Anda di halaman 1dari 45

BAB II

Respiratory Distress Syndrome, BBLR, Neonatorum Hiperbilirubinemia, Suspek


Meningitis Serosa, Sepsis Dini

A Respiratory Distress Syndrome


Definisi
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD)
merupakan sindrom gawat nafas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang
lahir dengan masa gestasi <34 minggu atau berat lahir <1500 gram. Faktor predisposisi lain
adalah kelahiran dengan operasi sesar dan ibu dengan diabetes.
Faktor resiko
1

Bayi kurang bulan. Pada bayi kurang bulan, paru bayi secara biokimiawi masih imatur

karena kekurangan surfaktan yang melapisi rongga paru.


Kegawatan neonatal seperti aspirasi meconium, pneumotoraks karena tindakan resusitasi

3
4

dan hipertensi pulmonal.


Bayi dari ibu diabetes mellitus akan mengalami keterlambatan pematangan paru.
Bayi lahir dengan operasi sesar dapat mengakibatkan terlambatnya absorpsi cairan paru

5
6

(Transient Tachypnea of Newborn).


Bayi lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini.
Bayi dengan kulit berwarna seperti meconium.

Patofisiologi
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli
masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax
masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps
pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi
paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan
menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi
yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90%
fosfolipid dan 10% protein, lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan
menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru tampak tidak berisi
udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan

pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari
rongga udara bagian distal menyebabkan edem interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga
menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli
menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif
dengan barotrauma atau volutrauma dan toksisitas oksigen, menyebabkan kerusakan pada
endothelial dan epithelial sel jalan napas bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks
fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu
setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36-72
jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan
mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering
berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).
Gejala klinis
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan
selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi
surfaktan. Gejala klinis yang timbul yaitu, adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah
lahir, yang ditandai dengan:
- takipnea (> 60 x/menit),
- pernapasan cuping hidung,
- grunting,
- retraksi dinding dada, dan
- sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir.
Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
Stadium 1. Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara,
Stadium 2. Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran
airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan
jantung dengan penurunan aerasi paru.
Stadium 3. Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat
lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas.
Stadium 4. Seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat dilihat.
Gejala klinis yang progresif dari RDS adalah:
a. Takipnea diatas 60x/menit

b. Grunting ekspiratoar
c. Subcostal dan interkostal retraksi
d. Cyanosis
e. Nasal flaring
Pada bayi extremely premature (berat badan lahir sangat rendah) mungkin dapat berlanjut apnea,
dan atau hipotermi. Pada RDS yang tanpa komplikasi maka surfaktan akan tampak kembali
dalam paru pada umur 36-48 jam. Gejala dapat memburuk secara bertahap pada 24-36 jam
pertama. Selanjutnya bila kondisi stabil dalam 24 jam maka akan membaik dalam 60-72 jam.
Dan sembuh pada akhir minggu pertama. Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan
menggunakan skor Silverman-Anderson dan skor Downes. Skor Silverman-Anderson lebih
sesuai digunakan untuk bayi prematur yang menderita hyaline membrane disease (HMD),
sedangkan skor Downes
merupakan sistem skoring yang lebih komprehensif dan dapat digunakan pada semua usia
kehamilan. Penilaian dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan tiap setengah jam untuk
menilai progresivitasnya.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
- Gejala klinis yang ada
- Hasil pemeriksaan fisik
- Hasil analisa gas darah
- Rontgen dada yang abnormal
Tes Kematangan Paru
Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru janin adalah Tes Kematangan
Paru yang biasanya dilakukan pada bayi prematur yang mengancam jiwa untuk mencegah
terjadinya Neonatal Respiratory Distress Syndrome (RDS). Tes tersebut diklasifikasikan sebagai
tes biokimia dan biofisika.
Tes Biokimia (Lesithin - Sfingomyelin rasio)
Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan
amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolak ukur kematangan paru, dengan
cara menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan amnion.

Tes ini pertama kali diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun 1971, merupakan salah satu test
yang sering digunakan dan sebagai standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain. Rasio
Lesithin dibandingkan Sfingomyelin ditentukan dengan thinlayer chromatography (TLC). Cairan
amnion disentrifus dan dipisahkan dengan pelarut organik, ditentukan dengan chromatography
dua dimensi; titik lipid dapat dilihat dengan ditambahkan asam sulfur atau kontak dengan uap
iodine. Kemudian dihitung rasio lesithin dibandingkan sfingomyelin dengan menentukan fosfor
organic dari lesithin dan sfingomyelin.
Sfingomyelin merupakan suatu membran lipid yang secara relatif merupakan komponen
non spesifik dari cairan amnion. Gluck dkk menemukan bahwa L/S untuk kehamilan normal
adalah < 0,5 pada saat gestasi 20 minggu dan meningkat secara bertahap pada level 1 pada usia
gestasi 32 minggu. Rasio L/S = 2 dicapai pada usia gestasi 35 minggu dan secara empiris
disebutkan bahwa Neonatal RDS sangat tidak mungkin terjadi bila rasio L/S > 2.
Adanya mekonium dapat mempengaruhi hasil interpretasi dari tes ini. Pada studi yang
dilakukan telah menemukan bahwa mekonium tidak mengandung lesithin atau sfingomyelin,
tetapi mengandung suatu bahan yang tak teridentifikasi yang susunannya mirip lesithin, sehingga
hasil rasio L/S meningkat palsu.
Test Biofisika :
Shake test diperkenalkan pertamakali oleh Clement pada tahun 1972. Test ini bardasarkan
sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat dan menjaga agar gelembung tetap stabil .
Dengan mengocok cairan amnion yang dicampur ethanol akan terjadi hambatan pembentukan
gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion seperti protein, garam empedu dan asam
lemak bebas. Pengenceran secara serial dari 1 ml cairan amnion dalam saline dengan 1 ml
ethanol 95% dan dikocok dengan keras. Bila didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran
lebih dari 2 kali (cairan amnion: ethanol) merupakan indikasi maturitas paru janin. Pada
kehamilan normal, mempunyai nilai prediksi positip yang tepat dengan resiko yang kecil untuk
terjadinya neonatal RDS.
Analisis Gas Darah
Gas darah menunjukkan asidosis metabolic dan respiratorik bersamaan dengan hipoksia,
Asidosis muncul karena atelektasis alveolus dan/atau overdistensi jalan napas terminal. Asidosis
metabolik merupakan asidosis laktat primer, yang merupakan akibat dari perfusi jaringan yang
jelek dan metabolism anaerob.

Radiografi Thoraks
Radiografi thorak pada bayi dengan RDS:
Bentuk toraks yang sempit disebabkan hipoaerasi dan volume paru berkurang
Gambaran ground-glass, retikulogranuler menyeluruh serta perluasan ke perifer
Gambaran udara bronkus (--air bronchogram).
Gambaran granularitas, yaitu distensi duktus dan bronkiolus yang terisi udara dengan
alveoli yang mengalami atelektasis.
Klasifikasi beratnya PMH pada dibagi atas 4 derajat yaitu:
1. Derajat I: bercak retikulogranuler dengan air brochogram
2. Derajat II: bercak retikulogranular menyeluruh dengan --air bronchogram
3. Derajat III: opasitas lebih jelas, dengan air bronchogram lebih jelas meluas ke cabang di
perifer; gambaran jantung menjadi kabur
4. Derajat IV: seluruh lapangan paru terlihat putih (opak), Tidak tampak air bronchogram,
jantung tak terlihat, disebut juga white lung
Bayangan jantung bisa normal atau membesar. Kardiomegali mungkin dihasilkan oleh
asfiksi prenatal, diabetes maternal, patent ductus arteriosus (PDA), kemungkinan kelainan
jantung bawaan. Temuan ini mungkin berubah dengan terapi surfaktan dini dan ventilasi
mekanik yang adekuat.
Tatalaksana
Terapi respiratory distress syndrome ditujukan untuk mencegah komplikasi dan
memburuknya keadaan yang terjadi akibat penyakit paru-paru pada neonatus, seperti hipoksemia
dan asidemia, sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung.
Penatalaksanaan Non Respiratorik
Monitoring temperatur merupakan hal yang penting dalam perawatan neonatus yang
mengalami distress pernafasan. Keadaan hipo maupun hipertermi harus dihindari. Temperatur
bayi harus dijaga dalam rentang 36,537,5oC.
Enteral feeding harus dihindari pada neonatus yang mengalami distress nafas yang berat,
dan cairan intravena dapat segera diberikan, untuk mencegah keadaan hipoglikemia.
Keseimbangan cairan, elektrolit dan glukosa harus diperhatikan. Pemberian cairan biasanya
dimulai dengan jumlah yang minimum, mulai dari 60 ml/kgBB/hari dengan Dekstrose 10% atau
dari kebutuhan cairan harian. Kalsium glukonas dengan dosis 6-8 ml/kgBB/hari dapat

