Anda di halaman 1dari 27

WRAP UP

Euthanasia Pilihan Terakhir Agian

Kelompok A-14
Ketua : Ajeng Dwi Restiantie (1102012013)
Sekretaris : Cindy Dwi Primasanti (1102012046)
Adek Prima Rahmi Putri (1102012004)
Ahmad Naji Karsanaputra (1102012011)
Clara Kusuma Sri Hadianti (1102012047)
Dian Suciaty Annisa (1102012064)
Faisal Zakiri (1102012080)
Fitria Nengsih (1102012092)
Martha Fitri Alextina Tatodi (1102012154)

Fakultas Kedokteran
Universitas YARSI
2012-2013
Euthanasia Pilihan Terakhir Agian
indosiar.com, Jakarta Bagi Agian Isna Nauli Siregar, Euthanasia adalah pilihan
terakhir untuk melepaskan diri dari penderitaannya akibat penyakit yang secara
medis sulit disembuhkan. Sang suami Panca Satria Hasan Kusuma dengan gigih
terus berjuang untuk mencari kepastian hukum, agar keinginannya untuk
mengakhiri hidup istrinya terkabul. Kendati sistem hukum di Indonesia belum
mengakuinya.

Telah lebih dari 3 bulan, Agian Isna Nauli Siregar hanya tergolek tanpa daya di
rumah sakit. Sejumlah uang telah dikeluarkan Panca Satria Hasan Kusuma demi
kesembuhan istrinya. Namun hingga kini tidak ada perubahan yang berarti terlihat
dari dalam diri Agian.

Kenyataan pahit ini membuat Hasan pasrah dan rela melepaskan istrinya dengan
cara Euthanasia atau disuntik mati. Keputusan akhir diperjuangkan Hasan karena
telah habisnya dana yang dimiliki dan tidak tahan melihat penderitaan istrinya
yang sulit disembuhkan.

Kesedihan Hasan semakin bertambah, karena sejak istrinya sakit ia sangat jarang
bertemu dengan anak-anaknya. Perjuangan menemouh jalan akhir melalui
Euthanasia, hingga kini masih terus dilakukan.

Sudah 3 bulan Agian mengalami stroke setelah menjalani operasi seksio di Rumah
Sakit Islam Bogor. Sebelumnya, pasien mengalami henti nafas dan henti jantung
selama 1 bulan. Mereka kini menunggu keputusan Majelis Hakim Pengadilan
Jakarta Pusat yang menangani masalah ini.

Sumber : http://www.indosiar.com/fokus/euthanasia-pilihan-terakhir-
agian_29073.html

Penulis : Medi Trianto dan Gunadi/Sup

Sasaran Belajar Skenario 2

LI.1 Euthanasia

1
LO.1.1 Memahami dan menjelaskan definisi euthanasia
LO.1.2 Memahami dan menjelaskan jenis euthanasia
LO.1.3 Memahami dan menjelaskan pandangan euthanasia di
beberapa negara
LI.2 Memahami dan menjelaskan hukum tentang euthanasia di Indonesia

LI.3 Euthanasia berdasarkan KODEKI dan kaidah dasar bioetik


LO.3.1 Memahami dan menjelaskan euthanasia berdasarkan
KODEKI
LO.3.2 Memahami dan menjelaskan euthanasia berdasarkan kaidah
dasar bioetik

