Anda di halaman 1dari 30

1

KONDISI HIDROLOGI KOTA SEMARANG

Perkembangan pembangunan dan aktivitas penduduk di Kota Semarang


yang semakin meningkat akan menimbulkan berbagai masalah yang terkait
dengan sumberdaya air, yaitu kelebihan air dan kekurangan air. Kelebihan air di
kota Semarang identik dengan kejadian banjir yang terjadi sepanjang tahun, yaitu
banjir karena limpahan air hujan terjadi pada musim penghujan dan banjir rob
karena pasang air laut terjadi hampir setiap hari. Kekurangan air lebih identik
dengan potensi air tanah, karakteristik geologi dan bentang alam Semarang yang
khas menyebabkan persebaran air tanah tidak merata, pada beberapa tempat
sulit ditemukan air tanah.
Paparan tentang kondisi hodrologi Semarang diuraikan dalam bebrapa
kajian yaitu kajian pola aliran sungai, banjir, Rob, dan kondisi air tanah.

A. Pola Aliran Sungai


Kota Semarang dilalui oleh banyak sungai yang semuanya mengalir ke
laut Jawa. Kota Semarang mempunyai dua sistem saluran air yang besar yaitu
Kali Banjir Kanal Barat dan Kali Banjir Kanal Timur. Selain itu sungai-sungai kecil
yang mengalir di kota Semarang dari arah barat ke timur yaitu: Kali Plumbon, Kali
Mangkang Kulon, Kali Beringin, Kali Randugarut, Kali Boom Karanganyar, Kali
Tapak, Kali Tugurejo, Kali Jumlong, Kali Buntu, Kali Tambakharjo, Kali Silandak,
Kali Siangker, Kali Bulu, Kali Kali Asin, Kali Semarang, Kali Baru, Kali Banger,
Kali Tenggang, dan Kali Sringin (lihat peta aliran sungai Kota Semarang).
Sesuai dengan perkembangan zaman, maka nama-nama sungai juga
mengalami perubahan nama, namun pola aliran sungainya relatif tetap. Kali
Banjir Kanal Barat dan Kali Banjir Kanal Timur merupakan dua sungai besar yang
membelah kota Semarang. Kedua sungai ini sejak zaman Belanda sudah
menimbulkan bencana banjir, namun kejadian banjir pada masa itu tidak sehebat
banjir yang datang tahun 1990 maupun banjir tahun 2002. Dahulu jumlah
permukiman yang berada di Semarang Bawah masih sedikit, demikian pula
2

permukiman yang berada di daerah hulu sungai atau Semarang atas masih
sangat sedikit keberadaannya.
Upaya yang dilakukan pemerintah Belanda untuk pengendalian banjir
dengan berbagai cara, antara lain memotong aliran Kali Semarang dengan
melakukan pelurusan Kali Garang menjadi Kali Banjir Kanal Barat. Pada tahun
1892 upaya pengendalian banjir tersebut dilengkapi dengan pembangunan
tanggul atau normalisasi Kali Banjir Kanal Barat. Pada tahun 1900 upaya
pembuatan tanggul atau normalisasi sungai dilanjutkan pada kali Banjir Kanal
Timur. Berikut ini akan dipaparkan tentang kondisi sungai-sungai besar di Kota
Semarang.

1. Pola aliran Kali Banjir Kanal Barat


Kali Banjir Kanal Barat merupakan saluran penampung aliran dari tiga
buah sungai utama yang ketiganya berhulu di daerah Gunung Ungaran, yaitu
Kali Kreo, Kali Kripik, dan kali Garang Hulu. Ketiga kali tersebut bertemu
menjadi satu di dekat desa Kalipancur, lokasi tersebut ditandai dengan
adanya monumen atau tugu yang dinamakan Tugu Suharto. Secara
keseluruhan DAS Garang mempunyai luas sekitar 240 km 2 dan panjangnya
32 km2. Panjang alur Kali Garang Hulu adalah 30 km, Kali kripik 10,4 km, dan
kali Kreo sekitar 10,5 km
Hulu Kali Garang di daerah selatan terdiri dari daerah perbukitan
gunungapi kwarter, bagian tengah merupakan daerah perbukitan gunungapi
Pleistosen dan endapan gamping berbukit, serta pada bagian bawah DAS
merupakan dataran alluvial pantai. Secara hidrologi bentang lahan bagian
atas dan tengah merupakan kawasan resapan yang cukup potensial. Pada
bagian hilir kali Garang terdapat bendung Simongan, yang berfungsi untuk
menaikkan muka air guna kebutuhan air baku bagi PDAM Semarang, dan
penggelontoran drainase kota melalui Kali Semarang. Batas antara Kali
Garang dan kali Banjir Kanal Barat adalah bendungan Simongan, Kali Banjir
Kanal Barat terletak di bagian hilir bendung Simongan.
3

Pada daerah hulu kali garang, Kali Kripik, dan Kali Kreo beserta anak-
anak sungainya membentuk daerah erosi yang luas dan intensif, bahkan di
sepanjang daerah plateau Kali garang menyayat dengan gradient yang tinggi
dan terjal. Mengarah ke hilir pada pertemuannya dengan Kali Kreo
membentuk dataran banjir yang cukup luas, selebar kurang lebih 500 meter
dan memanjang sejauh 3 kilometer hingga dataran pantai Semarang. Pada
daerah ini atau tepatnya setelah pertemuan dengan dua sungai lain, Kali
Garang mengalir dengan pola aliran meander atau berkelok-kelok.

2. Pola aliran Kali Banjir Kanal Timur


Kali Banjir Kanal Timur merupakan saluran penampung aliran dari
sebuah sungai yang agak besar yaitu Kali Pengkol dengan cabang-
cabangnya yang berupa sungai-sungai kecil antara lain Kali Jurugajar, kali
Wideng, Kali Sat, Kali Braholo, Kali Kedungmundu, dan Kali Candi.
Seperti kondisi Kali Banjir Kanal Barat, maka hulu DAS Banjir Kanal
Timur berupa kawasan perbukitan dan daerah hilir sungai berupa dataran
alluvial yang relatif landai, sehingga aliran air memerlukan waktu yang lebih
lama untuk mencapai laut. Dahulu daerah hulu sungai merupakan kawasan
pertanian atau hutan, yang secara umum disebut sebagai kawasan
konservasi yang berfungsi sebagai kawasan penyangga. Kawasan tersebut
meliputi Jangli, Jomblang, kawasan Candi, Gunung Gombel, dan kawasan
Tembalang bagian utara. Kawasan tersebut merupakan daerah yang
berdampingan dengan kota sehingga sekarang (pada tahun 2002) sudah
menjadi kawasan permukiman yang padat.
Pada kawasan hulu sungai Banjir Kanal Timur ini sudah berubah, dari
lahan konservasi menjadi areal permukiman. Pada musim penghujan
kawasan hulu sungai tidak dapat meresapkan banyak air, sehingga air sungai
mengalir menjadi aliran permukaan yang deras dan membawa material yang
tererosi dan diendapkan di Kali banjir Kanal TImur.
4

Secara umum berdasarkan pada bentuk dan aliran sungainya, maka


pola aliran sungai Kali Banjir Kanal Barat dan Timur dapat dibedakan menjadi
dua macam yaitu pola aliran sungai subdendritik dan subparenial
(Sihwanto1983). Pola aliran sungai subdendritik terdapat di bagian selatan
menempati daerah satuan medan pegunungan. Pola aliran jenis ini banyak
dipengaruhi oleh kemiringan lereng dari kaki Gunung Ungaran yang sesuai
dengan arah aliran sungai yaitu ke arah utara. Sungai dengan pola aliran jenis
ini mempunyai cabang-cabang anak sungai yang tidak teratur dan berbentuk
menyerupai urat daun. Sungai yang termasuk dalam kategori pola aliran
subdendritik antara lain Kali Garang, Kali Kripik, Kali Kreo, dan Kali Pengkol.
Pola aliran subparenial terdapat di bagian tengah dan utara ,
menempati daerah satuan medan perbukitan dan dataran, yang secara umum
mempunyai kemiringan lereng ke arah utara. Pola aliran sungai ini banyak
dipengaruhi oleh keadaan topografi yang mempunyai kemiringan lereng ke
utara sesuai dengan arah aliran sungai yang mengalir ke utara. Satuan batuan
yang dilewati oleh pola aliran ini terdiri dari batulempung gampingan, batupasir
gampingan, breksi vulkanik, dan batupasir volkanik yang kadang-kadang
diselingi dengan konglomerat serta aluvial.