ditambahkan pada infus cairan yang diberikan. Pemberian nutrisi parenteral dapat dimulai sejak
hari pertama. Pemberian protein dapat dimulai dari 3,5 g/kgBB/hari dan lipid mulai dari 3
g/kgBB/hari.
Gejala dan hasil pemeriksaan radiologis pada bayi yang mengalami distress nafas sering
tidak spesifik sehingga penyebab lain terjadinya distress nafas seperti sepsis perlu
dipertimbangkan, dan pemberian antibiotik spektrum luas sedini mungkin harus dimulai sampai
hasil kultur terbukti negatif. Pemilihan antibiotik inisial yang dianjurkan adalah ampicillin dan
gentamicin.
Penatalaksanaan Respiratorik
Penanganan awal adalah dengan membersihkan jalan nafas, jalan nafas dibersihkan dari
lendir atau sekret yang dapat menghalangi jalan nafas selama diperlukan, serta memastikan
pernafasan dan sirkulasi yang adekuat. Monitoring saturasi oksigen dapat dilakukan dengan
menggunakan pulse oxymetri secara kontinyu untuk memutuskan kapan memulai intubasi dan
ventilasi. Semua bayi yang mengalami distress nafas dengan atau tanpa sianosis harus
mendapatkan tambahan oksigen. Oksigen yang diberikan sebaiknya oksigen lembab dan telah
dihangatkan.
Tabel 1. Panduan untuk monitoring saturasi oksigen dengan pulse oxymetri

Tujuan utama dalam penatalaksanaan gagal nafas adalah menjamin kecukupan pertukaran
gas dan sirkulasi darah dengan komplikasi yang seminimal mungkin. Hal ini dapat dicapai
dengan menangani dan mengatasi etiologi gagal nafas. Indikasi untuk memulai ventilasi mekanis
pada pasien yang mengalami gagal nafas biasanya didasari atas menetap atau memburuknya
keadan klinis akibat proses pertukaran gas di paru-paru yang terganggu.
Penatalaksanaan di ruang NICU
Penatalaksanaan gagal nafas pada neonatus di ruang perawatan intensif neonatus (NICU)
saat ini telah mengalami perkembangan. Penggunaan surfaktan, high frequency ventilator,
inhaled nitric oxide (iNO), telah banyak dilakukan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi gagal nafas pada neonatus (misalnya
dengan pemberian nitrat oksida, extracorporeal membrane oxygenation), 25-30% penderita yang

berhasil bertahan hidup mengalami gangguan kognitif, 6-13% mengalami cerebral palsy, 6-30%
mengalami gangguan pendengaran, dan pada usia sekolah banyak yang mengalami gangguan
perhatian, pendengaran, disfungsi neuromotorik dan perilaku.
Ventilasi Mekanis
Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan berbagai efek pada
sistem kardiopulmonal. Tujuan ventilasi mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien dan
optimalisasi pertukaran gas dan pada FiO2 (fractional concentration of inspired oxygen) yang
minimal, serta tekanan ventilator/volume tidal yang minimal. Derajat distress pernafasan, derajat
abnormalitas gas darah, riwayat penyakit paru-paru, dan derajat instabilitas kardiopulmonal serta
keadaan fisiologis penderita harus ikut dipertimbangkan dalam memutuskan untuk memulai
penggunaan ventilator mekanik. Berbagai mode ventilasi mekanik dapat ditentukan oleh
parameter yang diatur oleh klinisi untuk menentukan karakteristik pernafasan mekanis yang
diinginkan.
Indikasi absolut penggunaan ventilasi mekanis antara lain:
1
2

prolonged apnea,
PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang bukan disebabkan oleh penyakit

3
4

jantung bawaan tipe sianotik,


PaCO2 lebih dari 60 mmHg dengan asidemia persisten, dan
bayi yang menggunakan anestesi umum

Sedangkan indikasi relatif untuk penggunaan ventilasi mekanis antara lain:


1
2
3

frequent intermittent apnea,


bayi yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan nafas,
dan pada pemberian surfaktan.

Surfaktan
Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi lahir apabila bayi mengalami
respiratory distress syndrome yang berat. Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya
4-6 jam) setelah dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan tambahan oksigen 30%
atau lebih.

Tabel 2. Dosis surfaktan yang direkomendasikan untuk terapi.

Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan menggunakan nebulizer.
Pemberian langsung kedalam selang ETT memungkinkan distribusi surfaktan yang lebih cepat
sampai ke bagian perifer paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping yang dapat
ditimbulkan lebih sedikit. Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan menggunakan
nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit), dilanjutkan dengan postural drainage,
tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian surfaktan dengan cara ini kurang efektif
karena volume surfaktan yang sampai kedalam paru-paru lebih sedikit.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pemberian surfaktan antara lain, bradikardi,
hipoksemia, hipo atau hiperkarbia, dan apnea. Bradikardi, hipoksemia dan sumbatan pada
endotracheal tube (ETT) dapat terjadi pada saat pemberian surfaktan dilakukan. Perubahan
perfusi serebral dapat terjadi pada bayi yang sangat prematur akibat redistribusi yang mendadak
dari aliran darah paru kedalam sirkulasi otak. Seluruh efek samping tersebut dapat diatasi dengan
menghentikan pemberian surfaktan dan meningkatkan aliran oksigen dan ventilasi.
High Frequency Ventilation
High frequency ventilation (HFV) adalah bentuk ventilasi mekanik yang menggunakan
volume tidal yang kecil, dan laju ventilator yang cepat. Keuntungan HFV adalah dapat
memberikan gas yang adekuat dengan tekanan pada jalan nafas yang lebih rendah sehingga
mengurangi kejadian barotrauma.
High frequency ventilation menggunakan konsep untuk mengurangi trauma volume dan
atelektaruma, yang akan mengurangi PaCO2 dengan resiko barotrauma yang kecil pada paruparu. HFV telah digunakan pada bayi dengan respiratory distress syndrome (RDS) yang
memerlukan bantuan nafas lebih lanjut. HVF mengurangi kejadian barotrauma pada bayi dengan
berat badan rendah. Pada saat ini penggunaan HFV lebih direkomendasikan karena komplikasi
yang lebih sedikit.

Penggunaan klinis HFV lebih menguntungkan dibandingkan ventilator biasa. Pada


beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien RDS yang menggunakan ventilator HFV
memperlihatkan penurunan kejadian lung injuries. Penggunaan HFV ini dapat menyediakan
ventilasi yang adekuat dengan airway pressure (tekanan jalan nafas) yang rendah, sehingga
penggunaannya dapat dipertimbangkan pada pneumotoraks, hipoplasia paru, sindroma aspirasi
mekonium, pneumonia dengan atelektasis.
Inhaled Nitric Oxide
Pengunaan Inhaled nitric oxide (iNO) berdasar kepada kemampuannya sebagai
vasodilator di paru-paru tanpa menurunkan tonus vaskuler paru. Penggunaan iNO
dipertimbangkan karena memiliki kemampuan selektif menurunkan pulmonary vascular
resistance (PVR).
Nitrat oksida disintesis pada saluran napas atas dan bawah. Nitrat oksida merupakan
salah satu substansi fisiologis yang dilepaskan endotel untuk memelihara tekanan darah dalam
batas normal. Nitrat oksida akan berdifusi dari lapisan endotel ke dalam otot polos pembuluh
darah dimana akan mengaktifkan guanil siklase, dan mengkatalisir formasi dari cGMP, cGMP
kemudian akan mengfosforilasi beberapa protein melalui protein kinase dependent cGMP, yang
secara tidak langsung akan menyebabkan defosforilasi miosin dan menyebabkan relaksasi otot
polos.
Sirkulasi paru janin cenderung mempunyai resistensi yang tinggi. Nitrat oksida endogen
secara fisiologis penting untuk mengatur tonus vaskuler paru janin. Nitrat oksida menyebabkan
angiogenesis, pembentukan alveolar dan pertumbuhan paru normal.
Terapi iNo pada bayi baru lahir telah diteliti pada bayi preterm dan aterm. Nitrat oksida
eksogen yang dihantarkan melalui ventilator akan menyebabkan vasodilatasi paru. Terapi iNO
memperbaiki oksigenisasi tanpa efek samping jangka pendek seperti perdarahan paru,
perdarahan intrakranial, pnumotoraks pada bayi prematur dengan gagal napas.
Prognosis
Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi:
1. Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak, pneumomediastinum,
pneumopericardium, emfisema intersisiel), pada bayi dengan RDS yang tiba2 memburuk dengan
gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.

