Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN MATERI

PENANGGULANGAN BENCANA

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Penanggulangan Bencana

Desen Pengampu Taufiq Triwidodo, S.Pd, ST,


MT.

Disusun oleh :

Nama : Muhammad Adib


NIM : 191230000435

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda dan dampak psikologis.Definisi tersebut menyebutkan
bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia.
Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Badan
Nasional Penanggulangan Bencana tersebut juga mendefinisikan mengenai
bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Sejarah Lembaga Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terbentuk tidak terlepas dari
perkembangan penanggulangan bencana pada masa kemerdekaan hingga
bencana alam berupa gempa bumi dahsyat di Samudera Hindia pada abad
20.Sementara itu, perkembangan tersebut sangat dipengaruhi pada konteks
situasi, cakupan dan paradigma penanggulangan bencana.
Melihat kenyataan saat ini, berbagai bencana yang dilatarbelakangi kondisi
geografis, geologis, hidrologis, dan demografis mendorong Indonesia untuk
membangun visi untuk membangun ketangguhan bangsa dalam menghadapi
bencana. Wilayah Indonesia merupakan gugusan kepulauan terbesar di dunia.
Wilayah yang juga terletak di antara benua Asia dan Australia dan Lautan
Hindia dan Pasifik ini memiliki 17.508 pulau.
Meskipun tersimpan kekayaan alam dan keindahan pulau-pulau yang luar
biasa, bangsa Indonesia perlu menyadari bahwa wilayah nusantara ini
memiliki 129 gunung api aktif, atau dikenal dengan ring of fire, serta terletak
berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia. Lempeng Indo-
Australia, Eurasia, dan Pasifik. Ring of fire dan berada di pertemuan tiga
lempeng tektonik menempatkan negara kepulauan ini berpotensi terhadap
ancaman bencana alam.
Di sisi lain, posisi Indonesia yang berada di wilayah tropis serta kondisi
hidrologis memicu terjadinya bencana alam lainnya, seperti angin puting
beliung,hujan ekstrim, banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Tidak hanya
bencana alam sebagai ancaman, tetapi juga bencana non alam sering melanda
tanah air seperti kebakaran hutan dan lahan, konflik sosial, maupun kegagalan
teknologi.
Menghadapi ancaman bencana tersebut, Pemerintah Indonesia berperan
penting dalam membangun sistem penanggulangan bencana di tanah air.
Pembentukan lembaga merupakan salah satu bagian dari sistem yang telah
berproses dari waktu ke waktu. Lembaga ini telah hadir sejak kemerdekaan
dideklarasikan pada tahun 1945 dan perkembangan lembaga penyelenggara
penanggulangan bencana dapat terbagi berdasarkan periode waktu sebagai
berikut.
Belakangan ini perubahan iklim global menjadi masalah yang serius dan
harus segera diatasi. Indonesia dengan negara kepulauannya sangat rentan
terhadap dampak perubahan iklim tersebut. Fenomena perubahan iklim
ditandai oleh meningkatnya permukaan air laut disertai dengan tingginya
gelombang, menimbulkan abrasi pantai dengan kerugian yang serius. Dalam
beberapa tahun terakhir ini, garis pantai di beberapa daerah di Indonesia
mengalami penyempitan yang cukup memprihatinkan akibat abrasi.
Abrasi pantai sebagian besar terjadi pada pantai pantai yang menghadap
langsung ke arah laut lepas.Pantai Utara Jawa Tengah pada umumnya
merupakan daerah rawan abrasi. Salah satu daerah rawam bencana dan
mengalami kemunduran pantai ialah daerah pesisir Kedung, Jepara. Menurut
klasifikasi tingkat kerawanan proses marin, daerah Kedung tergolong klas
sangat rawan. Kerawanan daerah pesisir Kedung ini lebih disebabkan adanya
proses erosi yang meluas ke arah daratan. (Alif Noor Anna, dkk, 2004).
Sepanjang pantai Kedung, abrasi yang telah terjadi selama 10 tahun
terakhir ini tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik dalam bentuk
perubahan garis pantai. Pengikisan oleh air laut tersebut juga menurunkan
daya dukung pantai dengan hilangnya 960 hektar tambak produktif yang
berada di sepanjang pantai
1.2. Maksud dan Tujuan

1. Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana


2. Menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
3. Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh.
4. Menghargai budaya lokal
1.3. Lingkup

Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana ini meliputi :


1. pengenalan dan pengkajian ancaman bencana;
2. pemahaman tentang kerentanan masyarakat;
3. analisis kemungkinan dampak bencana;
4. pilihan tindakan pengurangan risiko bencana;
5. penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan
dampak bencana; dan
5. alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia
BAB II
KONDISI KEBENCANAAN DI INDONESIA

2.1 Faktor Faktor Penyebab Bencana


Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan
baik oleh faktor alam dan/ faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. (Undang-undang Nomor 24
Tahun 2007 dalam Krishna S. Pribadi :2008).
Menurut Nurjanah: 2012 terdapat 3 faktor penyebab terjadinya bencana,
yakni :
1. Faktor alam (natural disaster) karena fenomena alam dan tanpa ada
campur tangan manusia
2. Faktor non-alam (non-natural disaster) yaitu bukan karena fenomena
alam dan juga bukan akibat perbuatan manusia
3. Faktor sosial/manusia (man-made disaster) yang murni akibat perbuatan
manusia, misalnya konflik horizontal, konflik vertikal, dan terorisme.
Secara umum faktor penyebab terjadinya bencana adalah karena adanya
interaksi antara ancaman (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Ancaman
bencana menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 adalah suatu
kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana. Kerentanan
terhadap dampak atau risiko bencana adalah kondisi atau karakteristik
biologis, geografis, sosial, ekonomi, politikk, budaya dan teknologi suatu
masyarakat di suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi
kemampuan masyarakatv untuk mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan
menanggapi dampak bahaya tertentu.
Gempa bumi merupakan suatu gejala fisik atau kejadian alam yang
umumnya ditandai dengan bergetar/berguncangnya bumi (Krishna S.
Pribadi :2008). Istilah gempa bumi terdapat beberapa macam apabila dilihat
dari penyebabnya, antara lain gempa bumi tektonik, gempa vulkanik, gempa
runtuhan, gempa imbasan dan gempa buatan. Gempa bumi tektonik
disebabkan karena adanya gerakan pertemuan lempeng tektonik indo-
australia serta penunjaman lempeng tektonik. Gempa vulkanik disebabkan
oleh desakan magma ke permukaan. Gempa runtuhan banyak terjadi di
pengunungan yang runtuh, gempa imbasan biasanya terjadi di sekitar dam
(penahan air) dikarenakan fluktuasi air dam (penahan air) dan gempa buatan
adalah gempa
yang dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari
bahan mineral.Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kerawanan
bencana yang paling tinggi, secara geografis Indonesia merupakan negara
kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik yaitu lempeng
eurasia, lempeng indo-australia, dan lempeng pasifik. Disadari atau tidak,
area pertemuan lempeng tektonik bagaikan “tungku raksasa” yang terus
bergejolak.
Gempa bumi adalah getaran yang disebabkan oleh gelombang elastis yang
merambat dipermukaan bumi akibat energi yang dilepaskan oleh sumber
gempa yaitu sesaran dari pertemuan lempeng-lempeng tektonik yang saling
bergeser.
Definisi bencana diatur oleh pemerintah dalam Undang-undang Nomor 24
Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana yang menyebutkan definisi
bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor
alam, non alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana
nonalam, dan bencana sosial.
Bencana yang disebabkan faktor alam adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara
lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin
topan, dan tanah longsor.
Sedangkan bencana karena faktor nonalam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain
berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
Adapun bencana yang disebabkan faktor sosial adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas
masyarakat, dan teror.
Faktor - faktor terjadinya bencana alam dapat disebabkan oleh manusia
atau dari alam itu sendiri. Bencana alam adalah peristiwa atau musibah yang
disebabkan oleh alam, seperti gempa bumi, banjir, gunung meletus,
kekeringan, angin topan, tanah longsor dan lainnya. Berikut ini faktor
penyebab bencana alam.
1. Adanya pergeseran atau pergerakan lempeng tektonik yang menyebabkan
gunung meletus
2. Adanya pertemuan antara lempeng samudera dan lempeng benua di kerak
bumi saling bergesekan dapat menyebabkan gempa bumi
3. Naiknya gelombang air laut dengan cepat menyebabkan terjadinya tsunami
4. Penebangan hutan secara liar, dapat menyebabkan tanah longsor dan
banjir, sampai kekeringan.
5. Tidak melakukan reboisasi
6. Tidak menjaga kebersihan lingkungan dan membuang sampah ke sungai
menyebabkan banjir.
7. Pemanasan global
Bencana adalah serangkaian peristiwa yang dapat merugikan manusia,
lingkungan dan mahluk lainnya. Bencana dapat terjadi karena faktor alam,
non alam dan faktor sosial. Berikut ini penjelasan dari faktor penyeban
bencana yaitu:

1. Bencana alam, yaitu peristiwa yang disebabkan oleh alam, contohnya


banjir, tanah longsor, gunung meletus, tsunami, gempa bumi, kekeringan,
kebakaran hutan, dan angin topan atau badai.
2. Bencana non alam, yaitu peristiwa yang disebabkan bukan oleh alam,
misalnya oleh teknologi yang gagal, seperti kebocoran nuklir, modernisasi
yang gagal, dan epidemi. Contohnya saat ini dunia sedang di landa
bencana epidemi virus corona.
3. Bencana sosial, yaitu peristiwa yang diakibatkan oleh tindakan dan
perbuatan manusia, contohnya teror dan bentrokan antar warga atau
kelompok.
2.2 Ancaman Bencana di Indonesia
Indonesia mengalami berbagai bencana alam. Mulai dari gempa di
Lombok, tsunami di Palu, banjir dan longsor di Sumatera, gunung meletus di
beberapa wilayah serta masih banyak yang lainnya. Munculnya macam-
macam bencana alam ini merupakan hal yang wajar karena, secara geografis
Indonesia dilalui oleh cincin api Pasifik dan sabuk Alpide. Indonesia berdiri
di atas pertemuan lempeng-lempeng tektonik.
Lempeng-lempeng itu ada diatas lapisan cair, panas, dan
plastis(astenosfer) yang dapat bergerak secara tidak beraturan. Pergerakan
tersebut juga dapat menyebabkan tabrakan antara dua lempeng dan salah satu
lempeng itu akan menusuk bagian bawah lempeng yang lain sehingga
menimbulkan gempa.
Daerah yang rawan gempa bumi tsunami serta rawan letusan gunung api
terjadi di sepanjang “Ring of Fire” mulai dari Sumatra, Jawa, Bali, Nusa
Tenggara, hingga Maluku.
Akibat pergerakan lempeng ini membuat wilayah Indonesia hampir setiap
tahun selalu terkena bencana gempa bumi. Adanya macam-macam bencana
alam seperti longsor, gunung meletus, banjir, tsunami menjadi penting untuk
mengetahui macam-macam bencana alam dan penjelasannya. Dengan
mengetahui macam-macam bencana alam kamu bisa mengantisipasi bencana
alam yang mungkin akan terjadi di Indonesia.
2.2.1 Gempa Bumi
Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan
bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif,
akitivitas gunung api atau runtuhan batuan. Gempa bumi aceh pada 26
Desember 2004 yang memakan banyak korban jiwa. Gempa berkekuatan
9,1 hingga 9,3 Skala Richter
dari dasar laut sebelah Barat Aceh, setelahnya diikuti dengan tsunami yang
memporak-pondakan Aceh dan sekitarnya.

