan pada pihak-pihak kebijakan pajak daerah yang baru kepada
yang menghadapi permasalahan dalam para pemangku kepentingan di bidangnya,
pelaksanaan BPHTB sebagai pajak daerah, seperti kementerian koordinator
baik wajib pajak, Notaris, PPAT, Kantor perekonomian, kementerian perdagangan,
Lelang, perbankan, maupun aparatur kementerian perindustrian, kementerian
pemerintah daerah.

Kepala Daerah kabupaten Cilacap membuka Acara Sosialisasi PBB- P2 dan BPHTB di
Cilacap, disaksikan oleh Ir. Sadar Subagyo (Anggota DPR- RI) dan Drs. Budi Sitepu,
MA (Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Kementerian Keuangan).

16 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
energi dan sumber daya mineral, dan lain- keterkaitan dengan pajak daerah dan
lain. retribusi daerah.

Dukungan untuk penyelenggaraan Secara khusus, pada bulan April s/d Juni
sosialisasi dalam berbagai format 2010, ADB bekerjasama dengan Direktorat
(sosialisasi, seminar, atau workshop) Jenderal Perimbangan Keuangan, telah
juga dilakukan oleh berbagai pihak, meyelenggarakan 3 (tiga) kali workshop
seperti Asian Development Bank (Local pengalihan BPHTB (berikut PBB-P2),
Government Finance and Governance yaitu di Bukittinggi, Makassar, dan
Reform), JICA, Kamar Dagang dan Banjarmasin. Workshop ini dihadiri oleh
Industri (KADIN), lembaga perguruan peserta dari berbagai unsur pemerintah
tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan daerah dan lembaga terkait.
badan/lembaga lainnya yang memiliki

Tabel 3. Kegiatan Sosialisasi Pengalihan BPHTB Tahun 2009-2010


No. Kegiatan Pelaksanaan Peserta UIC
Waktu Tempat
1 Sosialisasi Okt-Des 2009 7 lokasi: 232 Pemda DJPK
 Tangerang (924 orang)
 Bogor
 Makasar
 Medan
 Bandung
 Jakarta (2x)
2 Sosialisasi Feb-Apr 2010 6 lokasi: 122 Pemda DJPK
 Palangkaraya (409 orang)
 Jogjakarta
 Bengkulu
 Manado
 Mataram
 Pekanbaru
3 Workshop Apr-Jun 2010 3 lokasi: 150 orang DJPK dan
 Bukittinggi ADB
 Makasar
 Banjarmasin

Pelaksanaan Pengalihan BPHTB 17


Sejalan dengan langkah-langkah yang dan bimbingan teknis dilakukan oleh
dilakukan oleh pemerintah pusat, 3 (tiga) unit kerja di Kementerian
pemerintah daerah (baik provinsi, Keuangan yang saling menunjang satu
kabupaten, maupun kota) juga secara dengan lainnya yaitu Direktorat Jenderal
pro-aktif berpartisipasi menyelenggarakan Perimbangan Keuangan, Direktorat
sosialisasi BPHTB kepada para pemangku Jenderal Pajak, dan Badan Pendidikan dan
kepentingan di daerahnya, dengan Pelatihan Keuangan. Bimbingan teknis
mengundang narasumber dari berbagai yang diberikan mencakup berbagai aspek
instansi termasuk Direktorat Ekstensifikasi dari pemungutan pajak daerah, mulai dari
dan Penilaian (Direktorat Jenderal Pajak) tatacara perumusan raperda BPHTB dan
dan Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi mekanisme penetapannya sampai pada
Daerah (Direktorat Jenderal Perimbangan pengetahuan teknis mengenai BPHTB.
Keuangan).
Selama tahun 2010, Direktorat Jenderal
Sebagai tindak lanjut dari kegiatan Perimbangan Keuangan telah memberikan
sosialisasi kebijakan pajak daerah (termasuk pelatihan dan bimbingan teknis kepada
BPHTB), sebagian pemerintah daerah 1.010 aparatur pemerintah daerah
segera menyiapkan dan menetapkan perda yang diselenggarakan di 17 lokasi yang
BPHTB yang mulai diberlakukan pada
tersebar di seluruh Indonesia. Sementara
tanggal 1 Januari 2011 serta melakukan
itu, Badan Pendidikan dan Pelatihan
sosialisasi perda tersebut kepada para
pemangku kepentingan di daerah tersebut, Keuangan, melalui 10 balai pelatihan
antara lain pejabat/aparatur pemerintah yang tersebar di seluruh Indonesia telah
daerah, Badan Pertanahan Nasional, Ikatan menyelenggarakan pelatihan BPHTB bagi
Notaris Indonesia (INI), Ikatan Pejabat aparatur pemerintah daerah di wilayahnya,
Pembuat Akta Tanah (IPPAT), Kantor masing-masing 1 frekwensi untuk setiap
Lelang Negara, real estate, asosiasi industri/ balai.
usaha, akademisi, tokoh masyarakat, dan
lain-lain. Sedangkan Direktorat Jenderal Pajak,
melalui kantor-kantor wilayah pajak
Pelatihan dan Bimbingan Teknis dan kantor pelayanan pajak pratama
yang tersebar di seluruh Indonesia
Pelatihan dan bimbingan teknis terutama juga memberikan pelatihan BPHTB
diberikan kepada aparatur daerah yang berdasarkan permintaan pemerintah
tugas pokok dan fungsinya terkait dengan daerah tertentu, termasuk pemberian
BPHTB. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan kesempatan kepada aparatur pemerintah
secara bertahap dan berkesinambungan. daerah melakukan magang di kantor-
Secara fungsional, pemberian pelatihan kantor pelayanan pajak.

18 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
Untuk membantu daerah mencari baik. Kegiatan ini diselenggarakan dari
solusi atas berbagai permasalahan yang bulan April sampai dengan Desember 2010
terkait dengan pemungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Perimbangan
daerah (termasuk BPHTB), Direktorat Keuangan yang dipusatkan di Jakarta
Jenderal Perimbangan Keuangan juga sebanyak 10 angkatan dan diikuti oleh
menyelenggarakan sejumlah konsultasi sekitar 600 orang dari 300 pemerintah
regional.. Sejak Maret s/d Oktober 2010, daerah.
telah dilaksanakan konsultasi regional di 7
kota dengan jumlah peserta sebanyak 550 Untuk melengkapi pengetahuan aparatur
orang. pemerintah daerah tentang BPHTB,
Direktorat Jenderal Pajak bekerjasama
Disamping melalui bimbingan teknis dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan
dan konsultasi regional, kepada sejumlah Keuangan, menyediakan fasilitas e-learning
aparatur pemerintah daerah juga diberikan BPHTB yang dapat diakses melalui
pelatihan dasar mengenai BPHTB. internet. E-learning pada dasarnya dapat
Melalui pelatihan dasar ini, pemahaman diakses oleh berbagai pihak termasuk wajib
aparatur pemerintah daerah mengenai pajak dan dunia usaha.
cara pemungutan BPHTB mejadi semakin

Pelaksanaan Pengalihan BPHTB 19

Peserta sangat antusias mengikuti acara sosialisasi BPHTB.


Tabel 4. Kegiatan Pelatihan dan Bimbingan Teknis Tahun 2010
No. Kegiatan Pelaksanaan Peserta UIC
Waktu Tempat
1 Pelatihan dan Mar-Des 2010 17 lokasi: 1.010 orang DJPK
Bimbingan - Banda Aceh
Teknis - Palembang
- Pekanbaru
- Jambi
- Bukittinggi
- Pangkal Pinang
- Mamuju
- Pontianak
- Denpasar
- Kupang
- Bandar Lampung
- Medan
- Bandung
- Jayapura
- Manokwari
- Ternate
- Ambon
2 Konsultasi Mar-Okt 2010 7 lokasi: 150 orang DJPK dan
Regional - Mataram ADB
- Semarang
- Jogjakarta
- Samarinda
- Banjarmasin
- Makasar
- Manado
3 Pelatihan Dasar Apr-Des 2010 10 angkatan: 300 Pemda DJPK
- Jakarta (600 orang)

Tim Persiapan Pengalihan BPHTB Tim ini beranggotakan unsur pejabat


dari Direktorat Jenderal Perimbangan
Untuk meningkatkan koordinasi Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak, dan
antar instansi terkait dalam berbagai Kementerian Dalam Negeri.
kegiatan dalam proses pengalihan
BPHTB menjadi pajak daerah, Menteri Tugas Tim Persiapan Pengalihan BPHTB
Keuangan membentuk Tim Persiapan dan (PBB-P2) yang diatur dalam
Pengalihan BPHTB (dan PBB-P2) dengan Keputusan Menteri Keuangan tersebut
Keputusan Nomor 316/KMK.07/2010. adalah sebagai berikut:

20 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
1. Tim Kerja bertugas: pemungutan BPHTB (dan
menyusun program kerja Tim, PBB-P2),
mengkoordinasikan pelaksanaan melakukan koordinasi dengan sub-
tugas Tim, tim lainnya,
memfinalisasi laporan pelaksanaan melaporkan pelaksanaan tugas
tugas Tim, kepada Ketua Tim Kerja secara
melaporkan pelaksanaan tugas Tim berkala, dan
kepada Pengarah, dan melaksanakan tugas lain yang
melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Ketua Tim Kerja.
ditetapkan oleh Pengarah.
4. Sub Tim Teknologi Informasi dan Basis
2. Sub Tim Peraturan bertugas: Data SISMIOP bertugas:
mengompilasi peraturan BPHTB mengkompilasi teknologi informasi
(dan PBB-P2), BPHTB (dan PBB-P2),
memberikan penjelasan mengenai menyusun konsep pengalihan
peraturan BPHTB (dan PBB-P2) teknologi informasi BPHTB (dan
dalam hal diminta oleh pemerintah PBB-P2),
kabupaten/kota, menyusun konsep pengalihan basis
membuat rekomendasi peraturan data SISMIOP,
yang bisa diterapkan di daerah, menjelaskan teknologi informasi
melakukan koordinasi dengan sub- danbasis data BPHTB (dan
tim lainnya, SISMIOP PBB-P2) dalam
melaporkan pelaksanaan tugas hal diminta oleh pemerintah
kepada Ketua Tim Kerja secara kabupaten/kota,
berkala, dan melakukan koordinasi dengan sub-
melaksanakan tugas lain yang tim lainnya,
ditetapkan Ketua Tim Kerja. melaporkan pelaksanaan tugas
kepada Ketua Tim Kerja secara
3. Sub Tim Prosedur dan Sistem bertugas: berkala, dan
mengkompilasi prosedur dan sistem melaksanakan tugas lain yang
BPHTB (dan PBB-P2), ditetapkan oleh Ketua Tim Kerja.
menjelaskan prosedur dan sistem
BPHTB (dan PBB0P2) dalam 5. Sub Tim Pendataan bertugas:
hal diminta oleh pemerintah mengindentifikasi dan menyeleksi
kabupaten/kota, data terkait BPHTB (dan PBB-P2),
menyusun prosedur pengalihan menyusun konsep pengalihan
unsur-unsur BPHTB (dan PBB-P2), datayang sudah diidentifikasi untuk
menyusun rancangan Standar diserahkan kepada pemerintah
Operating Procedures (SOP) kabupaten/kota,

Pelaksanaan Pengalihan BPHTB 21


menjelaskan alur pendataan BPHTB kota,;
(dan PBB-P2) dalam hal diminta melakukan koordinasi dengan sub-
oleh pemerintah kabupaten/kota, tim lainnya,
melakukan koordinasi dengan sub- melaporkan pelaksanaan tugas
tim lainnya, kepada Ketua Tim Kerja secara
melaporkan pelaksanaan tugas berkala, dan
kepada Ketua Tim Kerja secara melaksanakan tugas lain yang
berkala, dan ditetapkan Ketua Tim Kerja.
melaksanakan tugas lain yang
ditetapkan oleh Ketua Tim Kerja. 8. Sub Tim Kelembagaan dan SDM
bertugas:
6. Sub Tim Penilaian bertugas: mengkompilasi hal-hal yang terkait
membuat rangkuman proses dengan kelembagaan dan SDM
penilaian PBB-P2, dalam pelaksanaan pemungutan
menjelaskan proses penilaian objek BPHTB (dan PBB-P2),
PBBB-P2 dalam hal diminta oleh membuat rangkuman model
pemerintah kabupaten/kota, kelembagaan dan SDM dalam
menyusun konsep pengalihan data- pelaksanaan pemungutan BPHTB
data penilaian kepada pemerintah (dan PBB-P2),
kabupaten/kota, menjelaskan hal-hal yang terkait
mengidentifikasi laporan penilaian dengan kelembagaan dan SDM
dalam hal diperlukan oleh daerah, dalam pelaksanaan pemungutan
melakukan koordinasi dengan sub- BPHTB (dan PBB-P2),
tim lainnya, dan menyusun konsep kelembagaan dan
membuat laporan kepada Ketua SDM sebagai dampak pengalihan
Tim Kerja. BPHTB (an PBB-P2) kepada
pemerintah kabupaten/kota,
7. Sub Tim Keberatan dan Banding melakukan koordinasi dengan sub-
bertugas: tim lainnya dalam melaksanakan
membuat rangkuman proses tugas, dan
keberatan dan banding BPHTB melaporkan pelaksanaan tugas
(dan PBB-P2), kepada Ketua Tim Kerja secara
menjelaskan alur keberatan dan berkala.
banding BPHTB (dan PBB-P2)
dalam hal diminta oleh pemerintah 9. Melaksanakan tugas lain yang
kabupaten/kota, ditetapkan Ketua Tim Kerja.Sub Tim
mengidentifikasi data keberatan dan Pelayanan Wajib Pajak bertugas:
banding yang perlu disampaikan mengkompilsasi hal-hal yang terkait
kepada pemerintah kabupaten/ dengan sistem pelayanan BHTB

22 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
(dan PBB-P2),
membuat rangkuman sistem
pelayanan terhadap wajib pajak
yang dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Pajak,
menjelaskan hal-hal yag terkait
dengan pelayanan wajib pajak
dalam hal diminta oleh pemerintah
kabupaten/kota,
melakukan koordinasi dengan sub-
tim lainnya,
melaporkan pelaksanaan tugas
kepada Ketua Tim Kerja secara
berkala, dan
melaksanakan tugas lain yang
ditetapkan Ketua Tim Kerja. 11. Sub Tim Sosialisasi bertugas:
mengkompilasi materi bahan
10. Sub Tim Administrasi Penerimaan dan sosialisasi pengalihan BPHTB (dan
Piutang Pajak bertugas: PBB-P2),
menyiapkan data penerimaan mengkoordinasikan dan
BPHTB (dan PBB-P2), melaksanakan sosialisasi kepada
menyiapkan data piutang BPHTB pemerintah kabupaten/kota, wajib
(dan PBB-P2), pajak, dan masyarakat,
menyusun konsep pengalihan melakukan koordinasi dengan sub-
sistem administrasi penerimaan dan tim lainnya,
piutang, melaporkan pelaksanaan tugas
menjelaskan hal-hal yang terkait kepada Ketua Tim Kerja secarta
dengan admiistrasi penerimaan dan berkala, dan
piutang BPHTB (dan PBB-P2) melaksanakan tugas lain yang
dalam hal diminta oleh pemerintah ditetapkan Ketua Tim Kerja.
kabupaten/kota,
melakukan koordinasi dengan sub- Tim Persiapan Pengalihan BPHTB (dan
tim lainnya, PBB-P2) yang dibentuk oleh Menteri
melaporkan pelaksanaan tugas Keuangan cukup memadai untuk
kepada Ketua Tim Kerja secara mempersiapkan segala sesuatu yang
berkala, dan diperlukan dalam proses pengalihan suatu
melaksanakan tugas lain yang jenis pajak kepada daerah, yakni:
ditetapkan Ketua Tim Kerja.