2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya
perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv
seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular: perdarahan intraventrikuler terjadi
pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi
mekanik.
4. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi dengan RDS
terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan yang tinggi
dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju ke otak dan organ lain.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan
pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan
tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik,
adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya
masa gestasi.
2. Retinopathy premature. Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.

B BBLR
Definisi
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang berat badan lahirnya pada saat
kelahiran kurang dari 2500 gram. dulu bayi baru lahir yang berat badannya kurang atau sama
dengan 2500 gram (2500 gram) disebut bayi prematur. Tetapi ternyata morbiditas dan
mortalitas neonatus tidak hanya bergantung pada berat badannya, tetapi juga pada maturitas bayi
itu.
Untuk mendapat keseragaman, pada kongres European Perinatal Medicine II di London
(1970) telah diusulkan defenisi berikut :
-

Bayi kurang bulan adalah bayi dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu.

Bayi cukup bulan adalah bayi dengan masa kehamilan mulai dari 37 minggu sampai 42
minggu.

Bayi lebih bulan adalah bayi dengan masa kehamilan mulai 42 minggu atau lebih.

Dengan pengertian seperti yang telah diterangkan diatas, bayi BBLR dapat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu :
1. Prematuritas murni
Masa gestasinya <37 minggu dan berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa
gestasi itu atau biasa disebut bayi kurang bulan-sesuai masa kehamilan (BKB-SMK).
2. Dismaturitas
Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa gestasi itu.
Berarti bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauterine dan merupakan bayi yang kecil
untuk masa kehamilan (KMK).
Etiologi
A. Prematuritas murni
1. Faktor ibu
a. Penyakit
Penyakit yang berhubungan langsung dengan kehamilan misalnya toksemia gravidarum,
perdarahan antepartum, trauma fisis dan psikologis. Penyebab lainnya adalah diabetes
mellitus, penyakit jantung, bacterial vaginosis, chorioamnionitis atau tindakan operatif
dapat merupakan faktor etiologi prematuritas.
b. Usia
Angka kejadian prematuritas tertinggi adalah pada usia dibawah 20 tahun dan pada multi
gravida yang jarak antar kelahirannya terlalu dekat. Pada ibu-ibu yang sebelumnya telah
melahirkan lebih dari 4 anak juga sering ditemukan. Kejadian terendah adalah pada usia
antara 26-35 tahun.
c. Keadaan sosial ekonomi
Kejadian tertinggi pada golongan sosial ekonomi yang rendah. Hal ini disebabkan oleh
keadaan gizi yang kurang baik dan pengawasan antenatal yang kurang.

2.

Faktor janin
Hidramnion,

gawat

janin,

kehamilan

ganda,

eritroblastosis

umumnya

akan

mengakibatkan BBLR.

B. Dismaturitas
Penyebab dismaturitas adalah setiap keadaan yang menganggu pertukaran zat antara ibu dan
janin (gangguan suplai makanan pada janin). Dismaturitas dihubungkan dengan keadaan
medik yang menggangu sirkulasi dan insuffisiensi plasenta, pertumbuhan dan perkembangan
janin, atau kesehatan umum dan nutrisi ibu.
Patogenesis
Bayi lahir prematur yang BBLR-nya sesuai dengan umur kehamilan pretermnya biasanya
dihubungkan dengan keadaan medis dimana terdapat ketidakmampuan uterus untuk
mempertahankan janin (incompetent cervix/premature dilatation), gangguan pada perjalanan
kehamilan, pelepasan plasenta, atau rangsangan tidak pasti yang menimbulkan kontraksi efektif
pada uterus sebelum kehamilan mencapai umur cukup bulan.
Dismaturitas dihubungkan dengan keadaan medik yang menggangu sirkulasi dan
efisiensi plasenta, pertumbuhan dan perkembangan janin, atau kesehatan umum dan nutrisi ibu.
Dismaturitas mungkin merupakan respon janin normal terhadap kehilangan nutrisi atau oksigen.
Sehingga masalahnya bukan pada dismaturitasnya, tetapi agaknya pada resiko malnutrisi dan
hipoksia yang terus menerus. Serupa halnya dengan beberapa kelahiran preterm yang
menandakan perlunya persalinan cepat karena lingkungan intrauteri berpotensi merugikan.
Gejala Klinik
A. Prematuritas murni
Berat badan kurang dari 2500 gram, panjang badan kurang atau sama dengan 45 cm,
lingkaran dada kurang dari 30 cm, lingkaran kepala kurang dari 33 cm, masa gestasi kurang dari
37 minggu. Kepala relatif besar dari badannya, kulitnya tipis, transparan, lanugo banyak, lemak
subkutan kurang. Ossifikasi tengkorak sedikit, ubun-ubun dan sutura lebar, genitalia imatur.

Desensus testikulorum biasanya belum sempurna dan labia minora belum tertutup oleh labia
mayora. Rambut biasanya tipis dan halus. Tulang rawan dan daun telinga belum cukup, sehingga
elastisitas daun telinga masih kurang. Jaringan mamma belum sempurna, puting susu belum
terbentuk dengan baik. Bayi kecil, posisinya masih posisi fetal, yaitu posisi dekubitus lateral,
pergerakannya kurang dan masih lemah. Bayi lebih banyak tidur daripada bangun. Tangisnya
lemah, pernapasan belum teratur dan sering terdapat serangan apnoe. Otot masih hipotonik,
sehingga kedua tungkai selalu dalam keadaan abduksi, sendi lutut dan sendi kaki dalam fleksi
dan kepala menghadap ke satu jurusan.
Refleks moro dapat positif. Refleks mengisap dan menelan belum sempurna, begitu juga
refleks batuk. Kalau bayi lapar, biasanya menangis, gelisah, aktivitas bertambah. Bila dalam
waktu tiga hari tanda kelaparan ini tidak ada, kemungkinan besar bayi menderita infeksi atau
perdarahan intrakranial. Seringkali terdapat edema pada anggota gerak, yang menjadi lebih nyata
sesudah 24-48 jam. Kulitnya tampak mengkilat dan licin serta terdapat pitting edema. Edema
ini seringkali berhubungan dengan perdarahan antepartum, diabetes mellitus, dan toksemia
gravidarum.
Frekuensi pernapasan bervariasi terutama pada hari-hari pertama. Bila frekuensi
pernapasan terus meningkat atau selalu diatas 60x/menit, harus waspada kemungkinan terjadinya
penyakit membran hialin, pneumonia, gangguan metabolik atau gangguan susunan saraf pusat.
Dalam hal ini, harus dicari penyebabnya, misalnya dengan melakukan pemeriksaan radiologis
toraks.
B. Dismaturitas
Dismaturis dapat terjadi preterm, term, dan postterm. Pada preterm akan terlihat gejala
fisis bayi prematur murni ditambah dengan gejala dismaturitas. Dalam hal ini berat badan kurang
dari 2500 gram, karakteristik fisis sama dengan bayi prematur dan mungkin ditambah dengan
retardasi pertumbuhan dan wasting. Pada bayi cukup bulan dengan dismaturitas, gejala yang
menonjol adalah wasting, demikian pula pada post term dengan dismaturitas.
Bayi dismatur dengan tanda wasting tersebut, yaitu :
1. Stadium pertama

Bayi tampak kurus dan relatif lebih panjang, kulitnya longgar, kering seperti perkamen,
tetapi belum terdapat noda mekonium.
2. Stadium kedua
Didapatkan tanda stadium pertama ditambah dengan warna kehijauan pada kulit, plasenta,
dan umbilikus. Hal ini disebabkan oleh mekonium yang tercampur dalam amnion yang
kemudian mengendap ke dalam kulit, umbilikus, dan plasenta sebagai akibat anoksia
intrauterin.
3. Stadium ketiga
Ditemukan tand stadium kedua ditambah dengan kulit yang berwarna kuning, demikian pula
kuku dan tali pusat. Ditemukan juga tanda anoksia intrauterin yang sudah berlangsung lama.
Diagnosis
Bayi berat lahir rendah didiagnosis bila termasuk dalam golongan :
1. Prematuritas murni
Masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badannnya sesuai dengan berat badan
untuk masa gestasi itu atau biasa disebut Bayi Kurang Bulan-Sesuai Masa Kehamilan
(BKB-SMK).
2. Dismaturitas
Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa gestasi itu,
berarti bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin dan merupakan bayi yang Kecil
untuk Masa Kehamilan (KMK).
Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan Prematur Murni
Mengingat belum sempurnanya kerja alat-alat tubuh yang perlu untuk pertumbuhan dan
perkembangan serta penyesuaian diri dengan lingkungan hidup di luar uterus, maka perlu
diperhatikan pengaturan suhu lingkungan, pemberian makanan, dan bila perlu pemberian
oksigen, mencegah infeksi, serta mencegah kekurangan vitamin dan zat besi.
-

Atur suhu

BBLR mudah mengalami hipotermi, oleh karena itu suhu tubuhnya harus dipertahankan
dengan ketat. Bisa dengan membersihkan cairan pada tubuh bayi, kemudian dibungkus.
Atau bisa juga dengan meletakkannya di bawah lampu atau dalam inkubator. Dan bila
listrik tidak ada, bisa dengan metode kangguru, yaitu meletakkan bayi dalam pelukan ibu
(skin to skin).
-

Cegah sianosis
Cara mencegah sianosis dapat dengan cara pemberian oksigen agar saturasi oksigen
dalam tubuh bayi dapat dipertahankan dalam batas normal.

