Anda di halaman 1dari 17

KELOMPOK 1

Materi Pengkajian Dan Komponen Pengkajian Dalam Transkultural Nursing


1. Pengertian pengkajian transcultural nursing

Langkah awal dari proses keperawatan adalah mencari informasi tentang pasien. Data
merupakan hasil dari pencarian informasi bias diperoleh melalui pasien sendiri berdasarkan
wawancara. Perawat transcultural menggunakan banyak cara dalam memahami untuk mencoba
menyesuaikan pengalaman, interpretasi dan harapan yang berbeda dalam budaya. Wawancara
dalam pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan transcultural salah satunya
yang sering digunakan adalah dari Leininger.
Menurut Leininger dan Mc Farland 2002 beberapa tujuan dari pengkajian transcultural :
1) Mencari budaya pasien
2) Mendapatkan infromasi budaya secara keseluruhan
3) Mencari pola dan spesifikasi budaya
4) Mencari area yang berpotensi menjadi konflik budaya
5) Mengidentifikasi secara keseluruhan dan spesifik pola keperawatan budaya
6) Mengidentifikasi perbandingan informasi keperawatan budaya
7) Mengidentifikasi dua persamaan atau perbedaan pasien
8) Menggunakan teori dan pendekatan riset untuk mengartikan dan menjelaskan
praktik

Tujuan pengkajian tersebut menggambarkan bahwa pengkajian transcultural dilakukan,


suatu contoh diperbedaan budaya yang digambarkan dalam hasil survei tentang pengkajian
keperawatan transcultural dilakukan oleh Pratiwi, Nety, Tambunan dan Dario 2002.

Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada Leininger, Sunrise model
dalam teori keperawatan transcultural Leininger yaitu :
1) Faktor teknologi (Techonological Factors)
2) Faktor agama dan falsafah hidup
3) Faktor social dan keterikatan kekeluargaan
4) Faktor nilai-nilai budaya dan gaya hidup
5) Faktor kebijakan peraturan rumah sakit
6) Faktor ekonomi
7) Faktor pendidikan

Cara pengisian pengkajian keperawatan transcultural :


1) Data demografi
2) Data biologis
3) Faktor teknologi
4) Agama dan filosofi
5) Faktor sosial dan ikatan kekerabatan
6) Faktor politik dan hukum
7) Faktor ekonomi
8) Faktor Pendidikan

Pengkajian keperawatan menurut Model dari Giger dan Davidhizar

Transkultural nursing atau keperawatan transkultural adalah suatu area formal keilmuan
dan praktek yang memfokuskan adanya perbedaan dan kesamaan dari budaya, kepercayaan,
nilai-nilai dan cara hidup, untuk memberikan asuhan keperawatan yang kongruen secara budaya
pada semua orang dengan latar belakang budaya berbeda, sehingga menjadi berarti dan
bermanfaat bagi pelayanan kesehatan begitu juga dalam pemberian asuhan keperawatan
(Leininger,2002)

Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah kesehatan


klien sesuai dengan latar belakang budaya klien. Langkah penilaian proses keperawatan sangat
penting dalam hubungan antara pasien dan perawat. Untuk mengumpulkan data tentang pasien
dari budaya yang berbeda perawat harus melihat pasien dalam konteks dimana ia berada mulai
dari aspek komunikasi, ruang, variasi biologi, pengendalian lingkungan, waktu dan organisasi
sosial hal ini sesuai dengan yang dikemukakan dalam Assessment Model  oleh Giger dan
Davidhizar (1995).
Teori Assessment Model dari Giger dan Davidhizar ini mendiskripsikan enam fenomena
budaya yang harus diperhatikan dan dijadikan sebagai alat untuk melakukan pengkajian tentang
nilai budaya yang dianut klien yaitu aspek komunikasi, ruang, variasi biologi, pengendalian
lingkungan, waktu dan organisasi sosial.

