Anda di halaman 1dari 11

PERPEKTIF TRANSKULTURAL USIA LANJUT

2.1 Perspektif Transkultural dalam Keperawatan

Dalam buku Leininger dan McFarland (2002) “Transcultural Nursing: Concepts, Theories,
Research and Practice” Third Edition, keperawatan transkultural adalah suatu area atau wilayah
keilmuan budaya pada proses belajar dan praktik keperawatan yang fokus memandang
perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan sehat dan sakit
didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk
memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya pada manusia.

2.1.1 Keperawatan Transkultural dan Globalisasi dalam Pelayanan Kesehatan

Tujuan dari keperawatan transkultural adalah mengembangkan sains dan pohon keilmuan yang
humanis sehingga tercipta praktik keperawatan pada kultur yang spesifik dan universal. Kultur
yang spesifik adalah kultur yang dengan nilai-nilai norma spesifik yang tidak dimiliki oleh
kelompok lain, seperti bahasa. Sedangkan, kultur yang universal adalah nilai atau norma yang
diyakini dan dilakukan oleh hamper semua kultur, seperti budaya olahraga dapat membuat
badan sehat, bugar; budaya minum teh dapat membuat tubuh sehat. Keperawatan
transkultural juga bertujuan untuk mengidentifikasi, menguji, mengerti, dan menggunakan
pemahaman perawatan transkultural untuk meningkatkan kebudayaan yang spesifik dalam
pemberian asuhan keperawatan.

Globalisasi dalam pelayanan kesehatan sangatlah penting. Maksudnya adalah pada zaman yang
serba maju ini, menuntut keperawatan semakin maju pula mengikuti perkembangan zaman.
Orang-orang akan menuntut asuhan keperawatan yang berkualitas. Dengan adanya zaman
globalisasi ini, banyak orang yang melakukan perpindahan penduduk antar negara (imigrasi)
sehingga memungkinkan pergeseran tuntutan asuhan keperawatan. Konsep keperawatan
didasari oleh pemahaman tentang adanya perbedaan nilai-nilai kultural yang melekat dalam
masyarakat.

Sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan


asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal ini diabaikan oleh perawat, akan mengakibatkan
terjadinya cultural shock. Cultural shock dialami klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak
mampu beradaptasi dengan perbedaan nialai budaya dan kepercayaan. Ini akan mengakibatkan
ketidaknyamanan, ketidakberdayaan pada klien, dan beberapa mengalami disorientasi.

2.1.2 Konsep dan Prinsip dalam Asuhan Keperawatan Transkultural

Ada dua belas konsep transkultural teori Leininger (1985) dalam buku Leininger dan McFarland
(2002) “Transcultural Nursing: Concepts, Theories, Research and Practice” Third Edition, yaitu:
a. Budaya (kultur) adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari,
dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil keputusan.

b. Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau sesuatu
tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi tindakan dan
keputusan.

c. Culture care diversity (perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan) merupakan bentuk
yang optimal dari pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi
pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai
nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari
individu yang datang dan individu yang mungkin kembali lagi.

d. Cultural care universality (kesatuan perawatan kultural) mengacu kepada suatu pengertian
umum yang memiliki kesamaan ataupun pemahaman yang paling dominan, pola-pola, nilai-
nilai, gaya hidup atau simbol-simbol yang dimanifestasikan diantara banyak kebudayaan serta
mereflesikan pemberian bantuan, dukungan, fasilitas atau memperoleh suatu cara yang
memungkinkan untuk menolong orang lain (Terminlogy universality) tidak digunakan pada
suatu cara yang absolut atau suatu temuan statistik yang signifikan.

e. Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa budayanya
adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain.

f. Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang digolongkan
menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim.

g. Ras adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada mendiskreditkan asal muasal
manusia.

h. Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi pada penelitian
etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan kesadaran yang tinggi pada
perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan dasar observasi untuk mempelajari lingkungan
dan orang-orang, dan saling memberikan timbal balik diantara keduanya.

i. Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan perilaku
pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian untuk memenuhi kebutuhan baik
aktual maupun potensial untuk meningkatkan kondisi dan kualitas kehidupan manusia.

j. Caring adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing, mendukung dan
mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada keadaan yang nyata atau antisipasi
kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan manusia.
k. Cultural Care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai, kepercayaan
dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing, mendukung atau memberi kesempatan
individu, keluarga atau kelompok untuk mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan
bertahan hidup, hidup dalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai.

l. Cultural imposition berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan untuk memaksakan


kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain karena percaya bahwa ide yang dimiliki
oleh perawat lebih tinggi daripada kelompok lain.

