Anda di halaman 1dari 14

Penjelasan Materi

“Framework for Understanding of Disaster”


Kerangka Pemahaman tentang Bencana

DOSEN :
Dr. H. Jamaludin M. Sakung, S.Pd.,M.Kes

DISUSUN OLEH :
MELIANTO ROMPON
P10223019

PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


PASCASARJANA
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2023
Penjelasan:
“Framework for Understanding of Disaster”
Kerangka Pemahaman tentang Bencana

Outline:

 Kerentanan atau faktor risiko yang terdapat pada Physical Environment (Lingkungan
Fisik), Social Environment (Lingkungan Sosial) dan Individual (Individu) yang dapat
mempengaruhi dampak dari terjadinya Disaster (Bencana) pada suatu daerah.
 Keterkaitan antara Lingkungan Fisik, Lingkungan Sosial dan Individu dalam konteks
Bencana
 Akibat atau dampak Bencana di suatu daerah pada Lingkungan Fisik, Lingkungan
Sosial dan terhadap Individu.

A. Kerentanan atau faktor risiko dalam konteks bencana mengacu pada kondisi atau
karakteristik yang meningkatkan potensi dampak negatif dari bencana pada lingkungan fisik,
lingkungan sosial, dan individu. Pemahaman terhadap faktor-faktor ini penting dalam upaya
mitigasi risiko dan kesiapsiagaan. Berikut adalah penjelasan tentang kerentanan atau faktor
risiko yang mungkin ada pada tiga aspek tersebut, beserta referensi yang relevan:
1. Kerentanan atau Faktor Risiko pada Lingkungan Fisik:
 Lokasi Geografis: Daerah yang berada di zona gempa bumi, gunung berapi, atau
pesisir pantai memiliki risiko lebih tinggi terhadap bencana alam yang berkaitan
dengan lingkungan fisik, seperti gempa bumi, tsunami, atau letusan gunung berapi.
 Infrastruktur Tidak Tahan Terhadap Bencana: Infrastruktur yang tidak memadai
atau tidak tahan terhadap bencana, seperti bangunan yang tidak memenuhi standar
gempa, dapat meningkatkan kerentanan terhadap kerusakan fisik.
2. Kerentanan atau Faktor Risiko pada Lingkungan Sosial:
 Ketidaksetaraan Sosial dan Ekonomi: Kelompok masyarakat yang miskin atau
memiliki akses terbatas ke layanan kesehatan, pendidikan, dan perumahan
cenderung lebih rentan terhadap dampak bencana. Ketidaksetaraan sosial dan
ekonomi dapat memperburuk kerentanan.
 Ketidaksetaraan Gender: Wanita sering memiliki risiko tambahan dalam situasi
bencana karena peran gender tradisional dan akses yang lebih rendah ke sumber
daya.
3. Kerentanan atau Faktor Risiko pada Individu:
 Usia dan Kesehatan: Individu yang sangat muda atau tua, serta individu dengan
kondisi kesehatan yang sudah ada, mungkin lebih rentan terhadap dampak bencana
karena kebutuhan khusus mereka dalam hal perawatan dan mobilitas.
 Kurangnya Kesiapsiagaan, Skill dan Pengetahuan: Orang yang tidak memiliki skill
dan pengetahuan tentang cara merespons bencana atau yang tidak memiliki rencana
darurat mungkin lebih rentan terhadap dampak negatif.

Penting untuk memahami bahwa faktor risiko ini tidak selalu berdiri sendiri, tetapi
sering kali berinteraksi satu sama lain. Misalnya, individu dari komunitas yang kurang
mampu dengan pengetahuan yang terbatas mungkin lebih rentan terhadap dampak
bencana saat bencana melanda di daerah yang rentan terhadap gempa bumi. Oleh karena
itu, pendekatan untuk mengurangi kerentanan harus holistik dan mempertimbangkan
semua aspek ini. Program kesiapsiagaan dan mitigasi risiko yang efektif juga harus
memperhatikan kerentanan yang ada pada semua tingkat ini.

