Anda di halaman 1dari 26

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Perawat seringkali memiliki latar belakang budaya dan agama yang berbeda dengan klien. Penting bagi perawat memahami dan menginterpretasikan pandangan klien mengenai kesehatan dan penyakit yang berbeda berdasarkan keyakinan sosial-budaya dan agama klien. Apabila antar perawat dan klien saling menyadari dan peka terhadap keunikan keyakinan dan praktik kesehatan serta penyakit, maka hubungan ini akan meningkatkan pemberian asuhan keperawatan yang efektif, baik secara kesehatan dan budaya. (Potter, 2005) Menurut Leininger (2002) dalam Ramadhy (2012), keperawatan lintas budaya (transcultural nursing) adalah suatu area keilmuan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang berfokus dalam memandang perbedaan dan kesamaan di antara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia. Teori Leininger berasal dari ilmu antropologi, namun konsep ini relevan untuk keperawatan. Leininger mendefinisikan transkultural nursing sebagai area yang luas dalam keperawatan yang berfokus dalam komparatif studi dan analisis perbedaan kultur dan subkultur dengan menghargai perilaku caring, nursing care, dan nilai sehat sakit, kepercayaan dan pola tingkah laku dengan tujuan perkembangan ilmu dan humanistic body of knowledge untuk kultur yang universal dalam keperawatan. (Anderson, 2009) Nusa Tenggara Timur adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di tenggara Indonesia. Provinsi ini terdiri dari kurang lebih 550 pulau, tiga pulau utama di Nusa Tenggara Timur adalah Flores, Sumba dan Timor Barat.
1

Jumlah penduduk di provinsi ini adalah 4.448.873 jiwa dimana penduduk lakilaki sebanyak 2.213.608 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 2.235.265 jiwa (2007). Sebagian besar penduduk beragama Kristen dengan persentase 95% (mayoritas Kristen), 4% Muslim, 0,2% Hindu atau Buddha dan 3% untuk lainnya. (Wikipedia, 2012) Salah satu suku yang paling banyak mendiami NTT adalah suku Atoni atau Dawan. Salah satu tradisi yang sampai saat ini dilakukan adalah tradisi sunat tradisional yang disebut sebagai sifon. Sunat tradisional ini dilakukan dengan alat-alat sederhana seperti silet, beling, tempurung, atau bahkan menggunakan potongan bambu tipis yang tidak disterilkan. Walaupun tradisi ini nyaris punah, namun beberapa dari suku Atoni hingga saat ini masih melakukan ritual tersebut secara sembunyi-sembunyi. (Bimas, 2009) Ritual sirkumsisi dilakukan pada pria berusia diatas 18 tahun dan sudah menikah. Setelah sirkumsisi dilakukan, ritual dilanjutkan dengan berhubungan badan dengan wanita tidak dikenal, perawan, atau yang berusia tua dimana luka sirkumsisi masih belum sembuh. Bila Sifon sudah dilakukan, maka pemuda tersebut tidak boleh berhubungan seks dengan wanita tersebut lagi seumur hidupnya. Karena berdasarkan kepercayaan Atoni, wanita telah menerima panas dari sang pemuda. Panas ini bisa diartikan sebagai penyakit. Jadi jika sang pria yang dianggap telah membuang penyakitnya pada wanita tersebut berhubungan seks lagi dengan wanita yang sama, maka penyakitnya dipercaya akan kembali pada sang pria, hal ini yang menyebabkan mengapa Sifon tidak boleh dilakukan dengan istri sendiri. (Bimas, 2009) Penulis mengangkat topik ini karena tradisi ini bisa dikatakan sebagai wujud perendahan harga diri kaum perempuan, meningatkan resiko infeksi dan sekaligus menjadi resiko penyebaran bermacam-macam penyakit kelamin seperti HIV/AIDS. Hal ini pun dianggap bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama. Aplikasi teori dalam keperawatan lintas budaya diharapkan dapat memunculkan kesadaran dan apresiasi terhadap perbedaan kultur
2