Gambar 2.
1. 1 Gempa Bumi
bumi

2.2.2 Tsunami
Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak
lautan (“tsu” berarti lautan, “nami” berarti gelombang ombak). Tsunami
adalah serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena
adanya pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi.
Tsunami yang terjadi pada bulan September ini menjadi bencana alam
yang sangat mematikan yang menelan korban jiwa sebanyak 2.100 orang
meninggal, dan ribuan bangunan telah rusak bahkan hancur.
Pada tanggal 22 Desember 2018, terjadi peristiwa tsunami yang
disebabkan oleh letusan Anak Krakatau di Selat Sunda dan menghantam
daerah pesisir Banten dan Lampung, Indonesia.
2.2.3 Letusan gunung api
Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang
dikenal dengan istilah “erupsi”. Bahaya letusan gunung api dapat berupa
awan panas, lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas racun,
tsunami dan banjir lahar.
Letusan Merapi 2010 adalah rangkaian peristiwa gunung berapi yang
terjadi di Indonesia. Pada akhir September 2010 silam, Gunung Merapi di
Yogyakarta mulai melakukan aktivitas seismik dan menyebabkan letusan
gunung berapi pada tanggal 26 Oktober 2010. Akibat letusan tersebut
sedikitnya 353 orang tewas, termasuk Mbah Maridjan.

Gambar 2. 2 Gunung meletus

2.2.4 Tanah longsor


Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau
batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng
akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng.
Pada tanggal 31 Desember 2018 lalu terjadi longsor di Kampung
Cigarehong, Dusun Cimapag, yang berada di Sirnaresmi, Cisolok,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat
2.2.5 Banjir
Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah
atau daratan karena volume air yang meningkat.
Waduh, kalau banjir pasti udah pada tahu kan? DKI Jakarta merupakan
salah satu kota yang menjadi langganan banjir hampir setiap tahunnya.
2.2.6 Banjir bandang
Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit
air yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur
sungai.
Banjir bandang setinggi dua meter menerjang Desa Dungaliyo, Kabupaten
Gorontalo, Provinsi Gorontalo pada 9 Oktober 2018.
2.2.7 Kekeringan
Kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air
untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan.
Adapun yang dimaksud kekeringan di bidang pertanian adalah kekeringan
yang terjadi di lahan pertanian yang ada tanaman (padi, jagung, kedelai
dan lain-lain) yang sedang dibudidayakan.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
per 6 Agustus 2018, sejumlah kabupaten/kota di 8 provinsi mengalami
kekeringan di Indonesia Yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat, NTB,Jawa
Timur, DIY, Banten, NTT, Lampung.
2.2.8 Kebakaran hutan
Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan di mana hutan dan
lahan dilanda api, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan lahan
yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan.
Kebakaran hutan dan lahan seringkali menyebabkan bencana asap yang
dapat mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat sekitar.
Pada Januari 2018, ada sekitar 5.776,46 hektare hutan dan lahan yang
terbakar di seluruh Riau.
2.2.9 Angin puting beliung
Angin puting beliung adalah angin kencang yang datang secara tiba-
tiba, mempunyai pusat, bergerak melingkar menyerupai spiral dengan
kecepatan 40-50 km/jam hingga menyentuh permukaan bumi dan akan
hilang dalam waktu singkat (3-5 menit).
Pada 30 Desember 2018 sebanyak 165 rumah rusak akibat angin
puting beliung yang menerjang Desa Panguragan Kulon, Kabupaten
Cirebon, Jawa Barat.
2.2.10 Gelombang pasang atau badai
Gelombang pasang adalah gelombang tinggi yang ditimbulkan karena
efek terjadinya siklon tropis di sekitar wilayah Indonesia dan berpotensi
kuat menimbulkan bencana alam. Indonesia bukan daerah lintasan siklon
tropis tetapi keberadaan siklon tropis akan memberikan pengaruh kuat
terjadinya angin kencang, gelombang tinggi disertai hujan deras.
Badai tropis cempaka pernah terjadi pada tahun 2017. Wilayah yang
berpotensi terkena dampak badai tropis Cempaka adalah wilayah Banten,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur.
2.2.11 Abrasi
Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut
dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut juga erosi
pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipicu oleh terganggunya
keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Walaupun abrasi bisa
disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut sebagai
penyebab utama abrasi.
BAB III
MACAM/JENIS BENCANA DI INDONESIA

3.1 Tanah Longsor


Tanah longsor adalah salah satu jenis bencana alam yang kerap terjadi di
Indonesia selain gempa bumi, banjir, kekeringan, dan angin topan. Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendefinisikan tanah longsor
sebagai salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun
percampuran keduanya, yang menuruni atau keluar lereng akibat
terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng.
Sementara merujuk sumber lain, pengertian tanah longsor adalah
perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan,
tanah, ataupun campuran material-material tersebut, yang bergerak ke bawah
atau keluar lereng.

Gambar 3. 1 Tanah longsor di desa keling jepara


 Proses Terjadinya Tanah Longsor
Peristiwa tanah longsor dapat terjadi apabila air yang meresap ke dalam
tanah menyebabkan bobot tanah bertambah, kemudian menembus sampai ke
bidang gelincir, hingga menyebabkannya bergerak keluar lereng. Apabila
gaya pendorong pada lereng lebih besar dari gaya penahan maka terjadilah
longsor. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan
kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut
kemiringan lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan,. Bencana tanah
longsor sering muncul di musim hujan, setelah musim kering yang
menyebabkan permukaan tanah retak dan berpori. Saat tanah retak, maka air
hujan makin mudah meresap ke bagian dalam tanah, membuat kandungan air
dalam tanah menjadi jenuh. Air yang terakumulasi di dasar lereng memicu
gerakan lateral, sehingga mudah bergerak menuruni lereng. Namun, jika ada
banyak pohon maka tanah tidak mudah bergerak longsor. Maka itu,
penghijauan di daerah perbukitan, pegunungan dan sekitar lereng penting
dilakukan.
 Jenis-Jenis Tanah Longsor & Ciri-Ciri Area Rawan Longsor
Agar dapat lebih waspada terhadap jatuhnya korban baik jiwa maupun harta,
maka ada baiknya kita mengenali ciri-ciri daerah yang rentan mengalami
tanah longsor. Selain itu, untuk mengenali kerawanan bencana ini, jenis-jenis
tanah longsor juga perlu diketahui. Berikut ini ciri-ciri kawasan rawan
bencana tanah longsor:
 Umumnya tanah longsor terjadi di wilayah perbukitan dan lereng
gunung dengan kemiringan 20 derajat.
 Lapisan tanah di bagian atas lereng tebal Lahan gundul tidak ada
pepohonan, sehingga lereng terbuka
 Terdapat retakan tanah di atas lereng dan tebing
 Sistem saluran air yang buruk di daerah lereng
 Ada mata air atau rembesan di tebing, dan didahului oleh longsoran
kecil
 Adanya bangunan di bagian atas tebing yang menyebabkan beban
berlebihan
Jenis-jenis tanah longsor yang umum terjadi setidaknya 6, yakni:
 Longsoran Translasi: gerakan massa tanah dan batuan di tebing dengan
bidang gelincir rata atau bergelombang landai.
 Longsoran Rotasi: gerakan massa tanah dan batuan pada bidang gelincir
cekung Pergerakan Blok (longsoran translasi blok batu): perpindahan
batuan pada bidang gelincir rata atau lurus.
 Runtuhan batu: batuan atau material yang bergerak ke bawah dengan
jatuh bebas. Biasanya terjadi di lereng terjal, seperti yang ada di daerah
pantai.
 Rayapan tanah: jenis tanah longsor yang lamban bergerak dan lama.
Biasanya dapat diamati saat pohon atau rumah mulai miring atau retak
perlahan ke arah bawah. Aliran bahan rombakan: massa tanah bergerak
didorong oleh air, sehingga kecepatan longsor tergantung pada volume air,
tekanan air, dan seberapa miring lerengnya. Dapat diamati pada daerah
aliran sungai di sekitar gunung merapi, saat berlangsung longsoran lahar
dingin.

Adapun cara mengurangi risiko tanah longsor ialah sebagai berikut:


 Tidak membangun rumah atau vila di lereng gunung, sehingga beban
tanah di wilayah tersebut bertambah.
 Tidak membuat sawah atau kolam di atas lereng karena air mudah meresap
dan menimbulkan retakan di lereng.
 Tidak membuat rumah di daerah bawah tebing atau lereng, untuk
menghindari korban jiwa saat sewaktu-waktu terjadi longsor.
 Tidak menebang pohon secara membabi buta di sekitar wilayah lereng,
agar akar pepohonan dapat mengikat tanah dan mencegah longsor.
 Menanami daerah lereng gunung dan bukit yang gundul dengan
pepohonan, agar tidak terjadi erosi tanah apabila hujan datang.
 Membuat terasering atau sistem tanah bertingkat jika harus menanam padi
di lereng bukit. Terasering akan memperlambat aliran air dan tanah saat
hujan.
3.2 Kekeringan
Kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air, baik
untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi, dan lingkungan.