Cegah infeksi
BBLR mudah sekali diserang infeksi. Ini disebabkan oleh karena daya tahan tubuh
terhadap infeksi berkurang, relatif belum sanggup untuk membentuk antibodi dan daya
fagositosis serta reaksi terhadap peradangan belum baik. Oleh karena itu, perlu
diperhatikan prinsip-prinsip pencegahan infeksi, antara lain mencuci tangan sebelum dan
sesudah memegang bayi, membersihkan tempat tidur bayi segera sesudah tidak dipakai
lagi, membersihkan kulit dan tali pusat bayi dengan baik.

Pemberian vitamin K
Dosis 1 mg intra muskular, sekali pemberian. Pemberian vitamin K pada bayi imatur
adalah sama seperti bayi-bayi dengan berat badan dan maturitas yang normal.

Intake harus terjamin


Pada bayi-bayi prematur, refleks isap, telan dan batuk belum sempurna. Kapasitas
lambung masih sedikit, daya enzim pencernaan, terutama lipase masih kurang. Pemberian
minum dimulai pada waktu bayi berumur 3 jam agar bayi tidak menderita hipoglikemia
dan hiperbilirubinemia. Pada umumnya bayi dengan berat lahir 2000 gram atau lebih
dapat menyusu pada ibunya. Bayi dengan berat kurang dari 1500 gram kurang mampu
mengisap air susu ibu atau susu botol, terutama pada hari-hari pertama. Dalam hal ini
bayi diberi minum melalui sonde lambung.

B. Penatalaksanaan bayi dismaturitas


Pada umumnya sama dengan perawatan neonatus umumnya, seperti pengaturan suhu
lingkungan, makanan, mencegah infeksi dan lain-lain. Bayi dismatur biasanya tampak haus

dan harus diberi makanan dini (early feeding). Hal ini sangat penting untuk menghindari
terjadinya hipoglikemia. Kadar gula darah harus diperiksa setiap 8-12 jam. Frekuensi
pernapadan terutama dalam 24 jam pertama harus diawasi untuk mengetahui adanya
sindrom aspirasi mekonium atau sindrom gangguan pernapasan idiopatik. Sebaiknya setiap
jam dihitung frekuensi pernapasan. Bila frekuensi lebih dari 60x/menit, dibuat foto thorax.
Pencegahan terhadap infeksi sangat penting, karena bayi sangat rentan terhadap infeksi,
yaitu karena pemindahan IgG dari ibu ke janin terganggu. Temperatur harus dikelola, jangan
sampai kedinginan karena bayi dismatur lebih mudah menjadi hipotermik, hal ini
disebabkan oleh karena luas permukaan tubuh bayi relatif lebih besar dan jaringan lemak
subkutan kurang.

Komplikasi
Komplikasi prematuritas
1. Sindrom gangguan pernapasan idiopatik
Disebut juga sebagai penyakit membran hialin karena pada stadium akhir akan terbentuk
membran hialin yang akan melapisi paru.
2. Pneumonia aspirasi
Sering ditemukan pada bayi prematur karena refleks menelan dan batuk belum sempurna.
3. Perdarahan intraventrikuler
Perdarahan spontan di ventrikel otak lateral karena anoksia otak. Kelainan ini biasanya
hanya ditemukan pada otopsi.
4. Fibroplasias retrolental
Penyakit ini ditemukan pada bayi prematur yang disebabkan oleh gangguan oksigen yang
berlebihan.
5. Hiperbilirubinemia
Bayi prematur lebih sering mengalami hiprebilirubinemia dibandingkan dengan bayi cukup
bulan. Hal ini disebabkan oleh faktor kematangan hepar yang tidak sempurna sehingga
konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk belum sempurna.

6. Infeksi
Daya tahan tubuh terhadap infeksi berkurang karena rendahnya IgG gamma globulin.
Komplikasi dismaturitas
1. Sindrom aspirasi mekonium
Keadaan hipoksia intrauterin mengakibatkan janin mengadakan gasping dalam uterus.
Selain itu mekonium akan dilepaskan ke dalam likuor amnion, akibatnya cairan yang
mengandung mekonium yang lengket itu masuk ke dalam paru janin karena inhalasi. Pada
saat lahir, bayi akan menderita gangguan pernapasan idiopatik.
2. Hipoglikemia simptomatik
Tertama pada bayi laki-laki. Penyebabnya belum jelas, tetapi mungkin sekali disebabkan
oleh persediaan glikogen yang sangat kurang pada bayi dismaturitas. Diagnosis dapat dibuat
dengan melakukan pemeriksaan kadar gula darah. Bayi BBLR dinyatakan hipoglikemia bila
kadar gula darah yang kurang dari 20 mg%.
3. Asfiksia neonatorum
Bayi dismatur lebih sering menderita asfiksia neonatorum dibandingkan dengan bayi biasa.
4. Penyakit membran hialin
Terutama pada bayi dismatur yang preterm. Hal ini karena surfaktan pada paru belum cukup
sehingga alveoli selalu kolaps
5. Hiperbilirubinemia
Bayi dismatur lebih sering mendapat penyakit ini dibandingkan dengan bayi yang sesuai
dengan masa kehamilannya. Hal ini disebabkan gangguan pertumbuhan hati.
Prognosis
Prognosis BBLR ini tergantung dari berat ringannya masa perinatal, misalnya masa
gestasi (makin muda masa gestasi/makin rendah berat badan, makin tingggi angka kematian),
asfiksia atau iskemia otak, sindroma gangguan pernapasan, perdarahan intraventrikuler,
fibroplasias retrolental, infeksi, gangguan metabolik. Prognosis ini juga tergantung dari keadaan
sosial ekonomi, pendidikan orang tua dan perawatan pada saat kehamilan, persalinan dan

postnatal (pengaturan suhu lingkungan, resusitasi, makanan, pencegahan infeksi, mengatasi


gangguan pernapasan, asfiksia, hiperbilirubinemia, hipoglikemia, dan lain-lain).

C Neonatus Hiperbilirubinemia
Definisi
Hiperbilirubinemia merupakan peningkatan kadar bilirubin total pada minggu pertama
kelahiran.

Kadar

normal

maksimal

adalah

12-13

mg%

(205-220

mikromol/L).

Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin di dalam darah melampui 1 mg/dL (17,1umol/L).


Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh produksi bilirubin yang melebihi kemampuan hati
normal untuk mengekskresikannya, atau dapat terjadi karena kegagalan hati yang rusak untuk
mengekskresikan bilirubin yang di hasilkan dengan jumlah normal. Pada semua keadaan ini,
bilirubin bertumpuk di dalam darah dan ketika mencapai suatu konsentrasi tertentu ( yaitu sekitar
2-2,5 mg/dL ), bilirubin akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian warnanya berubah
menjadi kuning. Keadaan ini dinamakan jaundice atau ikterus. Istilah jaundice (berasal dari
bahasa Perancis jaune, yang berarti kuning) atau ikterus (dari bahasa Yunani icteros)
menunjukkan pewarnaan kuning pada kulit, sklera atau membran mukosa sebagai akibat
penumpukan bilirubin yang berlebihan pada jaringan.
Gejala paling relevan dan paling mudah diidentifikasi dari kedua bentuk tersebut adalah
ikterus, yang didefinisikan sebagai kulit dan selaput lender menjadi kuning. Pada
neonatus,ikterus yang nyata jika bilirubin total serum 5 mg/dl.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang terjadi pada bayi adalah ketika kadar bilirubin indirek
tidak melebihi 12 mg/dL pada hari ketiga dan bayi premature pada 15 mg/dL pada hari kelima.
Sedangkan ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sclera akibat akumulasi bilirubin tidak terkonjugasi yang
berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah
5-7 mg/dL. Ikterus dibagi menjadi dua yaitu ikterus fisiologis dan ikterus non-fisiologis.
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang, maupun
cukup bulan selama minggu pertama kehidupan yang frekuensinya pada bayi cukup bulan dan
kurang bulan berturut-turut adalah 50-60% dan 80%. Untuk kebanyakan bayi fenomena ini
ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Ikterus fisiologis tidak disebabkan oleh factor

tunggal tapi kombinasi dari berbagai factor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis bayi
baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi pada bayi baru lahir
disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan clearance
bilirubin. Umumnya kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi
cukup bulan yang mendapat susu formula kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8
mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti
dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 sampai 2 minggu.
Patofisiologi
1. Metabolisme Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir
dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi reduksi.
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati,
dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan kembali untuk
pembentukan haemoglobin dan karbon monoksida yang dieksresikan ke dalam paru. Biliverdin
kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat
larut dalam air dan secara cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin
reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hydrogen
serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan, diperlukan
mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.
Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang
dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir
disebabkan oleh masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang
dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga
reabsorpsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi enterohepatik).