LI.4 Memahami dan menjelaskan pandangan Islam terhadap euthanasia

LI.1 Euthanasia
LO.1.1 Memahami dan menjelaskan definisi euthanasia

2
Euthanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu = baik, tanpa
penderitaan; sedangkan tanathos = mati. Dengan demikian euthanasia
dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan.
Menurut Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter
Belanda), euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu
untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan
sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang
pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.
Menurut Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan
baik.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga
arti, yaitu:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa
penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan
memberikan obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja
atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa euthanasia
adalah usaha mempercepat kematian seorang pasien penderita
penyakit kritis yang dilakukan/petugas medis lainya berdasarkan
permintaan pasien sendiri dan atau keluarganya.
The Advanced Learners Dictionary menyebutkan bahwa euthanasia
is bringing about an easy painless of death for persons suffering from
incurable and painfull disease.
Websters Dictionary memberi batasan pada euthanasia, yaitu the
putting of person to death painlessly, especially one in hopeless
condition.
Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk
memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu
untuk memeperpendek hidup atau sengaja mengakhiri hidup
seseorang pasie, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.
(Ikatan Dokter Belanda).
Euthanasia adalah (1) kematian secara mudah tanpa sakit (2)
membunuh berdasarkan rasa kasian; dengan sengaja mengakhiri hidup
seorang yang menderita sakit yang hebat dan tidak bisa disembuhkan
(dorland 29).
Eutanasia berarti tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan
makhluk (orang ataupun hewan piaraan) yg sakit berat atau luka parah
dengan kematian yg tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan.
(Kamus besar bahasa indonesia)
Menurut Petrus Yoyo Karyadi, euthanasia adalah dengan sengaja
dokter atau bawahannya yang bertanggungjawab kepadanya atau
tenaga ahli lainnya melakukan suatu tindakan medis tertentu untuk
mengakhiri hidup pasien atau mempercepat proses kematian pasien

3
atau tidak melakukan tindakan medis untuk memperpanjang hidup
pasien yang menderita suatu penyakit yang menurut ilmu kedokteran
sulit untuk disembuhkan kembali, atas atau tanpa permintaan dan atau
keluarga sendiri, demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.
Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita
Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia berarti mati cepat tanpa
derita.
Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai
kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus
penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan.

LO.1.2 Memahami dan menjelaskan jenis euthanasia


Dari Sudut Cara/Bentuk
Dari sudut cara atau bentuk, euthanasia dapat dibedakan dalam tiga hal:
a. Euthanasia aktif, artinya mengambil keputusan untuk melaksanakan
dengan tujuan menghentikan kehidupan. Tindakan ini secara sengaja
dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, melakukan
injeksi dengan obat tertentu agar pasien terminal meninggal.
Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan medik
secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien,
atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini dikenal
sebagai mercy killing.

Euthanasia aktif tidak langsung adalah dimana dokter atau tenaga


kesehatan melakukan tindakan medik untuk meringankan
penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko tersebut
dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
b. Euthanasia pasif, artinya memutuskan untuk tidak mengambil
tindakan atau tidak melakukan terapi. Dokter atau tenaga kesehatan
lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup kepada pasien. Misalnya, terapi dihentikan atau
tidak dilanjutkan karena tidak ada biaya, tidak ada alat ataupun terapi
tidak berguna lagi. Pokoknya menghentikan terapi yang telah dimulai
dan sedang berlangsung.
c. Auto-euthanasia, artinya seorang pasien menolak secara tegas dengan
sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal
ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan
tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto-
euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.

Dari Sudut Maksud (Voluntarium)


Dari sudut maksud, euthanasia dapat dibedakan:

4
a. Euthanasia langsung (direct), artinya tujuan tindakan diarahkan
langsung pada kematian.
b. Euthanasia tidak langsung (indirect), artinya tujuan tindakan tidak
langsung untuk kematian tetapi untuk maksud lain misalnya
meringankan penderitaan.

Dari Sudut Otonomi Penderita


Dari sudut otonomi penderita euthanasia dapat dilihat dalam tiga jenis:
a. Penderita sadar dan dapat menyatakan kehendak atau tak sadar dan
tidak dapat menyatakan kehendak (incompetent).
b. Penderita tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan diwakili
oleh orang lain (transmitted judgement).
c. Penderita tidak sadar tetapi kehendaknya diduga oleh orang lain
(substituted judgement).

Dari Sudut Motif dan Prakarsa


Dari sudut motif dan prakarsa, euthanasia dibedakan menjadi dua:
a. Prakarsa dari penderita sendiri (voluntir), artinya penderita sendiri
yang meminta agar hidupnya dihentikan entah karena penyakit yang
tak tersembuhkan atau karena sebab lain.
b. Prakarsa dari pihak luar (involuntir), artinya orang lain yang meminta
agar seorang pasien dihentikan kehidupannya karena berbagai sebab.
Pihak lain itu misalnya keluarganya dengan motivasi untuk
menghentikan beban atau belas kasih. Bisa juga, prakarsa itu datang
dari pemerintah karena ideologi tertentu atau kepentingan yang lain.

