Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kepulauan Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap
bencana. Hal ini disebabkan letak geografis Indonesia yang berada di antara
dua benua dan dua samudra, dimana Indonesia terletak pada titik pertemuan
tiga lempeng utama dunia. Indonesia juga terletak pada dataran tropis
sehingga curah hujannya cukup tinggi sehingga sering terjadi bencana alam
seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan
sebagainya (United Nations Environment Programs, 2003). Selain bencana
karena faktor alam, di Indonesia juga sering terjadi bencana karena faktor
manusia seperti kebakaran hutan, polusi air di perkotaan dan polusi air dari
limbah industri. Faktor pencetusnya diantaranya adalah jumlah penduduk
yang banyak dengan penyebaran tidak merata sehingga terjadi ketimpangan
sosial dan masalah pemanfaatan kekayaan alam yang tidak harmonis (Badan
Nasional Penanggulangan Bencana, 2008), sehingga Indonesia sering
mendapat julukan sebagai Hypermarketnya bencana.
Definisi Bencana (Disaster) menurut Departemen Kesehatan Republik
Indonesia adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan
kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya
kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan
bantuan luar biasa dari pihak luar (Depkes RI 1993).
Kondisi morfologi Indonesia yaitu relief bentang alam yang sangat
bervariasi dan banyaknya sungai yang mengalir diantaranya, menyebabkan
selalu terjadi banjir di Indonesia pada setiap musim penghujan. Banjir
umumnya terjadi di wilayah Indonesia bagian Barat yang menerima curah
hujan lebih banyak dibandingkan dengan wilayah Indonesia bagian Timur.
Faktor kondisi alam tersebut diperparah oleh meningkatnya jumlah
penduduk yang menjadi faktor pemicu terjadinya Banjir secara tidak
langsung. Tingkah laku manusia yang tidak menjaga kelestarian hutan
dengan melakukan penebangan hutan yang tidak terkontrol juga dapat

1
menyebabkan peningkatan aliran air permukaan yang tinggi dan tidak
terkendali sehingga terjadi kerusakan lingkungan di daerah satuan wilayah
sungai (Sumirat 2000).
Dewasa ini masalah kesehatan darurat cenderung semakin meningkat
dan semakin beragam. Kesehtan darurat merujuk kepada masalah kesehatan
masyarakat yang bersifat mendesak dan mengenai masyarakat luas. Masalah
kesehatan darurat berbeda dengan masalah kesehatan masyarkat yang biasa
dan sudah dikenal sebelumnya (Adi 2013).
Beberapa bencana yang paling sering terjadi di Indonesia yang
berpotensi untuk merugikan jika diurutkan berdasarkan cakupan populasi
tertinggi ialah gempa bumi (11.056.806 penduduk), tsunami (5.402.239
penduduk), kekeringan/kemarau (2.029.350 penduduk), longsor (197.372
penduduk), serta badai tropis (1.636 penduduk). Selain itu, jumlah kejadian
bencana yang terjadi di Indonesia tergolong yang terbesar di dunia.
Indonesia berada pada ranking pertama dari total 265 negara yang beresiko
untuk bencana tsunami, rangking pertama untuk bencana longsor dari total
162 negara paling beresiko, ranking ke tiga dari total 153 negara paling
beresiko untuk bencana gempa bumi, serta ranking ke enam dari total 162
negara paling beresiko untuk bencana banjir (Adi 2013).
Indonesia merupakan negara dengan jumlah dan variasi bencana
terbanyak di dunia. Dari mulai gempa bumi, tsunami, gunung berapi, puting
beliung, banjir, tanah longsor dan banjir bandang. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam laporannya menyebutkan bahwa
644 bencana alam terjadi di negeri ini pada tahun 2010, dan 81,5 persen di
antaranya adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor dan
banjir bandang (Santoso 2012).
Efek bencana terhadap faktor psikologis misalnya, pengalaman
menyedihkan saat terjadi bencana seperti kehilangan orang yang dicintai,
kehilangan harta benda dan menyaksikan langsung kejadian bencana akan
memberikan perasaan traumatis tersendiri terhadap korban bencana, bahkan
pada beberapa kasus pengalaman tersebut sangat ekstrim, sehingga mereka

2
tidak dapat menerima kenyataan yang dialami atau biasa disebut Post
Traumatic Stress Disorder atau PTSD (American Psychiatric Association,
1994). Disamping menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi, dampak
bencana juga berkembang menjadi masalah sosial seperti pengangguran,
peningkatan angka kemiskinan, kerentanan (vulnerability) dan menurunnya
kualitas sumber daya manusia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pengertian bencana?
2. Apa saja jenis-jenis bencana?
3. Apa saja lembaga penanggulangan bencana?
4. Bagaimana penanggulangan pasca bencana?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian bencana.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis bencana.
3. Untuk mengetahui lembaga penanggulangan bencana.
4. Untuk mengetahui penanggulangan bencana.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bencana