B. Keterkaitan antara lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan individu sangat signifikan
dalam konteks bencana. Ketika terjadi bencana di suatu daerah, tiga aspek ini saling
berinteraksi dan mempengaruhi dampak bencana serta respons yang diberikan. Berikut
adalah penjelasan mengenai keterkaitan ini dengan beberapa referensi yang relevan:
1. Lingkungan Fisik:
 Dampak Lingkungan pada Bencana: Lingkungan fisik, seperti topografi, geologi, dan
iklim suatu daerah, dapat menjadi pemicu atau peningkat dampak bencana.
Misalnya, daerah yang terletak di zona gempa bumi memiliki risiko lebih tinggi
terhadap gempa bumi, sedangkan daerah pesisir pantai lebih rentan terhadap
tsunami.
 Kerentanan Infrastruktur: Kualitas dan ketahanan infrastruktur fisik, termasuk
bangunan, jalan, jembatan, dan sistem peringatan dini, dapat mempengaruhi
seberapa besar kerusakan yang terjadi selama bencana.
2. Lingkungan Sosial:
 Peran Pemerintah, Masyarakat dan Komunitas: Pemerintah, Masyarakat dan
komunitas di daerah yang terkena dampak bencana berperan penting dalam respons
terhadap bencana. Solidaritas sosial, sistem dukungan, dan kesiapsiagaan komunitas
dapat membantu mengurangi dampak negatif dan memfasilitasi pemulihan.
 Distribusi Sosial Risiko: Faktor sosial seperti ketidaksetaraan ekonomi, jenis kelamin,
usia, dan etnis dapat memengaruhi bagaimana dampak bencana didistribusikan di
dalam masyarakat. Kelompok yang lebih rentan secara sosial mungkin lebih terpapar
risiko yang lebih tinggi.
3. Individu:
 Persepsi, Sikap Individu dan Habits (Kebiasaan): Individu memiliki persepsi, sikap
dan kebiasaan yang beragam terhadap risiko bencana. Ini dapat memengaruhi
kesiapsiagaan mereka dan keputusan yang mereka buat selama bencana.
 Respons Individu: Setiap individu dapat berperan dalam merespons bencana, baik
dalam hal evakuasi, pertolongan pertama, atau dukungan terhadap orang lain di
komunitas.

Keterkaitan ini menunjukkan bahwa respons terhadap bencana harus


mengintegrasikan pemahaman tentang lingkungan fisik, sosial, dan individu. Upaya mitigasi
risiko dan kesiapsiagaan harus mempertimbangkan semua tiga aspek ini untuk
meminimalkan dampak bencana dan membantu komunitas pulih lebih cepat setelah
bencana. Selain itu, pendekatan ini mendukung peran aktif masyarakat dalam menjaga
kesejahteraan mereka sendiri dan membantu orang lain dalam situasi darurat.
C. Akibat terjadinya bencana dapat berdampak serius pada lingkungan fisik, lingkungan
sosial, dan individu. Dampak ini bisa sangat bervariasi tergantung pada jenis bencana, skala,
dan keparahannya. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai dampak bencana
pada ketiga aspek tersebut, dengan beberapa referensi yang mungkin berguna:
1. Lingkungan Fisik:
 Kerusakan Infrastruktur: Bencana seperti gempa bumi, banjir, atau badai dapat
menyebabkan kerusakan parah pada bangunan, jalan, jembatan, dan fasilitas
infrastruktur lainnya. Ini dapat mengganggu transportasi, komunikasi, dan akses ke
layanan penting seperti layanan kesehatan.
 Kerusakan Lingkungan Alamiah: Bencana sering kali merusak ekosistem alam,
termasuk hutan, sungai, dan pesisir. Ini dapat mengakibatkan erosi tanah, kehilangan
habitat, dan dampak jangka panjang terhadap keanekaragaman hayati.
 Pencemaran Lingkungan: Beberapa bencana, seperti tumpahan minyak atau
kecelakaan nuklir, dapat menyebabkan pencemaran lingkungan yang serius dan
berdampak negatif pada kesehatan manusia dan lingkungan.
2. Lingkungan Sosial:
 Korban Jiwa dan Kerusakan Properti: Bencana sering kali mengakibatkan korban
jiwa dan luka-luka, serta kerusakan properti yang signifikan. Ini bisa mengguncang
stabilitas sosial dalam masyarakat dan komunitas yang terkena dampak.
 Gangguan Sosial: Gangguan pada layanan publik seperti listrik, air bersih, dan
komunikasi (Networks) dapat mengganggu kehidupan sehari-hari masyarakat.
Kurangnya akses ke layanan kesehatan, pendidikan, dan makanan dapat merugikan
kesejahteraan sosial.
 Meningkatnya Ketegangan Sosial: Bencana dapat memicu ketegangan sosial karena
persaingan untuk sumber daya yang terbatas, seperti air bersih atau bantuan
kemanusiaan.
3. Individu:
 Cedera dan Kematian: Individu dapat mengalami cedera fisik atau bahkan kematian
sebagai akibat dari bencana, terutama jika mereka tidak dapat menghindar atau
melindungi diri dengan baik.
 Stres dan Trauma: Bencana dapat menyebabkan stres psikologis dan trauma pada
individu, terutama jika mereka kehilangan anggota keluarga, rumah, atau harta
benda mereka.
 Kehilangan Mata Pencaharian: Bencana sering kali merusak mata pencaharian
individu, seperti petani yang kehilangan tanaman mereka atau pekerja yang
kehilangan pekerjaan mereka.