Pelaksanaan Pengalihan BPHTB 23


menyiapkan peraturan pelaksanaan yang
diperlukan dalam rangka implementasi
UU Nomor 28 Tahun 2009,
menyusun konsep pengalihan sistem
BPHTB (dan PBB-P2) kepada
pemerintah kabupaten/kota,
memberikan dukungan dan fasilitasi
untuk pemungutan BPHTB (dan
PBB-P2) kepada pemerintah
kabupaten/kota, dan
melakukan koordinasi dengan berbagai
pihak terkait untuk memperlancar
pengalihan BPHTB (dan PBB-P2)
kepada daerah.

memiliki tugas dan fungsi yang Sebagai pajak daerah, pemungutan


cukup lengkap dan mencakup seluruh BPHTB dibina oleh Direktorat Jenderal
aspek yang diperlukan dalam proses Perimbangan Keuangan, namun secara
pengalihan pajak, teknis Direktorat Jenderal Pajak memiliki
fungsi koordinasi ditempatkan dalam kapasitas yang cukup. Berdasarkan
setiap tugas sub-tim sehingga setiap pertimbangan ini, Tim Kerja Persiapan
langkah yang diambil oleh masing- Pengalihan BPHTB (dan PBB-P2)
,masing sub-tim bergerak secara sinergis, dipimpin oleh Direktur Pajak Daerah dan
baik cara maupun waktu pelaksanaan, Retribusi Daerah (Direktorat Jenderal
peran ketua Tim kerja dalam Perimbangan Keuangan) dengan wakil
mengkoordinasikan seluruh kegiatan ketua Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian
sub-tim sangat strategis dalam (Direktorat Jenderal Pajak). Kedua instansi
efektivitas pelaksanaan tugas Tim.,dan ini bekerja bersama-sama dan saling
komunikasi antara Tim Kerja dan bahu membahu dalam mempersiapkan
Pengarah harus dilakukan secara intensif segala sesuatu terkait dengan pengalihan
agar setiap langkah yang ditempuh oleh BPHTB.
Tim Kerja mendapat dukungan dari
Pengarah. Peraturan Pelaksanaan BPHTB
Selama tahun 2010, Tim Persiapan UU Nomor 28 Tahun 2009 memberikan
Pengalihan BPHTB (dan PBB-P2) bekerja amanat kepada pemerintah untuk
secara intensif dan menghasilkan berbagai menetapkan sejumlah peraturan
konsep dan melaksanakan sejumlah pelaksanaan. Terkait dengan hal tersebut,
program kerja, antara lain: maka pemerintah telah menerbitkan

24 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
seluruh peraturan pelaksanaan yang swasta internasional, dan organisasi
diamanatkan undang-undang, yang terdiri asing lainnya.
dari 2 Peraturan Pemerintah, 2 Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun
Bersama Menteri Keuangan dan Menteri 2010 tentang tatacara pemberian dan
Dalam Negeri, 4 Peraturan Menteri pemanfaatan Insentif Pemungutan
Keuangan, dan 1 Peraturan Menteri Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Dalam Negeri.
Peraturan ini mengatur pihak-
Sekurang-kurangnya terdapat 6 (enam) pihak yang dapat menerima insentif
peraturan pelaksanaan UU Nomor 28 pemungutan pajak daerah, termasuk
Tahun 2009 yang berkaitan dengan pemungutan BPHTB, beserta
BPHTB, yaitu: persyaratan dan besarannya.

Peraturan Bersama Menteri Keuangan Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun


dan Menteri Dalam Negeri Nomor 2010 tentang jenis pajak daerah yang
186/PMK.07/2010 dan Nomor 53 dipungut berdasarkan penetapan kepala
Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan daerah atau dibayar sendiri oleh wajib
Pengalihan BPHTB sebagai pajak pajak.
daerah.
Dalam peraturan ini ditetapkan bahwa
Peraturan ini mengatur tugas pemungutan BPHTB dilakukan
dan tanggungjawab Kementerian berdasarkan prinsip self-assessment,
Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, yakni wajib pajak membayar sendiri
dan pemerintah daerah terkait dengan pajak yang terutang.
proses pengalihan BPHTB menjadi
pajak daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 56 Tahun 2010 tentang
Peraturan Menteri Keuangan Nomor perubahan atas Peraturan Menteri
147/PMK.07/2010 tentang Badan atau Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007
Perwakilan Lembaga Internasional yang tentang petunjuk teknis penataan
tidak dikenakan BPHTB. organisasi perangkat daerah.
Dalam peraturan ini ditetapkan
sejumlah badan dan perwakilan Peraturan ini membuka peluang
lembaga internasional yang tidak bagi daerah utuk menambah fungsi
dikenakan BPHTB, seperti badan- pada pada SKPD kabupaten/kota
badan internasional dari PBB, dan membentuk Unit Pelaksana
kerjasama bilateral, Colombo Plan, Teknis Daerah (UPTD) dalam rangka
memperlancar pemungutan BPHTB.
kerjasama kebudayaan, organisasi

Pelaksanaan Pengalihan BPHTB 25


Peraturan Menteri Keuangan Nomor Untuk memudahkan daerah menyusun
11/PMK.07/2010 tentang tatacara rancangan perda tentang BPHTB
pengenaan sanksi terhadao pelanggaran dan peraturan daerah tentang tatacara
ketentuan di bidang pajak daerah dan pemungutan BPHTB, pemerintah
retribusi daerah. (Tim Persiapan Pengalihan PBB-P2 dan
BPHTB), dengan dukungan teknis dari
Dalam peraturan ini ditetapkan Tim Asian Development Bank (ADB),
sanksi bagi daerah yang melakukan telah menyusun suatu pedoman teknis
pelanggaran ketentuan di bidang pajak yang disampaikan kepada seluruh
daerah, termasuk BPHTB, dalam 2 pemerintah daerah dengan surat
(dua) bentuk, yaitu: Menteri Keuangan Nomor S-495/
- Atas pelanggaran administrasi MK/2010 tanggal 29 September 2010.
dikenakan sanksi berupa penundaan
DAU atau DBH Pajak Penghasilan, Disamping memberikan pedoman
- Atas pelanggaraan substansi tentang hal-hal yang perlu dipersiapkan
dikenakan sanksi berupa dalam pemungutan BPHTB (seperti
pemotongan DAU atau DBH Pajak landasan hukum pemungutan BPHTB,
Penghasilan. sistem danprosedur pemungutan
BPHTB, data NJOP untuk validasi
Perumusan peraturan pelaksanaan pembayaran BPHTB, dan pentingnya
tersebut dilakukan secara paralel sosialisasi kepada pihat terkait, dalam
dengan berbagai kegiatan dalam rangka surat Menteri Keuangan Nomor S-495/
implementasi UU pajak daerah dan MK.07/2010 juga dilampirkan:
retribusi daerah yang baru. Penyusunan
- Contoh (template) penyusunan
peraturan tersebut dapat diselesaikan
perda tentang BPHTB,
dalam tahun 2010, sebagaimana
diamanatkan dalam Nomor 28 Tahun - Contoh (template) penyusunan
2009. peraturan bupati/walikota tentang
tatacara pemungutan (SOP)
BPHTB, dan
Fasilitasi
- Penjelasan mengenai spesifikasi
Fasilitasi yang diberikan oleh pemerintah teknis komputer yang akan
pusat kepada pemerintah daerah terkait digunakan untuk mengoperasikan
dengan pengalihan BPHTB terdiri dari program aplikasi pembaca NJOP.
berbagai bentuk, antara lain:
Membangun program aplikasi pembaca
Menyusun dan memberikan pedoman NJOP untuk validasi pembayaran
teknis kepada pemerintah daerah untuk BPHTB.
dijadikan sebagai acuan.

26 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
Pemungutan BPHTB dilakukan aplikasi tersebut didistribusikan kepada
berdasarkan self-assessment system, seluruh pemerintah daerah melalui
yakni wajib pajak menghitung, Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang
membayar, dan melaporkan sendiri ada di masing-masing daerah.
jumlah BPHTB yang terutang. Dalam
sistem seperti ini, pembayaran BPHTB Launching dan Peragaan
yang dilakukan oleh wajib pajak perlu
divalidasi oleh petugas pajak untuk Dalam rangka public announcement
mengetahui kebenaran pembayaran tentang pengalihan BPHTB menjadi pajak
yang telah dilakukan. Salah satu elemen daerah dan sekaligus untuk meningkatkan
yang perlu divalidasi adalah kebenaran kesadaran daerah akan perlunya segera
dasar pengenaan BPHTB, yaitu Nilai mempersiapkan langkah-langkah
Perolehan Objek Pajak (NPOP) yakni pemungutan BPHTB, pemerintah pusat
nilai terbesar antara nilai transaksi dan menyelenggarakan launching dan peragaan
NJOP untuk penghitungan PBB. pemungutan BPHTB sebagai pajak daerah
di Surabaya pada tanggal 2 Desember
Berhubung data NJOP terdapat pada 2010. Dalam acara tersebut, pemerintah
database Direktorat Jenderal Pajak, (yang diwakili oleh Direktur Jenderal
maka untuk memudahkan pemerintah Pajak dan Direktur Jenderal Perimbangan
daerah mengakses informasi mengenai Keuangan) menyatakan secara resmi bahwa
NJOP, Direktorat Jenderal Pajak sejak tanggal 1 Januari 2011, BPHTB
membangun suatu program aplikasi tidak lagi dipungut oleh pemerintah pusat
komputer yang dapat digunakan oleh tetapi sepenuhnya menjadi kewenangan
pemerintah kabupaten/kota mengakses pemerintah kabupaten/kota. Pengalihan
data NJOP dari database Kantor BPHTB menjadi pajak daerah ditandai
Pelayanan Pajak Pratama. Program dengan penyerahan sejumlah dokumen

Anggota DPR-RI, Penjabat Kementerian Keuangan, dan Penjabat


Kementerian Dalam Negeri, secara serius memberikan sosialisasi

Pelaksanaan Pengalihan BPHTB 27


terkait dengan BPHTB kepada seluruh NJOP dari Kantor Pelayanan Pajak dalam
pemerintah kabupaten/kota. Dokumen rangka validasi pembayaran BPHTB.
yang diserahkan terdiri dari copy berbagai
peraturan, seperti: Mendorong Percepatan Persiapan
UU Nomor 28 Tahun 2010 Guna mendorong daerah mempercepat
Peraturan Bersama Menteri Keuangan persiapan pemungutan BPHTB,
dan Menteri Dalam Negeri Nomor pemerintah secara terus menerus
186/PMK.07/2010 dan Nomor 53 melakukan monitoring dan mengambil
Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan berbagai langkah tambahan sesuai
Pengalihan BPHTB sebagai pajak perkembangan yang terjadi di lapangan.
daerah. Langkah tambahan yang diambil antara
lain menyampaikan informasi, penegasan,
Peraturan Menteri Keuangan Nomor dan himbauan kepada pemerintah daerah
147/PMK.07/2010 tentang Badan atau mengenai perlunya segera mempersiapkan
Perwakilan Lembaga Internasional yang pemungutan BPHTB dan implikasi dari
tidak dikenakan BPHTB. kelambatan penerbitan perda BPHTB.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Hal tersebut dilakukan dengan pengiriman
Nomor 56 Tahun 2010 tentang surat Menteri Keuangan kepada seluruh
perubahan atas Peraturan Menteri bupati/walikota dan gubernur Nomor
Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 S-632/MK/2010 tanggal 30 Nopember
tentang petunjuk teknis penataan 2010 dan Nomor S-690/MK/2010
organisasi perangkat daerah. tanggal 27 Desember 2010. Dalam surat
tersebut diinformasikan dan dihimbau hal-
Surat Menteri Keuangan Nomor S-495/ hal sebagai berikut:
MK/2010 tanggal 29 September 2010
beserta lampiran-lampirannya. Pemerintah kabupaten/kota dapat
memungut BPHTB mulai tanggal
Pada kesempatan launching pengalihan 1 Januari 2011 dengan menerbitkan
BPHTB, pemerintah pusat juga melakukan peraturan daerah.
coaching clinic, yakni memberikan
kesempatan kepada pejabat pemerintah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak
daerah untuk mengetahui lebih jauh Kena Pajak (NPOP-TKP) ditetapkan
mengenai teknis pemungutan BPHTB. paliing rendah Rp 60 juta. Dalam
Tim coaching clinic, yang terdiri dari pejabat jangka pendek, penerimaan BPHTB
Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat kemungkinan mengalami penurunan,
Jenderal Perimbangan Keuangan, dan tetapi dalam jangka menengah
Kementerian Dalam Negeri memberikan dan jangka panjang penerimaan
peragaan mengenai tehnik pemungutan BPHTB akan meningkat seiring
BPHTB, termasuk cara mengakses data dengan pertumbuhan ekonomi dan

28 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
perkembangan nilai jual objek pajak. Disamping himbauan kepada
pemerintah kabupaten/kota untuk segera
Pemerintah kabupaten/kota agar segera
mempersiapkan perda BPHTB, prosedur
mempercepat penyusunan perda sebagai
penetapan raperda menjadi perda juga
dasar pemungutan BPHTB.
turut menjadi perhatian. Salah satu
Dalam hal pemerintah daerah tidak tahapan dalam proses penerbitan perda
menetapkan perda tentang BPHTB, BPHTB adalah evaluasi rancangan perda
maka terhadap peralihan hak atas tanah oleh gubernur dan hasil evaluasinya
dan bangunan di wilayah tersebut tidak dikoordinasikan dengan Menteri
dapat dipungut BPHTB. Dengan Keuangan. Untuk mempercepat daerah
demikian, sejak tanggal 1 Januari menetapkan perda BPHTB, Kementerian
2011, persyaratan lunas bayar BPHTB Keuangan memprioritaskan evaluasi perda
yang digunakan untuk memproses BPHTB yang diterima, baik yang diterima
penetapan akta kepemilikan tanah dan/ melalui gubernur maupun langsung dari
atau bangunan menjadi gugur. pemerintah kabupaten/kota. Melalui
langkah ini, proses penetapan rancangan
Dalam hal pemerintah daerah tidak
perda menjadi perda tidak akan mengalami
menerbitkan perda tentang BPHTB,
hambatan yang berarti.
maka pemerintah kabupaten/kota akan
kehilangan data dan informasi terkait
dengan kepemilikan tanah dan/atau Membentuk ‘help-desk’
bangunan.
Sejumlah daerah, khususnya unit kerja
Sejak tanggal 1 Januari 2011, pemerintahan daerah (termasuk anggota
pemerintah pusat tidak lagi memungut DPRD) yang bertanggungjawab di bidang
dan menyalurkan dana bagi hasil pajak daerah memerlukan informasi
(DBH) BPHTB kepada pemerintah yang dapat dipercaya dan komprehensif
daerah. mengenai pemungutan BPHTB. Untuk
Gubernur diminta untuk mempercepat itu diperlukan focal point dimana pihak-
proses evaluasi rancangan peraturan pihak yang memerlukannya dapat secara
daerah kabupaten/kota tentang BPHTB langsung mengakses informasi dan
agar pada tahun 2011 pemungutan melakukan konsultasi.
BPHTB dapat dilaksanakan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, di
pusat terdapat 3 (tiga) lembaga dimana
Pemberian informasi dan himbauan aparatur pemerintah daerah dapat
tersebut juga dimaksudkan untuk melakukan konsultasi, yaitu:
memberikan penegasan atas beberapa
permasalahan yang timbul di daerah Direktorat Pajak Daerah dan
berkaitan dengan administrasi Retribusi Daerah, Direktorat Jenderal
pertanahan di daerah yang belum Perimbangan Keuangan, Kementerian
menerbitkan perda BPHTB. Keuangan.

Pelaksanaan Pengalihan BPHTB 29


Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian, Sejak dilaksanakannya lauching BPHTB
Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian di Surabaya pada tanggal 2 Nopember
Keuangan. 2010, Kementerian Keuangan memantau
perkembangan penerbitan perda BPHTB,
Tim Persiapan Pengalihan PBB-P2 dan
penyiapan SOP, serta penyiapan organisasi
BPHTB.
dan SDM secara mingguan. Berbagai
Ketiga lembaga tersebut saling mendukung kendala dan hambatan yang dihadapi oleh
untuk memberikan pelayanaan kepada daerah dalam proses persiapan tersebut
pihak-pihak yang membutuhkan informasi dicoba dicarikan solusinya. Sedangkan
dan yang melakukan konsultasi mengenai bagi daerah yang belum memahami benar
BPHTB. Di tingkat daerah, Kantor cara mempersiapkan pemungutan BPHTB
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan dilakukan pembinaan, baik oleh kantor
Kantor Pelayanan Pajak Pratama berfungsi pelayanan pajak yang ada di daerah maupun
sebagai focal point untuk menyampaikan oleh pejabat Direktorat Pajak Daerah dan
berbagai informasi dan dukungan teknis Retribusi Daerah, Kementerian Keuangan.
kepada pemerintah daerah terkait dengan
pemungutan BPHTB. Pendampingan
Pemerintah daerah memanfaatkan Meskipun berbagai langkah telah dilakukan
kehadiran ‘help-desk’ tersebut terutama untuk mempersiapkan daerah menerima
untuk memperoleh jawaban atas berbagai pengalihan BPHTB namun masih terdapat
pertanyaan yang terkait dengan ketentuan beberapa daerah yang belum memahami
dan tatacara pemungutan BPHTB. cara mempersiapkan pemungutannya.
Kondisi ini terutama dihadapi oleh daerah-
Pemantauan dan Pembinaan daerah yang potensi BPHTB relatif kecil.
Khusus untuk daerah-daerah seperti ini
Perkembangan persiapan pemerintah dilakukan pendampingan dan supervisi
kabupaten/kota dalam pemungutan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan
BPHTB dipantau secara terus menerus. Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak.

30 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah

Kepala Daerah Kabupaten Rembang membuka acara Sosialisasi, disaksikan oleh Prof. Dr. Heru Subiyantoro (Sekretaris Dirjen Perimbangan Keuangan)
Monitoring dan Evaluasi
04
Sejumlah isu strategis yang timbul dalam proses pengalihan BPHTB dapat
diselesaikan bersama oleh instansi terkait. Namun demikian, masih terdapat
beberapa isu lainnya yang memerlukan penanganan segera, agar pengalihan
BPHTB dapat memberikan hasil yang optimal.