2.1.3 Pengkajian Asuhan Keperawatan Budaya

Pengkajian budaya merupakan hal yang penting bagi seorang perawat dalam asuhan
keperawatan yang akan diberikan kepada klien. Pengetahuan mengenai latar budaya dari klien
dapat dijadikan acuan bagi perawat dalam membina hubungan dengan klien. Dalam buku
Leininger dan McFarland (2002) “Transcultural Nursing: Concepts, Theories, Research and
Practice” Third Edition, tujuan pengkajian budaya adalah untuk mendapatkan informasi yang
signifikan dari klien sehingga perawat dapat menetapkan kesamaan pelayanan budaya.

Pada tahap pertama, perawat melakukan pengkajian budaya dengan mengetahui perubahan-
perubahan yang terjadi pada lingkungan komunitas dari klien, sehingga perawat mengetahui
latar belakang budaya klien agar pengkajian yang dilakukan terarah. Data yang perlu diketahui
dalam perubahan tersebut adalah data demografik, meliputi data sensus lokal dan data
regional. Persiapan dan antisipasi sangat diperlukan dalam pengkajian budaya yang didukung
dengan keterampilan dalam pengambilan data dan efisiensi waktu.

Perawat juga harus memiliki kemampuan untuk memahami klien lebih dalam sehingga
kesimpulan interpretasi selama penilaian tepat dan sesuai dengan pelayanan yang diharapkan
bersama. Penggunaan pertanyaan yang terfokus, terbuka, dan kontras dapat membantu dalam
pemahaman kepada klien. Pemberian pertanyaan tersebut bertujuan untuk mendorong atau
memotivasi klien dalam penggambaran nilai-nilai, kepercayaan, dan praktik yang berarti
terhadap pelayanan pada klien yang dilakukan. Pertanyaan yang diberikan seperti menanyakan
pendapat klien tentang penyebab penyakit klien, pernah atau tidak klien mengalami penyakit
tersebut sebelumnya, dan perbedaan penyakit sekarang dengan sebelumnya.

Dalam membangun hubungan dengan klien, komunikasi yang kurang biasanya terjadi pada
hubungan interkultural. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan bahasa dan cara
berkomunikasi. Sehingga keterampilan manajemen impresi merupakan hal penting bagi
perawat. Manajemen impresi merupakan usaha untuk memberikan image dalam interaksi
sosial. Manajemen impresi membutuhkan keahlian berbahasa interpretasi yang sama secara
budaya terhadap sikap klien, dan keterampilan melakukan pengamatan.
Sebagai contoh penerapan dari manajemen impresi yaitu negara Amerika menggunakan bahasa
Inggris, tetapi pada setiap orang di wilayah Amerika, memiliki dialek yang beragam dalam
pengucapan bahasa Inggris tersebut. Sehingga sebagai perawat perlu menilai dan
mendengarkan bahasa yang digunakan oleh klien ketika berbicara. Setelah itu, perawat menulis
dan memutuskan jika klien memerlukan seseorang ahli bahasa atau tidak. Seorang ahli bahasa
yang dipilih harus keputusan dari hasil diskusi perawat dengan klien. Pihak rumah sakit
memberikan ahli bahasa hanya untuk memberikan kondisi medis klien. Ahli bahasa tersebut
harus mempunyai kesesuaian latar belakang etnik dengan klien agar lebih mudah timbul rasa
percaya.

2.1.4 Instrumen Pengkajian Budaya

a. Mempertahankan Budaya

Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan.
Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan
yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau mempertahankan status
kesehatannya, misalnya budaya berolahraga setiap pagi.

b. Negosiasi Budaya

Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk membantu klien
beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan. Perawat
membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung
peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai pantang makan yang berbau
amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani yang lain.

c. Restrukturisasi Budaya

Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status kesehatan.
Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak
merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai
dengan keyakinan yang dianut.