agar nantinya perawat memiliki pengetahuan dan praktek yang berdasarkan kultur secara konsep perencanaan dan untuk praktik keperawatan. 1.2. Tujuan a. Menganalisis kesenjangan antara teori dan tradisi Sifon di NTT berdasarkan pengkajian lintas budaya (sunrise Models Leininger) b. Menganalisis kesenjangan antara teori dan tradisi Sifon di NTT berdasarkan pendekatan/teknik lintas budaya c. Menganalisis aplikasi asuhan keperawatan yang dapat digunakan dalam tradisi Sifon 1.3. Manfaat a. Mengetahui kesenjangan antara teori dan tradisi Sifon di NTT berdasarkan pengkajian lintas budaya (sunrise Models Leininger) b. Mengetahui kesenjangan antara teori dan tradisi Sifon di NTT berdasarkan pendekatan/teknik lintas budaya c. Mengetahui aplikasi asuhan keperawatan yang dapat digunakan dalam tradisi Sifon

BAB 2. TINJAUAN TEORI 2.1 Model Transkultural Nursing Sunrise Model disusun Leininger pada tahun 1970 yang digunakan untuk menggambarkan teorinya. Leininger membuat gambaran berupa matahari terbit dan bentangan cahaya untuk memudahkan mempelajari elemen-elemen dari teori. Fokus asuhan ada pada individu, keluarga, kelompok khusus dan masyarakat. Inti asuhan menampilkan gambaran keadaan atau kondisi sepanjang rentang sehat-sakit. (Rasni, 2009)

Gambar 2.1. Model Sunrise Leininger Deskripsi asuhan dan perawatan Leininger: a. perawatan meliputi tindakan bantuan, dukungan, fasilitatif untuk individu atau kelompok dengan mengantisipasi kebutuhan; b. perawatan bermanfaat untuk memperbaiki, meningkatkan cara hidup klien; c. perawatan penting bagi perkembangan manusia, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup; d. perilaku-perilaku perawatan meliputi kepuasan, kasih saying, perhatian, perilaku koping, empati, kemampuan, fasilitas, ketertarikan, keterlibatan, tindakan konsultasi kesehatan, perilaku pertolongan , cinta, pemeliharaan, kehadiran, perilaku perlindungan, perilaku restorative, berbagi, perilaku stimulasi, penurunan stress, pertolongan, dukungan, penjagaan, lemah lembut, sentuhan dan kepercayann. (Rasni, 2009) 2.2 Pengkajian Transkultural Nursing 1. Tahap Pengkajian Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien. Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada Sunrise Model yaitu: a. Faktor teknologi (technological factors). Teknologi kesehatan memungkinkan klien untuk memilih atau mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu mengkaji: persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat ini. b. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors). Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan
5

kebenaran diatas segalanya, bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah: agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan. c. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kindship and social factors). Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor: nama lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga. d. Faktor nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural values and lifeways factors). Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Normanorma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah: posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri. e. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors). Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya. Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah: peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat. f. Faktor ekonomi (economical factors). Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh
6

perawat di antaranya: pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga. g. Faktor pendidikan (educational factors). Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah: tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali. 2. Tahap Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi keperawatan. Terdapat tiga diagnosa keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan transkultural yaitu: gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur, gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural dan ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini. 3. Tahap Perencanaan dan Pelaksanaan Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan transkultural adalah suatu proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah suatu proses memilih strategi yang tepat dan pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam
7

keperawatan transkultural (Andrew and Boyle, 1995) yaitu: mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak bertentangan dengan kesehatan, mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang menguntungkan kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien bertentangan dengan kesehatan. a. Cultural care preservation/maintenance: a) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang proses sehat-sakit; b) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinteraksi dengan klien; c) Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat. b. Cultural care accomodation/negotiation: a) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien; b) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan, c) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien dan standar etik c. Cultual care repartening/reconstruction: a) Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang diberikan dan melaksanakannya; b) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya kelompok; c) Gunakan pihak ketiga bila perlu; d) Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan yang dapat dipahami oleh klien dan orang tua, e) Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan. Perawat dan klien harus mencoba untuk memahami budaya masingmasing melalui proses akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya yang akhirnya akan memperkaya budaya budaya mereka. Bila perawat tidak memahami budaya klien maka akan timbul rasa tidak percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien akan terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas keberhasilan menciptakan hubungan perawat dan klien yang bersifat terapeutik.