Monitoring dan evaluasi atas pengalihan karena itu, salah satu indikator yang dapat
BPHTB menjadi pajak daerah dilakukan digunakan untuk melihat kesiapan daerah
oleh Direktorat Jenderal Perimbangan memungut BPHTB adalah perkembangan
Keuangan secara intensif, baik untuk penerbitan perda BPHTB oleh kabupaten/
mengetahui hasil dari langkah-langkah kota dari waktu ke waktu Agar tidak
yang telah diambil maupun mencari solusi terjadi salah penafsiran, disamping jumlah
atas permasalahan yang dihadapi oleh perda yang diterbitkan, seyogyanya
pemerintah daerah dalam mempersiapkan juga diperhatikan potensi BPHTB yang
pemungutan BPHTB. Berbagai isu dapat dipungut oleh daerah yang telah
strategis yang timbul dalam implementasi menerbitkan perda tersebut
pengalihan BPHTB ditangani bersama
dengan instansi terkait sehingga dapat Monitoring kesiapan daerah memngut
dihasilkan kebijakan yang terintegrasi dan BPHTB dimulai dari keadaan pada
tepat sasaran. sebulan sebelum BPHTB secara efektif
beralih menjadi pajak daerah. Setelah
4.1 Perkembangan Kesiapan melalui sejumlah kegiatan sosialisasi
dan bimbingan teknis, daerah yang
Daerah Memungut BPHTB telah merespons kebijakan pengalihan
BPHTB menjadi pajak daerah pada akhir
Pemungutan BPHTB diawali dengan Nopember 2010 tergambar dalam tabel 5
penerbitan peraturan daerah (perda). Oleh di bawah ini.

Monitoring dan Evaluasi 31


Tabel 5. Kesiapan Daerah Memungut BPHTB (Posisi: 30 Nopember 2010)
No. Kesiapan Daerah Jumlah Prosentase (%) dari
Daerah Jumlah Daerah Penerimaan
BPHTB 2009
1. Perda telah siap 80 16,3 60,0
2. Raperda (dalam proses) 126 25,6 20,5
3 Belum ada informasi 286 58,1 19,5
Total 492 100,0 100,0
Sumber: Tim Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB

Pada tanggal 30 Nopember 2010, terdapat BPHTB. Meskipun jumlah daerah


80 daerah atau 16,3% dari jumlah daerah2 ini cukup besar (58,1% dari jumlah
yang telah menerbitkan perda BPHTB. kabupaten/kota), namun potensi BPHTB
Kelompok daerah ini memiliki potensi yang dimiliki relatif kecil yakni hanya
BPHTB3 sekitar 60% dari total penerimaan 19,5% dari total penerimaan BPHTB
BPHTB. Sementara itu, terdapat 126 tahun 2009.
kabupaten/kota (25,6% dari jumlah
kabupaten/kota) sedang mempersiapkan Dari sisi jumlah daerah yang telah
perda BPHTB sampai tanggal 30 menerbitkan perda, terdapat kelambatan
Nopember 2010. Kelompok daerah ini yang cukup signifikan dalam persiapan
memiliki potensi BPHTB sekitar 20,5% pengalihan BPHTB. Tetapi kalau dilihat
dari total penerimaan BPHTB tahun 2009. dari potensi BPHTB yang akan dipungut
Tahap proses penyiapan perda BPHTB di oleh daerah, keadaan ini tidak terlalu
masing-masing daerah tersebut berbeda mengkhawatirkan karena 80 daerah yang
satu dengan lainnya, antara lain: raperda telah menerbitkan perda tersebut dapat
masih dalam tahap pembahasan dengan memungut sekitar 60% dari keseluruhan
DPRD atau raperda masih dievaluasi oleh potensi BPHTB.
gubernur.
Pada saat akan dimulainya pemungutan
Yang perlu mendapat perhatian adalah BPHTB secara efektif, yaitu tanggal 31
terdapatnya 286 kabupaten/kota yang Desember 2010, terdapat 198 daerah
belum diketahui status penyiapan perda atau 40,3% dari jumlah daerah yang telah
menyiapkan perda BPHTB. Kelompok
2 Indonesia memiliki 492 daerah yang dapat daerah ini memiliki potensi BPHTB
memugut BPHTB, yaitu 491 kabupaten/kota sebesar 71,7% dari total penerimaan
ditambah 1 provinsi DKI Jakarta. BPHTB. Sedangkan 97 daerah lainnya atau
3 Potensi BPHTB didasarkan pada realisasi 18,3% dari jumlah daerah sedang dalam
penerimaan BPHTB tahun 2009 yang berjumlah tahap mempersiapkan perda BPHTB.
sebesar 6,4 Triliun.

32 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
Tabel 6. Kesiapan Daerah Memungut BPHTB (Posisi: 31 Desember 2010)
No. Kesiapan Daerah Jumlah Prosentase (%) dari
Daerah Jumlah Daerah Penerimaan
BPHTB 2009
1. Perda telah siap -198 40,3 71,7
2. Raperda (dalam proses) -97 19,7 18,3
3 Belum ada informasi -197 40,0 10,0
Total 492 100,0 100,0
Sumber: Tim Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB

Kelompok ini memiliki potensi BPHTB dalam penyelesaian perda BPHTB.


sebesar 18,3% dari total penerimaan
BPHTB. Sementara itu, terdapat 197 Perkembangan berikutnya memperlihatkan
daerah atau 40,0% dari jumlah daerah adanya percepatan penerbitan perda
yang belum menyiapkan perda BPHTB, BPHTB oleh kabupaten/kota. Tabel di
namun memiliki potensi BPHTB yang bawah ini menunjukkan tingkat kesiapan
relatif kecil, yaitu sekitar 10% dari total daerah memungut BPHTB posisi 30 Juni
penerimaan BPHTB (lihat tabel 6). 2011 (enam bulan setelah tanggal efektif
dialihkannya BPHTB ke daerah).
Hampir sama dengan kondisi sebulan
sebelum tanggal pengalihan BPHTB, Dari tabel tersebut terlihat bahwa pada
apabila dilihat dari jumlah daerah yang tanggal 30 Juni 2011 sebanyak 407 daerah
telah menerbitkan perda, terdapat telah menerbitkan perda BPHTB dan
kelambatan dalam proses pengalihan 81 daerah lainnya sedang memproses
BPHTB. Namun dari 198 daerah penetapan perda. Pada tanggal tersebut
yang telah menerbitkan perda tersebut hanya 4 daerah yang belum mempersiapkan
dapat memungut sekitar 72 persen dari perda BPHTB, yaitu Kabupaten Konawe
keseluruhan potensi BPHTB, suatu jumlah Utara dan Kabupaten Konawe di Provinsi
yang cukup menggembirakan. Sulawesi Tenggara serta Kabupaten
Tolikara dan Kabupaten Tambrauw di
Terlambatnya sejumlah daerah provinsi Papua. Penerimaan BPHTB pada
menerbitkan perda BPHTB mendorong tahun 2009 di keempat daerah tersebut
pemerintah pusat mengambil berbagai relatif kecil, yakni Kabupaten Konawe
langkah untuk terus menghimbau Selatan (Rp 148 juta), Kabupaten Konawe
pemerintah daerah segera mempersiapkan (Rp 110 juta), Kabupaten Tolikara (0), dan
perda BPHTB. Upaya yang dilakukan Kabupaten Tambrauw (0). Hal ini dapat
antara lain melakukan monitoring dan menjawab pertanyaan mengapa daerah ini
evaluasi serta pemberian fasilitasi untuk kurang tertarik untuk segera menyiapkan
mengatasi berbagai kendala di daerah perda BPHTB.

Monitoring dan Evaluasi 33


Tabel 7. Kesiapan Daerah Memungut BPHTB (Posisi: 30 Juni 2011)
No. Kesiapan Daerah Jumlah Daerah Prosentase (%) dari
Jumlah Daerah Penerimaan BPHTB
2009
1. Perda telah siap 407 82,7 99,4
2. Raperda (dalam proses) 81 16,5 0,597
3 Belum ada informasi 4* 0,8 0,003
Total 492 100,0 100,0
Sumber: Tim Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB
*) Kab Konawe, Kab Konawe Utara, Kab Tolikara, Kab Tambrauw

Permasalahan yang mendasar dalam


4.2 Isu-Isu Strategis dan pengaturan ini adalah menyangkut: (a)
Solusinya NPOP TKP sebesar Rp 60 juta, dan (b)
wajib pajak yang memperoleh NPOP-
Sejumlah isu mengemuka dalam proses TKP. Penjelasan berikut ini diharapkan
pengalihan BPHTB menjadi pajak dapat memberikan pemahaman yang sama
daerah. Dalam masa transisi pengalihan bagi semua pihak.
pajak tersebut terdapat beberapa isu
yang berpotensi menghambat kelancaran a. Besaran NPOP-TKP
pemungutan BPHTB. Isu yang timbul Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai
dapat berkaitan dengan aspek kebijakan, Perolehan Objek Pajak setelah dikurangi
aspek legal, maupun aspek teknis. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOP-TKP). Besarnya NPOP-
4.2.1 Aspek Kebijakan TKP ditentukan oleh daerah dengan
menetapkannya dalam peraturan daerah
Beberapa pengaturan dalam UU Nomor 28 tetapi tidak boleh lebih kecil dari Rp 60
Tahun 2009 mengenai BPHTB mendapat juta. Dengan demikian, wajib pajak yang
kritikan dan menimbulkan perdebatan memperoleh objek pajak (tanah dan/atau
dalam implementasinya di daerah. Salah bangunan) dengan nilai Rp 60 juta atau
satu pengaturan yang banyak mendapat kurang tidak dikenakan BPHTB.
kritikan dari permerintah daerah adalah
ketentuan pasal 87 ayat (4) yang berbunyi: Permasalahan:
Nilai transaksi tanah dan bangunan
di sejumlah daerah (khususnya daerah
“Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak
perdesaan) adalah relatif kecil dan kurang
Tidak Kena Pajak (NPOP-TKP)
dari Rp 60 juta. Dengan penetapan
ditetapkan paling rendah sebesar Rp 60
NPOP-TKP sebesar Rp 60 juta, maka
juta untuk setiap wajib pajak.”
sejumlah

34 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
meningkatkan ketertiban administrasi
pemilikan tanah dan/atau bangunan,
yang akan mempermudah penyelesaian
sengketa dan pemungutan PBB-
Perdesaan dan Perkotaan.
meningkatkan akses masyarakat
terhadap sumber pembiayaan karena
sertifikat dapat digunakan sebagai
agunan di bank untuk memperoleh
kredit modal usaha. Hal ini akan
mempercepat pertumbuhan ekonomi
daerah dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Penetapan NPOP-TKP sebesar Rp 60
besar transaksi tanah dan bangunan juta didasarkan pada pertimbangan
tersebut tidak terkena BPHTB sehingga bahwa harga rumah sangat sederhana
mengurangi potensi pajak yang dapat (rumah type RSS) pada saat BPHTB
dipungut. Sejumlah daerah mengusulkan mulai dipungut oleh daerah (2010) adalah
agar NPOP-TKP tidak ditetapkan secara sekitar Rp 60 juta. Melalui kebijakan ini,
seragam di seluruh Indonesia tetapi masyarakat (seluruh rakyat Indonesia)
disesuaikan dengan kondisi suatu daerah. yang membeli rumah type RSS tidak akan
Dalam kaitan ini, daerah tertentu berharap dibebani dengan BPHTB. Hal ini sejalan
dapat menetapkan NPOP-TKP lebih dengan kebijakan pemerintah pusat yang
kecil sehingga lebih banyak transaksi atas memberikan berbagai kemudahan bagi
tanah dan bangunan yang dapat dikenakan kepemilikan rumah type RSS berupa
BPHTB. perlakuan khusus di bidang PPN dan
kemudahan dalam pengurusan sertifikat
Pertimbangan dan Solusi: (PRONA, LARASITA, dan lain-lain).
NPOP-TKP ditujukan untuk membantu
kelompok masyarakat berpendapatan b. Penerapan NPOP-TKP.
rendah agar dapat mengurus bukti hak Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka
(serifikat) kepemilikan tanah dan/atau 45 UU Nomor 28 Tahun 2009, yang
bangunan dengan tidak dibebani pajak. dimaksud dengan wajib pajak adalah
Dengan memberikan keringanan bagi ‘orang pribadi atau badan, meliputi
masyarakat dalam mengurus bukti hak atas pembayar pajak, pemotong pajak, dan
kepemilikan tanah dan/atau bangunan, pemungut pajak, yang mempunyai hak
diharapkan memberikan dampak positip dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
bagi daerah, terutama: ketentuan peraturan perundang-undangan

Monitoring dan Evaluasi 35


perpajakan daerah’. Khusus untuk hak atas tanah dan bangunan,
BPHTB, wajib pajaknya diatur dalam sehingga seseorang menjadi wajib
pasal 86 ayat (2) yang berbunyi: pajak ketika terjadi peristiwa (atau
transaksi) yang menimbulkan
“wajib pajak Bea Perolehan Hak atas kewajiban perpajakan. Dalam hal ini
Tanah dan Bangunan adalah orang tidak terdapat hubungan antara satu
pribadi atau badan yang memperoleh hak transaksi dengan transaksi lainnya.
atas tanah dan/atau bangunan.” - Perlakuan selama ini, ketika BPHTB
masih menjadi pajak pusat, NPOP-
Permasalahan: TKP diperhitungkan untuk setiap
Pemahaman mengenai definisi wajib transaksi (meskipun besaran
pajak terkait dengan NPOP-TKP antar NPOP-TKP lebih rendah dari yang
berbagai pihak berbeda-beda sesuai dengan ditetapkan dalam UU Nomor 28
kepentingan dan sudut pandangnya. Tahun 2010).
Dalam hal ini terdapat dua pandangan
yang berbeda, yaitu: Pemerintah pusat.
Dalam pembahasan RUU Pajak Daerah
Pemerintah daerah. dan Retribusi Daerah di DPR tidak
dikandung maksud untuk merubah cara
Dalam rangka membangun sebesar penerapan NPOP-TKP sebagaimana
mungkin potensi pajak, pemerintah yang diterapkan selama ini, sehingga
daerah cenderung untuk menafsirkan pemahaman mengenai wajib pajak
bahwa wajib pajak yang mendapat BPHTB adalah setiap transaksi atas
NPOP-TKP hanya sekali yaitu pada tanah dan bangunan.
saat seseorang melakukan transaksi
atas tanah dan/atau bangunan pertama
kali. Untuk transaksi berikutnya
yang dilakukan oleh orang yang sama
tidak lagi diperhitungkan NPOP-
TKP. Dengan demikian, semakin
besar peluang daerah untuk dapat
meningkatkan pemungutan BPHTB.
Pemahaman tersebut pada dasarnya
mempunyai argumentasi yang kuat,
meskipun terdapat beberapa kelemahan,
antara lain:
- Wajib pajak BPHTB adalah orang
pribadi atau badan yang memperoleh

36 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
Pertimbangan dan Solusi: kota dapat memungut BPHTB dengan
NPOP-TKP untuk BPHTB tidak identik menerbitkan Perda.
dengan PTKP (Penghasilan Tidak Kena
Perda tentang pajak daerah tidak dapat
Pajak) untuk pajak penghasila, karena
berlaku surut.
kedua jenis pajak tersebut memiliki
karakteristik yang berbeda. Dalam berbagai Pemerintah pusat hanya dapat
kesempatan diberikan penjelasan bahwa memungut BPHTB sampai dengan
yang dimaksud dengan ‘wajib-pajak’ dalam tanggal 31 Desember 21010 karena
pasal 87 ayat (4) UU Nomor 28 Tahun UU Nomor 21 Tahun 1997 sebagai
2009 adalah ‘transaksi’, sehingga NPOP- dasar pemungutan BPHTB dinyatakan
TKP diterapkan untuk setiap transaksi. tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Januari
Pertimbangan lain yang mendasari solusi 2011..
ini adalah:
Sejak tanggal 1 Januari 2011,
penerimaan BPHTB dihapus dari
BPHTB adalah pajak kabupaten/kota,
APBN sehingga sejak tanggal tersebut
sementara transaksi tanah dan bangunan
daerah tidak lagi memperoleh Dana
dapat dilakukan oleh seseorang di
Bagi Hasil BPHTB, dan penerimaan
beberapa daerah, sehingga sulit untuk
BPHTB menjadi Pendapatan Asli
dapat menggabungkan berbagai
Daerah (PAD)
transaksi untuk memperhitungkan
NPOP-TKP. Daerah yang tidak/belum menerbitkan
Perda BPHTB tidak dapat memungut
Sistem informasi belum memadai
BPHTB. Dalam keadaan seperti ini
untuk menelusuri dan menggabungkan
maka di daerah tersebut tidak ada
berbagai transaksi tanah dan bangunan
pungutan BPHTB.
untuk menerapkan NPOP-TKP. Untuk
efisiensi administrasi pemungutan Dalam implementasinya di lapangan,
BPHTB lebih tepat NPOP-TKP terdapat beberapa permasalahan yang
diterapkan per transaksi. utamanya disebabkan karena kelambatan
penerbitan perda BPHTB. Sampai dengan
tanggal 1 Januari 2011, masih terdapat
4.2.2 Aspek Legal sejumlah kabupaten/kota yang belum
menerbitkan perda BPHTB. Berdasarkan
Mengacu pada ketentuan BPHTB yang hasil pemantauan, terdapat beberapa
diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009, faktor yang menyebabkan daerah belum
terdapat beberapa implikasi hukum yang dapat menerbitkan Perda BPHTB, antara
perlu diperhatikan dalam implementasinya, lain:
antara lain sebagai berikut:
Potensi BPHTB di daerahnya relatif
Sejak tanggal 1 Januari 2011, kabupaten/ kecil