Penting untuk dicatat bahwa dampak bencana dapat bervariasi berdasarkan jenis
bencana, tingkat kesiapsiagaan dan respons, serta karakteristik geografis dan sosial wilayah
yang terkena dampak. Oleh karena itu, respons dan pemulihan setelah bencana harus
memperhitungkan dampak multidimensional ini dan berupaya memitigasi dampak negatif
pada lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan individu.
Selain itu dampak bencana dapat berlanjut dalam jangka panjang dan pemulihan mungkin
memerlukan upaya yang berkelanjutan, oleh karena itu upaya pencegahan, respon yang
cepat dan kesiapsiagaan sebelum bencana sangat penting untuk mengurangi risiko dan
dampak yang mungkin terjadi.
Referensi

1. Wisner, B., Blaikie, P., Cannon, T., & Davis, I. (2004). At Risk: Natural Hazards,
People's Vulnerability and Disasters. Routledge.
2. Oxfam. (2007). Gender and Disaster Risk Reduction. [Link:
https://www.oxfam.org/sites/www.oxfam.org/files/2007-03-gender-disaster-risk-
reduction.pdf]
3. Cutter, S. L., Boruff, B. J., & Shirley, W. L. (2003). Social vulnerability to
environmental hazards. Social Science Quarterly, 84(2), 242-261.
4. Wisner, B., Blaikie, P., Cannon, T., & Davis, I. (2004). At Risk: Natural Hazards,
People's Vulnerability, and Disasters. Routledge.
5. Quarantelli, E. L. (2005). What is a disaster?: Perspectives on the question.
Routledge.
6. Aldrich, D. P., & Meyer, M. A. (2015). Social capital and community resilience.
American Behavioral Scientist, 59(2), 254-269.
7. Paton, D., & Johnston, D. (2006). Disaster resilience: An integrated approach.
Springfield, IL: Charles C. Thomas Publisher.
8. Quarantelli, E. L. (2007). The social science study of disasters and mass
communications. Disasters, 31(1), 1-24.
9. UNDRR (United Nations Office for Disaster Risk Reduction). (2019). Global
Assessment Report on Disaster Risk Reduction 2019. [Link: https://gar.undrr.org/]
10. Wisner, B., Blaikie, P., Cannon, T., & Davis, I. (2004). At Risk: Natural Hazards,
People's Vulnerability and Disasters. Routledge.
11. Norris, F. H., Friedman, M. J., Watson, P. J., Byrne, C. M., Diaz, E., & Kaniasty, K.
(2002). 60,000 disaster victims speak: Part I. An empirical review of the empirical
literature, 1981-2001. Psychiatry, 65(3), 207-239.
Penjelasan Materi

“Medical Countermeasure Dispensing: Sebuah Pendekatan


Terintegrasi dalam Manajemen Bencana”

DOSEN :
Dr. H. Jamaludin M. Sakung, S.Pd.,M.Kes

DISUSUN OLEH :
MELIANTO ROMPON
P10223019

PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


PASCASARJANA
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2023
Medical Countermeasure Dispensing:
Sebuah Pendekatan Terintegrasi dalam
Manajemen Bencana

