Anda di halaman 1dari 12

FILSAFAT HUKUM

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
1. AULYA MARSANABILA (1802010114)
2. AJENG CINTYA RAHMANI (1802010115)
3. MUTHYA KHAERUNNISA (1802010121)
4. REVIANA REGI (1802010135)
5. VALERIAN ARRASYID PERMANA (1802010136)
6. APRIAWAN PAMBUDI (1802010137)
7. MUHAMAD FARHAN (1802010149)
8. HANIF FEBIANSYAH (1802010154)
9. IMELDA CANIA (1802010131)
10. NANDA NOERHALIFAH (1802010128)
11. ERVA ULINA MANALU (1802010117)
12. IIS SOLIHAH (1802010125)
13. MUHAMAD HARUN JAMSIRUN (1802010123)
PENGARUH FILSAFAT HUKUM

Menurut Darji Darmodiharjo dan Shidarta, cara pandang dalam berhukum tidak terlepas dari
perkembangan aliran2 dalam filsafat hukum yg akhirnya mempengaruhi corak pemikiran tentang hukkm.
Ketika membahas diskursus paradigma keilmuan ilmu hukum, maka tidak akan lepas dari pembahasan
tentang paham filsafat hukum yg melingkupinya ketika hukum itu bekerja.
◻ Karakteristik yg khas dari hukum yg bersifat normatif dipengaruhi oleh paham positivisme hukum.
◻ Menurut paham ini “hukum dipandangnya hanya sebatas gejala normatif belaka. Positivisme hukum
memahami hukum sebagai sesuatu norma yg telah dinyatakan sebagai hukum (as posited) yg diakui
dalam suatu sistem hukum tertentu.
◻ Dalam optik positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is a command of the
lawgivers) yg bersifat memaksa” sebagaimana diteorikan John Austin.
◻ Bahkan, “hukum itu harus dipisahkan dari anasir2 non hukum, dalam arti hukum harus terbebas dari
pengaruh sosiologi, sejarah, politik /moralitas.
◻ Hukum itu adalah sebagaimana adanya, yaitu terdapat dalam berbagai peraturan yg ada. Oleh
karnanya, “yg dipersoalkan bukanlah bagaimana hukum itu seharusnya, melainkan apa hukumnya.
dari aliran hukum positif yakni Legisme berpendpt lebih tegas bahwa hukum itu identik dgn UU.
“Tdk ada hukum di luar UU. Satu2 nya sumber hukum adalah UU.
PAHAM POSITIVISME HUKUM
 

Menurut paham ini hukum dipandangnya hanya sebatas gejala normatif


belaka. Positivisme hukum memahami hukum sebagai sesuatu norma yg
telah dinyatakan sebagai hukum (as posited/seperti yang dikemukakan)
yang diakui dalam suatu sistem hukum tertentu.

Dalam optik positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law
is a command of the lawgivers) yg bersifat memaksa” sebagaimana
diteorikan John Austin. Bahkan, “hukum itu harus dipisahkan dari
anasir-anasir non hukum, yang berarti hukum harus terbebas dari
pengaruh sosiologi, sejarah, politik /moralitas. Hukum itu adalah
sebagai mana adanya, yaitu terdapat dalam berbagai peraturan yang
ada”
 
Dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya adalah:
Positivisme hukum adalah aliran pemikiran hukum yang
memberi penegasan terhadap bentuk hukum (UU), isi hukum
(sanksi, perintah, kewajiban dan kedaulatan) dan sistematisasi
norma hukum (hierarki norma hukum Kelsen)”.
 
Secara implisit, “aliran ini hakikatnya menegaskan beberapa hal
yakni:
 
(a) pembentuk hukum adalah penguasa;
(b) bentuk hukum adalah UU; dan
(c) hukum diterapkan terhadap pihak yg dikuasai, yg dimensi
keharusannya diketatkan melalui pembebanan sanksi terhadap
pelakunya.
 
Karakteristik hukum dibagi menjadi dua, yaitu:
 
1. Karakteristik hukum bersifat normatif dipengaruhi oleh
paham positivisme hukum.
2. Karakteristik hukum bersifat bersifat empirikal-
sosiologis sedikit banyak dipengaruhi oleh paham
sociological jurisprudensi yg digagas oleh filsuf Eugen
Ehrlich dan Roscou Pound.
 
 
PAHAM SOCIOLOGICAL-
JURISPRUDENSI

Paham Sociological Jurisprudence adalah paham yang sangat dipengaruhi paham


realisme hukum Oliver Holmes. Aliran Sociological Jurisprudence mengemukakan
bahwa hukum positif yang ditetapkan oleh penguasa adalah baik jikalau sesuai
dengan hukum yang lahir (tumbuh) dalam masyarakat (living law). Oleh sebab itu,
aliran ini mencanangkan inti pokok gagasannya yaitu bahwa “Hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
◻ Eugen Ehrlich memandang semua hukum sebaga hukum sosial, tetep dalam arti

bahwa semua hubungan hukum ditandai oleh faktor2 sosial ekonomis.