Monitoring dan Evaluasi 37


Rancangan perda masih dalam tahap Pertimbangan dan solusi:
pembahasan bersama DPRD Dalam rangka menyamakan persepsi antar
instansi yang terkait dengan pemungutan
Rancangan Perda sedang dievaluasi oleh
BPHTB, sejumlah pertemuan dan
Gubernur
pembahasan dilakukan bersama oleh
Implikasi dari keadaan tersebut adalah instansi terkait. Dalam workshop tentang
munculya sejumlah permasalahan teknis pengalihan BPHTB pada tanggal 27 dan
di lapangan, antara lain terkait dengan 28 Januari 2011 di Bekasi, yang dihadiri
administrasi pertanahan, pelayanan oleh para pejabat dari Kementerian
restitusi, pemungutan BPHTB atas Keuangan, Kementerian Dalam Negeri,
transaksi lelang, dan perlakuan BPHTB di Badan Pertanahan Nasional, Asosiasi
daerah yang belum menerbitkan perda.. Notaris Indonesia, Ikatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah, Real Estate Indonesia, Asosiasi
a. Administrasi pertanahan mengalami Bank Daerah, dan instansi lain, telah
kelambatan. dilakukan penyamaan pendapat dengan
Salah satu persyaratan untuk melakukan kesimpulan sebagai berikut:
pengalihan hak atas tanah da/atau
bangunan adalah pelunasan BPHTB. Daerah yang belum menerbitkan perda
Kepada instansi/lembaga yang terkait BPHTB pada tanggal 1 Januari 2011
dengan proses pengalihan hak atas tanah tidak dapat memungut BPHTB, karena
dan/atau bangunan diminta untuk landasan hukum pemungutannya tidak
melaksanakan ketentuan ini. ada. Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009
juga diatur bahwa perda pajak daerah
Permasalahan: dan retribusi daerah tidak dapat berlaku
Sebagian kantor pertanahan nasional surut.
memiliki persepsi bahwa pelunasan
Kewajiban untuk menyertakan bukti
BPHTB adalah bersifat mutlak dalam
pelunasan BPHTB dalam proses
penerbitan sertifikat hak atas tanah dan/
penerbitan sertifikat hak atas tanah
atau bangunan. Apabila suatu daerah
dan bangunan di daerah yang belum
belum menerbitkan perda, sebagai dasar
menerbitkan perda BPHTB dinyatakan
pemungutan BPHTB, maka proses
gugur, sampai saat diterbitkannya perda
penerbitan sertifikat hak atas tanah dan/
BPHTB. Penegasan mengenai hal ini
atau bangunan harus ditunda sampai
telah dilakukan oleh Menteri Keuangan
perda mengenai BPHTB ditetapkan.
dalam surat kepada seluruh bupati/
Akibatnya terjadi kelambatan dalam
walikota Nomor S-632/MK.07/2010
proses penyelesaian sertifikat tanah dan/
tanggal 30 Nopember 2010.
atau bangunan di daerah yang belum
menerbitkan perda BPHTB. Dalam pertemuan tersebut juga disepakati
bahwa pimpinan organisasi/lembaga yang

38 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
memiliki aparat di daerah akan segera
menginformasikan kepada anggotanya
mengenai hal tersebut di atas di daerah
yang belum ada Perda BPHTB.

b. Pelayanan restitusi BPHTB mengalami


hambatan
Pelayanan kepada wajib pajak merupakan
salah satu faktor penting dalam
mengoptimalkan pemungutan BPHTB.
Hak-hak wajib pajak sebagaimana yang
diatur dalam peraturan perundang-
undangan harus diberikan sesuai jumlah
dan waktu yang ditentukan.
melakukan pemungutan BPHTB
Permasalahan:
karena UU Nomor 21 Tahun 1997
Salah satu masalah teknis yang timbul dalam
tentang BPHTB telah dicabut.
pelayanan BPHTB adalah penyelesaian
restitusi (pengembalian kelebihan Mekanisme pembayaran melalui
pembayaran BPHTB) yang diajukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan
wajib pajak untuk tahun pajak 2010 atau memerlukan alokasi anggaran dalam
sebelumnya. Permohonan restitusi BPHTB APBN 2011 untuk pembayaran
diajukan kepada Direktorat Jenderal restitusi BPHTB. Sementara pos
Pajak untuk memperoleh penyelesaian. anggaran untuk BPHTB dalam APBN
Sesuai ketentuan yang berlaku, Direktorat 2011 tidak lagi tersedia.
Jenderal Pajak hanya dapat memberikan
BPHTB yang dipungut oleh pusat pada
restitusi BPHTB paliing lambat sampai
dasarnya dibagihasilkan ke daerah yang
dengan tanggal 31 Desember 2010.
bersangkutan, sehingga apabila terdapat
Restitusi yang disetujui sejak tanggal 1
kelebihan pemungutan BPHTB,
Januari 2011 seyogyanya diselesaikan oleh
kewajiban memberikan restitusi 2010
pemerintah daerah dimana wajib pajak
menjadi tanggungjawab daerah untuk
membayar BPHTB.
menyelesaikannya.
Preposisi di atas didasarkan pada beberapa Mengikuti pandangan tersebut di atas,
pertimbangan, antara lain: timbul permasalahan teknis yang tidak
mudah diatasi, yaitu:
BPHTB menjadi pajak daerah mulai
1 Januari 2011. Sejak tanggal tersebut Daerah tidak memiliki informasi
Direktorat Jenderal Pajak tidak lagi historis timbulnya restitusi yang

Pendahuluan 39
dimintakan oleh wajib pajak, sehingga Pertimbangan alternatif ini adalah
sulit untuk dapat mengambil keputusan untuk meningkatkan pelayanan
untuk menyetujui atau menolak. kepada wajib pajak dengan mengambil
alih tanggungjawab daerah dalam
Daerah tidak mengalokasikan anggaran
penyelesaian restitusi BPHTB.
untuk membayar restitusi BPHTB
2010 atau tahun sebelumnya. Alternatif-2:
Terdapat daerah yang belum Pembayaran restitusi BPHTB 2010
menerbitkan perda BPHTB pada saat dilakukan oleh pemerintah pusat
restitusi diajukan oleh wajib pajak. dan mengkompensasikannya melalui
pemotongan dana transfer ke daerah.
Pertimbangan dan solusi: Mekanisme pemotongan dana transfer
Dengan memperhatikan beberapa masalah dilakukan mengikuti ketentuan pasal
teknis yang dihadapi dalam penyelesaian 30 Peraturan Menteri Keuangan
restitusi BPHTB 2010, terdapat beberapa Nomor 126/PMK.07/2010 tentang
alternative kebijakan yang dapat ditempuh, pelaksanaan dan pertanggungjawaban
yaitu: anggaran transfer ke daerah.
Pertimbangan alternatif ini adalah
Alternatif-1:
untuk meningkatkan pelayanan kepada
Pembayaran restitusi BPHTB 2010 wajib pajak tetapi tetap membebankan
dilakukan oleh pemerintah pusat tanggungjawab pembayaran restitusi
dengan mengalokasikan sejumlah kepada daerah.
dana dalam anggaran belanja Negara
Alternatif-3:
(APBN-P 2011).
Pembayaran restitusi BPHTB 2010
dilakukan oleh daerah dan dibebankan
pada APBD.
Pertimbangan alternatif ini adalah
karena BPHTB yang dipungut oleh
Ditjen Pajak kemudian didistribusikan
kembali ke daerah, sehingga apabila
terjadi kelebihan pemungutan BPHTB
yang menyebabkan terjadinya restitusi,
maka kelebihan tersebut harus
dikembalikan oleh daerah.
Dengan mempertimbangkan aspek
kelancaran pelayanan, efisiensi
administrasi, dan kemudahan

40 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
pelaksanaannya, alternatif-1 nampaknya c. Pemungutan BPHTB atas Transaksi
pilihan yang lebih feasible. Namun untuk Lelang
langkah ini diperlukan alokasi dana Saat terutangnya BPHTB atas transaksi
dalam APBN dengan persetujuan DPR lelang adalah ‘sejak tanggal penunjukan
dan penyiapan perangkat hukum yang pemenang lelang’ sebagaimana ditetapkan
diperlukan, seperti: dalam pasal 90 ayat (1) UU Nomor 28
Tahun 2009. Selanjutnya, dalam pasal 91
1. Menerbitkan Peraturan Pemerintah ayat (2) diatur bahwa ‘Kepala kantor lelang
(PP) sebagai dasar pembayaran restitusi hanya dapat menandatangani risalah lelang
BPHTB. setelah wajib pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak.
Penyiapan PP memerlukan waktu
yang cukup panjang; sementara itu
Permasalahan:
pelayanan restitusi kepada wajib pajak
Dalam keadaan normal, kedua ketentuan
perlu segera diselesaikan. Oleh karena
di atas dapat diatasi dengan melakukan
itu perlu diupayakan pengaturan lain
sinkronisasi antara saat pembayaran
sebagai landasan operasional sebelum
BPHTB dan saat penandatanganan
PP diterbitkan.
risalah lelang. Namun, dalam masa
2. Mengatur tatacara pemberian restitusi transisi, khususnya pelaksanaan lelang
BPHTB dalam Peraturan Bersama yang dilakukan pada akhir tahun 2010
Menteri Keuangan dan Menteri Dalam terdapat permasalahan yang memerlukan
Negeri Nomor 186/PMK.07/2010 dan penanganan khusus, yaitu atas transaksi
Nomor 53 Tahun 2010. lelang dimana penunjukan pemenang
lelang dilakukan dalam tahun 2010 tetapi
Dalam Pasal 162 UU Nomor 28
penyelesaian BPHTB dilakukan pada
Tahun 2009, Menteri Keuangan dan
tahun 2011. Yang menjadi permasalahan
Menteri Dalam Negeri diamanatkan
adalah: (1) kapan saat terutangnya
untuk mengatur tahapan persiapan
BPHTB?, dan (2) kemana pembayaran
pengalihan BPHTB menjadi pajak
BPHTB dilakukan, pemerintah pusat atau
daerah. Melaksanakan amanat tersebut,
pemerintah daerah?
telah diterbitkan Peraturan Bersama
Menteri Keuangan dan Menteri Dalam
Pertimbangan dan solusi:
Negeri Nomor 186/PMK.07/2010
Penunjukan pemenang lelang secara formal
dan Nomor 53 Tahun 2010 tentang
terjadi pada saat penandatanganan risalah
tahapan persiapan pengalihan BPHTB
lelang yang dilakukan setelah BPHTB
menjadi pajak daerah. Dalam kaitan
dilunasi. Apabila BPHTB atas lelang belum
ini, pengaturan mengenai restitusi
diselesaikan dalam tahun 2010 maka sudah
BPHTB dalam masa transisi kiranya
barang tentu penyelesaiannya dilakukan
dapat diatur dengan merevisi Peraturan
dalam tahun 2011. Dalam hal ini BPHTB
Bersama tersebut.

Pendahuluan 41
dibayar kepada pemerintah daerah dan Pertimbangan dan solusi:
risalah lelang akan ditandatangani pada Titipan BPHTB tidak dikenal dalam
tahun 2011. sistiim pemungutan BPHTB. Karena
perda BPHTB belum terbit pada saat
d. Praktek Titipan Pembayaran BPHTB terjadinya pengalihan hak atas tanah
Keterlambatan penerbitan perda BPHTB dan/atau bangunan, maka atas transaksi
menimbulkan berbagai penafsiran dan tersebut tidak dapat dikenakan BPHTB.
praktek di beberapa daerah. Sebagaimana Beberapa pertimbangan yang mendasari
diatur dalam peraturan perundang- pendapat ini adalah:
undangan, BPHTB hanya dapat dipungut
dengan peraturan daerah. Konsekwensinya Perda BPHTB tidak dapat berlaku
adalah apabila perda BPHTB belum terbit surut, sehingga apabila perda
maka pungutan BPHTB ditiadakan. BPHTB sudah ditetapkan maka masa
Namun, di beberapa daerah terdapat berlakunya dimulai setelah tanggal
praktek yang tidak sesuai dengan ketentuan terjadinya pengalihan hak atas tanah
tersebut, khususnya di daerah yang perda dan bangunan tersebut.
BPHTB mengalami kelambatan. Sistem dan prosedur pemungutan
BPHTB tidak dapat diterbitkan
Permasalahan: sebelum perda BPHTB ditetapkan.
Transaksi pengalihan hak atas tanah dan/ Pada saat terjadinya pengalihan hak
atau bangunan terjadi pada awal tahun atas tanah dan/atau bangunan tersebut
2011 dan perda BPHTB masih dalam belum tersedia instrumen pembayaran
proses pembahasan/penetapan. Beberapa BPHTB seperti rekening kas daerah
daerah melakukan pungutan BPHTB yang menerima pungutan tersebut.
meskipun perda BPHTB belum terbit Dalam hal ini penerimaan pajak dalam
dengan memperlakukan pungutan tersebut bentuk titipan BPHTB merupakan
sebagai titipan BPHTB. tindakan yang tidak tepat.

42 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
Analisis Efektifitas
05
Pengalihan BPHTB
Pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah cukup efektif, baik dilihat dari
kesiapan daerah dalam mempersiapkan landasan pemungutan BPHTB
maupun dilihat dari potensi BPHTB yang dapat dipungut serta dilihat dari
perkembangan realisasi penerimaan BPHTB sampai dengan pertengahan
tahun 2011.
terpungut. Sebagai basis analisis, potensi
5.1 Efektivitas Kebijakan BPHTB dapat dilihat dari realisasi
Pengalihan BPHTB penerimaan BPHTB tahun 2009 yang
berjumlah sekitar Rp 6,4 Triliun.
Efektivitas kebijakan pengalihan BPHTB
dari pajak pusat menjadi pajak daerah Indonesia memiliki 491 kabupaten/kota
dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu aspek dan 1 provinsi (DKI Jakarta) yang dapat
wilayah dan aspek pendapatan. Dari aspek memungut BPHTB. Dengan demikian,
wilayah, pengalihan BPHTB dipandang BPHTB akan dipungut oleh 492 daerah.
berhasil apabila seluruh atau sebagian besar Daerah ini dapat dikelompokkan ke dalam
kabupaten/kota dapat memungut BPHTB 3 (tiga) kategori sesuai dengan besarnya
mulai 1 Januari 2011. Perlu diperhatikan potensi BPHTB yang dimiliki oleh
bahwa salah satu prinsip pemungutan masing-masing daerah. Tabel di bawah
pajak daerah adalah ‘efficiency principle’ ini menunjukkan kategori daerah yang
yang menekankan bahwa pendapatan dapat digunakan sebagai bahan analisis
yang dapat dipungut dari suatu pajak perkembangan implementasi pengalihan
daerah seyogyanya lebih besar dari biaya BPHTB
yang dikeluarkan untuk pemungutan
pajak tersebut. Dalam kaitan ini perlu Dari tabel di atas diperoleh gambaran
dilihat potensi BPHTB pada setiap daerah bahwa distribusi potensi BPHTB antar
dan membandingkannya dengan biaya daerah sangat timpang. Sebanyak 235
pemungutannya. kabupaten/kota (47,8% dari total
kabupaten/kota) memiliki potensi BPHTB
Dari aspek pendapatan, pengalihan yang memadai (Rp 1 Milyar atau lebih).
BPHTB dapat dikatakan berhasil apabila Kelompok daerah ini mewakili 98,5% dari
seluruh atau sebagian besar potensi potensi BPHTB. Sementara itu, terdapat
BPHTB yang ada di daerah dapat 61 kabupaten/kota (12,4% dari jumlah

Analisis Efektifitas Pengalihan BPHTB 43


Tabel 8. Pengelompokan Daerah Berdasarkan Potensi BPHTB
Prosentase (%) dari
Jumlah
No. Kategori Total Penerimaan
Daerah Jumlah Daerah
BPHTB 2009
TINGGI
1. 235 47,8 98,5
(Rp 1 Milyar atau lebih)
SEDANG
2. 61 12,4 1,0
(Rp 500 juta-Rp 1 Milyar)
RENDAH
3 196 39,8 0,5
(Kurang dari Rp 500 juta)
Jumlah 492 100,0 100,0
Sumber: Tim Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB

kabupaten/kota) yang memiliki potensi daerah lainnya tidak memiliki potensi


BPHTB antara Rp 500 juta sampai Rp BPHTB yang memadai, utamanya di
1 Milyar. Kelompok daerah ini mewakili daerah perdesaan.
hanya 1,0% dari potensi BPPHTB.
Ketimpangan potensi BPHTB antar
Sementara itu, terdapat 196 kabupaten/ daerah ini berpotensi menghambat
kota (39,8% dari jumlah kabupaten/kota) implementasi pengalihan BPHTB.
lainnya yang memiliki potensi BPHTB Persepsi daerah atas kebijakan pengalihan
kurang dari Rp 500 juta. Kelompok daerah BPHTB akan mempengaruhi upaya
ini mewakili hanya 0,5% dari potensi pengalihannya. Daerah yang memiliki
BPHTB. Gambaran ini menyimpulkan potensi BPHTB ‘tinggi’ cenderung akan
bahwa potensi BPHTB tersebar pada segera mempersiapkan segala sesuatu yang
sekitar 50% daerah di Indonesia, utamanya diperlukan untuk pemungutan BPHTB,
di daerah perkotaan. Sementara 50% baik penyiapan perda, penyusunan
tatacara pemungutan, penyediaan sarana/
prasarana, peningkatan kapasitas sumber
daya manusia, pembangunan sistem
pemungutan berbasis IT, dan pengikatan
kerjasama dengan pihak terkait. Ambisi
daerah ini untuk segera memungut BPHTB
cukup besar karena akan dapat memungut
BPHTB dalam jumlah yang lebih besar
dibandingkan dengan dana bagi hasil
BPHTB yang mereka terima selama ini.
Dengan penetapan BPHTB sebagai pajak
daerah, maka seluruh pendapatan BPHTB
menjadi hak daerah yang bersangkutan.