1.  Komunikasi

(Bahasa yang digunakan, kualitas suara, pengucapan, bahasa diam/isyarat, dan komunikasi
non verbal)

Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain


memberitahu, mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik secara lisan atau langsung ataupun
tidak langsung atau melalui media (Effendy, 1960). Jadi jika hal ini tidak berjalan semestinya
biasanya akan terjadi miskomunikasi, hal ini yang sering menjadi masalah dipelayanan kesehatan
terutama di rumah sakit karena klien tidak berasal dari budaya yang sama dengan petugas
kesehatanan atau perawat sehingga perselisihan dapat timbul dari berbagai situasi.

Contoh ketika pasien dan perawat tidak berbicara dengan bahasa yang sama atau tidak
saling mengenal bahasa yang digunakan. Apa yang harus kita lakukan?.

Komunikasi yang jelas dan efektif merupakan aspek penting ketika berhubungan dengan
pasien, terutama jika perbedaan bahasa menciptakan rintangan budaya antara perawat dengan
pasien. Ketidakberhasilan untuk berkomunikasi secara efektif dengan pasien akan menyebabkan
penundaan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan mulai dari pengkajian, penentuan diagnosis
dan tindakan keperawatan. Perbedaan bahasa ini dapat diatasi dengan cara perawat meminta
anggota keluarga menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan atau juga bisa meminta teman
atau orang memahami bahasa yang digunakan pasein, halini  sesuai dengan definisi yang
dikemukan oleh Effendy, 1960 bahwa komunikasi dapat juga disampaikan melalui komunikasi
secara tidak langsung atau menggunakan media.

Keluarga dapat juga memberikan informasi tentang latar belakang pasien yang sangat
bermanfaat dalam perawatan secara holistik. Selain itu menurut saya hal yang juga penting
dalam komuniaksi antara perawat dan klien adalah kemampuan untuk mendengarkan karena
untuk mendapatkan data yang spesifik pada saat pengkajian selain kita menggali data dengan
bertanya kepada klien kita juga harus mampu mendengarkan apa yang disampikan oleh klien
terutama yang terkait dengan masalah kesehatannya. 

Begitu juga dengan bahasa tubuh atau bahasa non verbal hal ini juga harus dipahami oleh
kita sebagai perawat misalnya kita harus berhadapan, kontak mata atau melakukan sentuhan
yang apabilah hal ini kita lakukan akan berpengaruh terhadap keberhasilan asuhan keperawatan
yang kita berikan. Begitu juga dengan kebiasan komunikasi klien dengan latar belakang budaya
sosialnya seperti kulitas suara dan pengucapan  (seperti orang-orang sumatera intonasi suara
lebih keras jika dibandingkan dengan orang-orang dari pulau jawa) maka disinilah letaknya
bahwa perawat sebaiknya mengetahui norma dan budaya dalam berkominkasi akan memfasilitasi
pemahaman dan mengurangi miskomunikasi antara perawat dan klien.

2. Ruang

(Observasi derajat kenyamanan, kedekatan dengan orang lain, gerakan tubuh, persepsi
terhadap ruang).

Teritorialitas adalah suatu sikap yang ditujukan pada suatu area seseorang yang diklaim
dan dipertahankan atau bereaski secara emosional ketika orang lain memasuki area tersebut.
Perawat harus mencoba untuk menghargai territorial pasien, terutama ketika melakukan tindakan
keperawatan. Perawat juga harus menyambut anggota keluarga pasien yang mengunjungi pasien.
Hal ini akan tetap mengingatkan pasien seperti di rumahnya sendiri, menurunkan efek isolasi dan
syok akibat pelayanan atau tindakan keperawatan di rumah sakit.