2.2 Perawatan Pada Lanjut Usia

Lima proses keperawatan berperan besar dalam melakukan intervensi asuhan keperawatan.

2.2.1 Pengkajian
Ada lima kunci pengkajian keperawatan untuk memastikan usia dalam buku Potter Perry (2009)
“Fundamentals of Nursing” Seventh Edition:

a. Hubungan timbal balik fisik dan psikososial penuaan

b. Efek penyakit dan ketidakmampuan kerja fungsional

c. Penurunan tingkat efisiensi mekanisme homeostatis

d. Kurangnya standar kesehatan dan norma penyakit

e. Perubahan presentasi dan respon terhadap penyakit spesifik

Lansia pada umumnya pensiun. Karena pensiunan ini biasanya telah diantisipasi, seseorang
dapat berencana ke depan untuk (1) berpartisipasi dalam konsultasi atau aktivitas suka rela, (2)
mencari minat dan hobi baru, dan (3) melanjutkan pendidikannya. Dalam perwujudan
perencanaan tersebut, lansia bertemu dengan berbagai perubahan-perubahan dalam dirinya.

1. Perubahan Fisiologis

Beberapa klien lansia mungkin mengalami semua perubahan ini, dan lansia lainnya mengalami
hanya beberapa perubahan.

a. Survei Umum: inspeksi awal pada dewasa tua mungkin berupa kontak mata dan ekspresi
wajah yang sesuai dengan situasi, kerutan wajah, rambut uban, hilangnya jaringan ekstrimitas,
dan peningkatan jaringan serta lemak pada tubuh.

b. Sistem Integumen: kulit kehilangan kelenturannya dan kelembabannya. Noda dan lesi
mungkin juga muncul pada kulit.

c. Kepala dan Leher: raut wajah nampak asimetris karena hilangnya atau pemasangan gigi palsu
yang tidak benar. Perubahan pada nada suara (biasanya keras) terjadi karena adanya
penurunan kekuatan dan tingkat nada. Ketajaman penglihatan lansia menurun. Sering terjadi
presbiopia, suatu penurunan pada kemampuan mata untuk berakomodasi pada benda dekat,
dan presbikus, suatu perubahan terkait usia pada ketajaman pendengaran. Atrofi saraf
pengecap pun kerap muncul serta hilangnya efisiensi. Lansia tidak mampu merasakan asin,
manis, asam, dan pahit dengan cepat.

d. Toraks dan Paru: terdapat peningkatan diameter anteroposterior. Kifosis yang sering terjadi
pada lansia merupakan perubahan tajam dan progresif pada struktur vertebrata yang
permanen bila disertai osteoporosis.
e. Jantung dan Vaskular: penurunan kekuatan kontraktil miokardium menyebabkan penurunan
darah jantung. Penurunan ini signifikan jika lansia mengalami stres karena ansietas,
kegembiraan, penyakit, atau aktivitas yang berat.

f. Payudara: penurunan massa, tonus, dan elastisitas otot yang menyebabkan payudara menjadi
lebih kecil.

g. Gastrointestinal dan Abdomen: peningkatan jumlah jaringan lemak pada tubuh dan
abdomen. Sering juga munculnya intoleransi pada makanan tertentu secara tiba-tiba.

h. Sistem Reproduksi: menopause pada wanita berkaitan dengan penurunan respons ovarium
terhadap hipofisis dan mengakibatkan penurunan kadar estrogen dan progesteron.

i. Sistem Perkemihan: hipertrofi kelenjar prostat dapat terjadi pada pria lansia. Wanita lansia
dapat mengalami inkontinensia stres, yaitu terjadi pelepasan urin involunter saat batuk, bersin,
atau mengangkat suatu benda.

j. Sistem Muskoskeletal: dewasa lansia yang berolahraga secara teratur tidak akan mengalami
kehilangan massa atau tonus otot dan tulang sebanyak dewasa lansia lain yang tidak aktif. Pada
dewasa lansia yang tidak aktif, serat otot akan berkurang ukurannya dan kekuatan otot
berkurang sebanding penurunan massa otot.

k. Sistem Neurologis: secara khas, lansia tidak tidur sepanjang malam. Penyebab disrupsi ini
adalah (1) siklus tidur memendek, (2) akibat pengosongan kandung kemih yang sering, nyeri,
atau gangguan psikologis, dan (3) medikasi yang memengaruhi siklus bangun-tidur.

