Anda di halaman 1dari 20

PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN

“RESPON SAKIT/ NYERI PASIEN”

Dosen Pengampu :

Nurul iklima, M.KEP

Disusun oleh :

Ira Riana 88190007 Nabila Afilia 88190016

Rahayu 88190011 Salma Fitrianingsih 88190009

UNIVERSITAS ARS (Adhirajasa Reswara Sanjaya) BANDUNG

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN 2019/2020


KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang maha esa yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan
tugas makalah penulis yang berjudul “RESPON SAKIT/NYERI PASIEN ”.
Makalah ini di maksudkan sebagai tuntutan belajar bagi mahasiswa pendidikan kesehatan
khususnya program studi S-1 Keperawatan. Semoga dengan adanya makalah ini bisa memberi
banyak pengetahuan bagi pembaca khususnya bagi penulis sendiri, makalah ini terselesaikan
karena bantuan banyak pihak.
Tentunya penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan serta masih jauh dari kata
kesempurnaan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang mendukung dari para
pembaca untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Akhir kata penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, 10 April 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................. i

DAFTAR ISI........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang............................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah......................................................................................... 2

C. Tujuan Penelitian...........................................................................................3

D. Manfaat Penelitian.........................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Nyeri........................................................................................…...4
B. Factor yang mempengaruhi nyeri …………………………………………4
C. Klasifikasi Nyeri ......................................................................................... 8
D. Sifat Nyeri .........................................................................................……..11
E. Respon Tubuh terhadap Nyeri .........................................................…........11
F. Skala nyeri .........................................................................................……..13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ………………………………………………………….…….16
B. Saran ……………………………………………………………….….…..16

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................….. iii

ii
BAB I

PENDAHULUAN 1

A. Latar belakang

Rasa nyeri merupakan masalah yang umum terjadi di masyarakat dan salah satu
penyebab paling sering pasien datang berobat ke dokter karena rasa nyeri mengganggu
fungsi social dan kualitas hidup penderitaya. Hasil penelitian WHO yang melibatkan
lebih dari 25.000 pasien dari 14 negara menunjukkan 22% pasien menderita nyeri, pada
populasi orang tua prevelensi nyeri meningkat menjadi 50% (marazzitil,2006).

Nyeri adalah suatu sensasi yang tidak menyenangkan dan bisa dirasakan sebagai
rasa sakit. Nyeri dapat timbul dibagian tubuh manapun sebagai respon terhadap stimulus
yang berbahaya bagi tubuh, seperti suhu yang terlalu panas/dingin, tertusuk benda tajam,
patah tulang dan lain-lain. Rasa nyeri timbul apabila terjadi kerusakan jaringan akibat
luka, terbentur, terbakar, dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan individu bereaksi
dengan cara memindahkan posisi tubuhnya (Guyton & Hall, 1997). Nyeri merupakan
bentuk ketidaknyamanan yang bersifat sangat individual dan tidak dapat dibagi dengan
orang lain. Tamsuri (2007) mendefenisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang
mempengaruhi seseorang atau eksistensinya diketahui bila sesorang pernah
mengalaminya. Sementara Prasetyo (2010) dikutip dalam Andarmoyo (2013)
menyatakan bahwa nyeri merupakan suatu mekanisme proteksi bagi tubuh yang timbul
ketika jaringan sedang rusak dan merupakan suatu pengalaman pribadi yang di pengaruhi
oleh budaya.

Dalam Andarmoyo (2013) dijelaskan respon nyeri terbagi atas fisiologis dan
perilaku. Respon nyeri secara fisiologis merupakan pengganti untuk laporan verbal dari
nyeri pada pasien yang tidak sadar. Sedangkan respon perilaku yang dialami oleh pasien
sangat beragam seperti mengaduh, meringis, mengernyitkan dahi menutup mata atau
mulut dengan rapat. Respon nyeri baik itu secara fisiologis maupun perilaku dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Berman (2009) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
nyeri diantaranya adalah usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna nyeri, perhatian,

1
ansietas, keletihan, pengalaman sebelumnya, gaya koping, dukungan keluarga dan sosial.
Sebagai tenaga kesehatan perlu memahami faktor-faktor tersebut agar dapat memberikan
pendekatan yang tepat dalam pengkajian dan perawatan terhadap klien yang mengalami
nyeri.