44 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
Sedangkan daerah yang memiliki potensi pajak pusat daerah ini menerima dana
BPHTB ‘sedang’ akan kurang bersemangat pemerataan, yakni 20% penerimaan dari
melakukan persiapan pemungutan BPHTB dibagikan secara merata untuk
BPHTB. Daerah ini memandang seluruh kabupaten/kota.
pengalihan BPHTB menjadi pajak
daerah hanya sekedar pengalihan status
pendapatan BPHTB dari dana bagi hasil
5.2 Efektivitas Langkah-
menjadi pendapatan asli daerah. Sementara Langkah yang Dilakukan
itu, jumlah pendapatan BPHTB yang
dapat dipungut tidak jauh berbeda dari Pemungutan BPHTB diawali dengan
jumlah dana bagi hasil yang selama ini penerbitan peraturan daerah (perda).
mereka terima. Oleh karena itu, salah satu indikator yang
dapat digunakan untuk melihat efektivitas
Sementara itu, daerah yang memiliki dari langkah-langkah yang telah diambil
potensi BPHTB ‘rendah’ cenderung pasif dalam pengalihan BPHTB menjadi pajak
dalam melakukan persiapan pemungutan daerah adalah perkembangan penerbitan
BPHTB. Daerah ini cenderung memiliki perda BPHTB oleh kabupaten/kota dari
persepsi bahwa pengalihan BPHTB waktu ke waktu Agar tidak terjadi salah
menjadi pajak daerah hanya akan penafsiran, disamping jumlah perda yang
menambah beban kerja dan biaya, namun diterbitkan, seyogyanya juga diperhatikan
hasil yang dapat dipungut relatif kecil. potensi BPHTB yang dapat dipungut oleh
Bahkan mereka memperkirakan bahwa daerah tersebut.
dana pemerataan dari sistem bagi hasil
BPHTB selama ini akan lebih besar Secara keseluruhan, langkah-langkah
dibandingkan dengan jumlah BPHTB yang dilakukan oleh pemerintah pusat
yang akan mereka pungut sendiri. dalam mempercepat pengalihan BPHTB
Gambaran ini sangat nyata pada daerah menjadi pajak daerah cukup efektif.
yang tidak memiliki potensi BPHTB, Meskipun terdapat kelambatan dalam
dimana ketika BPHTB masih menjadi penerbitan perda BPHTB, namun strategi

Analisis Efektifitas Pengalihan BPHTB 45


yang ditempuh untuk mempercepat penyelesaiannya memberikan hasil yang cukup baik.
Apabila diperhatikan perkembangan penerbitan perda BPHTB sejak Nopember 2010 s/d
Juni 2011, terlihat pertumbuhan yang pesat, yakni rata-rata 35 perda per bulan dengan
lonjakan terbesar terjadi pada bulan Januari dan Pebruari 2011, sebagaimana terlihat
dalam tabel di bawah ini.

Tabel 9. Perkembangan Penyiapan Perda BPHTB (30 November 2010 s/d 30 Juni 2011)
Jumlah Perda Yang Diterbitkan Sampai Dengan Tanggal
No.
Kesiapan 30 Nov 31 Des 31 Jan 28 Feb 31 Mar 30 Apr 31 Mei 30 Jun 31 Jul
Daerah 2010 2010 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011
Perda telah
1 80 198 263 321 368 382 398 407 409
siap
Perda
2 dalam 126 97 167 123 87 82 88 81 80
proses
Belum ada
3 286 197 62 48 37 28 6 4 3
informasi
Total
492 492 492 492 492 492 492 492 492
(1+2+3)
Sumber : DJPK, Kementerian Keuangan

Grafik 1. Perkembangan Penyiapan Perda BPHTB (30 November 2010 s/d 30 Juni 2011)
600
JumlahP erda yang Diterbitkan Sampai dengan Tanggal

500

400

300

200

100

Belum ada informasi Perda dalam proses Perda yang telah siap

Sumber: Tim Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB

46 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
Dilihat dari potensi BPHTB yang siap dipungut oleh daerah yang telah menerbitkan
perda BPHTB, diperoleh gambaran yang cukup menggembirakan, sebagaimana terlihat
di bawah ini.

Tabel 10. Perkembangan Potensi BPHTB yang Dapat Dipungut Daerah


(30 November 2010 s/d 30 Juni 2011)
Persentase dari Total Penerimaan BPHTB Tahun 2009 (%)
Kesiapan
No. 30 Nov 31 Des 31 Jan 28 Feb 31 Mar 30 Apr 31 Mei 30 Jun 31 Jul
Daerah
2010 2010 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011
1 Perda telah 60,0 71,7 87,4 94,6 96,0 96,3 97,1 99,400 99,500
siap
2 Perda dalam 20,5 18,3 10,1 3,6 2,8 2,8 2.85 0,596 0,496
proses
3 Belum ada 19,5 10,0 2,5 1,6 1,2 0,9 0,005 0,004 0,004
informasi
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100
(1+2+3)
Sumber : DJPK, Kementerian Keuangan

Grafik 2. Perkembangan Potensi BPHTB yang Dapat Dipungut Daerah


(30 November 2010 s/d 30 Juni 2011)
Persentase dari Total Penerimaan BPHTB Tahun 2009 (%)

100

80

60

40

20

Belum ada infromasi Perda dalam proses Perda telah siap

Analisis Efektifitas Pengalihan BPHTB 47


Pada awal pelaksanaan pemungutan 2009 (sebesar Rp 6,4 Triliun) atau 2010
BPHTB oleh daerah, potensi BPHTB (sebesar Rp 8,0 Triliun).
yang siap dipungut adalah sebesar 71,1%.
Sebagian potensi BPHTB tidak dapat Pemungutan BPHTB oleh daerah baru
dipungut oleh daerah karena perda berjalan selama 6 (enam) bulan dan
BPHTB belum diterbitkan. Namun secara data realisasi penerimaan BPHTB dari
bertahap, potensi BPHTB yang dapat Januari sampai dengan Juni 2011 belum
dipungut semakin besar dengan semakin dapat diperoleh seluruhnya. Oleh karena
banyaknya daerah yang menerbitkan itu pendekatan yang digunakan untuk
perda.. Selama kurun waktu 6 (enam) melihat efektivitas pemungutan BPHTB
bulan, pertumbuhan potensi BPHTB yang dalam semester I tahun 2011 adalah
dapat dipungut adalah sekitar 5% per bulan dengan menggunakan data penerimaan
dengan pertumbuhan tertinggi terjadi BPHTB dari beberapa daerah yang
pada bulan Januari dan Pebruari 2011. telah menyampaikan laporan realisasi
Peningkatan pertumbuhan ini sebagai penerimaan BPHTB sampai dengan 30
hasil dari berbagai kegiatan sosialisasi dan Juni 2011 sebagaimana terlihat dalam
bimbingan teknis yang dilakukan pada Tabel di samping.
bulan-bulan sebelumnya. Pada akhir bulan
Juni 2011, hampir seluruh potensi BPHTB Tabel di atas memperlihatkan bahwa
dapat dipungut karena hampir seluruh dalam semester I Tahun 2011, beberapa
daerah menerbitkan perda BPHTB. daerah dapat merealisir pemungutan
BPHTB dengan baik (proporsional dengan
5.3 Efektivitas Pemungutan realisasi penerimaan semester I tahun
sebelumnya) dan bahkan ada diantaranya
BPHTB yang telah dapat melampaui realisasi
penerimaan BPHTB tahun 2010. Hal ini
Salah satu indikator keberhasilan menunjukkan bahwa pemerintah daerah
pengalihan BPHTB menjadi pajak pada dasarnya siap dan mampu untuk
daerah adalah kemampuan daerah untuk memungut BPHTB sebagaimana halnya
memungut seluruh potensi BPHTB di dengan yang selama ini dilakukan oleh
daerahnya. Karena potensi BPHTB sangat pemerintah pusat. Hal ini tidak terlepas
ditentukan oleh kegiatan ekonomi yang dari strategi yang tepat dari pemerintah
terjadi di suatu daerah, maka ukuran yang pusat dalam mempersiapkan pengalihan
dapat digunakan sebagai pembanding BPHTB serta dukungan dan kerjasama
adalah realisasi penerimaan BPHTB tahun pemerintah daerah dalam pelaksanaan
pemungutannya.

48 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
Tabel 11. Realisasi Penerimaan BPHTB (Daerah Tertentu)

No. Daerah 2009 2010 2011*) %


1 Prov DKI Jakarta 1.881.411.601.708 2.529.429.323.126 1.074.336.095.608 42%
2 Kab. Bogor 140.980.619.134 187.457.292.519 71.749.971.601 38%
3 Kab. Lhokseumawe 114.166.452.000 1.286.529.244 672.190.350 52%
4 Kota Tangerang 101.903.883.000 139.585.556.638 62.279.379.850 45%
5 Kab. Sidoarjo 69.766.680.000 88.912.249.302 32.839.787.131 37%
6 Kab. Deli Serdang 46.422.716.120 56.263.594.981 24.559.045.463 44%
7 Kota Balikpapan 43.0087.275.000 51.924.613.649 21.455.326.200 41%
8 Kab. Sleman 42.400.137.781 49.190.514.144 27.462.599.858 56%
9 Kab Gresik 33.128.953.000 43.677.407.599 20.172.158.000 46%
10 Kota Pekanbaru 32.463.813.841 40.743.083.985 21.869.411.745 54%
11 Kota Jogyakarta 25.978.633.000 30.572.531.195 15.037.787.248 49%
12 Kota Pontianak 19.387.659.658 27.985.995.278 18.711.700.000 67%
13 Kab. Kutai Barat 16.626.299.000 521.920.000 2.826.810.649 542%
14 Kota Dumai 16.603.895.037 3.512.942.363 4.719.297.825 134%
15 Kab. Cirebon 13.475.390.715 17.005.795.559 6.690.681.384 39%
16 Kab Bantul 13.196.702.542 15.529.119.154 62.775.456.333 404%
17 Kab. Bojonegoro 9.316.160.000 13.178.179.767 22.399.972.153 170%
18 Kab. Sukoharjo 9.232.077.990 19.867.470.795 7.942.318.073 40%
19 Kab. Kendari 8.181.633.000 9.582.354.208 4.747.692.969 50%
20 Kab. Kediri 7.942.004.000 9.018.787.852 4.332.586.316 48%
21 Kota Banda Aceh 4.972.442.801 4.859.527.840 2.162.332.445 44%
22 Kota Bitung 3.441.926.1.6 3.653.885.037 1.509.963.619 41%
23 Kota Palu 3.344.794.000 5.629.250.847 2.464.732.468 44%
24 Kab. Lebak 2.961.947.000 2.443.780.250 1.200.870.679 49%
25 Kota Bukit Tinggi 2.167.136.000 4.405.813.530 1.501.222.807 34%
26 Kab. Kebumen 1.778.723.660 1.874.516.697 780.132.704 42%
27 Kab Belitung 1.237.575.103 2.584.158.001 1.113.911.108 43%
28 Kab. Bangkalan 849.847.000 1.550.530.939 836.656.385 54%
29 Kota Tanjung Balai 821.862.000 720.241.106 414.880.107 58%
30 Kab. Barito Kuala 607.047.000 1.152.057.744 426.693.025 37%
31 Kota Samarinda 36.290.541.000 44.230.258.640 16.499.557.320 37%
32 Kab Cianjur 19.604.663.000 24.388.118.837 7.065.064.174 29%
33 Kab Sumedang 5.132.308.000 6.029.444.750 2.103.887.023 35%
Sumber: DJP dan DJPK. *) Sampai dengan 30 Juni 2011.

Analisis Efektifitas Pengalihan BPHTB 49


06
Kesimpulan

Secara umum, proses pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah yang


dilakukan oleh Indonesia telah berjalan dengan baik. Hampir semua
daerah telah menerrbitkan perda BPHTB dan menyusun tatacara
pemungutannya, meskipun beberapa daerah terlambat memulainya.
Faktor penting yang masih perlu ditingkatkan adalah kapasitas sumber
daya manusia dan sarana pendukung (hardware dan software) di
daerah. Untuk melihat sejauh mana potensi BPHTB dapat dipungut
oleh daerah, masih memerlukan evaluasi lanjutan setelah data
penerimaan BPHTB tahun 2011 dapat diperoleh.

Kesimpulan tersebut di atas didasarkan yang belum mempersiapkan perda


pada hasil analisis yang dilakukan atas BPHTB.
implementasi pengalihan BPHTB
Pemungutan BPHTB di beberapa
sebagaimana diuraikan pada bab-bab
daerah dapat melampaui realisasi
sebelumnya, yang secara garis besar dapat
penerimaan BPHTB tahun 2010
dikemukakan sebagai berikut:
dalam semester I tahun 2011.
Sejumlah daerah, utamanya daerah
a. Meskipun terdapat kelambatan dalam yang memiliki potensi BPHTB
proses pengalihan BPHTB menjadi tinggi, melakukan persiapan
pajak daerah, namun secara umum pemungutan BPHTB secara
dapat disimpulkan bahwa proses intensif termasuk pengintegrasian
pengalihan BPHTB menjadi pajak pemungutan BPHTB dengan
daerah telah berjalan baik, dengan sistem manajemen keuangan daerah
indikasi sebagai berikut: berbasis IT.
Sampai dengan tanggal 30 Juni 2011 b. Langkah-langkah implementasi yang
terdapat hanya 4 (empat) kabupaten dilakukan dalam rangka pengalihan

50 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
BPHTB menjadi pajak daerah cukup
optimal, dengan indikasi sebagai
berikut:
Pemerintah pusat memiliki konsep
yang jelas mengenai langkah-
langkah yang akan dilakukan untuk
mengalihkan BPHTB menjadi pajak
daerah.
Langkah-langkah yang telah
direncanakan dapat dilaksanakan
secara konsisten dan berkelanjutan
dengan tingkat koordinasi antar
instansi yang baik.
Sosialisasi kebijakan menjangkau
kelompok sasaran yang luas dengan
jumlah peserta yang cukup banyak. bimbingan, dan sistem) yang
memadai kepada daerah untuk
Monitoring dan evaluasi
mempersiapkan pemungutan
dilakukan secara intensif dan
BPHTB sesuai waktu yang
berkesinambungan dan berbagai
dibutuhkan.
kendala yang dihadapi oleh daerah
dalam mempersiapkan pemungutan Unit-unit kerja pemerintah di daerah
BPHTB dapat dicarikan solusinya (Kantor Wilayah Pajak, Kantor
oleh pemerintah pusat. Pelayanan Pajak Pratama, Balai
Pendidikan dan Pelatihan Keuangan)
c. Dukungan dari berbagai pihak untuk
secara aktif memberikan fasilitasi
kelancaran pengalihan BPHTB cukup
dan pendampingan kepada aparatur
besar, dengan indikasi sebagai berikut:
daerah dalam mempersiapkan
Berbagai institusi (pemerintah pemungutan BPHTB.
dan non-pemerintah) berperan
d. Penyelesaian isu-isu yang timbul di
serta secara aktif dalam melakukan
lapangan terkait proses pengalihan
sosialisasi dan diseminasi kebijakan
BPHTB menjadi pajak daerah relatif
pengalihan BPHTB, termasuk
memadai, dengan indikasi sebagai
lembaga internasional.
berikut:
Pemerintah pusat memberikan
Sejumlah isu yang muncul dalam
fasilitasi (dalam bentuk training,
proses pengalihan BPHTB telah

Kesimpulan 51
dapat diselesaikan melalui berbagai keputusan secara cepat.
pertemuan dan diskusi bersama
e. Masih terdapat beberapa isu penting
seluruh stakeholder.
dalam pengalihan BPHTB menjadi
Pemerintah pusat secara proaktif pajak daerah yang harus dicarikan
membangun komunikasi yang solusinya, seperti:
intensif dengan berbagai pihak
Penyelesaian masalah restitusi
untuk meningkatkan kesadaran
BPHTB Tahun 2010 yang
akan perlunya segera mencarikan
penyelesaiannya dilakukan pada
solusi atas perbedaan pemahaman
tahun 2011.
mengenai isu yang timbul dalam
implementasi pengalihan BPHTB Penyelesaian perlakuan penerimaan
menjadi pajak daerah. BPHTB oleh daerah sebelum
perda BPHTB diterbitkan (titipan
Pengambil keputusan secara pro-
BPHTB) yang terjadi di beberapa
aktif mendorong penyelesaian isu-
daerah.
isu yang timbul dan mengambil

52 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
Rekomendasi
07
Dari evaluasi atas implementasi pengalihan BPHTB yang telah dilakukan
oleh Indonesia, dapat disampaikan rekomendasi yang terdiri dari 2 (dua)
bagian, yaitu langkah-langkah lanjutan untuk optimalisasi pemungutan
BPHTB dan langkah-langkah yang dapat dipertimbangkan untuk ditiru
dalam rangka kelancaran pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah.