3. Variasi biologi

(Struktur tubuh yang terkait adalah warna kulit, tekstur rambut, dan karakteristik fisik
lainnya, variasi enzimatik dan genetik, pola elektrokardiografi, kerentanan terhadap penyakit;
preferensi gizi dan kekurangan, dan karakteristik psikologis, mekanisme koping dan dukungan
sosial)

Melakukan penilaian fisik seperti struktur dan bentuk tubuh, warna kulit, perubahan warna
kulit yang tidak biasa, warna dan distribusi rambut, berat badan, tinggi badan, variasi enzimatik
dan genetik. Hal ini akan membantu kita mengidentifikasi beberapa ciri dimana seseorang dari
satu kelompok budaya berbeda secara biologis.
Selama ini ditempat pelayanan kita baik dirumah sakit atau pelayanan lainya variasi
biologi yang disebutkan diatas semuanya sudah dilakukan pengkajian kepada klien, hanya saja
belum dikaitkan secara mendalam dengan latar belakang budaya yang klien miliki. Jadi menurut
saya kedepannya kita memang harus mengkaji lebih dalam bahwa tampilan fisik atau variasi
biologi klien baik dalam kondisi sehat dan terutama pada kondisi yang kurang sehat ada kaitanya
dengan pola kebiasaan, nilai dan kebudayaan mereka.

Contoh Salah satu kebudyaan masyarakat yang lebih menyukai makanan yang tidak
dimasak terlebih dahulu untuk dikonsumsi, maka menurut saya hal ini akan membeikan tampilan
fisik atau masalah kesehatan yang khusus terkait dengan fisiknya karena pengaruh dari kebiasaan
atau budaya masyarakatnaya tersebut. Begitu juga apakah ada perbedaan enzimatik atau hasil
pemeriksaan EKG antara orang kulit hitam dengan orang yang berkulit putih dan variasi biologi
yang lainnya dapat kita kaji dengan kaiatannya atau pengaruhnya terhadap kesehatan seseorang.

4. Pengendalian lingkungan

(Praktek budaya kesehatan, definisi kesehatan dan penyakit, Orientasi nilai; percaya pada
sihir, doa untuk perubahan kesehatan)

Kontrol lingkungan (environmental control), mengacu pada kemampuan anggota


kelompok budaya tertentu untuk merencanakan aktivitas yang mengontrol sifat dan faktor
lingkungan langsung. Termasuk di dalamnya adalah sistem keyakinan tradisional tentang
kesehatan dan penyakit, praktek pengobatan tradisional, dan penggunaan penyembuhan
tradisional.

Dalam hal control lingkungan ini di Indonesia dengan latar belakang budaya masyarakat
yang beraneka ragam masih banyak sekali masayarakat dengan keyakinan budayanya untuk
mengatasi masalah kesehatannya. Selaku perawat kita juga harus memahami apakah keyakinan
yang dianut klien untuk mengatasi masalah kesehatan sesuai untuk mendukung proses
penyembuhan atau mengarah kepada peningkatan kondisi kesehatan yang lebih baik atau tidak.
Selagi hal tersebut sejalan dengan tujuan kesembuhan atau perawatan pasien  dan dapat diterima
oleh logika kesehatan menurut saya kontrol lingkungan seperti itu tetap dapat dijalankan.
Kecuali jika bertentangan dengan upaya kesembuhan dan peningkatan kondisi kesehatan klien.
5. Waktu

(Penggunaan waktu, durasi waktu, mendefinisikan waktu, waktu bersosial, orientasi watu
kedepan, saat ini atau masa lalu)

Konsep berlalunya waktu, durasi waktu, dan definisi dalam waktu. Negara-negara seperti
Inggris dan Cina tampaknya berorintasi masa lalu. Mereka menghargai tradisi, melakukan hal-
hal yang selalu dilakukan. Individu dari negara-negara ini mungkin enggan untuk mencoba
prosedur baru begitu juga dengan upaya untuk  kesehatan.

