Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang

Tidak banyak yang memahami tentang geologi lingkungan di Indonesia.


Geologi lingkungan adalah cabang ilmu geologi yang mempelajari tentang
segala hal yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan akibat adanya
interaksi antara manusia dan lingkungan geologi (Howari, 2003), mencakup:
1) Sifat dan komponen fisik bumi: batuan, tanah, air (fluida) dan mineral
2) Bentang alam (geomorfologi)
3) Proses-proses geologi yang mempengaruhi perkembangan geomorfologi,
seperti sedimentasi, tektonisme, aktifitas gunung api, erosi dan
pelapukan.
Sedangkan menurut Campbell (2002), disiplin ilmu geologi lingkungan sering
disebut juga sebagai geologi teknik (engineering geology).
Secara umum, menurut Keller (2000), geologi lingkungan merupakan salah
satu sistem pembelajaran dalam mencari hubungan antara budaya dan
lingkungan geologi.
Sistem pembelajaran tersebut meliputi tiga hal penting yaitu:
1) Bencana alam seperti banjir, longsoran, gunung api dan gempa bumi;
2) Sumber daya geologi seperti logam, batuan, minyak bumi dna air; dan
3) Permasalahan-permasalahan lingkungan, seperti penanganan sampah dan
kontaminasi air tanah.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa interaksi antara manusia terhadap alam
dalam geologi lingkungan, meliputi pemanfaatan sumber daya alam
(resources), dampak dari pemanfaatan sumber daya alam dan
penanggulangan dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan sumber
daya alam tersebut, serta manajemen dan mitigasi bahaya (potenzial
hazards) geologi (lingkungan geologi).
Penanggulangan dan pengaturan bencana sangat berguna mengingat
kebanyakan daerah urban (permukiman) terletak pada wilayah-wilayah
rawan bencana seperti bahaya gunung api, tsunami, gempa bumi, dan banjir.
Di sisi lain, wilayah-wilayah tersebut pun juga kaya akan sumber daya
geologi, sebagai implikasi dari tatanan tektoniknya. Sebagai contoh adalah
Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam, seperti bentang alam yang
landai, batuan (vulkanik), mineral, minyak bumi, energi panas bumi, air
tanah dan tanah yang subur. Hal itu berkaitan dengan posisinya yang
terletak pada zona tektonisme aktif, yaitu pada zona bujur vulkanisme dan
subduksi aktif. Konsekuensinya, kebanyakan wilayah Indonesia juga rawan
terhadap bencana alam, yaitu gempa bumi, tsunami, letusan gunung api dan
longsoran. Posisinya yang terletak pada garis khatulistiwa, memungkinkan
wilayah Indonesia memiliki curah hujan yang tinggi. Curah hujan yang tinggi
dengan penataan lingkungan yang tidak baik, telah menyebabkan banyak
wilayah Indonesia juga rawan terhadap bahaya banjir dan badai, sebagai
implikasi dari kondisi iklim.
Kebanyakan bencana geologi merupakan bencana alam yang tidak dapat
dicegah. Keberadaan Indonesia pada tatanan tektonik aktif didunia,
1

menjadikannya sangat sarat terhadap bencana geologi. Walaupun bencana


geologi tidak dapat dicegah, namun kejadiannya dapat dipelajari, sehingga
dampaknya dapat diminimalisir. Dengan manajemen penanggulangan
bencana yang memadai, jumlah korban jiwa dan kerugian yang
ditimbulkannya dapat dikurangi.
Metode manajemen penanggulangan bencana yang paling efektif adalah
dengan menyertakan masyarakat terlanda sebagai subyek pelaksana. Dalam
hal ini, pemerintah dan para stakeholder hanya merupakan fasilitator, yang
bertugas menggerakkan dan mendanai penanganan tanggap darurat.

1.2 Definisi Bencana, Bahaya dan Risiko


1.2.1 Bencana (Disaster)

Bencana (Disaster) sangat umum dijumpai di berbagai disiplin ilmu, dan


ke semua itu berkaitan dengan hubungan antara suatu proses baik yang di
akibatkan oleh kegiatan manusia maupun kejadian-kejadian secara alamiah,
dengan kerugian yang ditimbulkannya. Tidak semua definisi yang berkaitan di
dalamnya dapat berlaku secara umum.
Dalam Prehospital and Disaster Medicine, Frederick C. Cuny
mendefinisikan bencana sebagai suatu situasi (kondisi) tertentu yang
diakibatkan oleh suatu kejadian atau konflik dalam suatu lingkungan
(wilayah), sehingga menyebabkan kondisi tertekan (stress), luka / sakit pada
manusia, kerusakan fisik (harta benda), dan kerugian ekonomi yang sangat
besar. Perez and Thompson dalam seri bukunya Natural Disasters
mendefinisikan bencana (disaster) sebagai suatu proses yang berada pada
wilayah yang sangat luas.
Bencana secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu bencana alam
(natura disasters) dan bencana akibat perbuatan manusia (man-made
disasters). Pemicu bencana akibat perbuatan manusia biasanya disengaja,
seperti pencemaran lingkungan oleh limbah industri, kebakaran hutan untuk
lahan permukiman / pembukaan lahan pertanian / perkebunan, kerusuhan
sosial-politik dan perang.
Bencana alam geologi terdiri dari bencana erupsi gunung api, gempa
bumi, tanah longsor dan tsunami (Bronto, 1999b; 2001e). Ada juga bencana
geologi yang kejadiannya diawali oleh aktifitas manusia secara sengaja, yaitu
intrusi air laut akibat pemompaan air tanah yang berlebihan, banjir akibat
saluran / sungai yang tersumbat oleh tumpukan sampah, dan tanah longsor
akibat penebangan hutan dan pemotongan tebing tanpa terrasiring.
Pengambilan air tanah secara berlebihan tanpa mempertimbangkan
keseimbangan alam dan pembangunan gedung-gedung bertingkat tinggi,
juga dapat menyebabkan daya tahan batuan dan tanah untuk menyangga
berat bangunan menurun. Akibatnya, permukaan tanah turun (amblesan) dan
membentuk cekungan. Karena permukaan tanah disemen / ditutupi beton,
maka air hujan yang menggenang dalam cekungan tersebut tidak dapat
berinfiltrasi ke dalam tanah / batuan.