BPHTB adalah jenis pajak daerah yang sehingga kapasitas sumber daya manusia
baru. Oleh karena itu, pembinaan terhadap yang memadai dapat tersedia dalam
daerah perlu terus dilakukan agar dapat jangka panjang.
lebih mengoptimalkan pemungutannya,
Keberhasilan pengalihan BPHTB menjadi
seperti:
pajak daerah tidak terlepas dari peran
aktif pemerintah dalam memberikan
a. mendorong pembangunan sistem
pemahaman, melakukan persuasi,
pemungutan BPHTB (berbasis IT) yang
memberikan bimbingan dan pelatihan
terintegrasi dengan sistem pengelolaan
serta memberikan dukungan dan fasilitasi
keuangan daerah,
yang diperlukan oleh daerah. Tanpa peran
b. membantu penyusunan prosedur aktif seperti ini sukar diharapkan hasil
operasional yang lebih sederhana seperti yang dicapai saat ini.
sehingga dapat mempercepat
penyelesaian administrasi pertanahan, Memetik pelajaran dari proses pengalihan
BPHTB menjadi pajak daerah, beberapa
c. mendorong daerah memberikan
hal dapat ditiru dan dijadikan masukan
incentive untuk ketertiban administrasi
dalam proses pengalihan PBB-P2 (Pajak
pertanahan dalam rangka keterrtiban
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
masyarakat dan optimalaisasi
Perkotaan), antara lain:
pemungutan PBB-P2.
d. memberikan pelatihan yang terstruktur a. Peningkatan pemahaman daerah
dan berkelanjutan mengenai BPHTB mengenai PBB-P2.
kepada aparatur pemerintah daerah

Rekomendasi 53
Pemahaman mengenai PBB-P2 akan PBB-P2 harus didukung dengan sistem
sangat menentukan keberhasilan daerah teknologi informasi yang memadai.
mempersiapkan pemungutannya. Hal
Meskipun batas akhir pengalihan
ini terlihat dalam monitoring atas
PBB-P2 masih cukup panjang (sampai
implementasi pengalihan BPHTB
akhir tahun 2013), namun upaya untuk
dimana sampai saat ini masih banyak
mempersiapkan daerah agar dapat
pihak yang belum memahami secara
memungut PBB-P2 dengan baik perlu
komprehensif mengenai jenis pajak
dilakukan sedini mungkin. Dalam
yang telah dialihkan ke daerah tersebut.
kaitan ini, pilot project merupakan
Meskipun sosialisasi PBB-P2 telah salah satu program yang perlu
dilakukan cukup intensif sejak tahun dipertimbangkan untuk dilakukan,
2010, kegiatan ini masih perlu dengan beberapa pemikiran sebagai
dilanjutkan dengan metode yang berikut:
semakin mengarah pada peningkatan
Daerah yang dipilih untuk ikut
pemahaman teknis dan mejangkau
dalam program pilot project
stakeholder yang lebih luas. Disamping
sebaiknya tersebar secara geografis
mengenai teknis pemungutan,
sehingga dapat berfungsi sebagai
pemahaman mengenai fungsi PBB-P2
learning center bagi daerah-daerah
dalam pembangunan daerah melalui
yang berada di sekitarnya.
perumusan kebijakan yang tepat
merupakan hal yang juga penting Waktu pelaksanaan pilot project
disosialisasikan. Pelatihan teknis agar diupayakan sedini mungkin
secara terus menerus kepada aparatur sehingga tersedia waktu yang cukup
pemerintah daerah merupakan salah satu untuk melakukan testing dan
cara yang baik untuk mengoptimalkan penyempurnaan-penyempurnaan
pemahaman mengenai PBB-P2. serta memberikan kesempatan
belajar bagi daerah lain di sekitarnya
sebelum batas waktu pengalihan
b. Program pilot project dan PBB-P2 berakhir.
Pendampingan
Fasilitas yang diperlukan untuk
PBB-P2 dipungut berdasarkan pelaksanaan pilot project seyogyanya
official-assessment systems, sehingga disediakan oleh pemerintah pusat
pemerintah daerah harus secara aktif mengingat keterbatasan dana yang
melakukan penagihan untuk dapat dimiliki oleh pemerintah daerah.
memungutnya. Mengingat jumlah
Pelaksanaan pilot project sedapat
objek pajak PBB-P2 yang cukup besar,
mungkin melibatkan pihak-pihak
maka sistem administrasi pemungutan

54 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
yang cukup luas untuk memberikan PBB-P2 berbeda-beda, baik dalam
manfaat yang lebih optimal. pembangunan sistem, peningkatan
kapasitas sumber daya manusia,
Pelaksanaan program pilot project
maupun pengadaan sarana/prasarana.
seyogyanya disertai dengan
Bagi daerah yang memiliki potensi
pendampingan agar setiap
PBB-P2 cukup tinggi, upaya untuk
permasalahan yang timbul dapat
pembangunan sistem, meningkatkan
segera di atasi. Di daerah, fungsi
kapasitas sumber daya manusia, dan
pendampingan dapat dilakukan oleh
pengadaan sarana prasarana tidak
kantor pelayanan pajak pratama
merupakan masalah. Namun, bagi
berkoordinasi dengan Tim Persiapan
daerah yang memiliki potensi PBB-P2
Pengalihan PBB-P2 menjadi pajak
rendah, upaya tersebut merupakan
daerah.
beban yang cukup berat. Dalam kaitan
c. Pembangunan sistem IT ini perlu dipertimbangkan untuk
memberikan bantuan operasional
Untuk membantu pemerintah daerah
bagi daerah yang membutuhkan agar
mempersiapkan pemungutan PBB-P2
dapat memungut PBB-P2 selambat-
dan sekaligus memberikan kesempatan
lambatnya tanggal 1 Januari 2014.
bagi pemerintah pusat untuk
memperoleh data/informasi terkait
dengan pemilikan tanah dan bangunan
e. Antisipasi terhadap kendala yang timbul
(antara lain untuk assessment yang
lebih atas data PPh), pemerintah pusat Sebagaimana halnya dengan BPHTB,
seyogyanya membangun suatu sistem dalam persiapan yang dilakukan oleh
IT yang compatible dengan SISMIOP pemerintah daerah untuk memungut
yang berlaku sekarang. Melalui sistem PBB-P2 akan terdapat sejumlah
ini, Direktorat Jenderal Pajak akan kendala di lapangan, baik kendala
dapat memperoleh informasi secara internal pemerintah daerah ataupun
regular mengenai perubahan pemilikan pembahasan di dewan perwakilan
tanah dan bangunan. Sistem IT rakyat daerah, atau evaluasi rancangan
seperti ini seyogyanya dibangun sedini perda di provinsi. Kendala yang ada
mungkin sebelum masing-masing perlu dimonitor dan segera mengambil
daerah membangun sistem IT secara langkah-langkah yang diperlukan
sendiri-sendiri. untuk mengatasinya. Berkaitan
dengan ketimpangan potensi PBB-P2
d. Dukungan operasional bagi daerah
antardaerah, masalah economies of scale
Kemampuan daerah dalam perlu mendapat perhatian dengan
mempersiapkan pemungutan

Rekomendasi 55
membuka kemungkinan pelaksanaan ‘Help-desk’ merupakan institusi
joint-administration dan outsourcing penting dan sumber informasi yang
dalam proses pemungutan PBB-P2. dapat dipercaya dalam implementasi
pengalihan PBB-P2. Berbagai pihak
f. Pemecahan isu-isu strategis
yang membutuhkan informasi dan
Dalam masa transisi pengalihan PBB-P2 bantuan mengenai PBB-P2 dapat
akan terdapat sejumlah isu (baik memanfaatkan lembaga ini secara
kebijakan, legal, maupun teknis) yang efektif. Secara kelembagaan, Direktorat
berpotensi menghambat implementasi Ekstensifikasi dan Penilaian, Direktorat
pengalihan jenis pajak tersebut menjadi Jenderal Pajak, dan Direktorat
pajak daerah. Isu-isu yang timbul Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
perlu diinventarisir dan segera dibahas Direktorat Jenderal Perimbangan
bersama pihak- pihak yang terkait Keuangan, dapat berfungsi sebagai
sehingga dapat menyepakati langkah- ‘help-desk’, disamping Tim Persiapan
langkah penyelesaiannya. Pengalihan PBB-P2 Menjadi Pajak
Daerah.
g. Pembentukan dan Pemberdayaan ‘help-
desk’

56 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
Referensi

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Kementerian Keuangan, Jakarta, 2009.;

Asian Development Bank, Strategi dan Peta Riwayat Pelimpahan wewenang Pajak Bumi
dan Bangunan, Jakarta, 2010.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis pajak
daerah yang dipungut berdasarkan penetapan keapal daerah (Official Assessment) atau
dihitung sendiri oleh wajib pajak (Self-Assessment).

Republik Indonesia, Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 186/PMK.07/2010 dan Nomor 53 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan
Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB Menjadi Pajak Daerah.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2010 tentang


badan atau perwakilan lembaga internasional yang tidak dikenakan BPHTB.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2010 tentang
Petunjuk teknis penataan organisasi perangkata daerah.

Kementerian Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.07/2010


tentang pembentukan Tim Persiapan pengalihan PBB-P2 dan BPHTB menjadi pajak
daerah.
__________, Surat Menteri Keuangan kepada Gubernur DKI Jakarta dan seluruh bupati/
walikota Nomor S-495/MK.07/2010 tanggal 29 September 2010 tentang pedoman
penyusunan Perda dan Sistem dan Prosedur Pemungutan BPHTB.
__________, Surat Menteri Keuangan kepada seluruh bupati/walikota dan gubernur
Nomor S-632/MK/2010 tanggal 30 Nopember 2010 tentang percepatan penyusunan
peraturan daerah tentang BPHTB
__________, Surat Menteri Keuangan kepada seluruh bupati/walikota Nomor S-690/
MK/2010 tanggal 27 Desember 2010 tentang pemungutan BPHTB.

57
Lampiran

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIC INDONESIA


NOMOR 91/PMK.03/2006

TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 561/KMK.03/2006
TENTANG PEMBERIAN PENGURANGAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS
TANAH DAN BANGUAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIC INDONESIA,


Menimbang :

a. Bahwa Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.03/2004 Tentang Pemberian


Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.01/2005 belum menampung
mengenai pemberian pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
bagi para Wajib Pajak yang terkena bencana alam gempa bumi di Provinsi Daerah
Istimewah Yogyakarta dan sebagian Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 27 Mei 2006,
serta gempa bumi dan tsunami di pesisir pantai selatan pulau Jawa pada tanggal 17 Juli
2006;
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua atas Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.03/2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (Lembaran Negara Republic Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan
Lembaran Negara Republic Indonesia Nomor 3688) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

58 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
Bangunan (Lembaran Negara Republic Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republic Indonesia Nomor 3988);
2. Keputusan Presidan Nomor 20/P Tahun 2005;
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.03/2004 tentang Pemberian
Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuanagan Nomor 104/PMK.01/2005;

Memutuskan :

Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA
ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 561/KMK.03/2004
TENTANG PEMBERIAN PENGURANGAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS
TANAH DAN BANGUNAN.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.03/2004


tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaim-
ana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuanagan Nomor 104/PMK.01/2005 diu-
bah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah dengan menambah 1 (satu) angka pada huruf b, yaitu angka
11, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Atas permohonan Wajib Pajak, dapat diberikan pengurangan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan dalam hal :

a. Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak yaitu :
1) Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah
di bidang pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis;
2) Wajib Pajak Badan yang memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah
menguasai tanah atau bangunan secara fisik lebih dari 20 (dua puluh) tahun yang
dibuktikan dengan surat pernyataan Wajib Pajak dan keterangan dari Pejabat
Pemerintah Daerah setempat;
3) Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan
Rumah Sederhana (RS), dan Rumah Susun Sederhan serta Rumah Sangat

Lampiran 59
Sederhana (RSS) yang diperoleh langsung dari pengembangan dan dibayar secara
angsuran;
4) Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dan orang pribadi yang mempunyai
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau
satu derajat ke bawah.
b. Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannnya dengan sebab-sebab tertentu yaitu :
1) Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti
rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya dibawah Nilai Jual Objek Pajak;
2) Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas dibebaskan
oleh pemerintah untuk kepentingan umum;
3) Wajib Pajak Badan yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang
berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak
harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan
kebijaksanaan pemerintah;
4) Wajib Pajak Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari
Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, dan
Bank Ekspor Impor dalam rangkaian proses penggabungan usaha (merger);
5) Wajib Pajak Badan yang melakukan Penggabungan Usaha (merger) atau Peleburan
Usaha (konsolidasi ) dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi
dan telah memperoleh keputusan persetujuan penggunaan Nilai Buku dalam
rangka penggabungan atau peleburan usaha dari Direktur Jenderal Pajak;
6) Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan yang tidak berfungsi
lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya seperti
kebakaran, banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, dan huru-hara
yang terjadi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan
akta;
7) Wajib Pajak orang pribadi Veteran, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara
Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republic Indonesia (POLRI), Pensiunan
PNS, Purnawirawan TNI, Purnawirawan POLRI atau janda/ duda-nya yang
memperoleh hak atas tanah bangunan rumah dinas Pemerintah;
8) Wajib Pajak Badan Korps Pegawai Republic Indonesia (KORPRI) yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan dalam rangka pengadaan
perumahan bagi anggota KORPRI/PNS;
9) Wajib Pajak Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang berasal dari perusahaan
induknya selaku pemegang saham tunggal sebagai kelanjutan dari pelaksanaan
Keputusan Menteri Keuangan tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Reasuransi;
10) Wajib Pajak yang domisilinya termasuk dalam wilayah program rehabilitasi

60 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
dan rekonstruksi yang memperoleh hak atass tanah dan atau bangunan melalui
program Pemerintah di bidang pertanahan atau Wajib Pajak yang Objek Pajaknya
terkena bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara;
11) Wajib Pajak yang Objek Pajakya terkena bencana alam gempa bumi di Provinsi
Daerah Istimewah Yogyakarta dan sebagian Provinsi Jawa Tengah yang perolehan
haknya atau saat terutangnya terjadi 3 (tiga) bulan sebelum terjadinya bencana;
12) Wajib Pajak yang Objek Pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dan tsunami
di pesisir pantai selatan pulau Jawa yang perolehan haknya atau terutangnya
terjadi 3 (tiga) bulan sebelum terjadinya bencana.
c. Tanah dan bangunan digunakan untuk kepentingan social atau pendidikan yang
semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti
jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah
sakit swasta milik institusi pelayanan social masyarakat.
d. Tanah atau bangunan di Nanggroe Aceh Darussalam yang selama masa rehabilitasi
berlangsung yang digunakan untuk kepentingan social atau pendidikan yang semata-
mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo,
rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, rumah
sakit swasta milik institusi pelayanan social masyarakat.

2. Ketentuan Pasal 2 huruf d diubah, sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 2
Besarnya pengurangan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan ditetapkan sebagai
berikut :

a. Sebesar 25 (dua puluh lima persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 3;
b. Sebesar 50 (lima puluh persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 dan angka 4, huruf b angka 1, angka 2,angka
5, angka 6, dan angka 9, serta huruf c;
c. Sebesar 75 (tujuh puluh lima persen)dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak
sebagimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 1, dan huruf b angka 3 dan angka
7;
d. Sebesar 100 ( seratus persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf b angka 4, angka 8, angka 10 dan angka 11, angka 12
dan pasal 1 huruf d.

3. Ketentuan Pasal 3 ayat (2) diubah, sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut :

Lampiran 61
Pasal 3

1) Wajib Pajak dapat menghitung sendiri besarnya pengurangan Bea Perolehan atas
tanah dan bangunan sebelum melakukan pembayaran dan membayar Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan terutang sebesar perhitungan setelah pengurangan.
2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas wajib mengajukan
permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), ayat (4a) atau ayat (5).

4. Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 4

1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atas nama Menteri Keuangan
berwenang memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, dan huruf b
angka 1, angka 2, angka 6, angka 7, angka 8, angka 9, angka 10, angka 11, angka 12
serta huruf c dalam hal pajak yang terutang paling banyak Rp 2.500.000.000 (dua
miliyar lima ratus juta rupiah).
2) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan
berwenang memberikan keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan hak atas
Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, dan huruf b
angka 1, angka 2, angka 6, angka 7, angka 8, angka 9,angka 10 dan angka 11, angka
12 serta huruf c dalam hal pajak yang terutang lebih dari Rp 2.500.000.000 (dua
milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 5.000.000.000 (lima milyar rupiah).
3) Direktur Jendral Pajak atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan
Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
selain dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).