Gambar 3. 2 Kekeringan
 Klasifikasi Kekeringan
Kekeringan alamiah:
1. Kekeringan meteorologis, dikarenakan curah hujan yang kurang.
2. Kekeringan hidrologis, kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah.
3. Kekeringan pertanian, kekurangan kandungan air di dalam tanah sehingga
tidak
mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu
tertentu pada wilayah yang luas.
4. Kekeringan sosial ekonomi.
Kekeringan antropogenik, disebabkan karena ketidakpatuhan pada aturan.
1. Kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan.
2. Kerusakan kawasan tangkapan air, sumber air, akibat perbuatan manusia.
Dampak Kekeringan :
1. Banjir bandang, pepohonan mati, tanah menjadi gundul, yang pada musim
hujan akan menjadi mudah tererosi dan banjir.
2. Urbanisasi, akibat hilangnya bahan pangan karena tanaman pangan dan
ternak mati, petani kehilangan mata pencaharian.
3. Kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan menjadi rentan penyakit.
Gejala Terjadinya Kekeringan :
1. Menurunnya tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim.
Pengukuran
kekeringan Meteorologis merupakan indikasi pertama adanya bencana
kekeringan.
2. Kemudian terjadi kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah.
Kekeringan ini
diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan air tanah.
3. Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah
(kandungan air di dalam tanah).
Mitigasi dan Upaya Pengurangan Risiko Bencana :
1. Penyusunan peraturan Pemerintah tentang pengaturan system pengiriman
data iklim dari daerah ke pusat pengolahan data.
2. Penyusunan PERDA untuk menetapkan skala prioritas penggunaan air
dengan
memperhatikan historical right dan azas keadilan.
3. Pembentukan pokja dan posko kekeringan pada tingkat pusat dan daerah.
4. Penyediaan anggaran khusus untuk pengembangan / perbaikan jaringan
pengamatan iklim pada daerah-daerah rawan kekeringan.
5. Pengembangan/perbaikan jaringan pengamatan iklim pada daerah-daerah
rawan
kekeringan.
6. Memberikan sistem reward dan punishment bagi masyarakat yang
melakukan upaya konservasi dan rehabilitasi sumber daya air dan hutan/lahan
3.3 Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan dan lahan gambut menjadi focus utama kejadian
kebakaran saat ini mengingat dampak asap dan emisi karbon yang dihasilkan.
Hutan rawa gambut seluas 2.124.000 hektar telah terbakar pada kejadian
kebakaran 1997/1998 (Tacconi, 2003),mengemisikan sekitar 156,3 juta ton
karbon

Gambar 3. 3 Kebakaran hutan di mentangai Kalteng


Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan
dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas permukaan (misalnya:
serasah, pepohonan, semak, dll), kemudian api menyebar tidak menentu
secara perlahan di bawah permukaan (ground fire), membakar bahan organik
melalui pori-pori gambut dan melalui akar semak belukar/pohon yang bagian
atasnya terbakar. Dalam perkembangannya, api menjalar secara vertikal dan
horizontal berbentuk seperti kantong asap dengan pembakaran yang tidak
menyala (smoldering) sehingga hanya asap yang berwarna putih saja yang
tampak diatas permukaan. Mengingat peristiwa kebakaran terjadinya di dalam
tanah dan hanya asapnya saja yang muncul ke permukaan, maka kegiatan
pemadaman akan mengalami banyak kesulitan.
Dampak kebakaran hutan dan lahan gambut
Kebakaran hutan/lahan gambut secara nyata berpengaruh terhadap
terdegradasinya kondisi lingkungan, kesehatan manusia dan aspek sosial
ekonomi bagi masyarakat.
Terdegradasinya kondisi lingkungan
 Perubahan kualitas fisik gambut (penurunan porositas total,
penurunan kadar air tersedia, penurunan permeabilitas dan
meningkatnya kerapatan lindak);
 Perubahan kualitas kimia gambut (peningkatan pH, kandungan N-
total, kandungan fosfor dan kandungan basa total yaitu Kalsium,
Magnesium, Kalium, dan Natrium, tetapi terjadi penurunan
kandungan C-organik);
 Terganggunya proses dekomposisi tanah gambut karena
mikroorganisme yang mati akibat kebakaran;
 Suksesi atau perkembangan populasi dan komposisi vegetasi hutan
juga akan terganggu (benih-benih vegetasi di dalam tanah gambut
rusak/terbakar) sehingga akan menurunkan keanekaragaman
hayati;
 Rusaknya siklus hidrologi (menurunkan kemampuan intersepsi air
hujan ke dalam tanah, mengurangi transpirasi vegetasi,
menurunkan kelembaban tanah, dan meningkatkan jumlah air yang
mengalir di permukaan (surface run off). Kondisi demikian
menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar,
terjadinya sedimentasi dan perubahan kualitas air serta turunnya
populasi dan keanekaragaman ikan di perairan. Selain itu
kerusakan hidrologi di lahan gambut akan menyebabkan jangkauan
intrusi air laut semakin jauh ke darat;
 Gambut menyimpan cadangan karbon, apabila terjadi kebakaran
maka akan terjadi emisi gas karbondioksida dalam jumlah besar.
Sebagai gas rumah kaca, karbondioksida berdampak pada
pemanasan global. Berdasarkan studi ADB, kebakaran gambut
1997 menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton (75% dari
total emisi karbon) dan 5 juta ton partikel debu.
Kesehatan manusia
Ribuan penduduk dilaporkan menderita penyakit infeksi
saluran pernapasan, sakit mata dan batuk sebagai akibat dari asap
kebakaran. Kebakaran gambut juga menyebabkan rusaknya
kualitas air, sehingga air menjadi kurang layak untuk diminum.
Aspek sosial ekonomi
 Hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat yang masih
menggantungkan hidupnya pada hutan (berladang, beternak,
berburu/menangkap ikan);
 Penurunan produksi kayu;
 Terganggunya kegiatan transportasi;
 Terjadinya protes dan tuntutan dari negara tetangga akibat
dampak asap kebakaran;
 Meningkatnya pengeluaran akibat biaya untuk pemadaman.
BAB IV
JENIS BENCANA DI INDONESIA

4.1 Epidemi
Epidemi adalah penyakit menular yang berjangkit dengan cepat di daerah
yang luas dan menimbulkan banyak korban. Peningkatan angka penyakit di
atas normal yang biasanya terjadi secara tiba-tiba pada populasi suatu di area
geografis tertentu. Contoh penyakit yang pernah menjadi epidemi adalah
virus Ebola di Republik Demokratik Kongo (DRC) pada 2019, Avian
Influenza/flu burung (H5N1) di Indonesia pada 2012, dan SARS di 2003.

Gambar 4. 1 Flu Burung


Endemi adalah penyakit yang berjangkit di suatu daerah atau pada suatu
golongan masyarakat. Endemi merupakan keadaan atau kemunculan suatu
penyakit yang konstan atau penyakit tersebut biasa ada di dalam suatu
populasi atau area geografis tertentu. Contoh penyakit endemi di Indonesia
adalah malaria dan demam berdarah dengue (DBD).

Gambar 4. 2 Demam berdarah

Pandemi adalah wabah yang berjangkit serempak di mana-mana,


meliputi daerah geografis yang luas. Pandemi merupakan epidemi yang
menyebar hampir di seluruh negara atau benua, biasanya mengenai banyak
orang. Contoh penyakit yang menjadi pandemi adalah Coronavirus disease
2019 (Covid-19).
Wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam
masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi
daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat
menimbulkan malapetaka.
• Penyebab Wabah secara garis besar adalah karena Toxin ( kimia &
biologi) dan karena Infeksi (virus, bacteri, protozoa dan cacing)
• Sumber penyakit adalah manusia, hewan, tumbuhan, dan bendabenda
yang mengandung dan/atau tercemar bibit penyakit, serta yang dapat
menimbulkan wabah.
• Daerah Wabah adalah suatu wilayah yang dinyatakan terjangkit wabah.
• Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu
daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat
menjurus pada terjadinya wabah.
• Penyakit Karantina adalah Pes (Plague); Kolera (Cholera); Demam
Kuning (Yellow Fever); Cacar (Smallpox); Typhus bercak wabahi
Typhus exanthe maticus infectosa (Louse borne Typhus); Demam balik-
balik (Louse borne Relapsing fever).
• Tindakan Karantina adalah tindakan-tindakan terhadap kapal/pesawat
udara beserta isinya dan daerah pelabuhan untuk mencegah penjangkitan
dan penjalaran penyakit karantina.
• Isolasi adalah pengasingan seseorang atau beserta orang dari yang lain
dalam suatu stasiun karantina, rumah sakit atau tempat lain oleh dokter
pelabuhan untuk mencegah penularan penyakit.
• Pemerintah Pusat, adalah Presiden RI yang memegang kekuasaan
pemerintahan Negara RI, yang dalam penyelenggaraan di bidang
kesehatan dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan.
• Menteri adalah Menteri yang tugas tanggung jawabnya di bidang
kesehatan.
• Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
• Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah wewenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI
• Penanggulangan adalah segala upaya yang ditujukan untuk
memperkecil angka kematian, membatasi penularan serta penyebaran
penyakit agar wabah tidak meluas kedaerah lain.
• Evakuasi adalah pemindahan sebagian atau seluruh penduduk dari lokasi
terjangkit penyakit kelokasi yang lebih aman.

4.2 Kegagalan Teknologi


Kegagalan Teknologi adalah semua kejadian bencana yang diakibatkan
oleh kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia
dalam penggunaan teknologi dan/atau industri.
4.2.1 Penyebab terjadinya kegagalan teknologi
1. Kebakaran
2. Kegagalan/kesalahan desain keselamatan pabrik/teknologi
3. Kesalahan prosedur pengoperasian pabrik/teknologi
4. Kerusakan komponen
5. Kebocoran reaktor nuklir
6. Kecelakaan transportasi (darat, laut, udara)
7. Sabotase atau pembakaran akibat kerusuhan
8. Dampak ikutan dari bencana alam (gempa bumi, banjir, dan
sebagainya
Kegagalan teknologi dapat menyebabkan pencemaran (udara, air dan
tanah), korban jiwa, kerusakan bangunan, dan kerusakan lainnya.
Bencana Kegagalan teknologi pada skala yang besar akan dapat
mengancam kestabilan ekologi secara global.
4.2.2 Gejala dan Peringatan Dini
 Kejadian sangat cepat (dalam hitungan detik atau jam) dan secara
tiba-tiba
 Desain pabrik/industri harus dilengkapi dengan sistem monitoring
dan sistem peringatan akan bahaya kebakaran, kerusakan
komponen/peralatan dan terjadinya kondisi bahaya lainnya.
 Pelepasan bahan-bahan pencemar yang berbahaya pada umumnya
tidak terlalu cepat sehingga memungkinkan untuk memberikan
peringatan dan evakuasi pekerja dan masyarakat sekitarnya.
 Ledakan pabrik dalam beberapa kasus dapat diantipasi.
4.2.3 Tips Penanganan dan Upaya Pengurangan Bencana
 Kurangi atau hilangkan bahaya yang telah diidentifikasikan
 Tingkatkan ketahanan terhadap kebakaran dengan menggunakan
material bangunan ataupun peralatan yang tahan api.
 Bangun daerah penyangga atau penghalang api serta penyebaran
asap/pengurai asap.
 Tingkatkan fungsi sistem deteksi dan peringatan dini.
 Perencanaan kesiapsiagaan dalam peningkatan kemampuan
pemadaman kebakaran dan penanggulangan asap, tanggap darurat
dan evakuasi bagi pegawai serta penduduk disekitar.
 Sosialisasikan rencana penyelamatan kepada pegawai dan
masyarakat sekitarnya bekerja sama dengan instansi terkait.
 Tingkatkan Kemampuan pertahanan sipil dan otoritas kedaruratan.
 Batasi dan kurangi kapasitas penampungan bahan-bahan kimia
yang berbahaya dan mudah terbakar.
 Tingkatkan standar keselamatan di pabrik dan desain peralatan
 Antisipasi kemungkinan bahaya dalam desain pabrik
 Buat prosedur operasi penyelamatan jika terjadi kecelakaan
teknologi.
 Pindahkan bahan/material yang berbahaya dan beracun
 Secara proaktif melakukan monitoring tingkat pencemaran
sehingga standar keselamatan tidak terlampaui.
 Persiapkan rencana evakuasi penduduk ke tempat aman
4.3 Kerusuhan Sosial
Kerusuhan atau Konflik Sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi huru-
hara/kerusuhan atau perang atau keadaan yang tidak aman di suatu daerah
tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan, suku, ataupun
organisasi tertentu. Indonesia sebagai negara kesatuan pada dasarnya dapat
mengandung potensi kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa,
agama, ras dan etnis golongan, hal tersebut merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap potensi timbulnya konflik. Dengan semakin marak dan
meluasnya konflik akhir-akhir ini, merupakan suatu pertanda menurunnya
rasa nasionalisme di dalam masyarakat.
Kondisi seperti ini dapat terlihat dengan meningkatnya konflik yang
bernuansa SARA, serta munculya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan
diri dari NKRI akibat dari ketidakpuasandan perbedaan kepentingan. Apabila
kondisi ini tidak dikelola dengan baik akhirnya akan berdampak pada
disintegrasi bangsa. Permasalahan ini sangat kompleks sebagai akibat
akumulasi permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan
keamanan yang saling tumpang tindih, apabila tidak cepat dilakukan
tindakan-tindakan bijaksana untuk menanggulangi sampai pada akar
permasalahannya maka akan menjadi problem yang berkepanjangan

