Anda di halaman 1dari 6

PENGKAJIAN BUDAYA DAN KEBUDAYAAN DALAM PEMBERIAN ASUHAN

KEPERAWATAN YANG PEKA BUDAYA KEPADA PASIEN

NAMA : YUVI VERNANDA FRIJAYA RISMA


NIM : 202101065
KELAS : 2-B ( S1 KEPERAWATAN )
MATA KULIAH : PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN
DOSEN PENGAMPU : Amar Akbar, S.Kep.Ns.M.Kes.Ph.D

A. Memperkenalkan Keperawatan Transkultural


Leininger menggunakan istilah keperawatan transkultural (TCN) untuk menggambarkan
pencampuran keperawatan dan antropologi menjadi bidang spesialisasi dalam disiplin ilmu
keperawatan. Menggunakan konsep budaya dan perawatan, Leininger didirikan TCN sebagai
area formal berbasis teori dan bukti studi dan praktek dalam keperawatan yang berfokus pada
keyakinan, sikap, nilai, perilaku, dan praktik yang berkaitan dengan kesehatan, penyakit,
penyembuhan, dan kepedulian manusia (Leininger, 1991, 1995; Leininger & McFarland, 2002,
2006).
TCN terkadang digunakan secara bergantian dengan lintas budaya, antarbudaya, dan
multicultural perawatan. Tujuan TCN adalah untuk mengembangkan ilmiah dan tubuh
pengetahuan humanistik untuk menyediakan budaya-spesifik dan budaya-universal praktik
asuhan keperawatan untuk individu, keluarga, kelompok, komunitas, dan lembaga sejenis dan
beragam budaya. Budaya-spesifik mengacu pada nilai-nilai tertentu, keyakinan, dan pola
perilaku yang cenderung khusus atau unik untuk suatu kelompok dan yang cenderung tidak
dibagi dengan anggota dari budaya lain. Budaya-universal mengacu pada nilai-nilai bersama,
norma-norma perilaku, dan pola hidup yang sama diadakan di antara budaya tentang perilaku
dan gaya hidup manusia (Leininger, 1978, 1991, 1995; Leininger & McFarland, 2002, 2006;
McFarland & Wehbe-Alamah, 2015a). Untuk misalnya, meskipun kebutuhan akan makanan
adalah budaya universal, ada kekhususan budaya yang menentukan barang apa yang dianggap
dapat dimakan; metode yang dapat diterima digunakan untuk mempersiapkan dan makan
makanan; aturan tentang siapa makan dengan siapa, yaitu frekuensi makan, dan terkait jenis
kelamin dan usia aturan yang mengatur siapa yang makan pertama dan terakhir saat makan
waktu; dan jumlah makanan yang dimiliki individu diharapkan untuk dikonsumsi.
B. Model Keperawatan Transkultural
Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan keperawatan
dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari
terbit (Sunrise Model). Geisser (1991). menyatakan bahwa proses keperawatan ini digunakan
oleh perawat sebagai landasan berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew
and Boyle, 1995). Gambar matahari terbit sebagai lambang atau simbol perawatan. Suatu
kekuatan untuk memulai pada puncak dari model ini dengan pandangan dunia dan keistimewaan
struktur sosial untuk mempertimbangkan karena dapat mempengaruhi kesehatan dan perawatan
atau menjadi dasar untuk berfokus pada keperawatan prefosional dan sistem perawatan
kesehatan secara umum. Model ini menggambarkan bahwa tubuh manusia tidak terpisahkan dari
budaya mereka (Giger & Davidhizar, 2013).(Untari, 2017)
Ada tiga tipe tindakan yang diangkat Leininger, dimana tindakan tersebut didasarkan pada
budaya klien sehingga dengan demikian akan harmonis dengan kebutuhan dan nilai-nilai klien.
Mempertahankan budaya lokal, memperhatikan cara-cara atau negosiasi budaya lokal, dan
melakukan restruktur atau membuat pola baru sesuai budaya lokal. Melalui tindakan ini akan
menurunkan stress kultur dan potensial koflik atau ketidakcocokan antara klien dengan petugas
kesehatan ataupun tindakan perawatan (George & Yulia 1990, dalam Nursalam 2015).(Untari,
2017)
Model konseptual Leininger memiliki 4 level pandangan (Nursalam, 2013).
- Level pertama. Lebih abstrak, menunjukkan bagaimana pandangan dunia dan level sistem
sosial, menjelaskan mengenai dunia diluar budaya, suatu suprasistem dalam sistem umum
- Level kedua. Menjelaskan pengetahuan tentang individu, keluarga, kelompok, dan
institusi pada sistem pelayanan kesehatan. Pada level ini unsur budaya mulai tampak
jelas, khususnya budaya tertentu, ekspresi dan hubungannya dengan pelayanan kesehatan
yang sudah ada.
- Level ketiga. Level ini berfokus pada sistem adat dan istiadat yang ada di masyarakat,
sistem pelayanan profesional, medis dan keperawatan.
- Level empat, terdapat pengambilan keputusan keperawatan dan tindakan- tindakan,
melibatkan kultur penyediaan atau mempertahankan pelayanan, kultur pelayanan
akomodasi/negosiasi dan kultur pelayanan dipola kembali atau retrukturasi.

