Anda di halaman 1dari 17

EUTHANASIA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah


Etika Keperawatan
Yang dibimbing oleh Joko Pitoyo, S.Kp, M.Kep

OLEH

KELOMPOK 3

1. Naulya Hapzoh A.P NIM : P17210181002


2. Sony Irawan NIM : P17210181006
3. Fristy Nur Amalia F. NIM : P17210181010
4. Beryan Shella M. NIM : P17210181014
5. Reza Fani Bachtiar NIM : P17210181018
6. Dewi Yuli Astutik NIM : P17210181022
7. Dita Rahmawati NIM : P17210181026
8. Duwi Febrianto NIM : P17210182040

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN MALANG


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JL. BESAR IJEN 77 C MALANG
Maret 2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehidupan manusia di dunia dimulai dari proses pembuahan, kelahiran,
dan kehidupan. Kematian seseorang merupakan akhir dari siklus kehidupan
manusia di dunia. Kematian adalah sebuah keniscayaan bagi semua makhluk
hidup, khususnya manusia (Ismail, 2003: 3). Pendapat di atas menjelaskan bahwa
tidak ada makhluk hidup yang dapat hidup abadi. Semua makhluk hidup, tidak
terkecuali manusia pada akhirnya akan mengalami kematian.
Euthanasia pada hakikatnya adalah pencabutan nyawa seseorang yang
menderita penyakit parah. Euthanasia dilakukan atas dasar kepentingan atau
permintaan orang yang mengalami penderitaan rasa sakit tersebut (Ebrahim, 2001:
149).
Euthanasia bertujuan untuk meringankan penderitaan rasa sakit yang tidak
tertahankan akibat suatu penyakit atau cidera yang dialami oleh seseorang atau
pasien. Childress (1989: 31) mengungkapkan bahwa peringanan penderitaan
dalam kasus tertentu hanya dapat dicapai dengan mempercepat secara tidak
langsung tibanya kematian. Meninggal merupakan akibat tidak langsung dari
peringanan penderitaan terhadap seseorang. Akibat langsung dari peringanan
penderitaan tersebut adalah menghilangkan rasa sakit dan hampir semua orang
menerima tindakan tersebut sebagai tindakan halal.
Euthanasia berkaitan erat dengan nyawa seseorang, sehingga seringkali
seseorang atau dokter merasa ragu-ragu dalam pengambilan keputusan tindakan
euthanasia. Etika situasi memberikan alternatif baru dalam kasus euthanasia yaitu
dengan menelaah setiap kasus dan memastikan bahwa euthanasia adalah satu
satunya cara untuk menolong seseorang untuk lepas dari penderitaan rasa sakit
yang tidak tertahankan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Euthanasia?
2. Apa saja macam-macam Euthanasia?
3. Mengapa Euthanasia dilakukan?
4. Apa saja Etika Keperawatan dalam Euthanasia?
5. Apa saja hokum mengenai Euthanasia?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi Euthanasia
2. Mengetahui macam macam Euthanasia
3. Mengetahui alasan dilakukannya Euthanasia
4. Mengetahui Etika Keperawatan dalam Euthanasia
5. Mengetahui hokum mengenai Euthanasia
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Eutanasia


Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti
baik, tanpa penderitaan dan thanatos berarti mati. Maka dari itu dalam mengadakan
euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, akan tetapi untuk
mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya.
Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia
untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi
persoalan dari segi kesusilaan. Artinya, dari segi kesusilaan dapat
dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.Secara umum
perdebatan tentang setuju atau tidak setuju dengan euthanasia dapat dikelompokkan
menjadi 2 bagian yaitu:

a. Golongan pertama yang menyatakan tidak setuju dengan euthanasia dengan alasan
bahwa euthanasia pada hakekatnya tindakan bunuh diri yang secara tegas dilarang
oleh berbagai agama, dan atau dianggap sebagai suatu pembunuhan terselubung yang
secara tegas merupakan perbuatan melanggar hukum.
b. Golongan kedua yang setuju dengan euthanasia dengan alasan bahwa euthanasia
adalah hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia untuk menentukan hidupnya
termasuk hak untuk mati yang sejajar kedudukannya dengan hak untuk hidup. Dan
diperkuat dengan alasan bahwa keputusan euthanasia adalah keinginan dari diri sendiri
pemohon euthanasia.