Pada dasarnya, rasa nyeri merupakan mekanisme pertahan tubuh. Meskipun


nyerui berguna bagi tubuh, namun dalam kondisi tertentu, nyeri dapat menimbulkan
ketidaknyamanan bahkan penderitaan bagi individu yang merasa sensasi ini. Sensasi
nyeri yang mendorong individu yang bersangkutan mencari pengobatan, antara lain
dengan mengonsumsi obat-obatan penghilang rasa nyeri (Analgetik). Analgetik adalah
obat yang digunakan untuk menghambat atau mengurangi rasa nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran, saat ini telah banyak beredar obat-obatannsintetic seperti obat
anti inflamasi non steroid (AINS). Sebanyak 25% obat yang dijual bebas dipasaran
adalah analgetik asetaminofen. Obat ini dipakai untuk bayi, anak-anak, dewasa dan orang
lanjut usia untuk keluhan nyeri ringan dan demam (Kee, 1994)

Obat-obat analgetika adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas menekan atau
mengurangi rasa nyeri. Efek ini dapat dicapai dengan berbagai macam cara, seperti
menekan kepekaan reseptor rasa nyeri (misalnya dengan anestesi) terhadap rangsang
nyeri mekanik, termik, listrik atau kimiawi dipusat atau perifer, atau dengan cara
menghambat pembentukan prostaglandin sebagai menilai kemampuan zat uji untuk
menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi pada hewan percobaan (mencit,
tikus, marmot), yang meliputi induksi secara mekanik, termik, elektrik dan secara kimia.
Mwtode pengujian dengan induksi nyeri secara mekanik atau termik lebih sesuai untuk
mengevaluasi obat-obat analgetika kuat. Pada umumnya daya kerja analgetika dinilai
pada hewan dengan mengukur besarnya peningkatan stimulus nyeri yang harus diberikan
sampai ada respon nyeri/jangka waktu ketahanan hewan terhadap nyeri/ juga peranan
frekuensi respon nyeri (Midian Sirait, dkk).

B. Rumusan Masalah
1. Definisi nyeri
2. Factor yang mempengaruhi

2
3. Klasifikasi nyeri
4. Sifat nyeri
5. Respon tubuh terhadap nyeri
6. Skala nyeri

C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui respon nyeri pada klien dan tingkat nyeri .

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penyusun
Hasil dari penelitian ini dapat menambah pengetahuan peneliti mengenai respon
sakit klien. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran diagnosa
keperawatan pada asuhan keperawatan .
2. Bagi Pembaca
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan
bagi pembaca.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi nyeri

Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun
berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Nyeri (pain) adalah kondisi perasaan yang tidak menyenangkan, sifatnya sangat
subjektif karna perasaan nyeri berbeda pada setiap orang baik dalam hal skala
ataupun tingkatannya dan hanya orang tersebut yang dapat menjelaskan dan
mengefakuasi rasa nyeri yang dialaminya (Hidayat, 2008).

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah


pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya
kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan. Menurut Engel (1970) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi
ketidaknyamanan yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai
penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi
luka.

B. Factor yang mempengaruhi rasa nyeri


Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi
pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan
faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri. Hal ini sangat
penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang baik.
a. Usia
Menurut Potter & Perry (1993) usia adalah variabel penting yang
mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan
perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat
mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri.
Anakanak kesulitan untuk memahami nyeri dan beranggapan kalau apa yang
dilakukan perawat dapat menyebabkan nyeri.

4
Anak-anak yang belum mempunyai kosakata yang banyak, mempunyai
kesulitan mendeskripsikan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada
orang tua atau perawat. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga
perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang
melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi
(Tamsuri, 2007).
Seorang perawat harus menggunakan teknik komunikasi yang sederhana
dan tepat untuk membantu anak dalam membantu anak dalam memahami dan
mendeskripsikan nyeri. Sebagai contoh, pertanyaan kepada anak, “ Beritahu
saya dimana sakitnya?” atau “apa yang dapat saya lakukan untuk
menghilangkan sakit kamu?”. Hal-hal diatas dapat membantu mengkaji nyeri
dengan tepat. Perawat dapat menunjukkan serangkaian gambar yang
melukiskan deskripsi wajah yang berbeda, seperti tersenyum, mengerutkan
dahi atau menangis. Anak-anak dapat menunjukkan gambar yang paling tepat
untuk menggambarkan perasaan mereka.
b. Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak mempunyai
perbedaan secara signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih
diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam
ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis
dimana seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama. Penelitian
yang dilakukan Burn, dkk. (1989) dikutip dari Potter & Perry, 1993
mempelajari kebutuhan narkotik post operative pada wanita lebih banyak
dibandingkan dengan pria.

c. Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh

5
kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri
(Calvillo & Flaskerud, 1991).
Nyeri memiliki makna tersendiri pada individu dipengaruhi oleh latar
belakang budayanya (Davidhizar et all, 1997, Marrie, 2002) nyeri biasanya
menghasilkan respon efektif yang diekspresikan berdasarkan latar belakang
budaya yang berbeda. Ekspresi nyeri dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu
tenang dan emosi (Davidhizar et all, 1997, Marrie, 2002) pasien tenang
umumnya akan diam berkenaan dengan nyeri, mereka memiliki sikap dapat
menahan nyeri. Sedangkan pasien yang emosional akan berekspresi secara
verbal dan akan menunjukkan tingkah laku nyeri dengan merintih dan
menangis (Marrie, 2002).
Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien
dari budaya lain. Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup
menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan, seperti menangis atau meringis
yang berlebihan. Pasien dengan latar belakang budaya yang lain bisa
berekspresi secara berbeda, seperti diam seribu bahasa ketimbang
mengekspresikan nyeri klien dan bukan perilaku nyeri karena perilaku
berbeda dari satu pasien ke pasien lain. Mengenali nilai-nilai budaya yang
memiliki seseorang dan memahamimengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-
nilai kebudayaan lainnya membantu untuk menghindari mengevaluasi
perilaku pasien berdasarkan harapan dan nilai budaya seseorang.
Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai
pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam
mengkaji nyeri dan respon-respon perilaku terhadap nyeri juga efektif dalam
menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer& Bare, 2003).
d. Ansietas
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan
nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaaan. Riset tidak
memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga
tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stres praoperatif
menurunkan nyeri saat pascaoperatif. Namun, ansietas yang relevan atau

6
berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri.
Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan
secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang
efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan
nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare, 2002).
e. Pengalaman masa lalu dengan nyeri
Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang
dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan
yang akan diakibatkan. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi
nyeri, akibatnya ia ingin nyerinya segera reda sebelum nyeri tersebut menjadi
lebih parah. Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mengetahui
ketakutan dapat meningkatkan nyeri dan pengobatan yang tidak adekuat. Cara
seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri
selama rentang kehidupannya.
Bagi beberapa orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak
terselesaikan, seperti padda nyeri berkepanjangan atau kronis dan persisten.
Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman sebelumnya
menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada terhadap pengalaman masa
lalu pasien dengan nyeri. Jika nyerinya teratasi dengan tepat dan adekuat,
individu mungkin lebih sedikit ketakutan terhadap nyeri dimasa mendatang
dan mampu mentoleransi nyeri dengan baik (Smeltzer & Bare, 2002).
f. Efek placebo
Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan atau
tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa pengobatan tersebut benar benar
bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah merupakan efek
positif. Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan
keefektifan medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali makin banyak
petunjuk yang diterima pasien tentang keefektifan intervensi, makin efektif
intervensi tersebut nantinya. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi
diperkirakan dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan
nyeri disbanding dengan pasien yang diberitahu bahwa medikasi yang

7
didapatnya tidak mempunyai efek apapun. Hubungan pasien –perawat yang
positif dapat juga menjadi peran yang amat penting dalam meningkatkan efek
plasebo (Smeltzer & Bare, 2002).
g. Keluarga dan Support Sosial
Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah
kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri
sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau
melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan
membuat nyeri semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal
khusus yang pentinguntuk anak-anak dalam menghadapi nyeri (Potter & Perry,
1993).
h. Pola koping
Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah
sakit adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-menerus klien
kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk
nyeri. Klien sering menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik
maupun psikologis. Penting untuk mengerti sumber koping individu selama
nyeri. Sumber-sumber koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga,
latihan dan bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana untuk mensupport
klien dan menurunkan nyeri klien. Sumber koping lebih dari sekitar metode
teknik. Seorang klien mungkin tergantung pada support emosional dari anak-
anak, keluarga atau teman. Meskipun nyeri masih ada tetapi dapat
meminimalkan kesendirian. Kepercayaan pada agama dapat memberi
kenyamanan untuk berdo’a, memberikan banyak kekuatan untuk mengatasi
ketidaknyamanan yang datang (Potter & Perry, 1993).
C. Klasifikasi nyeri
a. Berdasarkan durasi
- Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau
intervensi bedah dan memiliki proses yang cepat dengan intensitas yang
bervariasi (ringan sampai berat), dan berlangsung untuk waktu yang singkat

8
(Andarmoyo,2013). Nyeri akut berdurasi singkat (kurang lebih 6 bulan) dan
akan menghilang tanpa pengobatan setelah area yang rusak pulih kembali
(Prasetyo, 2010).
- Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang intermiten yang menetap
sepanjang suatu priode waktu, nyeri ini berlangsung lama dengan intensitas
yang bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan (McCaffery, 1986
dalam Potter & Perry, 2005).