4. Tahap Evaluasi Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan atau beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat bertentangan dengan budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien. 2.3 Teknik Pengkajian Transkultural Nursing Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan klien sesuai dengan budaya klien. Strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan adalah perlindungan atau mempertahankan budaya, mengakomodasi atau negoasiasi budaya dan mengubah atau mengganti budaya klien (Leininger, 1991). 1. Cara 1 Mempertahankan Budaya. Budaya dapat dipertahankan apabila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya. 2. Cara 2 Negosiasi Budaya. Intervensi dan implementasi keperawatan dilakukan untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan. 3. Cara 3 Restrukturisasi Budaya. Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status kesehatan. Perawat berupaya merubah gaya hidup klien dengan budaya yang bertentangan dengan kesehatan. Pola rencana
9

hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.

10

BAB 3. STUDI KASUS BUDAYA 3.1 Kajian atau Deskripsi Budaya Masyarakat Suku Atoni Penduduk pulau Timor bagian barat yang termasuk dalam wilayah Indonesia berasal dari berbagai suku yang ada di Nusa Tenggara Timur dan dari berbagai suku lainnya di Indonesia. Pulau Timor ini memiliki suku-suku asli sendiri, yaitu suku-suku yang terdiri dari Tetun, Bunak, Helong, Kemak, Dawan, Rote, dan Sabu. Suku bangsa Dawan atau Atoni merupakan kelompok suku terbesar yang mendiami daratan Nusa Tenggara Timor. Penduduk Timor menggunakan bahasa Dawan. Mata pencaharian suku Atoni adalah bertani sebagai mata pencaharian utama. Wilayah Timor terdiri dari pegunungan dan dataran tinggi keadaaan tanahnya bertanah liat berpori yang mengandung kapur Permian dan marl. Suku Dawan atau Atoni memiliki agama suku yang berasal dari nenek moyang mereka, yang berupa kepercayaan terhadap Uis Pah dan Uis Neno. Masyarakat Atoni atau dawan, sangat kuat dalam mempertahankan kepercayaannya yang dianut karena mereka menganggap apabila menganut agama lain, maka budaya Timor akan punah. Nusa Tenggara Timur dengan suku Atoni atau Dawan memiliki suatu tradisi atau budaya yang disebut dengan ritual Sifon. Tradisi ritual Sifon dilakukan di Timor Barat, terutama di suku Atoni. Ritual sifon ini merupakan tradisi sunat bagi kaum laki-laki yang dilakukan dengan alat-alat sederhana, seperti silet, pecahan kaca (beling), tempurung, atau bahkan menggunakan potongan bamboo tipis yang tidak disterilkan. Tradisi ritual sifon dilakukan untuk laki-laki dewasa yang berumur 18 tahun keatas yang biasanya untuk mereka yang sudah beristri dan punya anak. Masyarakat Atoni meyakini bahwa ritual sifon ini apabila dilakukan pada masa kecilnya atau anak-anak akan berakibat impoten atau penis tidak bisa berereksi dan menyebabkan penyakit, sehingga masyarakat suku Atoni meyakini tradisi Sifon ini dilakukan pada usia

11

dewasa. Proses penyembuhan sunat pada pemuda suku Atoni, dilakukan dengan cara melakukan hubungan seksual dengan wanita yang bukan istrinya. Tradisi ritual ini muncul dan berkembang sampai sekarang, meskipun sudah hampir punah dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Ritual Sifon ini biasanya dilakukan pada setiap musim panen. Tujuan dari ritual sifon yaitu untuk, membersihkan diri dari berbgai macam penyakit, juga membersihkan diri dari segala dosa dan dari berbagai macam pengaruh bala setan, secara biologis dimaksudkan untuk menambah kejantanan serta keperkasaan seorang pria dewasa. Proses ritual Sifon ini dilakukan oleh tukang sunat oleh suku mereka disebut dengan nama Ahelet. Ahelet inilah yang nantinya akan memastikan proses sunat berjalan sesuai dengan tradisi Atoni. Proses pertama yang dilakukan pada ritual sifon ini adalah penyerahan mahar berupa ayam, pernak-pernik dan sejumlah uang kepada Ahelet atau dukun sunat tersebut. Proses yang kedua sebelum dilakukan sunat, pemuda dibawa oleh Ahelet ke sungai tempat dilakukannya proses penyunatan, kemudian Ahelet meminta sang pemuda untuk menghitung batu, jumlah batu yang diambil oleh pemuda dinyatakan jumlah wanita yang pernah disetubuhinya selama ini, apabila sang pemuda berbohong mengenai jumlah batu yang diambil maka luka sunatnya akan sulit sembuh. Batu yang sudah diambil oleh pemuda , dibuang lagi ke sungai dengan tujuan agar pemuda tersebut melupakan wanita-wanita yang pernah disetubuhinya. Sang pemuda setelah membuang batu ke sungai, di bawa berendam lagi yang berfungsi untuk mendinginkan tubuh sehingga diharapkan tidak terjadi perdarahan yang berlebihan. Proses selanjutnya yaitu dilakukan sunat, yaitu dengan cara penjepitan kelamin bagian atas dengan menggunakan bambu, kemudian dilakukan sayatan. Ahelet melakukan perawatan terhadap luka dengan cara membalut bagian yang luka dengan daun kom, daun kom ini digunakan untuk mengawetkan mayat di Sumba, agar tidak terjadi perdarahan. Sang pemuda dianjurkan untuk
12