2. Transportasi Bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikulo endothelial, selanjutnya dilapaskan
ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan
plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas
ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat non
polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan di transportasi kedalam sel hepar. Bilirubin
yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan syaraf pusat dan bersifat nontoksik.
Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat obatan yang
bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat obat tersebut akan menempati tempat
utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat competitor serta dapat pula
melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.
Obat obat yang dapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin:

Analgetik, antipiretik ( Natrium salisilat, fenilbutazon )

Antiseptik, desinfektan ( metal, isopropyl )

Antibiotik dengan kandungan sulfa ( Sulfadiazin, sulfamethizole, sulfamoxazole )

Penicilin ( propicilin, cloxacillin )

Lain lain ( novabiosin, triptophan, asam mendelik, kontras x ray )

Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:


1) Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian besar
bilirubin tak terkonjugasi dalam serum.
2) Bilirubin bebas
3) Bilirubin terkonjugasi yaitu bilirubin yang siap dieksresikan melalui ginjal.
4) Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum.
3. Asupan Bilirubin

Pada saat kompleks bilirubin albumin mencapai membrane plasma hepatosit, albumin
terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, di transfer melalui sel membran yang
berikatan dengan ligandin ( protein y ), mungkin juga dengan protein ikatan sitosilik lainnya
4. Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam
air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospate glukuronosyl transferase
(UDPG T). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida
yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini kemudian
dieksresikan kedalam kalanikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi
akan kembali ke reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi berikutnya.

5. Eksresi Bilirubin
Setelah mengalami proses konjugasi , bilirubin akan dieksresikan kedalam kandung
empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan di eksresikan melalui feses. Setelah berada
dalam usus halus bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta glukoronidase yang
terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk di
konjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.
Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa usus
halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim -glukoronidase yang dapat menghidrolisa
monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi yang
selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya steril
sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang tidak
dapat diabsorbsi).

Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada neonatus cukup bulan
sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat. Sekitar 80 % bilirubin yang
diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi bilirubin lebih besar per
kilogram berat badan karena massa eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih pendek.
Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan
bilirubin akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus biliaris,
yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di pihak lain,
gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu,
kerusakan hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia
dan gangguan proses ambilan bilirubin olah hepatosit.
Etiologi
Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi :
pembentukan bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh
hati, gangguan konjugasi bilirubin, penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu
akibat faktor intra hepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau mekanik. Hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang pertama, sedangkan mekanisme
yang keempat terutama mengakibatkan terkonjugasi.
1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah merupakan
penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut
ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi suplai
bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan. Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang
sering adalah hemoglobin abnormal ( hemoglobin S pada animea sel sabit), sel darah merah
abnormal (sterositosis herediter), anti body dalam serum (Rh atau autoimun), pemberian
beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran (limpa dan peningkatan
hemolisis). Sebagaian kasus Ikterus hemolitik dapat di akibatkan oleh peningkatan destruksi sel
darah merah atau prekursornya dalam sum-sum tulang (thalasemia, anemia persuisiosa, porviria).

Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif. Kadar bilirubin tak terkonjugasi yang
melebihi 20 mg / 100 ml pada bayi dapat mengakibatkan Kern Ikterus.
2. Gangguan pengambilan bilirubin
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh sel-sel hati dilakukan
dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein penerima. Hanya beberapa
obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati,
asam flafas pidat (dipakai untuk mengobati cacing pita), nofobiosin, dan beberapa zat warna
kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan Ikterus biasanya menghilang bila obat
yang menjadi penyebab di hentikan. Dahulu Ikterus Neonatus dan beberapa kasus sindrom
Gilbert dianggap oleh defisiensi protein penerima dan gangguan dalam pengambilan oleh hati.
Namun pada kebanyakan kasus demikian, telah di temukan defisiensi glukoronil tranferase
sehingga keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat konjugasi bilirubin.
3. Gangguan konjugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml ) yang mulai terjadi pada
hari ke dua sampai ke lima lahir disebut Ikterus Fisiologis pada Neonatus. Ikterus Neonatus yang
normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoronik transferase. Aktivitas glukoronil
tranferase biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir sampai sekitar minggu ke dua, dan
setelah itu Ikterus akan menghilang.
Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan Bilirubin tak terkonjugasi
pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak di obati maka akan terjadi
kematian atau kerusakan. Neorologik berat tindakan pengobatan saat ini dilakukan pada
Neonatus dengan Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan fototerapi.
Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang yang
panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang. Penyinaran ini
menyebabkan perubahan struktural Bilirubin (foto isumerisasi) menjadi isomer-isomer yang larut
dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di
konjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital (Luminal) yang meningkatkan aktivitas glukororil
transferase sering kali dapat menghilangkan ikterus pada penderita ini.
4. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi
Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor Fungsional maupun
obstruksi,

terutama

mengakibatkan

hiperbilirubinemia

terkonjugasi.

Karena

bilirubin

terkonjugasi latut dalam air, maka bilirubin ini dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga
menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih
sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai
bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fostafe alkali dalam
serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam
darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia
terkonjugasi biasanya lebih kuning di bandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi.
Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi
obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang
merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik ( mengenai sel
hati, kanalikuli, atau kolangiola ) atau ekstra hepatik ( mengenai saluran empedu di luar hati ).
Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang sama.
Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :
a. Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah, penurunan umur
sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah merah (inkompatibilitas golongan darah
dan Rh), defek sel darah merah pada

defisiensi G6PD atau sferositosis, polisetemia,

sekuester darah, infeksi)


b. Penurunan konjugasi bilirubin (prematuritas, ASI, defek congenital yang jarang)
c. Peningkatan reabsorpsi bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia, pemberian ASI yang
terlambat, obstruksi saluran cerna.
d. Kegagalan eksresi cairan empedu : infeksi intrauterine, sepsis, hepatitis, sindrom kolestatik,
atresia biliaris, fibrosis kistik).
Klasifikasi ikterus pada Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan
ikterus dapat terjadi : pembentukan bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin
tak terkonjugasi oleh hati, gangguan konjugasi bilirubin, penurunan ekskresi bilirubin
terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intra hepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau
mekanik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang
pertama, sedangkan mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan terkonjugasi.
5. Pembentukan bilirubin secara berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah merupakan
penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut
ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi suplai

bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan. Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang
sering adalah hemoglobin abnormal ( hemoglobin S pada animea sel sabit), sel darah merah
abnormal (sterositosis herediter), anti body dalam serum (Rh atau autoimun), pemberian
beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran (limpa dan peningkatan
hemolisis). Sebagaian kasus Ikterus hemolitik dapat di akibatkan oleh peningkatan destruksi sel
darah merah atau prekursornya dalam sum-sum tulang (thalasemia, anemia persuisiosa, porviria).
Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif. Kadar bilirubin tak terkonjugasi yang
melebihi 20 mg / 100 ml pada bayi dapat mengakibatkan Kern Ikterus.
6. Gangguan pengambilan bilirubin
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh sel-sel hati dilakukan
dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein penerima. Hanya beberapa
obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati,
asam flafas pidat (dipakai untuk mengobati cacing pita), nofobiosin, dan beberapa zat warna
kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan Ikterus biasanya menghilang bila obat
yang menjadi penyebab di hentikan. Dahulu Ikterus Neonatus dan beberapa kasus sindrom
Gilbert dianggap oleh defisiensi protein penerima dan gangguan dalam pengambilan oleh hati.
Namun pada kebanyakan kasus demikian, telah di temukan defisiensi glukoronil tranferase
sehingga keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat konjugasi bilirubin.
7. Gangguan konjugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml ) yang mulai terjadi pada
hari ke dua sampai ke lima lahir disebut Ikterus Fisiologis pada Neonatus. Ikterus Neonatus yang
normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoronik transferase. Aktivitas glukoronil
tranferase biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir sampai sekitar minggu ke dua, dan
setelah itu Ikterus akan menghilang.
Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan Bilirubin tak terkonjugasi
pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak di obati maka akan terjadi
kematian atau kerusakan. Neorologik berat tindakan pengobatan saat ini dilakukan pada
Neonatus dengan Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan fototerapi.
Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang yang
panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang. Penyinaran ini
menyebabkan perubahan struktural Bilirubin (foto isumerisasi) menjadi isomer-isomer yang larut

dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di
konjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital (Luminal) yang meningkatkan aktivitas glukororil
transferase sering kali dapat menghilangkan ikterus pada penderita ini.
8. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi
Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor Fungsional maupun
obstruksi,

terutama

mengakibatkan

hiperbilirubinemia

terkonjugasi.

