Kelompok A-14
Ketua : Ajeng Dwi Restiantie (1102012013)
Sekretaris : Cindy Dwi Primasanti (1102012046)
Adek Prima Rahmi Putri (1102012004)
Ahmad Naji Karsanaputra (1102012011)
Clara Kusuma Sri Hadianti (1102012047)
Dian Suciaty Annisa (1102012064)
Faisal Zakiri (1102012080)
Fitria Nengsih (1102012092)
Martha Fitri Alextina Tatodi (1102012154)
Fakultas Kedokteran
Universitas YARSI
2012-2013
Euthanasia Pilihan Terakhir Agian
indosiar.com, Jakarta Bagi Agian Isna Nauli Siregar, Euthanasia adalah pilihan
terakhir untuk melepaskan diri dari penderitaannya akibat penyakit yang secara
medis sulit disembuhkan. Sang suami Panca Satria Hasan Kusuma dengan gigih
terus berjuang untuk mencari kepastian hukum, agar keinginannya untuk
mengakhiri hidup istrinya terkabul. Kendati sistem hukum di Indonesia belum
mengakuinya.
Telah lebih dari 3 bulan, Agian Isna Nauli Siregar hanya tergolek tanpa daya di
rumah sakit. Sejumlah uang telah dikeluarkan Panca Satria Hasan Kusuma demi
kesembuhan istrinya. Namun hingga kini tidak ada perubahan yang berarti terlihat
dari dalam diri Agian.
Kenyataan pahit ini membuat Hasan pasrah dan rela melepaskan istrinya dengan
cara Euthanasia atau disuntik mati. Keputusan akhir diperjuangkan Hasan karena
telah habisnya dana yang dimiliki dan tidak tahan melihat penderitaan istrinya
yang sulit disembuhkan.
Kesedihan Hasan semakin bertambah, karena sejak istrinya sakit ia sangat jarang
bertemu dengan anak-anaknya. Perjuangan menemouh jalan akhir melalui
Euthanasia, hingga kini masih terus dilakukan.
Sudah 3 bulan Agian mengalami stroke setelah menjalani operasi seksio di Rumah
Sakit Islam Bogor. Sebelumnya, pasien mengalami henti nafas dan henti jantung
selama 1 bulan. Mereka kini menunggu keputusan Majelis Hakim Pengadilan
Jakarta Pusat yang menangani masalah ini.
Sumber : http://www.indosiar.com/fokus/euthanasia-pilihan-terakhir-
agian_29073.html
LI.1 Euthanasia
1
LO.1.1 Memahami dan menjelaskan definisi euthanasia
LO.1.2 Memahami dan menjelaskan jenis euthanasia
LO.1.3 Memahami dan menjelaskan pandangan euthanasia di
beberapa negara
LI.2 Memahami dan menjelaskan hukum tentang euthanasia di Indonesia
LI.1 Euthanasia
LO.1.1 Memahami dan menjelaskan definisi euthanasia
2
Euthanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu = baik, tanpa
penderitaan; sedangkan tanathos = mati. Dengan demikian euthanasia
dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan.
Menurut Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter
Belanda), euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu
untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan
sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang
pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.
Menurut Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan
baik.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga
arti, yaitu:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa
penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan
memberikan obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja
atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa euthanasia
adalah usaha mempercepat kematian seorang pasien penderita
penyakit kritis yang dilakukan/petugas medis lainya berdasarkan
permintaan pasien sendiri dan atau keluarganya.
The Advanced Learners Dictionary menyebutkan bahwa euthanasia
is bringing about an easy painless of death for persons suffering from
incurable and painfull disease.
Websters Dictionary memberi batasan pada euthanasia, yaitu the
putting of person to death painlessly, especially one in hopeless
condition.
Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk
memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu
untuk memeperpendek hidup atau sengaja mengakhiri hidup
seseorang pasie, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.
(Ikatan Dokter Belanda).
Euthanasia adalah (1) kematian secara mudah tanpa sakit (2)
membunuh berdasarkan rasa kasian; dengan sengaja mengakhiri hidup
seorang yang menderita sakit yang hebat dan tidak bisa disembuhkan
(dorland 29).
Eutanasia berarti tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan
makhluk (orang ataupun hewan piaraan) yg sakit berat atau luka parah
dengan kematian yg tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan.
(Kamus besar bahasa indonesia)
Menurut Petrus Yoyo Karyadi, euthanasia adalah dengan sengaja
dokter atau bawahannya yang bertanggungjawab kepadanya atau
tenaga ahli lainnya melakukan suatu tindakan medis tertentu untuk
mengakhiri hidup pasien atau mempercepat proses kematian pasien
3
atau tidak melakukan tindakan medis untuk memperpanjang hidup
pasien yang menderita suatu penyakit yang menurut ilmu kedokteran
sulit untuk disembuhkan kembali, atas atau tanpa permintaan dan atau
keluarga sendiri, demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.
Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita
Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia berarti mati cepat tanpa
derita.
Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai
kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus
penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan.
4
a. Euthanasia langsung (direct), artinya tujuan tindakan diarahkan
langsung pada kematian.
b. Euthanasia tidak langsung (indirect), artinya tujuan tindakan tidak
langsung untuk kematian tetapi untuk maksud lain misalnya
meringankan penderitaan.
5
halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda
dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilanasalkan
mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah
mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan
membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter
untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi
kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002,
sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang
belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus
tertentu tidak akan dihukum.
Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia
dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski
reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima
UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien
terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan
Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik
kembali.
Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir
September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan
eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan
eutanasia di negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur
pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk
menciptakan "birokrasi kematian".
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia
(setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu
penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien
yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang
memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan
saat-saat akhir hidupnya.
Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat ini
satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit
mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan)
mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada
tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan
memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity
Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan
euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat,dimana pasien terminal
berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka
diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan
6
sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15
hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu
saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikandiagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa
pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan
mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk
mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang
dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga
simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan,
sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini.
Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia.
Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama
tahun 1999.
Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup
Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya
eutanasia.
Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang
melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang
ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan
bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-
pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-
unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum
yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh
siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal
Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5
Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa
penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang
berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai
dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih
berlaku yakni KUHP.
Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga
negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri.
Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang
ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya
menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan
suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan
diri sendiri."
7
Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan
pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri
kehidupan seseorang.
Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya
(Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah
proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar
dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang
lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk
melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon
dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi"
sebagai suatu legitimasi praktik kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan
hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical
Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun
juga.
Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia
demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah
mengatur mengenai eutanasia tersebut.
Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun
1962 yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia pasif" ( ,
shkyokuteki anrakushi)
Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada
tahun 1995 yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif " ( ,
sekkyokuteki anrakushi)
Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka
hukum dan suatu alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh
dilakukan secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan selain pada
kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter
yang melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan
pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke
tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum
sebagai sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki
suatu kerangka hukum sementara guna melaksanakan eutanasia.
Republik Ceko
Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan
berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari
rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan
tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospil bermaksud untuk memasukkan eutanasia
dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana
selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite
8
hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut
dihapus dari rancangan tersebut.
India
Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai
larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama
pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-
IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan
euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan
kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada
ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus
eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan
kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan eutanasia tersebut
(bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan
orang lain) ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman
berdasarkan pasal 92 IPC.
China
Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia diketahui
terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang
Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap ibunya
yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan
permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme
People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang
Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk
disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas dirinya
namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia
dalam kesakitan.
Afrika Selatan
Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas mengatur
tentang eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku eutanasia
untuk berkelit dari jerat hukum yang ada.[18]
Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia
di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea
dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang
didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang
menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian
menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan
bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini
tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti kata
eutanasia aktif.
Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari
penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan eutanasia
pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari
perawatan medis terhadap dirinya.
9
LI. 2 Memahami dan menjelaskan hukum tentang euthanasia di Indonesia
Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur seseorang dapat dipidana
atau dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun
kurang hati-hati.
a. Pasal 344 KUHP :
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh,
dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat
beberapa alasan kuat untuk membantu pasien / keluarga paien mengakhiri
hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus
dihadapinya.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa
pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter.
b. Pasal 338 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum
karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
c. Pasal 340 KUHP :
Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan
direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
d. Pasal 359 KUHP:
Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum
penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu
tahun.
Selanjutnya dibawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang
mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus
euthanasia.
e. Pasal 345 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi
bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal ini mengingatkat dokter, jangankan melakukan euthanasia,
menolong atau memberi harapan kearah perbuatan itu sajapun sudah
mendapat ancaman pidana.
f. Pasal 356 (3) KUHP:
Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya
bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum.
g. Pasal 388 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum,
karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas
tahun. Dokter melakukan tindakan euthanasia (aktif khususnya), bisa
diberhantikan dari jabatannya, karena melanggar etik kedokteran.
h. Pasal 304 KUHP:
10
Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang
dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang itu, diancam pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.
i. Pasal 306 (2) KUHP:
Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana
penjara maksimal sembilan tahun.
j. Pasal 574
Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain
tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas
permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana
dengan pidana paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan)
tahun.
k. Pasal 575
Dokter yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal 574
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun.
11
moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri
penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum
ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal
KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan
dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat
profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan.
Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu.
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi
kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi
medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan.
Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, Saya tidak akan memberikan racun
yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang
memintanya. Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di
dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri
yang membuatnya.
Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan
melakukan perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat
dianggap sebagai penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang
dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut
dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan
medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak
lagi berkompeten melakukan perawatan medis.
12
Kaidah kaidah bioetik merupakah sebuah hukum mutlak bagi seorang dokter.
Seorang dokter wajib mengamalkan prinsip prinsip yang ada dalam kaidah
tersebut, tetapi pada beberapa kasus, karena kondisi berbeda, satu prinsip menjadi
lebih penting dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain.
Kondisi seperti ini disebut Prima Facie. Konsil Kedokteran Indonesia, dengan
mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik
kedokteran Indonesia mengacu kepada kepada 4 kaidah dasar moral yang sering
juga disebut kaidah dasar etika kedokteran atau bioetika, yaitu:
Beneficence
Non - Maleficence
Justice
Autonomi
1. Beneficence
Dalam arti prinsip bahwa seorang dokter berbuat baik, menghormati
martabat manusia, dokter tersebut juga harus mengusahakan agar
pasiennya dirawat dalam keadaan kesehatan. Dalam suatu prinsip ini
dikatakan bahwa perlunya perlakuan yang terbaik bagi pasien.
Beneficence membawa arti menyediakan kemudahan dan kesenangan
kepada pasien mengambil langkah positif untuk memaksimalisasi akibat
baik daripada hal yang buruk. Ciri-ciri prinsip ini, yaitu;
Mengutamakan Alturisme
Memandang pasien atau keluarga bukanlah suatu tindakan tidak
hanya menguntungkan seorang dokter
Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak
dibandingkan dengan suatu keburukannya
Menjamin kehidupan baik-minimal manusia
Memaksimalisasi hak-hak pasien secara keseluruhan
Menerapkan Golden Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik
seperti yang orang lain inginkan
Memberi suatu resep
Kriteria Beneficence
13
e. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang
f. Menjamin kehidupan baik minimal manusia
g. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien)
h. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
i. Minimalisasi akibat buruk
j. Kewajiban menolong pasien gawat darurat
k. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
l. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran
m. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
n. Mengembangkan profesi secara terus menerus
o. Memberikan obat berkhasiat namun murah
p. Menerapkan golden rule principle
2. Non Malaficence
Non-malficence adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak
melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan
yang paling kecil resikonya bagi pasien sendiri. Pernyataan kuno Fist, do
no harm, tetap berlaku dan harus diikuti. Non-malficence mempunyai ciri-
ciri:
Menolong pasien emergensi
Mengobati pasien yang luka
Tidak membunuh pasien
Tidak memandang pasien sebagai objek
Melindungi pasien dari serangan
Manfaat pasien lebih banyak daripada kerugian dokter
Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
Tidak melakukan White Collar Crime
Kriteria Non Malaficence
a. Menolong pasien emergensi :
Dengan gambaran sbb :
pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko
kehilangan sesuatu yang penting (gawat)
dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut
tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
manfaat bagi pasien > kerugian dokter
b. Mengobati pasien yang luka
c. Tidak membunuh pasien ( euthanasia )
d. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien
e. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
f. Mengobati secara proporsional
g. Mencegah pasien dari bahaya
h. Menghindari misrepresentasi dari pasien
i. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
j. Memberikan semangat hidup
k. Melindungi pasien dari serangan
l. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
3. Justice
14
Keadilan (Justice) adalah suatu prinsip dimana seorang dokter
memperlakukan sama rata dan adil terhadap untuk kebahagiaan dan
kenyamanan pasien tersebut. Perbedaan tingkat ekonomi, pandangan
politik, agama, kebangsaan, perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan, dan
kewarganegaraan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya.
Justice mempunyai ciri-ciri :
Memberlakukan segala sesuatu secara universal
Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia
lakukan
Menghargai hak sehat pasien
Menghargai hak hukum pasien
Kriteria Justice
Kriteria Autonomy
15
f. Menghargai rasionalitas pasien
g. Melaksanakan informed consent
h. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan
sendiri
i. Tidak mengintervensi atau menghalangi otonomi pasien
j. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil
keputusan termasuk keluarga
k. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non
emergensi
l. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien
m. Menjaga hubungan (kontrak)
Al-Hajj:66
Dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu,
kemudian menghidupkan kamu (lagi), Sesungguhnya manusia itu, benar-benar
sangat mengingkari nikmat.
Al-Baqarah: 243
16
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung
halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; Maka
Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan
mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi
kebanyakan manusia tidak bersyukur.
Euthanasia dalam hubungannya dengan jarimah mati.