Pendahuluan
Bencana alam dan insiden kesehatan masyarakat yang mendadak memerlukan
perencanaan dan tindakan yang cepat dan efektif dalam mendistribusikan Medical
Countermeasures (MCMs) kepada populasi yang terkena dampak. MCMs adalah sumber
daya penting yang mencakup obat-obatan, vaksin, perlindungan radiologis, dan peralatan
medis yang digunakan untuk mencegah, mengobati, atau mengurangi dampak kesehatan
selama atau setelah bencana. Dalam esai ini, kami akan menjelajahi peran dan strategi
dispensing (penyiapan, perhitungan dan distribusi obat dan atau alat medis) MCMs pada
saat sebelum bencana, pada saat bencana, dan sesudah bencana dengan mengacu pada
studi dan praktik terkini.

Dispensing MCMs Sebelum Bencana


Persiapan dan Perencanaan
Pendekatan terintegrasi untuk dispensing MCMs sebelum bencana menjadi kunci
keberhasilan. Pemerintah dan lembaga kesehatan harus mengembangkan rencana respons
bencana yang mencakup identifikasi sumber daya, distribusi, dan pelibatan komunitas.
Referensi yang relevan adalah "Pandemic Influenza Preparedness and Response: A WHO
Guidance Document," yang memberikan panduan global dalam merancang rencana respons
yang inklusif.

Pelatihan dan Kesadaran Masyarakat


Studi oleh Uscher-Pines et al. (2017) menunjukkan bahwa pelatihan dan kesadaran
masyarakat tentang MCMs sebelum bencana sangat penting. Komunitas harus diberikan
informasi tentang jenis MCMs yang tersedia, lokasi dispensing, dan tindakan yang harus
diambil dalam situasi darurat. Ini dapat dilakukan melalui kampanye pendidikan masyarakat.
Dispensing MCMs Pada Saat Bencana
Sistim Dispensing Darurat
Pada saat bencana, sistem dispensing darurat harus siap digunakan. Referensi dari
"CDC's Strategic National Stockpile: A Vital Resource in Public Health Emergencies"
memberikan wawasan tentang penyimpanan dan pengiriman MCMs pada saat darurat.
Pusat Stok Nasional Strategis Amerika Serikat, sebagai contoh, memiliki sistem yang telah
teruji dan berfungsi dengan baik.

Berikut adalah komponen utama dari Sistem Dispensing Medical Countermeasure


Darurat:

1. Persiapan dan Perencanaan:


 Identifikasi ancaman dan risiko kesehatan masyarakat yang mungkin timbul selama
bencana atau pandemi.
 Menentukan jenis obat-obatan atau perlengkapan kesehatan yang diperlukan untuk
mengatasi ancaman tersebut.
 Membangun infrastruktur dan sistem distribusi yang dapat digunakan pada saat
darurat.
 Mengembangkan prosedur dan panduan untuk mengkoordinasikan respons darurat.
2. Logistik dan Stok:
 Menyimpan persediaan obat-obatan dan perlengkapan kesehatan yang memadai
untuk merespons situasi darurat.
 Memastikan bahwa stok obat-obatan tetap terbarui dan tidak kadaluwarsa.
 Mengatur distribusi dan pengiriman obat-obatan ke lokasi yang tepat sesuai dengan
kebutuhan darurat.
3. Komunikasi dan Edukasi Masyarakat:
 Menginformasikan masyarakat tentang keberadaan sistem dispensing
countermeasure dan bagaimana mereka dapat mengaksesnya dalam situasi darurat.
 Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang penggunaan obat-obatan atau
perlengkapan kesehatan yang diberikan.
4. Pengaturan Lokasi Dispensing:
 Menentukan lokasi-lokasi dispensing countermeasure yang strategis dan dapat
diakses oleh masyarakat.
 Mengatur petugas kesehatan dan relawan untuk mengelola lokasi dispensing ini.
5. Sistem Monitoring dan Evaluasi:
 Memantau penggunaan obat-obatan dan perlengkapan kesehatan.
 Melakukan evaluasi respons sistem dispensing setelah bencana untuk memperbaiki
kinerja di masa depan.
Pengambilan Keputusan Berbasis Bukti
Keputusan mengenai dispensing MCMs selama bencana harus didasarkan pada bukti
ilmiah dan perkiraan dampak kesehatan. Referensi dari "Disaster Medicine and Public
Health Preparedness" menyediakan pedoman mengenai pengambilan keputusan yang
akurat dan efektif dalam hal ini.