LO.1.3 Memahami dan menjelaskan pandangan euthanasia di


beberapa negara
Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan
seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun
ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia
dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum.
Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu
diterapkan tanpa memandang status hukumnya.
Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang
mengizinkan eutanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak
tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia
yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit
menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara
formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai
perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam
majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998,

5
halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda
dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilanasalkan
mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah
mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan
membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter
untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi
kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002,
sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang
belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus
tertentu tidak akan dihukum.
Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia
dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski
reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima
UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien
terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan
Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik
kembali.
Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir
September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan
eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan
eutanasia di negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur
pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk
menciptakan "birokrasi kematian".
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia
(setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu
penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien
yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang
memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan
saat-saat akhir hidupnya.
Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat ini
satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit
mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan)
mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada
tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan
memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity
Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan
euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat,dimana pasien terminal
berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka
diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan

6
sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15
hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu
saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikandiagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa
pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan
mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk
mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang
dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga
simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan,
sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini.
Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia.
Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama
tahun 1999.
Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup
Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya
eutanasia.
Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang
melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang
ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan
bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-
pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-
unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum
yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh
siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal
Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5
Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa
penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang
berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai
dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih
berlaku yakni KUHP.
Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga
negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri.
Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang
ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya
menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan
suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan
diri sendiri."

7
Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan
pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri
kehidupan seseorang.
Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya
(Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah
proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar
dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang
lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk
melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon
dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi"
sebagai suatu legitimasi praktik kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan
hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical
Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun
juga.
Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia
demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah
mengatur mengenai eutanasia tersebut.
Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun
1962 yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia pasif" ( ,
shkyokuteki anrakushi)
Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada
tahun 1995 yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif " ( ,
sekkyokuteki anrakushi)
Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka
hukum dan suatu alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh
dilakukan secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan selain pada
kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter
yang melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan
pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke
tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum
sebagai sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki
suatu kerangka hukum sementara guna melaksanakan eutanasia.
Republik Ceko
Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan
berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari
rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan
tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospil bermaksud untuk memasukkan eutanasia
dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana
selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite

8
hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut
dihapus dari rancangan tersebut.
India
Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai
larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama
pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-
IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan
euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan
kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada
ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus
eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan
kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan eutanasia tersebut
(bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan
orang lain) ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman
berdasarkan pasal 92 IPC.
China
Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia diketahui
terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang
Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap ibunya
yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan
permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme
People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang
Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk
disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas dirinya
namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia
dalam kesakitan.
Afrika Selatan
Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas mengatur
tentang eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku eutanasia
untuk berkelit dari jerat hukum yang ada.[18]
Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia
di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea
dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang
didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang
menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian
menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan
bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini
tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti kata
eutanasia aktif.
Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari
penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan eutanasia
pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari
perawatan medis terhadap dirinya.

9
LI. 2 Memahami dan menjelaskan hukum tentang euthanasia di Indonesia
Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur seseorang dapat dipidana
atau dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun
kurang hati-hati.
a. Pasal 344 KUHP :
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh,
dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat
beberapa alasan kuat untuk membantu pasien / keluarga paien mengakhiri
hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus
dihadapinya.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa
pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter.
b. Pasal 338 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum
karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
c. Pasal 340 KUHP :
Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan
direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
d. Pasal 359 KUHP:
Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum
penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu
tahun.
Selanjutnya dibawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang
mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus
euthanasia.
e. Pasal 345 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi
bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal ini mengingatkat dokter, jangankan melakukan euthanasia,
menolong atau memberi harapan kearah perbuatan itu sajapun sudah
mendapat ancaman pidana.
f. Pasal 356 (3) KUHP:
Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya
bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum.
g. Pasal 388 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum,
karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas
tahun. Dokter melakukan tindakan euthanasia (aktif khususnya), bisa
diberhantikan dari jabatannya, karena melanggar etik kedokteran.
h. Pasal 304 KUHP:

10
Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang
dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang itu, diancam pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.
i. Pasal 306 (2) KUHP:
Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana
penjara maksimal sembilan tahun.
j. Pasal 574
Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain
tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas
permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana
dengan pidana paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan)
tahun.
k. Pasal 575
Dokter yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal 574
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun.

