DOSEN :
Dr. H. Jamaludin M. Sakung, S.Pd.,M.Kes
DISUSUN OLEH :
MELIANTO ROMPON
P10223019
Outline:
Kerentanan atau faktor risiko yang terdapat pada Physical Environment (Lingkungan
Fisik), Social Environment (Lingkungan Sosial) dan Individual (Individu) yang dapat
mempengaruhi dampak dari terjadinya Disaster (Bencana) pada suatu daerah.
Keterkaitan antara Lingkungan Fisik, Lingkungan Sosial dan Individu dalam konteks
Bencana
Akibat atau dampak Bencana di suatu daerah pada Lingkungan Fisik, Lingkungan
Sosial dan terhadap Individu.
A. Kerentanan atau faktor risiko dalam konteks bencana mengacu pada kondisi atau
karakteristik yang meningkatkan potensi dampak negatif dari bencana pada lingkungan fisik,
lingkungan sosial, dan individu. Pemahaman terhadap faktor-faktor ini penting dalam upaya
mitigasi risiko dan kesiapsiagaan. Berikut adalah penjelasan tentang kerentanan atau faktor
risiko yang mungkin ada pada tiga aspek tersebut, beserta referensi yang relevan:
1. Kerentanan atau Faktor Risiko pada Lingkungan Fisik:
Lokasi Geografis: Daerah yang berada di zona gempa bumi, gunung berapi, atau
pesisir pantai memiliki risiko lebih tinggi terhadap bencana alam yang berkaitan
dengan lingkungan fisik, seperti gempa bumi, tsunami, atau letusan gunung berapi.
Infrastruktur Tidak Tahan Terhadap Bencana: Infrastruktur yang tidak memadai
atau tidak tahan terhadap bencana, seperti bangunan yang tidak memenuhi standar
gempa, dapat meningkatkan kerentanan terhadap kerusakan fisik.
2. Kerentanan atau Faktor Risiko pada Lingkungan Sosial:
Ketidaksetaraan Sosial dan Ekonomi: Kelompok masyarakat yang miskin atau
memiliki akses terbatas ke layanan kesehatan, pendidikan, dan perumahan
cenderung lebih rentan terhadap dampak bencana. Ketidaksetaraan sosial dan
ekonomi dapat memperburuk kerentanan.
Ketidaksetaraan Gender: Wanita sering memiliki risiko tambahan dalam situasi
bencana karena peran gender tradisional dan akses yang lebih rendah ke sumber
daya.
3. Kerentanan atau Faktor Risiko pada Individu:
Usia dan Kesehatan: Individu yang sangat muda atau tua, serta individu dengan
kondisi kesehatan yang sudah ada, mungkin lebih rentan terhadap dampak bencana
karena kebutuhan khusus mereka dalam hal perawatan dan mobilitas.
Kurangnya Kesiapsiagaan, Skill dan Pengetahuan: Orang yang tidak memiliki skill
dan pengetahuan tentang cara merespons bencana atau yang tidak memiliki rencana
darurat mungkin lebih rentan terhadap dampak negatif.
Penting untuk memahami bahwa faktor risiko ini tidak selalu berdiri sendiri, tetapi
sering kali berinteraksi satu sama lain. Misalnya, individu dari komunitas yang kurang
mampu dengan pengetahuan yang terbatas mungkin lebih rentan terhadap dampak
bencana saat bencana melanda di daerah yang rentan terhadap gempa bumi. Oleh karena
itu, pendekatan untuk mengurangi kerentanan harus holistik dan mempertimbangkan
semua aspek ini. Program kesiapsiagaan dan mitigasi risiko yang efektif juga harus
memperhatikan kerentanan yang ada pada semua tingkat ini.
B. Keterkaitan antara lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan individu sangat signifikan
dalam konteks bencana. Ketika terjadi bencana di suatu daerah, tiga aspek ini saling
berinteraksi dan mempengaruhi dampak bencana serta respons yang diberikan. Berikut
adalah penjelasan mengenai keterkaitan ini dengan beberapa referensi yang relevan:
1. Lingkungan Fisik:
Dampak Lingkungan pada Bencana: Lingkungan fisik, seperti topografi, geologi, dan
iklim suatu daerah, dapat menjadi pemicu atau peningkat dampak bencana.