3. Pola aliran Kali Beringin


Kali Beringin termasuk dalam kategori sungai yang besar di kota
Semarang. Luas DAS Beringin mencapai sekitar 38,65 km 2 dengan panjang
sungai utama dari hulu sungai sampai hilir mencapai 21 km. Sungai ini cukup
menarik untuk dikaji karena setiap tahun kawasan hilir dan muara sungai
tepatnya di kelurahan Wonosaro, Mangkang, dan Tambak sari selalu
mengalami banjir. Kejadian banjir di daerah ini dari tahun ke tahun bertambah
besar dan kawasan banjir semakin meluas. Pada daerah hulu sungai
tepatnya di Kelurahan Ngaliyan dan Mijen terjadi perubahan penggunaan
lahan secara luas menjadi kawasan permukiman, sehingga memperbesar
aliran permukaan di DAS Beringin.
5

Bentuk DAS Beringin menunjukkan pola memanjang dengan lebar


pada bagian tengah DAS mencapai sekitar 25 m dengan kedalaman sungai
sekitar 5 m tepatnya di Kelurahan Wonosari, sedangkan bagian hulu dan hilir
DAS menyempit. Pada muara kali Beringin di kelurahan Tambaksari lebar
sungai menyempit menjadi sekitar 6,5 m dengan kedalaman 2 m saja.
Fenomena penyempitan sungai tersebut sangat menghambat arus aliran air,
diperparah lagi dengan topografi yang datar dari kelurahan Wonosari sampai
Tambaksari atau laut. Pada saat terjadi hujan deras dengan intensitas tinggi
maka limpasan Kali Beringin akan menerjang areal permukiman dan
persawahan yang ada di kanan kiri sungai.
Pola aliran sungai termasuk kategori dendritik, pada bagian hulu
sungai berkelok-kelok dan banyak terdapat cabang anak sungai. Cabang
anak sungai Beringin tersebut ada yang berkelok arah sebesar 90 0, berbentuk
meander dan bentuk pembelokan tersebut menghambat arus aliran sungai.
Banyaknya anak sungai dengan arah aliran yang tidak teratur disebabkan
karena lokasinya di Kecamatan Ngaliyan pada daerah perbukitan atau
topografi yang bergelombang.
Arus aliran yang besar dan kuat pada musim hujan memacu proses
penggerusan pada beberapa tempat, sehingga terjadi kelokan-kelokan sungai
atau mender. Bentuk sungai tidak lurus lagi, sehingga menghambat arus air
dan sewaktu terjadi aliran besar arah aliran cenderung lurus dan akan
menerjang areal permukiman.

Berikut ini ditampilkan pola aliran sungai dari tiga buah sungai besar di
kota Semarang, yaitu Kali Banjir Kanal barat, kali Banjir Kanal Timur, dan Kali
Beringin.
6

Gambar 1. Pola Aliran Sungai Banjir Kanal Barat


7

Gambar 2. Pola Aliran Sungai Banjir Kanal Timir,


8

Gambar 3. Pola Aliran Sungai Beringin.


9

B. Kondisi Banjir Kota Semarang


Semarang sebagai ibukota Propinsi Jawa Tengah terletak di pinggir pantai
utara Jawa. Luas wilayah mencapai luas 373,73 km 2 dengan topografi yang unik
karena dapat dibedakan dalam 3 bentuk lahan dengan batas yang mudah
diamati, yaitu daerah pantai seluas sekitar 10 %, dataran rendah seluas 26 %,
dan daerah perbukitan seluas 64 %. Kemiringan lereng di daerah pantai dan
dataran rendah berkisar antara 0-10 % dengan ketinggian 0 – 3,5 meter di atas
permukaan air laut. Pada daerah perbukitan mempunyai kemiringan lereng
sekitar 2 % sampai 40%. Keunikan kondisi di atas memberikan kenyamanan bagi
penduduk yang tinggal di kawasan perbukitan atau disebut sebagai kawasan
Semarang atas, namun terutama pada musim hujan akan akan memberikan
kesengsaraan pada daerah pantai dan dataran rendah yang rentan akan bahaya
banjir dan genangan. Air limpasan hujan akan mengalir dari daerah perbukitan
menuju daerah pantai. Apabila terjadi hujan yang bersamaan di kawasan
Semarang atas dan Semarang bawah, maka aliran limpasan tidak dapat masuk
ke laut dengan cepat karena di daerah pantai telah terjadi genangan akibat hujan
lokal, akibatnya terjadi genangan dan banjir di bantaran sungai maupun pada
daerah yang cekung seperti kawasan simpanglima. Kondisi tersebut diperparah
lagi bila datangnya hujan lokal di Semarang bawah bersamaan dengan adanya
limpasan atau banjir kiriman dari atas, dan pasang naik air laut, maka areal
genangan semakin meluas.
Menurut BCEOM (lembaga bimbingan teknis Departemen PU, dalam
Retno, 2002), banjir Semarang sudah mulai menjadi masalah sejak tahun 1970.
Namun jauh sebelum itu menurut Bemmelen, pada masa kolonial Belanda,
penanggulangan banjir lokal sudah dilakukan dengan cara membangun saluran
Banjir Kanal Kali Baru (tahun 1872), saluran Banjir Kanal Barat (pada tahun
1892), dan saluran Banjir Kanal Timur (tahun 1900). Berarti pada masa itu
kejadian banjir dirasakan sudah menggangu aktivitas rakyat dan khususnya bagi
pemerintah kolonial Belanda, sehingga merasa perlu untuk membuat tanggul
penahan aliran pada saat terjadi banjir pada ketiga saluran tersebut.
10