LI.3 Euthanasia berdasarkan KODEKI dan kaidah dasar bioetik


LO.3.1 Memahami dan menjelaskan euthanasia berdasarkan
KODEKI
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; seorang dokter harus senantiasa
berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi.
Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedikterannya sebagai
seorang profesi dikter harus sesuai dengan ilmu kedikteran mutakhir, hukum dan
agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa setiap dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani. Artinya dalam
setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan
kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan prifesinya seorang dokter tidak
boleh melakukan; menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus),
mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak
mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak
diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut
pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah
dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama
sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya
masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter
yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan
sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang
berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga
pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik

11
moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri
penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum
ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal
KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan
dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat
profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan.
Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu.
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi
kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi
medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan.
Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, Saya tidak akan memberikan racun
yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang
memintanya. Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di
dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri
yang membuatnya.
Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan
melakukan perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat
dianggap sebagai penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang
dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut
dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan
medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak
lagi berkompeten melakukan perawatan medis.

LO. 3.2 Memahami dan menjelaskan euthanasia berdasarkan kaidah


dasar bioetik
Sepanjang perjalanan sejarah dunia Kedokteran, banyak defenisi dan
paham mengenai bioetika yang dilontarkan oleh para ahli etika dari berbagai
belahan dunia. Pendapat pendapat ini dibuat untuk merumuskan suatu pemahaman
bersama tentang apa itu bioetika.
Bioetika berasal dari kata bios yang berati kehidupan dan ethos yang
berarti norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika merupakan studi
interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang
biologi dan ilmu kedokteran baik skala mikro maupun makro, masa kini dan masa
mendatang. Bioetika mencakup isu-isu sosial, agama, ekonomi, dan hukum
bahkan politik. Bioetika selain membicarakan bidang medis, seperti abortus,
euthanasia, transplantasi organ, teknologi reproduksi butan, dan rekayasa genetik,
membahas pula masalah kesehatan, faktor budaya yang berperan dalam lingkup
kesehatan masyarakat, hak pasien, moralitas penyembuhan tradisional, lingkungan
kerja, demografi, dan sebagainya. Bioetika memberi perhatian yang besar pula
terhadap penelitian kesehatan pada manusia dan hewan percobaan.
Menurut F. Abel, Bioetika adalah studi interdisipliner tentang masalah-
masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan biologi dan kedokteran, tidak
hanya memperhatikan masalah-masalah yang terjadi pada masa sekarang, tetapi
juga memperhitungkan timbulnya masalah pada masa yang akan datang.

12
Kaidah kaidah bioetik merupakah sebuah hukum mutlak bagi seorang dokter.
Seorang dokter wajib mengamalkan prinsip prinsip yang ada dalam kaidah
tersebut, tetapi pada beberapa kasus, karena kondisi berbeda, satu prinsip menjadi
lebih penting dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain.
Kondisi seperti ini disebut Prima Facie. Konsil Kedokteran Indonesia, dengan
mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik
kedokteran Indonesia mengacu kepada kepada 4 kaidah dasar moral yang sering
juga disebut kaidah dasar etika kedokteran atau bioetika, yaitu:

Beneficence

Non - Maleficence

Justice

Autonomi

1. Beneficence
Dalam arti prinsip bahwa seorang dokter berbuat baik, menghormati
martabat manusia, dokter tersebut juga harus mengusahakan agar
pasiennya dirawat dalam keadaan kesehatan. Dalam suatu prinsip ini
dikatakan bahwa perlunya perlakuan yang terbaik bagi pasien.
Beneficence membawa arti menyediakan kemudahan dan kesenangan
kepada pasien mengambil langkah positif untuk memaksimalisasi akibat
baik daripada hal yang buruk. Ciri-ciri prinsip ini, yaitu;
Mengutamakan Alturisme
Memandang pasien atau keluarga bukanlah suatu tindakan tidak
hanya menguntungkan seorang dokter
Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak
dibandingkan dengan suatu keburukannya
Menjamin kehidupan baik-minimal manusia
Memaksimalisasi hak-hak pasien secara keseluruhan
Menerapkan Golden Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik
seperti yang orang lain inginkan
Memberi suatu resep