Karena

bilirubin

terkonjugasi latut dalam air, maka bilirubin ini dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga
menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih
sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai
bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fostafe alkali dalam
serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam
darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia
terkonjugasi biasanya lebih kuning di bandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi.
Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi
obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang
merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik ( mengenai sel
hati, kanalikuli, atau kolangiola ) atau ekstra hepatik ( mengenai saluran empedu di luar hati ).
Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang sama.
Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :
e. Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah, penurunan umur
sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah merah (inkompatibilitas golongan darah
dan Rh), defek sel darah merah pada

defisiensi G6PD atau sferositosis, polisetemia,

sekuester darah, infeksi)


f. Penurunan konjugasi bilirubin (prematuritas, ASI, defek congenital yang jarang)
g. Peningkatan reabsorpsi bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia, pemberian ASI yang
terlambat, obstruksi saluran cerna.
h. Kegagalan eksresi cairan empedu : infeksi intrauterine, sepsis, hepatitis, sindrom kolestatik,
atresia biliaris, fibrosis kistik).
neonatus
Ikterus fisiologis

: terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi cukup bulan nilai puncak 6-8
mg/dL biasanya tercapai pada hari ke 3-5. Pada bayi kurang bulan nilainya

10-12 mg/dL, bahkan sampai 15 mg/dL. Peningkatan/akumulasi bilirubin


serum < 5 mg/dL/hr.
Ikterus patologis

: terjadi dalam 24 jam pertama. Peningkatan akumulasi bilirubin serum >


5 mg/dL/hr. Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin total serum >
17mg/dL. Ikterus menetap setelah 8 hari pada bayi cukup bulan dan
setelah 14 hari pada bayi kurang bulan. Bilirubin direk >2 mg/dL.

Sebagian neonatus, terutama bayi prematur, menunjukkan gejala

ikterus pada hari

pertama. Ikterus ini biasanya timbul pada hari kedua, kemudian menghilang pada hari ke
sepuluh, atau pada akhir minggu ke dua. Bayi dengan gejala ikterus ini tidak sakit dan tidak
memerlukan pengobatan,kecuali dalam pengertian mencegah terjadinya penumpukan bilirubin
tidak langsung yang berlebihan.
Ikterus dengan kemungkinan besar menjadi patologik dan memerlukan pemeriksaan
yang mendalam antara lain :

Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama

Bilirubin serum meningkat lebih dari 5 mg % per hari

Bilirubin melebihi 10mg% pada bayi cukup bulan

Bilirubin melebihi 15mg% pada bayi prematur

Ikterus yang menetap sesudah minggu pertama

Ikterus dengan bilirubin langsung melebihi 1mg% pada setiap


waktu.

Ikterus yang berkaitan dengan penyakit hemoglobin, infeksi, atau


suatu keadaan patologik lain yang telah diketahui.

Pembagian derajat ikterus


Berdasarkan Kramer dapat dibagi :
Derajat icterus

Daerah Ikterus

Perkiraan kadar
Bilirubin
5,0 mg%
atas 9,0 mg%

I
II

Kepala dan leher


Sampai badan

III

(diatas umbilicus)
Sampai badan bawah 11,4 mg%
(dibawah

umbilicus

sampai

tungkai

atas

IV

diatas lutut)
Seluruh tubuh kecuali 12,4 mg%

telapak tangan dan kaki


Seluruh tubuh

16,0 mg%

Manifestasi klinik
Secara umum gejala dari penyakit hiperbilirubin ini antara lain:

Pada permulaan tidak jelas, tampak mata berputar-putar


Letargi
Kejang
Tidak mau menghisap
Dapat tuli, gangguan bicara, retardasi mental
Bila bayi hidup pada umur lanjut disertai spasme otot, kejang, stenosis yang disertai

ketegangan otot
Perut membuncit
Pembesaran pada hati
Feses berwarna seperti dempul
Muntah, anoreksia, fatigue,
Warna urin gelap.

Diagnosis
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium terdapat beberapa
faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat.
1)
2)
3)
4)

Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama (usia bayi < 24 jam)
Inkompatibilitas golongan darah (dengan Coombs test positip)
Usia kehamilan < 38 minggu
Penyakit-penyakit hemolitik (G6PD, end tidal CO)

5) Ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya


6) Hematoma sefal, bruising
7) ASI eksklusif (bila berat badan turun > 12 % BB lahir)
8) Ras Asia Timur, jenis kelamin laki-laki, usia ibu < 25 tahun
9) Ikterus sebelum bayi dipulangkan
10) Infant Diabetic Mother, makrosomia
11) Polisitemia

Anamnesis
1. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi intra
2.
3.
4.
5.

uterin, infeksi intranatal)


Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi
Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya
Riwayat inkompatibilitas darah
Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.

Pemeriksaan Fisik
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari
kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat
lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama
pada neonatus yang kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita
sedang mendapatkan terapi sinar.
Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan
subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan
kemungkinan penyebab ikterus tersebut.
Tabel 3. Perkiraan klinis derajat ikterus

Tabel 4. Klasifikasi ikterus

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus yang
mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko
tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat,
lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil
pemeriksaan kadar serum bilirubin
Transcutaneous bilirubin (TcB) dapat digunakan untuk menentukan kadar serum bilirubin
total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin
total < 15 mg/dL (<257 mol/L), dan tidak reliable pada kasus ikterus yang sedang mendapat
terapi sinar.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus
antara lain :

Golongan darah dan Coombs test


Darah lengkap dan hapusan darah
Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc

Bilirubin direk

Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan
tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan
terapi sinar ataukah tranfusi tukar.

Penatalaksanaan
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk mengendalikan
agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menbimbulkan kernikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus tadi. Pengendalian
kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat

berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase
dengan pemberian obat-obatan (luminal).
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau
albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau
transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.
Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra Venous Immuno Globulin dan
Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan
ekskresi bilirubin.
Tabel 5. Penanganan icterus berdasarkan kadar serum bilirubin

Pencegahan
a. Pencegahan Primer

Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 12 kali/ hari untuk beberapa
hari pertama.

Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat
ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

b. Pencegahan Sekunder

Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan
serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.

Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus dan
menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda
tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 12 jam.

Farmakoterapi
a. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi bayi dengan rhesus yang berat dan
inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan transfusi
tukar.

b. Fenobarbital merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPG T dan ligandin serta dapat
meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin sehingga konjugasi bilirubin berlangsung lebih
cepat .Pemberian phenobarbital untuk mengobatan

hiperbilirubenemia pada neonatus

selama tiga hari baru dapat menurunkan bilirubin serum yang berarti. Bayi prematur lebih
banyak memberikan reaksi daripada bayi cukup bulan. Phenobarbital dapat diberikan
dengan dosis 8 mg/kg berat badan sehari, mula-mula parenteral, kemudian dilanjutkan
secara oral. Keuntungan pemberian phenobarbital dibandingkan dengan terapi sinar ialah
bahwa pelaksanaanya lebih murah dan lebih mudah. Kerugiannya ialah diperlukan waktu
paling kurang 3 hari untuk mendapat hasil yang berarti.
c. Metalloprotoprophyrin adalah analog sintesis heme.
d. Tin Protoporphyrin ( Sn Pp ) dan Tin Mesoporphyrin ( Sn Mp ) dapat menurunkan
kadar bilirubin serum.
e. Pemberian inhibitor b - glukuronidasi seperti asam L aspartikdan kasein holdolisat dalam
jumlah kecil ( 5 ml/dosis 6 kali/hari ) pada bayi sehat cukup bulan yang mendapat ASI dan
meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi berkurang dibandingkan
dengan bayi contro.
Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh seorang
perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat Ward melihat bahwa bayi-bayi yang
mendapat sinar matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan
bayi bayi lainnya. Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai melakukan
penyelidikan mengenai pengaruh sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya
terbukti bahwa disamping pengaruh sinar matahari, sinar lampu tertentu juga mempunyai
pengaruh dalam menurunkan kadar bilirubin pada bayi bayi prematur lainnya.
Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler superfisial
dan ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat diekstraksikan tanpa
metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti bilirubin, menyatakan bahwa
fototerapi merupakan obat perkutan. Bila fototerapi menyinari kulit, akan memberikan fotonfoton diskrit energi, sama halnya seperti molekul-molekul obat, sinar akan diserap oleh bilirubin
dengan cara yang sama dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.

Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami reaksi
fotokimia yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan merubah bentuk
molekul bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk bilirubin 4Z, 15Z akan berubah
menjadi bentuk 4Z,15E yaitu bentuk isomer nontoksik yang bisa diekskresikan. Isomer bilirubin
ini mempunyai bentuk yang berbeda dari isomer asli, lebih polar dan bisa diekskresikan dari hati
ke dalam empedu tanpa mengalami konjugasi atau membutuhkan pengangkutan khusus untuk
ekskresinya. Bentuk isomer ini mengandung 20% dari jumlah bilirubin serum. Eliminasi melalui
urin dan saluran cerna sama-sama penting dalam mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi
menghasilkan suatu fotooksidasi melalui proses yang cepat. Fototerapi juga menghasilkan
lumirubin, dimana lumirubin ini mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum.
Lumirubin diekskresikan melalui empedu dan urin karena bersifat larut dalam air.
Penelitian Sarici mendapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5% neonatus kurang
bulan menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan membutuhkan fototerapi.
Fototerapi diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai dengan umur pada
neonatus cukup bulan atau berdasarkan berat badan pada neonatus kurang bulan, sesuai dengan
rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP).
Sinar Fototerapi
Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang merupakan suatu
gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik bervariasi menurut frekuensi dan
panjang gelombang, yang menghasilkan spektrum elektromagnetik. Spektrum dari sinar tampak
ini terdiri dari sinar merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing masing dari sinar
memiliki panjang gelombang yang berbeda beda.
Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin adalah
sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm. Sinar biru lebih baik dalam menurunkan
kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar putih, dan sinar hijau. Intensitas sinar

adalah jumlah foton yang diberikan per sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang terpapar.
Intensitas yang diberikan menentukan efektifitas fototerapi, semakin tinggi intensitas sinar maka
semakin cepat penurunan kadar bilirubin serum. Intensitas sinar, yang ditentukan sebagai
W/cm2/nm.

Intensitas sinar yang diberikan menentukan efektivitas dari fototerapi. Intensitas sinar
diukur dengan menggunakan suatu alat yaitu radiometer fototerapi. Intensitas sinar 30
W/cm2/nm cukup signifikan dalam menurunkan kadar bilirubin untuk intensif fototerapi.
Intensitas sinar yang diharapkan adalah 10 40 W/cm2/nm. Intensitas sinar maksimal untuk
fototerapi standard adalah 30 50 W/cm2/nm. Semakin tinggi intensitas sinar, maka akan lebih
besar pula efikasinya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar,
panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh
neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.
Intensitas sinar berbanding terbalik dengan jarak antara sinar dan permukaan tubuh. Cara
mudah untuk meningkatkan intensitas sinar adalah menggeser sinar lebih dekat pada bayi.
Rekomendasi AAP menganjurkan fototerapi dengan jarak 10 cm kecuali dengan
menggunakan sinar halogen. Sinar halogen dapat menyebabkan luka bakar bila diletakkan terlalu
dekat dengan bayi. Bayi cukup bulan tidak akan kepanasan dengan sinar fototerapi berjarak 10
cm dari bayi. Luas permukaan terbesar dari tubuh bayi yaitu badan bayi, harus diposisikan di
pusat sinar, tempat di mana intensitas sinar paling tinggi.
Tabel 6. Rekomendasi AAP penanganan hiperbilirubinemia pada neonatus sehat dan cukup
bulan.
Usia ( jam )

Pertimbangan
terapi sinar

Terapi sinar

Transfusi tukar

Transfusi
terapi sinar

tukar

dan

25-48

>12mg/dl
(>200 mol/L)

>15 mg/dl
( >250 mol/L)

>20 mg/dl
(>340 mol/L)

>25 mg/dl
(425 mol/L)

49-72

>15mg/dl
(>250 mol/L)

>18 mg/dl
(>300mol/L)

>25mg/dl
(425 mol/L)

>30 mg/dl
(510mol/L)

>72

>17 mg/dl
(>290 mol/L)

>20mg/dl
(>340mol/L

>25mg/dl
(>425 mol/L)

>30mg/dl
(>510 mol/L)

Tabel 7. Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan Sakit ( >37
minggu )
Neontaus

kurang

bulan Neontaus

kurang

bulan

sehat :Kadar Total Bilirubin sakit :Kadar Total Bilirubin


Berat
Hingga 1000 g
1001-1500 g
1501-2000 g
>2000 g

Serum (mg/dl)
Terapi sinar Transfusi
5-7
7-10
10
10-12

tukar
10
10-15
17
18

Serum (mg/dl)
Terapi sinar
Transfusi
4-6
6-8
8-10
10

tukar
8-10
10-12
15
17

Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin
direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive jaundice.
Komplikasi terapi sinar
Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan terapi
sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat mempengaruhi
proses tumbuh kembang bayi, baik komplikasi segaera ataupun efek lanjut yang terlihat selama
ini bersifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan tata cara
pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan diatas.
Kelainan yang mungkin timbul pada terapi sinar antara lain :

1. Peningkatan insensible water loss pada bayi


Hal ini terutama akan terlihat pada bayi yang kurang bulan. Oh dkk (1972) melaporkan
kehilangan ini dapat meningkat 2-3 kali lebih besar dari keadaan biasa. Untuk hal ini
pemberian cairan pada penderita dengan terapi sinar perlu diperhatikan dengan sebaiknya.
2. Frekuensi defekasi yang meningkat
Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini, antara lain dikemukankan karena meningkatnya
peristaltik usus (Windorfer dkk, 1975). Bakken (1976) mengemukakan bahwa diare yang
terjadi akibat efek sekunder yang terjadi pada pembentukan enzim lactase karena
meningkatnya bilirubin indirek pada usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan
mengurangi timbulnya diare. Teori ini masih belum dapat dipertentangkan.
3. Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut flea bite rash di daerah muka, badan dan
ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi dihentikan. Pada beberapa bayi
dilaporkan pula kemungkinan terjadinya bronze baby syndrome (Kopelman dkk, 1976). Hal
ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi sinar.
Perubahan warna kulit yang bersifat sementara ini tidak mempengaruhi proses tumbuh
kembang bayi.
4. Gangguan retina
Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percobaan (Noel dkk 1966). Pnelitain
Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya perubahan fungsi mata pada umumnya.
Walaupin demikian penyelidikan selanjutnya masih diteruskan.
5. Gangguan pertumbuhan
Pada binatang percobaan ditemukan gangguan pertumbuhan (Ballowics 1970). Lucey (1972)
dan Drew dkk (10976) secara klinis tidak dapat menemukan gangguan tumbuh kembang
pada bayi yang mendapat terapi sinar. Meskipun demikian hendaknya pemakaian terapi sinar
dilakukan dengan indikasi yang tepat selama waktu yang diperlukan.
6. Kenaikan suhu
Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin memperlihatkan kenaikan suhu, Bila
hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan dengan mematikan sebagian lampu yang
dipergunakan.
7. Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-kadang
ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan menghilang
dengan sendirinya.
8. Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti adalah kelainan
gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.

Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi.
Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat
penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat
tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.

D Meningitis
Definisi
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter (lapisan dalam
selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan
medula spinalis yang superfisial.
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan
otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai dengan jumlah
sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling
sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau meningitis
bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan
disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis Meningococcus merupakan
meningitis purulenta yang paling sering terjadi.
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan droplet
infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan tenggorok
penderita.17 Saluran nafas merupakan port dentree utama pada penularan penyakit ini. Bakteribakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan sekresisekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan
serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada
selaput otak dan otak.
Infectious Agent Meningitis
Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, jamur, cacing dan protozoa.
Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Meningitis yang disebabkan oleh bakteri
berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan
gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat. Infectious Agent

meningitis purulenta mempunyai kecenderungan pada golongan umur tertentu, yaitu golongan
neonates paling banyak disebabkan oleh E.Coli, S.beta hemolitikus dan Listeria monositogenes.
Golongan umur dibawah 5 tahun (balita) disebabkan oleh H.influenzae, Meningococcus dan
Pneumococcus. Golongan umur 5-20 tahun disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria
meningitidis dan Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun) disebabkan
oleh Meningococcus, Pneumococcus, Stafilocccus, Streptococcus dan Listeria. Penyebab
meningitis serosa yang paling banyak ditemukan adalah kuman Tuberculosis dan virus.
Meningitis yang disebabkan oleh virus mempunyai prognosis yang lebih baik, cenderung jinak
dan bisa sembuh sendiri. Penyebab meningitis virus yang paling sering ditemukan yaitu
Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackie virus , sedangkan Herpes simplex , Herpes zooster, dan
enterovirus jarang menjadi penyebab
meningitis aseptik(viral).
Patofisiologi Meningitis
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organ atau jaringan
tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya
pada penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan Endokarditis.
Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan
yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis Media, Mastoiditis, Trombosis sinus
kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan
fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid
menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem
ventrikulus.
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi;
dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke dalam
ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan
limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari
dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisaan
dalam terdapat makrofag.
Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat
menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron-neuron. Trombosis serta
organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen menyebabkan kelainan kraniales. Pada