Bencana merupakan keadaan yang membawa korban banyak dengan
keadaan yang serius, terjadi dalam waktu yang rekatif singkat dan
memerlukan usaha-usaha intervensi khusus. Bencana alam adalah bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan
oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan dan tanah longsor.
Sedangkan definisi bencana (disaster) menurut WHO adalah setiap
kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya
nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan
kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat
atau wilayah yang terkena.
Bencana adalah situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Tergantung pada cakupannya, bencana ini bisa merubah pola
kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat yang normal menjadi rusak,
menghilangkan harta benda dan jiwa manusia, merusak struktur sosial
masyarakat, serta menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar (BAKORNAS
PBP).
2.2 Jenis-Jenis Bencana
Dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, dikenal pengertian dan beberapa istilah terkait dengan bencana.
Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah
bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau
antar komunitas masyarakat dan teror.

4
Menurut Usep Solehudin (2005), jenis bencana mengelompokkan
bencana menjadi 2 jenis yaitu :
1. Bencana alam (natural disaster)
yaitu kejadian-kejadian alami seperti kejadian-kejadian alami seperti
banjir, genangan, gempa bumi, gunung meletus, badai, kekeringan,
wabah, serangga dan lainnya.
2. Bencana ulah manusia (man made disaster)
yaitu kejadian-kejadian karena perbuatan manusia seperti tabrakan
pesawat udara atau kendaraan, kebakaran, huru-hara, sabotase, ledakan,
gangguan listrik, ganguan komunikasi, gangguan transportasi dan
lainnya.
Sedangkan berdasarkan cakupan wilayah, bencana terdiri dari:
1. Bencana Lokal
Bencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah sekitarnya
yang berdekatan. Bencana terjadi pada sebuah gedung atau bangunan-
bangunan disekitarnya. Biasanya adalah karena akibat faktor manusia
seperti kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran bahan kimia dan
lainnya.
2. Bencana Regional
Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area
geografis yang cukup luas dan biasanya disebabkan oleh faktor alam,
seperti badai, banjir, letusan gunung, tornado dan lainnya.
2.3 Lembaga Penanggulangan Bencana
1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana
a. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai tugas:
- memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha
penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana,
penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi
secara adil dan setara;

5
- menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-
undangan;
- menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
- melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada
Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisinormal dan pada
setiap saat dalam kondisi daruratbencana;
- menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan atau
bantuan nasional dan internasional;
- mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yangditerima
dari anggaran pendapatan dan belanja negara;
- melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; dan
- menyusun pedoman pembentukan badan penanggulangan
bencana daerah.
b. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai fungsi
meliputi:
- perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana
dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat
serta efektif dan efisien; dan
- pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
2. Badan penanggulangan bencana daerah
a. Badan penanggulangan bencana daerah mempunyai fungsi:
- perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana
dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat,
efektif dan efisien; serta
- pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.

6
b. Badan penanggulangan bencana daerah mempunyai tugas:
- menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan
pemerintah daerah dan Badan Nasional Penanggulangan
Bencana terhadap usaha penanggulangan bencana yang
mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat,
rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dansetara;
- menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-
undangan;
- menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta
rawanbencana;
- menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan
bencana;
- melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada
wilayahnya;
- melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada
kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan
setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
- mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang;
- mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran yang
diterima dari anggaran pendapatan belanja daerah; dan
- melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2.4 Penanggulangan Pasca Bencana
Pasca bencana (fase post impact) merupakan saat dimulainya
perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat. Juga tahap dimana
masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi kualitas normal. Secara
umum pada fase post impact para korban akan mengalami tahap respons
fisiologi mulai dari penolakan (denial), marah (angry), tawar-menawar
(bargaing), depresi (depression) hingga penerimaan (acceptance).

7
2.4.1 Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada
wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau
berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan
masyarakat pada wilayah pasca bencana.
Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan perbaikan lingkungan
daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian
bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis,
pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan
sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban,
pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan
publik.
Dalam penentuan kebijakan rehabilitasi prinsip dasar yang
digunakan adalah sebagai berikut :
1. Menempatkan masyarakat tidak saja sebagai korban bencana,
namun juga sebagai pelaku aktif dalam kegiatan rehabilitasi.
2. Kegiatan rehabilitasi merupakan rangkaian kegiatan yang terkait
dan terintegrasi dengan kegiatan prabencana, tanggap darurat dan
pemulihan dini serta kegiatan rekonstruksi.
3. “Early recovery” dilakukan oleh “Rapid Assessment Team”
segera setelah terjadi bencana.
4. Program rehabilitasi dimulai segera setelah masa tanggap darurat
(sesuai dengan Perpres tentang Penetapan Status dan Tingkatan
Bencana) dan diakhiri setelah tujuan utama rehabilitasi tercapai.
Prinsip – prinsip yang diutamakan dalam Rehabilitasi :
1. Partisipatif, artinya dalam setiap tahapan proses (perencanaan,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban) selalu melibatkan
masyarakat sebagai pelaku sekaligus penerima manfaat.