4.3.1 Mitigasi dan Upaya Pengurangan Risiko Bencana


• Hindari kumpulan kelompok yang sedang melakukan kegiatan
demo, karena kegiatan tersebut akan memicu terjadinya kerusuhan.
• Apabila melihat terjadinya kerusuhan sosial atau tindak kekerasan
antar kelompok segera hubungi pihak yang berwajib (Kepolisian).
• Saling menghargai antara demonstran dan aparat keamanan, agar
tercipta situasi yang kondusif dan menghindari terjadinya
kerusuhan sosial
BAB V
LANDASAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA
5.1 Pengurangan Risiko Bencana
Pengurangan Risiko Bencana (PRB) adalah sebuah pendekatan
sistematis untuk mengidentifikasi, mengkaji, dan mengurangi risiko-risiko
bencana. PRB bertujuan untuk mengurangi kerentanan-kerentanan sosial-
ekonomi terhadap bencana dan menangani bahaya-bahaya lingkungan
maupun bahaya-bahaya lainnya yang menimbulkan kerentanan. Menurut
definisi dari UNISDR, makna PRB yaitu sebuah kerangka konseptual dari
elemen-elemen yang mengandung kemungkinan dalam mereduksi
kerentanan dan bencana di dalam masyarakat, atau juga
mencegah/menghindari atau membatasi (memitigasi dan upaya
kesiapsiagaan) dampak dari ancaman-ancaman dalam konteks yang lebih
luas, yakni pembangunan berkelanjutan. Komponen-komponen utama PRB
meliputi:
1) Kesadaran tentang dan penilaian risiko, termasuk di dalamnya analisis
ancaman serta analisis kapasitas dan kerentanan,
2) Pengembangan pengetahuan termasuk pendidikan, pelatihan,
penelitian dan informasi,
3) Komitmen kebijakan dan kerangka kelembagaan termasuk organisasi,
kebijakan, legislasi, dan aksi komunitas (yang bisa diterjemahkan
disini sebagai pengurangan risiko bencana berbasis komunitas
(PRBBK),
4) Penerapan ukuran-ukuran PRB seperti pengelolaan lingkungan, tata
guna lahan, perencanaan perkotaan, proteksi fasilitas-fasilitas sosial
(critical facilities), penerapan ilmu teknologi, kemitraan dan jejaring,
instrumen keuangan, dan
5) Sistem peringatan dini, termasuk di dalamnya prakiraan, sebaran
peringatan, ukuran-ukuran kesiapsiagaan, dan kapasitas respons
(UNISDR, 2004).

Berkenaan dengan hal tersebut maka perlu dipahami potensi risiko


yang mungkin muncul, yaitu besarnya kerugian atau kemungkinan
hilangnya (jiwa, korban, kerusakan dan kerugian ekonomi) yang disebabkan
oleh bahaya tertentu. Risiko biasanya dihitung secara matematis, merupakan
probabilitas dari dampak atau konsekuensi suatu bahaya. Jika potensi risiko
pada pelaksanaan kegiatan jauh lebih besar dari manfaatnya, maka kehati-
hatian perlu dilipat gandakan. Upaya mengurangi kerentanan yang melekat,
yaitu sekumpulan kondisi yang mengarah dan menimbulkan konsekuensi
(fisik, sosial, ekonomi dan perilaku) yang berpengaruh buruk terhadap
upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana, misalnya:
menebang hutan, penambangan batu, membakar hutan.

5.2 Landasan Global


5.2.1 Resolusi PBB
Perhatian PBB terhadap masalah pengurangan risiko bencana
dimulai dengan dikeluarkannya resolusi dalam sidang Majelis Umum
ke-2018 mengenai Bantuan dalam Situasi Bencana Alam dan Bencana
Lainnya pada tanggal 14 Desember 1971. Resolusi ini kemudian
ditindaklanjuti dengan Resolusi Nomor 46/182 tahun 1991 mengenai
Penguatan Koordinasi Bantuan Kemanusiaan PBB dalam hal
Bencana.
Pada tanggal 30 Juli 1999, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB
mengeluarkan Resolusi Nomor 63 tahun 1999 tentang Dekade
Pengurangan Risiko Bencana Internasional. Dalam resolusi ini,
Dewan Ekonomi dan Sosial mengharapkan agar PBB memfokuskan
tindakan kepada pelaksanaan Strategi Internasional untuk
Pengurangan Risiko Bencana (International Strategy for Disaster
Reduction/ISDR). Strategi ini merupakan landasan dari kegiatan-
kegiatan PBB dalam pengurangan risiko bencana yang sekaligus
memberikan arahan kelembagaan melalui pembentukan kelompok
kerja lintas instansi –lembaga- organisasi. Sasaran utama ISDR adalah
untuk: (1) mewujudkan ketahanan masyarakat terhadap dampak
bencana alam, teknologi dan lingkungan. (2) mengubah pola
perlindungan terhadap bencana menjadi manajemen risikobencana
dengan melakukan penggabungan strategi pencegahan risiko kedalam
kegiatan pembangunan berkelanjutan.
Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana dilakukan
dengan tujuan:
1. Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap bencana alam,
teknologi, lingkungan dan bencana sosial.
2. Mewujudkan komitmen pemerintah dalam mengurangi risiko
bencana terhadap manusia, kehidupan manusia, infrastruktur sosial
dan ekonomi serta sumber daya lingkungan.
3. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksaan kegiatan
pengurangan risiko bencana melalui peningkatan kemitraan dan
perluasan jaringan upaya pengurangan risiko bencana.
4. Mengurangi kerugian ekonomi dan sosial akibat bencana.

5.2.2 Stategi Yokokhama


Strategi Yokohama ditetapkan pada tahun 1994. Dokumen ini
merupakan panduan internasional bagi upaya pengurangan risiko dan
dampak bencana. strategi yokohama menitikberatkan pada upaya
untuk melakukan kegiatan yang sistematik untuk menerapkan upaya
pengurangan risiko bencana dalam pembangunan berkelanjutan.
Disamping itu, strategi Yokohama juga menganjurkan
dilksanakannnya upaya untuk meningkatkan ketahanan masyarakat
melalui peningkatan kemampuan untuk mengelola dan mengurangi
risiko bencana. upaya ini, dilakukan dengan pendekatan yang lebih
proaktif dalam memberikan informasi, motivasi dan melibatkan
masyarakat dalam segala aspek pengurangan risiko bencana.
Beberapa isu dan tantangan yang teridentifikasi dalam Strategi
Yokohama antara lain:
1. Tata pemerintahan, organisasi, hukum dan kerangka kebijakan.
2. Identifikasi risiko, pengkajian, monitoring dan peringatan dini.
3. Pengetahuan dan pendidikan
4. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana.
5. Persiapan tanggap darurat dan pemulihan yang efektif.
Kelima aspek diatas merupakan kunci dasar pengembangan
kerangka rencana aksi pengurangan risiko bencana. aspek-aspek
tersebut dijabarkan melalui prinsip-prinsip dasar dalam upaya
pengurangan risiko bencana antara lain:
1. Pengkajian risiko bencana adalah langkah yang diperlukan untuk
penerapan kebijakan dan upaya pengurangan risiko bencana yang
efektif.
2. Pencegahan dan kesiapsiagaan bencana sangat penting dalam
mengurangi kebutuhan tanggap bencana.
3. Pencegahan bencana dan kesiapsiagaan merupakan aspek terpadu
dari kebijakan pembangunan dan perencanaan pada tingkat
nasional, regional dan internasional
4. Pengembangan dan penguatan kemampuan untuk mencegah,
mengurangi dan mitigasi bencana adalah perioritas utama dalam
Dekade Pengurangan Bencana Alam Internasional.
5. Peringatan dini terhadap bencana dan penyebarluasan informasi
bencana yang dilakukan secara efektif dengan menggunakan
sarana telekomunikasi adalah faktor kunci bagi kesuksesan
pencegahan dan kesiapsiagaan bencana.
6. Upaya-upaya pencegahan akan sangat efektif bila melibatkan
partisipasi masyarakat lokal (lembaga adat dan budaya setempat),
nasional, regional dan internasional.
7. Kerentanan terhadap bencana dapat dikurangi dengan
menerapkan desain dan pola pembangunan yang difokuskan pada
kelompok-kelompok masyarakat melalui pendidikan dan
pelatihan yang tepat.
8. Masyarakat internasioanal perlu berbagi teknologi untuk
mencegah, mengurangi dan mitigasi bencana, dan hal ini
sebaiknya dilaksanakan secara bebas dan tepat waktu sebagai
bagian dari kerjasama teknik.
9. Perlindungan lingkungan merupakan salah satu komponen
pembangunan berkelanjutan yang sejalan dengan pengentasan
kemiskinan dan merupakan upaya yang sangat penting dalam
pencegahan dan mitigasi bencana alam.
10. Setiap negara bertanggung jawab untuk melindungi masyarakat,
infrastruktur dan aset nasional lainnya dari dampak yang
ditimbulkan oleh bencana. masyarakat internasional harus
menunjukkkan kemauan politik yang kuat untuk mengerahkan
sumberdaya yang ada secara optimal dan efisien termasuk dalam
hal pendanaan, ilmu pengetahuan dan teknologidalam upaya
pengurangan risiko bencana yang sangat dibutuhkan oleh negara-
negara berkembang.