Kriteria Beneficence

a. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban


untuk kepentingan orang lain.
b. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
c. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya
menguntungkan dokter
d. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan
keburukannya

13
e. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang
f. Menjamin kehidupan baik minimal manusia
g. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien)
h. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
i. Minimalisasi akibat buruk
j. Kewajiban menolong pasien gawat darurat
k. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
l. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran
m. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
n. Mengembangkan profesi secara terus menerus
o. Memberikan obat berkhasiat namun murah
p. Menerapkan golden rule principle
2. Non Malaficence
Non-malficence adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak
melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan
yang paling kecil resikonya bagi pasien sendiri. Pernyataan kuno Fist, do
no harm, tetap berlaku dan harus diikuti. Non-malficence mempunyai ciri-
ciri:
Menolong pasien emergensi
Mengobati pasien yang luka
Tidak membunuh pasien
Tidak memandang pasien sebagai objek
Melindungi pasien dari serangan
Manfaat pasien lebih banyak daripada kerugian dokter
Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
Tidak melakukan White Collar Crime
Kriteria Non Malaficence
a. Menolong pasien emergensi :
Dengan gambaran sbb :
pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko
kehilangan sesuatu yang penting (gawat)
dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut
tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
manfaat bagi pasien > kerugian dokter
b. Mengobati pasien yang luka
c. Tidak membunuh pasien ( euthanasia )
d. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien
e. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
f. Mengobati secara proporsional
g. Mencegah pasien dari bahaya
h. Menghindari misrepresentasi dari pasien
i. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
j. Memberikan semangat hidup
k. Melindungi pasien dari serangan
l. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
3. Justice

14
Keadilan (Justice) adalah suatu prinsip dimana seorang dokter
memperlakukan sama rata dan adil terhadap untuk kebahagiaan dan
kenyamanan pasien tersebut. Perbedaan tingkat ekonomi, pandangan
politik, agama, kebangsaan, perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan, dan
kewarganegaraan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya.
Justice mempunyai ciri-ciri :
Memberlakukan segala sesuatu secara universal
Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia
lakukan
Menghargai hak sehat pasien
Menghargai hak hukum pasien

Kriteria Justice

a. Memberlakukan sesuatu secara universal


b. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
c. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang
sama
d. Menghargai hak sehat pasien
e. Menghargai hak hukum pasien
f. Menghargai hak orang lain
g. Menjaga kelompok yang rentan
h. Tidak melakukan penyalahgunaan
i. Bijak dalam makro alokasi
j. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien
4. Autonomy
Dalam prinsip ini seorang dokter menghormati martabat manusia. Setiap
individu harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak
menentukan nasib diri sendiri. Dalam hal ini pasien diberi hak untuk
berfikir secara logis dan membuat keputusan sendiri. Autonomy
bermaksud menghendaki, menyetujui, membenarkan, membela, dan
membiarkan pasien demi dirinya sendiri. Autonomy mempunyai ciri-ciri:
Menghargai hak menentukan nasib sendiri
Berterus terang menghargai privasi
Menjaga rahasia pasien
Melaksanakan Informed Consent

Kriteria Autonomy

a. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat


pasien
b. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (kondisi
elektif)
c. Berterus terang
d. Menghargai privasi
e. Menjaga rahasia pasien

15
f. Menghargai rasionalitas pasien
g. Melaksanakan informed consent
h. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan
sendiri
i. Tidak mengintervensi atau menghalangi otonomi pasien
j. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil
keputusan termasuk keluarga
k. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non
emergensi
l. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien
m. Menjaga hubungan (kontrak)

LI.4 Memahami dan menjelaskan pandangan islam terhadap euthanasia


QATL AR-RAHMAH ATAU TAISIR AL-MAUT (EUTANASIA)

Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam


mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan
anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan
seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243).

Al-Hajj:66

Dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu,
kemudian menghidupkan kamu (lagi), Sesungguhnya manusia itu, benar-benar
sangat mengingkari nikmat.