Orang-orang dari budaya yang berorientasi saat ini, cendrung berfokus pada disini dan
sekarang. Mereka mungkin relatif tidak peduli dengan masa depan, mereka akan menghadapinya
ketika masa itu datang. Amerika latin, penduduk asli Amerika, dan Timur Tengah yang
berorientasi budaya masa depan dan dapat mengabaikan langkah-langkah preventif perawatan
kesehatan.

Waktu atau orientasi waktu beragam di antara kelompok budaya yang berbeda, dan
perawat mempunyai satu sikap yang ditujukan saat menemukan kesulitan untuk memahami dan
merencanakan asuhan pada pasien dengan orientasi waktu yang berbeda. Misalnya perawat harus
memperhatikan jam berapa klien seharusnya sholat sesuai dengan budaya atau keyakinan
agamanya, jam berapa klien harus makan? ini juga harus diperhatikan jika saja dengan
budayanya klien harus makan pagi jam 7, siang jam 12 dan malam jam 20 sementara dilapangan
jadwal makan diatur pada waktu yang sama, padahal belum tentu jam makan klien dengan
budaya dan asal berbeda sesuai dengan yang dijadwalkan tersebut. Maka inilah letaknya praktik
keperawatan peka budaya hal-hal yang seperti ini harus diperhatikan sehingga pelayanan yang
kita berikan didukung juga oleh kebiasaan atau culture klien.

6. Organisasi sosial

(Budaya, ras, etnik, peran dan fungsi keluarga, pekerjaan, waktu luang, teman dan
penggunaan tempat ibadah seperti masjid, gereja dll)

Pola prilaku budaya belajar melalui enkulturasi, proses sosial melalui mana manusia
sebagai makhluk yang berpikir, punya kemampuan refleksi dan inteligensia, belajar memahami
dan mengadaptasi pola pikir, pengetahuan dan kebudayaan sekelompok manusia lain. Mengakui
dan menerima bahwa individu-individu dari latar belakang budaya yang berbeda-beda mungkin
menginginkan berbagai tingkat akulturasi ke dalam budaya yang dominan. Faktor-faktor siklus
harus diperhatikan dalam interaksi dengan individu dan keluarga (misalnya nilai tinggi
ditempatkan pada keputusan orang tertua, peran orang tua – ayah atau ibu dalam keluarga).

Budaya tidak hanya ditentukan oleh etnistitas tetapi oleh faktor seperti geografi, usia,
agama, jenis kelamin, orientasi, seksual dan status ekonomi. Memahami faktor usia dan siklus
hidup harus diperhatikan dalam interaksi dengan semua individu dan keluarga.

Organisasi sosial atau social organizations, lingkungan sosial di mana seseorang


dibesarkan dan bertempat tinggal merupakan peran penting dalam perkembangan dan identitas
budaya mereka. Sebagai contoh ketika klien berada dipelayanan kesehatan seperti dirumah sakit
mereka masih tetap perlu berkaitan dengan sosial organization misalnya tetap ingin menjalankan
ibadah sholat secara berjamaah baik dengan keluarga atau dengan orang lain. Maka dalam hal ini
rumah sakit yang jika memang peka terhadap budaya klien harus memfasilitasi. Begitu juga
dengan budaya dari agama yang lainnya atau kegitan organisasi sosial lainnya.

2. Berbagai komponen pengkajian dalam transcultural nursing

Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada yaitu :


a) Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors). Agama
adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para pemeluknya.
Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya,
bahkan diatas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah :
agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara
pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan.
b) Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors). Perawat pada
tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal
lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan
klien dengan kepala keluarga.
c) Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways) Nilai-nilai
budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya yang dianggap
baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan
terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah :posisi dan
jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan
yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan
kebiasaan membersihkan diri.
d) Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors).
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi
kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya (Andrew andBoyle, 1995). Yang
perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam
berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang
dirawat.
e) Faktor ekonomi (economical factors). Klien yang dirawat di rumah sakit
memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera
sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya : pekerjaan klien, sumber
biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya
asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga.
f) Faktor pendidikan (educational factors) tentang pengalaman sakitnya sehingga
tidak terulang kembali. Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam
menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka
keyakinan klien biasanya didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut
dapat belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang
perlu dikaji pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta
kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri.
KELOMPOK 3
Diagnosa Keperawatan Transkultural
Menurut teori Leininger
Dari beberapa pengertian dari setiap komponen dalam definisi keperawatan transkultural
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, diagnosa keperawatan transkultural merupakan
pengkajian dan penilaian tentang respon klien sesuai latar belakang budayanya yang dapat
dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi keperawatan. (Giger and Davidhizar, 1995).
Terdapat tiga diagnose keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan
transkultural yaitu :
1.      Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur;
2.      Gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural;
3.      Ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini.
Peran perawatan dalam hal ini adalah melakukan pengkajian terhadap respon klien
berdasarkan aspek latar belakang budaya mereka kemudian menjembatani antara sistem
perawatan yang dilakukan masyarakat awam dengan sistem perawatan prosfesional melalui
asuhan keperawatan berdasarkan ilmu pengetahuan dan dasar teori yang jelas dan telah terbukti.

Komponen Diagnosa Keperawatan Transkultural

Komponen diagnosa dan Pengkajian dalam keperawatan transkultural dirancang berdasarkan


7  komponen yang ada pada “Sunrise Model” yaitu:
a. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
b. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kindship and social factors)
c. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
d. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
e. Faktor ekonomi (economical factors)
f. Faktor pendidikan (educational factors)
g. Faktor teknologi

Model matahari terbit (Sunrise Model) ini melambangkan esensi keperawatan dalam
transkultural yang menjelaskan bahwa sebelum memberikan asuhan keperawatan kepada klien
(individu, keluarga, kelompok, komunitas, lembaga), perawat terlebih dahulu harus mempunyai
pengetahuan mengenai pandangan dunia (worldview) tentang dimensi dan budaya serta struktur
sosial yang berkembang di berbagai belahan dunia (secara global) maupun masyarakat dalam
lingkup yang sempit.

Dimensi budaya dan strukur sosial tersebut menurut Leinenger dipengaruhi oleh tujuh
faktor, yaitu teknologi, agama dan falsafah hidup, faktor sosial dan kekerabatan, nilai budaya dan
gaya hidup, politik dan hukum, ekonomi, dan pendidikan.

Setiap faktor tersebut berbeda pada setiap negara atau area, sesuai dengan kondisi
masing-masing daerah, dan akan memengaruhi pola/cara dan praktik keperawatan. semua
langkah perawatan tersebut ditujukan untuk pemeliharaan kesehatan holistik, penyembuhan
penyakit, dan persiapan menghadapi kematian. Oleh karena itu, ketujuh faktor tersebut harus
dikaji oleh perawat sebelum memberikan asuhan keperawatan kepada klien sebab masing-
masing faktor memberi pengaruh terhadap ekspresi, pola, dan praktik keperawatan (care
expression, pattern, and practices).

Dengan demikian, ketujuh faktor tersebut besar kontribusinya terhadap pencapaian


kesehatan secara holistik atau kesejahteraan manusia, baik pada level individu, keluarga,
kelompok, komunitas, maupun institusi di berbagai sistem kesehatan. Jika disesuaikan dengan
proses keperawatan, ketujuh faktor tersebut masuk ke dalam level pertama yaitu tahap
pengkajian.

Hasil akhir yang diperoleh melalui pendekatan keperawatan transkultural pada asuhan
keperawatan adalah tercapainya culture congruent nursing care health and well being, yaitu
asuhan keperawatan yang kompeten berdasarkan budaya dan pengetahuan kesehatan yang
sensitif, kreatif, serta cara-cara yang bermakna guna mencapai tingkat kesehatan dan
kesejahteraan bagi masyarakat.