Banjir besar di Semarang yang cukup signifikan sejak dasawarsa terakhir


adalah kejadian banjir pada tahun 1973, 1990, 1993, 2000, dan terakhir pada
bulan Januari 2002 yang lalu. Karakter banjir di kota Semarang yang sangat
beragam menimbulkan permasalahan yang cukup kompleks, seperti banjir di
kawasan Tawang Mas (Kompas, 09/04/2001) yang terjadi akibat pembelokan
sungai Tawang, sungai Cicacah, dan sungai Ronggolawe (demi dibangunnya
kawasan wisata Pusat Rekreasi dan Pameran Pembangunan PRPP dan Puri
Maerokoco menjadi anak sungai Banjir Kanal Barat.
Kejadian banjir yang diuraikan di atas merupakan fenomena banjir kiriman
dari daerah hulu sungai, namun kejadian banjir lokal dan Rob tak kalah
menariknya untuk dikaji dan diupayakan penanggulangannya, karena
menimbulkan banyak masalah dan merisaukan masyarakat akibat luas genangan
yang semakin meluas. Banjir lokal merambah kawasan Simpang Lima, Pleburan-
UNDIP, bundaran Jl.Pahlawan, Jl.A.Yani, bundaran Bubakan, pertokoan Johar,
Jurnatan, dan terutama pada kawasan Kota Lama, serta Kaligawe sampai
Terminal Terboyo. Kawasan Rob juga senantiasa menghampiri kawasan Kota
Lama, Bandarharjo, Ronggowarsito, kawasan Pelabuhan, Terminal Bus Terboyo,
dan Kaligawe, fenomena banjir lokal, banjir kiriman, dan Rob saling
mempengaruhi dan mengakibatkan kawasan banjir genangan semakin meluas.
Bahkan menurut Suara Pembaharuan (02/07/99) untuk kawasan Rob sudah
meluas sekitar 1700 ha menuju kearah Semarang Urata dan Semarang Barat,
dengan ketinggian 50 sampai 75 cm. Banjir Rob ini sangat mengganggu dan
merusak infrastruktur yang ada, menghambat kegiatan di Pelabuhan Tanjung
Mas, dan otomatis menjadi kendala bagi pertumbuhan perekonomian Kota
Semarang..

1. Jenis / Penggolongan Banjir di Kota Semarang


Setiap musim penghujan kawasan Semarang yang berada pada elevasi
rendah akan selalu mengalami genangan air dan banjir, bahkan pada daerah
pantai meskipun tidak turun hujan ada daerah yang tergenang akibat pasang
air laut atau Rob. Penyebab banjir di kota Semarang dapat diidentifikasi dan
11

dibedakan menjadi tiga macam kejadian banjir, yaitu banjir lokal, banjir
kiriman, dan banjir pasang air laut (rob) yang diuraikan sebagai berikut.

Banjir lokal sering terjadi di pusat kota Semarang, disebabkan oleh


keadaan topografi yang rendah atau berada pada kawasan cekungan.
Kawasan Semarang bawah merupakan daerah reklamasi pantai, merupakan
lahan bekas rawa dan tambak, sehingga diperkirakan daerah ini berupa
cekungan atau berupa daratan yang landai. Dataran rendah yang landai
dapat mengakibatkan terhambatnya aliran hujan yang turun dan mengalir
menuju ke laut. Aliran air hujan tidak bisa mengalir secara cepat ke laut
apalagi kalau terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi atau terjadi hujan
lebih dari 2 jam, air hujan yang jatuh tidak dapat segera masuk ke laut karena
slope di dataran rendah ini sangat kecil.
Landainya dataran rendah mulai dari kaki bukit sampai ke muara di
bagian utara, akan menimbulkan limpahan air hujan yang datangnya cepat,
tetapi untuk mencapai ke laut dibutuhkan waktu yang lama. Penyebab lain
adalah kondisi pantai di muara Kali Semarang dan Kali Banger yang sangat
landai dan dangkal. Disamping itu terdapat kecenderungan berkembangnya
garis pantai ke arah laut yang terjadi akibat reklamasi pantai secara alami
maupun yang dilakukan oleh Pelabuhan Tanjung Mas dan tempat rekreasi
Tanjung Mas. Perkembangan pantai utara Semarang secara alami menurut
hasil penelitian diperkirakan mencapai 10 meter per tahun.
Banjir kiriman datang melalui sungai-sungai yang ada di Kota
Semarang, yang mengalirkan air dari daerah atas (Semarang Atas) ke daerah
bawah menuju ke lautan. Pada kondisi normal air sungai akan mengalir
normal dan tidak menimbulkan banjir, namun pada kondisi tidak normal pada
saat terjadi hujan di daerah atas atau hulu sungai dengan intensitas tinggi
atau terjadi hujan deras selama 2 (dua) jam maka akan terjadi aliran sungai
yang besar dan deras. Apabila sungai tersebut tidak dapat menampung maka
air sungai akan melimpah ke luar bantaran sungai dan terjadilah banjir.
Kejadian banjir ini terutama terjadi di daerah dataran rendah Kota Semarang
yang landai, penyebabnya limpahan air hujan yang mengalir di sungai
12

datangnya cepat sedangkan untuk mencapai laut dibutuhkan waktu yang


lama karena terhambat oleh kemiringan dasar sungai yang landai di dataran
rendah.
Semakin berkembangnya perumahan penduduk yang didirikan di
daerah hulu perbukitan, pembukaan lahan terbuka di kawasan perbukitan
akan menyebabkan berkurangnya areal peresapan air sehingga limpasan air
yang menuju ke sungai menjadi sangat besar. Pembukaan lahan hijau
menjadi areal terbuka dapat menyebabkan laju erosi dan sedimentasi menjadi
meningkat pula. Efek berikutnya terjadilah banjir kiriman yang menuju ke
daerah bawah Kota Semarang semakin besar disertai dengan proses erosi
dan sedimentasi.
Banjir pasang air laut atau Rob di Kota Semarang lebih dikenal
dengan istilah rob, disebabkan karena terjadinya pasang air laut. Wilayah
yang terkena banjir jenis ini adalah daerah yang dekat dengan pantai. seperti
komplek perumahan Tanah Mas, Kelurahan Darat Lasimin, Kelurahan Mlaju
Darat, Kelurahan Bandarharjo, Kelurahan Kuningan, Kelurahan Dadapsari,
dan kelurahan Tanjung Mas. Daerah yang terkena banjir rob akibat pasang air
laut umumnya mempunyai elevasi permukaan tanah antara +1,00 m sampai
+1,5 m, sedangkan pasang maksimum pernah terjadi pada tahun 1996 sudah
mencapai +1,84 m.
Banjir pasang air laut ini akan terasa semakin berat pada saat terjadi
hujan deras bersamaan dengan terjadinya pasang air laut, dan akan terasa
berat lagi apabila datangnya secara antara banjir kiriman, hujan lokal dan
terjadi pasang air laut. Banjir pasang air laut terjadi karena air laut masuk ke
daratan atau permukiman melalui Kali Semarang, Kali Baru, Kali Asin, dan
terus menggenang pada tepi sungai dan pada daerah yang mempunyai
topografi rendah.

2. Faktor Penyebab Banjir secara umum di Kota Semarang


Beberapa faktor penyebab timbulnya banjir pada satu tempat (kelurahan
berbeda dengan tempat lain, tergantung pada topografi, fisiografi, dan bentuk
13

lahan suatu wilayah. Identifikasi tentang beberapa penyebab terjadinya banjir


pada setiap kecamatan telah dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Kota
Semarang dalam rangka proyek penyusunan Semarang Urban Drainage Master
Plan Project (SUDMP)Tahun 2000. Faktor penyebab tersebut antara lain banjir
karena kiriman dari hulu, banjir pasang air laut, karena saluran tersumbat lumpur
atau sampah, limpasan dari sungai, atau karena ada bangunan yang melintang
dan mengganggu aliran/saluran. Uraian tentang faktor penyebab banjir pada
setiap kecamatan diuraikan seperti Tabel 2.