Al-Baqarah: 243

16
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung
halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; Maka
Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan
mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi
kebanyakan manusia tidak bersyukur.
Euthanasia dalam hubungannya dengan jarimah mati.
Yang menjadi unsur-unsur jarimah itu secara umum adalah :
1. Nash yang melarang perbuatan itu dan memberikan ancaman hukuman
terhadapnya. Ini disebut sebagai unsur formal (rukun syari).
2. Tindakan yang membentuk suatu perbuatan jarimah, baik perbuatan
nyata maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini disebut unsur material
(rukun maddi).
3. Pelaku yang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung-
jawaban terhadap jarimah yang dilakukannya. Ini disebut unsur moral
(rukun abadi).
Dari segi nash Islam memang secara tegas melarang pembunuhan. Aspek
tindakan sebagai unsur kedua sudah jelas ada. Karena biasanya upaya untuk
mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan
pelemah fungsi saraf dalam dosis tertentu (neurasthenia).
Sebagai pertimbangan, menjadi keharusan bagi dokter adalah menjaga
keadaan pasien untuk tetap hidup dengan memberikan animasi obat penenang atau
menjaga pasien dengan pendingin atau metode-metode artifisial lainnya. Dokter
tidak boleh melakukan sesuatu yang positif membunuh pasiennya.
Dalil yang bersumberkan hadis yang terkait dengan usaha pengobatan atau
penyembuhkan adalah sabda Nabi saw :

Berobatlah wahai hamba Allah, karena sesungguhnkan Allah tidak tidak


membuat penyakit melainkan Allah (juga) mencipta-kan penawarnya, kecuali satu
penyakit. Lalu ditanyakan, apa penyakit itu, wahai Rasulullah ? jawab beliau,
ketuaan
Terjadinya euthanasia aktif tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan
berikut :
1. Dari pihak pasien, yang meminta kepada dokter karena merasa tidak tahan lagi
menderita sakit karena penyakit yang dideritanya terlalu gawat dan sudah lama.
Pasien juga mempertimbangkan masalah ekonomi. Atau pasien sudah tahu bahwa
ajalnya sudah dekat, harapan untuk sembuh terlalu jauh, maka supaya matinya
tidak merasa sakit, dia meminta jalan yang lebih nyaman yaitu melalui
euthanasia.
2. Dari pihak keluarga/wali, yang merasa kasihan atas penderitaan pasien.
3. Kemungkinan lain bisa terjadi, bahwa pihak keluarga bekerjasama dengan
dokter untuk mempercepat kematian pasien.
Masalahnya adalah sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa seseorang
bisa/boleh dihabisi. Untuk ini Allah telah menggariskannya melalui firman-Nya
dalam surat Al-Isra ayat 33 (juga Al-Anam : 151).

17
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan Barangsiapa dibunuh secara
zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya,
tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya
ia adalah orang yang mendapat pertolongan.

An-Nisa: 29

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu;
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Banyak
ayat Al-Quran maupun hadist Nabi yang mengharuskan untuk menghormati dan
memelihara jiwa manusia (hifz al-Nafs), sehingga seseorang tidak diperbolehkan
untuk menghilangkan nyawa tanpa alasan syar i yang kuat. Allah berfirman
dalam Al-Quran surat Al-Maidah : 32

yang artinya bahwa siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah

18
memelihara kehidupan manusia semuanya. Oleh karena itu, bunuh diri
diharamkan dalam hukum Islam.
Pengertian qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia) ialah tindakan
memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena
kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan
cara positif maupun negatif.
a. Euthanasia positif/aktif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif/ aktif) ialah
tindakan memudahkan kematian si sakit --karena kasih sayang-- yang dilakukan
oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).
Larangan euthanasia karena beberapa alasan :
- Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah SWT
- yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.
- Islam melarang bunuh diri dan membunuh orang lain
(Al-Anam:151 dan An-Nisa:29)
- Allah telah menciptakan penyakit dengan obatnya kecuali satu yaitu
menjadi tua (HR Tirmidzi)
- Sanksi azab bagi pelaku tindak bunuh diri
- Sanksi di dunia/ qishas/ hukum pidana
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam
kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad), walaupun niatnya baik yaitu
untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas
permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang
mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun
membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk


membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-Anaam :
151)

19
Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja) (QS An-Nisaa` : 92)

Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha


Penyayang kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29).