Terdapat juga pendapat dari Dr. R. Soeprono (dalam Prakoso, 1984:54) yang membagi
euthanasia empat bentuk yaitu:

a. Euthanasia sukarela (Voluntary euthanasia)


Pasien meminta, memberi ijin atau persetujuan untuk menghentikan atau
meniadakan perawatan yang memperpanjang hidup.
b. Euthanasia terpaksa (Invulunturv eulfzunusiu)
Membiarkan pasien mati tanpa sepengetahuan si pasien sebelumnya dengan
cara menghentikan atau meniadakan perawatan yang memperpanjang hidup.
c. Mercy Killing sukarela (Volunturi Mercy Killing)
Dengan sepengetahuan dan persetujuan pasien diambil tindakan yang
menyebabkan kematian.
d. Mercy Killing terpaksa (Involunlari A1ercv Killing)
Tindakan sengaja di ambil tanpa sepengetahuan si pasien untuk mempercepat
kematian.

2.2 Macam-Macam Eutanasia

Dr. H. Akbar mengemukakan, Euthanasia aktif dan euthanasia pasif, penderita gawat
dan darurat dirawat di rumah sakit atau dibagian rumah sakit gawat darurat dengan
peralatan yang majemuk untuk menolong jantung, pernapasan dan cairan tubuh, sehingga
alat-alat tubuh itu dapat berfungsi dengan baik (Soekanto, 1990:45).

Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana
datang permintaan, sadar tidaknya pasien, dan lain-lain. Secara garis besar, euthanasia
dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif dan
berdasarkan kondisi pasien, euthanasia dibagi menjadi euthanasia volunteer dan
euthanasia involunteer. Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia, yaitu
euthanasia aktif, euthanasia pasif, euthanasia volunteer, dan eathanasia involunteer.

Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk
mengakhirihidup pasien yang dilakukan secara medis.Biasanya dilakukan dengan
penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan dan Euthanasia aktif
dilakukan dengan menghentikan segala alat-alat pembantu dalam perawatan, sehingga
jantung dan pernafasan tidak dapat bekerja dan akan berhenti berfungsi, atau memberikan
obat penenang dengan dosis yang melebihi, yang juga akan menghentikan fungsi jantung.
Euthanasia aktif menjadi dua golongan, yaitu:

a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis
yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan
memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan.

b. Euthanasia aktif tidak langsung, yaitu cara yang menunjukkan bahwa tindakan medis
yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa
risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen
atau alat bantu kehidupan lainnya.

Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia,Euthanasia pasif di
lakukan bila penderita gawat darurat tidak diberi obat sama sekali, sehingga pasien
diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.
Euthanasia volunter (Euthanasia secara sukarela) adalah penghentian tindakan
pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan sendiri. Adakalanya hal itu tidak
harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan
pasien.

Euthanasia involunter (Euthanasia secara tidak sukarela) adalah jenis euthanasia yang
dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk
menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap keluarga pasien yang bertanggung
jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan
perbuatan kriminal.

2.3 Alasan dilakukan Euthanasia

Euthanasia adalah sebuah aksi pencabutan nyawa seseorang karena itudilakukanya


aksi tersebut harus didukung dengan alasan yang kuat. Daribeberapa survei dan
penyaringan sumber. Berikut ini adalah tigaalasan utama mengapa euthanasia itu bisa
dilakukan.
1. Menganggap penyakit sudah tidak dapat di sembuhkan
2. Mengurangi penderitaan pasien yang sedang sakit tersebut
3. Mengurangi beban keluarga tentang biaya, dan waktu
4. Pasien tidak mendapat dukungan dari keluarga untuk melanjutkan hidup
5. Pasien memilih euthanasia karena sudah tidak memiliki semangat hidup yang tinggi
6. Kurangnya iman pasien dan keluarga
7. Rasa putus asa keluarga dan pasien
8. Pasien merasa menjadi beban keluarga

2.4 Etika Keperawatan Pada Euthanasia

1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatanmenghargai harkat dan martabat


manusia, keunikan kliendan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan,kesukuan,
warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan
sosial.

2) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatansenantiasa memelihara suasana


lingkungan yangmenghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dankelangsungan hidup
beragama klien.
3) Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yangmembutuhkan asuhan
keperawatan.

4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yangdikehendaki sehubungan dengan


tugas yang dipercayakankepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang berwenangsesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.

5) Dalam menghadapi pasien dalam kondisi kritis yangmengharuskan euthanasia maka


sebagai seorang perawatkita harus membimbing baik pasien maupun keluargadengan
bimbingan baik moril maupun spiritual

6) memberikan pengetahuan tentang tindakan euthanasiakepada pihak keluarga.

7) Perawat tidak memiliki wewenang untuk melakukantindakan euthanasia kecuali ada


intruksi dari dokter (scrib.id)

2.5 Hukum Mengenai Euthanasia

Sampai sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik dan jelas
mengenai euthanasia ( M e r c y Killing). Euthanasia atau  menghilangkan  nyawa orang
atas permintaan sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang.
Konsep Euthanasia sekarang ini masih menjadi perdebatan para pakar hukum, ada yang
setuju tentang euthanasia dan ada pula  pihak yang tidak setuju tentang euthanasia.

Pihak yang menyetujuieuthanasia mengemukakan  pendapat berdasarkan bahwa setiap


manusia mempunyai hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera
dengan alasan kemanusiaan. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan
untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera
diakhiri hidupnya.

Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap


manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati
adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.

Dua pandangan tersebut semakin membuat panjang perdebatan tentang boleh tidaknya
dilakukan euthanasia dalam system hukum di Indeonesia. Di Indonesia suntik mati
ataueuthanasia dengan  menyuntik  mati akandisamakan dengan tindakan pidana
pembunuhan seperti apa yang sudah ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Di Indonesia masalah euthanasia masih  belum mandapatkan tempat yang
diakui secara yuridisdan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia,
euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis.
Menyinggung masalah kematian, menurut cara terjadinya, maka ilmu pengetahuan
membedakannya ke dalam tiga jenis kematian, yaitu:(a) orthothanasia, yaitu kematian
yang terjadi karena suatu proses alamiah, (b)dysthanasia, yaitu suatu kematian yang
terjadi secara tidak wajar, (c) buthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan
pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter (Sinar Harapan,1977:8).

Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, ada beberapa pasal yang
berkaitan atau dapat menjelaskandasar hukum dilakaukannya euthanasia bagi orang atau
keluarga yang mengajukan untuk dilakukan euthanasia:

1. Pasal 340 KUHP

Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu


menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord),
dengan hukuman mati atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau penjara
sementara selama-lamanya dua puluh tahun.

2. Pasal 359

Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara


selamalamanya lima tahun atau kurungan selamalamanya satu tahun.

3. Pasal 345

Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri,
dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara.

Berdasarkan penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia dalam


skenario ini, maka dokter dan keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan
tindakan tersebut dapat dijeratkan dengan pasal 345 KUHP yang berbunyi barang siapa
dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, atau memberikan sarana
kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara dengan acaman penjara
selamalamanya empat tahun penjara (Moeljatno,1999:127).Dengan tidak adanya regulasi
yang jelas di Indonesia maka dapat dipastikan bahwa suntuk mati (euthanasia) masih
belum mempunyai dasar hukum yang jelas untuk melakukan tindakan suntikmati atau
euthanasia tersebut.
Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di
Indonesia hanya dikenal 2 bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien atau korban itu sendiri dan euthanasia yang dilakukan dengan sengaja
melakukan pembiaran terhadap pasien/ korban sebagaimana secara eksplisit diatur dalam
Pasal 344 dan 304 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan : (Moeljatno, 2005 :
116)

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun”

Sementara dalam pasal 304 KUHP dinyatakan:

“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan
sengsara,padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib
memberi kehidupan,perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah”

Bertolak dari ketentuan Pasal 344 dan 304 KUHP tersebut tersimpul, bahwa
pembunuhan dengan sengaja membiarkan sengsara dan atas permintaan korban sekalipun
tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di
Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian
dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran
hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap
dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana
bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.

