Anda di halaman 1dari 3

Nama : Mavelda Regina Rangkoly

Npm/Kelas : 194301123/B
Matkul : Hukum Islam Lanjut
Dosen : Sofyan Mei Utama

SOAL
1) Kemukakan kenapa mesti ada Undang-Undang No 1 Thn 1974 dan inpres no 1991
2) Jelasan mengenai perkawinan beda agama,jawaban disertai dengan dasar hukumnya
3) Apa yang diketahui dengan perceraian dan thalak

JAWABAN :
1) Peraturan tersebut bukan diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, melainkan diatur dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP
9/1975”) yang mengatakan bahwa seorang suami yang telah melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan
surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia
bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta
kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Nasional


sampai saat ini masih dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Jika
dihubungkan dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 keberadaan hukumnya
tidak diakui dan tidak mengikat. Di sisi lain, Pasca amandemen UUD 1945 NRI badan
peradilan agama bukan lagi bagian dari eksekutif. Oleh karena itu Presiden dapat berinisiatif
meningkatkan produk hukum dari Instruksi Presiden menjadi Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) agar dapat langsung dilaksanakan oleh badan peradilan
agama. Kemudian dalam sidang jika DPR RI menyetujui maka Perppu akan menjadi
Undang-Undang.
pengaturan mengenai syarat sahnya perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (“UUP”). Sahnya suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam Pasal
2 UUP adalah :
1.      Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya. Dalam
penjelasan pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya
dan kepercayaannya itu.
2.      Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan PP No. 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 (“PP No. 9/1975”). Apabila perkawinan
dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954. Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan
perkawinan menurut agama dan kepercayaannya di luar agama Islam, maka pencatatan
dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (lihat Pasal 2 PP No. 9/1975).
Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai
perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum. Mengenai sahnya
perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan
menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing.

3. Pengaturan masalah perceraian di Indonesia secara umum terdapat dalam UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan(“UUP”),Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”).
 
Berdasarkan Pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas
keputusan pengadilan. Selain itu, Pasal 39 ayat (1) UUP mengatakan bahwa perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan.
 
Cerai gugat atau gugatan cerai yang dikenal dalam UUP dan PP 9/1975 adalah gugatan yang
diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman tergugat (Pasal 40 UUP jo. Pasal 20 ayat [1] PP 9/1975).
 
Bagi pasangan suami istri yang beragama Islam, mengenai perceraian tunduk pada Kompilasi
Hukum Islam (“KHI”) yang berlaku berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Oleh
karena itu, kami akan menjelaskan perbedaan cerai gugat dan cerai talak yang dimaksud
dalam KHI satu persatu sebagai berikut:
 
Dalam konteks hukum Islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai gugat berbeda dengan
yang terdapat dalam UUP maupun PP 9/1975. Jika dalam UUP dan PP 9/1975 dikatakan
bahwa gugatan cerai dapat diajukan oleh suami atau istri, mengenai gugatan cerai menurut
KHI adalah gugatan yang diajukan oleh istri sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat
(1) KHI yang berbunyi:
“Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang
daerahhukumnya mewilayahitempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat
kediaman tanpa izin suami.”
 
Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap
tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat [2] KHI)
 
Sedangkan, cerai karena talak dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 114 KHI
yangberbunyi:
“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian”
 
Yang dimaksud tentang talak itu sendiri menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di
hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal ini
diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:
“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik
lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri
disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
 
Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh
suami di Pengadilan Agama.
 
Sedangkan, mengenai cerai karena talak yang diucapkan suami di luar Pengadilan Agama,
menurut Nasrulloh Nasution, S.H. dalam artikel Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan
hanya sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang berlaku di
negara Indonesia karena tidak dilakukan di Pengadilan Agama. Menurut Nasrulloh, akibat
dari talak yang dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami-istri
tersebut belum putus secara hukum.
 
Selain itu, Pasal 115 KHI mengatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
 

Anda mungkin juga menyukai