Anda di halaman 1dari 5

Vol.1. No.1.

Januari 2021
Jurnal As-Said. LP2M. Institut Agama Islam Abdullah Said Batam

ANALISIS YURIDIS TERHADAP HUKUMAN MATI BAGI


KORUPTOR PADA MASA PANDEMI
Deni Setiyawan
Program Studi Jinayah Siyasah. Fakultas Syariah IAI Abdullah Said Batam
Dennykucenk54@gmail.com

Abstrak
Kasus hukum yang dialami oleh Menteri Sosial RI nonaktif Julian Peter Batubara. Ia menerima
uang senilai total Rp. 17 Miliar dari dua pelaksana paket bansos untuk penanganan covid 19
tahun 2020. Dimana fee tiap paket bansos Rp. 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp. 30 ribu
per paket bansos. Uang itu di gunakan untuk keperluan dan kesenangannya sendiri. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mengenai penerapan pidana mati yang diberikan
kepada Julian Peter Batubara sudah sesuai dengan hukum pidana positif dan hukum pidana
islam yang semestinya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan yuridis
normatif dengan pendekatan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan
Pendekatan Kasus (Case Approach). Pidana mati bagi korupsi dalam masa pandemi covid 19
sendiri telah diatur didalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun kasus hkum yang dialami oleh Julian Peter Batubara sangatlah memenuhi unsur yang
terdapat didalam pasal tersebut. Sebagaimana keputusan yang telah dikeluarkan oleh Presiden
Joko widodo melalui Keputusan Presiden No 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) Dan Keputusan Presiden
Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non alam Penyebaran Corona Virus
Disease 2019 (Covid 19). Yang menetapkan bahwa covid 19 adalah termasuk bencana nasional
non alam yang mengkhawatirkan. Didalam hukum islam pula dijelaskan mengenai pidana mati
untuk para koruptor. Dimana hal tersebut masuk kedalam jarimah ghoiru hudud yang berupa
takzir. Hasil dari penelitian ini adalah memberikan analisa hukum terhadap kasus yang alami
oleh Julian Peter Batubara.
Kata kunci : Hukuman Mati, Koruptor, covid 19

Abstract
A legal case experienced by the inactive Minister of Social Affairs, Julian Peter Batubara. He
received a total of Rp. 17 billion from the two social assistance package implementers for
handling Covid 19 in 2020. Where the fee for each social assistance package is Rp. 10 thousand
per basic food package of Rp. 30 thousand per social assistance package. The money is used
for his own needs and pleasure. The purpose of this study is to determine the application of the
death penalty given to Julian Peter Batubara in accordance with the positive criminal law and
Islamic criminal law. The method used in this study uses a normative juridical approach to the
statutory approach (Statute Approach) and the Case Approach (Case Approach). The death
penalty for corruption during the Covid 19 pandemic itself has been regulated in Article 2
paragraph (2) of Law Number 31 of 1999 as amended by Law Number 20 of 2001 concerning
Eradication of Corruption Crimes. The legal case experienced by Julian Peter Batubara fulfills
the elements contained in this article. As the decision has been issued by President Joko Widodo
through Presidential Decree No.11 of 2020 concerning the Determination of the Public Health

5
Vol.1. No.1. Januari 2021
Jurnal As-Said. LP2M. Institut Agama Islam Abdullah Said Batam

Emergency for Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) and Presidential Decree No.12 of 2020
concerning the Determination of Non-Natural Disasters for the Spread of Corona Virus
Disease 2019 (Covid 19). Which determines that Covid 19 is a worrying non-natural national
disaster. In Islamic law it also explains the death penalty for criminals. Where it enters the
ghoiru hudud finger in the form of takzir. The result of this research is to provide a legal
analysis of the natural case by Julian Peter Batubara.