5.2.3 Kerangka Aksi Hyogo


Dengan memperhatikan beberapa aspek upaya pengurangan
risiko bencana, Konferensi Pengurangan Risiko Bencana Dunia
(World Conference on Disaster Reduction) yang diselenggarakan pada
bulan Januari tahun 2005 di Kobe, menghasilkan beberapa substansi
dasar dalam mengurangi kerugian akibat bencana, baik kerugian jiwa,
sosial, ekonomi dan lingkungan. Substansi dasar tersebut perlu
menjadi komitmen pemerintah, organisasi-organisasi regional dan
internasional, masyarakat, swasta, akademisi dan para pemangku
kepentingan terkait lainnya. Strategi yang digunakan untuk
melaksanakan substansi dasar tersebut antara lain:
1. Memasukkan risiko bencana dalam kebijakan, perencanaan dan
program- program pembangunan berkelanjutan secara terpadu dan
efektif dengan penekanan khusus pada pencegahan, mitigasi,
persiapan, dan pengurangan kerentanan bencana.
2. Pengembangan dan penguatan institusi, mekanisme dan kapasitas
kelembagaan pada semua tingkatan, khususnya pada masyarakat
sehingga masyarakat dapat meningkatkan ketahanan terhadap
bencana secara sistematik.
3. Kerjasama yang sistematik dalam pengurangan risiko bencana,
pelaksanaan kesiapsiagaan darurat dan program pemulihan dalam
rangka rekonstruksi bagi masyarakat terkena dampak bencana.
Substansi dasar yang selanjutnya merupakan perioritas kegiatan
untuk tahun 2005-2015 antara lain:
1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional
maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh
kelembagaan yang kuat.
2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta
menerapkan sistem peringatan dini.
3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk
membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap
bencana pada semua tingkatan masyarakat.
4. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana.
5. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan
masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif.
Tindak lanjut dari kerangka Aksi Hyogo ini telah dilakukan di
beberapa negara dan kawasan diantaranya dikawasan negara-negara
Kepulauan Pasifik yang telah menetapkan Framework for Action
2005-2015: An Investment for Sustainable Development in Pacific
Island Countries; Kawasan Afrika membentuk Africa Advisory Group
on Disaster Risk reduction dan menetapkan African Regional Platform
of National Platfrom for Disaster Risk Reduction; dan di kawasan
Asia telah disepakati dokumen Beijing Declaration on the 2005 World
Conference on Disaster Reduction. Pada lingkup negara-negara
ASEAN telah disepakati ASEAN Agreement on Disaster
Management and Emergency Response.
Sejak Kerangka Hyogo diadopsi tahun 2005, seperti
terdokumentasi dalam laporan kemajuan implementasi nasional dan
regional demikian juga di laporanlaporan dunia lainnya, telah banyak
dicapai kemajuan dalam mengurangi risiko bencana di tatarn lokal,
nasional, regional dan dunia yang dilakukan oleh negara- negara dan
pemangku kepentingan terkait lainnya, hasilnya adalah menurunnya
tingkat kematian dalam beberapa kasus risiko bahaya. Namun, selama
kurun waktu 10 tahun bencana masih terus memberikan dampak berat
dan sebagai hasilnya, kesejahteraan dan keselamatan manusia,
masyarakat dan negara secara keseluruhan terkena dampaknya yang
kebanyakan diakibatkan oleh perubahan iklim serta makin meningkat
baik dalam frekuensi dan intensitasnya. Selama konferensi Dunia,
negara-negara juga menegaskan kembali komitmen mereka untuk
mengatasi masalah Pengurangan Risiko Bencana dengan
mempertimbangkannya dengan kerangka yang sesuai.
Maka dibentuklah Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan
Risiko Bencana tahun 2015-2030 yang diresmikan penggunaanya
dalam Konferensi Dunia ketiga PBB di Sendai, Jepang, pada tanggal 8
Maret 2015. Kerangka kerja ini adalah hasil dari konsultasi antar
pemegang kepentingan yang dilaksanakan pada tanggal 12 Maret
2012 serta negosiasi antar negara yang yang dilaksanakan
mulai bulan Juli 2014 hingga bulan Maret 2015, didukung oleh
Kantor PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana atas permintaan
Majelis Umum PBB. Kerangka Kerja Sendai disusun menggunakan
elemen-elemen yang dapat memastikan keberlanjutan pekerjaan yang
telah dilakukan oleh negara-negara dan pemangku kepentingan di
bawah HFA dan mengenalkan beberapa inovasi yang disarankan
dalam konsultasi dan negosiasi. Banyak komentator menyebutkan
bahwa perubahan terpenting dalam kerangka kerja ini adalah
penekanannya terhadap manajemen risiko bencana dan bukan lagi
manajemen bencana seperti sebelumnya. Fakus tujuannya yaitu pada
pencegahan munculnya risiko baru, mengurangi risiko yang ada dan
memperkuat ketahanan, juga menghasilkan prinsip-prinsip panduan,
termasuk tanggung jawab utama negara dalam mencegah dan
mengurangi risiko bencana.
BAB VI
LANDASAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA

6.1. Landasan Regional


Undang-undang Dasar tahun 1945 memuat pasal-pasal yang
berhubungan dengan kewajiban Negara Republik Indonesia untuk melindungi
rakyatnya dari bencana. Alinea keempat Pembukaan Undang-undang Dasar
tahun 1945 dengan jelas menyatakan bahwa “Negara Republik Indonesia
bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia”, yakni memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan
penghidupan termasuk perlindungan dari ancaman bencana dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan umum yang kemudian diterjemahkan ke dalam
pasal 12 dan 33 ayat 3. Berbagai undang-undang atau pun peraturan telah
ditetapkan dalam upaya memberikan perlindungan kepada rakyat dari
bencana seperti Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kesejahteraan Sosial, Undang-undang Nomor 20 tahun 1982 tentang
Ketentuan Umum Pertahanan Dan Keamanan Negara, Undangundang Nomor
4 tahun 1984 tentang Penyakit Menular, Undang-undang Nomor 32 tahun
1992 tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang
Perencanaan Tata Ruang, Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas, Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, Undang-
undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Undang-undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor
7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Peraturan Presiden Nomor 7 tahun
2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Sesuai amanat
kesepakatan-kesepakatan di tingkat internasional dan regional, pengurangan
risiko bencana wajib dijadikan salah satu prioritas pembangunan nasional.
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk segera melaksanakan kesepakatan
tersebut dengan memasukkan upaya pengurangan risiko bencana ke dalam
kerangka pembangunan nasional, yang akan dituangkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Kerja Pemerintah.
6.2 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN),
upaya pengurangan risiko bencana tidak dibahas secara khusus namun lebih
banyak dibahas dalam bidang Kesejahteraan Sosial, Sumber daya Alam dan
Lingkungan. Pada umumnya upaya-upaya pengurangan risiko bencana
merupakan bagian dari kegiatan/program yang tersebar di sektor-sektor
terkait.
6.3. Rencana Kerja Pemerintah
Setiap tahun pemerintah menyusun RKP yang memuat semua program
kegiatan yang akan dilaksanakan oleh setiap sektor pada tahun
berjalan.Dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2005 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2006, kegiatan pengurangan risiko
bencana dialokasikan pada arah kebijakan Penanggulangan Bencana Alam
yang dampaknya mengimbas terhadap keselamatan bangsa melalui:
1. Peningkatan mitigasi bencana alam dan prakiraan iklim
2. Penyusunan tata ruang dan zonasi perlindungan sumber daya alam
termasuk kawasan rawan bencana di pesisir dan laut
3. Pengembangan sistem penanggulangan bencana alam dan sistem
deteksi dini
Dalam RKP tahun 2007 yang telah diundangkan melalui Peraturan
Presiden Nomor 19 tahun 2006, Mitigasi dan Penanggulangan Bencana
merupakan salah satu prioritas dari sembilan prioritas pembangunan yang
harus dilaksanakan. Sasaran yang akan dicapai dalam prioritas Mitigasi dan
Penanggulangan Bencana pada tahun 2007 dibagi dalam dua sasaran utama,
yaitu (1) tetap terlaksananya upaya rehabilitasi dan rekonstruksi Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias di Provinsi Sumatera Utara,
terselesaikannya kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi paska bencana alam di
Kabupaten Alor di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Nabire di
Provinsi Papua, serta (2) dapat diselesaikannya kegiatan tanggap darurat,
rehabilitasi dan rekonstruksi pada beberapa daerah lainnya yang mengalami
bencana alam pada tahun 2005 dan 2006. Sasaran utama berikutnya adalah
meningkatnya kesiapan kelembagaan dan masyarakat dalam mencegah,
menghadapi dan menanggulangi bencana alam yang akan terjadi. Upaya
pengurangan risiko bencana saat ini dilaksanakan oleh departemen/lembaga
terkait secara sektoral dalam program departemen/lembaga yang
bersangkutan. Rencana aksi ini antara lain disusun untuk mempermudah
identifi kasi semua kegiatan yang berkaitan dengan pengurangan risiko
bencana di setiap departemen/lembaga terkait.
BAB VII
PROGRAM PENANGGULANGAN BENCANA
7.1 Program Prioritas
Sebagaimana nomenklatur dalam sistem perencanaan pembangunan
yang berlaku saat ini, maka dalam RENAS PB 2015 - 2019 hanya memuat
satu program, yaitu “Program Penanggulangan Bencana” yang berpedoman
pada RPJMN 2015-2019 dan selanjutnya akan menjadi referensi dalam
Rencana Strategis K/L untuk mengimplementasikan penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Sesuai dengan Pasal 33 UU No. 24/2007 maka
penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap yaitu
prabencana, tanggap darurat dan pascabencana.
Rumusan program RENAS PB tersebut merupakan konsolidasi dari
pembelajaran dan evaluasi terhadap pelaksanaan RENAS PB 2010-2014
termasuk pelaksanaan kesepakatan internasional sebagaimana tercantum pada
Kerangka Aksi Hyogo 2005-2015 yang dilakukan secara berkala dan
dilaporkan pada forum Global Platform Disaster Risk Reduction.
Untuk melaksanakan program tersebut, pemerintah sesuai dengan
kewenangan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 UU No. 24/2007 dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi :
1. Penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan
pembangunan nasional,
2. Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur- unsur
kebijakan penanggulangan bencana,
3. Penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah,
4. Penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan
negara lain, badan-badan, atau pihak-pihak internasional lain,
5. Perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi
sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana,
6. Perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya
alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan, dan
7. Pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang
berskala nasional. Secara operasional pelaksanaan program
penanggulangan bencana dilakukan oleh seluruh K/L dalam koordinasi
BNPB.
7.1.1 Fokus Prioritas
Fokus Prioritas merupakan strategi-strategi pencapaian sasaran dari
Program Penanggulangan Bencana. Fokus Prioritas menjadi tulang
punggung perencanaan penanggulangan bencana yang menjamin
keterpaduan penyelenggaraan penanggulangan bencana di seluruh
tingkat pemerintahan.RENAS PB Periode 2015-2019 memiliki 7
(tujuh) fokus prioritas.
1. Penguatan kerangka hukum penanggulangan bencana.
Efektivitas penyelenggaraan penanggulangan bencana
membutuhkan perkuatan komitmen nasional dengan
menyelaraskan kewenangan, tugas dan fungsi antar kementerian
dan lembaga serta pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Perkuatan komitmen ini
diimplementasikan dengan penguatan kerangka hukum.
Penguatan kerangka hukum dalam penanggulangan bencana juga
diarahkan kepada penyusunan aturan-aturan teknis yang berfokus
kepada (a) pengalokasian anggaran penanggulangan bencana di
pusat dan daerah, (b) peningkatan efektivitas sistem kesiapsiagaan
dan kedaruratan nasional, (c) penggalangan kemitraan serta (d)
penetapan status bencana disertai dengan (e) mekanisme
pemantauan terpadu lintas sektor dan lintas kelembagaan baik pada
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
2. Pengarusutamaan penanggulangan pembangunan.
Penyelenggaraan PB merupakan upaya lintas sektor dan lintas
bidang serta diintegrasikan atau diarusutamakan dalam
perencanaan pembangunan secara menyeluruh dan holistic.RENAS
PB sebagai sebuah perencanaan yang dipersyaratkan oleh UU,
perlu diinternalisasi dan menjadi bagian dalam RPJMN. Dari
RPJMN, RENAS PB diharapkan dapat diterjemahkan secara
komprehensif dan terukur dalam Renstra K/L, RKP dan RKA serta
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Selain itu,
pengarusutamaan penanggulangan bencana perlu tercantum dalam
rencana kerja organisasi non pemerintah.
Disadari bahwa efektivitas penyelenggaraan PB membutuhkan
konsistensi dan secara berkesinambungan diperbarui berdasarkan
pembelajaran yang diperoleh dari implementasi perencanaan
periode sebelumnya. Oleh karenanya, perlu dibangun sistem
pemantauan implementasi RENAS PB yang sekaligus digunakan
untuk media berbagi informasi dan dapat diakses secara bebas oleh
masyarakat. Sistem pemantauan bersama ini diharapkan mampu
untuk memberikan penilaian efektivitas dan analisa manfaatbiaya
dari implementasi RENAS PB dengan mekanisme yang ditetapkan
bersama.
3. Peningkatan kemitraan multi pihak dalam penanggulangan
bencana.
Salah satu perubahan paradigma PB yang diamanatkan dalam UU
No 24/2007 adalah pergeseran pelaksana dan tanggung jawab PB
yang semula hanya berada pada Pemerintah menjadi urusan yang
perlu ditangani secara bersama oleh seluruh pemangku
kepentingan. Dengan demikian peningkatan partisipasi masyarakat,
penggalangan kemitraan dengan lembaga non pemerintah, lembaga
pendidikan dan Forum PRB Nasional menjadi salah satu fokus
yang perlu dikembangkan untuk mencapai efektivitas PB di
Indonesia.
Peningkatan peran dan partisipasi masyarakat diarahkan secara
khusus pada daerah paling berisiko untuk terlibat secara aktif
dalam pembangunan ketangguhan komunitasnya. Pembangunan
ketangguhan ini dapat dicapai dengan mengembangkan prasarana
pendukung PB komunitas dengan tetap memperhatikan karakter
serta kearifan lokal daerah setempat.
Pada sisi lain, fungsi kemitraan antar lembaga-lembaga non
pemerintah perlu dioptimalkan untuk mendukung penyelenggaraan
penanggulangan bencana secara sistematis dan terarah sesuai
dengan porsi perencanaan yang telah disepakati bersama. Salah
satunya adalah optimalisasi fungsi Forum PRB Nasional, forum
PRB daerah serta forum-forum tematik terkait lainya untuk
menjalankan fungsinya dalam memberikan dampingan kepada
pemerintah dan masyarakat demi efektivitas penyelenggaraan
penanggulangan bencana dan adaptasi perubahan iklim dengan
sumberdaya yang dimiliki oleh anggota forum.
Kemitraan multi pihak dalam PB juga dikembangkan pada
pembangunan karakter dan budaya aman bencana yang
memungkinkan lahirnya inovasi-inovasi terapan PB serta
kemandirian masyarakat dalam PB. Pengembangan ini melibatkan
peran lembaga pendidikan dan relawan PB.
4. Pemenuhan tata kelola bidang penanggulangan bencana.
Tata kelola PB diarahkan untuk menjamin transparansi,
akuntabilitas serta ketersediaan sarana prasaran dalam mencapai
efektivitas PB dalam seluruh jenjang pemerintahan.
PB adalah serangkaian pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Oleh untuk menjaga konsistensi kualitas playanan, dibutuhkan
Standar Pelayanan Minimum (SPM) dalam penyelenggaraan PB.
Implementasi
SPM PB pada pemerintah dan pemerintah daerah disusun
berdasarkan peta kebutuhan yang disepakati SPM menjadi dasar
untuk peningkatan kapasitas sumberdaya aparat pemerintah terkait
penanggulangan bencana secara terstruktur, berjenjang dan
berlanjut berbasis kompetensi yang ditunjang dengan kurikulum
dan pelatihan berkala yang tersertifikasi untuk pengelolaan PB
secara akuntabel dan transparan berdasarkan pedoman dan
prosedur yang telah ditetapkan.
Peningkatan kapasitas sumberdaya instansi pemerintah juga
bergantung pada ketersediaan sarana prasarana kelembagaan dan
aparat yang berfungsi optimal dalam setiap tahap penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
5. Peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana.
Peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana secara
terukur dilaksanakan berdasarkan kajian risiko bencana dengan
parameter yang diperbarui secara berkala dan didukung dengan
sistem informasi skala nasional. Pencapaian optimalitas
penyelenggaraan upaya pencegahan dan mitigasi bencana mengacu
kepada panduan teknis dan mekanisme standar yang telah disusun
secara spesifik sesuai dengan karakteristik daerah.
Peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana
difokuskan kepada (a) optimalisasi strategi penyadaran publik
untuk mengembangkan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan
pencegahan dan mitigasi bencana, (b) mengembangkan riset-riset
terapan dengan kerangka kerja terstruktur dan mengarah kepada
peningkatan rasio biaya-manfaat dan selalu mempertimbangkan
proses adaptasi pengetahuan asli lokal di tatanan masyarakat
pengguna hasil riset, dan (c) penataan ruang dan lahan pada
sebagian besar daerah prioritas nasional berdasarkan rencana
pengelolaan sumberdaya air, tanah dan hutan sesuai dengan hasil
Kajian Risiko Bencana serta Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Daerah.
6. Peningkatan kesiapsiagaan dan penanganan darurat bencana.
Peningkatan kapasitas kesiapsiagaan bencana difokuskan untuk
mempersiapkan penanganan keadaan darurat bencana secara
efektif. Berdasarkan perspektif tersebut, maka kesiapsiagaan
difokuskan untuk : (a) membangun sistem peringatan dini bencana
multi ancaman nasional yang terkoordinasi dengan prosedur
standar yang disepakati antar kementerian/lembaga terkain secara
sistematis dan terukur dan selalu dilatih secara berkala,
(b)memperkuat tingkat paparan pelayanan sistem peringatan dini
bencana kepada masyarakat pengguna dengan mengembangkan
alternatif moda penyebaran, strategi advokasi dan informasi publik,
serta mekanisme latihan bersama antara pemerintah dan
masyarakat, (c) peningkatan kapasitas evakuasi, penyelenggaraan
latihan kesiapsiagaan serta kemandirian mobilisasi sumberdaya
masyarakat berdasarkan pedoman dan mekanisme standar yang
disepakati.
Peningkatan kapasitas kesiapsiagaan diharapkan dapat
meningkatkan efektivitas operasi tanggap darurat bencana yang
diarahkan kepada : (a) membangun sistem mobilisasi sumberdaya
nasional dan regional dengan mempertimbangkan karakteristik
masyarakat terancam serta waktu respon minimal yang disepakati
bersama secara nasional, (b) percepatan waktu respon pemerintah
daerah dan pemerintah pusat untuk memulai prosedur operasi
tanggap darurat dengan tingkat akuntabilitas yang memadai
berdasarkan hasil kajian cepat, (c) Diperkuatnya kapasitas
pemerintah dalam mendukung operasi penanganan darurat bencana
sesuai dengan prioritas sasaran pada status keadaan darurat
nasional secara akuntabel, efektif dan efisien berdasarkan sistem
dan kerangka operasi yang disusun bersama.
7. Peningkatan kapasitas pemulihan bencana.
Perkuatan mekanisme dukungan pemulihan dalam skala
internasional, nasional maupun lokal dan rantai pengadaaan sarana
prasarana pada setiap sektor pelayanan menjadi perspektif dasar
peningkatan kapasitas pemulihan bencana. Selain itu ketangguhan
daerah pasca bencana dengan memfokuskan pengelolaan tata ruang
dan lingkungan hidup serta peningkatan kapasitas masyarakat
sebagai langkah pencegahan dan mitigasi pada upaya pemulihan
bencana yang terintegrasi dalam perencanaan aksi rehabilitasi dan
rekonstruksi sesuai dengan karakter masyarakat yang mandiri.
7.1.2 Sasaran
Sasaran penanggulangan bencana, dirumuskan dan ditetapkan
untuk tercapainya arah kebijakan penanggulangan bencana sesuai
dengan prioritas nasional yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-
2019. Sasaran RENAS PB 2015 - 2019 diarahkan untuk:
1. Tersedianya perangkat hukum yang mendorong
penyelenggaraan penanggulangan bencana yang efektif dan
mandiri di tingkat pusat hingga daerah secara proporsional.
2. Terintegrasinya penanggulangan bencana pada kegiatan
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahdan non
pemerintahuntuk menjamin keberlanjutan pembangunan.
3. Diterapkannya strategi yang menjamin terlaksananya
pemberdayaan masyarakat secara sinergi yang beroritentasi
kepada penurunan risiko bencana dengan kearifan lokal dan
kemandirian daerah.
4. Meningkatnya kemitraan multi-pihak (pemerintah, lembaga
usaha dan masyarakat sipil) dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
5. Meningkatnya kapasitas SDM serta kelembagaan pemerintah
dan non pemerintah terkait penanggulangan bencana.
6. Meningkatnya upaya pencegahan dan mitigasi untuk
mengurangi potensi korban jiwa, kerugian ekonomi dan
kerusakan lingkungan akibat bencana.
7. Meningkatnya kesiapsiagaan dan penanganan darurat untuk
menghadapi bencana secara mandiri dan proaktif.
8. Tersedianya mekanisme pendukung dalam menjamin
terselenggaranya pemulihan dampak bencana yang lebih baik
dan lebih aman secara mandiri, efektif dan bermartabat.
9. Terselenggaranya pemulihan dampak bencana secara lintas
sektor sesuai dengan Rencana Aksi Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Pascabencana.
7.2 Rencana Aksi
Rencana aksi merupakan kegiatan yang diturunkan dari Program
Penanggulangan Bencana, Fokus Prioritas dan Sasaran yang ingin dicapai
dalam periode penyelenggaraan RENAS PB 2015-2019. Rencana aksi ini
merupakan komitmen K/L dan non-K/L yang merupakan mitra
pembangunan Pemerintah untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Secara spesifik, rencana aksi penyelenggaraan penanggulangan bencana
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang
Penyelenggararaan Penanggulangan Bencana (PP No. 21/2008). Pasal 8 ayat
1 PP No. 21/2008 menyebutkan bahwa untuk melakukan upaya
pengurangan risiko bencana dilakukan penyusunan rencana aksi
pengurangan risiko bencana. Beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan
penyusunan rencana aksi pengurangan risiko bencana antara lain:

