Anda di halaman 1dari 24

EUTHANASIA DARI ASPEK

KEDOKTERAN DAN HUKUM


PIDANA
Pengantar
Euthanasia di Indonesia, selalu menjadi topik yang
sangat menarik untuk dikaji dan perlu kita gumuli
bersama, terutama mengingat dilema hukum, etis dan
teologis yang ditimbulkannya.
Bayangkan, orang yang bertahun-tahun menderita
penyakit akut dan tidak ada kemungkinan untuk
sembuh, hidupnya sepenuhnya tergantung pada alat-
alat medis; sedang biaya perawatan begitu mahal. Apa
yang sebaiknya dilakukan dan dapat dipertanggung-
jawabkan dalam keadaan seperti itu ? Ironisnya, jika
orang itu tak berpunya, maka tak jarang si sakit
mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Kasus-kasus euthanasia :
a. Kasus dr. Kevorkian :
seorang dokter bernama Jack Kevorkian di Amerika mengakui sejak
tahun 1990 ia telah membantu lebih dari 130 orang dengan berbagai
penyakit kronis untuk mengakhiri hidupnya (melakukan euthanasia).
Kontoversi terjadi. Ada yang mengutuk, ada pula yang membelanya.
Para pembela itu menyebut Koverkian sebagai dokter yang
menunjukkan belas kasihan mendalam dengan penderitaan para
pasien. Terlepas dari pro-kontra mana yang benar dan mana yang
salah, yang pasti pada tanggal 14 April 1999 dr. Kevorkian dijatuhi
hukuman 25 tahun penjara.

b. Kasus dr. Cox :


kasusnya terjadi di Inggeris tahun 1992, ketika dr. Nigel Cox
mengakhiri hidup Lilian Boyes seorang pasien sekaligus teman
baiknya selama 14 tahun, caranya dengan memberi suntikan
potassium chlorice. dr. Cox mau melakukan itu karena ia merasa iba
dengan penderitaan sahabatnya itu. “Ia mengalami kesakitan luar
biasa. lima hari sebelum kematiannya Ia memohon-mohon kepada
saya untuk mengakhiri penderitaannya dengan mengakhiri hidupnya”,
demikian pembelaan dr. Cox. Kedua anak Lilian Boyes justeru
menyetujui tindakan dr. Cox. Mereka malahan memberikan pembelaan
dan berpendapat bahwa dr. Cox telah merawat ibu mereka dengan
sungguh-sungguh dan penuh kasih. Tetapi apapun bentuk pembelaan
yang pasti kemudian dr. Cox diadili dan dijatuhi hukuman 12 bulan,
hanya saja izin prakteknya tidak dicabut.
c. Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia
pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh
seorang suami bernama Hassan Kusuma karena
tidak tega menyaksikan isterinya yang bernama
Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2
bulan dan disamping itu ketidakmampuan
menanggung beban biaya perawatan merupakan
suatu alasan pula. Permohonan yang diajukan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu, pada akhirnya
ditolak oleh Pengadilan. Namun setelah menjalani
perawatan intensif, maka kondisi terakhir pasien
telah mengalami kemajuan dalam pemulihan
kesehatannya.
Apakah Euthanasia itu ?
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani : Eu =
baik, Thanatos = kematian
Euthanasia = “kematian yang baik” atau “mati dengan
baik”
Dalam bahasa Arab, Euthanasia = qatl ar-rahma atau
taysir al-Maut.
Dalam dunia kedokteran = tindakan untuk
meringankan kesakitan atau penderitaan yang dialami
seseorang yang akan meninggal; juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam
kesakitan dan penderitaan hebat menjelang
kematiannya. (M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsa
Pada Masalah Kontemporer Hukum Islam, 1995 : 145)
PENJELASAN KODEKI

1.Berpindah ke alam Baqa dengan tenang


tanpa penderitaan, untuk yang beriman
dengan menyebut nama Allah di bibir;
2. Ketika hidup akan berakhir, diringankan
penderitaan si sakit dengan memberi obat
penenang;
3.Mengakhiri penderitaan dan hidup
seseorang yang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien dan keluarganya.
Bentuk Euthanasia
EUTHANASIA