C. Konsep Budaya Leininger


Teori Keanekaragaman Peduli Budaya Leininger dan Universalitas menggambarkan,
menjelaskan, dan pra- mendikte persamaan keperawatan dan perbedaan dalam perawatan dan
peduli dalam budaya manusia (Leininger, 1991). Leininger menggunakan konsep seperti
pandangan dunia, sosial dan struktur budaya, bahasa, etnosejarah, konteks lingkungan, dan
rakyat dan profesional sistem penyembuhan untuk memberikan yang komprehensif dan
pandangan holistik dari faktor-faktor yang mempengaruhi budaya peduli. Faktor perawatan
berbasis budaya diakuisebagai pengaruh besar pada pengalaman manusia berkaitan dengan
kesejahteraan, kesehatan, penyakit, kecacatan, dan kematian. Setelah melakukan budaya yang
komprehensif penilaian berdasarkan faktor-faktor sebelumnya, yaitu tiga mode keputusan dan
tindakan keperawatan pelestarian dan/atau pemeliharaan budaya, akomodasi perawatan budaya
dan/atau negosiasi, dan pola ulang perawatan budaya dan / atau restrukturisasi digunakan untuk
menyediakan kongruen secara budaya asuhan keperawatan (Leininger, 1991, 1995; Leininger &
McFarland, 2002, 2006). Kongruen secara budaya asuhan keperawatan “mengacu pada yang
berbasis kognitif tindakan asistif, suportif, fasilitatif, atau memungkinkan atau keputusan yang
sebagian besar dibuat khusus agar sesuai budaya individu, kelompok atau institusi nilai-nilai,
keyakinan, dan cara hidup untuk menyediakan berarti, bermanfaat, perawatan yang memuaskan
yang mengarah untuk kesehatan dan kesejahteraan” (Leininger, 1991, hal. 47). Kesesuaian
budaya adalah inti dari Leininger Teori Keanekaragaman dan Kepedulian Budaya.
Leininger mengakui bahwa akan diperlukan untuk memiliki kerangka kerja konseptual khusus
yang darinya berbagai pernyataan teoretis dikembangkan. Leininger's Sunrise Enabler
menggambarkan komponen-komponen Teori Keanekaragaman dan Kepedulian Budaya,
memberikan representasi visual dari komponen-komponen ini, dan mengilustrasikan keterkaitan
antar komponen. Karena dunia keperawatan dan perawatan kesehatan telah menjadi semakin
multikultural, relevansi teori tersebut juga meningkat.
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah kesehatan klien
sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Pengkajian dirancang
berdasarkan 7 komponen yang ada pada "Sunrise Model" yaitu :
1. Faktor teknologi (tecnological factors)
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran
menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu mengkaji : persepsi
sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan
kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi klien tentang
penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat
ini.
2. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para
pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan
kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang
harus dikaji oleh perawat adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang
klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang
berdampak positif terhadap kesehatan.
3. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap, nama panggilan,
umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan
keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga.
4. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya
yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah yang
mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji
pada faktor ini adalah : posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa
yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit,
persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri.
5. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang
mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya (Andrew and
Boyle, 1995). Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang
berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara
pembayaran untuk klien yang dirawat.
6. Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki
untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh
perawat diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki
oleh keluarga,biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor
atau patungan antar anggota keluarga.