2.6 Euthanasia Dari Segi Agama

Dalam Ajaran Islam Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya(Yahudi dan


Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati,namun hak tersebut
merupakan anugerah Allah kepada manusia. “ Hanya Allah yang dapat menentukan
kapan seseorang lahir dan kapan ia mati “ (QS22: 66; 2: 243).

Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islammeskipun tidak ada teks
dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisitmelarang bunuh diri. Kendati
demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkanhal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu)
di jalan Allah, dan janganlahkamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah,karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik."
(QS2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuhdirimu
sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlahkamu saling
berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang
Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuhdirinya sendiri.

Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut
(eutanasia),yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorangdengan sengaja tanpa
merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuanmeringankan penderitaan si sakit,
baik dengan cara positif maupun negatif.

Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun1981, dinyatakan


bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkandilakukannya eutanasia ataupun
pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.
(scrib.id, 2019)
BAB III

GAMBARAN KASUS

CONTOH KASUS EUTANASIA PASIF :

Seorang wanita berumur 50 tahun menderita penyakit kanker payudara terminal


dengan metastase yang telah resisten terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi. Wanita
tersebut mengalami nyeri tulang yang hebat dimana sudah tidak dapat lagi diatasi dengan
pemberian dosis morphin intravena. Hal itu ditunjukkan dengan adanya rintihan ketika
istirahat dan nyeri bertambah hebat saat wanita itu mengubah posisinya. Walapun klien
tampak bisa tidur namun ia sering meminta diberikan obat analgesik, dan keluarganya
pun meminta untuk dilakukan penambahan dosis pemberian obat analgesik. Saat
dilakukan diskusi perawat disimpulkan bahwa penambahan obat analgesik dapat
mempercepat kematian klien.
BAB IV

PENYELESAIAN MASALAH

4.1 Penyelesaian menggunakan Kerangka Pemecahan Masalah Kozier et.al 2004

Kasus di atas merupakan salah satu contoh masalah dilema etik (ethical dilemma).
Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang
memuaskan atau suatu situasi dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan
sebanding. Dalam dilema etik tidak ada yang benar atau salah. Untuk membuat
keputusan yang etis, seseorang harus tergantung pada pemikiran yang rasional dan
bukan emosional. Kerangkan pemecahan dilema etik banyak diutarakan dan pada
dasarnya menggunakan kerangka proses keperawatan/pemecahan masalah secara ilmiah
(Thompson & Thompson, 1985). Kozier et. al (2004) menjelaskan kerangka pemecahan
dilema etik sebagai berikut :

1. Mengembangkan data dasar

2. Mengidentifikasi konflik

3. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan


mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut

4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat

5. Mendefinisikan kewajiban perawat

6. Membuat keputusan

Untuk penyelesaian dilema etik kasus euthanasia pasif menggunakan kerangka


pemecahan masalah menurut Kozier et.al (2004) yaitu sebagai berikut :

1. Mengembangkan data dasar :

a. Orang yang terlibat : Klien, keluarga klien, dokter, dan perawat


b. Tindakan yang diusulkan : tidak menuruti keinginan klien untuk memberikan
penambahan dosis morphin.
c. Maksud dari tindakan tersebut : agar tidak membahayakan diri klien
d. Konsekuensi tindakan yang diusulkan, bila tidak diberikan penambahan dosis
morphin, klien dan keluarganya menyalahkan perawat dan apabila keluarga klien
kecewa terhadap pelayanan di bangsal mereka bisa menuntut ke rumah sakit.