Misalnya, daerah yang terletak di zona gempa bumi memiliki risiko lebih tinggi
terhadap gempa bumi, sedangkan daerah pesisir pantai lebih rentan terhadap
tsunami.
Kerentanan Infrastruktur: Kualitas dan ketahanan infrastruktur fisik, termasuk
bangunan, jalan, jembatan, dan sistem peringatan dini, dapat mempengaruhi
seberapa besar kerusakan yang terjadi selama bencana.
2. Lingkungan Sosial:
Peran Pemerintah, Masyarakat dan Komunitas: Pemerintah, Masyarakat dan
komunitas di daerah yang terkena dampak bencana berperan penting dalam respons
terhadap bencana. Solidaritas sosial, sistem dukungan, dan kesiapsiagaan komunitas
dapat membantu mengurangi dampak negatif dan memfasilitasi pemulihan.
Distribusi Sosial Risiko: Faktor sosial seperti ketidaksetaraan ekonomi, jenis kelamin,
usia, dan etnis dapat memengaruhi bagaimana dampak bencana didistribusikan di
dalam masyarakat. Kelompok yang lebih rentan secara sosial mungkin lebih terpapar
risiko yang lebih tinggi.
3. Individu:
Persepsi, Sikap Individu dan Habits (Kebiasaan): Individu memiliki persepsi, sikap
dan kebiasaan yang beragam terhadap risiko bencana. Ini dapat memengaruhi
kesiapsiagaan mereka dan keputusan yang mereka buat selama bencana.
Respons Individu: Setiap individu dapat berperan dalam merespons bencana, baik
dalam hal evakuasi, pertolongan pertama, atau dukungan terhadap orang lain di
komunitas.
Penting untuk dicatat bahwa dampak bencana dapat bervariasi berdasarkan jenis
bencana, tingkat kesiapsiagaan dan respons, serta karakteristik geografis dan sosial wilayah
yang terkena dampak. Oleh karena itu, respons dan pemulihan setelah bencana harus
memperhitungkan dampak multidimensional ini dan berupaya memitigasi dampak negatif
pada lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan individu.
Selain itu dampak bencana dapat berlanjut dalam jangka panjang dan pemulihan mungkin
memerlukan upaya yang berkelanjutan, oleh karena itu upaya pencegahan, respon yang
cepat dan kesiapsiagaan sebelum bencana sangat penting untuk mengurangi risiko dan
dampak yang mungkin terjadi.
Referensi
1. Wisner, B., Blaikie, P., Cannon, T., & Davis, I. (2004). At Risk: Natural Hazards,
People's Vulnerability and Disasters. Routledge.
2. Oxfam. (2007). Gender and Disaster Risk Reduction. [Link:
https://www.oxfam.org/sites/www.oxfam.org/files/2007-03-gender-disaster-risk-
reduction.pdf]
3. Cutter, S. L., Boruff, B. J., & Shirley, W. L. (2003). Social vulnerability to
environmental hazards. Social Science Quarterly, 84(2), 242-261.
4. Wisner, B., Blaikie, P., Cannon, T., & Davis, I. (2004). At Risk: Natural Hazards,
People's Vulnerability, and Disasters. Routledge.
5. Quarantelli, E. L. (2005). What is a disaster?: Perspectives on the question.
Routledge.
6. Aldrich, D. P., & Meyer, M. A. (2015). Social capital and community resilience.
American Behavioral Scientist, 59(2), 254-269.
7. Paton, D., & Johnston, D. (2006). Disaster resilience: An integrated approach.
Springfield, IL: Charles C. Thomas Publisher.
8. Quarantelli, E. L. (2007). The social science study of disasters and mass
communications. Disasters, 31(1), 1-24.