Tabel 1. Faktor Penyebab Banjir di Kota Semarang


Faktor Penyebab Banjir
No Kecamatan
Kiriman PasangTidak ada Saluran Sal. Ter- Limpas- Terhalang Lain- nya
dari naik saluran tersum- sumbat an dari bangunan
hulu (rob) bat sampah sungai
sedimen
1 Semarang Barat v v v v v v v v
2 Semarang Utara v v v v v v
3 Semarang Timur v v v v v v
4 Semarang Tengah v v v v
5 Semarang Selatan v v
6 Tugu v v v v
7 Ngaliyan v v v
8 Genuk v v v v
9 Gayamsari v v v
10 Pedurungan v v v
11 Candisari v v
12 Gadjah Mungkur v v
13 Banyumanik v v v v
14 Tembalang
15 Gunungpati
16 Mijen v
Sumber: SUDMP DPU, 2000.

Beberapa kecamatan mempunyai faktor penyebab banjir yang berbeda-


beda, selain itu masing-masing kecamatan mempunyai sumber banjir dari sungai
atau saluran yang berbeda pula, berikut ini dipaparkan tentang beberapa nama
sungai dan saluran yang menjadi sumber banjir. Khusus untuk kecamatan
Tembalang dan Gunungpati tidak pernah mengalami kejadian banjir karena
lokasinya pada daerah perbukitan dan lereng gunung Ungaran, jenis sungai atau
saluran juga tidak ada karena merupakan kawasan hulu sungai.
14

Tabel 2. Nama sungai dan saluran sebagai sumber banjir di Kota Semarang

No Kecamatan Nama sungai dan saluran


1 Semarang Barat K.Silandak, K.Siangker, sal.Tawang Mas, sal.PUK I.
2 Semarang Utara K. Semarang, K. Panggung, K. Asin, K. Plombokan
3 Semarang Timur K.Banger, saluran A2, Banjir Kanal Timur, sal.Mataram-
Patimura.
4 Semarang Tengah J.Taman Pierre Tendean,Jl.Imam Bonjol,Jl.Magersari, Kp.
Malang, Jl.Tanjung, Jl.Ade Irma Suryani, Jl.Indraprasta.
5 Semarang Selatan K. Bajak, Banjir Kanal Timur dan Barat, Sungai Kanal,
K. Cokroadinowo, sal.BPLP.
6 Tugu K. Beringin, K. Plumbon, K. Karanganyar.
7 Ngaliyan K.Beringin, K.Wates, K.Plumbon, K.Silandak, K.Pondok,
K.Gogor
8 Genuk K.Babon, Sal antara Genuk-Pedurungan, sal batas
pangkalan utara Kel Genuksari.
9 Gayamsari K. Kandang Kebo, K. Sanggrahan, K. Tenggang.
10 Pedurungan K. Babon Penggaron Kidul, Sal. Supriyadi, Sal. Satrio
Wibowo Tlogosari Kulon.
11 Candisari Saluran Kali Tandang
12 Gadjah Mungkur Sal. Kali Tuk, sal. Kali Garang, sal. Jl.Merapi.
13 Banyumanik S. Sikalong, S. Jatiwayang, S. Sikrengseng, S.
Kaligarang, Sal. Ngresep Barat III.
14 Tembalang -
15 Gunungpati -
16 Mijen Sal depan Polsek, sal. Jl.Untung Suropati/Palapa,
sal.Kedungpane, sal.Depan PT. Tri Cahya Purnama.
Sumber: SUDMP DPU, 2000.

3. Sistem Drainase di Semarang Bawah

Saluran drainase di dalam kota khususnya untuk kota bagian utara


(Semarang Bawah) dimaksudkan untuk membuang air limbah rumah tangga dan
air hujan, agar tidak terjadi genangan atau banjir. Sistem drainase di Semarang
Bawah (khususnya antara kali Banjir Kanal Barat dengan Kali Banjir Kanal
Timur), dibagi menjadi lima sistem daerah pengaliran, yaitu daerah pengaliran
Bulu (78.35 ha), daerah pengaliran A 2 Leideng (324 ha), daerah pengaliran
Randusari (82,05 ha), daerah pengaliran kali Semarang (660,32 ha), dan daerah
pengaliran A1 leideng (514,90 ha) (Sudarsono, 1996). .

Kelima sistem daerah pengaliran yang ada di Semarang bawah yang


paling luas adalah sistem drainase Kali Semarang. Daerah pengaliran Kali
15

Semarang dibagi lagi menjadi 15 daerah drainase. Pembuangan air sebagian


daerah drainase pada sistem drainase Kali Semarang dibantu dengan pompa ke
Kali banjir Kanal Timur, daerah tersebut mencakup sistem drainase Simpang
Lima dan Singosari. Selain itu sistem pembuangan ke laut melalui Kali
Semarang, Kali Banjir Kanal Barat, dan Kali Baru. Bahkan sekarang (sejak tahun
2001) dibangun satu sistem polder di sepan stasiun Tawang yang berfungsi untuk
mengatur dan menampung limpahan air hujan pada satu sub sistem drainase
Bandarharjo saja. Idealnya diperlukan beberapa Polder pada beberapa sub
sistem dengan tujuan /fungsi yang sama.

Kali Semarang merupakan sistem drainase primer untuk membuang


limbah dan mengalirkan air hujan. Elevasi tertinggi Kali Semarang (pada
Bendung Simongan) 5,6 m di atas permukaan air laut, panjang Kali Semarang
dari Bendung Simongan sampai muara 13,9 km, dan gradien rata-rata Kali
Semarang sebesar 0,40 m/km (DPU Kodya Semarang, 1990). Aliran Kali
Semarang merupakan kepanjangan Kali Garang, berawal dari Bendung
Simongan dan bermuara di laut Jawa. Dari Bendung Simongan ke arah timur
sampai di rumah Sakit Dr. Kariadi, membelok ke utara sampai di Tugu Muda,
terus ke gandok Puspo ke arah timur laut sampai di Pasar Johar dan arah aliran
berbelok ke arah barat laut. Sebelah utara Pasar Johar Kali Semarang
bercabang dua, yaitu lurus ke utara menuju Kali Baru terus ke pelabuhan dan
yang ke arah barat laut merupakan kelanjutan Kali Semarang dan bermuara di
laut Jawa.

4. Fenomena Banjir di Pusat Kota Semarang

Kejadian banjir di kota Semarang dari tahun ke tahun dirasakan semakin


meningkat baik frekuensi, kedalaman, dan luas genangannya. Pada tahun 1980
beberapa bagian kota Semarang bagian utara atau kota bawah telah sering
dilanda banjir yang disebabkan oleh jenis banjir lokal. Daerah-daerah lokal yang
sering terkena banjir, terutama adalah daerah yang terletak pada satuan bentuk
lahan yang rendah, terletak di tepi Kali Banger dan Kali Semarang. Kedalaman,
16

lama, dan luas banjir di kota Semarang bagian bawah periode tahun 1990
sampai tahun 1996 dapat dilihat pada tabel berikut ini dan dapat diamati dari
Peta daerah banjir di pusat kota Semarang dari tahun 1980 sampai tahun 1995..