Keywords : death penalty, corrupt, covid 19

PENDAHULUAN
Akhir- akhir ini dunia maya sedang ramai membahas mengenai penerapan pidana mati
bagi tindak pidana korupsi yang dilakukan pada masa pandemi covid 19 ini. seperti pada
permasalahan hukum yang dialami oleh Menteri Sosial RI non aktif Julian Peter Batubara. Ia
menerima uang senilai total Rp. 17 Miliar dari dua pelaksana paket bansos untuk penanganan
covid 19. Uang itu digunakan untuk keperluan pribadinya. Pengadaan bansos untuk penanganan
covid 19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020 memiliki nilai sekitar Rp.
59 Triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dalam dua periode. Dimana fee tiap paket
bansos Rp. 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp. 30 ribu per paket bansos. Tentunya
perbuatan yang dilakukan oleh Menteri Sosial RI tersebut sangatlah kejam dan tidak
mempunyai rasa kemanusiaan terhadap sesama. Paket sembako yang pada dasarnya
diperuntukan untuk masyarakat yang terdampak covid 19 malah disalahgunakan dan
dugunakan untuk keuntungan dan keperluan pribadinya sendiri.
Pada dasarnya pidana korupsi sendiri telah diatur didalam UU Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Akan tetapi dalam penerapannya terdapat pula alasan-alasan pemberat bagi
para pelaku tindak pidana korupsi, alasan pemberat tersebut diantarannya penyalahgunaan
alokasi dana penanggulangan wabah covid 19. Dimana dana negara tersebut digunakan untuk
masyarakat yang terdampak covid 19 malah di salah gunakan untuk kepentingan pribadinya.
Tentunya perbuatan yang dilakukan oleh Julian Peter Batubara termasuk kedalam tindak pidana
berat. karena dilakukan pada masa-masa negara sedang genting dan darurat. Presiden sendiri
telah menetapkan bahwa covid 19 adalah bencana nasional non alam sehingga mengeluarkan
Keputusan Presiden No 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) Dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020
Tentang Penetapan Bencana Non alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid 19)
untuk mengatur kestabilan negara dan dalam keadaan tersebut sudah seharusnya Julian Peter
Batubara dapat dijatuhkan dengan pidana mati.

PEMBAHASAN
Metode pembahasan, merupakan prosedur dan teknik untuk menjawab permasalahan
yang akan dilakukan oleh penulis, oleh karena itu, Penulisan ini mengunakan tipe Penelitian
yuridis normatif. Menurut Johnny Ibrahim, tipe penelitian yuridis normatif adalah “Penelitian
yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum
positif.” Ronny Soemitro juga berpendapat bahwa: “Konsepsi ini memandang hukum sebagai
suatu sistem normatif yang bersifat mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat
yang nyata". Nantinya akan ditemukan sebuah jawaban dari permasalahan yang diteliti melalui

6
Vol.1. No.1. Januari 2021
Jurnal As-Said. LP2M. Institut Agama Islam Abdullah Said Batam

pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan Pendekatan Kasus (Case Approach)