5. Ketentuan Pasal 5 diubah dengan mengubah ayat (4) dan menambahkan satu ayat
yakni ayat (4a) di antara ayat (4) dan ayat (5), sehingga Pasal 5 berbunyi sebagi
berikut :
Pasal 5

1) Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang
wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan bangunan atau dapat mengajukan kepada
Direktur Jenderal Pajak dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf b
angka 3, angka 4, dan angka 5.

62 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
2) Dalam hal kewenangan memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea
Perolehan Hak Tanah dan Bangunan berada pada Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Kepala Pengurangan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak atasannya dalam jangka waktu paling lama 14 ( empat belas) hari sejak
tanggal diterimanya surat permohonan.
3) Dalam hal kewenangan memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea
Perolehan Hak Tanah dan Bangunan berada pada Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan meneruskan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling
lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya surat permohonan.
4) Permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dalam hal Pasal 1 huruf a angka 1 dan angka 3, dan Pasal 1
huruf b angka 1, angka 2, angka 7, angka 8, angka 9, diajukan secara tertulis dalam
bahasa indonesia dengan disertai alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) bulan sejak saat terutang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
4a)Permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana
dimaksud dalam hal Pasal 1 huruf b angka 6, angka 10, angka 11, dan angka 12
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas
dalam jangka waktu paling lama hingga tanggal 31 Desember 2007.
5) Permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana
dimaksud dalam hal Pasal 1 huruf a angka 2 dan Pasal 1 huruf b angka 3, angka 4 dan
angka 5 diajukan secara tertulis dalam bahasa indonesia dengan disertai alasan yang
jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak saat pembayaran sebesar Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan terutang setelah pengurangan sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 2.”

6. Ketentuan Pasal 6 diubah dengan mengubah ayat (1), sehingga Pasal 6 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 6

1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 aya (1) dan (2), dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal
diterimannya surat permohonan harus memberikan keputusan atas permohonan
pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang diajukan Wajib
Pajak.

Lampiran 63
2) Direktur Jendral Pajak sesuai dengan kewenangannya sebagiaman dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3), dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimannya
surat permohonan harus memberikan keputusan atas permohonan pengurangan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang diajukan Wajib Pajak.
3) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berupa mengabulkan
sebagian, atau mengabulkan seluruhnya, atau menolak.
4) Apabila dalam waktu sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) telah lewat
dan Kepala Kantor Direktorat Jenderal Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur Jendral Pajak tidak memberikan suatu
keputusan, permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
yang diajukan dianggap dikabulkan dengan mengacu kepada ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2.”
Pasal II

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai
daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Juni 2006.

Agar setiap orang mengetahuinnya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri


Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Oktober 2006
MENTERI KEUANGAN

Ttd

SRI MULYANI INDRAWATI

64 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

SALINAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN


NOMOR 147/PMK.07/2010

TENTANG
BADAN PERWAKILAN LEMBAGA INTERNASIONAL YANG TIDAK
DIKENAKAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 85 ayat (4) huruf c Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu mentapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Badan Atau Perwakilan Lembaga International Yang Tidak
Dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;

Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Republic Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran
Negara Republic Indonesia Nomor 5049);
2. Keputusan Presiden Nomor 56/ P Tahun 2010;

Memutuskan :

Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BADAN ATAU PERWAKILAN
LEMBAGA INTERNATIONAL YANG TIDAK DIKENAKAN BEA PEROLEHAN
HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN.

Lampiran 65
Pasal 1
Terhadap Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang diperoleh oleh
Badan atau Perwakilan Lembaga International tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan.

Pasal 2
Badan atau Perwakilan Lembaga International sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri Keuangan ini.

Pasal 3
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tangga diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinnya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri


Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 agustus 2010

MENTERI KEUANGAN,
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Agustus 2010 Ttd
MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Ttd

PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIC INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 414

Salinan sesuai dengan aslinya,


Kepala Biro Umum
.b
u.b
j. Kepala Bagian T.D Departemen
Pj.

Adelina Sirait
NIP. 196606031987032001

66 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

BADAN ATATU PERWAKILAN LEMBAGA INTERNATIONAL YANG TIDAK


DIKENAKAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

I. BADAN-BADAN INTERNATIONAL DARI PERSERIKATAN BANGSA-


BANGSA

1. ADB (Asian Development Bank)


2. IBRD (International Bank for Reconstruction and Development)
3. IDA (International Development Association)
4. IFC (International Finance Corporation)
5. IJDF (Irian Jaya Joint Development Fund)
6. IMF (International Monetary Fund)
7. UNDP (United Nations Development Program)
a. IAEA ( International Atomic Energy Agency)
b. ICAO (International Civil Aviation Organization)
c. ITU (International Telecommunication Union)
d. UNIDO (United Nations Industrial Development Organization)
e. UPU (United Postal Union)
f. WMO (Word Meteorological Organization)
g. UNU (United Nations University)
h. UNV (United Nations Volunteer)
i. UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development)
j. UNDTCD (United Nations Department for Technical Cooperation and Development)
k. UNEP (United Nations Environment Programme)
l. UNCHS (United Nations Centre for Human Settlement)
m. ESCAP (Economic and Social Commission for Asia and Pacific)
n. UNFPA (United Nationsfunds for Population Activities)
o. WFP (World Food Program)
p. IMO (International Maritime Organization)
q. WIPO (World Intellectual Property Organization)
r. IFAD (International Fund and Agriculture Organization)

Lampiran 67
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

s. GATT (Government Agreement on Tarrifs and Trade)


t. ITC (International Trade Centre)
u. WTO (World Tourism Organization)
8. FAO (Food and Agricultural Organization)
9. ILO (International Labour Organization)
10. UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees)
11. UNIC (United Nations Information Centre)
12. UNICEF (United Nations Children’s Fund)
13. UNESCO (United Nations Education Scientific and Cultural Organization)
14. WHO (World Health Organization)

II. KERJASAMA BILATERAL

1. Kerjasama Teknik Negeri Belanda – Republic Indonesia


2. Kerjasama Teknik Rusia – Republic Indonesia
3. Kerjasama Teknik Jerman Barat – Republic Indonesia
4. Kerjasama Teknik Negeri Polandia – Republic Indonesia
5. Kerjasama Teknik Perancis – Republic Indonesia
6. Kerjasama Teknik Amerika Serikat – Republic Indonesia
Usaid (United States Agency For International Development)
7. Kerjasama Teknik Swiss – Republic Indonesia
8. Kerjasama Teknik Italia – Republic Indonesia
9. Kerjasama Teknik Belgia – Republic Indonesia
10. Kerjasama Teknik Denmark – Republic Indonesia
11. Kerjasama Teknik Korea – Republic Indonesia
12. Kerjasama Teknik Finlandia – Republic Indonesia

III. COLOMBO PLAN

1. Colombo Plan Australia


2. Colombo Plan Canada

68 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

3. Colombo Plan India


4. Colombo Plan Jepang
a. OECF (Overseas Economic Corporation Fund)
b. JICA ( Japan International Corporation Agency)
5. Colombo Plan New Zealand
6. IPECC (Pakistan- Republic Indonesia)

IV. KERJASAMA KEBUDAYAAN

1. Kerjasama Kebudayaan Belanda – Republic Indonesia


2. Kerjasama Kebudayaan Jepang – Republic Indonesia
3. Kerjasama Kebudayaan Mesir/ RPA – Republic Indonesia
4. Kerjasama Kebudayaan Austria – Republic Indonesia

V. ORGANISASI- ORGANISASI ASING DAN LAINNYA

1. Asean Secretariat
2. ECC (European Economic Community)
3. SEAMEO (South East Asian Minister of Education Organization)
4. The Export – Import Bank of Japan
5. AREMTRC (Asean- Re Energy Management Training and Research Centre)
6. NORAD (The Norwegian Agency for International Development)
7. FPP Int. (Foster Parent Plant Int.)
8. PCI (Project Concern International)
9. Danish Save The Children Organization
10. IDRC (The International Development Research Centre)
11. Kerjasama Teknik di Bidang Perkoperasian antara DMTCI/ CLUSA Republic
Indonesia
12. WWF (World Wildlife Fund)
13. The Population Council – Republic Indonesia
14. NLRA (The Netherlands Leprosy Relief Association)
15. WVI (The World Vision Intenational)

Lampiran 69
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

16. MCC (The Mennonite Central Committee of Akron Pennsylvania Usa) – Pemerintahan
Republic Indonesia
17. The Commission of The European Communities – Pemerintahan Republic Indonesia
18. OISCA INT. (The Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement
International) – Pemerintahan Republic Indonesia
19. World Relief Coorperation – Pemerintahan Republic Indonesia
20. IFDC (The International Fertilizer Development Centre) - Pemerintahan Republic
Indonesia
21. The Damien Foundation
22. APCU (The Asean Heads of Population Coordination Unit)
23. SIL (The Summer Institute of Linguisties, Inc)
24. IPC (The International Pepper Community)
25. APCC (Asian and Pacific Coconut Community)
26. INTELSAT (International Telecommunication Satellite Organization)
27. PROJECT HOPE (The People Health Foundation, Inc.)
28. CIP (The Intenational Potato Centre)
29. USC CANADA (The Unitarian Service Committee of Canada)
30. ICRC (The International Committee of Red Cross)
31. Terre Des Homes Netherlands
32. INTERWADER (Interwader, East Asia Pacific Shorebird Study Programme)
33. CIRAD (Le Centre De Coorperation International en Recherché Agronomique Pour Le
Development)
34. CIMMYT (The International Maize and Wheat Improvement Centre)
35. HKI (Helen Keller International, Inc.)
36. Taipei Economic and Trade Office
37. FADO (Flemish Organization for Assistance on Development)
38. Sasakawa Memorial Health Foundation
39. KAS (Konrad Adenauer Stiftung)
40. SACFU (The South Australian CRANIO – FACIAL Unit)
41. Program For Appropriate Technology In Health, USA- PATH
42. ADC (Agriculture Development Council, Inc.)

70 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

43. SCF (The Save The Children Federation/ Community Development Foundation)
44. ICBP (The International Council for Bird Preservation)
45. CIFOR (The Centre for International Forestry Research)
46. Islamic Development Bank
47. Kyoto University – Jepang
48. CCA (The Canadian Coorperative Association)
49. ICRAF ( The International Centre for Research In Agroforestry)
50. Swisscontact – Swiss Foundation for Technical Coorperation
51. Winrock International
52. Stichting Tropenbos
53. Utrecht University – Netherlands
54. The Moslem World League (Rabitah)

VI. ORGANISASI SWASTA INTERNATIONAL

1. Asian Foundation
2. The British Council
3. CARE (Coorperative for American Relief Everywhere Incorporation)
4. CCF (Christian Children’s Fund)
5. CRS (Catholic Relief Service)
6. CWS (Church World Service)
7. The Ford Foundation
8. Friedrich Elbert Stiftung
9. FNS (Friedrich Neumann Stiftung)
10. IECS (International Executive Service Cooperation)
11. IRRI (International Rice Research Institute)
12. Leprosy Mission
13. OXFAM (Oxford Committee for Famine Relief)
14. Rockefeller Foundation
15. MAF (Mission Aviation Fellowship)

Lampiran 71
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

16. UFM International


17. WE (World Education Incorporated, USA)
18. AAFLI (Asian - American Free Labour Institute)

Salinan sesuai dengan aslinya, MENTERI KEUANGAN


Kepala Biro Umum
u.b Ttd
Pj. Kepala Bagian T.D Departemen
AGUS D.W MARTOWARDOJO

Adelina Sirait
NIP. 196606031987032001

72 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIC INDONESIA

Nomor : S- 495 /MK.07/2010 29 September 2010


Sifat : Segera
Lampiran : 1 (Satu) Berkas
Hal : Pedoman Penyusunan Perda dan System dan Prosedur Pemungutan
BPHTB

Yth. 1. Gubernur DKI Jakarta


2. Bupati/ Walikota Seluruh Indonesia

Dalam rangka pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
yang secara efektif dapat dipungut oleh daerah kebupaten/kota mulai 1 januari 2011,
dapat kami sampaikan hal-hal berikut:

1. Persiapan yang diperlukan untuk pemungutan BPHTB antara lain:


a. Landasan hukum pemungutan BPHTB, berupa Peraturan Daerah tentang
BPHTB;
b. System dan Prosedur Pemungutan BPHTB, yang ditetapkan dengan peraturan
kepala daerah;
c. Data NJOP, untuk validasi pembayaran BPHTB;
d. Melakukan sosialisasi tentang tatacara pemungutan BPHTB kepada pihak terkait,
termasuk Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Notaries, Kantor Lelang, dan
Kantor Pertanahan Nasional.

2. Untuk membantu daerah mempercepat persiapan pemungutan BPHTB, kami telah


mempersiapkan paket acuan berupa:
a. Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah Tentang BPHTB;
b. Pedoman Penyusunan System dan Prosedur Pemungutan BPHTB;

Lampiran 73
c. Program aplikasi computer untuk meretrieve data NJOP.

3. Terlampir kami sampaikan 2 (dua) set Pedoman tatacara pemungutan BPHTB yang
terdiri dari 3 bagian. Pedoman ini dapat digunakan oleh daerah sebagai panduan
dalam penyusunan Perda dan Peraturan Kepala Daerah serta menyesuaikan dengan
masing-masing daerah.

4. Untuk menjalankan program aplikasi NJOP, daerah harus menyediakan Personal


Computer (PC) dengan spesifikasi sebagaimana tercantum pada Bagian-3. Aplikasi
NJOP diperkirakan selesai pada bulan November 2010 dan diharapkan daerah
sudah menyediakan computer dan staf yang akan mengoperasikannya pada bulan
November 2010.

5. Apabila terdapat pertanyaan berkaitan dengan pedoman dan aplikasi NJOP tersebut,
Saudara dapat menghubungi DIREKTORAT PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI
DAERAH di Jakarta atau KANTOR WILAYAH/KANTOR PELAYANAN PAJAK
yang ada di daerah Saudara.

Demikian kami sampaikan untuk dipedomani.

a.n. Menteri Keuangan


Pgs. Direktu Jendral Per
Perimbangan Keuangan,

Herry Purnomo
NIP. 19530508 197603 1 002

Tembusan Yth :
1. Menteri Keuangan;
2. Menteri Dalam Negeri;
3. Direktur Jenderal Pajak
4. Direktur Jenderal Keuangan Daerah, Kementerian dalam Negeri;
5. Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
6. Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak seluruh Indonesia;
7. Kepala Kantor Pelayanan Pajak seluruh Indonesia;

74 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
SALINAN

PERATURAN BERSAMA
MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI DALAM NEGERI

NOMOR 186 /PMK.07 / 2010


NOMOR 53 TAHUN 2010

TENTANG

TAHAPAN PERSIAPAN PENGALIHAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH


DAN BANGUNAN SEBAGAI PAJAK DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 182 angka 2 Undang-Undang


Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu
menetapkan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam
Negeri tentang Tahapan Periapan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan sebagai Pajak Daerah;

Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lampiran 75
Nomor 3688) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3988);
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5049);
4. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
5. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN DAN


MENTERI DALAM NEGERI TENTANG TAHAPAN PERSIAPAN
PENGALIHAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN
BANGUNAN SEBAGAI PAJAK DAERAH.

BAB 1
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Bersama ini, yang dimaksud dengan:
1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang selanjutnya disingkat BPHTB,
adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan /atau bangunan.
2. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintaha Negara Republik Indonesi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota, yang selanjutnya disebut Pemerintah Daerah,
adalah Bupati/ Walikota dan perangkat daerah kabupaten/kota sebagai unsure
penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/ kota.
4. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang selanjutnya
disebut Undang-Undang KUP, adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
5. Bank Persepsi adalah Bank Umum/Kantor Pos yang ditunjuk Menteri Keuangan
untuk menerima setoran penerimaan pajak.
6. Bank Operasional III BPHTB, yang selanjutnya disebut BO III BPHTB, adalah Bank

76 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
Operasional yang melakukan pembagian penerimaan BPHTB.
7. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek
dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan
pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.

Pasal 2
1. Kewenangan pemungutan BPHTB dialihkan dari Pemerintah ke Pemerintah Daerah
mulai tanggal 1 Januari 2011.
2. Persiapan pengalihan BPHTB sebagai pajak daerah dilakukan dalam waktu paling
lambat tanggal 31 Desember 2010.

