Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MANAJEMEN NYERI
Dosen Pengajar : Efri Dulie S.Kep.,Ners
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Menjelang Ajal dan Paliatif

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 7

1. Aprilia Wahyunita (2017.C.09a.0877)


2. Friska Amelia (2017.C.09a.0888)
3. Krisevi Handayani (2017.C.09a.0895)
4. Tirta Taruna (2017.C.09a.0911)
5. Winda Aprilia (2017.C.09a.0917)
6. Yulia Tikai (2017.C.09a.0920)

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur khadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat-Nya
sehingg kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini. Di makalah ini
memaparkan beberapa hal terkait “Manajemen Nyeri”. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak telah memberikan
motivasi baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini ke depannya.

Palangka Raya, 13 September 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........................................................................................i
DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit ...............................................................................................4
2.1.1 Definisi ...................................................................................................4
2.1.2 Etiologi ...................................................................................................4
2.1.3 Klasifikasi ..............................................................................................5
2.1.4 Patofisiologi ...........................................................................................6
2.1.5 Manifestasi Klinis ..................................................................................6
2.1.6 Komplikasi ............................................................................................6
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang .........................................................................6
2.1.7 Penatalaksanaan Medis ..........................................................................7
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan ...................................................................7
2.2.1 Pengkajian keperawatan..........................................................................7
2.2.2 Diagnosa Keperawatan .........................................................................10
2.2.3 Intervensi Keperawatan.........................................................................10
2.2.4 Implementasi Keperawatan ..................................................................16
2.2.5 Evaluasi Keperawatan ..........................................................................17
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian …………………………………………………………………...18
3.2 Diagnosa …………………………………………………………………..…22
3.3 Intervensi ……………………………………………………………………25
3.4 Implementasi ………………………………………………………………...30
3.5 Evaluasi ……………………………………………………………………...30

ii
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan .....................................................................................................33
4.2 Saran ................................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau
intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri
sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda
bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk
dipastikan. Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri
yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang
tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking
dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”.
Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih
intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh
nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS)
lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien
menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan
saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila
digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm
(AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS
adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan
pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan
penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan
pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata
atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan
tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien
dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat.
Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat
keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat
menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai
apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

1.2 Rumusan Masalah


1) Apa Definisi Manajemen nyeri ?
2) Apa Etiologi Manajemen nyeri ?
3) Bagaimana Klasifikasi Manajemen nyeri ?
4) Apa Patofisiologi Manajemen nyeri?
5) Bagaimana Manifestasi Klinis Manajemen nyeri ?
6) Bagaimana Komplikasi Manajemen nyeri ?
7) Bagaimana Pemeriksaan Penunjang Manajemen nyeri ?
8) Bagaimana Penatalaksanaan Medis Manajemen nyeri ?

1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui Definisi Manajemen nyeri
2) Untuk mengetahui Etiologi Manajemen nyeri
3) Untuk mengetahui Klasifikasi Manajemen nyeri
4) Untuk mengetahui Patofisiologi Manajemen nyeri
5) Untuk mengetahui Manifestasi Klinis Manajemen nyeri
6) Untuk mengetahui Komplikasi Manajemen nyeri
7) Untuk mengetahui Pemeriksaan Penunjang Manajemen nyeri
8) Untuk mengetahui Penatalaksanaan Medis Manajemen nyeri
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Nyeri


Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori
subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan.
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf
bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan
pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul
juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor
jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
1. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan.
2. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor
nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan
penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul
merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri
yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan
organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat
pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya
Respon fisiologis terhadap nyeri
1. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan
Respon tingkah laku terhadap nyeri
a) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
b) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
c) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
d) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan
gerakan jari & tangan
e) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,
Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd
aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat
berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi
kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih
untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat.
Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir
dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
a) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini
bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang
belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran
perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi
pada klien.
b) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat
subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda.
Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang
lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan
mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi
terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri
kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan
nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah
sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana
orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar
endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit
merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih
besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari
ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien
itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang
menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila
klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak
mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu
tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
c) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien
masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis,
sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien
mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat
menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu
memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan
nyeri berulang.
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri
1. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika
sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung
memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah
hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit
berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2. Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara
signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya
(ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh
nyeri).
3. Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon
terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa
nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan
kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan
dan bagaimana mengatasinya.
5. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang
meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi,
guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas.
7. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini
nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa
lalu dalam mengatasi nyeri.
8. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri.
9. Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.
.3 Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak
dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) skala intensitas nyeri deskritif
2) Skala identitas nyeri numerik
3) Skala analog visual
4) Skala nyeri menurut bourbanis 
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,
dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
Penilaian Nyeri Berdasarkan PQRST
P : Provokatif / Paliatif
Apa kira-kira Penyebab timbulnya rasa nyeri…? Apakah karena terkena ruda
paksa / benturan..? Akibat penyayatan..? dll.
Q : Qualitas / Quantitas
Seberapa berat keluhan nyeri terasa..?. Bagaimana rasanya..?. Seberapa sering
terjadinya..? Ex : Seperti tertusuk, tertekan / tertimpa benda berat, diris-iris,
dll.
R : Region / Radiasi
Lokasi dimana keluhan nyeri tersebut dirasakan / ditemukan..? Apakah juga
menyebar ke daerah lain / area penyebarannya..?
S : Skala Seviritas
Skala kegawatan dapat dilihat menggunakan GCS ( Baca : Cara Mengukur
GCS (Glasgow’s Coma Scale) ) untuk gangguan kesadaran, skala nyeri /
ukuran lain yang berkaitan dengan keluhan
T : Timing
Kapan keluhan nyeri tersebut mulai ditemukan / dirasakan..? Seberapa sering
keluhan nyeri tersebut dirasakan / terjadi…? Apakah terjadi secara
mendadak atau bertahap..? Acut atau Kronis..?
.4 Klasifikasi Nyeri
1. Klasifikasi nyeri menurut smeltzer & bare (2002) mengklasifikasikan nyeri
berdasarkan durasi yaitu :
a) Nyeri akut
Nyeri akut biasanya awitanya tiba-tiba dan umumnya berkaitan
dengan cidera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan
atau cidera telah terjadi. Nyeri ini umumnya terjadi kurang dari 6
bulan dan biasanya kurang dari 1 bulan. Untuk tujuan definisi nyeri
akut dapat dijelaskan sebagai nyeri berlangsung dari beberapa detik
hingga 6 bulan
b) Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiter yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung diluar waktu
penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan
dengan penyebab atau cidera spesifik. Nyeri kronik dapat tidak
mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit
diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap
pengobatan yang diarahkan pada penyembuhan. Nyeri kronik sering
di identifikasikan sebagai nyeri yang berlangsung selama 6 bulan atau
lebih, meskipun dapat berubah antara akut dan kronik.