Sumber bahan hukum yang dipergunakan adalah: bahan hukum primer (perundang-undangan),
bahan hukum sekunder (kepustakaan, makalah, artikel, jurnal dan karya tulis) dan bahan non
hukum (kamus hukum, bahasa indonesia, bahasa inggris, bahasa arab dan katalog).
Pada saat ini telah terjadi suatu permasalahan serius yang sedang melanda dunia tidak
terkecuali Indonesia yakni masalah pandemi Covid 19 yang bahkan hingga saat ini belum
terselesaikan. Covid-19 adalah salah satu penyakit yang disebabkan oleh virus corona, dimana
saluran pernapasan sebagai target serangannya. Kota Wuhan diduga sebagai kemunculan
pertama kalinya virus ini (Heldavidson, 2020). SARS-Cov-2 ini bukan jenis virus yang baru
melainkan suatu virus yang bermutasi dan berubah bentuk terhadap susunan genetik baru, pada
penjelasan ilmiah dikatakan bahwa virus tersebut merupakan satu jenis, hanya saja pakaiannya
yang berubah. Virus corona mempunyai hubungan genetic dengan virus MERS dan SARS
sehingga diberi nama sebagai SARS-Cov-2 (NIH, 2020). Berdasarkan informasi yang ada,
DNA pada kelelawar mempunyai kemiripan dengan DNA virus SARS-Cov-2 ini. Pasar basah
di Wuhan, Tiongkok diyakini sebagai awal mula kemunculan virus tersebut karena banyak
segala jenis hewan liar yang dijual untuk dikonsumsi disana sehingga pasar tersebut
menyebabkan virus cepat berkembang (D’amore, 2020).
Berdasarkan data tersebut maka seyogyanya dapat dikatakan bahwa Indonesia sedang
dilanda suatu bencana yang sifatnya non-alam. Maka dari itu, saat ini dapat kita maknai bahwa
Indonesia telah memasuki Negara dalam keadaan tertentu sebagaimana bunyi Pasal 2 ayat (2)
UU Tipikor tersebut. Tindak pidana korupsi dikenal sebagai kejahatan kejahatan luar biasa.
Sebagai langkah kebijakan penanggulangan tindak pidana korupsi, terdapat beberapa poin
penting yang diformulasikan oleh pembentuk undang-undang yang dapat digunakan sebagai
alat jerat agar menimbulkan rasa jera bagi para pelaku korupsi yaitu dengan adanya sanksi berat
dan asas pembuktian terbalik dimana salah satunya adalah pidana mati.
Salah satu bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy) ialah kebijakan
perancangan undang-undang atau disebut pula sebagai kebijakan formulasi. yaitu, bagaimana
kebijakan formulasi pidana mati dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
pada masa pandemi Covid-19 berdasarkan perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.
Tentunya hal ini seperti pada permasalahan hukum yang dialami oleh Menteri Sosial RI
nonaktif Julian Peter Batubara. Ia menerima uang senilai total Rp. 17 Miliar dari dua pelaksana
paket bansos berupa untuk penanganan covid 19. Uang itu diduga untuk keperluan pribadinya.
Pengadaan bansos untuk penanganan covid 19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI
tahun 2020 memiliki nilai sekitar Rp. 59 Triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan
dalam dua periode. Dimana fee tiap paket bansos Rp. 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp.
30 ribu per paket bansos.
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus di
samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti
adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur. Karena itu,
tindak pidana korupsi secara langsung maupun tidak langsung dimaksudkan menekan
seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan
perekonomian negara. Dengan diantisipasi sedini dan semaksimal mungkin penyimpangan
tersebut, diharapkan roda perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana
semestinya sehingga lambat laun akan membawa dampak adanya peningkatan pembangunan
dan kesejahteraan masyarakan pada umumnya.