ATAS TIDAK ATAS


PERMINTAAN PERMINTAAN

PASIF AKTIF PASIF AKTIF


(AUTO Tindakan Medis
EUTHANASIA) Tiada Guna
ASPEK KEDOKTERAN
 Setiap Dokter Harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
(Pasal 10 KODEKI)
 Segala perbuatan Dokter terhadap Si sakit

bertujuan memelihara kesehatan dan


kebahagiaannya (Penjelasan Pasal 10 KODEKI)
 Saya akan Menghormati setiap hidup insani

mulai dari saat pembuahan. (Lafal Sumpah


Dokter Indonesia Poin 9)
Euthanasia ada tiga macam :

1. a.Euthanasia aktif, terjadi apabila dokter atau


tenaga kesehatan lainnya secara sengaja melakukan
suatu tindakan untuk memperpendek (mengakhiri
hidup pasien).

Euthanasia aktif ada dua :


Pertama, dokter yang mengambil tidakan
mematikan misalnya dengan suntik mati.
Kedua, dokter hanya membantu pasien, misalnya
dengan memberi resep obat yang memberi resep
obat yang mematikan dalam dosis besar (over
dosis). Euthanasia ini biasanya disebut “bunuh diri
berbantuan” atau “bunuh diri yang dibantu dokter”
b. Euthanasia pasif adalah tindakan dokter atau tenaga medis
lainnya secara sengaja tidak lagi memberikan pengobatan
pasien yang menderita sakit keras yang secara medis sudah
tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian
pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien.
Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia
pasif, apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara
sengaja pula tidak lagi memberikan pengobatan demi
memperpanjang kehidupan pasien. Misalnya, dengan
mencabut alat-alat yang digunakan untuk mempertahankan
hidup, memberi kesempatan untuk dengan tenang
menghadapi sakratul maut, keluarga tidak lagi merawat
pasien di rumah sakit. Hal ini terjadi terhadap pasien yang
sudah terminal, dalam arti tidak bisa disembuhkan lagi, dan
segala upaya pengobatan sudah tidak berguna pula.
Belakangan terhadap tindakan yang disebut terakhir ini
tidak lagi dipandang sebagai euthanasia. Umumnya
kalangan dokter dan agamawan setuju, karena toh pasien
meninggal karena penyakitnya, bukan lantara usaha-usaha
yang dilakukan manusia.
c. Euthanasia tidak langsung, terjadi apabila dokter atau
tenaga kesehatan lainnya melakukan tindakan medik
tertentu yang bertujuan meringankan penderitaan
pasien, akan tetapi tindakan mediknya membawa resiko
hidup pasien diperpendek secara perlahan-lahan.
Misalnya, seorang pasien penderita kanker ganas tak
tersembuhkan yang sangat menderita kesakitan diberi
obat penghilang rasa sakit, namun obat tersebut
mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara
perlahan-lahan. Tindakan ini, tidak bertentangan
dengan eksistensi manusia sebenarnya, karena
dilakukan agar pasien tidak berada dalam penderitaan
yang terus menerus.
KEWAJIBAN DOKTER

 Menyelamatkan dan memajukan


kehidupan insani (Manusia)
 Menghambat kematian dan bukan

untuk mempercepatnya
KASUS EUTHANASIA DAN PROBLEMATIK DOKTER

Larry James McAfee (usia 33 tahun) mengalami musibah


kecelakaan motor di pegunungan Georgia Utara pada tahun 2005.
Nyawanya diselamatkan. Kendati lehernya patah. Sejak itu ia
lumpuh dan hidupnya hanya bergantung pada pipa selang yang
memompakn udara melalui kerongkongan ke paru-parunya.
Pemuda ini paham betul bahwa hidupnya sudah sampai disitu.
Oleh karenanya ia memutuskan untuk mati. Upaya medis yang
selama ini mempertahankan hidupnya, ia anggap hanya
membebani keluarga dan masyarakat, tanpa kemungkinan
sembuh. Dari Rumah Sakit yang merawatnya, ia mengajukan
permohonan ke pengadilan menuntut haknya untuk mati.
Pertanyaan:
Bolehkah Dokter memilih
menghentikan penderitaan
pasien melalui Euthanasia?
Jawaban:
Akan berbeda-beda, tergantung dari sudut
pandang masing-masing karena penderitaan itu
sendiri bersifat subyektif dan sulit untuk
ditetapkan tolok ukurnya yang obyektif
MBO