2. Perubahan Kognitif

a. Demensia: kerusakan umum fungsi intelektual yang mengganggu fungsi sosial dan okupasi.
Demensia sinilis tipe Alzheimer, atau biasa disebut penyakit Alzheimer, dicirikan oleh adanya
atrofi otak dan timbulnya plak senil serta lilitan neurofibril dalam hemisfer serebral. Progresi
penyakit Alzheimer telah dibagi dalam tiga tahap dalam buku Potter Perry (2005) “Fundamental
Keperawatan” Buku 1 (Brady, 1993). Pada tahap awal, gejala utama adalah hilangnya memori.
Tahap pertengahan meliputi kerusakan keterampilan bahasa, aktivitas motorik, dan pengenalan
benda. Inkontinensia urin dan fekal, ketidakmampuan ambulansi, dan hilangnya keterampilan
bahasa secara lengkap merupakan cirri klasik tahap akhir atau terminal dari penyakit Alzheimer.

b. Delirium (tingkat konfusi akut): sindrom otak menyerupai demensia ireversibel, tetapi secara
klinis dibedakan oleh adanya tingkat kesadaran tidak jelas atau, lebih tepatnya, perubahan
perhatian dan kesadaran. Ciri lain meliputi kurang perhatian, ilusi, halusinasi, kadang bicara
inkoheren, gangguan siklus bangun-tidur, dan disorientasi.
c. Penyalahgunaan Zat dan Kerusakan Kognitif: penyalahgunaan alkohol dan obat lain terjadi
pada populasi lansia. Banyak penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut adalah masalah serius
karena mencakup stres dan kehilangan terkait penuaan seperti pension, kehilangan pasangan,
dan kesepian.

3. Perubahan Psikososial

a. Pensiun: tahap kehidupan yang dicirikan oleh adanya transisi dan perubahan peran yang
dapat menyebabkan stres psikososial. Stres ini meliputi perubahan peran pada pasangan atau
keluarga dan masalah isolasi sosial.

b. Isolasi sosial: Ada empat tipe isolasi sosial dalam buku Potter Perry (2005) “Fundamental
Keperawatan” Buku 1.

Sikap: terjadi karena nilai pribadi atau budaya. Lansiaisme adalah sikap yang berlaku yang
menstigmatisasi lansia, suatu bias yang menolak lansia. Seiring lansia semakin ditolak, harga
diru lansia pun berkurang, sehingga usaha bersosialisasi berkurang.

Penampilan: seseorang diisolasi karena penolakan oleh orang lain atau karena sedikit
interaksi yang dapat dilakukan akibat kesadaran diri.

Perilaku: perilaku yang biasanya dikaitkan dengan pengisolasian meliputi konfusi, demensia,
alkoholisme, eksentrisitas, dan inkontinensia.

Geografis: jauh dari keluarga, kejahatan di kota, dan barier institusi menyebabkan lansia
mengalami isolasi sosial. Dalam masyarakat kini yang suka berpindah, umumnya anak hidup
jauh dari orangtua sehingga kesempatan untuk mengunjungi anak-anak semakin berkurang. Hal
ini menyebabkan isolasi lebih lanjut pada lansia yang mempunyai keterbatasan fisik atau
mengalami kematian pasangannya.

c. Seksualitas: meliputi cinta, kehangatan, saling membagi dan sentuhan, bukan hanya
melakukan hubungan seksual.

d. Tempat Tinggal dan Lingkungan: perubahan pada peran sosial, tanggung jawab keluarga, dan
status kesehatan memengaruhi rencana kehidupan lansia.

e. Kematian: kesalahan konsep yang biasa terjadi adalah kematian seorang lansia sebagai
berkah dan kulminasi (titik tertinggi) seluruh kehidupan.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

Identifikasi faktor yang berhubungan atau penyebab yang mungkin untuk setiap diagnosa
memberi arahan dalam mengembangkan intervensi keperawatan. Analisis data memerlukan
pertimbangan terhadap kekuatan dan keterbatasan individu dan juga persepsi klien lansia
tentang status kesehatannya. Validasi data dari keluarga, kolega, perawat, profesi kesehatan
lain, dan catatan (rekam medis) mungkin diperlukan.

2.2.3 Perencanaan

Rencana keperawatan lansia difokuskan pada kegiatan mencegah, meningkatkan, mengurangi,


atau menghilangkan masalah. Prioritas perawatan ditetapkan, tujuan klien dan hasil yang
diharapkan serta intervensi yang cocok dipilih.

2.2.4 Implementasi

Intervensi keperawatan pada lansia dapat mencakup peningkatan dan pemeliharaan kesehatan,
dukungan psikososial, keamanan rumah, pengobatan mandiri, penyesuaian, dan penghematan.
Dalam intervensi, dukungan psikososial meliputi:

a. Komunikasi Terapeutik: merasakan dan menghargai keunikan klien.

b. Sentuhan: membuat nyaman lansia dengan menunjukkan rasa kasih sayang.

c. Orientasi Realitas: teknik komunikasi yang digunakan untuk membuat klien menyadari waktu,
tempat, dan orang. Tujuan orientasi realitas meliputi mengembalikan perasaan terhadap
realitas, meningkatkan tingkat kesadaran, meningkatkan sosialisasi, meningkatkan fungsi
kebebasan, dan meminimalkan konfusi, disorientasi, serta regresi fisik.

d. Resosialisasi: membantu lansia memperluas jaringan sosial mereka.

e. Terapi Validasi: teknik pada lansia yang mengalami konfusi berat dan disorientasi. Tujuannya
adalah mengembalikan martabat dan harga diri serta memvalidasi perasaan klien.

f. Pengenangan: mengingat kembali masa lalu untuk menetapkan arti baru terhadap
pengalaman terdahulu.

g. Intervensi Citra Tubuh: pentingnya lansia menampilkan citra yang diterima sosial. Memang
butuh sedikit usaha untuk membantu klien menyisir rambut, membersihkan gigi, bercukur, atau
mengganti pakaian.

2.2.5 Evaluasi

Perubahan sering kali lambat dan tidak terlihat sehingga evaluasi mungkin jarang dilakukan.
Tipe masalah, pembentukan tujuan, dan pengunaan intervensi menentukan frekuensi evaluasi.

2.3 Perawatan Menjelang serta Saat Kematian


Proses keperawatan menjelang perawatan merupakan proses penting dalam melakukan
perawatan terhadap klien. Kegiatan ini dilakukan bertujuan untuk (1) menghilangkan atau
megurangi rasa kesendirian, takut, dan depresi, (2) mempertahankan rasa aman, harkat, dan
rasa berguna, dan (3) membantu kenyamanan fisik klien. Pada saat kondisi terminal, perawat
dan keluarga sangat berperan penting dalam proses kegiatan ini. Klien dalam kondisi terminal
membutuhkan dukungan dari utama dari keluarga, seakan proses penyembuhan bukan lagi
merupakan hal yang penting dilakukan.

2.3.1 Tahapan Respon Klien terhadap Proses Kematian

Menurut Kubler–Ross (1969) dalam buku “On Death and Dying” tahapan respon klien terhadap
proses kematian adalah:

a. Penolakan (denial)

Respon dimana klien tidak percaya atau menolak terhadap apa yang dihadapi atau sedang
terjadi. Penolakan ini berfungsi sebagai pelindung setelah mendengar sesuatu yang tidak
diharapkan.

b. Marah (anger)

Fase marah terjadi pada saat fase penolakan tidak lagi bisa dipertahankan. Rasa marah ini
terkadang sulit dipahami oleh pihak keluarga karena dapat dipicu oleh hal-hal yang secara
normal tidak menimbulkan kemarahan, sering terjadi karena merasa tidak berdaya.

c. Tawar – Menawar (bargaining)

Secara psikologis, tawar-menawar dilakukan untuk memperbaiki kesalahan atau dosa masa lalu.
Klien mencoba untuk melakukan tawar-menawar dengan tuhan dengan cara diam atau
dinyatakan secara terbuka.