7
Vol.1. No.1. Januari 2021
Jurnal As-Said. LP2M. Institut Agama Islam Abdullah Said Batam

Didalam UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20


Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengaturan mengenai pidana mati
dalam UU Tipikor yaitu ada pada Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa : “Dalam hal tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana
mati dapat dijatuhkan.” penjelasan Pasal 2 ayat (2) dirumuskan bahwa :“Yang dimaksud dengan
“keadaan tertentu” dalam pasal tersebut dipergunakan sebagai alasan pemberatan bagi pelaku
tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam
keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam
nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan
krisis ekonomi dan moneter.”
Hal tersebut di perkuat dengan adanya Keputusan Presiden No 11 Tahun 2020 Tentang
Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) Dan
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran
Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) yang berarti bahwa bencana covid 19 termasuk kedalam
keadaan tertentu, seperti yang dijelaskan pada UU Tipikor Pasal 2 ayat (2).
Didalam islam juga terdapat pembahasan mengenai tindak pidana korupsi. Perbuatan
korupsi dalam konteks agama Islam sama dengan fasad, yakni perbuatan yang merusak tatanan
kehidupan yang pelakunya dikategorikan melakukan Jinayaat al-kubra (dosa besar). Korupsi
dalam Islam adalah perbuatan melanggar syariat. Syariat Islam bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi umat manusia dengan apa yang disebut sebagai maqashidussy syaria’ah.
Diantara kemaslahatan yang hendak dituju tersebut adalah terpeliharanya harta (hifdzul maal)
dari berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan. Sebagaimana dalam firman Allah swt
dalam surah Al-Baqarah : 188.
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara
kamu dengan jalan bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Juga firman-Nya dalam surah An-Nisa:29
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil.”
Tindak pidana korupsi termasuk kedalam jarimah ghoiru hudud. Yang diamskud dengan
jarimah ghoiru hudud yang berupa takzir, yaitu hukuman yaitu hukuman yang dijatuhkan atas
dasar kebijakan hakim karena tidak terdapat dalam Al- Qur’an dan Hadist. Terkadang bentuk
hukuman takzir bisa berbentuk hukuman mati. Hukuman itu dapat diberlakukan bila
kemaslahatan benar-benar menghendakinya. Adapun untuk kasus korupsi hukuman mati bisa
diberlakukan bila negara dalam keadaan genting atau krisis. Sehingga hukuman mati terhadap
koruptor disesuaikan keadaan masyarakat dan kebijakan diserahkan kepada pemerintah/ hakim.
Terkadang bentuk hukuman takzir bisa berbentuk hukuman mati.
Tentunya penjelasan tersebut tentunya dapat dijadikan dasar hukumbagi hakim untuk
menetapkan kasus Julian Peter Batubara dengan pidana mati atas perbuatan yang telah
dilakukannya.

8
Vol.1. No.1. Januari 2021
Jurnal As-Said. LP2M. Institut Agama Islam Abdullah Said Batam

KESIMPULAN
Sejatiya tindak pidana korupsi yang dilakukan pada masa pandemi covid 19 sendiri telah
diatur didalam UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 2 ayat (2) yang
menyatakan bahwa : “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.” penjelasan Pasal 2 ayat (2)
dirumuskan bahwa : “Yang dimaksud dengan keadaan “keadaan tertentu” adalah apabila pelaku
tindak pidana korupsi tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai
dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai
pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan
moneter”. Makna dalam keadaan tertentu sendiri berfungsi sebagai dasar alasan pemberat
dalam tindak pidana korupsi, seperti yang dilakukan oleh Julian Peter Batubara.
Dasar pengunaan covid 19 sebagai alasan pemberat adalah Keputusan Presiden No 11
Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease
2019 (Covid 19) Dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana
Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) dan dalam keadaan tersebut
pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhkan dengan pidana mati.
Begitupun juga didalam hukum islam yang menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi
termasuk kedalam ghoiru hudud. Yang diamskud dengan ghoiru hudud yang berupa takzir,
yaitu hukuman yang dijatuhkan atas dasar kebijakan hakim karena tidak terdapat dalam Al-
Qur’an dan Hadist. Terkadang bentuk hukuman takzir bisa berbentuk hukuman mati.

DAFTAR PUSTAKA
https://m.cnnindonesia.com/nasional diakses pada tanggal 31 Desember 2020
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1988, hlm.13.
Mohammad Khairul Muqorobin, Barda Nawawi Arief, “kebijakan formulasi pidana mati dalam
UU pemberantasan tindak pidana korupsi pada masa pandemic (Covid 19) berdasarkan
perspektif pembaharuan hukum pidana”, Volume 2, Nomor 3, Tahun 2020, halaman 387-398,
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Muhammadiyah, Nahdatul ulama Partnershipkemitraan, Koruptor itu kafir, Mizan, Jakarta,
2010,
hal 13.
Sabri Samin, Pidana Islam dalam Politik Hukum Indonesia, Kholam, Jakarta, 2008, hal. 77.
Al-Hikmah, Al-Qur’an Terjemahan, Departemen Agama RI, Jakarta, 2013, hal 29.

Anda mungkin juga menyukai