Cambridge University Press. New York. 2009. p 3-20

b. Berdasarkan asal
- Nyeri nosiseptif
Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktivitas atau
sensitivitas nosiseptor perifer yyang merupakan reseptor khusus yang
mengantarkan stimulus naxious (Andarmoyo, 2013). Nyeri nosiseptor ini
dapat terjadi karna adanya stimulus yang mengenai kulit, tulang, sendi, otot,
jaringan ikat, dan lain-lain (Andarmoyo, 2013).
- Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau abnormalitas yang di
dapat pada struktur saraf perifer maupun sentral, nyeri ini lebih sulit diobati
(Andarmoyo,2013).

9
c. Berdasarkan lokasi
- Supervicial atau kutaneus
Nyeri supervisial adalah nyeri yang disebabkan stimulus kulit.
Karakteristik dari nyeri berlangsung sebentar dan berlokalisasi. Nyeri
biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam (Potter dan Perry, 2006 dalam
Sulistyo, 2013). Contohnya tertusuk jarum suntik dan luka potong kecil atau
laserasi.
- Visceral dalam
Nyeri visceral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ-organ
internal (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 20013). Nyeri ini bersifat
difusi dan dapat menyebar kebeberapa arah. Nyeri ini menimbulkan rasa tidak
menyenangkan dan berkaitan dengan mual dan gejala-gejala otonom.
Contohnya sensasi pukul (crushing) seperti angina pectoris dan sensasi
terbakar seperti pada ulkus lambung.
- Nyeri alih (Referred pain)
Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri visceral karna banyak
organ tidak memiliki reseptor nyeri. Karakteristik nyeri dapat terasa dibagian
tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai
karakteristik (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo). Contohnya nyeri yang
terjadi pada infark miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan
kiri, batu empedu, yang mengalihkan nyeri ke selangkangan.
- Radiasi
Nyeri radiasi merupakan sensasi nyeri yang meluas dari tempat awal cedera
ke bagian tubuh yang lain (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013).
Karakteristik nyeri terasa seakan menyebar ke bagian tubuh bawah atau
sepanjang kebagian tubuh. Contohnya nyeri yang punggung bagian bawah
akibat diskusi interavertebral yang rupture disertai nyeri yang meradiasi
sepanjang tungkai dari iritasi saraf skiatik.

10
D. Sifat nyeri
Nyeri bersifat subjektif dan sangat individual. Menurut Mahon (1994),
menemukan empat atribut pasti untuk pengalaman nyeri, yaitu : nyeri bersifat
individulis, tidak menyenangkan, merupakan suatu kekuatan yang mendominasi dan
bersifat tidak berkesudahan (Andarmoyo, 2013, hal.17).
Menurut Caffery (1980), nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang
tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan bahwa ia merasa
nyeri. Apabila seseorang merasa nyeri, maka prilakunya akan berubah (Potter,2006).

E. Respon nyeri
Nyeri sebagai suatu pengalaman sensoris dan emosional tentunya akan
menimbulkan respon terhadap tubuh. Respon tubuh terhadap nyeri merupakan
terjadinya reaksi endokrin berupa mobilisasi hormon-hormon katabolik dan terjadinya
reaksi imunologik, yang secara umum disebut sebagai respon stres. Rangsang
nosiseptif menyebabkan respons hormonal bifasik, artinya terjadi pelepasan hormon
katabolik seperti katekolamin, kortisol, angiotensin II, ADH, ACTH, GH dan
Glukagon, sebaliknya terjadi penekanan sekresi hormone anabolik seperti insulin.
Hormon katabolik akan menyebabkan hiperglikemia melalui mekanisme resistensi
terhadap insulin dan proses glukoneogenesis, selanjutnya terjadi katabolisme protein
dan lipolisis. Kejadian ini akan menimbulkan balans nitrogen negatif. Aldosteron,
kortisol, ADH menyebabkan terjadinya retensi NA dan air. Katekolamin merangsang
reseptor nyeri sehingga intensitas nyeri bertambah sehingga terjadilah siklus vitrousus.
7 Sirkulus vitiosus merupakan proses penurunan tekanan O2 di arteri pulmonalis
(PaO2) yang disertai peningkatan tekanan CO2 di arteri pulmonalis (PCO2) dan
penurunan Ph akan merangsang sentra pernafasan sehingga terjadi hiperventilasi.
Respon nyeri memberikan efek terhadap organ dan aktifitas. Berikut beberapa efek
nyeri terhadap oragan dan aktifitas:
a. Efek nyeri terhadap kardiovaskular
Pelepasan katekolamin, Aldosteron, Kortisol, ADH dan aktifasi
Angiostensin II akan mennimbulkan efek pada kardiovaskular.
Hormonhormon ini mempunyai efek langsung pada miokardium atau

11
pembuluh darah dan meningkatkan retensi Na dan air. Angiostensin II
menimbulkan vasikontriksi. Katekolamin menimbulkan takikardia,
meningkatkan otot jantung dan resistensi vaskular perifer, sehingga terjadilah
hipertensi. Takikardia serta disritmia dapat menimbulkan iskemia miokard.
Jika retensi Na dan air bertambah makan akan timbul resiko gagal jantung.
b. Efek nyeri terhadap respirasi
Bertambahnya cairan ekstra seluler di paru-paru akan menimbulkan
kelainan ventilasi perfusi. Nyeri didaerah dada atau abdomen akan
menimbulkan peningkatan otot tonus di daerah tersebut sehingga muncul
risiko hipoventilasi, kesulitan bernafass dalam mengeluarkan sputum,
sehingga penderita mudah hipoksia dan atelektasis.
c. Efek nyeri terhadap sistem oragan lain
Peningkatan aktifitas simpatis akibat nyeri menimbulkan inhibisi fungsi
saluran cerna. Gangguan pasase usus sering terjadi pada penderita nyeri.
Terhadap fungsi immunologik, nyeri akan menimbulkan limfopenia, dan
leukositosis sehingga menyebabkan resistensi terhadap kuman patogen
menurun.
d. Efek nyeri terhadap psikologi
Pasien yang menderita nyeri akut yang berat akan mengalami gangguan
kecemasan, rasa takut dan gangguan tidur. Hal ini disebabkan karena
ketidaknyamanan pasien dengan kondisinya, dimana pasien menderita dengan
rasa nyeri yang dialaminya kemudian pasien juga tidak dapat beraktivitas.
Bertambahnya durasi dan intensitas nyeri, pasien dapat mengalami gangguan
depresi, kemudian pasien akan frustasi dan mudah marah terhadap orang
sekitar dan dirinya sendiri. Kondisi pasien seperti cemas dan rasa takut akan
membuat pelepasan kortisol dan katekolamin, dimana hal tersebut akan
merugikan pasien karena dapat berdampak pada sistem organ lainnya,
gangguan sistem organ yang terjadi kemudian akan membuat kondisi pasien
bertambah buruk dan psikologi pasien akan bertambah parah.
e. Efek nyeri terhadap mutu kehidupan

12
Nyeri menyebabkan pasien sangat menderita, tidak mampu bergerak,
susah tidur, tidak enak makan, cemas, gelisah, putus asa tidak mampu
bernafas dan batuk dengan tidak baik. Keadaan seperti ini sangat mengganggu
kehidupan pernderita sehari-hari. Mutu kehidupannya sangat rendah, bahkan
sampai tidak mampu untuk hidup mandiri layaknya orang sehat.
Penatalaksanaan nyeri pada hakikatnya tidak tertuju pada mengurangi rasa
nyeri melainkan untuk menjangkau peningkatan mutu kehidupan pasien,
sehingga dapat kembali menikmati kehidupannya. Sementara kualitas hidup
pasien menurun karena pasien tidak bisa beristirahat dan beraktivitas 7,9
Nyeri memiliki konsekuensi fisiologis didalam tubuh.

Tennant F. The Physiologic Effects of Pain on the Endocrine System. Spinger


Healthcare. 2013. 2:75-86.