meminum darah ayam yang dicampur air kelapa dalam sekali minum. Masyarakat suku Atoni mempercayai hal ini, karena dapat mengembalikan darah yang terkuras saat proses penyunatan. Proses selanjutnya yaitu pemuda harus melakukan hubungan seks dalam kondisi luka yang masih basah, dengan perempuan yang bukan istri atau calon istrinya, tujuannya yaitu agar semua kotoran yang ada di dalam tubuh pemuda tersebut di salurkan kepada wanita yang disetubuhi dan wanita tersebut tidak boleh di setubuhi kembali, apabila disetubuhi kembali, maka penyakitnya akan kembali lagi kepada sang pemuda tersebut, selain itu agar organ sang pemuda dapat kembali berfungsi dengan baik. Wanita korban sifon, dia tidak mengetahui bahwa dia disetubuhi, karena wanita tersebut dihipnotis atau dalam keadaan tidak sadar. Wanita yang dipilih, biasanya beberapa kali akan disetubuhi dengan pemuda lain yang melakukan ritual sifon. Wanita yang menjadi korban ritual sifon diyakini, akan mendapatkan berkah dari para leluhur, karena telah bersedia menjadi tempat pembuangan penyakit dan dosa. Wanita korban sifon akan mengalami penderitaan fisik dan mental yang tidak akan pernah disembuhkan. Mereka akan diusir dari pergaulan, tidak bersuami, dan mengalami tekanan psikologis yang berat seperti stress atau bahkan gila. 3.2 Pengkajian Transkultural Nursing 1. Tahap Pengkajian Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada Sunrise Model yaitu: a. Faktor teknologi (technological factors). Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu mengkaji: persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah
13

kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat ini. Suku atoni dalam mengatasi masalah kesehatan masih percaya kepada dukun atau ahelet. Ahelet membantu masyarakat dalam ritual tradisi sifon. Pada Suku Atoni tidak memanfaatkan teknologi karena suku atoni tidak menerima budaya dari luar. b. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors). Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah: agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan. Suku Dawan atau Atoni memiliki agama suku yang berasal dari nenek moyang mereka, yang berupa kepercayaan terhadap Uis Pah dan Uis Neno. Masyarakat Atoni atau dawan, sangat kuat dalam mempertahankan kepercayaannya yang dianut karena mereka menganggap apabila menganut agama lain, maka budaya Timor akan punah. c. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kindship and social factors). Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor: nama lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga. d. Faktor nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural values and lifeways factors). Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Normanorma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan
14

terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah: posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri. Setelah proses sirkumsisi yang dilakukan oleh ahelet, pelaku tradisi sifon meminum darah ayam dengan meyakini agar darah yang keluar dapat terganti. Ahelet melakukan perawatan terhadap luka dengan cara membalut bagian yang luka dengan daun kom, yaitu daun yang digunakan sebagai pengawet mayat. yang bukan istrinya. e. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors). Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah: peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat. Suku atoni merupakan suku yang tertutup, dan terpencil sehingga masyarakat suku Atoni tidak mengenal pelayanan kesehatan. f. Faktor ekonomi (economical factors). Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat di antaranya: pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga. Untuk menyembuhkan luka sirkumsisi, pemuda sifon melakukan hubungan seksual dengan wanita