2. Mengidentifikasi konflik akibat situasi tersebut :

Penderitaan klien dengan kanker payudara yang sudah mengalami metastase


mengeluh nyeri yang tidak berkurang dengan dosis morphin yang telah ditetapkan.
Klien meminta penambahan dosis pemberian morphin untuk mengurangi keluhan
nyerinya. Keluarga mendukung keinginan klien agar terbebas dari keluhan nyeri.
Konflik yang terjadi adalah :

a. Penambahan dosis pemberian morphin dapat mempercepat kematian klien.


b. Tidak memenuhi keinginan klien terkait dengan pelanggaran hak klien.

3. Tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan


konsekuensi tindakan tersebut

a. Tidak menuruti keinginan pasien tentang penambahan dosis obat pengurang nyeri.
Konsekuensi :
1)Tidak mempercepat kematian klien
2)Keluhan nyeri pada klien akan tetap berlangsung
3)Pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri
4)Keluarga dan pasien cemas dengan situasi tersebut
b. Tidak menuruti keinginan klien, dan perawat membantu untuk manajemen nyeri.
Konsekuensi :
1)Tidak mempercepat kematian pasien
2)Klien dibawa pada kondisi untuk beradaptasi pada nyerinya (meningkatkan
ambang nyeri)
3)Keinginan klien untuk menentukan nasibnya sendiri tidak terpenuhi
c. Menuruti keinginan klien untuk menambah dosis morphin namun tidak sering dan
apabila diperlukan. Artinya penambahan diberikan kadang-kadang pada saat
tertentu misalnya pada malam hari agar klien bisa tidur cukup.
d. Konsekuensi :
1) Risiko mempercepat kematian klien sedikit dapat dikurangi
2) Klien pada saat tertentu bisa merasakan terbebas dari nyeri sehingga ia dapat
cukup beristirahat.
3) Hak klien sebagian dapat terpenuhi.
4) Kecemasan pada klien dan keluarganya dapat sedikit dikurangi.

4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat :

Pada kasus di atas dokter adalah pihak yang membuat keputusan, karena
dokterlah yang secara legal dapat memberikan ijin penambahan dosis morphin.
Namun hal ini perlu didiskusikan dengan klien dan keluarganya mengenai efek
samping yang dapat ditimbulkan dari penambahan dosis tersebut. Perawat membantu
klien dan keluarga klien dalam membuat keputusan bagi dirinya. Perawat selalu
mendampingi pasien dan terlibat langsung dalam asuhan keperawatan yang dapat
mengobservasi mengenai respon nyeri, kontrol emosi dan mekanisme koping klien,
mengajarkan manajemen nyeri, sistem dukungan dari keluarga, dan lain-lain.

5. Mendefinisikan kewajiban perawat 

a. Memfasilitasi klien dalam manajemen nyeri


b. Membantu proses adaptasi klien terhadap nyeri / meningkatkan ambang nyeri
c. Mengoptimalkan sistem dukungan
d. Membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap
masalah yang sedang dihadapi
e. Membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa
sesuai dengan keyakinannya

6. Membuat keputusan:

Dalam kasus di atas terdapat dua tindakan yang memiliki risiko dan
konsekuensi masing-masing terhadap klien. Perawat dan dokter perlu
mempertimbangkan pendekatan yang paling menguntungkan / paling tepat untuk
klien. Namun upaya alternatif tindakan lain perlu dilakukan terlebih dahulu
misalnya manajemen nyeri (relaksasi, pengalihan perhatian, atau meditasi) dan
kemudian dievaluasi efektifitasnya. Apabila terbukti efektif diteruskan namun
apabila alternatif tindakan tidak efektif maka keputusan yang sudah ditetapkan
antara petugas kesehatan dan klien/ keluarganya akan dilaksanakan.

4.2 Prinsip Legal dan Etik


Suatu intervensi medis yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan klien
namun dapat mengakibatkan kematian klien atau membantu pasien bunuh diri disebut
sebagai euthanasia aktif. Di Indonesia hal ini tidak dibenarkan menurut undang-undang,
karena tujuan dari euthanasia aktif adalah mempermudah kematian klien. Sedangkan
euthanasia pasif bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan klien namun
membiarkannya dapat berdampak pada kondisi klien yang lebih berat bahkan memiliki
konsekuensi untuk mempercepat kematian klien. Walaupun sebagian besar nyeri pada
kanker dapat ditatalaksanakan oleh petugas kesehatan profesional yang telah dilatih
dengan manajemen nyeri, namun hal tersebut tidak dapat membantu sepenuhnya pada
penderitaan klien tertentu. Upaya untuk mengurangi penderitaan nyeri klien mungkin
akan mempercepat kematiannya, namun tujuan utama dari tindakan adalah untuk
mengurangi nyeri dan penderitaan klien.