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter


melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah)
dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan
suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash
(hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam, sesuai firman Allah:

Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang


dibunuh. (QS Al-Baqarah : 17)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash
(dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai
dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Firman Allah SWT : Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan

20
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). (QS Al-Baqarah : 17)
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan
yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan
kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik
itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak
mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya,
yaitu pengampunan dosa.
Rasulullah SAW bersabda,Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim
suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit,
bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau
dosanya dengan musibah yang menimpanya itu. (HR Bukhari dan Muslim).

b. Euthanasia negatif/ pasif


Hal ini berbeda dengan eutanasia negatif/ pasif (taisir al- maut al-
munfa'il) Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-
langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan
tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya.
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam
praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan
keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan
tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter
menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan
alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita
tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib,
mandub,mubah, atau makruh. Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat.
Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah),
tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti
kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:6) hukum berobat adalah mandub.
Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi
SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah
(indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan
yag tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW
bersabda :
Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia
ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian! (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk
berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna
adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini
sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan. (An-
Nabhani, 1953)

21
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat.
Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat
wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan
bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa
seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu
berkata,Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap
auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku! Nabi
SAW berkata,Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika
tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.
Perempuan itu berkata,Baiklah aku akan bersabar, lalu dia berkata
lagi,Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka
berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap. Maka Nabi SAW lalu
berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini
digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka
hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah
perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah
sunnah (mandub), bukan wajib.
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah
menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak
menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan
sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah
termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian
otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan
bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap
tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini
pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu
kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya
sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan
dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien setelah matinya/rusaknya organ
otakhukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut
alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa
dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu. Namun untuk
bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya,
atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan
mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib
diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri).
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib
apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak
ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat
yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya yaitu para doktermaka
tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan
dengan cara meminum obat, suntikan, diberimakan glukose dan
sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai
dengan penemuan ilmu kedokteran modern dalam waktu yang cukup lama,

22
tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan
pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin
kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian (taisir al-maut) kalau boleh
diistilahkan demikian semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli dengan
istilah qatl ar-rahmah (membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasus ini
tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan
sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi.
Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara' bila keluarga
penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk
meringankan si sakit dan keluarganya.

ANALISA TERHADAP SKENARIO

Analisa yang diberikan meliputi :


1. Menyebutkan dan menjelaskan apa yang dimaksud dengan euthanasia baik
dari definisi, jenis, maupun pandangan di beberapa negara.
2. Menyebutkan dan menjelaskan hukum yang mengatur tentang euthanasia.
3. Menyebutkan dan menjelaskan euthanasia berdasarkan KODEKI dan kaidah
dasar bioetik.
4. Menyebutkan dan menjelaskan pandangan islam terhadap euthanasia.

23
KESIMPULAN

Pandangan Islam UU (Undang-Undang)


KODEKI

Dokter EUTHANASIA Pasien

24
DAFTAR PUSTAKA

Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-Uqubat. Beirut : Darul Ummah.

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds


Mansyurat Hizb Al-Tahrir.

Amir, Amri. (1995). Bunga Rampai Hukum Kesehatan. Medan: Fakultas


Kedokteran USU.

Bertens K. (2001). Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual.


Yogyakarta: Kanisius.

Hanafiah, M. Jusuf, Amri Amir. (1999). Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan.
Jakarta: EGC.

Hartono, Budiman., Salim Darminto. 2011. Modul Blok 1 Who Am I? Bioetika,


Humaiora dan Profesoinalisme dalam Profesi Dokter. Jakarta: UKRIDA.

25
Hasan, M.Ali. (1995). Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

http://www.dikti.go.id/files/atur/sehat/Kode-Etik-Kedokteran.pdf
La Jamaa. Euthanasia Killing Menurut Tinjauan Hukum Islam. Jurnal JABAL
HIKMAH, STAIN AL-FATAH JAYAPURA. No.2, Vol.1 Januari-Juni 2008.

Robertson, John. 1977. Involuntary euthanasia of defective newborns: a legal


analysis. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall.
Washington: University Publications of America. Original edition, Stanford Law
Review 27 (1975) 213-269.
Utomo, Setiawan Budi. (2003). Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.

Van Hoeve. (1987). Ensiklopedi Indonesia. Vol.2:978. Jakarta: Ikhtiar Baru.

Zallum, Abdul Qadim. (1998). Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan


Islam: Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan
Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.

26

Anda mungkin juga menyukai