8
2. Transparan dan Akuntabel, artinya dalam setiap langkah dan
kegiatan harus dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas.
3. Sederhana, artinya pelaksanaan seluruh proses kegiatan
diupayakan sederhana dan bisa dilakukan masyarakat dengan
tahap mengacu pada tujuan dan ketentuan dasar pelaksanaan
program rehabilitasi ini. Akuntabilitas, artinya seluruh proses
pelaksanaan dan pendanaan dilakukan dengan penuh tanggung
jawab.
Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam UU No. 24 tahun
2007 pasal 58 dilakukan melalui kegiatan:
1. Perbaikan lingkungan daerah bencana;
2. Perbaikan prasarana dan sarana umum;
3. Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
4. Pemulihan sosial psikologis;
5. Pelayanan kesehatan;
6. Rekonsiliasi dan resolusi konflik;
7. Pemulihan sosial ekonomi budaya;
8. Pemulihan keamanan dan ketertiban;
9. Pemulihan fungsi pemerintahan; dan
10. Pemulihan fungsi pelayanan publik.
2.4.2 Rekonstruksi
Rekontruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan
sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya
hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peranserta masyarakat dalam
segala aspek.
Rencana Rekonstruksi adalah dokumen yang akan digunakan
sebagai acuan bagi penyelenggaraan program rekonstruksi pasca-
bencana, yang memuat informasi gambaran umum daerah pasca

9
bencana meliputi antara lain informasi kependudukan, sosial, budaya,
ekonomi, sarana dan prasarana sebelum terjadi bencana, gambaran
kejadian dan dampak bencana beserta semua informasi tentang
kerusakan yang diakibatkannya, informasi mengenai sumber daya,
kebijakan dan strategi rekonstruksi, program dan kegiatan, jadwal
implementasi, rencana anggaran, mekanisme/prosedur kelembagaan
pelaksanaan.
Pelaksana Rekonstruksi adalah semua unit kerja yang terlibat
dalam kegiatan rekonstruksi, di bawah koordinasi pengelola dan
penanggungjawab kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca
bencana pada lembaga yang berwenang menyelenggarakan
penanggulangan bencana di tingkat nasional dan daerah.
Lingkup Pelaksanaan Rekontruksi :
1. Program Rekonstruksi Fisik
Rekonstruksi fisik adalah tindakan untuk memulihkan
kondisi fisik melalui pembangunan kembali secara permanen
prasarana dan sarana permukiman, pemerintahan dan pelayanan
masyarakat (kesehatan, pendidikan dan lain-lain), prasarana dan
sarana ekonomi (jaringan perhubungan, air bersih, sanitasi dan
drainase, irigasi, listrik dan telekomunikasi dan lain-lain), prasarana
dan sarana sosial (ibadah, budaya dan lain-lain.) yang rusak akibat
bencana, agar kembali ke kondisi semula atau bahkan lebih baik
dari kondisi sebelum bencana.
Cakupan kegiatan rekonstruksi fisik mencakup, tapi tidak
terbatas pada, kegiatan membangun kembali sarana dan prasarana
fisik dengan lebih baik dari hal-hal berikut:
a. Prasarana dan sarana
b. Sarana sosial masyarakat;
c. Penerapan rancang bangun dan penggunaan peralatan yang
lebih baik dan tahan bencana.