Menurutnya juga , terdapat perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat di lain pihak. Hukum positif baru akan
memiliki daya berlaku yg efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yg
hidup dalam masyarakat tadi.
◻ Bagi Ehrlich: hukum tunduk pada kekuatan2 sosial tertentu atau sesuai kenyataan

hukum masyarakat.
PAHAM SOCIOLOGICAL-JURISPRUDENSI

Berkenaan dgn sociological jurisprudensi, Adji Samekt :


sociological jurisprudensi itu sendiri sdh melihat pentingnya fakta
sosial, namun masih berparadigma positivisme hkm. Sociological
jurisprudensi masih mengkonsepsikan hkm yang lahir dari realitas
sebagai ketentuan hukum yg bersifat netral, tidak berpihak dan
impersonal seperti pandangan legal formalism terhadap hukum”.
Ranah kajian sociological jurisprudensi itu, hukum bermisi mencari
dan menemukan dasar legitimasi suatu fakta apakah fakta itu
bertentang an dengan hukum atau tidak, tetap bermisi menemukan
pola-pola keajegan, keteraturan berulang yg menimbulkan opinio
juris sive nececitatis, yg akhirnya bisa dimanifestasikan dalam
peraturan atau landasan keputusan hakim dalam suatu kasus.
HUKUM PROGRESIF
Di Indonesia, “pikiran-pikiran Roscoe Pound dan Eugen Ehlich serta
pengaruh paham gerakan studi hukum kritis menjadi titik acuan
teoritis bagi Satjipto Rahardjo dalam memformulasikan suatu teori
hukum yg dikenal di kalangan ilmuwan hukum dengan nama Teori
Hkm Progresif.
Hkm progresif sebenarnya lahir karena selama ini ajaran ilmu hukum
positif (analytical jurisprudence) yg dipraktikkan pada realitas empirik
khususnya di Indonesia berjalan tidak memuaskan.
Gagasan hukum progresif muncul karena keprihatinan terhadap
kualitas penegakan hukum.
Formalitas hukum disinyalir telah menjadi salah satu sebab ambruknya
penegakan hukum. Akibatnya muncul gelombang perasaan
ketidakpuasan masyarakat.
HUKUM PROGRESIF
Dengan demikian, “hukum progresif dalam berolah ilmu memiliki asumsi dasar
hubungan antara hukum dengan manusia. Progresivisme bertolak dari pandangan
kemanusiaan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat2 kasih
sayang serta kepedulian terhadap Sesama. Jadi, “asumsi dasar hukum progresif
dimulai dari hakikat dasar hukum adalah untuk manusia. Hukum tidak hadir untuk
dirinya sendiri sebagaimana yg digagas untuk ilmu hukum positif, tetap untuk
manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
Posisi yg demikian mengantarkan satu predisposisi bahwa hukum itu selalu
berada pada status law in the making (hukum selalu berproses untuk menjadi).
Dalam gagasan hukum progresif, hukum itu adalah untuk manusia, bukan
sebaliknya. Kendatipun berhukkm itu dimulai dari teks, tetapi selanjutnya
pekerjaan berhukum itu diambil-alih untuk manusia. Artinya, manusia itulah yg
akan mencari makna lebih dalam dari teks-teks aturan dan kemudian membuat
putusan.
KESIMPULAN

Suatu penjabaran kembali fungsi filsafat hukum di dalam


masyarakat adalah perlu yakni berupa pengertian, penyelesaian,
pemeliharaan dan pertahanan aturan-aturan yang berlaku, sesuai
dengan kebutuhan sosial yang relevan dengan perubaban-
perubahan yang ada di dalam masyarakat, sesuai dengan
berlakunya Hukum Positif.
Filsafat hukum berupaya memecahkan persoalan, menciptakan
hukum yang lebih sempurna, serta membuktikan bahwa hukum
mampu menciptakan penyelesaian persoalan-persoalan yang
hidup dan berkembang di dalam masyarakat dengan
menggunakan sistim hukum yang berlaku suatu masa, disuatu
tempat sebagai Hukum Positif.
Tugas filsafat hukum masih relevan untuk menciptakan
kondisi hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum
adalah menjelaskan nilai-nilai, dasardasar hukum secara
filosofis serta mampu memformulasikan cita-cita keadilan,
ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan
kenyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan tidak
menutup kemungkinan hukum menyesuaikan, merubah secara
radikal dibawah tekanan hasrat manusia yang berubah tiada
batas, untuk membangun paradigma hukum baru, guna
memenuhi kebutuhan perkembangan hukum pada suatu masa
tertentu, suatu waktu dan pada suatu tempat.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai