Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

KEPERAWATAN PALIATIF DAN MENJELANG AJAL

MANAJEMEN NYERI

Disusun oleh kelompok 3 :


1. AMINAH
2. FENI YURLINA
3. HARNACALIS
4. MAIKA
5. NOFI ILMAYANTI
6. NORA AGUSTINA
7. NUR AZIZAH
8. NURFITA VERA
9. RINA HASTUTI
10. SAPARMAYA ERYANTI
11. SITI FEBRIANTI HIA
12. SYAHWANDI
13. WELSY IRRANIDA

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


HANG TUAH TANJUNGPINANG
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu. Selawat serta salam tidak lupa kami
curahkan kepada junjungan Nabi besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW.

Makalah yang berjudul “Manajemen Nyeri ” ini ditulis untuk memenuhi salah


satu tugas mata kuliah Keperawatan Paliatif dan Menjelang Ajal.
Pada kesempatan yang baik ini, izinkanlah penyusun makalah
menyampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang
dengan tulus ikhlas telah memberikan bantuan dan dorongan kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-sebaiknya. Akan
tetapi, makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca. Semoga makalah ini dapat memberikan
pemahaman dan bermanfaat bagi pembaca semua, terima kasih.

Tarempa, 24 Agustus 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................................3
A. LATAR BELAKANG................................................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH............................................................................................................4
C. TUJUAN PENULISAN.............................................................................................................5
D. MANFAAT PENULISAN.........................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................................5
1. PENGERTIAN NYERI.............................................................................................................5
2. KLASIFIKASI NYERI.............................................................................................................6
3. ETIOLOGI NYERI....................................................................................................................8
4. MEKANISME NYERI..............................................................................................................8
2. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NYERI.....................................................................9
3. RESPON TUBUH TERHADAP NYERI.............................................................................12
4. PENILAIAN INTENSITAS NYERI.....................................................................................14
5. PENATALAKSANAAN NYERI............................................................................................16
A) Terapi Multimodal...........................................................................................................17
B) Modalitas Farmakoterapi..............................................................................................18
C) Analgesia Balans...............................................................................................................18
D) Analgesia Preemptif........................................................................................................19
E) PCA (patient controlled administration)................................................................19
F) Tim nyeri akut..................................................................................................................20
G) Servis Nyeri Akut.............................................................................................................20
BAB III PENUTUP.................................................................................................................................20
A. KESIMPULAN.........................................................................................................................20
B. SARAN......................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................21

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri
mempunyai sifat yang unik, karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita
bagi yang bersangkutan, tetapi disisi lain nyeri juga menunjukkan suatu
manfaat. Nyeri bukan hanya merupakan modalitas sensori tetapi juga
merupakan suatu pengalaman. Menurut The International Association for
the Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan
dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang
menggambarkan kerusakan jaringan tersebut.1,2 Berdasarkan definisi
tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek
fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan
psikologis).
Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat.
Adapun yang menjadi manfaatnya antara lain: manfaat berupa mekanisme
proteksi, mekanisme defensif, dan membantu menegakkan diagnosis
suatu penyakit. Di lain pihak, nyeri tetaplah merupakan derita belaka bagi
siapapun, dan semestinya ditanggulangi oleh karena menimbulkan
perubahan biokimia, metabolisme dan fungsi sistem organ. 2 Bila tidak
teratasi dengan baik nyeri dapat mempengaruhi aspek psikologis dan
aspek fisik dari penderita. Aspek psikologis meliputi kecemasan, takut,
perubahan kepribadian dan perilaku,gangguan tidur dan gangguan
kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek fisik, nyeri mempengaruhi
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.
Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius,
protofatik) atau yang tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya
sentuhan ringan, kehangatan, tekanan ringan.3 Nyeri dapat
dirasakan/terjadi secara akut, dapat pula dirasakan secara kronik oleh
penderita. Nyeri akut akan disertai heperaktifitas saraf otonum dan
umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan.
Pemahaman tentang patofisiologi terjadinya nyeri sangatlah penting
sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita oleh penderita. Bila
pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan dengan
baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik.
Nyeri sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran.
Nyeri bukan hanya berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem
saraf dan jaringan saja, tetapi juga menyangkut kelainan transmiter yang
berfungsi dalam proses penghantaran impuls saraf. Di lain pihak, nyeri
juga sangat mempengaruhi morbiditas, mortilitas, dan mutu kehidupan.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengertian pada Nyeri ?
2. Bagaimana Klasifikasi pada Nyeri ?
3. Bagaimana Etiologi pada Nyeri ?
4. Bagaimana Mekanisme pada Nyeri ?
5. Bagaimana Faktor yang mempengaruhi Nyeri ?
6. Bagaimana Respon Tubuh terhadap Nyeri ?
7. Bagaimana Penilaian Intensitas Nyeri ?
8. Bagaimana Penatalaksanaan Nyeri ?

C. TUJUAN PENULISAN
Adapun Tujuan adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui Pengertian pada Nyeri.
2) Untuk mengetahui Klasifikasi pada Nyeri.
3) Untuk mengetahui Etiologi pada Nyeri.
4) Untuk mengetahui Mekanisme pada Nyeri.
5) Untuk mengetahui Faktor yang mempengaruhi Nyeri.
6) Untuk mengetahui Respon Tubuh terhadap Nyeri.
7) Untuk mengetahui Penilaian Intensitas Nyeri.
8) Untuk mengetahui Penatalaksanaan Nyeri.

D. MANFAAT PENULISAN

Untuk memberikan informasi kepada para pembaca, utamanya bagi


sesama mahasiswa mengenai manajemen nyeri, sehingga dapat
menambah pengalaman dan pengetahuan sesuai dengan profesi sebagai
seorang perawat yang profesional, sehingga dapat diaplikasikan dan dapat
dijadikan sumber ilmu wawasan terkait proses keperawatan. Dengan
demikian kita semua berusaha untuk memberikan pelayanan yang
maksimal serta pemahaman kepada anggota keluarga agar keluarga dapat
menerima dan memberikan dukungan kepada pasien.

BAB II PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN NYERI
The International Association for the Study of Pain (IASP)
mendefinisikan nyeri sebagai berikut nyeri merupakan pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya
kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan. Berdasarkan definisi
tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek
fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan
psikologis).
Nyeri adalah bentuk ketidaknyamanan baik sensori maupun
emosional yang berhubungan dengan resiko atau aktualnya kerusakan
jaringan tubuh, timbul ketika jaringan sedang rusak dan menyebabkan
individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri (Andarmoyo,
2013).
Sedangkan nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat
trauma, proses suatu penyakit atau akibat fungsi otot atau viseral yang
terganggu. Nyeri tipe ini berkaitan dengan stress neuroendokrin yang
sebanding dengan intensitasnya. Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas
saraf otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses
penyembuhan.

2. KLASIFIKASI NYERI
A. Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi:
1) Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan
membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam
dan terlokalisasi
2) Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat
rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat
3) Nyeri viseral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang
menutupinya (pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe
ini dibagi lagi menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal
terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.

B. Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP


didasarkan pada lima aksis yaitu:
Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri
Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan
timbulnya nyeri
Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal,
reguler, kontinyu)
Aksis IV : awitan terjadinya nyeri
Aksis V : etiologi nyeri.

C. Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi:


1) Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi
nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun
dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
2) Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer
pada sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur
serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan
terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas
dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau
adanya sara tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat
menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara
mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang
kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP). SMP
merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering
menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik
konvensional.
3) Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas
dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien
tenang.

D. Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:


1) Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini
ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi,
hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan perubahan wajah :
menyeringai atau menangis Bentuk nyeri akut dapat berupa:
a) Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa
b) Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan
jaringan ikat
c) Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral.
2) Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda2 aktivitas
otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri
yang tetap bertahan sesudah 5 penyembuhan luka
(penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap
sampai melebihi 3 bulan.
Nyeri ini disebabkan oleh :
a) kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf
b) non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll

E. Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:


1) Nyeri onkologik
2) Nyeri non onkologik

F. Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:


1) Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat
beraktivitas sehari hari dan menjelang tidur.
2) Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang
hanya hilan gbila penderita tidur.
3) Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari,
penderita tidak dapat tidur dan dering terjaga akibat nyeri.

3. ETIOLOGI NYERI
Nyeri dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu trauma, mekanik,
thermos, elektrik, neoplasma (jinak dan ganas), peradangan (inflamasi),
gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah serta yang
terakhir adalah trauma psikologis (Handayani, 2015).

4. MEKANISME NYERI
Menurut Asmadi (2008) Ada beberapa teori yang menjelaskan
mekanisme nyeri. Teori tersebut diantaranya :
1) Teori Spesifik
Otak menerima informasi mengenai objek eksternal dan struktur tubuh
melalui saraf sensoris. Saraf sensoris untuk setiap indra perasa bersifat
spesifik, artinya saraf sensoris dingin hanya dapat diransang oleh
sensasi dingin. Menurut teori ini, timbulnya sensasi nyeri berhubungan
dengan pengaktifan ujung-ujjung serabut saraf bebas oleh perubahan
mekanik, ransangan kimia atau temperature yang berlebihan, persepsi
nyeri yang dibawa serabut saraf nyeri diproyeksikan oleh spinotalamik
ke spesifik pusat nyeri di thalamus.

2) Teori Intensitas
Nyeri adalah hasil ransangan yang berlebihan pada reseptor. Setiap
ransangan sensori punya potensi untuk menimbulkan nyeri jika
intensitasnya cukup kuat.
3) Teori gate control
Teori ini menjelaskan mekanisme transisi nyeri. Kegiatannya tergantung
pada aktifitas saraf afferen berdiameter besar atau kecil yang dapat
memengaruhi sel saraf di substansia gelatinosa. Aktivitas serat yang
berdiameter besar menghambat transmisi yang artinya pintu di tutup
sedangkan serat saraf yang berdiameter kecil mempermudah transmisi
yang artinya pintu dibuka.

2. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NYERI

Nyeri merupakan hal yang komplek, banyak faktor yang


mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat
harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien
yang mengalami nyeri. Hal ini sangat penting dalam pengkajian nyeri yang
akurat dan memilih terapi nyeri yang baik.

a) Usia
Usia merupakan variabel yang penting dalam mempengaruhi nyeri
pada individu. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan dalam
memahami nyeri dan prosedur pengobatan yang dapat menyebabkan
nyeri. Anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata juga
mengalami kesulitan dalam mengungkapkan nyeri yang dialami, takut
akan tindakan keperawatan yang harus di terima nantinya (Potter &
Perry, 2006).

Pada pasien lansia, perawat harus melakukan pengkajian lebih


rinci ketika seorang lansia melaporkan adanya nyeri. Seringkali lansia
memiliki sumber nyeri lebih dari satu. Terkadang penyakit yang
berbeda-beda yang diderita lansia menimbulkan gejala yang sama,
sebagai contoh nyeri dada tidak selalu mengindikasikan serangan
jantung, Nyeri dada dapat timbul karena gejala arthritis pada spinal dan
gangguan abdomen. Sebagai lansia terkadang pasrah terhadap hal yang
dirasakan, menganggap bahwa hal tersebut merupakan kopnsekuensi
penuaan yang tidak bisa dihindari (Nugroho, 2010).

b) Jenis kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan
dalam berespon terhadap nyeri. Hanya beberapa budaya yang
menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus lebih berani dan tidak
boleh menangis dibandingkan anak perempuan dalam situasi yang
sama ketika merasakan nyeri. Akan tetapi dari penelitian
memperlihatkan hormon seks pada mamalia berpengaruh terhadap
tingkat toleransi terhadap nyeri. Hormon seks testosteron menaikkan
ambang nyeri pada percobataan binatang, sedangkan estrogen
meningkatkan pengenalan/sensitivitas terhadap nyeri. Pada manusia
lebih komplek, dipengaruhi oleh personal, sosial, budaya dan lain-lain
(Nugroho, 2010).

c) Budaya
Petugas kesehatan seringkali berasumsi bahwa cara yang
dilakukan dan hal yang diyakini adalah sama dengan cara dan
keyakinan orang lain. Dengan demikian, mencoba mengira klien akan
berespon terhadap nyeri. Misalnya, apabila seorang perawat yakin
bahwa menangis dan merintih mengindikasikan suatu ketidakmampuan
untuk mentolerasi nyeri, Akibatnya pemberian terapi mungkin tidak
cocok untuk klien. Seorang klien yang menangis keras tidak selalu
mempersepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang berat atau
mengharapkan perawat melakukan intervensi (Potter & Perry, 2006).

Mengenali nilai-nilai budaya yang dimiliki seseorang dan


memahami nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya
membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien
berdasarkan harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat yang
mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman yang lebih
besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam mengkaji nyeri
dan respon-respon perilaku terhadap nyeri juga efektif dalam
menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer & Bare, 2003).

d) Ansietas
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan
meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua
keadaaan. Riset tidak memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten
antara ansietas dan nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan
pengurangan stress praoperatif menurunkan nyeri saat pasca operatif.
Namun, ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat
meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak
berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual
dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang efektif
untuk nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri ketimbang
ansietas (Smeltzer & Bare, 2003).

e) Pengalaman masa lalu dengan nyeri


Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman nyeri
sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima
nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Apabila
individu sejak lama sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa
pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat maka ansietas atau
bahkan rasa takut dapat muncul. Sebaliknya, apabila individu
mengalami nyeri dengan jenis yang sama berulang-ulang, tetapi
kemudian nyeri tersebut berhasil dihilangkan, akan lebih mudah bagi
individu tersebut untuk menginterpretasikan sensasi nyeri. Akibatnya,
klien akan lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang
diperlukan untuk menghindarkan nyeri (Potter & Perry, 2006).

f) Efek plasebo
Efek placebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap
pengobatan atau tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa
pengobatan tersebut benar-benar bekerja. Menerima pengobatan atau
tindakan saja sudah merupakan efek positif. Harapan positif pasien
tentang pengobatan dapat meningkatkan keefektifan medikasi atau
intervensi lainnya. Seringkali makin banyak petunjuk yang diterima
pasien tentang keefektifan intervensi, makin efektif intervensi tersebut
nantinya. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi diperkirakan
dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan nyeri
dibanding dengan pasien yang diberitahu bahwa medikasi yang
didapatnya tidak mempunyai efek apapun. Hubungan pasien perawat
yang positif dapat juga menjadi peran yang penting dalam
meningkatkan efek plasebo (Smeltzer & Bare, 2003).

g) Keluarga dan Support Sosial


Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah
kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan
nyeri sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu
atau melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat
mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah. Kehadiran orangtua
merupakan hal khusus yang penting untuk anak-anak dalam
menghadapi nyeri (Potter & Perry, 2006).

h) Pola koping
Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di
rumah sakit adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-
menerus klien kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol
lingkungan termasuk nyeri. Klien sering menemukan jalan untuk
mengatasi efek nyeri baik fisik maupun psikologis. Penting untuk
mengerti sumber koping individu selama nyeri. Sumber-sumber koping
ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan dan bernyanyi dapat
digunakan sebagai rencana untuk mensupport klien dan menurunkan
nyeri klien.
Sumber koping lebih dari sekitar metode teknik. Seorang klien
mungkin tergantung pada support emosional dari anak-anak, keluarga
atau teman. Meskipun nyeri masih ada tetapi dapat meminimalkan
kesendirian. Kepercayaan pada agama dapat memberi kenyamanan
untuk berdo’a, memberikan banyak kekuatan untuk mengatasi ketidak
nyamanan yang datang (Potter & Perry, 2006).

3. RESPON TUBUH TERHADAP NYERI


Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan didalam tubuh.
Impuls nyeri oleh serat afferent selain diteruskan ke sel-sel neuron
nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis, juga akan diteruskan ke sel-
sel neuron di kornu anterolateral dan kornu anterior medulla spinalis.
Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stres sistem
neuroendokrin yang sesuai dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan.
Mekanisme timbulnya nyeri melalui serat saraf afferent diteruskan melalui
sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis dan juga
diteruskan melalui sel-sel dikornu anterolateral dan kornu anterior
medulla spinalis memberikan respon segmental seperti peningkatan
muscle spasm (hipoventilasi dan penurunan aktivitas), vasospasm
(hipertensi), dan menginhibisi fungsi organ visera (distensi abdomen,
gangguan saluran pencernaan, hipoventilasi). Nyeri juga mempengaruhi
respon suprasegmental yang meliputi kompleks hormonal, metabolik dan
imunologi yang menimbulkan stimulasi yang noxious. Nyeri juga berespon
terjadap psikologis pasien seperti interpretasi nyeri, marah dan takut.
Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornua antero-lateral
akan mengaktifkan sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ yang
diinervasi oleh sistem simpatis akan teraktifkan. Nyeri akut baik yang
ringan sampai yang berat akan memberikan efek pada tubuh seperti :
1) Sistem respirasi
Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh reflek
segmental, dan hormon seperti bradikinin dan prostaglandin
menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen tubuh dan produksi
karbondioksida mengharuskan terjadinya peningkatan ventilasi
permenit sehingga meningkatkan kerja pernafasan. Hal ini
menyebabkan peningkatan kerja sistem pernafasan, khususnya pada
pasien dengan penyakit paru. Penurunan gerakan dinding thoraks
menurunkan volume tidal dan kapasitas residu fungsional. Hal ini
mengarah pada terjadinya atelektasis, intrapulmonary shunting,
hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi hipoventilasi.
2) Sistem kardiovaskuler
Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan
perfusi, hipoksia jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap
kardiovaskuler berupa peningkatan produksi katekolamin,
angiotensin II, dan anti deuretik hormon (ADH) sehingga
mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi dan
peningkatan resistensi pembuluh darah secara sistemik. Pada orang
normal cardiac output akan meningkat tetapi pada pasien dengan
kelainan fungsi jantung akan mengalami penurunan cardiac output
dan hal ini akan lebih memperburuk keadaanya. Karena nyeri
menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen myocard, sehingga
nyeri dapat menyebabkan terjadinya iskemia myocardial.
3) Sistem gastrointestinal
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter dan
menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus.
Hipersekresi asam lambung akan menyebabkan ulkus dan bersamaan
dengan penurunan motilitas usus, potensial menyebabkan pasien
mengalami pneumonia aspirasi. Mual, muntah, dan konstipasi sering
terjadi. Distensi abdomen memperberat hilangnya volume paru dan
pulmonary dysfunction.
4) Sistem urogenital
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran
kemih dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan
retensi urin.
5) Sistem metabolisme dan endokrin
Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan
ketekolamin. Metabolisme otot jantung meningkat sehingga
kebutuhan oksigen meningkat. Respon hormonal terhadap nyeri
meningkatkan hormon-hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol
dan glukagon dan menyebabkan penurunan hormon anabolik seperti
insulin dan testosteron. Peningkatan kadar katekolamin dalam darah
mempunyai pengaruh pada kerja insulin. Efektifitas insulin menurun,
menimbulkan gangguan metabolisme glukosa. Kadar gula darah
meningkat. Hal ini mendorong pelepasan glukagon. Glukagon memicu
peningkatan proses glukoneogenesis. Pasien yang mengalami nyeri
akan menimbulkan keseimbangan negative nitrogen, intoleransi
karbohidrat, dan meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol
bersamaan dengan peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan
hormon antidiuretik yang menyebabkan retensi natrium, retensi air,
dan ekspansi sekunder dari ruangan ekstraseluler.
6) Sistem hematologi
Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan
fibrinolisis, dan hiperkoagulopati.
7) Sistem imunitas
Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri
dapat mendepresi sistem retikuloendotelial. Yang pada akhirnya
menyebabkan pasien beresiko menjadi mudah terinfeksi.
8) Efek psikologis
Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan
(anxiety), ketakutan, agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur.
Jika nyeri berkepanjangan dapat menyebabkan depresi.
9) Homeostasis cairan dan elektrolit
Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon
aldosterom berupa retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi
ADH berupa retensi cairan dan penurunan produksi urine. Hormon
katekolamin dan kortisol menyebabkan berkurangnya kalium,
magnesium dan elektrolit lainnya.

4. PENILAIAN INTENSITAS NYERI


Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi
oleh psikologis, kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur
intensitas nyeri merupakan masalah yang relatif sulit.
Ada beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas
nyeri, antara lain:
1) Verbal Rating Scale (VRSs)
Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan
nyeri yang dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat
yang menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word
list yang ada. Metoda ini dapat digunakan untuk mengetahui
intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap
penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:
a) tidak nyeri (none)
b) nyeri ringan (mild)
c) nyeri sedang (moderate)
d) nyeri berat (severe)
e) nyeri sangat berat (very severe)

2) Numerical Rating Scale (NRSs)


Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari
intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri
yang dirasakan dari angka 0-10. ”0”menggambarkan tidak ada nyeri
sedangkan ”10” menggambarkan nyeri yang hebat.

3) Visual Analogue Scale (VASs)


Metoda ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri.
Metoda ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan
keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai
angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan.
Keuntungan menggunakan metoda ini adalah sensitif untuk mengetahui
perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat
digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat
digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar
diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.

4) McGill Pain Questionnaire (MPQ)


Metoda ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejal
nyeri yang dirasakan. Metoda ini menggambarkan nyeri dari berbagai
aspek antara lain sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas nyeri
digambarkan dengan merangking dari ”0” sampai ”3”.

5) The Faces Pain Scale


Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya
untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak.
5. PENATALAKSANAAN NYERI

Terdapat 4 teknik dalam tatalaksana nyeri yang dapat diketahui, meliputi:

1. Teknik Stimulasi Kutaneus


Teknik stimulasi kutaneus dilakukan untuk menghilangkan nyeri
dengan stimulasi langsung pada kulit. Beberapa teknik berikut dapat
dilakukan untuk menstimulasi kulit.
 Kompres dingin
 Analgetic ointments
 Plaster hangat atau counterirritant
 Contralateral stimulation, memijat kulit yang berlawanan dengan
area nyeri

2. Teknik Distraksi
Teknik distraksi merupakan teknik pengalihan perhatian seseorang
terhadap nyeri yang dirasakan sehingga kesadaran terhadap nyerinya
berkurang. Adapun contoh teknik distraksi yang dilakukan, sebagai
berikut:
 Distraksi visual: menonton televisi, membaca Koran
 Distraksi pendengaran: mendengarkan musik hingga bercakap-
cakap dengan orang lain
 Distraksi intelektual: mengisi TTS
 Distraksi pernapasan: hirup napas melalui hidung, napas berirama

3. Teknik Anticipatory Guidance


Teknik ini dapat dilakukan perawat dengan cara memberikan informasi
yang dapat mencegah terjadinya nyeri dan membantu pemahaman
pasien terhadap pencegahan nyeri. Adapun informasi yang diberikan
meliputi:
 Penyebab nyeri
 Lokasi nyeri
 Bagaimana terjadinya nyeri
 Tingkatan rasa nyeri dari ringan-berat
 Hal-hal yang diharapkan pasien selama prosedur

4. Teknik Relaksasi
Teknik relaksasi efektif dilakukan untuk pada nyeri kronik. Adapun
manfaat yang diperoleh, seperti menurunkan nyeri dan stres,
mendorong individu melupakan nyeri, serta meningkatkan efektifitas
terhadap terapi lain. Terdapat tiga hal utama dalam teknik relaksasi
meliputi:
 Posisi yang tepat
 Pikiran yang tenang
 Lokasi/lingkungan yang tenang

A) Terapi Multimodal

Nyeri akut sering dikelola dengan tidak memadai. Ini tidak


seharusnya demikian. Kontrol nyeri sering bisa diperbaiki dengan
strategi sederhana, yaitu nilai nyeri, atasi dengan obat dan teknik yang
sudah ada, nilai kembali nyeri setelah terapi dan bersiap untuk
memodifikasi pengobatan jika perlu. Analgesia yang baik mengurangi
komplikasi pasca bedah seperti infeksi paru, mual dan muntah,
DVT ,dan ileus.

Penyebabnya biasanya lebih mudah dapat ditentukan, sehingga


penanggulangannya biasanya lebih mudah pula. Nyeri akut ini akan
mereda dan hilang seiring dengan laju proses penyembuhan jaringan
yang sakit. Semua obat analgetika efektif untuk menanggulangi nyeri
akut ini. Diagnosa penyebab nyeri akut harus ditegakkan lebih dahulu.
Bersamaan dengan usaha mengatasi penyebab nyeri akut, keluhan
nyeri penderita juga diatasi. Intinya, diagnosa penyebab ditegakkan,
usaha mengatasi nyeri sejalan dengan usaha mengatasi penyebabnya.

Setelah diagnosis ditetapkan, perencanaan pengobatan harus


disusun. Untuk itu berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka
ragam dapat digolongkan sebagai berikut :

1) Modalitas fisik
Latihan fisik, pijatan, vibrasi, stimulasi kutan (TENS), tusuk
jarum, perbaikan posisi, imobilisasi, dan mengubah pola
hidup.
2) Modalitas kognitif-behavioral
Relaksasi, distraksi kognitif, mendidik pasiern, dan pendekatan
spiritual. 22 c. Modalitas Invasif Pendekatan radioterapi,
pembedahan, dan tindakan blok saraf.
3) Modalitas Psikoterapi
Dilakukan secara terstruktur dan terencana, khususnya bagi
merreka yang mengalami depresi dan berpikir ke arah bunuh
diri
B) Modalitas Farmakoterapi
Semua obat yang mempunyai efek analgetika biasanya efektif
untuk mengatasi nyeri akut. Hal ini dimungkinkan karena nyeri akut
akan mereda atau hilang sejalan dengan laju proses penyembuhan
jaringan yang sakit.
Dalam melaksanakan farmakoterapi terdapat beberapa prinsip
umum dalam pengobatan nyeri. Perlu diketahui sejumlah terbatas
obat dan pertimbangkan berikut:
 Bisakan pasien minum analgesik oral?
 Apakah pasien perlu pemberian iv untuk mendapat efek analgesik
cepat?
 Bisakan anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik, atau digunakan
dalam kombinasi dengan analgesik sistemik?
 Bisakan digunakan metode lain untuk membantu meredakan
nyeri, misal pemasangan bidai untuk fraktur, pembalut luka
bakar.