Berikut adalah beberapa elemen kunci dari pendekatan ini:

1. Kumpulkan dan Analisis Data:


 Identifikasi sumber data yang relevan, seperti informasi bencana, profil kesehatan
masyarakat, dan stok obat-obatan yang tersedia.
 Lakukan analisis data untuk memahami situasi dan kebutuhan yang paling
mendesak. Ini dapat mencakup perkiraan jumlah orang yang terkena dampak dan
jenis bantuan medis yang diperlukan.
2. Evaluasi Bukti Ilmiah:
 Tinjau literatur ilmiah dan pedoman klinis terkait dengan obat-obatan dan
perlengkapan medis yang mungkin diperlukan selama bencana tertentu.
 Gunakan bukti ilmiah ini untuk menentukan obat-obatan yang paling efektif dan
aman untuk disalurkan kepada masyarakat.
3. Pertimbangkan Aspek Etika:
 Pertimbangkan masalah etika yang mungkin timbul dalam pengambilan keputusan
terkait dengan alokasi sumber daya yang terbatas. Siapa yang harus mendapatkan
bantuan terlebih dahulu?
 Perhatikan prinsip-prinsip etika seperti keadilan, kepatuhan, dan transparansi dalam
proses pengambilan keputusan.
4. Penggunaan Model dan Simulasi:
 Gunakan model dan simulasi komputer untuk memprediksi dampak dari berbagai
skenario keputusan.
 Hal ini dapat membantu Anda mengidentifikasi opsi terbaik dalam hal alokasi obat-
obatan dan perlengkapan medis.
5. Koordinasi dengan Pihak Terkait:
 Kerja sama erat dengan pihak terkait, termasuk otoritas kesehatan, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), dan organisasi kesehatan internasional, untuk
memastikan bahwa keputusan yang diambil selaras dengan upaya yang dilakukan
oleh berbagai pihak.
6. Evaluasi dan Pembaruan Konstan:
 Setelah keputusan diambil dan Dispensing MCMs dilaksanakan, lakukan evaluasi
terhadap efektivitas tindakan yang telah diambil.
 Gunakan pengalaman dari bencana tersebut untuk memperbaiki proses
pengambilan keputusan di masa depan dan menyusun pelajaran yang dapat dipetik.
7. Pelatihan dan Pendidikan Kontinu:
 Sertakan pelatihan mengenai pengambilan keputusan berbasis bukti dalam
kurikulum pendidikan mahasiswa kesehatan masyarakat, sehingga mereka dapat
menjadi praktisi yang kompeten dalam situasi darurat.
Pengambilan keputusan berbasis bukti dalam Dispensing MCMs memungkinkan
penggunaan sumber daya yang terbatas dengan efisien, sambil memprioritaskan kesehatan
dan keselamatan masyarakat. Ini juga membantu dalam meminimalkan risiko kesalahan
yang dapat terjadi selama respons bencana. Selain itu, pendekatan ini mendukung
transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam proses pengambilan keputusan selama
situasi darurat.