Sementara Price dan Wilson (2006), mengklasifikasikan nyeri


berdasarkan lokasi atau sumber antara lain :
a) Nyeri Somatik superficial (kulit)
Nyeri kulit berasal dari struktur – struktur superficial kulit dan
jaringan subkutis. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri
dikulit dapat berupa rangsangan mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik.
Apabila hanya kulit yang terlibat, nyeri sering dirasakan sebagai
penyengat, tajam, meringis atau seperti terbakar, tetapi apabila
pembuluh darah ikut berperan menimbulkan nyeri, sifat nyeri menjadi
berdenyut.
b) Nyeri Somatik dalam
Nyeri somatic dalam mengacu pada nyeri yang berasal dari otot,
tendon, ligamentum, tulang,sendi dan arteri. Struktur-strukur ini
memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri kulit
dan cenderung menyebar ke daerah sekitar.
c) Nyeri Viseral
Nyeri Viseral mengacu kepada nyeri yang berasal dari organ-organ
tubuh. Reseptor nyeri visceral lebih jarang dibandingkan dengan
reseptor nyeri somatic dan terletak di dinding otot polos organ-organ
berongga. Mekanisme utama yang menimbulkan nyeri visceral adalah
peregangan atau distensi abdominal dinding atau kapsul organ,
iskemia dan peradangan.
d) Nyeri Alih
Nyeri alih didefinisikan sebagai nyeri berasal dari salah satu daerah
ditubuh tetapi dirasakan terletak didaerah lain. Nyeri alih sering
dialihkan kedermatom (daerah kulit) yang dipersyarafi oleh segmen
medulla spinalis yang sama dengan viksus yang nyeri tersebut berasal
dari masa mudigah, tidak hams ditempat orang tersebut berada pada
masa dewasa
e) Nyeri Neuropati
Sistem saraf secara normal menyalurkan rangsangan yang merugikan
demi system syaraf tepi (SST) ke system syaraf pusat (SSP) yang
menimbulkan perasaan nyeri. Dengan demikian, lesi di SST atau SSP
dapat menyebabkan gangguan atau hilangnya sensasi nyeri. Nyeri
neuropatik sering memiliki kualitas seperti terbakar, perih, atau seperti
tersengat listrik. Pasien dengan nyeri Neuropatik menderita akibat
instabilitas system syaraf otonom (SSO). Dengan demikian, nyeri
sering bertambah parah oleh stress emosi atau fisik (dingin,kelelahan)
dan mereda oleh relaksasi.
.5 Syndrom Nyeri
Syndrome nyeri yang lazim terjadi : misalnya plexopaties, sensitization
1. Plexophaties
Istilah “plexopati” berkenaan dengan sindrom nyeri yang
berhubungan dengan pleksus saraf perifer. Abnormalitas neurologisnya,
melibatkan beberapa syaraf pada pleksus. Pada kasus brachial plexopati,
nyeri diperburuk oleh pernapasan yang dalam atau gerakan dari leher dan
bahu. Palpasi yang dalam pada daerah bahu dapat menimbulkan nyeri
atau perasaan penuh. Nyeri pada brachial plexopati mungkin
berhubungan dengan penyebaran neoplastik ke syaraf, perlekatan dan
penyebaran setelah infeksi, operasi, atau terapi radiasi.
Plexopathy adalah gangguan yang mempengaruhi jaringan saraf,
pembuluh darah, atau pembuluh getah bening. Wilayah saraf itu berada
di brakialis pleksus atau lumbosakral. Gejala yang ditimbulkan termasuk
rasa sakit atau nyeri, kehilangan kontrol motor, dan defisit sensorik.
Ada dua jenis utama plexopathy; Brachial plexopathy dan
lumbosakral plexopathy. Mereka biasanya disebabkan dari beberapa jenis
trauma lokal seperti dislokasi bahu. Kelainan juga dapat disebabkan oleh
kompresi, komorbiditas penyakit pembuluh darah, infeksi, atau mungkin
idiopatik dengan penyebab yang tidak diketahui.
Langkah pertama dalam evaluasi dan manajemen plexopathy terdiri
dari mengumpulkan riwayat medis dan pemeriksaan fisik oleh dokter
kesehatan. Pola fungsi motorik yang cacat akan terdeteksi dengan baik di
ekstremitas atas atau bawah membantu diagnosis gangguan tersebut. X-
ray dari tulang belakang leher, dada, dan bahu biasanya diperintahkan
jika gejala menunjukkan keadaan akut pada brakialis plexopathy. Jika
riwayat fisik mengungkapkan riwayat diabetes, penyakit vaskular
kolagen, atau gejala infeksi, dokter dapat memerintahkan serangkaian tes
darah termasuk hitung darah lengkap (CBC) dan panel metabolik yang
komprehensif (CMP).
2. Sensitisation
Sensitisasi adalah karakterteristik nosiseptor dimana respon terhadap
stimuli meningkat ditempat cedera.  Sensitisasi nosiseptor menghasilkan
hiperalgesia primer di tempat cedera yang menghasilkan nyeri terasa
terus-menerus selama istirahat dan meningkat selama dan setelah
pembedahan, cedera, persalinan dan sakit akut.
Input nosisepsi selama dan setelah pembedahan, cedera, persalinan
dan sakit akut dapat meningkatkan respon saraf yang mentransmisikan
nyeri di susunan saraf pusat, hal ini akan memperbesar sensasi nyeri
secara klinis. Peningkatan respon saraf di susunan saraf pusat terhadap
input aferen yang normal atau dibawah ambang (subtreshold) disebut
sensitisasi sentral (central sensitization). Besarnya sensitisasi sentral
tergantung pada banyak factor, termasuk tipe jaringan dan luasnya cedera
Sensittisasi sentral memperkuat transmisi input dari jaringan perifer
dan menghasilkan hiperalgesia sekunder, peningkatan respon neyri yang
dibangkitkan oleh stimuli diluar area cedera. Sensitisasi sentral bisa 
terjadi baik di tingkat spinal maupun supraspinal.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf
bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan
pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul
juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
DAFTAR PUSTAKA

A. Aziz Alimul Hidayat. 2004. Pengantar konsep dasar keperawatan. Jakarta :


Salemba Medika.
http://www.rajawana.com/artikel/pendidikan-umum/453-home-care.html
http://diponegoronursesassociation.blogspot.com/2008/05/home-care-agency-
prespektik-sistem.html
http://stikeskabmalang.wordpress.com/2009/12/18/home-care-seminar/
http://wwwdagul88.blogspot.com/2009/12/home-care-bab-i-pendahuluan-
untuk.html

Anda mungkin juga menyukai