10
2. Program Rekonstruksi Non Fisik
Rekonstruksi non fisik adalah tindakan untuk memperbaiki
atau memulihkan kegiatan pelayanan publik dan kegiatan sosial,
ekonomi serta kehidupan masyarakat, antara lain sektor kesehatan,
pendidikan, perekonomian, pelayanan kantor pemerintahan,
peribadatan dan kondisi mental/sosial masyarakat yang terganggu
oleh bencana, kembali ke kondisi pelayanan dan kegiatan semula
atau bahkan lebih baik dari kondisi sebelumnya. Cakupan kegiatan
rekonstruksi non-fisik di antaranya adalah:
a. Kegiatan pemulihan layanan yang berhubungan dengan
kehidupan sosial dan budaya masyarakat.
b. Partisipasi dan peran serta lembaga/organisasi kemasyarakatan,
dunia usaha, dan masyarakat.
c. Kegiatan pemulihan kegiatan perekonomian masyarakat.
d. Fungsi pelayanan publik dan pelayanan utama dalam
masyarakat.
e. Kesehatan mental masyarakat.
Rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam UU No. 24 tahun
2007 pasal 59 dilakukan melalui kegiatan pembangunan yang lebih
baik, meliputi:
1. Pembangunan kembali prasarana dan sarana;
2. Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
3. Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat;
4. Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan
yang lebih baik dan tahan bencana;
5. Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat;
6. Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
7. Peningkatan fungsi pelayanan publik; dan
8. Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpualan daripembahasan makalah di atas adalah:
1. Bencana adalah situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Tergantung pada cakupannya, bencana ini bisa merubah pola
kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat yang normal menjadi rusak,
menghilangkan harta benda dan jiwa manusia, merusak struktur sosial
masyarakat, serta menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar.
2. Menurut Usep Solehudin (2005) jenis bencana mengelompokkan bencana
menjadi 2 jenis yaitu bencana alam (natural disaster) dan bencana ulah
manusia (man made disaster). Sedangkan berdasarkan cakupan wilayah,
bencana terdiri dari bencana lokal dan bencana regional.
3. Lembaga penanggulangan bencana yaitu badan nasional penanggulangan
bencana dan badan penanggulangan bencana daerah.
4. Penanggulangan pasca bencana yaitu rehabilitasi dan rekrontuksi oleh
Lembaga Penanggulangan Bencana. Rehabilitasi adalah perbaikan dan
pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat
yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana. Sedangkan
Rekontruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan
maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan
ketertiban, dan bangkitnya peranserta masyarakat dalam segala aspek.

12
3.2 Saran
Adapun saran yang ingin disampaikan oleh penulis yaitu untuk
mempelajari lebih lanjut atau membaca buku referensi tentang
penanggulangan pasca bencana khususnya mengenai rehabilitasi rekontruksi
karena pada pembahasan yang terdapat pada makalah ini kurang lengkap atau
hanya sebagian yang dapat dibahas dalam makalah ini.

13
DAFTAR PUSTAKA

Adi, S., 2013. Karakteristik Banjir Bandang di Indonesia. , 15(1), pp.42–51.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2014. Info Bencana. , pp.1–4.

Bustan,N.M. 2000. Epidemiologi nkesehatan Darurat. FKM UNHAS. Makassar

BNPB, Rencana strategis badan nasioanal penanggulangan bencana 2010-1014,


2010

Farthing DW, Ware M. When it comes to mapping developing countries, disaster


preparedness is better than disaster response. 2006. Available from:
http://www.researchgate.net/publication/235747321_When_it_comes_to_ma
pping_developing_countries_disaster_preparedness_is_better_than_disaster_
response. Accessed: July 15. 2015.

Herlina, Sri. 2010. Buku Ajar Dasar-Dasar Kesehatan Lingkungan. Fakultas


Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.
IRIN. Health sector focus for earthquake preparedness [webpage on the Internet].
ReliefWeb; 2011. Available from: http://reliefweb.int/report/nepal/health-
sector-focus-earthquake-preparedness. Accessed July 15, 2015.
Khanal NR, Gurung DR. ICIMOD Rapid Field Investigation: Jure Landslide Dam
Site Jure, Sindhupalchowk District, Nepal. ICIMOD. Available from:
http://www.icimod.org/resource/14483. Accessed November 24, 2014.
Kartadie, R., Asharudin,F., et al, Aplikasi Sistem Informasi Manajemen
Penanggulangan Pasca Bencana, prosiding Seminar Nasional Teknologi
Informasi dan Multimedia, ISSN 2302-3805, 2013
MCFARLANEA,. C. (1986) Long-term psychiatric morbidity after a natural
disaster. Medical Journal of Australia, 145, 561-563.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana.

Santoso, H., 2012. Aplikasi “SSOP BANTAL” berbasis DAS untuk


penanggulangan bajir dan tahan longsor. , 3, pp.43 – 54.

Soemirat, 2000. Epidemiologi Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada


Press
Undang – Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2007 tetang Penngulangan
bencana

14
Warraich, H., Zaidi, A.K.M. & Patel, K., 2011. Floods in Pakistan: A public
health crisis. Bulletin of the World Health Organization, 89(3), pp.236–
237.

WILSON,J. P. (1989) Trauma, Transformation and Healing: an Integrative


Approach to Theory, Research and Post-Traumatic Therapy. New York:
Brunner/Mazel

Yuliati, Sri. 2010. Tanggap Darurat Mitigasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami.
Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah.

15

Anda mungkin juga menyukai