15

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Sebagian besar masyarakat Atoni bertani dan berkebun. g. Faktor pendidikan (educational factors). Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah: tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali. Rata-rata masyarakat suku Atoni tidak bersekolah. 3.3 Diagnosa Keperawatan Lintas Budaya Diagnosa individu 1. Resiko infeksi dengan faktor desiko tempat masuknya organisme sekunder akibat proses sirkumsisi yang tidak steril. 2. Resiko respon pasca trauma dengan faktor resiko kejadian traumtik akibat pelecehan seksual oleh budaya sifon. Diagnosa keluarga 1. Inefektif koping keluarga pada keluarga B dalam menanggapi proses penyembuhan luka sirkumsisi pada budaya sifon berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga dalam mengenal masalah keluarga terkait dengan proses penyembuhan untuk disetubuhi yang oleh harus mengorbankan yang anak perempuannya sirkumsisi. 2. Isolasi sosial pada Nn. Y keluarga bapak A berhubungan dengan ketidakmampuan merawat Nn. Y pasca ritual sifon sehingga terjadi penolakan oleh masyarakat
16

laki-laki

melakukan

Diagnosa komunitas 1. Inefektif koping komunitas suku Atoni dalam proses penyembuhan luka sirkumsisi pada budaya sifon berhubungan dengan ketidakmauan dalam menerima pengetahuan proses penyembuhan luka yang benar, ketidakmampuan dalam mengobati luka sirkumsisi dan ketidaktersediaan pelayanan kesehatan komunitas suku Atoni dalam mengatasi masalah yang ada di dalam budaya tersebut 2. Ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik komunitas suku Atoni dalam hal proses penyembuhan luka sirkumsisi berhubungan dengan kurangnya kesadaran tentang masalah kesehatan yang sedang dihadapi. 3.4 Perencanaan Keperawatan Lintas Budaya Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan transkultural adalah suatu proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah suatu proses memilih strategi yang tepat dan pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural (Andrew and Boyle, 1995) yaitu: mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak bertentangan dengan kesehatan, mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang menguntungkan kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien bertentangan dengan kesehatan. a. Cultural care preservation/maintenance: a) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang bahaya atau dampak dari tradisi sifon; b) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien yang akan menjalani prosesi adat sifon; c) Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat dalam hal proses sirkumsisi yang benar serta bagaimana cara penyembuhannya.

17

b. Cultural care accomodation/negotiation: a) Perawat menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien yang tinggal di suku atoni; b) Libatkan masyarakat suku atoni dalam perencanaan perawatan sirkumsisi atau tradisi sifon, c) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien dan standar etik. c. Cultual care repartening/reconstruction: a) Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang diberikan perawat dalam melaksanakan proses sirkumsisi dengan cara yang benar, serta cara penyembuhan yang benar; b) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari tradisi sifon; c) Ajak budayawan dengan tokoh masyarakat suku atoni dalam mendiskusikan tradisi sifon bersama klien; d) Terjemahkan terminologi gejala yang dialami pasien tradisi sifon ke dalam bahasa kesehatan yang dapat dipahami oleh klien dan orang tua, e) Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan. Perawat dan klien harus mencoba untuk memahami budaya masing-masing melalui proses akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya yang akhirnya akan memperkaya budaya budaya mereka. Bila perawat tidak memahami budaya klien maka akan timbul rasa tidak percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien akan terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas keberhasilan menciptakan hubungan perawat dan klien yang bersifat terapeutik. 3.5 Pendekatan atau Teknik Transkultural Nursing Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang budayanya. Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai dengan budaya klien. Keperawatan komunitas ditujukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan serta memberikan bantuan
18

melalui intervensi keperawatan dalam membantu individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat dalam mengatasi berbagai masalah budaya yang dialami sehari-hari. Perawat sebagai orang pertama dalam tatanan pelayanan kesehatan, melaksanakan fungsi-fungsi yang sangat relevan dengan kebutuhan individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. (Efendi, 2009) Klien yang mengalami gangguan psikologis, dapat dilakukan konseling dalam asuhan keperawatannya. Konseling dapat diurutkan pembahasannya yang meliputi : membimbing, menyembuhkan, memfasilitasi, memodifikasi, merestrukturisasi, dan mengembangkan, mempengaruhi, dibahas mengkomunikasikan, mengorganisasikan. Masing-masing