Tabel 3. Kedalaman, lama dan luas banjir lokal di pusat kota Semarang
Tahun 1980 – 1995

Lokasi Tahun Kedalaman Lama Luasan (Ha)


(cm) (jam)
Komplek Jl Agus Salim 1980 - - -
1985 50 2-4 5
1990 50 2-4 5
1995 70 3-4 6
Kawasan Mlatiharjo 1980 10-30 1-2 2
1985 40 - 60 2-5 2
1990 60-70 2-5 2
1995 10-20 1-2 2
Komplek Jl. Mataram 1980 - - -
1985 40 3-5 14
1990 40 3-6 16
1995 20 2-3 4
Kawasan Pengapon 1980 10 - -
1985 40 3-4 9
1990 40 3-5 12
1995 20 2-3 6
Kawasan Rejomulyo 1980 20 1-2 10
1985 40 2-5 12
1990 40 2-5 10
1995 10 1-2 4
Kawasan Simpang Lima 1980 0-20 1-2 5
1985 30-50 2-5 16.3
1990 50-70 2-5 16.3
1995 20-30 0-2 10
(Sumber: DPU Kotamadya Semarang, 1996 dan Liesnoor, 1998)

Berdasarkan Tabel 3 di atas, diketahui bahwa lama dan kedalaman banjir


bervariasi. Di sekitar Jalan Agus Salim, pada tahun 1980 belum ditemukan
adanya banjir, kawasan yang di landa banjir lokal hanya sebagian kecil saja dan
tersebar. Antara tahun 1985 sampai 1990 kondisi banjir relatif tetap, tetapi pada
tahun 1995 kedalaman mengalami kenaikan dari 50 cm menjadi 70 cm, namun
sekarang (sejak tahun 2000) mengalami penurunan lagi karena dilakukannya
program peninggian jalan sekitar 50 cm dan program pavingisasi. Lama
17

genangan juga mengalami kenaikan dan penurunan seperti terlihat pada Tabel 3
di atas. Peninggian badan jalan maupun bangunan berlomba dengan banjir.
Komplek Mlatiharjo, Jalan Mataram, daerah Pengapon, dan Rejomulyo,
pada tahun 1980 kondisi banjir belum meluas, bahkan di Rejomulyo wilayah yang
dilanda banjir masih sedikit dan tersebar atau dapat dikatakan belum ada banjir.
Pada tahun 1985 sampai 1990 kejadian banjir meningkat baik luasan maupun
lama genangan, terutama di daerah Mlatiharjo. Pada tahun 1995 sampai 2000
kejadian banjir baik ketinggian, luasan maupun lama genangan menurun
disebabkan karena ada proyek peninggian badan jalan dan pavingisasi yang
dilakukan di daerah pusat kota Semarang terutama di kawasan Kota Lama.
Kawasan Simpang Lima mengalami banjir yang selalu meningkat dari
tahun 1980 sampai 1990. Namun mulai tahun 1995 dapat dikatakan bebas banjir,
karena dilakukan proyek normalisasi saluran drainase di seputar Simpang Lima
yang berfungsi untuk menampung sebagian air limpahan air hujan maupun
limpasan dari Semarang atas. Selain itu stasiun pompa Kartini yang berfungsi
menyedot air di Komplek Simpang Lima ke Kali Banjir Kanal Timur sudah
beroperasi secara penuh. Namun apabila terjadi terjadi hujan dengan intensitas
tinggi, kawasan Simpang Lima masih sering tergenang air walaupun hanya
dalam waktu kurang dari 1 jam. Hal ini disebabkan terbatasnya kapasitas saluran
penampung dan kemampuan debit pompa di stasiun Kartini dalam menyedot air
dari kawasan Simpang Lima ke Kali Banjir Kanal Timur.
Uraian di atas menceritakan tentang fenomena banjir di Kawasan pusat
kota Semarang, dengan sumber limpasan banjir dari Kali Banjir Kanal Barat, Kali
Banjir Kanal Timur, Kali Semarang, kali Banger, maupun kali Baru. Berikut ini
akan diuraikan fenomena yang terjadi banjir yang terjadi di kawasan Semarang
Barat, dengan sumber limpasan banjir dari Kali Beringin dan Kali Plumbon.
Fenomena banjir di kawasan ini perlu dikaji karena kejadian banjir dari tahun ke
tahun semakin meningkat dan kawasan yang terlanda banjir berupa permukiman
penduduk dan areal persawahan.
18

5. Fenomena Banjir di Kecamatan Tugu

Banjir yang terjadi di kecamatan Tugu tepatnya kelurahan Mangkang,


Tambaksari, dan Wonosari disebabkan terutama oleh meluapnya Kali Beringin
dan sebagian kecil oleh Kali Plumbon. Kali Beringin merupakan sungai dengan
DAS yang cukup luas sekitar 38 km 2 melewati dua kecamatan, yaitu kecamatan
Ngaliyan dan kecamatan Tugu. Hulu sungai merupakan wilayah Kecamatan
Ngaliyan yang banyak mengalami perubahan penggunaan lahan dari lahan hutan
menjadi lahan terbuka atau lahan permukiman, sehingga diidentifikasi sebagai
faktor penyebab meningkatnya debit aliran kali Beringin.
Berdasarkan hasil penelitian Liesnoor (2000) diidentifikasi bahwa kejadian
banjir terjadi pada setiap tahun dengan tinggi, lama, dan luas genangan yang
bervariasi (lihat Tabel 4), Kejadian banjir yang paling besar terjadi pada tahun
1976, dan tahun 1999, banjir pada kurun waktu tersebut mengakibatkan jebolnya
tanggul sungai dan hanyutnya beberapa rumah dan harta benda penduduk.

Tabel 4. Tinggi dan lama genangan banjir Kali Beringin


Tinggi genangan berdasarkan jarak Lama genangan berdasarkan
Tahun Kejadian
dari sungai jarak dari sungai
Banjir
(0-50) m (50-100)m (> 100) m (0-50) m (50-100)m (> 100) m
1976 1,0 - 2,5 m Tidak Tidak 8 jam s/d Tidak Tidak
banjir banjir 3 hari banjir banjir

1999 1,0 – 2,0 m 0,5 – 1,0 m 0,5 – 1,0 m 2 s/d 5 2 s/d 3 1 s/d 3
jam jam jam
2 jam s/d 2 s/d 6
2000 0,5 – 2,5 m 1,0 – 2,0 m 0,5 – 1,5 m 1 s/d 4
1hari jam
jam
Sumber: Hasil Penelitian, Liesnoor tahun 2000.

Kejadian banjir terjadi pada setiap tahun, tepatnya pada saat terjadi hujan
lebat di daerah hulu dan hilir secara bersamaan. Banjir yang dirasakan cukup
mengganggu terutama pada lokasi 0 sampai 50 meter dari sungai, dengan lama
genangan ada yang mencapai hitungan satu hari atau pada kejadian banjir pada
tahun 1976 mencapai lama genangan sampai 3 (tiga) hari terencam air. Kejadian
19

banjir Kali Beringin dirasakan dari tahun ke tahun semakin meluas dan meningkat
frekuensinya.
Faktor penyebab utama peningkatnya banjir Kali Beringin diuraikan
sebagai berikut (Liesnoor, 2000), yaitu:
1. bentuk dan arah aliran yang tidak konstan,
2. bentuk lahan perbukitan digunakan sebagai kawasan perkembangan
permukiman, sehingga memperbesar limpasan Kali Beringin,
3. lokasi perkembangan permukiman berada pada lokasi yang tidak tepat,
4. terjadi penyempitan lebar sungai pada daerah hilir DAS, pada hulu sungai
lebar mencapai sekitar 20 meter dengan kedalaman 5 meter, sedangkan pada
hilir lebar sungai menjadi hanya 4 meter dengan kedalaman 2 meter saja.
5. kapasitas saluran di daerah hilir DAS sangat kecil, sehingga pada saat
terjadi limpasan besar air sungai tidak tertampung dan meluap, terjadilah
banjir.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa banjir di Kota


Semarang bawah disebabkan oleh kapasitas saluran yang lebih kecil dari debit
aliran sungai. Kapasitas saluran yang tidak dapat menampung debit aliran dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pendangkalan saluran, penyempitan
saluran, dan meningkatnya debit aliran sungai, kerusakan DAS di daerah hulu
seperti pembukaan lahan hutan atau lahan konservasi yang dipergunakan untuk
kawasan permukiman atau lahan terbuka.
20

C. Kondisi Banjir Rob di Kota Semarang


Secara topografis 60 % kota Semarang terdiri dari daerah berbukit dengan
Kemiringan daerah berkisar 2 – 40 % dan berada 90-270 meter di atas muka air
laut, sedangkan 30 % merupakan dataran rendah dan 10 % berupa daerah
pantai dengan kemiringan antara 0 – 20 % dengan ketinggian antara 0-3,5 meter
di atas muka air laut). Berdasarkan data tersebut maka luas wilayah 60% dapat
dikatakan sebagai faktor penyebab banjir di Kota Semarang, dan wilayah dataran
rendah dan pantai (dengan luas sekitar kurang dari 40 %) menerima akibatnya
yaitu mengalami kejadian banjir, terutama pada wilayah bantaran sungai, daerah
cekungan, dan daerah dekat muara sungai.