D. Kasus Keperawatan
Seringkali kekerasan pada perempuan terjadi karena adanya ketimpangan atau ketidakadilan
jender karena faktor budaya. Ketimpangan jender adalah perbedaan peran dan hak perempuan
dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari laki-
laki. Faktor lain adalah faktor lingkungan seperti rendahnya pendidikan, lapangan kerja,
kemiskinan, tidak dihargainya hak-hak wanita, kebebasan untuk menikah dan bercerai, sehingga
yang paling sering terjadi adalah kekerasan didapat dari pasangan intimnya. Faktor ketiga adalah
paradigma dari aparatur negara yang tidak memandang serius kekerasan terhadap perempuan ini,
yang menyebabkan masih ada orang yang diskriminatif terhadap perempuan. Jadi tidak ada
sanksi hukumnya, karena dianggap masalah budaya, maka orang tidak takut kena sanksi hukum,
itu salah satu yang bisa memperbaiki budaya yang diskriminati. Pada laporan tahunan, pada
2018, Komnas Perempuan mencatat di Indonesia ada 348.446 kasus kekerasan terhadap
perempuan, yang ditangani selama 2017. Sebagai perbandingan, pada 2016, tercatat ada 259.150
kasus kekerasan. (https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-43317087). Menurut Komnas
Perempuan, pada tahun 2017 terdapat angka kekerasan terhadap anak perempuan yang lebih
tinggi dibanding 2016, yaitu sebanyak 2.227 kasus (sedangkan tahun 2016, yaitu 1.799 kasus),
dan dari kasus kekerasan itu, ada 1.200 kasus incest yang dilaporkan. Sementara itu, sepanjang
2017, ada lebih dari 5.000 kasus kekerasan terhadap istri yang dilaporkan ke lembaga pemerintah
seperti polisi atau ke lembaga penyedia layanan seperti rumah sakit. Selain itu, ada lebih dari
2.000 kasus kekerasan dalam pacaran yang dilaporkan.
Jumlah kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Lampung turun dari 103 kasus pada
2016 menjadi 71 kasus pada 2017. Begitu pula dengan kasus yang ditangani UPT Anak Korban
Tindak Kekerasan (PKTK) Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek dari 288 kasus di tahun
2016 menjadi 186 kasus di 201, dimana pelecehan seksual dan KDRT menjadi kasus yang paling
tinggi.
Bentuk kekerasan yang dilakukan bisa secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi yang
menyebabkan trauma dan korban mengalami harga diri rendah dan yang akhirnya menghalangi
dirinya berinteraksi sosial. Dampak lain dari kekerasan yang diterima wanita adalah
kemampuannya dalam mengatasi mengatasi masalah yang seringkali dengan perilaku kekerasan
atau mengambil jalan pintas walaupun berisiko masuk penjara, seperti . melakukan tindakan
kriminal (menipu, berdagang narkoba) untuk mengatasi masalah atau mencapai tujuannya dan ini
akan membuat wanita masuk dalam penjara atau lembaga permasyarakatan (Lapas). Banyak
wanita yang masuk lapas dengan konsep diri yang rendah dan dengan riwayat mengalami tauma
kekerasan dan penganiayaan.
Angka warga binaan pada Lembaga Permasyarakatan Perempuan Wanita Kelas IIA, Bandar
Lampung berjumlah 355 orang dengan hukuman teringan 6 bulan dan yang terberat adalah
hukuman mati. Jumlah warga binaan dengan kasus narkoba 276 orang dan dengan kasus pidana
umum 79 orang. Bila wanita ada di lapas, maka perlu ada program pemulihan, mulai dari
program pemulihan fisik, mental, pendidikan dan latihan kerja.Terapi individu sangat diperlukan
dan juga terapi dalam bentuk kelompok agar koping, harga diri dan kemampuan interaksinya
semakin ditingkatkan. Salah satu konsep model keperawatan adalah konsep caring menurut
Leininge, yang menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya Proses pengambilan data
dilakukan berdasarkan 7 komponen yaitu : faktor Teknologi, faktor keagamaan dan falsafah
hidup. faktor sosial dan keterikatan keluarga, faktor nilai budaya dan gaya hidup, faktor
peraturan dan kebijakan, faktor ekonomi dan faktor pendidikan. Tujuan penelitian ini adalah
Mengetahui perbedaan kemampuan interaksi sosial wanita korban tindak kekerasan antara
kelompok intervensi dengan kelompok kontrol setelah dilakukan terapi kelompok.
E. Pengkajian Keperawatan Dengan Leininger
Terapi kelompok yang dibilakukan tetap berdasarkan 7 komponen yang pada “Leininger’s
Sunrise models” dalam teori keperawatan transkultural Leininger yaitu :
- Faktor Teknologi (Technological Factors)
Pada saat individu menilai persepsi harga dirinya dan perilaku interaksi yang
mengganggu selama ini dia lakukan.