C) Analgesia Balans
Obat analgetika nonnarkotika hanya efektif untuk mengatasi
nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang. Sedangkan obat
analgetika narkotika efektif untuk mengatasi nyeri dengan intensitas
berat. Dipihak lain blok saraf tidak selalu mudah dapat dikerjakan.2
Tidak jarang, untuk mendapatkan efek analgesia yang adekuat
diperlukan dosis obat yang besar. Hal ini dapat diikuti oleh
timbulnya efek samping.
Untuk menghindari hal ini, dapat diusahakan dengan
menggunakan beberapa macam obat analgetika yang mempunyai
titik tangkap kerja yang berbeda. Dapat digunakan dua atau lebih
jenis obat dengan titik tangkap yang berbeda. Dengan pendekatan
ini, dosis masing-masing individu obat tersebut menjadi jauh lebih
kecil, tetapi akan menghasilkan kwalitas analgesia yang lebih
adekuat dengan durasi yang lebih panjang. Dengan demikian efek
samping yang dapat ditimbulkan oleh masing masing obat dapat
dihindari.
Analgesia Balans merupakan suatu teknik pengelolaan nyeri
yang menggunakan pendekatan multimodal pada proses nosisepsi,
dimana proses transduksi ditekan dengan AINS, proses transmisi
dengan obat anestetik lokal, dan proses modulasi dengan opiat.
Pendekatan ini, memberikan penderita obat analgetika dengan titik
tangkap kerja yang berbeda seperti obat obat analgetika non
narkotika, obat analgetika narkotika serta obat anesthesia lokal
secara kombinasi disebut Balans analgesia atau pendekatan
polifarmasi.

D) Analgesia Preemptif
Diatas sudah dijelaskan bahwa bila seseorang tertimpa cedera
dan yang bersangkutan menderita nyeri (berat) dan nyeri ini tidak
ditanggulangi dengan baik, dapat diikuti oleh perubahan kepekaan
reseptor nyeri dan neuron nosisepsi di medulla spinalis (kornu
dorsalis) terhadap stimulus yang masuk.
Ambang rangsang organ-organ tersebut akan turun. Terjadinya
plastisitas sistem saraf. Tindakan mencegah terjadinya plastisitas
sistem saraf dengan memberikan obat-obat analgetika sebelum
trauma terjadi disebut tindakan preemptif analgesia. Tindakan
anestesia merupakan salah satu contoh preemptif analgesia ini.
Dengan menanggulangi penyebab, keluhan nyeri akan mereda atau
hilang. Pembedahan merupakan saat yang tepat untuk melakukan
teknik analgesia preemtif dimana teknik ini menjadi sangat efektif
karena awitan dari sensari nyeri diketahui.

E) PCA (patient controlled administration)


Patient controlled Administration (PCA) merupakan metode yang
saat ini tengah popular dan digunakan luas terutama di USA, bila
opioid analgesia parenteral harus diberikan lebih dari 24 jam.1,6 PCA
ini begitu popular disana karena selain menghindarkan dari injeksi
intramuskular, onset yang dihasilkan juga cepat dan bisa dikontrol
sendiri oleh pasien.
Bisa menghasilkan manajemen nyeri berkualitas tinggi. PCA
memungkinkan pasien mengendalikan nyerinya sendiri. Perawat
tidak diperlukan untuk memberikan analgesia dan pasien merasakan
nyeri mereda lebih cepat. Keberhasilan PCA tergantung pada :
 Kecocokan pasien dan penyuluhan pada pasca operasi.
 Pendidikan staf dalam konsep PCA serta penggunaan alat
 Pemantauan yang baik terhadap pasien untuk menilai efek terapi
dan efek samping.
 Dana : pompa infus PCA mahal.