berdasarkan perspektif latar belakang historis, budaya dan pendekatannya berdasar atas fungsi konseling. Klien dengan gangguan fisiologis baik yang sudah nyata atau terprediksi mengalami gangguan baik karena adanya penyakit, trauma, dan kecacatan. Asuhan keperawatan meliputi perlakuan terhadap individu untuk memperoleh kenyamanan, membantu individu dalam meningkatkan dan mempertahankan kondisi sehatnya melalui prevensi, deteksi dan mengatasi kondisi berkaitan dengan gangguan fisiologisnya. Strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan adalah perlindungan atau mempertahankan budaya, mengakomodasi atau negoasiasi budaya dan mengubah atau mengganti budaya klien (Leininger, 1991). a. Cara 1 Mempertahankan Budaya. Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya berolahraga setiap pagi.

19

b.

Cara 2

Negosiasi Budaya. Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai pantang makan yang berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani yang lain. c. Cara 3 Restrukturisasi Budaya. Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.

20

BAB 4. PEMBAHASAN 4.1. Analisis Kesenjangan Antara Teori dan Kasus Pengakajian Lintas Budaya (Sunrise Models Leininger) Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit (Sunrise Model). Geisser (1991) menyatakan bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien. Pengelolaan asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

21

Nusa Tenggara Timur dengan suku Atoni atau Dawan memiliki suatu tradisi atau budaya yang disebut dengan ritual Sifon. Tradisi ritual Sifon dilakukan di Timor Barat, terutama di suku Atoni. Ritual sifon ini merupakan tradisi sunat bagi kaum laki-laki yang dilakukan dengan alat-alat sederhana, seperti silet, pecahan kaca (beling), tempurung, atau bahkan menggunakan potongan bamboo tipis yang tidak disterilkan, dari situ dapat mengakibatkan resiko infeksi karena peralatan yang tidak steril, jika dalam kondisi normal luka sirkumsisi untuk waktu penyembuhannya dibutuhkan waktu kurang lebih 2 minggu namun jika terjadi infeksi maka proses penyembuhan dapat memakan waktu yang lebih lama. Tradisi ritual sifon dilakukan untuk laki-laki dewasa yang berumur 18 tahun keatas yang biasanya untuk mereka yang sudah beristri dan punya anak. Masyarakat Atoni meyakini bahwa ritual sifon ini apabila dilakukan pada masa kecilnya atau anak-anak akan berakibat impoten atau penis tidak bisa berereksi dan menyebabkan penyakit, sehingga masyarakat suku Atoni meyakini tradisi Sifon ini dilakukan pada usia dewasa. Proses penyembuhan sunat pada pemuda suku Atoni, dilakukan dengan cara melakukan hubungan seksual dengan wanita yang bukan istrinya, namun bagi wanita yang telah disetubuhi tersebut akan diasingkan dan dianggap membawa penyakit dari laki-laki tersebut sehingga wanita tersebut harus pergi dari daerah itu. Tradisi ritual ini muncul dan berkembang sampai sekarang, meskipun sudah hampir punah dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Ritual Sifon ini biasanya dilakukan pada setiap musim panen. Tujuan dari ritual sifon yaitu untuk, membersihkan diri dari berbgai macam penyakit, juga membersihkan diri dari segala dosa dan dari berbagai macam pengaruh bala setan, secara biologis dimaksudkan untuk menambah kejantanan serta keperkasaan seorang pria dewasa Dari tradisi yang dilakukan terlihat bahwa adanya kesenjngan antara Budaya (Sunrise Models Leininger) Model konseptual yang dikembangkan
22

oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit (Sunrise Model). Geisser (1991) menyatakan bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien, Jika di lihat dari nilai-nilai budaya dan gaya hidup pada masyarakat ini, upacara yang di lakukan oleh suku atoni sangat sangat jauh dari standar kesehatan karena pada suku tersebut jika melakukan sunat tidak dilakukan dengan menggunakan alat steril sehingga mempunyai peluang besar terjadinya infeksi 4.2. Analisis Kesenjangan Antara Teori dan Kasus Pendekatan/Teknik Lintas Budaya Pendekatan atau teknik transkultural nursing pada tradisi sifon pada suku atoni di Kepulauan Nusa Tenggara Timur antara lain: 1. Perlindungan/Mempertahankan Budaya. Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya, misalnya melakukan diskusi dan mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan klien terkait tradisi sifon yang dilakukan oleh suku atoni tersebut yaitu dengan cara melakukan diskusi dengan kepala suku atoni bahwa upacara yang dilakukan sangat bertentangan dengan kesehatan namun perawat disini tetap menghargai adanya budaya tersebut tetap dipertahankan. 2. Mengakomodasi/Negoasiasi Budaya Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan, misalnya klien yang
23