1. Euthanasia (Yunani : kematian yang baik) dapat diklasifikasikan menjadi aktif atau
pasif. Euthanasia aktif merupakan tindakan yang disengaja untuk menyebabkan
kematian seseorang. Euthanasia pasif merupakan tindakan mengurangi ketetapan
dosis pengobatan, penghilangan pengobatan sama sekali atau tindakan pendukung
kehidupan lainnya yang dapat mempercepat kematian seseorang. Batas kedua
tindakan tersebut kabur bahkan seringkali merupakan yang tidak relevan.

2. Menurut teori mengenai tindakan yang mengakibatkan dua efek yang berbeda,
diperbolehkan untuk menaikkan derajat/dosis pengobatan untuk mengurangi
penderitaan nyeri klien sekalipun hal tersebut memiliki efek sekunder untuk
mempercepat kematiannya.

3. Prinsip kemanfaatan (beneficence) dan tidak merugikan orang lain (non


maleficence) dapat dipertimbangkan dalam kasus ini. Mengurangi rasa nyeri klien
merupakan tindakan yang bermanfaat, namun peningkatan dosis yang mempercepat
kematian klien dapat dipandang sebagai tindakan yang berbahaya. Tidak melakukan
tindakan adekuat untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat membahayakan klien,
dan tidak mempercepat kematian klien merupakan tindakan yang tepat (doing
good).
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemaparan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa Euthanasia


tidak boleh dilakukan didunia Kedokteran maupun didalam kehidupan masyarakat karena hal
tersebut melanggar Kode Etik Kedokteran dan melanggar KUHP didalam masyarakat.
Disamping fakta bahwa Euthanasia itu dapat membantu masayarakat dalam memiliki hak dan
kewajiban untuk mengakhiri kehidupan orang-orang yang mengalami koma yang tidak
berpengharapan. Akan tetapi, hal penting yang perlu diingat dan perlu diperhatikan juga
adalah bahwa tindakan Euthanasia itu sama dengan melakukan tindak pembunuhan dan
mencabut hak hidup seseorang. Karena belum tentu orang-orang yang berada dalam kesakitan
yang hebat dan menginginkan kematian sungguh-sungguh mengetahui apa yang
dikehendakinya.

5.2 Saran

Sebagai manusia yang berpikir kritis kita harus ingat bahwa kita adalah manusia
ciptaan Tuhan, yang telah diberikan akal dan budi agar mampu mengembangkan secara
maksimal apa yang telah diberikanNya kita dengan kreatif dan mampu mengatur diri kita
sehingga tidak menyalahgunakan apa yang telah diberikanNya kepada kita untuk melakukan
hal-hal yang tidak bertanggung jawab yang bertentangan dengan moral dan etika, seperti
membunuh orang dengan cara apapun.
DAFTAR RUJUKAN

Pradjonggo, T. S. (2016). Suntik Mati (Euthanasia) ditinjau dari Aspek Hukum Pidana dan
Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, 1(1), 56-63.

Prakoso. D. dan D. A. Nirwanto. 1984. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana.
Ghalia Indonesia.

Yudaningsih, L. P. (2015). Tinjauan Yuridis Euthanasia Dilihat Dari Aspek Hukum


Pidana. Jurnal Ilmu Hukum Jambi, 6(1).

http://repository.unpas.ac.id/28620/4/F.BAB%20II%20TINJAUAN%20EUTHANASIA.pdf

Moeljatno, 2005, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.


https://id.scribd.com/doc/91730669/Makalah-Euthanasia. diakses pada 27 Maret 2019

Anda mungkin juga menyukai