Yang menjadi unsur-unsur jarimah itu secara umum adalah :
1. Nash yang melarang perbuatan itu dan memberikan ancaman hukuman
terhadapnya. Ini disebut sebagai unsur formal (rukun syari).
2. Tindakan yang membentuk suatu perbuatan jarimah, baik perbuatan
nyata maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini disebut unsur material
(rukun maddi).
3. Pelaku yang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung-
jawaban terhadap jarimah yang dilakukannya. Ini disebut unsur moral
(rukun abadi).
Dari segi nash Islam memang secara tegas melarang pembunuhan. Aspek
tindakan sebagai unsur kedua sudah jelas ada. Karena biasanya upaya untuk
mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan
pelemah fungsi saraf dalam dosis tertentu (neurasthenia).
Sebagai pertimbangan, menjadi keharusan bagi dokter adalah menjaga
keadaan pasien untuk tetap hidup dengan memberikan animasi obat penenang atau
menjaga pasien dengan pendingin atau metode-metode artifisial lainnya. Dokter
tidak boleh melakukan sesuatu yang positif membunuh pasiennya.
Dalil yang bersumberkan hadis yang terkait dengan usaha pengobatan atau
penyembuhkan adalah sabda Nabi saw :
17
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan Barangsiapa dibunuh secara
zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya,
tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya
ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
An-Nisa: 29
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu;
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Banyak
ayat Al-Quran maupun hadist Nabi yang mengharuskan untuk menghormati dan
memelihara jiwa manusia (hifz al-Nafs), sehingga seseorang tidak diperbolehkan
untuk menghilangkan nyawa tanpa alasan syar i yang kuat. Allah berfirman
dalam Al-Quran surat Al-Maidah : 32
yang artinya bahwa siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
18
memelihara kehidupan manusia semuanya. Oleh karena itu, bunuh diri
diharamkan dalam hukum Islam.
Pengertian qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia) ialah tindakan
memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena
kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan
cara positif maupun negatif.
a. Euthanasia positif/aktif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif/ aktif) ialah
tindakan memudahkan kematian si sakit --karena kasih sayang-- yang dilakukan
oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).
Larangan euthanasia karena beberapa alasan :
- Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah SWT
- yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.
- Islam melarang bunuh diri dan membunuh orang lain
(Al-Anam:151 dan An-Nisa:29)
- Allah telah menciptakan penyakit dengan obatnya kecuali satu yaitu
menjadi tua (HR Tirmidzi)
- Sanksi azab bagi pelaku tindak bunuh diri
- Sanksi di dunia/ qishas/ hukum pidana
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam
kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad), walaupun niatnya baik yaitu
untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas
permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang
mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun
membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
19
Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja) (QS An-Nisaa` : 92)
20
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). (QS Al-Baqarah : 17)
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan
yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan
kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik
itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak
mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya,
yaitu pengampunan dosa.
Rasulullah SAW bersabda,Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim
suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit,
bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau
dosanya dengan musibah yang menimpanya itu. (HR Bukhari dan Muslim).
21
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat.
Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat
wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan
bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa
seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu
berkata,Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap
auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku! Nabi
SAW berkata,Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika
tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.
Perempuan itu berkata,Baiklah aku akan bersabar, lalu dia berkata
lagi,Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka
berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap. Maka Nabi SAW lalu
berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini
digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka
hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah
perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah
sunnah (mandub), bukan wajib.
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah
menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak
menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan
sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah
termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian
otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan
bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap
tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini
pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu
kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya
sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan
dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien setelah matinya/rusaknya organ
otakhukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut
alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa
dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu. Namun untuk
bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya,
atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan
mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib
diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri).
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib
apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak
ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat
yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya yaitu para doktermaka
tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan
dengan cara meminum obat, suntikan, diberimakan glukose dan
sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai
dengan penemuan ilmu kedokteran modern dalam waktu yang cukup lama,
22
tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan
pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin
kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian (taisir al-maut) kalau boleh
diistilahkan demikian semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli dengan
istilah qatl ar-rahmah (membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasus ini
tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan
sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi.
Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara' bila keluarga
penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk
meringankan si sakit dan keluarganya.
23
KESIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah, M. Jusuf, Amri Amir. (1999). Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan.
Jakarta: EGC.
25
Hasan, M.Ali. (1995). Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
http://www.dikti.go.id/files/atur/sehat/Kode-Etik-Kedokteran.pdf
La Jamaa. Euthanasia Killing Menurut Tinjauan Hukum Islam. Jurnal JABAL
HIKMAH, STAIN AL-FATAH JAYAPURA. No.2, Vol.1 Januari-Juni 2008.
26