1.2.2 Risiko, Bahaya dan Vulnerability

Perkiraan jumlah dan kerugian, yaitu kerusakan dan kehilangan harta


benda, serta korban jiwa saat bahaya terjadi disebut risiko. Tilling (1989)
2

menentukan besarnya nilai risiko dengan: risk = (value) x (vulnerability) x


(hazard). Value adalah besarnya nilai objek bencana, meliputi jumlah korban
jiwa, nilai harta benda dan sarana / prasarana umum (bangunan sipil) dan
kapasitas berproduksi yang terancam. Vulnerability adalah proporsi atau
presentase nilai yang akan hilang di daerah bahaya apabila terlanda bencana.
Hazard (bahaya) adalah berbagai potensi bahaya yang mengancam suatu
daerah. Potensi bahaya tersebut dapat dipicu oleh kejadian alam (secara
ilmiah) maupun oleh aktifitas manusia. Semakin besar nilai objek bencana
dan semakin besar potensi bahaya yang ada maka nilai risikonya juga
semakin tinggi. Namun, selama bahaya tersebut tidak pernah menjadi
bencana (tidak terjadi) maka tidak disebut bencana alam, dan tidak ada
kerugian yang ditimbulkan. Contoh: daerah yang padat penduduknya dengan
kegiatan usaha / perekonomian yang bervariasi baik tingkat dan jenisnya,
memiliki nilai vulnerability bencana yang tinggi pula.
Penentuan dan penyusunan kawasan bahay baik geologi maupun nongeologi, baik alamiah maupun man-made, memiliki kepentingan dalam
pengembangan program mitigasi bencana (preventif).

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1

Manajemen Penanggulangan Bencana

Bencana alam geologi merupakan salah satu jenis bencana yang harus
ditanggulangi dalam rangka menyelamatkan jiwa manusia, harta benda serta
lingkungan hidup. Menurut Carter (1992) manajemen penanggulangan
bencana (disaster management) adalah an applied science wich seeks, by the
systematic observation and analysis of disasters, to improve measures
relating to prevention, mitigation, preparedness, emergency response and
recovery (suatu ilmu terapan yang berupaya untuk meningkatkan usaha
penanggulangan melalui pengamatan secara sistematis dan analisis berbagai
macam bencana berupa tindakan pencegahan, mitigasi, kesiap-siagaan,
tanggap darurat dan rehabilitasi). Manajemen penanggulangan bencana ini
sangat penting artinya karena dengan adanya manajemen bencana maka
penanggulangan bencana dapat diorganisir dengan baik, rapi, tertib dan
lancar.
Bencana alam di wilayah Negara Kepulauan Republik Indonesia adalah
suatu fenomena yang akan terus menjadi persoalan bagi segenap lapisan
masyarakat. Sebab secara geotektonik Indonesia merupakan suatu kawasan
dunia yang hyper aktif karena dikepung oleh zona-zona tumbukan Lempeng
Benua Eurasia dengan Lempeng Samudra India, serta didorong oleh Lempeng
Samudra Pasifik yang memancung Lempeng Australia. Di samping itu
Kepulauan Indonesia juga dililit oleh dua jalur utama gunung api dunia, yaitu
jalur vulkanis Mediterania dari sebelah barat dan lintasan gunung api Sirkum
Pasifik di bagian timur.
Gerak dan dinamika elemen-elemen geotektonik di atas berpotensi
melahirkan bencana alam besar: gempa bumi, tsunami, gunung meletus,
semburan atau lelehan produk gunung api, banjir lahar, tanah longsor, badai,
banjir bandang, dan lain-lain. Hal tersebut diperparah lagi oleh ulah manusia
yang mengeksploitasi sumber daya alam; khususnya sumber daya hutan,
mineral dan bahan galian yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip
kelestarian lingkungan dan strategi pembangunan yang berkelanjutan.

2.1.1 Siklus Manajemen Penanggulangan Bencana

Anonim (Bakornas PBB, 2005) menyatakan bahwa peran pemerintah


dalam usaha dan upaya penanggulangan bencana alam secara nasional
meliputi kegiatan yang bersifat prevensi, mitigasi, kesiap-siagaan, tanggap
darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Keenam aktifitas dimaksud lazim
disebut Siklus Penanggulangan Bencana. Siklus Penanggulangan Bencana
tersebut dibagi menjadi 3 kelompok aktifitas utama, yaitu Kegiatan
Prabencana, (Saat) Bencana, dan Pascabencana.
Pertama, masa prabencana atau disebut juga sebagai fase penyadaran
(awaranse) akan bencana, berbagai program hasil kolaborasi strategis antara
CMT dan CSRT secara terencana dan teririgasi dapat dilakukan, antara lain:
4