1. Fenomena Banjir Pasang Air Laut (Rob) di Kota Semarang


Pada akhir tahun 1980-an, beberapa lokasi di Kota Semarang bawah telah
dilanda banjir yang disebabkan banjir lokal dan banjir karena pasang air laut.
Tempat-tempat yang sering dilanda banjir lokal antara lain Simpang lima, Sekayu,
Rejomulyo, di sekitar muara Kali Semarang dan sekitar muara Kali Banger
(Purwadi, 1988). Pada pertengahan tahun 1990-an, genangan air rob telah
meluas ke arah daratan sesuai dengan elevasi permukaan tanah dan hampir
semua wilayah di tepi pantai Kota Semarang telah terkena genangan rob
(Liesnoor, 1998). Meluasnya banjir karena pengaruh pasang tersebut disebabkan
oleh turunnya permukaan tanah atau disebut amblesan tanah.

Tabel 5. Kedalaman dan lama genangan air rob pada tiga kelurahan di Kecamatan
Semarang Utara, Tahun 1984, 1990, dan 1996.

No Lokasi banjir Tahun 1984 Tahun 1990 Tahun 1996


(Kelurahan) Kedalaman Lama Kedalaman Lama Kedalaman Lama
(cm) (jam)) (cm) (jam)) (cm) (jam)
1 Tanah Mas 20-30 3-5 - - - -

2 Panggung Lor - 40-50 3-5 50 1-2 -

3 Bandarharjo 50 3-6 50 4-6 60 4-6

Sumber: DPU Kota Semarang (dalam Sugiyanto, 1999)


21

Kejadian banjir pasang air laut atau rob terjadi hampir setiap pada saat
air laut pasang, dengan ketinggian yang bervariasi. Kedalaman dan genangan di
wilayah Tanah Mas dan kelurahan Panggung Lor berkisar antara 20-30 cm,
dengan lama genangan selama 3-5 jam pada tahun 1984 dan sedalam 50 cm
dengan lama genangan 1-2 jam pada tahun 1996. Di keluarahan Bandarharjo
kedalaman genangan mencapai 50-60 cm dengan lama genangan 3-6 jam pada
tahun 1984-1996 (lihat Tabel.5).

Pada tahun 1996 kondisi genangan air rob meluas ke arah daratan
sesuai dengan elevasi muka tanah. Areal air rob ini tergantung dari pasang surut
air laut, pada saat terjadi bulan purnama dan bulan baru kedudukan bulan bumi
dan matahari berada pada satu garis lurus, akan terjadi pasang air laut tinggi.
Pengaruh luasan genangan air laut akan meningkat dan meluas ke daratan,
apabila kejadian pasang bersamaan dengan terjadi hujan deras di daerah hulu
sungai (Ungaran). Akibatnya terjadi areal genangan yang luas karena datangnya
banjir kiriman bersamaan dengan dengan air laut pasang, sehingga limpasan air
tidak bisa secepatnya msuk ke laut.

Tabel 6. Perluasan kawasan genangan tahun 1984 dan tahun 1996 di


Kecamatan Semarang Utara.

No Kelurahan Tahun dan Luas Genangan (ha)


Genangan 1984 % Genangan 1996 %
1 Panggung Lor 0,42 30 1,05 75
2 Panggung Kidul 0,68 20 0,21 60
3 Bandarharjo 2,06 60 3,43 100
4 Kuningan 0,21 50 0,29 70
5 Dadapsari 0,19 40 0,33 70
6 Plombokan 0,09 15 0,44 75
7 Purwosari 0,04 5 0,38 80
8 Bulu Lor 0,15 25 0,36 60
9 Tanjung Mas 0,97 30 2,59 80
Jumlah 4,81 25,5 6,08 67,0

Sumber: Liesnoor, 1998.

Kawasan genangan merupakan kawasan yang selalu terganggu dan


terendam oleh air laut. Kawasan yang dimaksud meliputi penggunaan lahan
22

untuk perumahan, pekarangan rumah, jalan, saluran drainase. Kedalaman


genangan dan lama genangan bervariasi tergantung kondisi topografi, saluran
drainase, dan jarak lokasi terhadap sungai. Pada tahun 1984 persentase
genangan sebesar 25,5 % pada tahun 1996 meluas menjadi 67,0 %. Persentase
pertambahan luas genangan sebesar 31,5 %. Daerah yang sering tergenang
umumnya terletak di tepi sungai, secara umum luasan wilayah kelurahan yang
tergenang dapat dilihat pada Tabel 6 dan peta tentang genangan air laut di
wilayah antara Kali Banjir Kanal Barat dan Kali Banjir Kanal Timur dapat dilihat
pada Gambar 4 dan Gambar 5.

Air rob yang setiap hari selalu datang di kawasan permukiman penduduk
khususnya di Kecamatan Semarang Utara menimbulkan keresahan masyarakat.
Dampak air rob yang dirasakan oleh penduduk antara lain (Sugiyanto, 1999):

a. Bangunan rumah atau tempat tinggal menjadi rusak, dinding rumah yang
tergenang rob menjadi rusak atau rapuh akibat terjadi penggaraman. Sekitar
70 % dari jumlah rumah penduduk di kelurahan Bandarharjo dan Tanjung Mas
serta panggung Lor dinding rumah tumbuh jamur dan rapuh karena proses
penggaraman.
b. Peresapan dan septi tank tidak berfungsi, sehingga mengganggu kesehatan.
Setiap 2 bulan sekali harus dilakukan pengurasan septi tank karena selalu
terendam rob.
c. Air tanah menjadi lebih asin, sehingga tidak bisa diminum, khusunya di yiga
kelurahan di atas.
d. Alat rumah tangga dan kendaraan yang terbuat dari besi akan mudah korosi.
e. Jalan yang semula beraspal menjadi rusak atau mengelupas, sehingga jalan
berubah menjadi tanah berlumpur.
f. Nyamuk mudah berkembang biak di wilayah ini.

Upaya mengatasi dampak rob yang dilakukan oleh penduduk yang


mampu adalah dengan cara meninggkan lantai rumah atau membangunnya
kembal. Bagi yang kurang mampu hanya meninggikan lantai rumah saja. Bagi
yang tidak mampu sama sekali akan membiarkan rumahnya tergenang air rob.
23

Akibat kondisi kemampuan warga atau pemilik rumah tidak sama, maka dalam
meninggikan rumah dan jalan menjadi tidak sama tingginya.