1. Rencana aksi pengurangan risiko bencana disusun baik di tingkat


nasional maupun di tingkat daerah.
2. Di tingkat nasional, rencana aksi pengurangan risiko bencana disusun
secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu forum yang meliputi
unsur dari pemerintah, non pemerintah, masyarakat, dan lembaga
usaha yang dikoordinasikan oleh BNPB.
3. Rencana aksi nasional (RAN) ditetapkan oleh Kepala BNPB setelah
dikoordinasikan dengan instansi/lembaga yang bertanggungjawab di
bidang perencanaan pembangunan nasional.
4. RAN dan rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana ditetapkan
untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat ditinjau sesuai dengan
kebutuhan.

Pada dokumen RENAS PB ini, Rencana Aksi merupakan acuan yang akan
digunakan oleh K/L dalam menyusun rencana aksi penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Rencana aksi yang lengkap dengan rincian
kegiatan serta pagu indikasi anggaran oleh setiap KL terkait disusun setelah
ditetapkannya rencana strategis.

Sejalan dengan hal ini, pendekatan dan landasan dasar dalam penyusunan
rencana aksi pengurangan risiko bencana untuk periode 2015-2019 adalah
sebagai berikut:

1. Landasan hukum: UU No 2 tahun 2007 tentang Penanggulangan


Bencana serta peraturan perundangan lain yang terkait sebagaimana
dasar penyusunan RENAS PB.
2. Disusun dengan pendekatan partisipatif dan konsultatif dengan Bappenas
serta seluruh K/Ldan pemangku kepentingan terkait, termasuk mitra
pembangunan internasional, lembaga usaha, nonpemerintah, perguruan
tinggi, dan media.
3. Sinergi lintas sektor dalam perencanaan dan implementasi RENAS PB
juga diterapkan dalam rencana aksi.
4. Merupakan bagian yang tidak terpisahkan, satu kesatuan konseptual,
terintegrasi secara melekat dan penjabaran teknis dari RENAS PB
20152019.
5. Kajian risiko bencana dan kajian ilmiah (scientific) terkait rencana induk
(master plan) untuk 12 ancaman bencana yang merupakan dasar
penyusunan RENAS PB juga menjadi dasar pertimbangan dalam
menyusun rencana aksi. Merupakan sub-sistem dari Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, dimana kebijakan dan strategi diturunkan dari
RPJP 2005-2025 dan RPJMN 2015-2019.
6. Nomenklatur yang disusun dalam RENAS PB maupun rencana aksi
disesuaikan dengan nomenklatur yang berlaku di pemerintah, sehingga
memberikan kemudahan dalam mengkaitkan dengan renstra K/L dan
juga dalam upaya pemantauan dan evaluasi.
BAB VIII
PROGRAM PENANGGULANGAN BENCANA

8.1 Program Prioritas


Sebagaimana nomenklatur dalam sistem perencanaan pembangunan
yang berlaku saat ini, maka dalam RENAS PB 2015 – 2019 hanya memuat
satu program, yaitu “Program Penanggulangan Bencana” yang berpedoman
pada RPJMN 2015‐2019 dan selanjutnya akan menjadi referensi
dalam Rencana Strategis K/L untuk mengimplementasikan
penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Sesuai dengan Pasal 33 UU No. 24/2007 maka
penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap yaitu
prabencana, tanggap darurat dan pascabencana.
Rumusan program RENAS PB tersebut merupakan konsolidasi dari
pembelajaran dan evaluasi terhadap pelaksanaan RENAS PB 2010‐
2014 termasuk pelaksanaan kesepakatan internasional sebagaimana
tercantum pada Kerangka Aksi Hyogo 2005‐2015 yang dilakukan secara
berkala dan dilaporkan pada forum Global Platform Disaster Risk
Reduction.
Untuk melaksanakan program tersebut, pemerintah sesuai dengan
kewenangan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 UU No. 24/2007
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
1. Penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan
kebijakan pembangunan nasional,
2. Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-
unsur kebijakan penanggulangan bencana,
3. Penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah,
4. Penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana
dengan Negara lain, badan-badan, atau pihak-pihak internasional lain.
5. Perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi
sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana,
6. Perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan
sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk
melakukan pemulihan, dan
7. Pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang
berskala nasional. Secara operasional pelaksanaan program
penanggulangan bencana dilakukan oleh seluruh K/L dalam koordinasi
BNPB.

8.1.1 Fokus Prioritas

Fokus Prioritas merupakan strategi-strategi pencapaian


sasaran dari Program Penanggulangan Bencana. Fokus Prioritas
menjadi tulang punggung perencanaan penanggulangan bencana
yang menjamin keterpaduan penyelenggaraan penanggulangan
bencana di seluruh tingkat pemerintahan.RENAS PB Periode 2015-
2019 memiliki 7 (tujuh) fokus prioritas.
1. Penguatan kerangka hukum penanggulangan bencana.
Efektivitas penyelenggaraan penanggulangan bencana
membutuhkan perkuatan komitmen nasional dengan
menyelaraskan kewenangan, tugas dan fungsi antar kementerian
dan lembaga serta pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Perkuatan komitmen ini
diimplementasikan dengan penguatan kerangka hukum.
Penguatan kerangka hukum dalam penanggulangan bencana
juga diarahkan kepada penyusunan aturan-aturan teknis yang
berfokus kepada (a) pengalokasian anggaran penanggulangan
bencana di pusat dan daerah, (b) peningkatan efektivitas sistem
kesiapsiagaan dan kedaruratan nasional, (c) penggalangan
kemitraan serta (d) penetapan status bencana disertai dengan (e)
mekanisme pemantauan terpadu lintas sektor dan lintas
kelembagaan baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah.
2. Pengarusutamaan penanggulangan bencana
dalam pembangunan
Penyelenggaraan PB merupakan upaya lintas sektor dan
lintas bidang serta diintegrasikan atau diarusutamakan dalam
perencanaan pembangunan secara menyeluruh dan
holistic.RENAS PB sebagai sebuah perencanaan yang
dipersyaratkan oleh UU, perlu diinternalisasi dan menjadi bagian
dalam RPJMN. Dari RPJMN, RENAS PB diharapkan dapat
diterjemahkan secara komprehensif dan terukur dalam Renstra
K/L, RKP dan RKA serta Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN). Selain itu, pengarusutamaan
penanggulangan bencana perlu tercantum dalam rencana kerja
organisasi non pemerintah.
Disadari bahwa efektivitas penyelenggaraan PB
membutuhkan konsistensi dan secara berkesinambungan
diperbarui berdasarkan pembelajaran yang diperoleh dari
implementasi perencanaan periode sebelumnya. Oleh
karenanya, perlu dibangun sistem pemantauan implementasi
RENAS PB yang sekaligus digunakan untuk media berbagi
informasi dan dapat diakses secara bebas oleh masyarakat.
Sistem pemantauan bersama ini diharapkan mampu untuk
memberikan penilaian efektivitas dan analisa manfaatbiaya dari
implementasi RENAS PB dengan mekanisme yang ditetapkan
bersama.
3. Peningkatan kemitraan multi pihak dalam
penanggulangan bencana.
Salah satu perubahan paradigma PB yang diamanatkan
dalam UU No 24/2007 adalah pergeseran pelaksana dan
tanggung jawab PB yang semula hanya berada pada
Pemerintah menjadi urusan yang perlu ditangani secara
bersama oleh seluruh pemangku kepentingan. Dengan demikian
peningkatan partisipasi masyarakat, penggalangan kemitraan
dengan lembaga non pemerintah, lembaga pendidikan dan
Forum PRB Nasional menjadi salah satu fokus yang
perlu dikembangkan untuk mencapai efektivitas PB di Indonesia.
Peningkatan peran dan partisipasi masyarakat diarahkan
secara khusus pada daerah paling berisiko untuk terlibat secara
aktif dalam pembangunan ketangguhan komunitasnya.
Pembangunan ketangguhan ini dapat dicapai dengan
mengembangkan prasarana pendukung PB komunitas dengan
tetap memperhatikan karakter serta kearifan lokal daerah
setempat.
Pada sisi lain, fungsi kemitraan antar lembaga-lembaga non
pemerintah perlu dioptimalkan untuk mendukung
penyelenggaraan penanggulangan bencana secara sistematis dan
terarah sesuai dengan porsi perencanaan yang telah disepakati
bersama. Salah satunya adalah optimalisasi fungsi Forum PRB
Nasional, forum PRB daerah serta forum-forum tematik terkait
lainya untuk menjalankan fungsinya dalam memberikan
dampingan kepada pemerintah dan masyarakat demi efektivitas
penyelenggaraan penanggulangan bencana dan adaptasi
perubahan iklim dengan sumberdaya yang dimiliki oleh anggota
forum.
Kemitraan multi pihak dalam PB juga dikembangkan pada
pembangunan karakter dan budaya aman bencana yang
memungkinkan lahirnya inovasi-inovasi terapan PB serta
kemandirian masyarakat dalam PB. Pengembangan ini
melibatkan peran lembaga pendidikan dan relawan PB.
4. Pemenuhan tata kelola bidang penanggulangan bencana.
Tata kelola PB diarahkan untuk menjamin transparansi,
akuntabilitas serta ketersediaan sarana prasaran dalam
mencapai efektivitas PB dalam seluruh jenjang pemerintahan.PB
adalah serangkaian pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Oleh untuk menjaga konsistensi kualitas playanan, dibutuhkan
Standar Pelayanan Minimum (SPM) dalam penyelenggaraan PB.
Implementasi SPM PB pada pemerintah dan pemerintah daerah
disusun berdasarkan peta kebutuhan yang disepakati SPM
menjadi dasar untuk peningkatan kapasitas sumberdaya aparat
pemerintah terkait penanggulangan bencana secara terstruktur,
berjenjang dan berlanjut berbasis kompetensi yang ditunjang
dengan kurikulum dan pelatihan berkala yang tersertifikasi
untuk pengelolaan PB secara akuntabel dan transparan
berdasarkan pedoman dan prosedur yang telah ditetapkan.
Peningkatan kapasitas sumberdaya instansi pemerintah
juga bergantung pada ketersediaan sarana prasarana
kelembagaan dan aparat yang berfungsi optimal dalam setiap
tahap penyelenggaraan penanggulangan bencana.
5. Peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana.
Peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana
secara terukur dilaksanakan berdasarkan kajian risiko bencana
dengan parameter yang diperbarui secara berkala dan didukung
dengan sistem informasi skala nasional. Pencapaian optimalitas
penyelenggaraan upaya pencegahan dan mitigasi bencana
mengacu kepada panduan teknis dan mekanisme standar yang
telah disusun secara spesifik sesuai dengan karakteristik daerah.
Peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana
difokuskan kepada (a) optimalisasi strategi penyadaran publik
untuk mengembangkan partisipasi masyarakat dalam
melaksanakan pencegahan dan mitigasi bencana, (b)
mengembangkan riset-riset terapan dengan kerangka kerja
terstruktur dan mengarah kepada peningkatan rasio biaya-
manfaat dan selalu mempertimbangkan proses adaptasi
pengetahuan asli lokal di tatanan masyarakat pengguna hasil
riset, dan (c) penataan ruang dan lahan pada sebagian besar
daerah prioritas nasional berdasarkan rencana pengelolaan
sumberdaya air, tanah dan hutan sesuai dengan hasil Kajian
Risiko Bencana serta Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Daerah.