(1) pemberdayaan sumber daya manusia baik pekerja beserta keluarganya,


maupun masyarakat sekitar melalui pembuatan dan penyebaran leaflet dan
poster-poster tematis yang bersifat penumbuhan kesadaran masyarakat
terhadap potensi, jenis dan sifat bencana yang berada di balik kemo-lekan
lingkungan tempat mereka bermukim; (2) peningkatan pengetahun para
stakeholders tentang bencana, mekanisme quick respons, langkah-langkah
resque yang perlu, cepat dan tepat untuk meminimalisasi korban, menekan
kerugian harta/benda, serta upaya-upaya mempertahankan tingkat produksi;
(3) perencanaan pengembangan daerah dan pertumbuhan tata ruang dilokasi
ladang-ladang Migas dan wilayah sekitarnya; (4) pelestarian lingkungan.
Kedua, kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan saat bencana terjadi
adalah tindakan yang ditujukan dalam rangka antisipasi/respon secara
langsung. Kegiatan tersebut meliputi pemberian bantuan sebagai tindakan
tanggap darurat, yaitu: penyediaan (1) sarana berlindung, rumah/barak
penampungan, kemah, payung, jas hujan, jaket/baju tebal, selimut; (2) sarana
kesehatan diri (obat-obatan dan donor darah) dan kesehatan lingkungan
(sanitasi, air bersih da MCK di tempat pengungsian); (3) sandang dan
pangan/dapur
umum;
(4)
peralatan
sekolah
dan
olahraga;
(5)
perlengkapan/peralatan ibu-ibu hamil, bayi dan jompo, dan lain-lain. Kegiatan
konseling diberikan untuk menyejukkan hati para korban, mengurangi
dampak psikologis yang bersifat traumatis, dan penumbuhan optimisme.
Ketiga, agenda pada fase pasca bencana. Situasi pasca bencana yang
disebut juga sebagai periode recovery didominasi program-program yang
bersifat rekonstruksi dan rehabilitas. Sinergisitas CMT dan CSRT difokuskan
pada kegiatan-kegiatan dalam bentuk pembangunan kembali infrastruktur,
terutama fasilitas-fasilitas produksi, infrastruktur sosial dan sarana umum
yang rusak akibat bencana. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain meliputi
(1) rehabilitasi berbagai fasilitas produksi seperti pompa-pompa, generator,
flow line, stasiun pengumpul, dan lain-lain; (2) pembangunan kembali fasilitas
kantor, dan sarana pendukung operasi lainnya; (3) rehabilitasi perumahan
pekerja, jalan, sekolah, rumah ibadah, saluran sanitasi, dan sebagainya; (4)
pembangunan sarana kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan; (5)
pemberdayaan korban bencana; (6) bantuan pelayanan rehabilitasi mental
dan cacat; (7) repatriasi korban yang tercerai-berai dari keluarganya; (8)
pemberdayaan ekonomi dan sosial kebudayaan korban; dan lain-lain.
Penanggulagan bencana ini dibagi menjadi enam kelompok, yaitu:
1) Pada saat terjadi bencana (disaster impact quick response),
2) Rehabilitasi (recovery),
3) Rekonstruksi (development)
4) Pencegahan (prevention),
5) Mitigasi dan kesiapsiagaan (preparadness).

2.1.2 Usaha Mitigasi Bencana

Usaha mitigasi bencana yang dapat dilakukan ditentukan oleh jenis dan
lokasi bencana, kepadatan penduduk yang terlanda bencana dan sarana dan
prasarana yang tersedia (Anonim 2005: Bakornas). Dalam hal ini, Anonim
(2005 melalui Bakornas) menentukan jenis-jenis bencana yang termasuk
bencana geologi meliputi gempa bumi, badai gelombang pantai, angin badai,
5

tsunami, banjir, letusan gunung api, dan gerakan massa. Masing-masing


bencana geologi memiliki sifat tertentu, serta kondisi geologi tertentu pula,
sehingga penanganannya pun tertentu. Namun, manajemen tanggap
daruratnya secara umum sama.
A. Gempa bumi
1) Kajian gempa bumi
1. Kajian mengenai kejadian-kejadian gempa bumi di masa lalu dan
pencatatan ukuran dan dampak bencana secara akurat.
2. Kajian mengenai kemungkinan pengulangan kejadian gempa bumi di
tempat yang sama.
3. Identifikasi sistem patahan dan pemetaan daerah rawan gempa bumi.
2) Gejala dan peringatan dini
1. Kejadian mendadak
2. Belum ada metode untuk pendugaan secara akurat.
3) Parameter; secara umum parameter gempa bumi terdiri dari:
1. Waktu kejadian gempa bumi (jam, menit, detik)
2. Lokasi pusat gempa bumi dipermukaan bumi/episenter (koordinat
lintang dan bujur), kedalaman sumber gempa bumoi (km),
kekuatan/magnitudo gempa bumi (skala richter) dan intensitas gempa
bumi (MMI)
4) Upaya mitigasi dan pengurangan bencana gempa bumi yang dapat
dilakukan adalah:
B. Badai Gelombang Pantai
Gejala dan peringatan dini yang dapat diamati meliputi pemantauan gejala
sistim konvergensi tekanan rendah. Gejala tersebut dapat berkembang menjadi
Tropical Depresi dan tumbuh menjadi Tropical Siklon.
Parameter:
1. Tinggi gelombang (meter).
2. Panjang sapuan gelombang ke daratan (m atau km).
3. Luas daerah yang terkena saouan gelombang (km 2).
Komponen yang Terancam
1. Struktur bangunan yang ringan atau perumahan yang terbuat dari
kayu.
2. Bangunan-bangunan sementara atau semi permanen.
3. Bangunan-bangunan yang dimensi lebarnya sejajar dengan garis
pantai.
4. Jembatan dan jalan di daerah dataran pantai.
5. Sawah, ladang, tambak, kolam budidaya perikanan.
Upaya Mitigasi dan Pengurangan Bencana
1. Reklamasi pantai.
2. Pembangunan pemecah ombak (break water).
3. Penataan bangunan disekitar pantai.
4. Pengembangan kawasan hutan bakau.
5. Pembangunan tembok penahan ombak.
C. Angin Badai
Angin badai adalah pusaran angin kencang dengan kecepatan angin 120
km/jam atau lebih yang sering terjadi di wilayah tropis di antara garis balik
utara atau selatan, kecuali di daerah-daerah yang snagat dekat dengan
khatulistiwa.