2. Identifikasi Faktor Penyebab Banjir Pasang Air Laut (Rob)

Permukaan laut di pantai utara Semarang terus meningkat, khususnya


pada lokasi Semarang bawah yang dibatasi oleh Kali Banjir kanal Barat dan kali
Banjir Kanal Timur. Pada muara Kali Semarang ada kenaikan permukaan laut
dari tahun 1985 sampai 1996 sebesar 42 cm (pada saat pasang tinggi) dan 11
cm (pada saat pasang rendah). Fenomena naiknya permukaan laut dimaksudkan
untuk memberikan gambaran global tentang faktor-faktor yang berpengarih
terhadap kenaikan air laut. Beberapa kemungkinan penyebab naiknya air laut di
pantai uatara Semarang yaitu: adanya pemanasan global atau terjadi penurunan
muka tanah (Sudarsono, 1996).

a. Pemanasan Global

Pemanasan global adalah gejala naiknya suhu permukaan bumi karena


naiknya intensitas rumah kaca. Pemanasan global telah menjadi isu
internasional, meskipun sebenarnya masih terdapat ketidakpastian tentang
apakah benar akan terjadi pemanasan global. Pada gejala pemanasan global
dikhawatirkan akan terjadi kenaikan permukaan air laut yang disebabkan
oleh: kenaikan suhu dan pemuaian air laut, kenaikan suhu dan melelehnya es
abadi di daerah Antartika dan Artika serta di pegunungan tinggi, atau
terjadinya massa es di Antartika yang lepas dan ambruk ke dalam laut
sehingga permukaan air laut naik (Sumarwoto, 1991).

Apabila ketiga hal tersebut benar terjadi maka di seluruh permukaan laut
di bumi ini akan naik, termasuk pantai utara Jawa dan khususnya pantai
Semarang. Berikut ini ditunjukkan data tentang kondisi pasang surut air laut di
Pantai Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya (tahun 1985 – 1995) dan data
pasut di Pelabuhan tanjung mas Semarang.
24

Apabila dibandingkan, maka kondisi pasang surut di pelabuhan Tanjung


Mas Semarang dan Tanjung Perak Surabaya tidak terjadi kenaikan
permukaan air laut, yang terjadi hanyalah fluktuasi air laut saja. Pengaruh
gejala pemanasan global tidak terjadi pada kedua pelabuhan tersebut, tetapi
lebih banyak disebabkan oleh pengaruh pemanasan lokal saja. (lihat Tabel 7).

Tabel 7. Pasang Surut Air Laut di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan dan
tanjung mas Semarang Tahun 1985 – 1995.

Pasut di Tanjung perak Pasut di Tanjung Mas


No Tahun
Tinggi (cm) Rendah (cm) Tinggi (cm) Rendah (cm)
1 1985 311 33 - -
2 1986 295 31 - -
3 1987 295 21 150 40
4 1988 312 29 151 40
5 1989 321 32 164 46
6 1990 297 21 169 51
7 1991 307 18 169 50
8 1992 295 23 170 57
9 1993 293 26 166 52
10 1994 291 37 168 52
11 1995 307 29 178 54
12 1996 - - 184 56
Sumber: Pelabuhan Tanjung Perak (dalam Sudarsono 1996) dan Pelabuhan Tanjung
Mas (dalam Liesnoor 1998)

Jadi gejala naiknya permukaan air laut di Pantai Semarang bukan


disebabkan oleh isu pemanasan lokal, atau dengan kata lain tidak ada gejala
naiknya permukaan air laut. Perluasan kawasan rob atau banjir pasang air
laut di kota Semarang bukan disebabkan oleh meningkatnya permukaan laut.

b. Gejala Penurunan Muka Tanah

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala penurunan muka


tanah di Kota Semarang telah dapat dibuktikan. Beberapa lokasi pengamatan
gejala penurunan muka tanah terus diamati dari tahun ke tahun, memang ada
angka pasti yang menunjukkan angka penurunan setiap tahunnya. Gejala
penurunan muka tanah berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat
yang lain. Penurunan muka tanah di daerah pantai lebih besar dari daerah
25

perbukitan. Penurunan kawasan pantai yang digunakan untuk permukiman


dan pelabuhan lebih besar jika dibandingkan kawasan pantai yang digunakan
untuk lahan kosong atau kasawan tambak. Muka air laut seolah-olah
mengalami kenaikan, akibatnya air laut semakin terdorong ke arah hulu Kali
Semarang dan kali Baru.

Penentuan titik tinggi tanah (ground controled) di Kota Semarang telah


dilakukan oleh beberapa instansi pemerintah antara lain oleh SPB (Semarang
peril baru) oleh Proyek Pengaliran Jratun Seluna, penentuan TTG (titik tinggi
geodesi) yang dilakukan oleh Bakosurtanal dan Dinas Tata Kota, maupun oleh
Tim SUDMP 2000. Selain itu Tim fakultas Teknik undip tahun 1996 telah
melakukan pemantauan penurunan muka tanah pada titik referensi patok TTG
447, TTG 446 dan DTK Kota Semarang dari SPBU Kaliwiru sampai ke
Pelabuhan tanjung Mas. Data tentang gejala penurunan tanah di Kota
Semarang antara tahun 1984 sampai 1996 dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Penurunan Muka Tanah di Kota Semarang Tahun 1984 - 1996

Lokasi dan No.MB Pengukuran lama Pengukuran baru Penurunan


Tahun Elevasi Tahun Elevasi pertahun (cm)
(m) (m)
SPBU Kali Wiru 1984 105,367 1996 105,367 0
(TTG 447)
Tugu Muda 1991 5,494 1996 5,411 1,66
(DTK 000)
Jl.Imam Bonjol 1993 3,305 1996 3,232 2,43
(DTK 135)
Jl. Arteri Utara 1993 2,010 1996 1,793 7,23
(DTK 223)
Pos I Pelabuhan 1993 1,148 1996 0,992 5,20
(DTK 221)
Sumber: Teknik Hidro Undip, 1996, (dalam Sudarsono 1996)

Berdasarkan Tabel 8, dalam interval tahun 1984 sampai 1996 dapat


diamati adanya gejala penurunan muka tanah pada suatu tempat berbeda
dengan tempat lain. Pada SPBU Kaliwiru tidak ada gejala penurunan muka
tanah, karena kawasan ini merupakan perbukitan dengan batuan yang kuat
dan stabil. Pada daerah Tugu Muda, ada penurunan sebesar 1,6 cm/tahun,
daerah ini merupakan dataran rendah atau dahulu merupakan daerah pantai
26

dan sekarang digunakan sebagai kompleks perkantoran dan sekolah. Jalan


Imam Bonjol ada penurunan sebesar 2,43 cm/tahun, dahulu daerah ini
merupakan kawasan perluasan pantai dan sekarang merupakan kawasan
permukiman yang padat. Jl. Arteri utara sebesar 7,23 cm/tahun dan pada Pos
I Pelabuhan terjadi penurunan sebesar 5,20 cm/tahun, kedua kawasan ini
mengalami penurunan muka tanah yang lebih besar dibanding tiga tempat
terdahulu. Faktor penyebab utama karena kedua kawasan adalah daerah
bekas rawa dan tambak di tepi pantai Semarang, dan sekarang merupakan
kawasan permukiman padat dan tempat rekreasi, seperti perumahan tanah
mas, Pondok Indraprasta, Semarang Indah, tempat rekreasi Pantai Tanjung
Mas dan Taman Mini Jawa Tengah Puri Maerokoco..

