MAKALAH
OLEH
KELOMPOK 3
a. Golongan pertama yang menyatakan tidak setuju dengan euthanasia dengan alasan
bahwa euthanasia pada hakekatnya tindakan bunuh diri yang secara tegas dilarang
oleh berbagai agama, dan atau dianggap sebagai suatu pembunuhan terselubung yang
secara tegas merupakan perbuatan melanggar hukum.
b. Golongan kedua yang setuju dengan euthanasia dengan alasan bahwa euthanasia
adalah hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia untuk menentukan hidupnya
termasuk hak untuk mati yang sejajar kedudukannya dengan hak untuk hidup. Dan
diperkuat dengan alasan bahwa keputusan euthanasia adalah keinginan dari diri sendiri
pemohon euthanasia.
Terdapat juga pendapat dari Dr. R. Soeprono (dalam Prakoso, 1984:54) yang membagi
euthanasia empat bentuk yaitu:
Dr. H. Akbar mengemukakan, Euthanasia aktif dan euthanasia pasif, penderita gawat
dan darurat dirawat di rumah sakit atau dibagian rumah sakit gawat darurat dengan
peralatan yang majemuk untuk menolong jantung, pernapasan dan cairan tubuh, sehingga
alat-alat tubuh itu dapat berfungsi dengan baik (Soekanto, 1990:45).
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana
datang permintaan, sadar tidaknya pasien, dan lain-lain. Secara garis besar, euthanasia
dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif dan
berdasarkan kondisi pasien, euthanasia dibagi menjadi euthanasia volunteer dan
euthanasia involunteer. Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia, yaitu
euthanasia aktif, euthanasia pasif, euthanasia volunteer, dan eathanasia involunteer.
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk
mengakhirihidup pasien yang dilakukan secara medis.Biasanya dilakukan dengan
penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan dan Euthanasia aktif
dilakukan dengan menghentikan segala alat-alat pembantu dalam perawatan, sehingga
jantung dan pernafasan tidak dapat bekerja dan akan berhenti berfungsi, atau memberikan
obat penenang dengan dosis yang melebihi, yang juga akan menghentikan fungsi jantung.
Euthanasia aktif menjadi dua golongan, yaitu:
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis
yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan
memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan.
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yaitu cara yang menunjukkan bahwa tindakan medis
yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa
risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen
atau alat bantu kehidupan lainnya.
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia,Euthanasia pasif di
lakukan bila penderita gawat darurat tidak diberi obat sama sekali, sehingga pasien
diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.
Euthanasia volunter (Euthanasia secara sukarela) adalah penghentian tindakan
pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan sendiri. Adakalanya hal itu tidak
harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan
pasien.
Euthanasia involunter (Euthanasia secara tidak sukarela) adalah jenis euthanasia yang
dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk
menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap keluarga pasien yang bertanggung
jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan
perbuatan kriminal.
Sampai sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik dan jelas
mengenai euthanasia ( M e r c y Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang
atas permintaan sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang.
Konsep Euthanasia sekarang ini masih menjadi perdebatan para pakar hukum, ada yang
setuju tentang euthanasia dan ada pula pihak yang tidak setuju tentang euthanasia.
Dua pandangan tersebut semakin membuat panjang perdebatan tentang boleh tidaknya
dilakukan euthanasia dalam system hukum di Indeonesia. Di Indonesia suntik mati
ataueuthanasia dengan menyuntik mati akandisamakan dengan tindakan pidana
pembunuhan seperti apa yang sudah ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang
diakui secara yuridisdan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia,
euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis.
Menyinggung masalah kematian, menurut cara terjadinya, maka ilmu pengetahuan
membedakannya ke dalam tiga jenis kematian, yaitu:(a) orthothanasia, yaitu kematian
yang terjadi karena suatu proses alamiah, (b)dysthanasia, yaitu suatu kematian yang
terjadi secara tidak wajar, (c) buthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan
pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter (Sinar Harapan,1977:8).
Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, ada beberapa pasal yang
berkaitan atau dapat menjelaskandasar hukum dilakaukannya euthanasia bagi orang atau
keluarga yang mengajukan untuk dilakukan euthanasia:
2. Pasal 359
3. Pasal 345
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri,
dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara.
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun”
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan
sengsara,padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib
memberi kehidupan,perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah”
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 dan 304 KUHP tersebut tersimpul, bahwa
pembunuhan dengan sengaja membiarkan sengsara dan atas permintaan korban sekalipun
tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di
Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian
dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran
hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap
dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana
bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islammeskipun tidak ada teks
dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisitmelarang bunuh diri. Kendati
demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkanhal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu)
di jalan Allah, dan janganlahkamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah,karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik."
(QS2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuhdirimu
sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlahkamu saling
berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang
Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuhdirinya sendiri.
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut
(eutanasia),yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorangdengan sengaja tanpa
merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuanmeringankan penderitaan si sakit,
baik dengan cara positif maupun negatif.
GAMBARAN KASUS
PENYELESAIAN MASALAH
Kasus di atas merupakan salah satu contoh masalah dilema etik (ethical dilemma).
Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang
memuaskan atau suatu situasi dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan
sebanding. Dalam dilema etik tidak ada yang benar atau salah. Untuk membuat
keputusan yang etis, seseorang harus tergantung pada pemikiran yang rasional dan
bukan emosional. Kerangkan pemecahan dilema etik banyak diutarakan dan pada
dasarnya menggunakan kerangka proses keperawatan/pemecahan masalah secara ilmiah
(Thompson & Thompson, 1985). Kozier et. al (2004) menjelaskan kerangka pemecahan
dilema etik sebagai berikut :
2. Mengidentifikasi konflik
6. Membuat keputusan
a. Tidak menuruti keinginan pasien tentang penambahan dosis obat pengurang nyeri.
Konsekuensi :
1)Tidak mempercepat kematian klien
2)Keluhan nyeri pada klien akan tetap berlangsung
3)Pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri
4)Keluarga dan pasien cemas dengan situasi tersebut
b. Tidak menuruti keinginan klien, dan perawat membantu untuk manajemen nyeri.
Konsekuensi :
1)Tidak mempercepat kematian pasien
2)Klien dibawa pada kondisi untuk beradaptasi pada nyerinya (meningkatkan
ambang nyeri)
3)Keinginan klien untuk menentukan nasibnya sendiri tidak terpenuhi
c. Menuruti keinginan klien untuk menambah dosis morphin namun tidak sering dan
apabila diperlukan. Artinya penambahan diberikan kadang-kadang pada saat
tertentu misalnya pada malam hari agar klien bisa tidur cukup.
d. Konsekuensi :
1) Risiko mempercepat kematian klien sedikit dapat dikurangi
2) Klien pada saat tertentu bisa merasakan terbebas dari nyeri sehingga ia dapat
cukup beristirahat.
3) Hak klien sebagian dapat terpenuhi.
4) Kecemasan pada klien dan keluarganya dapat sedikit dikurangi.
Pada kasus di atas dokter adalah pihak yang membuat keputusan, karena
dokterlah yang secara legal dapat memberikan ijin penambahan dosis morphin.
Namun hal ini perlu didiskusikan dengan klien dan keluarganya mengenai efek
samping yang dapat ditimbulkan dari penambahan dosis tersebut. Perawat membantu
klien dan keluarga klien dalam membuat keputusan bagi dirinya. Perawat selalu
mendampingi pasien dan terlibat langsung dalam asuhan keperawatan yang dapat
mengobservasi mengenai respon nyeri, kontrol emosi dan mekanisme koping klien,
mengajarkan manajemen nyeri, sistem dukungan dari keluarga, dan lain-lain.
6. Membuat keputusan:
Dalam kasus di atas terdapat dua tindakan yang memiliki risiko dan
konsekuensi masing-masing terhadap klien. Perawat dan dokter perlu
mempertimbangkan pendekatan yang paling menguntungkan / paling tepat untuk
klien. Namun upaya alternatif tindakan lain perlu dilakukan terlebih dahulu
misalnya manajemen nyeri (relaksasi, pengalihan perhatian, atau meditasi) dan
kemudian dievaluasi efektifitasnya. Apabila terbukti efektif diteruskan namun
apabila alternatif tindakan tidak efektif maka keputusan yang sudah ditetapkan
antara petugas kesehatan dan klien/ keluarganya akan dilaksanakan.
1. Euthanasia (Yunani : kematian yang baik) dapat diklasifikasikan menjadi aktif atau
pasif. Euthanasia aktif merupakan tindakan yang disengaja untuk menyebabkan
kematian seseorang. Euthanasia pasif merupakan tindakan mengurangi ketetapan
dosis pengobatan, penghilangan pengobatan sama sekali atau tindakan pendukung
kehidupan lainnya yang dapat mempercepat kematian seseorang. Batas kedua
tindakan tersebut kabur bahkan seringkali merupakan yang tidak relevan.
2. Menurut teori mengenai tindakan yang mengakibatkan dua efek yang berbeda,
diperbolehkan untuk menaikkan derajat/dosis pengobatan untuk mengurangi
penderitaan nyeri klien sekalipun hal tersebut memiliki efek sekunder untuk
mempercepat kematiannya.
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Sebagai manusia yang berpikir kritis kita harus ingat bahwa kita adalah manusia
ciptaan Tuhan, yang telah diberikan akal dan budi agar mampu mengembangkan secara
maksimal apa yang telah diberikanNya kita dengan kreatif dan mampu mengatur diri kita
sehingga tidak menyalahgunakan apa yang telah diberikanNya kepada kita untuk melakukan
hal-hal yang tidak bertanggung jawab yang bertentangan dengan moral dan etika, seperti
membunuh orang dengan cara apapun.
DAFTAR RUJUKAN
Pradjonggo, T. S. (2016). Suntik Mati (Euthanasia) ditinjau dari Aspek Hukum Pidana dan
Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, 1(1), 56-63.
Prakoso. D. dan D. A. Nirwanto. 1984. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana.
Ghalia Indonesia.
http://repository.unpas.ac.id/28620/4/F.BAB%20II%20TINJAUAN%20EUTHANASIA.pdf