• VENTILASI JLN TERUS, O2 20%
• TERAPI MINIMAL / STOP

• SAKIT TERMINAL ???


• MENUNGGU MATI KLASIK

DOKTER
PRO KONTRA EUTHANASIA
1. GOLONGAN YANG SETUJU
a. Menolak permintaan pasien untuk Euthanasia
tetapi dikesempatan lain mengabulkan permintaan
untuk menghentikan pengobatan adalah sikap
yang munafik, karena beda antara keduanya tidak
jelas.
b. Semua pihak harus menghormati tekad
penderita untuk menentukan nasibnya sendiri
termasuk hak untuk mati secara tenang dan
terhormat.
c. Membiarkan penderita tidur selamanya adalah
lebih manusiawi karena juga berarti menghentikan
penderitaan keluarganya.
2. GOLONGAN YANG MENOLAK
a.Membiarkan pasien meninggal (dengan
menghentikan pengobatan) adalah secara moral
jelas berbeda dengan melakukan Euthanasia aktif
karena dalam hal yang pertama niatnya bukan untuk
mematikan.
b.Terhadap argumentasi kedua tentang kewajiban
menghormati hak orang lain untuk menentukan
nasibnya sendiri dalam kenyataannya tidak ada hak
mutlak manusia untuk menetapkan kapan ia ingin
mati.
c. Tolok ukur untuk menilai pasien dalam keadaan
menderita tidak jelas.
PENJELASAN KODEKI

“ kita di Indonesia sebagai umat beragama dan


berPancasila percaya kepada kekuasaan mutlak dari
Tuhan Yang Maha Esa. Segala sesuatu yang dijadikan-
Nya dan penderitaan yang dipikulkan kepada Makhluk-
Nya ada arti dan maksudnya. Dokter harus mengerahkan
segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk
meringankan penderitaan dan memlihara hidup, tidak
mengakhirinya.”
ASPEK HUKUM PIDANA
UNSUR-UNSUR EUTHANASIA
1.Adanya perbuatan (baik aktif maupun pasif)
yang dilakukan dengan sengaja;
2.Perbuatan itu dilakukan dengan motivasi
meringankan penderitaan penderitaan
seseorang (Pasien);
3.Perbuatan itu dilakukan karena atas
permintaan Pasien dan/atau keluarganya;
4.Timbulnya akibat akhir yakni kematian;
5.Pelakunya adalah tenaga kesehatan.
Pasal 344 KUHP
“ Barang Siapa merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana
menjara paling lama 12 Tahun.”

Unsur-Unsur Pasal 344 KUHP:


1. Adanya perbuatan aktif untuk menghilangkan nyawa
orang lain.
2. Adanya kehendak korban untuk mendatangkan akibat
mati.
3. Adanya permintaan tegas dan sungguh-sungguh.
Pasal 445 Rancangan KUHP
“ Barang siapa merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati atau atas permintaan
keluarga dalam hal orang itu sendiri tidak sadar
dipidana dengan Pidana Penjara paling lama 9 Tahun.”

Pasal 531 KUHP


“ Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang
yang sedang menghadapi maut tidak memberi
pertolongan yang dapat diberikan kepadanya tanpa
selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau
orang lain, diancam jika kemudian orang itu
meninggal, dengan pidana kurungan paling lama 3
bulan atau Pidana denda paling banyak Rp. 4.500,-
Sekian

Anda mungkin juga menyukai