6. Peningkatan kesiapsiagaan dan penanganan darurat


bencana.
Peningkatan kapasitas kesiapsiagaan bencana difokuskan
untuk mempersiapkan penanganan keadaan darurat bencana
secara efektif. Berdasarkan perspektif tersebut, maka
kesiapsiagaan difokuskan untuk :
 Membangun sistem peringatan dini bencana multi ancaman
nasional yang terkoordinasi dengan prosedur standar yang
disepakati antar kementerian/lembaga terkain secara
sistematis dan terukur dan selalu dilatih secara berkala,
 Memperkuat tingkat paparan pelayanan sistem
peringatan dini bencana kepada masyarakat pengguna
dengan mengembangkan alternatif moda penyebaran,
strategi advokasi dan informasi publik, serta
mekanisme latihan bersama antara pemerintah dan
masyarakat,
 Peningkatan kapasitas evakuasi, penyelenggaraan
latihan kesiapsiagaan serta kemandirian mobilisasi
sumberdaya masyarakat berdasarkan pedoman dan
mekanisme standar yang disepakati. Peningkatan
kapasitas kesiapsiagaan diharapkan dapat
meningkatkan efektivitas operasi tanggap darurat
bencana yang diarahkan kepada : (a) membangun sistem
mobilisasi sumberdaya nasional dan regional dengan
mempertimbangkan karakteristik masyarakat terancam
serta waktu respon minimal yang disepakati bersama
secara nasional, (b) percepatan waktu respon pemerintah
daerah dan pemerintah pusat untuk memulai prosedur
operasi tanggap darurat dengan tingkat akuntabilitas
yang memadai berdasarkan hasil kajian cepat, (c)
Diperkuatnya kapasitas pemerintah dalam mendukung
operasi penanganan darurat bencana sesuai dengan prioritas
sasaran pada status keadaan darurat nasional secara
akuntabel, efektif dan efisien berdasarkan sistem dan
kerangka operasi yang disusun bersama.

7. Peningkatan kapasitas pemulihan bencana.


Perkuatan mekanisme dukungan pemulihan dalam skala
internasional, nasional maupun lokal dan rantai pengadaaan
sarana prasarana pada setiap sektor pelayanan menjadi
perspektif dasar peningkatan kapasitas pemulihan bencana.
Selain itu ketangguhan daerah pasca bencana dengan
memfokuskan pengelolaan tata ruang dan lingkungan hidup
serta peningkatan kapasitas masyarakat sebagai langkah
pencegahan dan mitigasi pada upaya pemulihan bencana
yang terintegrasi dalam perencanaan aksi rehabilitasi dan
rekonstruksi sesuai dengan karakter masyarakat yang
mandiri.

8.1.2 Sasaran
Sasaran penanggulangan bencana, dirumuskan dan
ditetapkan untuk tercapainya arah kebijakan penanggulangan
bencana sesuai dengan prioritas nasional yang ditetapkan
dalam RPJMN 2015-2019. Sasaran RENAS PB 2015 – 2019
diarahkan untuk:
1. Tersedianya perangkat hukum yang
mendorong
2. penyelenggaraan penanggulangan bencana yang
efektif dan mandiri di tingkat pusat hingga daerah secara
proporsional.
3. Terintegrasinya penanggulangan bencana pada
kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintahdan non pemerintahuntuk menjamin
keberlanjutan pembangunan.
Diterapkannya strategi yang menjamin
terlaksananya pemberdayaan masyarakat secara sinergi
yang beroritentasi kepada penurunan risiko bencana
dengan kearifan lokal dan kemandirian daerah.
4. Meningkatnya kemitraan multi-pihak (pemerintah,
lembaga usaha dan masyarakat sipil) dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana.
6. Meningkatnya kapasitas SDM serta kelembagaan
pemerintah dan non pemerintah terkait penanggulangan
bencana.
7. Meningkatnya upaya pencegahan dan mitigasi untuk
mengurangi potensi korban jiwa, kerugian ekonomi dan
kerusakan lingkungan akibat bencana.
8. Meningkatnya kesiapsiagaan dan penanganan darurat
untuk menghadapi bencana secara mandiri dan proaktif.
9. Tersedianya mekanisme pendukung dalam
menjamin terselenggaranya pemulihan dampak bencana
yang lebih baik dan lebih aman secara mandiri, efektif
dan bermartabat.
10. Terselenggaranya pemulihan dampak bencana secara
lintas sektor sesuai dengan Rencana Aksi Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Pascabencana.

8.2 Rencana Aksi


Rencana aksi merupakan kegiatan yang diturunkan dari Program
Penanggulangan Bencana, Fokus Prioritas dan Sasaran yang ingin dicapai
dalam periode penyelenggaraan RENAS PB 2015-2019. Rencana aksi ini
merupakan komitmen K/L dan non-K/L yang merupakan mitra
pembangunan Pemerintah untuk penyelenggaraan penanggulangan
bencana. Secara spesifik, rencana aksi penyelenggaraan penanggulangan
bencana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang
Penyelenggararaan Penanggulangan Bencana (PP No. 21/2008). Pasal 8
ayat
1 PP No. 21/2008 menyebutkan bahwa untuk melakukan upaya
pengurangan risiko bencana dilakukan penyusunan rencana aksi
pengurangan risiko bencana. Beberapa hal yang menjadi dasar
pertimbangan penyusunan rencana aksi pengurangan risiko bencana antara
lain:

1. Rencana aksi pengurangan risiko bencana disusun baik di tingkat


nasional maupun di tingkat daerah.
2. Di tingkat nasional, rencana aksi pengurangan risiko bencana disusun
secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu forum yang meliputi unsur
dari pemerintah, non pemerintah, masyarakat, dan lembaga usaha yang
dikoordinasikan oleh BNPB.
3. Rencana aksi nasional (RAN) ditetapkan oleh Kepala BNPB setelah
dikoordinasikan dengan instansi/lembaga yang bertanggungjawab di
bidang perencanaan pembangunan nasional.
4. RAN dan rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana ditetapkan
untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat ditinjau sesuai dengan
kebutuhan.

Pada dokumen RENAS PB ini, Rencana Aksi merupakan acuan yang


akan digunakan oleh K/L dalam menyusun rencana aksi penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Rencana aksi yang lengkap dengan rincian
kegiatan serta pagu indikasi anggaran oleh setiap KL terkait disusun
setelah ditetapkannya rencana strategis.

Sejalan dengan hal ini, pendekatan dan landasan dasar dalam penyusunan
rencana aksi pengurangan risiko bencana untuk periode 2015-2019
adalah sebagai berikut:

1. Landasan hukum: UU No 2 tahun 2007 tentang Penanggulangan


Bencana serta peraturan perundangan lain yang terkait sebagaimana
dasar penyusunan RENAS PB.
2. Disusun dengan pendekatan partisipatif dan konsultatif dengan
Bappenas serta seluruh K/Ldan pemangku kepentingan terkait,
termasuk mitra pembangunan internasional, lembaga usaha,
nonpemerintah, perguruan tinggi, dan media.
3. Sinergi lintas sektor dalam perencanaan dan implementasi RENAS
PB juga diterapkan dalam rencana aksi.

4. Merupakan bagian yang tidak terpisahkan, satu kesatuan


konseptual, terintegrasi secara melekat dan penjabaran teknis dari
RENAS PB 2015-2019.
5. Kajian risiko bencana dan kajian ilmiah (scientific) terkait rencana
induk (master plan) untuk 12 ancaman bencana yang merupakan
dasar penyusunan RENAS PB juga menjadi dasar pertimbangan
dalam menyusun rencana aksi. Merupakan sub-sistem dari Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, dimana kebijakan dan strategi
diturunkan dari RPJP 2005-2025 dan RPJMN 2015-2019.
6. Nomenklatur yang disusun dalam RENAS PB maupun rencana
aksi disesuaikan dengan nomenklatur yang berlaku di pemerintah,
sehingga memberikan kemudahan dalam mengkaitkan dengan
renstra K/L dan juga dalam upaya pemantauan dan evaluasi.

Anda mungkin juga menyukai