Terdapat perbedaan yang cukup besar pada kebutuhan akan


analgesia, atas dasar itulah PCA merupakan metode ideal bagi
pasien yang membutuhkan lebih banyak ataupun lebih sedikit
daripada standar. Jika kadar plasma berada dibawah ambang
analgesik, pasien dapat mentitrasi sendiri opiod pada kadar
analgesia yang mereka butuhkan (selama masih dalam batasan
terapi).6 Dosis bolus dan waktu stop bisa diubah sesuai dengan
kebutuhan 33 individu. Pasien harus mendapat PCA dari jalur infus
khusus atau katup satu arah pada infus jaga (jika diberikan dengan
piggyback). Ini mencegah akumulasi sejumlah besar opioid dalam
infus.

F) Tim nyeri akut


Tim nyeri akut ada pada banyak rumah sakit. Ini merupakan
sumber bantuan dan informasi bagi staf bedah yunior. Biasanya
dikepalai oleh spesialis anestesi, dengan perawat spesialis yang
menjalankan pelayanan dari hari ke hari. Jika apoteker dan dokter
bedah terlibat, perbaikan dalam praktek dan penerapan perubahan
lebih mudah.
Tujuan dari tim adalah memperbaiki dan memelihara standar
dalam manajemen nyeri akut. Tanggung jawab mereka adalah:
 Melatih dan mengajarkan staf dokter dan perawat
 Memberikan informasi kepada pasien
 Memberikan pelayanan untuk masalah yang terkait dengan
manajemen nyeri akut
 Audit efek-efek (diinginkan dan tak-diinginkan) dalam praktek
manajemen nyeri.

G) Servis Nyeri Akut


Acute Pain Service (APS) merupakan pelayanan terhadap nyeri akut
yang dilakukan secara kontinyu dan bertujuan sedini mungkin
mengatasi nyeri, menilai nyeri secara rutin, menilai pilihan
pengontrolan nyeri, dengan mnggunakan pendekatan multimodal
yang disesuaikan dengan keadaan dan respons pasien.
BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN
Nyeri merupakan hal seringkali kita jumpai pada dunia praktek
kedokteran yang sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia
kedokteran Nyeri merupakan manifestasi dari suatu proses patologis
yang terjadi di dalam tubuh. Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang
mempunyai manfaat. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut
tidak dilaksanakan dengan baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi
nyeri kronik. Beberapa prinsip dalam manajemen nyeri sebagai berikut :
 Pasien yang mengeluh nyeri, berarti mereka betul-betul merasa
nyeri. Mereka perlu didengarkan dan dipercaya.
 Tidak ada pola fisiologis atau perilaku yang bisa digunakan untuk
membuktikan bahwa seseorang sedang berpura-pura nyeri.
 Operasi yang sama mungkin akan menghasilkan kebutuhan
analgesia yang bervariasi pada berbagai pasien.
 Derajat nyeri yang sama mungkin diekspresikan dengan cara
berbeda oleh pasien.
 Opioid yang diberikan untuk nyeri akut tidak menyebabkan adiksi
obat.
 Nyeri hebat setelah pembedahan bisa dicegah. Cari sebab-sebab
nyeri yang bisa diatasi, tetapi jangan tunda analgesia dengan alasan
takut menyelubungi tanda-tanda bedah.
 Dosis tepat dari analgesik opioid adalah ‘cukup dan sering cukup’
 Manfaat maksimum dengan efek samping paling sedikit sering
diperoleh dengan kombinasi berbagai obat dengan cara pemberian
berbeda (misal opioid dan AINS dan anestesi lokal).

B. SARAN
Disarankan kepada perawat untuk dapat memahami dan
mengaplikasikan materi ini terutama dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan terhadap pasien pada Manajemen Nyerinya. Berdasarkan
tujuan dan prinsip yang didapat, dengan demikian dapat memberikan
jalan keluar yang terbaik bagi pasien. Dengan sendirinya sebagai
perawat.

DAFTAR PUSTAKA

Morgan, G.E., Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 2 nd ed.


Stamford: Appleton and Lange, 1996, 274-316.
Mangku, G., Diktat Kumpulan Kuliah, Bagian/SMF Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar,
2002.
Latief, S.A., Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, Bag Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK UI, Jakarta, 2001.
Hamill, R.J., The Assesment of Pain, In: Handbook of Critical Care Pain
Management, New York, McGrow-Hill Inc, 1994, 13-25.
Loese, J.D., Peripheral Pain Mechanism and Nociceptic Plasticity, In Bonica’s
Management of Pain, Lippicott Williams and Wilkins, 2001, 26-65.
Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Manajemen nyeri akut, in Kedokteran
Perioperatif, Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 14,
57-69

Anda mungkin juga menyukai