BAB II
PERIAPAN PENGALIHAN BPHTB

Bagian kesatu
Tugas dan Tanggung Jawab Kementerian Keuangan

Pasal 3
1. Dalam rangka pengalihan kewenangan pemungutan BPHTB sebagimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), Direktorat Jenderal Pajak bertugas dan bertanggung jawab
mengkompilasi:
a) Peraturan pelakasanaan BPHTB sebagai bahan acuan Pemerintah Daerah dalam
menyusun Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah;
b) Standar prosedur operasional terkait BPHTB sebagai bahan acuan Pemerintah
Daerah dalam menyusun standar prosedur operasi;
c) Struktur, tugas, dan fungsi organisasi Direktorat Jenderal Pajak terkait pemungutan
BPHTB sebagai bahan acuan Pemerintah Daerah untuk merumuskan struktur
organisasi dan tata kerja pemungutan BPHTB;
d) Data piutang BPHTB beserta berkas pendukungnya;
e) Data pendukung dalam rangka pelaksanaan pemungtan BPHTB oleh Pemerintah
Dareah berupa data Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) per 1 Januari 2011; dan
f ) Surat Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak kena Pajak (NPOPTKP) sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2010;
Untuk diserahkan ke Pemerintah Daerah.
2. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan bertugas dan bertanggung jawab
menggandakan hasil kompilasi sebagaiman dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b,
dan huruf c, dan selanjutnya menyerahkan hasil kompilasi dimaksud ke Pemerintahan
Daerah, serta melakukan pemantauan dan pembinaan pelaksanaan pengalihan
kewenangan pemungutan BPHTB kepada Pemerintah Daerah.

Lampiran 77
Pasal 4
Direktur Jenderal Pajak mengusulkan penutupan rekening penerimaan BPHTB pada
Bank Persepsi dan BO III BPHTB serta pencabutan penetapan BO III BPHTB kepada
Direktur Jenderal Perbendaharaan.

Pasal 5
Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri memberikan pelatihan teknis pemungutan BPHTB kepada Pemerintahan
Daerah.

Pasal 6
Ketentuan lebih lanjut mengenai persiapan Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka pen-
galihan kewenangan pemungutan BPHTB sebagaiman dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4,
dan Pasal 5 diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Bagian Kedua
Tuga dan Tanggung Jawab Kementerian Dalam Negeri

Pasal 7
1. Secretariat Jenderal, Direktorat Jenderal keuangan Daerah, dan Badan Pendidikan
dan Pelatihan Kementerian Dalam Negeri bertugas dan bertanggung jawab untuk
memfasilitasi, membina dan mengawasi Pemerintahan Daerah dalam rangka
pengalihan kewenangan pemungutan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1).
2. Tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk penyiapan pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintahan Daerah,
dan pemberian bimbingan, konsultasi, pendidikan dan pelatihan teknis serta
pelaksanaan supervisi dalam rangka pengalihan kewenangan pemungutan BPHTB.
3. Penyiapan pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintahan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri setelah berkoordinasi dengan instansi teknis terkait lainnya.

Bagian Ketiga
Tugas dan Tanggung Jawab Pemerintah daerah

Pasal 8
1. Dalam rangka menerima pengalihan kewenangan pemungutan BPHTB sebagaimana
dimaksud Pasal 2 ayat (1), Pemerintaha Daerah bertugas dan bertanggung jawab
menyiapkan.

78 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
a) Sarana dan prasarana;
b) Struktur organisasi dan tata kerja;
c) Sumber daya manusia;
d) Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, dan standar prosedur operasi;
e) Kerjasama dengan pihak terkait, antara lain, Kantor Pelayanan Pajak, perbankan,
kantor pertahanan, kantor lelang, dan Notaris/ Pejabat Pembuatan Akta Tanah; dan
f ) Pembukaan rekening BPHTB pada bank yang sehat.
2. Penyiapan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilakukan dengan mengutamakan pemanfaatan sarana dan prasarana yang dimiliki
Pemerintahan Daerah.
3. Penyiapan struktur organisasi dan tata kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3).
4. Dalam rangka penyiapan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, Pemerintahan Daerah dapat meminta bantuan dari Kementerian keuangan
dan Kementerian Dalam Negeri unutk melakukan bimbingan, pendidikan dan
pelatihan teknis pemungutan BPHTB.
5. Peraturan Daerah tentang BPHTB dan Peraturan Kepala Daerah sebagai penjabaran
dan dasar pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayt (1) huruf d, disusun dengan
memepertimbangkan ketentuan peraturan pelaksanaan pemungutan BPHTB yang
selama ini berlaku di Direktorat Jenderal Pajak serta disesuaikan dengan kebutuhan
riil dan kondisi objektif sesuai kewenangan sebagai daerah otonom.
6. Pembukaan rekening BPHTB pada bank yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf f, ditetapkan dangan Keputusan Kepala Daerah.

BAB III
TAHAPAN PERSIAPAN PENGALIHAN BPHTB

Pasal 9
Batas waktu penyelesaian persiapan pengalihan kewenangan pemungutan BPHTB oleh
Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), yang berkaitan
dengan kompilasi:

a) Peraturan pelaksanaan BPHTB, paling lambat tanggal 30 September 2010;


b) SOP terkait BPHTB, paling lambat tanggal 30 September 2010;
c) Struktur, tugas, dan fungsi organisasi Direktorat Jenderal Pajak terkait pemungutan
BPHTB, paling lambat tanggal 30 September 2010;
d) Data piutang BPHTB beserta berkas pendukungnya, paling lambat tanggal 31
Desember 2010;

Lampiran 79
e) Data pendukung dalam rangka pelaksanaan pemungutan BPHTB oleh Pemerintah
Daerah berupa data Nilai Jual Objek Pajak, paling lambat tanggal 1 Januari 2011; dan
f ) Surat Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak, paling lambat tanggal 31 Desember 2010.

Pasal 10
Batas waktu penyelesaian Peraturan Menteri Dalam Negeri mengenai pedoman struktur
organisasi dan tata kerja Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3), paling lambat tanggal 30 Oktober 2010.

Pasal 11
Batas waktu penyelesaian persiapan pengalihan kewenangan pemungutan BPHTB oleh
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) yang berkaitan dengan:
a) Sarana dan prasaran, paling lambat tanggal 31 Desember 2010;
b) Struktur organisasi dan tata kerja pemungutan BPHTB, paling lambat tanggal 31
Desember 2010;
c) Sumber daya manusia, paling lambat tanggal 31 Desember 2010;
d) Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, dan SOP, paling lambat tanggal 31
Desember 2010;
e) Kerjasama dengan pihak terkait, paling lambat tanggal 31 Desember 2010; dan
f ) Pembukaan rekening BPHTB pada bank yang sehat, paling lambat tanggal 31
Desember 2010.

Pasal 12
1. Hasil kompilasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, huruf
b, dan huruf c, diserahkan oleh Direktur Jenderal Oajak kepada Direktu Jenderal
Perimbangan Keuangan, paling lambat tanggal 8 Oktober 2010.
2. Direktur Jenderal Pertimabangan Keuangan bertugas menggandakan hasil kompilasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya menyerahkan hasil kompilasi
kepada Pemerintah Daerah dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Keuangan
Daerah, paling lambat tanggal 15 Oktober 2010.
3. Hasil kompilasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d, huruf e, dan
huruf f, diserahkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak / Kepala
Kantor Pelayanan Pajak Pratam kepada Pemerintah Daerah di lingkungan kerjanya,
paling lambat tanggal 14 Januari 2011.

Pasal 13
1. Penutupan nomor rekening penerimaan BPHTB pada Bank Persepsi dan pencabutan
penetapan BO III BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 per tanggal 1 Januari
2011.

80 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
2. Penutupan nomor rekening penerimaan BPHTB pada Bank Persepsi dan pencabutan
penetapan BO III BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah
saldo rekening nihil.
3. Penutupan rekening Bank Persepsi dan pencabutan penetapan BO III BPHTB
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Direktu Jenderal Perbendaharaan.

Pasal 14
Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintaha Daerah bertugas
dan bertanggung jawab menyelenggarakan sosialisasi mengenai pengalihan kewenangan
pemungutan BPHTB.

BAB IV
PEMANTAUAN, PEMBINAAN DAN PENDAMPINGAN

Pasal 15
1. Pemantauan dan pembinaan terhadapa pelaksanaan tahapan persiapan pengalihan
kewenangan pemungutan BPHTB dari Pemerintahan ke Pemerintah Daerah
dilakukan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri.
2. Dalam rangka pendampingan, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/ atau Kantor Pelayanan Pajak Pratama untuk
melakukan pendampingan dalam hal diminta oleh Pemerintaha Daerah.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 16
Terhadap usulan penghapusan piutang BPHTB yang disampaikan Direktur Jenderal Pa-
jak kepada Menteri Keuangan paling lambat btanggal 31 Desember 2010, penetapan
penghapusan piutang BPHTB tersebut masih menjadi kewenangan Menteri Keuangan.

BAB VI
PENDANAAN

Pasal 17
Segala biaya yang ditimbul dalam rangka pelaksanaan pengalihan kewenangan pemung-
utan BPHTB yang terkait dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri,
dan Pemerintahan Daerah dibebankan pada anggaran masing-masing Kementerian dan
Pemerintah Daerah.

Lampiran 81
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 18

Peraturan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bersama ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Oktober 2010
MENTERI DALAM NEGERI MENTERI KEUANGAN,
Ttd Ttd
GAMAWAN FAUZI AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Oktober 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA
Ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 510

Salinan sesuai dengan aslinya


KEPALA BIRO UMUM
u.b.
KEPALA BAGIAN
BAG T.U. KEMENTERIAN

GIARTO
NIP 19590420
195904201984021001

82 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
PERATURAN MENTERI DALAM BEGERI
NOMOR 56 TAHUN 2010

TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 57
TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENATAAN ORGANISASI
PERANGKAT DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang:
a. Bahwa Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk
Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah belum mewadahi perkembangan, dan
perubahan peraturan perundang-undangan dibidang pengelolaan keuangan daerah;
b. Bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daeraah dan Restribusi Daerah perlu kebijakan penataan kelembagan yang
efektif dan efisien;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf
b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis
Penataan Organisasi Perangkat Daerah;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lemabaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lemabaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4916);
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Republic Indinesia Tahun 2009 Nomor 130, tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4916);

Lampiran 83
3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 89, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4741);
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Dalam Negeri;
5. Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 186/
PMK.07/2010 dan Nomor 53 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagai Pajak Daerah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 57
TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENATAAN ORGANISASI
PERANGKAT DAERAH.

Pasal I
Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk
Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah, diubah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Menteri ini.

Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini


dengan penempatan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Oktober 2010
Diundangkan di Jakarta MENTERI DALAM NEGERI
Pada tanggal 2 November 2010
MENTERI HUKUM DAN HAM Ttd
REPUBLIK INDONESIA,
GAMAWAN FAUZI
Ttd

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 537

84 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
LAMPIRAN : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR : 56 TAHUN 2010
TANGGAL : 29 OKTOBER 2010

A. Diantara huruf L dan huruf M, Lampiran peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
57 Tahun tentang Petunjuk teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah disisipkan
kalimat sebagai berikut:
1. Pada Satuan Kerja Perangkat daerah Kabupaten/ Kota yang menangani fungsi
pendapatan, pengelolaan keuangan dan asset daerah ditambahkan fungsi, yaiut:
a. Penyusunan kebijakan pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) dan PBB perkotaan/ pedesaan;
b. Pendataan, penilaian dan penetapan PBB perkotaan/ pedesaan;
c. Pengolahan data dan informasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dan PBB perkotaan/ pedesaan;
d. Pelayanan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan PBB
perkotaan/ pedesaan;
e. Penagihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan PBB
perkotaan/ pedesaan;
f. Pengawasan dan penyelesaian sengketa pemungutan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan PBB perkotaan/ pedesaan;
g. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi.
2. Penambahan fungsi sebagaimana dimaksud poin 1(satu), dapat dibentuk Unit
Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
dan /atau mengoptimalkan struktur yang ada, yang pelaksanaannya diatur dalam
Peraturan Bupati/ Walikota.

B. Ketentuan Huruf A, Huruf B, Huruf C, Huruf D, Huruf E, Huruf F, Huruf G, Huruf


H, Huruf I, Huruf J, Huruf K, Huruf L, Huruf M, dan Huruf N tetap.

MENTERI DALAM NEGERI

Ttd

GAMAWAN FAUZI

Lampiran 85
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

Jakarta, 30 November 2010

Nomor : S- 632 /MK.07/2010


Sifat : Segera
Lampiran : 1 (Satu) Berkas
Hal : Percepatan Penyusunan Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Yth. 1. Gubernur
2. Bupati/ Walikota Seluruh Indonesia

Sehubungan dengan pelaksanaan pemungutan BPHTB oleh daerah mulai tanggal 1


Januari 2011, sebagaimana diatur dalam UU 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, kami meminta perhatian Saudara akan hal-hal sebagai berikut:
1. Berdasarkan Pasal 180 angka 6 UU 28/2009, Pemerintah Daerah Kabupaten/
Kota dapat memungut BPHTB mulai tangga 1 Januari 2011, dengan menerbitkan
Peraturan Daerah;
2. Sesuai Pasal 87 ayat (4) UU 28/2009, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP) ditetapkan paling rendah sebesar Rp 60.000.000,-. Dengan ketentuan
tersebut penerima BPHTB untuk jangka pendek akan mengalami penurunan.
Namun seiring dengan pertumbuhan dan pembangunan perekonomian dareah,
nilai jual objek pajak berupa tanah dan/ atau bangunan akan turut berkembang
sehingga unutk jangka menengah dan panjang penerima BPHTB akan semakin
meningkat;
3. Mengingat masa transisi pengalihan BPHTB yang semakin pendek, kami
mengharapkan Pemerintah Kabupaten/ Kota dapat segera mempercepat
penyusunan Perda sebagai daasar pemungutan BPHTB;

86 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
4. Kepada para Gubernur kami harapkan dapat mendukung upaya optimalisasi
BPHTB oleh Kabupaten/Kota dengan mempercepat prose evaluasi Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang BPHTB agar pada tahun 2011
pemungutan BPHTB dapat dilaksanakan;
5. Dalam hal Pemerintahan Daerah tidak menetapkan Perda tentang BPHTB, makan
terhadpa peralihan hak atas tana dan/ atau bangunan di wilayah tersebut tidak
dapat dipungut BPHTB. Dengan demikian persyaratan lunas bayar BPHTB
yang digunakan untuk memproses penetapan akta kepemilikan tanah dan/ atau
bangunan menjadi gugur. Namun demikian perlu kami sampaikan pula bahwa
dengan tidak ditetapkannya Perda BPHTB, maka Pemerintah Kabupaten/Kota
akan kehilangan data dan informasi terkait dengan peralihan hak atas tanah dan/
atau bangunan.
Atas perhatiannya Saudara , kami ucapkan terima kasih.

MENTERI KEUANGAN,

AGUS D.W MARTOWARDOJO

Gedung Djuanda I lantai 3, Jalan Dr. Wahidin Nomor 1, Jakarta 10710


Telepon (021) 3449230, Faksimile (021) 380 8395 Situs www.depkeu.go.id

Lampiran 87
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

Jakarta, 27 Desember 2010


Nomor : S- 690 /MK.07/2010
Sifat : Segera
Lampiran : 1 (Satu) Berkas
Hal : Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB)

Yth. Bupati/ Walikota


Di tempat

Menyusul surat kami No. 632/MK.07/2010 tanggal 30 November 2010 tentang


Percepatan Penyusunan Peraturan Daerah tentang BPHTB, dapat kami sampaikan
sebagai berikut:

1. Berdasarkan Pasal 180 angka 6 UU 28/2009, Pemerintahan Daerah dapat memungut


BPHTB mulai tanggal 1 Januari 2011, dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda).
Sejak tanggal tersebut, Pemerintah Pusat tidak lagi memungut dan menyalurkan dana
bagi hasil (DBH) BPHTB kepada Pemerintah Daerah.
2. Dalam hak Pemerintah Daerah tidak menetapkan Perda tentang BPHTB, maka
terhadap peralihan hak atas tanah dan/ atau bangunan di wilayah tersebut tidak
dapat dipungut BPHTB. Selain akan kehilangan data dan informasi terkait dengan
kepemilikan tanah dan/ atau bangunan, Pemerintah Daerah tidak akan memperoleh
lagi Dana Bagi Hasil BPHTB, yang berdasrkan data tahun 2009, realisasinya dari
wilayah Saudar adalah sebesar tercantum pada daftar lampiran.

Atas perhatiannya Saudara , kami ucapkan terima kasih.

88 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
MENTERI KEUANGAN,

AGUS D.W MARTOWARDOJO

Tembusan Yth :
1. Menteri Dalam Negeri;
2. Direktur Jenderal Perimbanga
Keuangan, Kementerian Keuangan;
3. Direktur Jenderal Pajak, Kmenterian
Keuangan;
4. Para Gubernur;
5. Para Ketua DPRD Kabupaten/Kota
yang bersangkutan.

Gedung Djuanda I lantai 3, Jalan Dr. Wahidin Nomor 1, Jakarta 10710


Telepon (021) 3449230, Faksimile (021) 380 8395 Situs www.depkeu.go.id

Lampiran 89
90 Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
A DA N A R A KÇ
CAR A
MA

Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Decentralisation as Contribution to Good Governance (DeCGG) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Menara BCA, 46th Floor Gedung Radius Prawiro
Jl. MH.Thamrin No.1 Jl. Dr. Wahidin No. 1
Jakarta 10310 - Indonesia Jakarta 10710, Indonesia
T. +62-21-235 87 121/122/123 T. +62 21 384 7225
F. +62-21-235 87 120 F. +62 21 350 6218
I. www.giz.de I. www.djpk.depkeu.go.id

Anda mungkin juga menyukai