Referensi
http://ch-graphic.blogspot.com/2013/11/diagnosa-keperawatan-transkultural.html
KELOMPOK 5
Definisi Dan Komponen Tindakan Transkultural Nursing
Menurut Sunrise Model
A. Definisi Rencana Tindakan Transkultural Nursing
Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah suatu proses
keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah suatu proses memilih strategi
yang tepat dan pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai dengan latar belakang
budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995).

B. Komponen dalam Rencana Tindakan Transkultural Nursing


Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural (Andrew and
Boyle, 1995) yaitu: mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak
bertentangan dengan kesehatan, mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang
menguntungkan kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien
bertentangan dengan kesehatan.
a. Cultural care preservation/maintenance/
Mempertahankan budaya Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien
tidak bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan
diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga klien
dapat meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya
berolahraga setiap pagi.

1. Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang proses melahirkan dan
perawatan bayi
2. Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien
3. Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat
b. Cultural careaccomodation/negotiation /Negosiasi budaya
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk
membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan
kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain
yang lebih mendukung peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai
pantang makan yang berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein
hewani yang lain.

1. Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien


2. Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
3. Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana kesepakatan
berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien dan standar etik
c. Cultual care repartening/reconstruction /Restrukturisasi budaya
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan
status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang biasanya
merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih
menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.

1. Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang diberikan dan
melaksanakannya
2. Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya kelompok
3. Gunakan pihak ketiga bila perlu
4. Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan yang dapat
dipahami oleh klien dan orang tua
5. Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan

Perawat dan klien harus mencoba untuk memahami budaya masing-masing melalui proses
akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya yang akhirnya akan
memperkaya budaya budaya mereka. Bila perawat tidak memahami budaya klien maka akan
timbul rasa tidak percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien akan
terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas keberhasilan menciptakan
hubungan perawat dan klien yang bersifat terapeutik.
KELOMPOK 7
Kasus Antropologi
Penjelasan Singkat Mengenai Teori Leninger
Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transkultural sebagai cara pandang,
keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai
dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep sentral keperawatan (Andrew and Boyle,
1995), yaitu :
1. Manusia
Menurut Leininger (1984) manusia memiliki kecenderungan untuk mempertahankan budayanya
pada setiap saat dimanapun dia berada (Geiger and Davidhizar, 1995).
2. Sehat
Kesehatan merupakan suatu keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang
digunakan untuk menjaga dan memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi
dalam aktivitas sehari-hari. Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin
mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat-sakit yang adaptif (Andrew and Boyle,
1995).
3. Lingkungan
Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang mempengaruhi perkembangan,
kepercayaan dan perilaku klien. Lingkungan dipandang sebagai suatu totalitas kehidupandimana
klien dengan budayanya saling berinteraksi. Terdapat tiga bentuk lingkungan yaitu : fisik, sosial
dan simbolik.
4. Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang
diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang budayanya. Asuhan keperawatan ditujukan
memandirikan individu sesuai dengan budaya klien.
Contoh Kasus Transkultural pada pasien dengan Gangguan Pernafasan