melakukan sifon hendaknya dilakuan dengan menggunakan peralatan yang steril agar terhindar dari resio infeksi. Dengan cara melakuan negoisasi pada kepala adat pada suku atoni. Dengan seiring perkembangan jaman maka peralatan yang dilakukan saat melaku upacara tersebut sudah mulai berkembang jadi sudah tidak mengguanakan serpihan kaca, potongan bamboo dalam melakukan ritual pada upacara tersebut 3. Mengubah/Mengganti Budaya Klien Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi kebiasaan sirkumsisi yang banyak menimbulkan resiko infeksi yang awalnya menggunakan peralatan yang tidak steril seperti serpihan kaca dan bamboo disa diganti dengan peralatan yang steril yang berlaku sesuai dengan perkembangan jaman. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut. Implikasi Keperawatan Tradisi sifon tidak bisa diterapkan dalam layanan keperawatan karena adanya pembatasan makanan justru akan mengakibatkan resiko infeksi yang lebih besar. Dan juga perlu adanya negosiasi budaya dalam Intervensi dan implementasi keperawatan. Hal ini dilakukan untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya lain yang dapat menguntungkan kesehatan pasien. Perawat membantu pasien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang dapat menguntungkan untuk peningkatan kesehatan. Selain itu juga perlu diadakan restrukturisasi budaya, perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup pasien yang awalnya menggunakan peralatan yang tidak steril seperti serpihan kaca dan bamboo disa diganti dengan peralatan yang steril yang berlaku sesuai dengan perkembangan jaman. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.
24

Namun perawat harus tetap menghormati kebudayaan yang berlaku di masyarakat tersebut. Perawat menggunakan kata-kata yang tidak menyinggung dan mudah dipahami oleh pasien.

25

BAB 5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan Trancultural Nursing merupakan suatu lintas budaya perawat terhadap budaya lain yang tetap menghargai nilai-nilai kebudayaan yang ditempatinya. Nusa Tenggara Timur adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di tenggara Indonesia. Provinsi ini terdiri dari kurang lebih 550 pulau, tiga pulau utama di Nusa Tenggara Timur adalah Flores, Sumba dan Timor Barat. Jumlah penduduk di provinsi ini adalah 4.448.873 jiwa dimana penduduk laki-laki sebanyak 2.213.608 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 2.235.265 jiwa (2007). Sebagian besar penduduk beragama Kristen dengan persentase 95% (mayoritas Kristen), 4% Muslim, 0,2% Hindu atau Buddha dan 3% untuk lainnya. Salah satu suku di NTT adalah suku Atoni yang merupakan suku yang paling banyak di dihuni oleh masyarkat di NTT. Suku Atoni Memiliki budaya yaitu upacara Sifon yang menurut teori Keperawatan sangat bertentangan sekali dengan kesehatan yaitu proses sirkumsisi yang diawali pada umur lebih 18 tahun dan proses penyembuhannya dengan cara bersetubuh dengan wanita yang bukan istrinya. Hal ini apabila dilihat dari sudut pandang kesehatan, agama, moral, pendidikan sangat bertentangan sekali. perawat menggunakan suatu Asuhan keperawatan guna untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada di budaya tersebut. Asuhan keperawatannya yaitu terdiri dari pengkajian, diagnose, perencanaan dan pelaksanaan serta tahap evaluasi yang nantinya akan memberikan suatu layanan lintas budaya yang optimal 5.2 Saran Kritik dan saran kami perlukan untuk perbaikan makalah kami dan untuk kedepanya makalah ini bisa bermanfaat bagi keperawatan lintas budaya, keperawatan medical bedah, keperawatan komunitas, dan keperawatan jiwa
26

Anda mungkin juga menyukai