1) Penyebab: angin kencang ini disebabkan oleh perbedaan tekanan dalam


suatu sistem cuaca. Angin paling kencang yang terjadi di daerah tropis
ini umumnya berpusar dengan radius kilometer di sekitar daerah sistem
tekanan rendah yang ekstrem.
2) Mekanisme Perusakan: tekanan dan hisapan dari tenaga angin meniup
selama beberapa jam. Tenaga angin yang kuat dapat merobohkan
bangunan.
3) Kajian Bahaya: data kecepatan dan arah angin dari stasiun dan satelit
meteorologi memberikan informasi tentang kuat dan pola pergerakan
angin di suatu daerah.
4) Gejala dan Peringatan Dini: badai tropis dapat terjadi secara mendadak,
tetapi sebagian besar badai tersebut terbentuk melalui suatu proses
selama beberapa jam atau hari yang dapat diikuti melalui satelit cuaca.
5) Parameter: skala kecepatan angin digunakan untuk mengukur atau
mengkasifikasikan kekuatan badai diusulkan oleh Hebert Saffir yang
dikenal dengan skala Saffir-Simpson (Tabel X1). Skala ini mempunyai
tingkatan 1 sampai dengan 5.
Tabel X1. Klasifikasi skala angin badai Saffir-Simpson (Anonim, 2007).
Tingkat/level
1
2
3
4
5

Kecepatan angin
km/jam
120-153
154-177
178-209
210-249
>250

Tingkat kerusakan
Sedikit
Sedang
Luas
Hebat
Sangat hebat

6) Upaya mitigasi dan pengurangan bencana:


- Struktur bangunan yang memenuhi syarat teknis untuk mampu
bertahan terhadap gaya angin
- Perlunya penerapan aturan standar bangunan yang memperhitungkan
beban angin khususnya di daerah yang rawan angin badai
- Penghijauan di bagian atas arah angin untuk meredam gaya angin
- Pembangunan rumah yang tahan angin
- Kesiapsiagaan dalam menghadapi angin badai, mengetahui cara
penyelamatan diri
- Untuk para nelayan, supaya menambatkan atau mengikat kuat kapalkapalnya
D. Tsunami
Telah diketahui bersama bahwa tsunami yang pernah terjadi di Indonesia
dipicu oleh gempa bumi dan letusan gunung api. Langkah penanggulangan
bencana yang dapat dilakukan harus disesuaikan dengan parameterparameternya, serta kondisi geomorfologi daerah terlanda.
1) Parameter
Ketinggian tsunami yang naik ke daratan (run-up). Run-up tertinggi di
Indonesia yang pernah ada 36 m akibat letusan Gunung Krakatau
1883.
Panjang sapuan tsunami ke daratan (m atau km).
Luas daerah yang terkena sapuan gelombang (km 2).
2) Peringatan Dini
7

Gelombang air laut datang secara mendadak dan berulang dengan


energi yang sangat kuat
Kejadian mendadak dan pada umumnya di Indonesia didahului dengan
gempa bumi besar dan susut laut.
Ada selang waktu antara terjadinya gempa bumi pemicu tsunami dan
waktu tiba tsunami di pantai mengingat kecepatan gelombang gempa
jauh lebih besar dibandingkan kecepatan tsunami.
Metode untuk pendugaan secara cepat dan akurat memerlukan
teknologi tinggi.
Di Indonesia pada umumnya tsunami terjadi dalam waktu kurang dari
40 menit setelah terjadinya gempa bumi besar di bawah laut.
3) Upaya Mitigasi dan Pengurangan Bencana
Peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap bahaya
tsunami.
Pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya tsunami.
Pembangunan Tsunami Early Warning System (TEWS).
Pembangunan tembok penahan tsunami pada garis pantai yang
berbeda.
Penanaman di sepanjang garis pantai untuk meredam gaya air
tsunami.
Pembangunan rumah yang tahan terhadap bahaya tsunami.
Memahami cara penyelamatan jika terlihat tanda-tanda tsunami.
Meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi
tsunami.
Melengkapi diri dengan alat komunikasi.
E. Banjir
Banjir yang disebabkan oleh hujan lebat yang melebihi kapasitas penyaluran
sistem pengaliran air yang terdiri dari sistim pengaliran air yang terdiri dari
sistem sungai yang alamiah dan sistim drainase buatan manusia. Banjir yang
disebabkan meningkatnya muka air di sungai sebagai akibat pasang laut
maupun meningginya gelombang laut akibat badai.
Banjir yang disebabkan oleh kegagalan bangunan air buatan manusia seperti
bendungan, bendung, tanggul, dan bangunan pengendalian bangunan. Banjir
akibat kegagalan bendungan alam atau penyumbatan aliran sungai akibat
runtuh/longsornya tebing sungai. Contoh kasus banjir bandang jenis ini terjadi
pada banjir di Bahorok, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatra Utara.
a) Kajian bahaya
Rekaman atau catatan kejaadian bencana yang telah terjadi
memberikan indikasi awal akan datangnya banjir dimasa yang akan
datang atau dikenal dengan banjir periodik (tahunan, lima tahunan,
sepuluh tahunan, lima puluh tahunan atau seratus tahunan).
Data curah hujan untuk menghitung kemungkinan kelebihan beban
atau terlampauinya kapasitas penyaluran sistim pengaliran air.
b) Gejala dan peringatan dini
Curah hujan yang tinggi pada waktu yang lama merupakan peringatan
akan datangnya bencana banjir didaerah rawan bencana banjir.

Tingginya pasang laut yang disertai badai mengindikasikan akan


datangnya bencana banjir beberapa jam kemudian terutama untuk
daerah yang dipengaruhi pasang surut.
c) Parameter
Luas genangan (km2, hektar).
Kedalaman atau ketinggian air banjir (meter).
Kecepatan aliran (meter/detik, km/jam).
Material yang dihanyutkan aliran banjir (batu, bongkahan, pohon, dan
benda keras lainnya).
Tingkat kepekatan air atau tebal endapan lumpur (meter, centimeter).
Lamanya waktu genangan (jam, hari, bulan).
d) Upaya mitigasi dan pengurangan bencana
Upaya Mitigasi Non Struktural: Pembentukan Kelompok Kerja (POKJA)
beranggota SATLAK --- infrastruktur; memonitor dan mengevaluasi
data curah hujan, banjir dan daerah genangan; menyiapkan peta
daerah rawan banjir; mengecek dan menguji sarana sistim peringatan
dini;
membentuk
jaringan
lintas
instansi/sektor
dan
LSM;
melaksanakan pendidikan masyarakat dan pemetaan ancaman banjir
dan risiko; dan lain-lain.
Upaya Mitigasi Struktural: Pembangunan tembok penahan dan
tanggul; Pengaturan kecepatan aliran dan debit air permukaan;
Pengerukan sungai; Pembuatan sudetan.
Peran serta Masyarakat: aspek penyebab dan partisipatif
F. Letusan gunung api
1) Berdasarkan waktu kejadian, dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu:
1. Bahaya jangka panjang, terjadi sekali dalam 100 tahun, contoh: G.
Agung di P. Bali, Mt. St. Helens di Amerika Serikat, Mt. Pinatubo di
Filipina dan Mt. Unzen di Jepang.
2. Bahaya jangka menengah, terjadi sekali dalam 50-100 tahun, contoh:
G. Kie Besi di Maluku Utara.
3. Bahaya jangka pendek, kalau kegiatan gunung api yang
membahayakan terjadi paling tidak satu kali dalam waktu 10-50
tahun, misalnya Gunung Kelud di Jawa Timur dan G. Gamalama di
Ternate, Maluku Utara.
4. Bahaya jangka sangat pendek, bila kegiatannya sangat sering, sekali
setiap 10 tahun. Contoh: G. Merapi di Jawa Tengah, G. Semeru di Jawa
Timur, G. Lokon dan G. Karangetang di Sulawesi Utara.
2) Gejala dan peringatan dini
Status Kegiatan Gunung Api:
- Aktif-Normal (level 1): kegiatan gunung api baik secara visual,
maupun dengan instrumentasi tidak ada gejala perubahan kegiatan
- Waspada (level 2): berdasarkan hasil pengamatan visual dan
instrumentasi mulai terdeteksi gejala perubahan kegiatan, misalnya
jumlah gempa vulkanik, suhu kawah (solfatara/fumarola) meningkat
dari nilai normal
- Siaga (level 3): kenaikan kegiatan semakin nyata. Hasil pantauan
visual dan seismik berlanjut didukung dengan data dari instrumentasi
lainnya
9

Awas (level 4): semua data menunjukkan bahwa letusan utama


segera menjelang. Letusan-letusan asap/abu sudah mulai terjadi
Mekanisme Pelaporan:
- Aktif-Normal: setiap dua kali sehari dilaporkan kegiatan gunung api
dari Pos PGA ke Kantor DVMBG melalui radio SSB. Laporan bulanan
disampaikan oleh Pengamat Gunung Api ke Kantor DVMBG
ditembuskan kepada Pemprov dan PemKab.
- Waspada: selain laporan harian dan laporan bulanan dibuat laporan
mingguan disampaikan kepada Kepala Badan Geologi.
- Siaga dan Awas: Tim Tanggap Darurat membuat laporan harian dan
evaluasi mingguan disampaikan kepada Direktur DVMBG ditembuskan
kepada Kepala Badan Geologi, Pemprov/PemKab, Bakornas PB, dan
Direktorat Keselamatan Penerbangan.
3) Usaha mitigasi yang dapat dilakukan secara fisik dan non fisik.
1. Usaha secara fisik antara lain:
Pembangunan dam/tanggul pengendali lahar serta pembuatan
kantong-kantong lahar.
Pembuatan alat peringatan dini (sirene, kentongan dll) yang
ditempatkan di kawasan rawan bencana.
Pembangunan
barak-barak
pengungsian,
petunjuk
arah
pengungsian dan papan-papan informasi tentang kebencanaan di
daerah rawan bencana.
Pembuatan rumah bawah tanah (rumah pendam atau bunker)
untuk menyelamatkan diri dari hujan abu dan lontaran batu.
Latihan penanggulangan bencana secara berkala oleh anggota
masyarakat di kawasan rawan bencana.
2. Usaha penanggulangan bencana secara non fisik antara lain:
Penelitian bencana gunung api untuk menilai potensi bahaya yang
akan datang (volcanic hazard assesment).
Pembuatan peta kawasan rawan bencana gunung api.
Pemantauan (pengamatan/monitoring) kegiatan gunung api.
Pembakuan dan pemberlakuan prosedur tetap sistim peringatan
dini.
Penyuluhan terhadap masyarakat di kawasan rawan bencana,
secara langsung, melalui media cetak maupun elektronika.
Pembuatan rumah beratap seng dengan kemiringan tajam untuk
menghindari menumpuknya endapan jatuhan abu yang dapat
berakibat ambruknya atap rumah.
Penataan kembali tata ruang wilayah rawan bencana
G. Gerakan massa
a) Kajian bahaya
1) Identifikasi morfologi dan endapan-endapan longsor masa lalu dengan
metode
geologi
teknik/geoteknik,
untuk
memperhitungkan
kemungkinan kejadian longsor kembali yang mengancam permukiman
atau prasarana penting.
2) Identifikasi faktor pengontrol yang dominan mengganggu kestabilan
lereng, serta kemungkinan faktor pemicu seperti gempa bumi,
badai/hujan deras, dan sebagainya.
3) Pemetaan topografi untuk mengetahui tingkat kelerengan.
10

b)

c)

d)

e)

4) Pemetaan geologi untuk mengetahui stratigrafi lereng, mengetahui


jenis tanah dan batuan penyusun lereng dan sifat keteknikannya, serta
mengetahui sebaran air tanah.
5) Pemetaan geohidrologi untuk mengetahui kondisi air tanah.
6) Pemetaan tingkat kerentanan gerakan massa tanah/longsoran dengan
cara mengakomodasikan atau menampalkan hasil penyelidikan di
point 1) dan 2), serta hasil pemetaan di point 3), 4) dan 5).
Gejala dan peringatan dini
1) Muncul retakan memanjang atau lengkung pada tanah atau pada
konstruksi bangunan, yang biasa terjadi setelah hujan.
2) Terjadi penggembungan pada lereng atau pada tembok penahan.
3) Tiba-tiba pintu atau jendela rumah sulit dibuka, kemungkinan akibat
deformasi bangunan yang terdorong oleh massa tanah yang bergerak.
4) Tiba-tiba muncul rembesan atau mata air pada lereng.
5) Apabila pada lereng sudah terdapat rembesan air/mata air, air
tersebut tiba-tiba menjadi keruh bercampur lumpur.
6) Pohon-pohon atau tiang-tiang miring searah dengan kemiringan
lereng.
7) Terdengar suara gemuruh atau suara ledakan dari atas lereng.
8) Terjadi runtuhan atau aliran butir tanah/kerikil secara mendadak dari
atas lereng.
Parameter
Volume material yang bergerak/longsor (m3)
Luas daerah yang terkubur (m2)
Kecepatan gerakan (cm/hari, m/jam)
Ukuran bongkah batuan (diameter, berat, volume)
Jenis dan intensitas kerusakan (rumah)
Jumlah korban (jiwa)
Komponen yang terancam
Permukiman yang dibangun pada lereng yang terjal dan tanah yang
lunak, atau dekat tebing sungai.
Permukiman yang dibangun dibawah lereng yang terjal.
Pegunungan diatasnya (dekat dengan pegunungan/perbukitan), rawan
terhadap banjir bandang.
Jalan dan prasarana komunikasi yang melintasi lembah dan
perbukitan.
Bangunan tembok.
Bangunan dengan fondasi yang lemah.
Utilitas bawah tanah, pipa air, pipa gas dan pipa kabel.
Upaya mitigasi dan pengurangan bencana
Hindarkan daerah rawan bencana untuk pembangunan permukiman
dan fasilitas utama lainnya.
Mengurangi tingkat keterjalan lereng.
Pembuatan bangunan penahan, jangkar (anchor) dan pilling.
Khusus untuk aliran butir dapat diarahkan dengan pembuatan saluran.
Pengenalan daerah yang rawan longsor.
Identifikasi daerah yang aktif bergerak, dapat dikenali dengan adanya
rekahan berbentuk ladam (tapal kuda).
Dalam beberapa kasus relokasi sangat disarankan.
11

2.2

Organisasi Penanggulangan Bencana

2.3

Penilaian Potensi Bahaya

2.4

Pemetaan Kawasan Rawan Bencana

Berdasarkan keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 1999, sebagai


pengelola manajemen bencana di tingkat pusat adalah Ketua Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB) yang
merangkap sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan
Pengentasan Kemiskinan. Sebagai anggota adalah para menteri yang terkait
dengan penanggulangan bencana serta Gubernur Kepala Daerah yang
daerahnya terkena bencana.
Pada tingkat propinsi organisasi penanggulangan bencana disebut Satuan
Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satkorlak PB) yang diketuai
oleh Gubernur. Sebagai anggota adalah instansi/dinas pemerintah propinsi,
komando teritorial dan organisasi sosial kemasyarakatan di propinsi itu.
Pada tingkat kabupaten atau kota organisasi penanggulangan bencana
dinamakan Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) yang
diketuai oleh Bupati atau Walikota. Sebagai anggota adalah dinas pemerintah
daerah, komando teritorial dan organisasi sosial-kemasyarakatan di daerah
tersebut. Pada tingkat kecamatan dan desa organisasi penanggulangan
bencana dinamakan Satuan Tugas Penanggulangan Bencana (Satgas PB).
Penilaian atau perkiraan terhadap potensi bahaya geologi (longsoran,
amblesan, letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, banjir dan lain-lain)
merupakan suatu studi secara terpadu untuk mengetahui berbagai jenis
bahaya geologi, intensitas bahaya, arah, sebaran, jangkauan, dan jika
mungkin waktu kejadian, serta saran usaha penanggulangannya. Untuk
menilai potensi bahaya diperlukan data geologi selengkap-lengkapnya, yang
didukung juga oleh data geofisika, geokimia, klimatologi, monitoring dan
sosial-kependudukan. Data geomorfologi yang mencakup bentuk bentang
alam dan pola aliran sangat menunjang dalam memperkirakan arah gerakan
bahan aliran gravitasi, seperti halnya awan panas, aliran lava dan banjir
lahar.
Data stratigrafi, sedimentologi dan petrologi sangat berperan untuk
mengetahui evolusi dan karakter proses geologi. Data struktur geologi
berguna untuk mengetahui daerah-daerah yang lemah yang mungkin terjadi
deformasi muka tanah, kemunculan gas beracun, terjadi lubang letusan baru
dan sebagainya. Data geofisika, geokimia dan pemantauan sangat
bermanfaat untuk mengetahui tingkat kegiatan magma di bawah gunung api
dan memperkirakan besarnya letusan yang akan terjadi. Data klimatologi
sangat bermanfaat dalam mendukung analisis penanggulangan longsoran,
banjir bandang dan banjir lahar. Data sosial-penduduk sangat diperlukan
dalam rangka pemberdayaan masyarakat di daerah bencana untuk bersamasama dengan pemerintah dan masyarakat lainnya melakukan usaha
penanggulangan bencana.
Peta kawasan rawan bencana adalah peta petunjuk tingkat kerawanan
bencana suatu daerah apabila terjadi bencana yang berhubungan dengan
proses geologi. Sebelumnya peta ini disebut peta daerah bahaya gunung api.
Peta ini menjelaskan tentang jenis dan sifat bahaya gunung api, daerah
rawan bencana, arah/jalur penyelamatan diri, lokasi pengungsian dan pos
penanggulangan bencana.
Secara garis besar kawasan rawan bencana gunung api ini dibagi menjadi
kawasan rawan bencana I, kawasan rawan bencana II dan kawasan rawan
12

bencana III. Kawasan rawan bencana I ini dibedakan menjadi dua berdasar
sifat bahayanya, yaitu:
a. Kawasan rawan bencana terhadap aliran massa, berupa lahar, banjir,
longsoran, dan kemungkinan perluasan awan panas dan lava, apabila
intensitas letusannya membesar.
b. Kawasan rawan bencana terhadap hujan abu tanpa memperhatikan arah
tiupan angin dan kemungkinan perluasan lontaran batu (pijar) pada saat
letusan gunung api.
Di kawasan rawan bencana I, masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan
jika terjadi erupsi/letusan gunung api dan atau hujan lebat, melaporkan
kejadian bahaya yang mengancam keselamatan jiwa dan kerusakan harta
benda sambil menunggu instruksi dari pemerintah daerah, sesuai ketentuan
yang berlaku.
Kawasan rawan bencana II adalah kawasan yang berpotensi terlanda awan
panas, aliran lava, lontaran atau guguran batu (pijar), aliran lahar dan gas
beracun. Kawasan II ini juga dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Kawasan rawan bencana terhadap aliran massa berupa awan panas,
aliran lava, guguran batu (pijar), aliran lahar dan gas beracun.
b. Kawasan rawan bencana terhadap bahan lontaran batu (pijar), hujan abu
(lebat), dan hujan lumpur (panas).
Pada kawasan rawan bencana II ini masyarakat diharuskan mengungsi jika
terjadi peningkatan proses geologi yang mengancam keselamatan jiwa dan
akan melanda daerah pemukiman mereka. Penduduk dapat kembali apabila
daerah bencana sudah dinyatakan aman kembali.
Kawasan rawan bencana III adalah kawasan yang sering terlanda awan
panas, aliran lava, lontaran atau guguran batu (pijar), dan gas beracun. Pada
kawasan rawan bencana III ini tidak direkomendasikan untuk pemukiman
tetap dan pada saat proses geologi meningkat maka masyarakat umum
dilarang untuk melakukan kegiatan apapun yang mengancam keselamatan
jiwa mereka.
Peta kawasan rawan bencana gunung api tersebut hanya berlaku untuk
kegiatan-kegiatan berskala kecil sampai menengah. Nilai indeks letusan
gunung api (VEI) lebih kecil atau sama dengan 3 dengan tipe letusan
sebesar-besarnya adalah Tipe Volkano. Peta tersebut tidak berlaku apabila
terjadi penyimpangan dari ketentuan tersebut, misalnya letusan membesar
mengarah ke pembentukan kaldera, atau titik letusan berpindah atau
membentuk lubang letusan baru.

2.5

Pemantauan Bencana Geologi

Tujuan utama pemantauan bencana geologi adalah untuk memperkirakan


intensitas bencana yang akan terjadi melalui model atau skenario bencana
geologi tersebut. Perkiraan tersebut mencakup:
1. Mendeteksi adanya peningkatan kegiatan atau procursor melalui data
hasil pengamatan harian, adanya deformasi, adanya rayapan massa atau
hasil pemantauan iklim dan cuaca dari BMG.
2. Memperkirakan waktu dan besaran kegiatan awal dan kegiatan puncak
dari kegiatan sebelumnya (gempa, letusan gunung api, longsoran).
Metode yang digunakan adalah melalui analisis deterministik kejadian
sebelumnya dan probabilistik untuk memprediksi potensi kejadian serupa
di masa datang.
3. Memperkirakan luasan daerah yang akan terlanda dan jenis ancaman
bahaya. Hal itu untuk mempersiapkan sedini mungkin, agar masyarakat
waspada setiap saat.

13

Pemantauan kegiatan geologi dilaksanakan melalui pos-pos pengamatan


yang didirikan di kawasan rawan Bencana Geologi (Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi), Badan Geologi, Departemen Energi dan
Sumberdaya Mineral. Pemantauan kegiatan geologi tersebut dilakukan
secara visual dan instrumental. Pemantauan secara visual melalui
pengamatan secara langsung terhadap perilaku proses geologi dari waktu ke
waktu. Sebagai contoh dalam memantau kegiatan gunung api: yaitu
pengamatan visual perubahan fisik puncak gunung api, perubahan fisik gas
meliputi warna asap, tinggi kolom asap, arah sebaran asap atau gunung api
dan lain-lain. Pemantauan secara instrumental adalah monitoring dengan
menggunakan berbagai macam peralatan berdasarkan disiplin ilmu geologi,
geofisika dan geokimia. Berdasarkan ilmu geologi maka obyek yang diamati
antara lain perkembangan volume kubah lava, aliran lava, intensitas
perekahan/sesar, komposisi bahan padat.

2.6

Contoh Sistim Peringatan Dini pada Pemantauan Kegiatan


Gunung Api

Untuk memberikan peringatan dini dan usaha penyelamatan diri anggota


masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana gunung api maka dibuat
kriteria tingkat proses geologi di Indonesia (Tabel X.2).
Tabel X.2. Kriteria tingkat proses geologi dan kewaspadaan masyarakat.
Tingkat proses geologi
Tingkat kewaspadaan masyarakat
Aktif normal (Tingkat I)
Keadaan aman sehingga
Proses geologi berdasarkan
masyarakat yang berada di
pengamatan dari visual, kegempaan
kawasan rawan bencana dapat
dan gejala gunung api lainnya tidak
melakukan kegiatan sehari-hari
memperlihatkan adanya kelainan
dengan tenang, tidak ada
atau berlangsung normal.
kekhawatiran bahwa gunung api itu
membahayakan.
Waspada (Tingkat II)
Masyarakat yang berada di
Terjadi peningkatan kegiatan berupa
kawasan rawan bencana harus
kelainan yang tampak secara visual
meningkatkan kewaspadaan
atau hasil pemeriksaan kawah,
terhadap kemungkinan terjadinya
kegempaan dan gejala vulkanik
bencana sambil menunggu perintah
lainnya.
lebih lanjut dari pimpinan
pemerintah daerah setempat.
Kewaspadaan masyarakat tersebut
berupa peningkatan penjagaan
(ronda/siskamling), perbaikan pos
jaga, perbaikan jalan/rute
pengungsian, penyediaan alat
peringatan (kentongan,
loudspeaker, bedug, sirine) dll.
Pemerintah daerah dan instansi
terkait mulai memberikan
penyuluhan, merencanakan
pengadaan bahan/peralatan dan
fasilitas lain yang diperlukan untuk
usaha penyelamatan dan
pengungsian.
Siaga (Tingkat III)
Masyarakat di kawasan bencana
Peningkatan kegiatan semakin nyata, harus mensiagakan diri secara lebih
hasil pengamatan visual/pemeriksaan intensif, misalnya penjagaan
kawah, kegempaan dan metode lain
diperketat, tidak bekerja di dalam
14

saling mendukung. Berdasarkan


analisis, perubahan kegiatan
cenderung diikuti letusan.

Awas (Tingkat IV)


Menjelang letusan utama, letusan
awal berupa abu/asap mulai terjadi.
Berdasarkan analisis data
pengamatan akan diikuti letusan
utama.

lembah sungai atau puncak gunung


yang mungkin akan terlanda
bahaya gunung api, serta
mensiagaan barang-barang
keperluan pribadi yang mudah
dibawa lari menyelamatkan diri
atau mengungsi. Pemerintah
daerah dan instansi terkait
mensiagakan sarana dan prasarana
untuk penyelamatan dan
pengungsian, misalnya alat
transportasi, sirine/alarm, barak
pengungsian, tenda, alat masal dll.
Penyuluhan masalah bencana
kepada masyarakat agar
ditingkatkan.
Sesuai perintah pemimpin
pemerintah daerah masyarakat di
kawasan rawan bencana harus
mengungsi. Aparat pemerintah
daerah dan instansi terkait
membantu memperlancar dan
mempercepat pengungsian menuju
barak-barak yang disediakan sesuai
rute yang sudah ditentukan.

15

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Geologi berasal dari kata geo yang berarti bumi dan logos yang berarti
pengetahuan, jadi dapat disimpulkan bahwa geologi adalah ilmu yang
mempelajari dan menyelidiki lapisan-lapisan batuan yang ada dalam kerak
bumi. Geologi juga dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang susunan
unsur-unsur bumi serta bentuk dari bumi.
Kebanyakan bencana geologi merupakan bencana alam yang tidak dapat
dicegah.

Keberadaan

indonesia

pada

tatanan

tektonik

aktif

didunia,

menjadikannya sangat sarat terhadap bencana geologi, dimulai dari gempa


bumi, longsoran, letusan gunung api, tsunami dan banjir. Walaupun bencana
geologi tidak dapat dicegah, namun kejadiannya dapat dipelajari, sehingga
dampaknya
bencana

dapat

yang

diminimalisir.

memadai,

Dengan

jumlah

korban

manajemen
jiwa

dan

penanggulangan
kerugian

yang

ditimbulkannya dapat dikurangi.

16

Anda mungkin juga menyukai