Klien Tn. D berusia 35 tahun, tinggal bersama istri dan kedua orang anaknya di Tegal
Jawa Tengah. Pendidikan terakhir klien adalah SMA, klien bekerja di pabrik dengan penghasilan
tiap bulan 800.000, Istri klien bernama Ny. E berusia 28 tahun, pendidikan terakhir SMP,
bekerja sebagai buruh cuci dengan penghasilan 15.000 per hari. Klien dan keluarganya beragama
Islam. Setiap harinya klien selalu melaksanakan shalat berjamah bersama keluarga kecilnya.
Sehari-hari klien menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia.
Sehari-hari klien tidak dapat lepas dari kebiasaannya untuk merokok. Baginya merokok
merupakan suatu identitas bahwa dirinya seorang laki-laki sejati. Klien telah merokok selama 10
tahun. Kebiasaan tersebut tidak dapat di hentikan oleh klien karena jika tidak merokok klien
merasa mulutnya pahit. Bahkan klien lebih memilih untuk menahan lapar dari pada harus
menahan untuk tidak merokok. Dan karena sibuk bekerja klien jarang untuk berolahraga Dalam
seminggu terakhir ini klien mengalami batuk dan sering kambuh ketika cuaca dingin. Merasakan
sakit pada bagian dada, pundak, punggung, dan lengan disertai dengan penurunan berat badan.
Klien dan istrinya menganggap bahwa itu adalah hal yang biasa dan efek dari kelelahan karena
bekerja. Untuk memperbaiki kondisinya, klien mendapatkan wejangan dari mertuanya untuk
banyak memberikan buah dan sayur seperti kembang kol, brokoli, kubis, kentang, jus apel dan
manggis. Karena menurut kepercayaan buah dan sayur yang berwana hijau dapat menambah
tenaga dan kesehatan, sedangkan buah dan sayur berwarna merah dipercaya menambah tenaga
dan kesungguhan. Namun dalam pengolahan buah dan sayur tersebut istri klien memotongnya
terlebih dahulu baru kemudian dicuci dan saat merebusnya tidak di tutup.
Karena dirasa kondisi klien tidak membaik maka istrinya, membawa klien ke RS Cepat
Sembuh untuk periksa. Oleh dokter yang memeriksa klien dicurigai mengidap kanker paru,
untuk memastikan hal tersebut klien harus melakukan pemeriksaan MRI. Setelah hasilnya keluar
ternyata dugaan dokter tersebut benar. Klien menderita kanker paru-paru. Dan saat ini didiagnosa
kanker paru stadium IIB. Dimana kanker tersebut telah menyebar ke kelenjar getah bening,
dinding dada, diafragma, lapisan yang mengelilingi jantung. Setelah dianamnesa oleh perawat
ternyata klien mempunyai kebiasaan merokok dan jarang berolahraga. Akhirnya klien
disarankan untuk melakukan kemoterapi. Namun klien menolak untuk melakukan kemoterapi.
Karena klien dan istrinya merupakan orang Jawa asli sehingga mereka masih kental menganut
tradisi dan budaya Jawa. Klien percaya bahwa dengan melakukan pernafasan segitiga yang
berasal dari nenek moyangnya akan dapat menyembuhkan segala macam penyakit termasuk
kanker paru yang dideritanya. Dan menurut klien dengan pernafasan segitiga ini klien tidak perlu
mengeluarkan banyak biaya.
a. Strategi yang digunakan dalam melaksanakan asuhan keperawatan (Leininger, 1991) adalah :
1. Strategi I, Perlindungan/mempertahankan budaya.
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan.
Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan
yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau mempertahankan status
kesehatannya.
Tn. D mendapat wejangan dari mertuanya untuk mengubah pola makannya seperti
mengkonsumsi kembang kol, brokoli, kubis, kentang dan lain-lain. Dalam segi kesehatan contoh
makanan yang disarankan oleh mertuanya itu sangat disarankan untuk Tn. D karena bermanfaat
untuk pengobatan kankernya. Dan perawat harus memotivasi klien agar memperbanyak
mengkonsumsi buah dan sayur.

2. Strategi II, Mengakomodasi/negoasiasi budaya.


Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk membantu klien
beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan. Perawat membantu
klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan
kesehatan.
Tn. D adalah pecandu rokok. Jadi, perawat menyarankan untuk mengurangi konsumsi
rokoknya secara bertahap. Perawat memberi penjelasan kepada klien bahwa zat-zat yang
terkandung dalam rokok mempunyai efek yang tidak baik dan pernafasan segitiga saja tidak
cukup untuk menyembuhkan kanker. Perawat memberi motivasi untuk melakukan kemoterapi
tetapi Tn. D tetap bisa melakukan pernafasan segitiga .