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Geologi Proyek SUDMP tahun
2000, memberikan gambaran tentang penurunan tanah dalam perkiraan
kurun waktu lima tahun (seperti terlihat pada Tabel 9. Salah satu.penyebab
penurunan tanah adalah akibat pengambilan air tanah dalam yang berlebihan,

Tabel 9. Tingkat Penurunan Tanah di Kota semarang Bawah


Tahun 1995 sampai 2000

Lokasi Tingkat Penurunan tanah Keterangan


(cm)
5 Tahun Per-tahun
SPBU Kali Wiru 0 0 Stabil
(TTG 447)
IAIN Wali Songo 0 0 Stabil
(TTG 444)
Bandara Ahmad yani 10 – 20 2–4
Simpang Lima 20 4
Karang Kimpul 40 - 50 8 – 10
(TTG 927)
Pelabuhan Tanjung Mas 40 – 50 8 – 10
Stasiun tawang 35 – 40 7–8
Terminal terboyo 110 22 Penurunan Tertinggi
LIK Genuk 110 22 Penurunan Tertinggi
Sumber: Team SUDMP, tahun 2000.

atau akibat terjadinya konsolidasi tanah, atau perkembangan permukiman


pada kawasan yang tidak sesuai, ataupun karena adanya gerakan tanah,
27

namun semua itu masih dalam tahap perbincangan secara terbatas, belum
ada bukti kuat tentang fenomena penurunan tanah.

Selama kurun waktu terakhir yaitu tahun 1995 sampai tahun 2000,
Team SUDMP melakukan pemantauan penurunan tanah pada bebera tempat
di Kota Semarang. Terminal Terboyo dan Kawasan LIK Genuk mengalami
penurunan tanah tertinggi yaitu sebesar 22 cm per-tahun, disusul pada
kawasan Karang Kimpul dan Pelabuhan tanjung Mas sebesar 8-10 cm per-
tahun.Stasiun tawang ada penurunan tanah sebesar 7-8 cm per-tahun dan
kawasan simpang lima sebesar 4 cm per-tahun, serta bandara A.Yani ada
penurunan sebesar 2-4 cm per-tahun. Bila diamati tabel 7 dan tabel 8 dalam
kurun waktu berbeda ternyata ada kenaikan penurunan tanah dari tahun ke
tahun (dari pengamatan tahun 1984 sampai tahun 2000.

3. Upaya Penanggulangan

Secara umum penyebab banjir di suatu wilayah (kecamatan) berbeda


dengan wilayah yang lain, demikian pula upaya yang dilakukan oleh masyarakat
berbeda dari suatu wilayah dengan wilayah yang lain. Berikut ini diuraikan
beberapa upaya yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam
menanggulangi banjir dan rob di wilayahnya. Jenis banjir berbeda maka upaya
yang dilakukan berbeda pula.

Upaya penanggulangan dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat dengan


sumber dana dari swadaya masyarakat. Namun untuk pembangunan tanggul
yang memerlukan biaya besar masyarakat dapat mengajukan kepada pihak
pemerintah dan instansi terkait seperti Dinas Pekerjaan Umum, atau Pemda
untuk menangani bentuk penanggulangan banjir yang memerlukan biaya besar.
Pihak Biaya yang dipergunakan bisa diambil dari APBD maupun dana-dana
proyek lain.

Beberapa upaya masyarakat dilakukan dengan cara swadaya masyarakat,


dilakukan dengan cara bergotong royong dalam lingkup wilayah kelurahan atau
RW atau RT. Bentuk swadaya masyarakat dapat berupa kegiatan kerja bakti,
28

kegiatan bersama untuk menjaga lingkungan, sampai menarik iuran uang untuk
memperbaiki sarana dan prasarana di sekitar tempat tinggal dan lingkungannya.
Beberapa upaya masyarakat dalam menanggulangi banjir dan rob pada tingkat
kecamatan diuraikan seperti Tabel 10.

Tabel 10. Usaha masyarakat dalam menanggulangi banjir dan Rob di wilayah
Kecamatan

No Kecamatan Upaya penanggulangan banjir/rob oleh masyarakat


1 Semarang Barat Meninggikan badan jalan, memperbaiki tanggul
2 Semarang Utara Peninggian jalan, kerja bakti membersihkan saluran,
peninggian rumah
3 Semarang Timur Meninggikan badan jalan, peninggian kampung,
pengumpulan swadaya
4 Semarang Tengah Memperbaiki saluran, memelihara saluran yang ada,
meninggikan jalan
5 Semarang Selatan Kerja bakti yang mampu
6 Tugu Peninggian tanggul, pembersihan dan pengerukan
sungai secara rutin setiap tahun
7 Ngaliyan Membersihkan saluran dan sungai, membuat tanggul,
membuang sampah pada tempatnya
8 Genuk Peninggian jalan, peninggian lantai rumah warga,
penyuditan saluran
9 Gayamsari Meninggikan tanggul, memperbaiki saluran kampung,
membuang sampah di tempatnya
10 Pedurungan Pemeliharaan saluran, dilarang membuang sampah di
saluran, memperbaiki saluran yang rusak
11 Candisari Pembuatan talud sungai
12 Gadjah Mungkur Membersihkan saluran
13 Banyumanik Memperbaiki saluran, membuat tanggul, membuat
selokan, membuat tanggul dengan kantung pasir
14 Tembalang -
15 Gunungpati -
16 Mijen Kerja bakti membersihkan dan memperbaiki saluran di
wilayah masing-masing
Sumber: SUDMP DPU, 2000.
29

D. Kondisi Air Tanah di Kota Semarang


Air merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia dan
makhluk hidup. Walaupun air merupakan sumberdaya alam yang sangat penting
bagi makhluk hidup, pelestarian secara kualitatif dan kuantitatif kurang mendapat
perhatian. Secara kualitatif pencemaran sumberdaya air oleh manusia semakin
tinggi, dan secara kuantitatif peningkatan jumlah penduduk berkaitan dengan
kebutuhan air yang semakin besar sedangkan jumlah sumberdaya air relatif tetap
akan berkurang jumlahnya.

Perkembangan pembangunan dan aktivitas penduduk di Kota Semarang


yang semakin meningkat akan menimbulkan berbagai masalah, salah satunya
pada potensi dan kondisi air tanah. Kondisi air tanah cenderung mengalami
penurunan dalam hal kuantitas maupun kualitas, karena meningkatnya
penggunaan air untuk berbagai peruntukan seperti keperluan rumah tangga,
industri, perkantoran, hotel, dan restoran.
Menurunnya potensi air tanah di Kota Semarang antara lain disebabkan
oleh eksploitasi atau pengambilan air tanah yang berlebih di daerah hilir
(Semarang bawah) dan pengisian air tanah (recharge area) di daerah hulu
(Semarang atas) yang semakin berkurang. Perkembangan permukiman di kota
Semarang yang menuju kearah perbukitan memaksa adanya pembukaan lahan,
akibatnya lahan pada kawasan perbukitan yang berfungsi sebagai areal resapan
air hujan menjadi berkurang dan memacu berkurangnya potensi air tanah.
Ini semua merupakan konsekuensi Semarang sebagai salah satu kota
besar di Indonesia, disatu pihak dituntut laju pembangunan yang tinggi, dilain
pihak terjadi degradasi lingkungan antara lain ketersediaan air tanah semakin
berkurang. Dilema dari kondisi tersebut merupakan tantangan bagi para ahli dan
pengambil kebijakan untuk mengantisipasinya.
30

Anda mungkin juga menyukai