d. Kesedihan Mendalam (depression)

Ekspresi kesedihan ini merupakan persiapan terhadap kehilangan atau perpisahan abadi
dengan siapapun dan apapun.

e. Menerima (acceptable)

Pada tahap ini, klien memahami dan menerima keadaannya klien mulai menemukan kedamaian
dalam kondisinya, beristirahat untuk menyiapkan dan memulai perjalanan panjang. 16

2.3.2 Asuhan Keperawatan

Dalam tahapan respon klien tersebut, perawat dapat memberikan asuhan psikologis:
a. Memberikan dukungan pada fase awal, perawat diharapkan memberikan dukungan pada
klien pada fase penolakan ini. Akan tetapi, budaya yang terjadi di Indonesia pada kondisi
terminal ini, klien dianggap membutuhkan asupan religi. Sehingga yang terjadi bukanlah
perawat memberikan dukungan, tetapi keluarga klien membacakan doa-doa kepada klien.

b. Memberikan arahan pada klien bahwa marah adalah respon normal. Sekarang ini, perawat
lebih memberikan arahan tersebut kepada keluarga klien agar keluarga klien pun tidak cemas
melihat klien mengalami keadaan seperti tersebut.

c. Membantu klien mengekspresikan apa yang dirasakannya. Perawat tidak lagi sendiri dalam
menghadapi klien dalam kondisi terminal, akan tetapi selalu banyak pihak keluarga yang datang
untuk memberikan semangat atau motivasi kepada klien. Perawat lebih berfungsi untuk
memberikan arahan kepada keluarga klien apa yang harus dilakukannya ketika klien
menghadapi respon respon tersebut.

d. Perawat harus hadir sebagai pendamping dan pendengar. Yang dilakukan perawat hanyalah
mengutarakan empatinya terhadap keluarga klien dan ikut serta membantu memotivasi
keluarga klien.

Asuhan psikologis dapat berubah sesuai dengan budaya dari keluarga klien tersebut. Klien
dalam kondisi terminal tersebut membutuhkan motivasi atau dukungan mental dan spiritual
dari keluarga, peran perawat dalam hal ini tidak terlalu banyak. Biasanya apabila keluarga
tersebut mempunyai keyakinan yang besar terhadap tuhan, mereka akan lebih memilih untuk
berdoa di sekeliling klien agar arwah klien nanti dapat diterima oleh yang kuasa. Ada pula adat
kebiasaan tersebut mengharuskan klien meninggal di rumah klien, klien langsung dibawa
pulang ketika keluarga, atau bahwa klien berada dalam kondisi terminal. 17

Gejala-gelala pada saat kondisi terminal:

a. Nafsu makan berkurang

b. Lesu

c. Ganguan sistem peredaran darah, seperti darah tida dapat mengalir ke seluruh tubuh secara
normal sehingga menjadikan kulit klien berubah menjadi biru

d. Ganguan sistem pernapasan, seperti, nafas klien berbunyi, dan frekuensi bernafas klien
makin lama makin berkurang

e. Ganguan sistem gerak, pasien tidak dapat bergerak sesuai keinginannya lagi

f. Gangguan pencernaan, seperti, klien tidak dapat menelan makanan yang diberikan.
Selain asuhan secara psikologis, perawat dapat memberikan asuhan keperawatan secara medis
kepada klien dengan cara (1) mengontrol nyeri dan gejala lain, (2) memelihara nutrisi klien, (3)
mengatur dosis regular, (4) membebaskan jalan nafas, dan (5) menyediakan obat-obatan
esensial. Seperti itulah proses keperawatan pada pasien terminal, perawat dan pihak keluarga
pasien berkolaborasi dalam mencapai kesejahteraan klien dalam menuju perjalan yang sangat
panjang. Proses proses perawatan pun akan menjadi fleksibel dan lebih menurut kepada aturan
adat dan kebudayaan yang dipercaya oleh pihak keluarga klien. Selama tidak membahayakan
klien, pihak rumah sakit akan senantiasa mengikuti adat budaya keluarga tersebut.

Anda mungkin juga menyukai