Anda di halaman 1dari 11

Disaster Management dan Peran Perawat Pada

Disaster Management

A. Disaster Management dan Peran Perawat Pada Disaster Management

1. Manajemen Bencana

a. Pengertian
Manajemen bencana adalah proses yang sistematis dimana didalamnya
termasuk berbagai macam kegiatan yang memenfaatkan kemampuan dari
kebijakan pemerintah, kemampuan komunitas dan individu untuk menyesuaikan
diri dalam rangka meminimalisir kerugian. Tujuan manajemen bencana pada
berbagai fasilitas kesehatan medis adalah memelihara lingkungaan yang aman dan
terus memberikan pelayanan dasar pada saat bencana (Japanese Red Cross
Society & PMI, 2009, p. 13).

b. Tujuan
Menurut Warfield, manajemen bencana mempunyai tujuan:
1) Mengurangi, atau mencegah kerugian karena bencana
2) Menjamin terlaksananya bantuan yang segera dan memadai terhadap korban
bencana, dan
3) Mencapai pemulihan yang cepat dan efektif.

c. Model Manajemen Bencana


Menurut Sambodo (2012), terdapat lima model manajemen bencana, yaitu:

1) Disaster management continuum model


Model ini mungkin merupakan model yang paling popular karena terdiri
dari tahap-tahap yang jelas sehingga lebih mudah diimplementasikan. Tahap-
tahap manajemen bencana di dalam model ini
meliputi emergency, relief, rehabilitation,reconstruction, mitigation, preparednes
s, dan early warning.
2) Pre-during-post disaster model
Model manajemen bencana ini membagi tahap kegiatan di sekitar bencana.
Terdapat kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan sebelum bencana, selama
bencana terjadi, dan setelah bencana. Model ini seringkali digabungkan
dengan disaster management continuum model.

3) Contract-expand model
Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-tahap yang ada pada manajemen
bencana
(emergency, relief, rehabilitation,reconstruction, mitigation, preparedness,
dan early warning) semestinya tetap dilaksanakan pada daerah yang rawan
bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak bencana adalah pada saat
bencana tahap tertentu lebih dikembangkan (emergency dan relief) sementara
tahap yang lain sepertirehabilitation, reconstruction, dan mitigation kurang
ditekankan.

4) The crunch and release model


Manajemen bencana ini menekankan upaya mengurangi kerentanan untuk
mengatasi bencana. Bila masyarakat tidak rentan maka bencana akan juga kecil
kemungkinannya terjadi meski hazard tetap terjadi.

5) Disaster risk reduction framework


Model ini menekankan upaya manajemen bencana pada identifikasi risiko
bencana baik dalam bentuk kerentanan maupun hazard dan mengembangkan
kapasitas untuk mengurangi risiko tersebut.

d. Siklus Manajemen Bencana


Undang-Undang No. 24 tahun 2007 menyatakan Penyelenggaraan
penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan
kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan
bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Rumusan penanggulangan bencana
dari UU tersebut mengandung dua pengertian dasar yaitu: penanggulangan
bencana sebagai sebuah rangkaian atau siklus dan penanggulangan bencana
dimulai dari penetapan kebijakan pembangunan yang didasari risiko bencana dan
diikuti tahap kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 tahun 200, bab I, pasal 1 ayat,
7, 8, 9, 10, 11, dan 12, siklus manajemen bencana dibedakan atas 6 fase, yaitu:

1) Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi


bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan
berdaya guna.
2) Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera
mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu
tempat oleh lembaga yang berwenang.
3) Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana.
4) Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan
segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta
benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
Tujuannya adalah menyelamatkan kelangsungan kehidupan manusia, mengurangi
penderitaan korban bencana, dan meminimalkan kerugian material (Sambodo,
2012).
5) Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana. Misalnya :
renovasi atau perbaikan sarana-sarana umum, perumahan dan tempat
penampungan sampai dengan penyediaan lapangan kegiatan untuk memulai hidup
baru (Sambodo, 2012).
6) Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan
maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan
perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya
peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada
wilayah pasca bencana.Tujuannya adalah untuk mengurangi dampak bencana, dan
di lain sisi memberikan manfaat secara ekonomis pada masyarakat (Sambodo,
2012).
Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam UU No. 24 tahun 2007
secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut:

Menurut Kim dan Proctor 2002, dalam Veneema (2007), ada lima fase dasar
untuk program manajemen bencana, dan masing-masing fase memiliki kegiatan
khusus yang terkait dengan itu.

1) Fase Preparedness
Mengevaluasi kerentanan fasilitas atau kecenderungan pada bencana. Isu-
isu yang perlu dipertimbangkan termasuk: pola cuaca, lokasi geografis, kondisi,
dan lokasi fasilitas, dan industry didekat rumah sakit (misalnya, pembangkit listrik
nuclear atau pabrik kimia).
Preparedness adalah merencanakan bagaimana menanggapi bencana.
Contoh: merencanakan kesiagaan; latihan keadaan darurat, system peringatan.
Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya (penilaian
bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang
kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk
mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika
situasi telah aman.
Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan
pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan langkah-
langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu
jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi
fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non
struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman
terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur) (Seni,
2011). Kegiatan fase Preparedness/kesiapsiagaan adalah sebagai berikut:
a) Pengkajian terhadap kerentanan
b) Membuat perencanaan (pencegahan bencana)
c) Pengorganisasian
d) Sistem informasi
e) Pengumpulan sumber daya
f) Sistem alarm
g) Mekanisme tindakan
h) Pendidikan dan pelatihan penduduk
i) Gladi resik

2) Fase Mitigasi
Langkah-langkah yang diambil untuk mengurangi dampak negatif yang
diakibatkan oleh bencana dan dapat dianggap sebagai tindakan pencegahan.
Contoh kegiatan mitigasi termasuk instalasi dan pemeliharaan generator listrik
cadangan untuk mengurangi dampak dari kegagalan daya atau staff pelatihan
untuk melakukan tugas-tugas lain untuk keadaan darurat.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan
memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti
membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta
memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor,
penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat
dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah
bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui
melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan
masyarakat dan pemerintah daerah (Seni, 2011).

3) Fase Respon
Fase respon adalah perencanaan implementasi actual bencana.
Perencanaan respon terhadap pencariaan dan penyelamatan korban sangat baik
menggunakan Incident Command System (ICS). Kegiatan respon perlu terus
dipantau dan disesuaikan dengan perubahan situasi. Tindakan fase respon dapat
berupa sebagai berikut:

a) Instruksi pengungsian
b) Pencariaan dan penyelamatan korban
c) Menjamin keamanan di lokasi bencana
d) Pengkajian terhadap kerugiaan akibat bencana
e) Pembagiaan dan penggunaan alat perlengkapan pada kondisi darurat
f) Pengiriman dan penyerahan barang material
g) Penyediaan tempat pengungsian dan lain-lain
4) Fase Recovery

Setelah insiden itu berakhir, organisasi dan staff perlu untuk memulihkan
kondisi kembali. Layanan yang telah terganggu dan membutuhkan waktu untuk
kembali rutinitas. Pemulihan biasanya lebih mudah jika segera dilakukan pada
saat respon, beberapa staf ditugaskan untuk mempertahankan layanan penting,
sementara yang lain ditugaskan untuk tanggap bencana.

Menurut Seni (2011), Secara garis besar, kegiatan-kegiatan utama pada tahap ini
antara lain, mencakup:

a) Pembangunan kembali perumahan dan lingkungan pemukiman penduduk


berbasis kebutuhan dan kemampuan mereka sendiri dengan penekanan pada aspek
sistem sanitasi lingkungan organik daur-ulang.
b) Penataan kembali prasarana utama daerah yang tertimpa bencana, khususnya
yang berkaitan dengan sistem produksi pertanian.
c) Pembangunan basis-basis perekonomian desa dengan pendekatan penghidupan
berkelanjutan, terutama pada kedaulatan dan keamanan pangan dan ketersediaan
energi yang dapat diperbaharui (renewable energy); serta perintisan model sistem
kesehatan yang terjangkau dan efektif.

5) Fase Evaluasi
Sering disebut fase perencanaan dan tanggap bencara. Setelah bencana,
karyawan dan masyarakat kembali ke rutinitas biasa. Penting bahwa evaluasi
resmi dilakukan untuk menentukan apa yang baik, suatu yang diidentifikasi.
Individu tertentu harus dilakukan evaluasi dan kegiatan tindak lanjut.
Menurut Japanese Red Cross Society & PMI (2009), bencana dibagi mejadi 4 fase
yaitu:

a. Fase Pencegahan Dan Kesiapsiagaan


Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan dengan
memikirkan berbagai tindakan yang meminimalisir kerugian yang ditimbulkan
akibat terjadinya bencana dan menyusun perencanaan agar dapat melakukan
kegiatan pertolongan serta perawatan yang efektif pada saat terjadi bencana.
b. Fase Tindakan
Fase tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat yang
nyata untuk menjaga diri sendiri.
c. Fase Pemulihan
Fase dimana individu/masyarakat dengan kemampuannya sendiri dapat
memulihkan fungsinya seperti sedia kala(sebelum terjadi bencana). Fase ini
merupakan masa peraihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang.
d. Fase Rehabilitasi/Rekonstruksi
Fase dimana individu/masyarakat berusaha mengembalikan fungsi-
fungsinya seperti sebelum terjadi bencana dan merencanakan rehabilitasi terhadap
seluruh komunitas.

2. Peran Perawat Dalam Manajemen Bencana


Menurut Effendi & Makhfudli (2009, P. 170-171), peran perawat dalam
manajemen bencana yaitu:
a. Peran perawat dalam fase pre-impact
Sebelum bencana, anggota dari sistem pelayanan kesehatan masyarakat
(PHC), harus mengenali/mengidentifikasi resiko bencana dan populasi terutama
efek kerentanan. Perawat harus mendidik masyarakat mengenai pencegahan
bencana dan kesiapsiagaan. Selain itu mereka harus bekerja sama dengan badan-
badan lain dalam penggunaan ilmu kesehatan masyarakat untuk mengembangkan
rencana untuk mencegah bencana untuk membatasi angka kematian dan kesakitan
(Clark , 2008, p. 764).
Peran perawat dalam manajemen bencana Menurut Effendi & Makhfudli
(2009, P. 170), yaitu:
1) Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam
penanggulangan ancaman bencana untuk setiap fasenya.
2) Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan,
palang merah nasional, maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam
memberikan penyuluhan dan stimulasi persiapan menghadapi ancaman bencana
kepada masyarakat.
3) Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk meningkatkan kesiapan
masyarakat dalam menghadapi bencana yang meliputi hal-hal berikut:
a) Usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut).
b) Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga
yang lain.
c) Pembekalan informasi tentang bagaimana menyimpan dan membawa persediaan
makanan dan penggunaan air yang aman.
d) Perawat juga dapat memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat
seperti dinas kebakaran, rumah sakit, dan ambulans.
e) Memberikan informasi tempat-tempat alternative penampungan atau posko-posko
bencana.
f) Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa seperti pakaian
seperlunya, radio portable, senter beserta baterainya, dan lainnya.

b. Peran perawat dalam fase impact


Selama terjadinya bencana, perawat yang profesional akan mengkaji dan
memberikan informasi mengenai kesehatan yang berefek pada hubungan antar
pemerintah. Perawat koordinasi perlengkapan dari kebutuhan darurat dan
pelayanan kesehatan, segera diberikan setelah bencana. Perawat memberi
informasi dan membantu untuk melakukan pencegahan luka serta promosi
makanan dan minuman yang aman, dan mengontrol hubungan komunikasi tentang
penyakit. Mereka juga selalu masuk melihat tempat perlindungan akan tejainya
resiko kesehatan (Clark , 2008, p. 764).
Peran perawat dalam manajemen bencana Menurut Effendi & Makhfudli (2009,
P. 171), yaitu:
1) Bertindak cepat.
2) Do not promise. Perawat seharusnya tidak menjanjikan apa pun dengan pasti,
dengan maksud memberikan harapan yang besar pada korban yang selamat.
3) Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan.
4) Koordinasi dan menciptakan kepemimpinan (coordinationnand create leadership).
5) Untuk jangka panjag, bersama-sama pihak yang terkait dapat mendiskusikan dan
merancang master plan of revitalizing, biasanya untuk jangka waktu 30 bulan
pertama.
c. Peran perawat dalam fase post-impact
Menurut landesman, 2005 dalam Clark, (2008), bencana yang
bekelanjutan, para tim medis kesehatan masyarakat harus bertanggung jawab
untuk peduli yaitu didapatkan untuk korban bencana dengan keperlutan yang
berkelanjutan. Mereka juga harus berpartisipasi di dalam menegvaluasi respon
dari bencana dan memperbaiki rencana akan respon bencana yang akan datang
Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial, dan
psikologis korban.
Peran perawat dalam manajemen bencana Menurut Effendi & Makhfudli (2009,
P. 171), yaitu:
1) Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial, dan
psikologis korban.
2) Stress psikologis yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi post-
traumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan sindrom dengan tiga criteria
utama. Pertama, gejala trauma pasti bisa dikenali. Kedua, individu tersebut
mengalami gejala ulang traumanya melalui flashback, mimpi, ataupun peristiwa-
peristiwa yang memacunya. Ketiga, individu akan menunjukkan gangguan fisik.
Selain itu, individu dengan PTSD dapat mengalami penurunan konsentrasi,
perasaan bersalah, dan gangguan memori.
Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait bekerja sama
dengan unsure lintas sector menangani masalah kesehatan masyarakat pasca-
gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan (recovery) menuju keadaan sehat
dan aman
Daftar Pustaka

BNPB. 2012. Peraturan Kepala BNPB No. 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum
Pengkajian Risiko Bencana, diunduh dari www.bnpb.go.id/upload/pubs/1.pdf

Effendi & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori Dan Praktik
Dalam Keperawatan. Jakarta: Selemba Medika.

Hospital Disaster Plan & Regional Disaster Plan, diunduh darihttp://www.pusdiklat-


aparaturkes.net/index dan www.bencana-kesehatan.net

Japanese Red Cross Society & PMI. (2009). Keperawatan Bencana. Banda Aceh: Forum
Keperawatan Bencana

Pan America Health Organization. (2006). Bencana alam: perlindungan kesehatan


masyarakat. Jakarta: EGC

Pan America Health Organization (2001). Establishing a mass casualty management


system. Washington: PAHO

Seni, W. (2011). Siklus manajemen bencana. Diakses pada tanggal 18 November 2013
pukul 22.35 WIB dari

Sukandarrumidi. (2010). Bencana Alam dan Bencana Anthropogene.Yogyakarta:


Kanisius

Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007-PNPB. Diakses


darihttp://www.bnpb.go.id/page/read/5/definisi-dan-jenis-bencana

Veenema, T.G. (2007 ). Disaster nursing and emergency preparedness for chemical,
biological, and radiological terorisme and other hazard ( 2 nd ed ). New York :
Springer Publishing Company.
Zailani. 2009. Keperawatan Bencana. Banda Aceh: Forum Keperawatan Bencana

(http://bakauhijau.wordpress.com/author/wildansenist/page/5/)

(http://endrosambodo1984.wordpress.com/2012/04/18/manajemen-bencana/)

(http://www.ptsd.va.gov/professional/pages/handouts-pdf/Reactions.pdf, diakses 19
november 2013)

Anda mungkin juga menyukai