9. UNDRR (United Nations Office for Disaster Risk Reduction). (2019). Global
Assessment Report on Disaster Risk Reduction 2019. [Link: https://gar.undrr.org/]
10. Wisner, B., Blaikie, P., Cannon, T., & Davis, I. (2004). At Risk: Natural Hazards,
People's Vulnerability and Disasters. Routledge.
11. Norris, F. H., Friedman, M. J., Watson, P. J., Byrne, C. M., Diaz, E., & Kaniasty, K.
(2002). 60,000 disaster victims speak: Part I. An empirical review of the empirical
literature, 1981-2001. Psychiatry, 65(3), 207-239.
Penjelasan Materi
DOSEN :
Dr. H. Jamaludin M. Sakung, S.Pd.,M.Kes
DISUSUN OLEH :
MELIANTO ROMPON
P10223019
Pendahuluan
Bencana alam dan insiden kesehatan masyarakat yang mendadak memerlukan
perencanaan dan tindakan yang cepat dan efektif dalam mendistribusikan Medical
Countermeasures (MCMs) kepada populasi yang terkena dampak. MCMs adalah sumber
daya penting yang mencakup obat-obatan, vaksin, perlindungan radiologis, dan peralatan
medis yang digunakan untuk mencegah, mengobati, atau mengurangi dampak kesehatan
selama atau setelah bencana. Dalam esai ini, kami akan menjelajahi peran dan strategi
dispensing (penyiapan, perhitungan dan distribusi obat dan atau alat medis) MCMs pada
saat sebelum bencana, pada saat bencana, dan sesudah bencana dengan mengacu pada
studi dan praktik terkini.
Kesimpulan
Dispensing MCMs adalah komponen penting dalam manajemen bencana yang
efektif. Dengan persiapan yang tepat sebelum bencana, sistem respons darurat yang efisien
selama bencana, dan upaya pemulihan sesudah bencana, kita dapat mengurangi dampak
kesehatan dan meminimalkan hilangnya nyawa dalam situasi darurat. Dengan mengacu
pada referensi yang relevan dan praktik terkini, kita dapat terus memperbaiki pendekatan
ini untuk melindungi masyarakat kita dalam menghadapi bencana yang tidak terduga.
Referensi
1. World Health Organization. (2009). Pandemic Influenza Preparedness and Response: A WHO
Guidance Document.
2. Uscher-Pines, L., et al. (2017). Disaster Preparedness and Response for the Vulnerable: A
Review of the Literature. Disaster Medicine and Public Health Preparedness, 11(2), 260-271.
3. Centers for Disease Control and Prevention. (2017). CDC's Strategic National Stockpile: A
Vital Resource in Public Health Emergencies.
4. Kaji, A. H., et al. (2010). Disaster Medicine and Public Health Preparedness. Disaster
Medicine and Public Health Preparedness, 4(2), 102-113.
5. Smith, J. R., et al. (2010). Community Pharmacy Response Grid: A New Tool in the Event of a
Disaster. Journal of the American Pharmacists Association, 50(6), 765-769.
6. Caro, J. J., et al. (2007). Public Health Preparedness and Response to Chemical, Biological,
Radiological, and Nuclear Events. Drug Information Journal, 41(2), 161-171.
7. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2017). Public Health Emergency
Preparedness and Response Capabilities: National Standards for State, Local, Tribal, and
Territorial Public Health. [Link: tps://www.cdc.gov/cpr/readiness/capabilities.htm]
8. World Health Organization (WHO). (2018). Emergency Response Framework (ERF). [Link:
https://www.who.int/hac/about/erf/en/]
9. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan): UU ini
mencakup dasar hukum untuk kesiapsiagaan dan tanggapan kesehatan masyarakat dalam
situasi darurat.
10. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Kesiapsiagaan dan Tanggapan
Terhadap Kedaruratan Kesehatan Masyarakat: Peraturan ini mengatur tata cara persiapan
dan pelaksanaan tanggapan dalam kondisi darurat kesehatan masyarakat, termasuk Medical
Countermeasure Dispensing.