3. Strategi III, Mengubah/mengganti budaya klien


Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status kesehatan.
Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak
merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai
dengan keyakinan yang dianut.
Perawat memberi edukasi kepada istri Tn. D mengenai cara memasak sayur yang benar,
yaitu sayur dicuci terlebih dahulu sebelum dipotong, merebus sayur tidak terlalu lama dan tidak
lupa untuk menutup panci agar nutrisi tidak terbuang sia-sia.
KELOMPOK 9
Proses Keperawatan Transcultural
Gambaran masyarakat dengan kasus yang berhubungan dengan transcultural nursing dan
pemecahannya melalui rencana tindakan transcultural nursing.

A. Kasus

Disebuah desa, terdapat seorang ibu hamil dengan kehamilan pertama. Ibu hamil
tersebut sering membicarakan kehamilannya dengan tetangganya, sering mendengar
tentang bidan desa, sering mendengar tentang pemeriksaan kehamilan dan gizi ibu
hamil. Suaminya menyarankan supaya melakukan pemeriksaan kehamilan dan
sebagainya (antencedent). Ibu tersebut akhirnya datang ke posyandu untuk periksa
kehamilan (behaviour). Selanjutnya, ibu ini akan mengambil keputusan dengan dua
kemungkinan, yaitu :

1. Positif, jika melanjutkan pemeriksaan kehamilan pada bulan berikutnya.

2. Negatif, jika tidak akan melanjutkan pemeriksaan kehamilan lagi (drop out).

B. Pembahasan

Menurut teori Lawrence Green

- Faktor predisposisi, adalah faktor yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,


kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.
Pada kasus di atas, dengan melakukan pemeriksaan kehamilan ibu dapat
mengetahui kondisi tumbuh dan perkembangan janin, mengetahui tanda dan
gejala jika terjadi komplikasi, dan ibu dapat mempersiapkan persalinan.
- Faktor pendukung, adalah yang terwujud dalam fasilitas-fasilitas atau sarana-
sarana, alat-alat kontrasepsi, dan sebagainya.
Pada kasus di atas tersedianya fasilitas-fasilitas kesehatan yaitu bidan dan
posyandu. Dukungan dari tetangga, suami, dan lingkungan sekitar.
- Faktor pendorong, adalah yang terwujudnya sikap dan perilaku petugas
kesehatan, keluarga, dan masyarakat sekitar.
Pada kasus di atas, suami mendukung ibu hamil dengan menyarankan untuk
memeriksakan kehamilan di posyandu terdekat. Bidan mendukung dalam hal
pelayanan kesehatan dengan memeriksa kehamilan ibu tersebut.

Menurut teori World Health Organization (WHO)

- Pengetahuan, sama dengan teori Lawrence Green.


- Sikap :
a. Sikap tergantung situasi, seorang ibu yang melakukan pemeriksaan kehamilan
karena situasi yang mendukung, yaitu dengan adanya pelayanan kesehatan seperti
posyandu dan bidan.
b. Sikap tergantung pengalaman, seorang ibu yang sering menceritakan
kehamilannya dengan tetangga, sehingga tetangga sang ibu mengatakan bahwa
dulu Ia pernah mengalami komplikasi karena tidak melakukan pemeriksaan
kehamilan, sehingga ibu termotivasi untuk memeriksakan kehamilannya agar
mencegah komplikasi seperti tetangganya.
c. Sikap tergantung banyaknya pengalaman seseorang, ibu tersebut baru
mengalami kehamilan pertamanya sehingga ibu tersebut masih belum tahu betul
apa yang perlu dipersiapkan, ibu tersebut juga sering untuk mencari informasi
tentang kehamilan, dan sering sharing pengalaman dengan tetangganya, jadi ia
berharap dapat tahu bagaimana persiapan untuk kehamilan selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai