Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bencana (disaster) merupakan fenomena sosial akibat kolektif atas sistem
penyesuaian dalam merespon ancaman (Paripurno, 2002).Renspon itu bersifat jangka
pendek yang disebut mekanisme penyesuaian (coping mechanism) atau yang lebih
jangka panjang yang dikenal sebagai mekanisme adaptasi (adaptatif mechanism).
Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan
untuk mengakses kebutuhan hidup dasar: keamanan, sandang, pangan, sedangkan
jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber-sumber kehidupannya
(Paripurno, 2002).
Masalah bencana akibat lingkungan mulai semakin mencuat ke
permukaan,baik yang disebabkan oleh proses alam itu sendiri maupun yang
disebabkan karena ulah manusia di dalam membangun sarana dan memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kasus-kasus mengenai perubahan tata guna lahan di daerah
tangkapan air hujan di hulu menjadi padat penduduk karena berubah menjadi
pemukiman.Hal tersebut berdampak pada banjir yang sering terjadi di daerah
bawahnya atau daerah hilir.Konversi lahan ini sedikit banyak telah berpengaruh
terhadap menurunnya kualitas lingkungan.
Oleh karena itu di dalam proses pembangunan tidak dengan sendirinya
mengurangi risiko terhadap bahaya alam. Sebaliknya tanpa disadari pembangunan
dapat menciptakan bentuk-bentuk kerentanan baru atau memperburuk kerentanan
yang telah ada. Persoalan-persolaan yang muncul sebagai akibat dari proses
pembangunan ini perlu diarahkan pada suatu paradigma pembangunan yang ramah
lingkungan, yaitu “pembangunan yang berkelanjutan” maka pembangunan tersebut
harus didasarkan atas pengetahuan yang lebih baik tentang karakteristik alam dan
manusia (masyarakat).
Bencana alam apapun bentuknya memang tidak diinginkan.Sayangnya
kejadian pun terus saja ada.Berbagai usaha tidak jarang dianggap maksimal tetapi
kenyataan sering tidak terelakkan.Masih untung bagi kita yang mengagungkan Tuhan
sehingga segala kehendak-Nya bisa dimengerti, meski itu berarti derita.
Banyak masalah yang berkaitan dengan bencana alam.Kehilangan dan
kerusakan termasuk yang paling sering harus dialami bersama datangnya bencana

1
itu.Harta benda dan manusia terpaksa harus direlakan, dan itu semua bukan masalah
yang mudah.Dalam arti mudah difahami dan mudah diterima oleh mereka yang
mengalami.Bayangkan saja harta yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, dipelihara
bertahun-tahun lenyap seketika.

Peristiwa bencana Tsunami 26 Desember 2004 yang dipicu oleh gempa bumi
lebih dari 9 Mw di kawasan Samudera Hindia telah membuktikan kedahsyatan
bencana tersebut. Dalam peristiwa tersebut, Kota Banda Aceh Provinsi Aceh
merupakan salah satu kawasan yang mengalami kehancuran parah, digenangi
Tsunami mencapai 4 - 5 km ke arah darat (Meilianda, 2009), 61.265 jiwa meninggal
dan hilang (Anonim, 2012), serta kerugian materil diperkirakan mencapai USD 1,12
milyar (van der Plas, 2007).
Sewindu setelah bencana Tsunami, Kota Banda Aceh telah pulih kembali
dalam menjalankan peran pentingnya dalam tatanan aspek kehidupan masyarakat
Aceh sebagai ibukota Provinsi Aceh sekaligus sebagai wilayah tingkat dua Kota
Banda Aceh, bahkan pembangunan yang telah dilakukan relatif lebih maju jika
dibandingkan dengan pembangunan sebelum masa Tsunami. Peran penting Kota
Banda Aceh semakin terlihat sebagai pusat pelayanan pemerintahan, perekonomian,
pendidikan, perdagangan dan jasa, kesehatan dan kebudayaan. Mengingat adanya
potensi kedua bencana tersebut, saat ini Kota Banda Aceh berada dalam ancaman
yang dapat menyebabkan kelumpuhan kembali dalam berbagai sektor kehidupan.
Seiring dengan tumbuhnya kesadaran terhadap mitigasi bencana, Pemerintah
Kota Banda Aceh telah mempertimbangkan adanya isu potensi gempabumi dan
Tsunami sebagai salah satu faktor penting dalam menata kota. Hal tersebut telah
disahkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh Tahun
2009 – 2029 dalam Qanun Kota Banda Aceh No. 04 Tahun 2009. Dimana upaya
mitigasi bencana yang diusung bertujuan untuk membentuk pola pengembangan
ruang ke depan yang dapat menjamin keamanan dan kenyamanan dengan
menyediakan ruang sebagai jalur, areal maupun bangunan penyelamatan penduduk ke
tempat yang lebih aman apabila kemungkinan terjadinya bencana gempa dan Tsunami
(Anonim, 2012a)
Dalam rangka mewujudkan tujuan mitigasi bencana Tsunami tersebut,
dibutuhkan dasar yang kuat guna mendukung tersusunnya langkah, strategi, dan
kebijakan yang tepat dan efisien. Ketersediaan peta risiko bencana, khususnya
2
bencana Tsunami merupakan salah satu referensi dasar di dalamnya. Pengkajian
risiko yang berazazkan ilmu pengetahuan dan teknologi ini memberikan dapat
informasi berupa tingkat ancaman (hazard), tingkat kerentanan (vulnerability), tingkat
kapasitas (capacity)dan tingkat risiko (risk) itu sendiri.
Saat ini, Pemerintah Kota Banda Aceh belum mempublikasikan adanya peta
ancaman dan risiko bencana Tsunami. Adapun kebutuhan akan peta masih mengacu
kepada peta risiko bencana (Tsunami) dengan level provinsi yang dipetakan pada
tahun 2011. Lebih lanjutnya, dalam penetapan struktur ruang dan pola ruang Kota
Banda Aceh untuk kurun 20 tahun mendatang masih mengacu kepada hasil kajian
Master Plan NAD – Nias yang dilakukan pada tahun 2005 (Anonim, 2012a). Dengan
mempertimbangkan kondisi tersebut, untuk menjawab kebutuhan dasar dalam upaya
mitigasi bencana Tsunami dalam upaya pembangunan Kota Banda Aceh, selayaknya
dilakukan suatu kajian risiko Tsunami dengan menggunakan data dan informasi yang
terbarukan terutama mengenai perubahan kondisi demografi, struktur dan
infrastruktur, serta ekonomi dan budaya.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. Apa pengertian resiko bencana, bahaya dan kerentanan ?
2. Apa saja faktor penentu resiko bencana ?
3. Bagaimana tujuan analisis resiko bencana ?
4. Bagaimana langkah-langkah analisis resiko ?
5. Bagaimana Pengurangan Resiko Bencana ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian resiko bencana, bahaya dan kerentanan
2. Untuk mengetahui faktor penentu resiko bencana
3. Untuk mengetahui tujuan analisis resiko bencana
4. Untuk mengetahui langkah-langkah analisis resiko
5. Untuk mengetahui cara untuk mengurangi resiko bencana

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Bencana (disaster) merupakan fenomena sosial akibat kolektif attas sistem
penyesuaian dalam merespon ancaman (Paripurno, 2002).Renspon itu bersifat jangka
pendek yang disebut mekanisme penyesuaian (coping mechanism) atau yang lebih
jangka panjang yang dikenal sebagai mekanisme adaptasi (adaptatif mechanism).
Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan
untuk mengakses kebutuhan hidup dasar: keamanan, sandang, pangan, sedangkan
jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber-sumber kehidupannya
(Paripurno, 2002).
Bahaya (hazard) adalah suatu fenomena fisik, fenomena, atau aktivitas
manusia yang berpotensi merusak, yang bisa menyebabkan hilangnya nyawa atau
cidera, kerusakan harta-benda, gangguan sosial dan ekonomi atau kerusakan
lingkungan (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007) atau peristiwa kejadian potensial yang
merupakan ancaman terhadap kesehatan, keamanan, atau kesejahteraan masyarakat
atau fungsi ekonomi masyarakat atau kesatuan organisasi pemerintah yang selalu luas
(Lundgreen, 1986).
Kerentanan (vulnerability) adalah kondisi-kondisi yang ditentukan oleh faktor-
faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang meningkatkan
kecenderungan (susceptibility) sebuah komunitas terhadap dampak bahaya (ISDR,
2004 dalam MPBI, 2007). Kerentanan lebih menekankan aspek manusia di tingkat
komunitas yang langsung berhadapan dengan ancaman (bahaya) sehingga kerentanan
menjadi faktor utama dalam suatu tatanan sosial yang memiliki risiko bencana lebih
tinggi apabila tidak di dukung oleh kemampuan (capacity) seperti kurangnya
pendidikan dan pengetahuan, kemiskinan, kondisi sosial, dan kelompok rentan yang
meliputi lansia, balita, ibu hamil dan cacat fisik atau mental. Kapasitas (capacity)
adalah suatu kombinasi semua kekuatan dan sumberdaya yang tersedia di dalam
sebuah komunitas, masyarakat atau lembaga yang dapat mengurangi tingkat risiko
atau dampak suatu bencana (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007).

4
Secara umum, risiko bencana (disaster risk) didefinisikan sebagai potensi
kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu kawasan dan kurun waktu
tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman,
mengungsi, kerusakan dan kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat
(Anonim, 2012b). Cardona (2003) dalam Mardiatno et al. (2012) mendefinisikan
risiko bencana sebagai potensi kerugian baik berupa kematian, keterancaman jiwa,
kerugian materi dan gangguan kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang ditimbulkan
akibat bencana.
Berdasarkan Anonim (2012b), secara umum merumuskan kajian risiko ke dalam 3
(tiga) komponen utama, yaitu ancaman, kerentanan dan kapasitas yang akan dibahas
setelahnya, dengan pendekatan sebagai berikut:

𝑽
𝑹 = 𝑯𝒙 𝑪…………………………………...........…………………………...........(1)

Dimana:

R = Risk: risiko bencana;


H = Hazard Threat: frekuensi (kemungkinan) bencana cenderung terjadi dengan
intensitas tertentu pada lokasi tertentu;
V = Vulnerability: kerugian yang diharapkan (dampak) di daerah tertentu dalam
sebuah kasus bencana tertentu terjadi dengan intensitas tertentu;
C = Adaptive Capacity: kapasitas yang tersedia di daerah untuk pulih dari bencana.

Pengkajian risiko bencana Tsunami diharapkan dapat menghasilkan kebijakan dalam


penanggulangan Tsunami berdasarkan tingkat potensi ancaman, kerentanan,
kapasitas, dan risiko. Kerangka pemikiran dalam pengkajian tersebut dilakukan
berdasarkan sebagai berikut:

5
Indeks Ancaman:
Penentuan Skenario Tingkat Ancaman
Tsunami

Indeks Kerentanan:
1. Sosial Ekonomi Tingkat
2. Fisik Kerentanan
3. Ekologi/Lingkungan

Tingkat Risiko

Indeks Kapasitas:
1. Kelembagaan
2. Fisik (Sistem Peringatan Dini Tingkat Kapasitas
Tsunami; jalur evakuasi,
bangunan evakuasi, dll
3. Sosial Ekonomi

Sumber: TDMRC-Unsyiah, 2011

B. Faktor Penentu Risiko Bencana


Tingkat penentu risiko bencana disuatu wilayah dipengaruhi oleh 3 faktor
yaitu ancaman, kerentanan dan kapasitas. Dalam upaya pengurangan resiko bencana
(PRB) atau disaster risk reduction (DRR), ketiga faktor tersebut yang menjadi dasar
acuan untuk dikaji guna menentukan langkah-langkah dalam pengelolaan bencana.

1. Indeks Ancaman
Penilaian ancaman Tsunami dilakukan dengan mengkaji potensi terjadinya
Tsunami dan dampak yang dapat ditimbulkan terhadap masyarakat dan lingkungan.
Idealnya, untuk mendapatkan gambaran tersebut, dapat dilakukan melalui pendekatan
matematika dengan melakukan simulasi pemodelan numerik dengan skenario
pembangkitan gelombang Tsunami (Imamura et al., 2012) dan data historis. Lebih
lanjut, Imamura et al. menyatakan bahwa untuk analisis ancaman di sini dapat
dilakukan berdasarkan hasil simulasi hazard yang telah dilakukan oleh para peneliti
sebelumnya, berupa simulasi Tsunami yang di-generate dengan sejumlah skenario
source gempabumi untuk menghasilkan suatu kajian potensi bencana Tsunami yang
mendetil.

6
Penggunaan data historis dapat digunakan sebagai alternatif berikutnya, ketika data
secara pemodelan numerik yang memadai tidak tersedia. Dalam hal ini digunakan
data perekaman tinggi gelombang pada tugu Tsunami (Tsunami pole).
Pengindeksan ancaman Tsunami dibagi dalam tiga kelas, yaitu rendah, sedang,
dan tinggi dengan kriteria klasifikasi kelas dilakukan berdasarkan tinggi genangan
yang terjadi (Anonim, 2012b). Selengkapnya disajikan dalam tabel berikut.
Indeks Ancaman Tsunami (BNPB, 2012)
Kelas Indeks Bobot
Indikator
Rendah Sedang Tinggi Total
Peta estimasi ketinggian
genangan Tsunami/Peta < 1m 1–3m >3m 100%
Bahaya Tsunami

2. Indeks Kerentanan
Mardiatno et al. (2012) mengemukakan bahwa kerentanan (vulnerability)
merupakan kondisi karakteristik alam, geografis, sosial, ekonomi, politik, budaya dan
teknologi suatu masyarakat di suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang dapat
mengurangi kemampuan masyarakat tersebut mencegah, meredam, mencapai
kesiapan dan menanggapi dampak dari bahaya tertentu. Menurut Pine (2008)
menyatakan bahwa cakupan indikator kerentanan terhadap suatu bencana adalah fisik,
politik, ekonomi, dan sosial. Dalam referensi lain yang dilakukan oleh Tsunami and
Disaster Mitigation Research Center - Unsyiah (TDMRC-Unsyiah, 2011)
mendefinisikan kerentanan (vulnerability) sebagai kebalikan dari ketangguhan
(resilience) dengan empat indikator, yaitu kerentanan sosial, ekonomi, fisik, dan
lingkungan. Parameter-parameter turunan terhadap empat indikator di atas disajikan
dibawah ini :

7
Kepadatan Penduduk
Kerentanan
Sosial
Kepekaan Sosial

PDRB per Sektor


Kerentanan
Ekonomi
Penggunaan lahan (kawasan budidaya)
Kerentanan

Kerentanan Bangunan
Kerentanan
Fisik
Kerentanan Prasarana

Kerentanan Penggunaan lahan (kawasan hutan


Ekologi lindung)

Sumber: TDMRC-Unsyiah, 2011

Klasifikasi indeks kerentanan dibagi atas 3 kategori, yaitu: rendah, sedang,


dan tinggi, dengan masing-masing indikator kelasnya yang mengacu kepada hasil
ketetapan tim ahli BNPB. Perhitungan total indeks kerentanan adalah dengan
mengakumulasikan semua parameter kerentanan ke dalam suatu formula sebagai
berikut (Anonim, 2011b). Adapun perhitungan terhadap empat indikator kerentanan
secara rinci dijelaskan dalam bahasan subbab di bawah ini.
𝑘𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘
𝑙𝑜𝑔( )
0,01
KerentananSosial = (0,6 𝑥 100 ) + (0,1 𝑥 𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑚𝑖𝑛) +
𝑙𝑜𝑔( )
0,01

(0,1 𝑥 𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑘𝑒𝑚𝑖𝑠𝑘𝑖𝑛𝑎𝑛) + (0,1 𝑥 𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑐𝑎𝑐𝑎𝑡) +


(0,1 𝑥 𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑢𝑚𝑢𝑟) … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (1)

8
Indeks Kerentanan Sosial
Kelas Indeks Bobot
Indikator
Rendah Sedang Tinggi Total
Kepadatan Penduduk < 500 500 – >1000 60%
jiwa/km2 1000 jiwa/km2
jiwa/km2
Kepekaan Sosial:
Rasio Jenis Kelamin (10%)
Rasio Kemiskinan (10%) <20% 20 – 40% >40 % 40%
Rasio Orang Cacat (10%)
Rasio Kelompok Umur (10%)

Sumber: Anonim, 2012b

Kerentanan ekonomi = (0,6 x skor lahan produktif) + (0,4 x skor PDRB) …... (2)
Indeks Kerentanan Ekonomi
Kelas Indeks Bobot
Indikator
Rendah Sedang Tinggi Total
Ekonomi (dalam Rp) 25%
Luas lahan produktif < Rp 50 juta Rp 50juta – >Rp 200juta 60%
200juta
Kontribusi PDRB per < Rp 100 juta Rp 100juta >Rp 300juta 40%
Sektor – 300juta

Sumber: Anonim, 2012

9
Kerentanan Fisik (Physical Vulnerability).

Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan suatu kondisi fisik (infrastruktur)


yang rawan terhadap faktor bahaya (hazard) tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat dilihat
dari berbagai parameter sebagai berikut:
No. Parameter Indikator
1 Kepadatan bangunan persentase kawasan terbangun, jumlah bangunan
per satuan luas, dll
2 Kondisi/kekuatan bangunan persentase bangunan konstruksi darurat (bangunan
yang lemah), data kekuatan bangunan yang berada
pada daerah rawan gempa, dll
3 Ketersediaan infrastruktur jalan rasio panjang jalan, jalan Kereta Api, dll
4 Ketersediaan sarana persentase jaringan telekomunikasi dan jaringan
telekomunikasi dan listrik listrik
5 ketersediaan fasilitas kesehatan persentase jaringan PDAM, persentase pusat
layanan kesehatan (rumah sakit, pukesmas).

Kerentanan Lingkungan (Environmental Vulnerability)


Lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi kerentanan. Konsentrasi
penduduk yang tidak merata, sebagian tinggal di daerah yang rawan terhadap bahaya, seperti
di lereng gunungapi, dataran sungai yang rawan terhadap banjir, lereng-lereng perbukitan
yang berpotensi terhadap bencana tanah longsor, zona patahan aktif yang berpotensi terhadap
gempabumi, dan sebagainya.
Bencana yang terjadi di Indonesia sering kali menimbulkan dampak korban yang
sangat besar mengingat bahwa daerah rawan bencana masih banyak yang dihuni oleh
penduduk karena keterbatasan tempat atau karena daerah tersebut subur untuk kehidupannya.
Sebagai contoh adalah masyarakat yang tinggal di daerah yang kering dan sulit air akan
selalu terancam bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan
rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor dan sebagainya.

10
No. Parameter Indikator
1 Kondisi tanah Prosentase kemiringan, prosentase
pegunungan, luas daerah resapan, dll
2 Kondisi tanaman Hutan lindung, hutan mangrove, terumbu
karang, dll.
3 Kondisi udara Tingkat polusi udara, prosentase perokok
(pencemaran udara), dll
4 Sumber Air Letak Sumber air, kadar kesehatan air
setempat, dll

Kerentanan Tsunami = (0,4 x kerentanan sosial)+(0,25 x kerentanan ekonomi) +


(0,25 x kerentanan fisik)+(0,1 x kerentanan lingkungan).........(3)

3. Indeks Kapasitas
Kapasitas adalah kekuatan dan sumber daya yang dimiliki oleh individu,
keluarga, masyarakat, dan komunitas yang memungkinkan mereka untuk
mencegah, mengurangi, mempersiapkan, menangani atau cepat pulih dari
bencana.
Menurut ISDR Kapasitas sebagai kombinasi dari semua kekuatan dan
sumber daya yang tersedia dalam komunitas, masyarakat atau organisasi yang
dapat mengurangi tingkat risiko atau dampak dari bencana.

11
Indikator Pembangunan Manusia

Kapasitas Sosial-
Pemberdayaan Gender
Ekonomi

Kesadaran Masyarakat

Ketersediaan Peralatan
Penyelamatan
Kapasitas Jarak ke Jalan, Fasilitas Umum &
Kapasitas Fisik
fas. kesehatan
Cakupan pelayanan listrik, air
bersih dll

Organisasi bantuan
Kapasitas
Kelembagaan
Tenaga kesehatan

Sumber: TDMRC-Unsyiah (2011)

Kapasitas Tsunami = (0,59 x skor kapasitas sosek) + (0,27 x skor kapasitas fisik) + (0,14 x
skor kelembagaan)......................................………..……………. (4)
Pembobotan Parameter Kapasitas

.
Parameter Pembobotan
No

1 Kapasitas Sosial-ekonomi: 0,59

Indek Pembangunan Manusia 0,52

Indeks Pemberdayaan Gender 0,26

Kesadaran Masyarakat 0,22

2 Kapasitas Fisik: 0,27

Sistem Peringatan Dini Tsunami 0,38

Perlengkapan keselamatan 0,22

Cakupan Listrik 0,13

Jarak ke jalan aspal 0,08

Jarak ke fasilitas umum 0,07

Jarak ke fasilitas kesehatan 0,11

12
3 Kelembagaan: 0,14

Pemerintah Pusat 0,08

Pemerintah Provinsi 0,09

Pemerintah Dearah 0,12

Swasta 0,09

Masyarakat 0,28

Dokter/Penduduk 0,17

Tenaga medis/penduduk 0,18

C. Tujuan Analisis Risiko


Pengurangan Risiko Bencana dimaknai sebagai sebuah proses pemberdayaan
komunitas melalui pengalaman mengatasi dan menghadapi bencana yang berfokus
pada kegiatan partisipatif untuk melakukan kajian, perencanaan, pengorganisasian
kelompok swadaya masyarakat, serta pelibatan dan aksi dari berbagai pemangku
kepentingan, dalam menanggulangi bencana sebelum, saat dan sesudah terjadi
bencana. Tujuannya agar komunitas mampu mengelola risiko, mengurangi, maupun
memulihkan diri dari dampak bencana tanpa ketergantungan dari pihak luar. Dalam
tulisan siklus penanganan bencanakegiatan ini ada dalam fase pra bencana.
Fokus kegiatan Pengurangan Risiko Bencana secara Partisipatif dari
komunitas dimulai dengan koordinasi awal dalam rangka membangun pemahaman
bersama tentang rencana kegiatan kajian kebencanaan, yang didalamnya dibahas
rencana pelaksanaan kajian dari sisi peserta, waktu dan tempat serta keterlibatan
tokoh masyarakat setempat akan sangat mendukung kajian analisa kebencanaan ini.
Selain itu juga di sampaikan akan Pentingnya Pengurangan Risko Bencana mengingat
wilayah kita yang rawan akan bencana.

Setelah ada kesepakatan dalam koordinasi awal maka masyarkat melakukan


kegiatan PDRA ( Participatory Disaster Risk Analysis / Kajian Partisipatif Analisa
Bencana ). Kegiatan ini selain melibatkan masyarakat, Tokoh masyarakat juga kader
yandu dan PKK dusun, dengan kata lain semua unsur di masyarakat yang ada
dilibatkan. Dalam kegiatan ini dijelaskan maksud dan tujuan kegiatan kajian dan
analisa kerentanan, ancaman dan resiko kebencanaan.

13
Kegiatan PDRA di suatu wilayah diawali dengan memberikan pemahaman
tentang Pengurangan Risiko Bencana berbasis masyarakat yaitu upaya yang dilakukan
sendiri oleh masyarakat untuk menemukan dan mengenali ancaman yang mungkin
terjadi di wilayahnya dan menemukenali kerentanan yang ada di wilayahnya serta
menemukenali potensi/kapasitas yang dimiliki untuk meredam/mengurangi dampak
dari bencana tersebut. setelah menemukenali ancaman, kerentanan, dan Kapasitas
yang ada di masyarakat maka perlu dianalisis untuk mengetahui seberapa jauh
masyarakat mampu mengurangi risiko bencana itu dengan menggunakan rumus
Ancaman x Kerentanan dibagi dengan Kapasitas.

Sebelum mengkaji perlu diperoleh data terkini dari wilayah tersebut.


Pentingnya data terkini mengenai jumlah KK dan Jiwa, pemilik kendaraan ,
kerentanan dll, sebagai bahan dasar kajian selanjutnya dalam kegiatan PDRA
pengurangan risiko bencana wilayah ini.

Kemudian dilakukan Kegiatan Kajian dan analisis Risiko bencana secara


partisipasif oleh masyarakat Hal-hal yang dikaji : ancaman, kerentanan dan potensi
terhadap bencana untuk wilayahnya.

D. Langkah-langkah Analisis Risiko Bencana


Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu wilayah yang
rentan terhadap bencana alam antara lain gempa bumi volkanik dan tektonik, tanah
longsor, kekeringan dan banjir yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun
kualitatif. Oleh karena itu diperlukan suatu rencana yang strategis untuk pengelolaan
bencana alam yang menimpa wilayah DIY. Tujuan analisis
Strength,Weakness,Opportunity dan Threat (SWOT) adalah untuk mensinergikan
kecepatan, ketepatan, kesigapan dan keputusan yang efektif dan efisien dalam
pengelolaan bencana alam.

Faktor Strength (kekuatan) adalah ketersediaan SDM ahli di bidang bencana


alam, antara lain ahli-ahli geologi, geofisika, , kegunung apian, geografi, geodesi,
teknik sipil, manajemen, informasi, telekomunikasi, dsb. Demikian juga keberadaan
berbagai instansi yang terkait dengan bencana alam antara lain PEMDA tingkat I dan
II, Kantor BPPTK, SABO, UGM (a.l. PSBA), UII, UPN, BMG, dll. Selain itu
ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, termasuk hasil-hasil riset di
14
berbagai bidang yang terkait dengan bencana alam akan sangat mendukung rencana
ini.

Faktor Weakness (kelemahan) adalah belum adanya koordinasi dan


sinkronisasi dari berbagai pihak (institusi dan kepakaran) di dalam pengelolaan
bencana alam. Selain itu belum tersedianya suatu wadah yang resmi dan mampu
untuk mengkoordinasi, dan mengambil langkah-langkah strategis untuk mencapai
tujuan tersebut, serta belum adanya jaringan stasiun gempa bumi tektonik yang
memadai di wilayah DIY.

Faktor Opportunity (peluang) adalah banyaknya kerjasama yang telah terbina


sampai dengan saat ini, baik dengan institusi Nasional maupun Internasional yang
memungkinkan adanya transfer teknologi dan kolaborasi.
Pendanaan dapat berasal dari PEMDA Tk I dan II, Menteri RISTEK, UNESCO, dan
kerja sama penelitian dengan negara-negara Perancis, Jerman, Jepang dll.

Faktor Threat (ancaman/tantangan), terdapat fakta/kenyataan bahwa suatu


wilayah rentan terhadap ancaman bencana yang sangat aktif oleh karena
itu memerlukan arah kompetensi, kesadaran dan kewaspadaan yang prima terhadap
pengelolaan bencana alamnya. Apalagi keberadaan bencana sudah menjadi perhatian
masyarakat internasional antara lain IAVCE, UNESCO, negara-negara: Jerman,
Perancis dan Jepang.

T O

15
E. Pengurangan Resiko Bencana (PRB)
Pengurangan resiko bencana adalah salah satu sistem pendekatan untuk
mengindentifikasi, mengevaluasi dan mengurangi resiko yang diakibatkan oleh
bencana . Tujuan utamanya untuk mengurangi resiko fatal dibidang sosial , ekonomi
dan juga lingkungan alam serta penyebab pemicu bencana: PRB sangat dipengaruhi
oleh penelitian masal pada hal-hal yang mematikan, dan telah dicetak /dipublikasikan
sejak pertengahan tahun 1970.
Ini merupakan bentuk tanggung jawab dan perkembangan dari agen sejenis
Badan Penyelamat, dan seharusnya kegiatan ini berkesinambungan, serta menjadi
bagian dari kesatuan kegiatan organisasi ini, tidak hanya melakukannya secara
musiman pada saat terjadi bencana. Oleh karenanya jangkauan(PRB) sangat luas.
Cakupannya lebih luas dan dalam, dibanding manajemen penanggulangan bencana
darurat yang biasa, PRB dapat melakukan inisiatif kegiatan dalam segala bidang
pembangunan dan kemanusiaan.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merumuskan PRB sebagai agen
sejenis UNISDR dan UNDP:
"Kerangka konsep kerja yang bagian-bagiannya telah mempertimbangkan segala
kemungkinan untuk memperkecil resiko kematian dan bencana melalui lingkungan
masyarakat, untuk menghindari (mencegah) atau untuk membatasi ( menghadapi dan
mempersiapkan) kemalangan yang disebabkan oleh marabahaya, dalam konteks yang
lebih luas dari pembangunan yang berkelanjutan”.
Sejak tahun 1970 evolusi pemikiran dan praktek managemen bencana telah
mengalami kemajuan pengertian yang semakin luas dan dalam, tentang mengapa
bencana alam terjadi, disertai oleh pendekatan dan analisa secara menyeluruh yang
lebih terfokus, untuk mengurangi resikonya pada masyarakat. Paradigma managemen
modern – Pengurangan Resiko Bencana (PRB), merupakan langkah terbaru dalam
bidang ini. PRB secara resmi merupakan konsep baru,Namun pemikiran dan
prakteknya telah diterapkan jauh sebelum konsep ini dicetuskan, dan sekarang PRB
telah diterapkan oleh organisasi internasional, pemerintah, perancang bencana dan
organisasi kemasyarakatan.
PRB merupakan konsep yang mencakup segala bidang, dan telah terbukti sulit
untuk mendefinisikan atau menjelaskan secara rinci, namun cakupan idenya sangat
jelas.Tak dapat dihindari, ada beberapa definisi istilah yang dipakai dalam buku
pedoman, tetapi pada umumnya artinya mudah dimengerti dan diterapkan dalam

16
cakupan pembangunan, dalam kebijakan-kebijakan, strategi dan praktek, untuk
mengurangi resiko kematian dan kerugian akibat bencana pada masyarakat. Istilah
"Managemen Pengurangan Resiko Bencana” sering digunakan dalam konteks dan arti
yang sama; pendekatan systematis, untuk mengindentifikasi, mengevaluasi dan
mengurangi segala resiko yang berkaitan dengan malapetaka (marabahaya) dan
kegiatan manusia. Sangat layak diterapkan operasional PRB; Implementasi praktis
dari inisiatif PRB.
Pengurangan risiko bencana merupakan tanggungjawab lembaga-lembaga
yang bergerak dalam bidang pembangunan maupun lembaga-lembaga bantuan
kemanusiaan. Pengurangan risiko bencana harus menjadi bagian terpadu dan
pekerjaan organisasi-lembaga semacam itu dengan prinsip community based, berbasis
masyarakat, agar terintegrasi dengan pendekatan pengurangan risiko bencana yang
selama ini dilakukan oleh pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB).
Pengurangan risiko bencana juga merupakan kegiatan yang luas cakupannya.
Mengenali risiko bencana merupakan hal yang perlu, bahkan sampai pada tingkatan
tertentu merupakan hal yang mutlak. Mengenali resiko bencana bisa dimulai dari
mengenali lingkungan di mana kita hidup. Beberapa contoh:
a) Jika kita hidup di wilayah pegunungan atau perbukitan terjal, maka resiko
bencana bisa dikenali yaitu, apapun yang bisa menyebabkan tanah longsor.
b) Jika kita hidup dan menetap di sekitar gunung berapi, maka resiko bencana
bisa dikenali seperti efek letusan gunung berapi.
c) Jika kita hidup di bantaran sungai atau daerah aliran sungai, maka risiko
bencana bisa dikenali seperti banjir, banjir bandang, tanggul yang jebol.
d) Jika kita hidup di wilayah yang rawan gempa bumi, maka risiko bencana bisa
dikenali seperti robohnya bangunan dan rumah, tanah retak-retak hingga
longsor.
e) Jika kita hidup di wilayah pemukiman yang padat penduduk, maka resiko
bencana bisa dikenali, yaitu apapun yang bisa menyebabkan terjadinya
kebakaran.

17
Risiko bencana tersebut hanya beberapa contoh saja yang berpotensi menjadi
sebuah kenyataan bencana atau bencana yang senyata-nyatanya.Mungkin kita
berpandangan bahwa bencana, apapun bentuknya, tidak bisa dicegah kejadiannya.
Ketika terjadi bencana kebakaran, kita tidak bisa menghentikan saat itu juga api yang
sedang berkobar. Namun kita bisa mengurangi risiko yang diakibatkan oleh bencana
kebakaran tersebut dengan cara menyelamatkan jiwa dan harta benda yang masih
mungkin diselamatkan. Setelah mengenali risiko bencana, maka baik pula untuk
mengenali langkah-langkah pengurangan risiko bencana.

Pengelolaan Bencana
Paradigma harus dirubah dari penanggulangan bencana menuju pengelolaan
bencana. Singkat kalimat, bencana dengan segala aspeknya sudah masuk dalam
domain pembangunan berkelanjutan yang membutuhkan managemen yang
berkelanjutan pula. Ini terjadi sejak bangsa Indonesia melewati bencana terbesar
sepanjang sejarah yaitu gempa bumi yang diikuti terjangan gelombang tsunami Aceh
2004 dan gempa bumi Jogjakarta dengan resiko korban baik materi maupun korban
jiwa yang tak terhitung jumlahnya.
Secara ilmiah maupun hukum alam; bencana tidak bisa diprediksi dengan
akurat apalagi prediksi menyangkut resiko yang ditimbulkannya. Untuk mengurangi
resiko bencana, maka perlu dilakukannya tindakan yang sedikitnya menyangkut lima
aspek;
1. Meletakkan paradigma pengurangan resiko bencana sebagai prioritas
nasional maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan
yang kuat;
2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau resiko bencana serta menetapkan
system peringatan dini;
3. Memanfaatkan pengetahuan , inovasi dan pendidikan
untukmembangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada
semua tingkatan masyarakat;
4. Mengurangi factor-faktor yang bisa menyebabkan munculnya resiko
bencana;
5. Memperkuat kesiapan (kesiapsiagaan) menghadapi bencana pada semua
tingkatan masyarakat agar respon yang dilakukan bisa berjalan lebih efektif.

18
Jadi pada intinya kita bisa melihat bahwa ada empat aktivitas yang harus dilakukan
dalam PRB ini:
1. Identifikasi risiko dan tingkat kerentanan.
Yang perlu diidentifikasi antara lain jenis atau sifat bencana, lokasi, berapa
besar tingkat kekuatannya (intensitas), jangka waktu dari bencana-bencana
sebelumnya untuk bisa melihat tingkat probabilitas atau frekuensi timbulnya
ancaman atau risiko bencana. Keadaan dan tingkat kerentanan dari masyakarat
dan sumber daya lainnya termasuk infrastruktur juga harus diidentifikasi.
2. Mengkaji risiko dan tingkat kerentanan.
Dalam tahapan ini risiko yang ada harus dianalisa untuk melihat berapa besar
tingkat bahayanya, begitu pula tingkat kerentanannya harus dianalisa untuk dapat
mengetahui kapasitas dari masyarakat dan sumber daya yang tersedia untuk
mengurangi risiko atau dampak dari bencana.
3. Evaluasi.
Risiko dan tingkat kerentanan tersebut harus dievaluasi untuk menentukan
risiko mana yang memerlukan prioritas dan penanggulangan.
4. Pelaksanaan PRB berdasarkan evaluasi yang dibuat.

19
BAB III

PENUTUP

F. Kesimpulan
Bencana (disaster) merupakan fenomena sosial akibat kolektif atas sistem
penyesuaian dalam merespon ancaman (Paripurno, 2002). Renspon itu bersifat jangka
pendek yang disebut mekanisme penyesuaian (coping mechanism) atau yang lebih
jangka panjang yang dikenal sebagai mekanisme adaptasi (adaptatif mechanism).

Tingkat penentu resiko bencana disuatu wilayah dipengaruhi oleh 3 faktor


yaitu ancaman, kerentanan dan kapasitas. Dalam upaya pengurangan resiko bencana
(PRB) atau disaster risk reduction (DRR), ketiga faktor tersebut yang menjadi dasar
acuan untuk dikaji guna menentukan langkah-langkah dalam pengelolaan bencana.

G. Saran
Kita sebagai tenaga kesehatan harus tanggap terhadap resiko terjadinya
bencana dan mampu untuk melakukan hal-hal yang dapat mengatasi resiko bencana.
Dan sebagai pembaca bisa menerapkan cara-cara menangulangi resiko bencana.

20
DAFTAR PUSTAKA

Karnawati.D, 2002 Manajemen Bencana Alam Gerakan Tanah di Indonesia: Evaluasi dan
Rekomendasi, Workshop PMBA, Jurs.T.Geologi FT-UGM BAPPEDA Bali, Yogyakarta.

http://www.ecoflores.org/id/pengurangan+risiko+bencana/

http://rinatnunay.com/2013/07/15/pengurangan-risiko-bencana-prb/

https://petrasawacana.wordpress.com/2011/02/21/bencana-dan-risiko-bencana/

https://www.academia.edu/3755069/Tugas_Manajemen_Bencana_bu_ella

21

Anda mungkin juga menyukai