Meningitis yang disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan
Meningitis yang disebabkan oleh bakteri.
Gejala Klinis Meningitis
Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak, letargi, muntah
dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) melalui
pungsi lumbal.
Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih serta
rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh
Mumpsvirus ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran
kelenjer parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan
oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit tenggorok, nyeri otot,
demam, dan disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah,
leher, dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu
tampak lesi vasikuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan
berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku leher, dan nyeri punggung.
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan dan
gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan gejala panas tinggi,
mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi,
biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung. Kejang dialami lebih kurang 44
% anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25 % oleh Streptococcus pneumoniae, 21 %
oleh Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan dewasa biasanya
dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan
gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat, malaise, nyeri otot dannyeri punggung. Cairan
serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen.
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium
prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi
biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam, muntahmuntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan turun, mudah tersinggung, cengeng,
opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa
apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang
nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.

Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 3 minggu dengan gejala penyakit
lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang disertai kejang
terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh
tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol
dan muntah lebih hebat. Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan
gangguan kesadaran sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam
waktu tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan sebagaimana mestinya.
Pemeriksaan Rangsangan Meningeal
Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan rotasi kepala.
Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi
kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak dapat disentuhkan ke dada dan juga
didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi kepala.
Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada sendi panggul kemudian
ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif
(+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135 (kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.
Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah kepala dan tangan
kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala dengan cepat kearah dada sejauh
mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada
leher.
Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul (seperti pada
pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi
involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.
Pemeriksaan Penunjang Meningitis
Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan
cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial.

a. Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel darah putih
meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
b. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah sel darah putih
dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis bakteri.
Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap Darah (LED), kadar
glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
a. Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu, pada
Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.
b. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
Pemeriksaan Radiologis
a. Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala, bila mungkindilakukan CT Scan.
b. Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid, sinus paranasal, gigi
geligi) dan foto dada.
Determinan Meningitis
Host/ Pejamu
Meningitis yang disebabkan oleh Pneumococcus paling sering menyerang bayi di bawah
usia dua tahun. Meningitis yang disebabkan oleh bakteri Pneumokokus 3,4 kali lebih besar pada
anak kulit hitam dibandingkan yang berkulit putih. Meningitis Tuberkulosa dapat terjadi pada
setiap kelompok umur tetapi lebih sering terjadi pada anak-anak usia 6 bulan sampai 5 tahun dan
jarang pada usia di bawah 6 bulan kecuali bila angka kejadian Tuberkulosa paru sangat tinggi.
Diagnosa pada anak-anak ditandai dengan test Mantoux positif dan terjadinya gejala meningitis
setelah beberapa hari mendapat suntikan BCG.
Meningitis serosa dengan penyebab virus terutama menyerang anak-anak dan
dewasa muda (12-18 tahun). Meningitis virus dapat terjadi waktu orang menderita campak,
Gondongan (Mumps) atau penyakit infeksi virus lainnya. Meningitis Mumpsvirus sering terjadi
pada kelompok umur 5-15 tahun dan lebih banyak menyerang laki-laki daripada perempuan.
Agent
Penyebab meningitis secara umum adalah bakteri dan virus. Meningitis purulenta paling sering
disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus dan Haemophilus influenzae sedangkan
meningitis serosa disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa dan virus. Bakteri Pneumococcus
adalah salah satu penyebab meningitis terparah. Sebanyak 20-30 % pasien meninggal akibat

meningitis hanya dalam waktu 24 jam. Angka kematian terbanyak pada bayi dan orang lanjut
usia.
Lingkungan
Faktor Lingkungan (Environment) yang mempengaruhi terjadinya meningitis bakteri yang
disebabkan oleh Haemophilus influenzae tipe b adalah lingkungan dengan kebersihan yang
buruk dan padat dimana terjadi kontak atau hidup serumah dengan penderita infeksi saluran
pernafasan. Pada umumnya frekuensi Mycobacterium tuberculosa selalu sebanding dengan
frekuensi infeksi Tuberculosa paru. Jadi dipengaruhi keadaan sosial ekonomi dan kesehatan
masyarakat. Penyakit ini kebanyakan terdapat pada penduduk dengan keadaan sosial ekonomi
rendah, lingkungan kumuh dan padat, serta tidak mendapat imunisasi.
Prognosis Meningitis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang
menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan lama
penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua
mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan kematian.
Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis purulenta,
tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa). Lima puluh
persen meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian, keterlambatan berbicara
dan gangguan perkembangan mental, dan 5 10% penderita mengalami kematian.
Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada umumnya tinggi.
Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian meningitis TBC dipengaruhi oleh umur
dan pada stadium berapa penderita mencari pengobatan. Penderita dapat meninggal dalam waktu
6-8 minggu.
Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan gejala klinis yang lebih
ringan,penurunan kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral memiliki prognosis yang jauh
lebih baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 2 minggu dan dengan pengobatan yang tepat
penyembuhan total bisa terjadi.
Tatalaksana
Medikamentosa
Diawali dengan terapi empiris, kemudian disesuaikan dengan hasil biakan dan uji resistensi.
Terapi empirik antibiotik

Usia 1-3 bulan


Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + sefotaksim 200-300

mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau


Seftriakson 100mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
Usia >3bulan
Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau
Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibadi dalam 2 dosis, atau
Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + kloramfenikol
100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.

Jika sudah terdapat hasil kulturn pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur dan
resistensi.
Deksametason
Deksametason 0,6 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis selama 4 hari. Injeksi deksametason
diberikan 15-30 menit sebelum atau pada saat pemberian antibiotik.
Lama pengobatan
Tergantung dari kuman penyebab, umumnya 10-14 hari.
Pencegahan Meningitis
Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko meningitis bagi
individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis pada bayi agar
dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat diberikan seperti Haemophilus influenzae
type b (Hib), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal polysaccaharide vaccine
(PPV), Meningococcal conjugate vaccine (MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella).10
Imunisasi Hib Conjugate vaccine (Hb- OC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2 bulan dan dapat
digunakan bersamaan dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT, Polio dan MMR.20 Vaksinasi
Hib dapat melindungi bayi dari kemungkinan terkena meningitis Hib hingga 97%. Pemberian
imunisasi vaksin Hib yang telah direkomendasikan oleh WHO, pada bayi 2-6 bulan sebanyak 3
dosis dengan interval satu bulan, bayi 7-12 bulan di berikan 2 dosis dengan interval waktu satu
bulan, anak 1-5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak dianjurkan diberikan
pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum dapat membentuk antibodi.

Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian kemoprofilaksis (antibiotik)


kepada orang yang kontak dekat atau hidup serumah dengan penderita. Vaksin yang dianjurkan
adalah jenis vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y. Meningitis TBC dapat dicegah dengan
meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian
imunisasi BCG. Hunian sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, seperti tidak over crowded (luas
lantai > 4,5 m2 /orang), ventilasi 10 20% dari luas lantai dan pencahayaan yang cukup.
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung dengan
penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti
barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan
personal hygiene seperti mencuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah dari toilet.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat masih tanpa
gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan penyakit.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan segera. Deteksi dini
juga dapat ditingkatan dengan mendidik petugas kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala
awal meningitis.
Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test darah dan pemeriksaan X-ray (rontgen)
paru .
Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga penderita,
rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan penderita secara dini.10
Penderita juga diberikan pengobatan dengan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis
penyebab meningitis yaitu :
1.
2.

Meningitis Purulenta
Haemophilus influenzae b : ampisilin, kloramfenikol, setofaksim, seftriakson.
Streptococcus pneumonia : kloramfenikol , sefuroksim, penisilin, seftriakson.
Neisseria meningitidies : penisilin, kloramfenikol, serufoksim dan seftriakson.
Meningitis Tuberkulosa (Meningitis Serosa)

Kombinasi INH, rifampisin, dan pyrazinamide dan pada kasus yang berat dapat ditambahkan
etambutol atau streptomisin. Kortikosteroid berupa prednisone digunakan sebagai anti inflamasi
yang dapat menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak.
Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau
mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk
menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita untuk
melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi
kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli atau
ketidakmampuan untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan
mengurangi cacat.

Anda mungkin juga menyukai