F. Skala nyeri
Menurut potter & Perry (1993) nyeri tidak dapat diukur secara objektif misalnya
dengan X-Ray atau tes darah. Namun tipe nyeri yang muncul dapat diramalkan
berdasarkan tanda dan gejalanya. Kadang-kadang perawat hanya bisa mengkaji nyeri
dengan bertumpu pada ucapan dan perilaku klien karena hanya klien yang

13
mengetahui nyeri yang dialaminya. Oleh sebab itu perawat harus mempercayai bahwa
nyeri tersebut memang ada. Beberapa contoh skala nyeri, yaitu :
1. Face Pain Rating Scale

Menurut Wong dan Baker (1998) pengukuran skala nyeri untuk


anak usia pra sekolah dan sekolah, pengukuran skala nyeri menggunakan
Face Pain Rating Scale yaitu terdiri dari 6 wajah kartun mulai dari wajah
yang tersenyum untuk “tidak ada nyeri” hingga wajah yang menangis
untuk “nyeri berat”.

2. Word Grapic Rating Scale

Menggunakan deskripsi kata untuk menggambarkan intensitas


nyeri, biasanya dipakai untuk anak 4-17 tahun (Testler & Other, 1993;
Van Cleve & Savendra, 1993 dikutip dari Wong & Whaleys, 1996)

0 1 2 3 4 5

Tidak nyeri ringan sedang cukup sangat nyeri nyeri hebat

14
3. Skala intensitas nyeri numerik

4. Skala nyeri menurut bourbanis

Perawat dapat menanyakan kepada klien tentang nilai nyerinya dengan


menggunakan skala 0 sampai 10 atau skala yang serupa lainnya yang
membantu menerangkan bagaimana intensitas nyerinya. Nyeri yang
ditanyakan pada skala tersebut adalah sebelum dan sesudah dilakukan
intervensi nyeri untuk mengevaluasi keefektifannya (Mc Kinney et al, 2000).
Jika klien mengerti dalam penggunaan skala dan dapat menjawabnya serta
gambaran-gambaran yang diungkapkan atau ditunjukkan tersebut diseleksi
dengan hati-hati, setiap instrumen tersebut dapat menjadi valid dan dapat
dipercaya (Gracely & Wolskee,1983; Houdede, 1982; Sriwatanakul, Kelvie &
Lasagna, 1982 dikutip oleh Jacox, et al, 1994).

15
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Nyeri merupakan salah satu bentuk respon tubuh terhadap kerusakan jaringan
melalui nosiseptor. Nyeri menurut International Association for the Study of Pain
(IASP) merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan pada jaringan. Nyeri dapat
menyebabkan berbagai efek psikososial termasuk depresi, kecemasan, delirium,
gangguan stres pasca trauma, dan disorientasi.
Nyeri dapat timbul akibat adanya stimulus atau rangsangan berupa termal,
mekanik, elektrik atau rangsangan kimiawi. Yang kemudian akan lanjut menuju
mekanisme nyeri yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan kemudian masuk ke
persepsi nyeri. Stimulus nyeri memberikan respon terhadap organ dan aktifitas.
Responnya teridiri dari kardiovaskular, respirasi, sistem organ lain, kehidupan dan
psikologi. Pada penatalaksanaan nyeri dapat dilakukan teknik WHO Three Step
Analgesic Ladder. Apabila dianggap tidak efektif bisa ditambakan adjuvan atau
obat pembantu. Berbagai obat pembantu dapat bermanfaat dalam masing-masing
taraf penanggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan efektifitas
analgesik, memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan untuk
bertindak sebagai obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri.
B. Saran
Guna penyempurnaan makalah ini,saya sangat mengharapkan kritik dan serta
saran dari Dosen Pembimbing beserta teman-teman kelompok lain.
Demikian makalah yang telah kami susun, semoga dengan makalah ini dapat
menambah pengetahuan serta lebih bisa memahami tentang pokok bahasan
makalah ini bagi para pembacanya dan khususnya bagi mahasiswa yang telah
menyusun makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Harker J et al. Epidemiology of Chronic Pain in Denmark and Sweden. 2012. P 1-30
2. Marandina A. M. Pengkajian Skala Nyeri Di Ruang Perawatan Intensive Literatur
Review. 2014. Vol 1 p. 18-26.
3. Tennant F. The Physiologic Effects of Pain on the Endocrine System .Cambridge
University Press. New York. 2009. p 3-20.
4. Ardinata D. Multidimensional. Jurnal Kesehatan 2007. No. 2 Vol 2 hal. 77-81.
5. http://repo.unand.ac.id/413/3/bab%25201.pdf
6. http://prezi.com
7. http://www.academia.edu

iii

Anda mungkin juga menyukai