- Faktor keagamaan dan falsafah hidup (Religous and Philosofical Factors)


Pada saat mengidentifikasi perasaan dirinya berkenaan dengan budaya dan agama yang
diyakininya. Sudut pandang dirinya dari budaya dan agamanya diubah dan langsung
diaplikasikan dalam bentuk perilaku baru yang bisa dilaksanakan bila nanti keluar.

- Faktor sosial dan keterikatan keluarga (Kinship and Social Factors)


Dilakukan dengan memanggil responden nama panggilan dan penyebutan sesuai dengan
umur. Juga diminta mengidentifikasi riawayat pasangan, riwayat perkawinan, lama dan
jenis kekerasan yang dialami dan keterlibatan keluarga atau individu dalam kegiatan
sosial dengan tetap mengacu pada budaya. Hal ini dilaksanakan pada saat mereka
mempraktikan permintaan maaf pada keluarga besar.

- Faktor nilai budaya dan gaya hidup (Cultural Values and Lifeways)
Prinsip ini dilakukan pada saat mengidentifikasi pandangan adat dan agama pada
perilakunya dan konsep dan perilaku adat dan agama yang baru yang akan diterapnya.

- Faktor peraturan dan kebijakan (Polithical and Legal Factor)


Topik tentang peraturan dan kebijakan, tentang undang-undang dan peraturan yang
berhubungan dengan hak waga negara, badan dan proses perlindungan individu yang
mengalami kekerasan tidak ada dalam topik intervensi. Hanya ditekankan untuk
berprilaku asertif agar terhindar prilaku tidak terkontrol dan konflik yang bisa
mendatangkan hukuman pada individu dan teman lainnya.

- Faktor ekonomi (Economical Factor).


Pada bagian ini, intervensi diarahkan pada saat responden mengidentifikasi kemampuan
dirinya dan kemampuan keluarganya untuk melanjutkan hidup yang baik. Responden
juga diarahkan untuk menentukan cita-citanya dan menyusun langkah-langkah untuk
mencapainya. Kemampuan ini bisa dipakai untuk berobat, untuk mencari pertolongan,
untuk hidup mandiri dan menghidupi diri dan anak-anaknya.

- Faktor pendidikan (Educational Factor). Pada penelitian ini, kami tidak mengarahkan
pada pendidikan formal tetapi pada pengajaran nilai moral dan etika. Semakin tinggi
pengetahuan individu tentang interaksi sosial yang baik dan semakin individu yakin
dirinya berharga, maka tinggi keyakinannya untuk mandiri dan mencari pertolongan bila
mengalami kesulitan hidup dan hukum. Klien juga mampu mendapatkan bukti-bukti
ilmiah yang rasional untuk bangkit dan dapat beradaptasi kehidupan dan budaya yang
sesuai dengan kondisi kesehatannyaatau jiwanya yang baru.

Pada saat terapi kelompok juga dilaksanakan tiga prinsip asuhan keperawatan , yaitu : Culture
care preservation/maintenance, prinsip membantu, memfasilitasi atau memperhatikan fenomena
budaya guna membantu individu meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya,
mengidentifikasi masalah yang dihadapinya, merumuskan langkah-langkah untuk memperbaiki
diri dan bersama-sama membuat jadwal yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Culture care
accommodation/negotiation, prinsipmembantu, memfasilitasi atau memperhatikan budaya yang
ada, yang merefleksikan cara-cara untuk beradaptasi, bernegosiasi atau mempertimbangkan
kondisi kejiwaan kilen, keluarga, kesehatan dan gaya hidup klien agar dan mulai belajar untuk
mengungkap perasaannya, menyampaikan keberatan dan menyatakan keinginannya. Culture care
repatterning/ restructuring, prinsip merekonstruksi atau mengubah desain yang telah dicapai
dengan baik untuk dipakai menjadi kebiasaan hidup sehari-hari untuk membantu memperbaiki
kondisi kesehatan dan pola hidup klien kearah yang lebih baik. Perilaku yang telah dipelajari
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjai budaya baru.

Anda mungkin juga menyukai