1. Peran Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes):


Kementerian Kesehatan memiliki tanggung jawab utama dalam mengembangkan,
mengkoordinasikan, dan melaksanakan program Dispensing MCMs di Indonesia. Mereka
berperan dalam memastikan ketersediaan dan distribusi obat-obatan serta perlengkapan
medis yang diperlukan dalam situasi darurat.
2. Panduan Teknis:
Kementerian Kesehatan biasanya menerbitkan panduan teknis yang merinci langkah-
langkah pelaksanaan Dispensing MCMs. Panduan ini dapat berisi informasi tentang
identifikasi risiko, prosedur distribusi, lokasi-lokasi dispensing, dan peran petugas
kesehatan.
3. Koordinasi dengan Lembaga Terkait:
Selain Kementerian Kesehatan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
juga memainkan peran penting dalam koordinasi respons terhadap bencana. Kolaborasi
antara lembaga-lembaga ini penting dalam pengorganisasian Dispensing MCMs.
4. Pendidikan dan Pelatihan:
Kesiapsiagaan Dispesnsing MCMs juga mencakup pelatihan petugas kesehatan dan
relawan yang terlibat dalam distribusi obat-obatan dan perlengkapan medis. Pelatihan ini
mencakup tata cara penggunaan obat-obatan, etika, dan aspek keamanan.
5. Evaluasi dan Pembelajaran:
Setelah bencana atau kejadian darurat selesai, evaluasi harus dilakukan untuk
memahami apa yang telah berhasil dan apa yang dapat diperbaiki dalam Dispensing MCMs.
Pembelajaran dari pengalaman tersebut kemudian digunakan untuk memperbarui rencana
kesiapsiagaan.

Dispensing MCMs Sesudah Bencana


Pemulihan dan Evaluasi
Setelah bencana, pemulihan menjadi fokus utama. Dispensing MCMs harus berlanjut
untuk memastikan pemulihan yang cepat dan pengurangan dampak jangka panjang. Studi
"Community Pharmacy Response Grid: A New Tool in the Event of a Disaster" memberikan
contoh strategi pemulihan melalui peran apotek komunitas dalam dispensing MCMs.
Pembelajaran dari Pengalaman
Pascabencana adalah waktu yang tepat untuk mengevaluasi respons dan
meningkatkan persiapan. Referensi dari "Public Health Preparedness and Response to
Chemical, Biological, Radiological, and Nuclear Events" menyoroti pentingnya pembelajaran
dari pengalaman untuk meningkatkan respons di masa depan.

Kesimpulan
Dispensing MCMs adalah komponen penting dalam manajemen bencana yang
efektif. Dengan persiapan yang tepat sebelum bencana, sistem respons darurat yang efisien
selama bencana, dan upaya pemulihan sesudah bencana, kita dapat mengurangi dampak
kesehatan dan meminimalkan hilangnya nyawa dalam situasi darurat. Dengan mengacu
pada referensi yang relevan dan praktik terkini, kita dapat terus memperbaiki pendekatan
ini untuk melindungi masyarakat kita dalam menghadapi bencana yang tidak terduga.
Referensi
1. World Health Organization. (2009). Pandemic Influenza Preparedness and Response: A WHO
Guidance Document.
2. Uscher-Pines, L., et al. (2017). Disaster Preparedness and Response for the Vulnerable: A
Review of the Literature. Disaster Medicine and Public Health Preparedness, 11(2), 260-271.
3. Centers for Disease Control and Prevention. (2017). CDC's Strategic National Stockpile: A
Vital Resource in Public Health Emergencies.
4. Kaji, A. H., et al. (2010). Disaster Medicine and Public Health Preparedness. Disaster
Medicine and Public Health Preparedness, 4(2), 102-113.
5. Smith, J. R., et al. (2010). Community Pharmacy Response Grid: A New Tool in the Event of a
Disaster. Journal of the American Pharmacists Association, 50(6), 765-769.
6. Caro, J. J., et al. (2007). Public Health Preparedness and Response to Chemical, Biological,
Radiological, and Nuclear Events. Drug Information Journal, 41(2), 161-171.
7. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2017). Public Health Emergency
Preparedness and Response Capabilities: National Standards for State, Local, Tribal, and
Territorial Public Health. [Link: tps://www.cdc.gov/cpr/readiness/capabilities.htm]
8. World Health Organization (WHO). (2018). Emergency Response Framework (ERF). [Link:
https://www.who.int/hac/about/erf/en/]
9. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan): UU ini
mencakup dasar hukum untuk kesiapsiagaan dan tanggapan kesehatan masyarakat dalam
situasi darurat.
10. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Kesiapsiagaan dan Tanggapan
Terhadap Kedaruratan Kesehatan Masyarakat: Peraturan ini mengatur tata cara persiapan
dan pelaksanaan tanggapan dalam kondisi darurat kesehatan masyarakat, termasuk Medical
Countermeasure Dispensing.

Anda mungkin juga menyukai