Anda di halaman 1dari 12

KESIAGAAN BENCANA

KELOMPOK III

ZENDRAWATI S ABDUL 2117024


FRANSISKA FEBRIANA 2117020
ERNIWATI ENGYANI 2117014
IKHSAN POU 2117012
YOHANES TENDE BORO 2117017
DONAL SUBOONG 2117016

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
GEMA INSAN AKADEMIK
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas berjudul “KESIAGAAN BENCANA” dengan
sebaik-baiknya.
Dalam penyusunan ini, kami telah mengalami berbagai hal baik suka maupun
duka. Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan selesai dengan
lancar dan tepat waktu tanpa adanya bantuan, dorongan, serta bimbingan dari
berbagai pihak. Sebagai rasa syukur atas terselesainya makalah ini, maka dengan
tulus kami sampaikan terima kasih.
Dalam penyusunan ini, kami menyadari masih banyak kekurangan baik pada
teknik penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat
kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan dapat diterapkan dalam menyelesaikan suatau permasalahan yang berhubungan
dengan judul makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap wilayah tempat tinggal manusia memiliki resiko bencana. Seringkali
resiko tersebut tidak terbaca oleh komunitas dan karenanya tidak dikelola
dengan baik. Hal ini menyebabkan terkadang, dan mungkin juga sering, bencana
terjadi secara tak terduga-duga. Dampak paling awal dari terjadinya bencana
adalah kondisi darurat, dimana terjadi penurunan drastis dalam kualitas hidup
komunitas korban yang menyebabkan mereka tidak mampu memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan kapasitasnya sendiri.
Bencana harus ditangani secara menyeluruh setelah situasi darurat itu
direspons. Setiap akibat pasti punya sebab dan dampaknya, maka bencana
sebagai sebuah akibat pasti punya sebab dan dampaknya, agar penanganan
bencana tidak terbatas pada simpton simpton persoalan, tetapi menyentuh
substansi dan akar masalahnya. Dengan demikian kondisi darurat perlu
dipahami sebagai salah satu fase dari keseluruhan resiko bencana itu sendiri.
Penanganan kondisi darurat pun perlu diletakkan dalam sebuah perspektif
penanganan terhadap keseluruhan siklus bencana. Setelah kondisi darurat,
biasanya diikuti dengan kebutuhan pemulihan (rehabilitasi), rekonstruksi
(terutama menyangkut perbaikan-perbaikan infrastruktur yang penting bagi
keberlangsungan hidup komunitas), sampai pada proses kesiapan terhadap
bencana, dalam hal ini proses preventif.
Perbedaan mendasar ditemukan antara kerja dalam kondisi darurat dengan
kerja penguatan kapasitas masyarakat secara umum. Dalam kondisi darurat,
waktu kerusakan terjadi secara sangat cepat dan skala kerusakan yang
ditimbulkan pun biasanya sangat besar. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam
karakteristik respon kondisi darurat. Komitmen, kecekatan dan pemahaman
situasi dan kondisi bencana (termasuk konflik) dalam rangka memahami latar
belakang kebiasaan, kondisi fisik maupun mental komunitas korban dan
karenanya kebutuhan mereka, sangat dibutuhkan. Selain itu, sebuah kondisi
darurat juga tidak bisa menjadi legitimasi kerja pemberian bantuan yang asal-
asalan. Bencana, apapun sebabnya, merupakan hal yang menganggu tatanan
masyarakat dalam segala aspeknya, baik psikologis.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendidikan kesehatan pada masyarakat umum


1. Pendidikan
Secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok atau masyarakat, sehingga
mereka melakukan apa yang di harapkan oleh pelaku pendidikan, yang
tersirat dalam pendidikan adalah: input adalah sasaran pendidikan (individu,
kelompok, dan masyarakat), pendidik adalah (pelaku pendidikan), proses
adalah (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain), output
adalah (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku) (Notoatmodjo, 2012).
Kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual,
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomi, dan menurut WHO yang paling baru ini memang lebih
luas dan dinamis dibandingkan dengan batasan sebelumnya yang
mengatakan, bahwa kesehatan adalah keadaan sempurna, baik fisik maupun
mental dan tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat (Notoatmodjo, 2012).
Pendidikan kesehatan adalah aplikasi atau penerapan pendidikan dalam
bidang kesehatan. Secara opearasional pendidikan kesehatan adalah semua
kegiatan untuk memberikan dan meningkatkan pengetahuan, sikap, praktek
baik individu, kelompok atau masyarakat dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2012).
2. Tujuan Pendidikan Kesehatan
Menurut Susilo (2011) tujuan pendidikan kesehatan terdiri dari :
a. Tujuan kaitannya dengan batasan sehat
Menurut WHO (1954) pendidikan kesehatan adalah untuk mengubah
perilaku orang atau masyarakat dari perilaku tidak sehat menjadi perilaku
sehat. Seperti kita ketahui bila perilaku tidak sesuai dengan prinsip
kesehatan maka dapat menyebabkan terjadinya gangguan terhadap
kesehatan. Masalah ini harus benar-benar dikuasai oleh semua kader
kesehatan di semua tingkat dan jajaran, sebab istilah sehat, bukan sekedar
apa yang terlihat oleh mata yakni tampak badannya besar dan kekar.
Mungkin saja sebenarnya ia menderita batin atau menderita gangguan
jiwa yang menyebabkan ia tidak stabil, tingkah laku dan sikapnya. Untuk
menapai sehat seperti definisi diatas, maka orang harus mengikuti berbagai
latihan atau mengetahui apa saja yang harus dilakukan agar orang benar-
benar menjadi sehat.
b. Mengubah perilaku kaitannya dengan budaya
Sikap dan perilaku adalah bagian dari budaya. Kebiasaan, adat istiadat,
tata nilai atau norma, adalah kebudayaan. Mengubah kebiasaan, apalagi
adat kepercayaan yang telah menjadi norma atau nilai di suatu kelompok
masyarakat, tidak segampang itu untuk mengubahnya. Hal itu melalui
proses yang sangat panjang karena kebudayaan adalah suatu sikap dan
perilaku serta cara berpikir orang yang terjadinya melalui proses belajar.
Meskipun secara garis besar tujuan dari pendidikan kesehatan mengubah
perilaku belum sehat menjadi perilaku sehat, namun perilaku tersebut
ternyata mencakup hal yang luas, sehingga perlu perilaku tersebut sebagai
tujuan pendidikan kesehatan menjadi 3 macam yaitu :
 Perilaku yang menjadikan kesehatan sebagai suatu yang bernilai di
masyarakat. Dengan demikian kader kesehatan mempunyai
tanggung jawab di dalam penyuluhannya mengarahkan pada
keadaan bahwa cara-cara hidup sehat menjadi kebiasaan hidup
masyarakat sehari-hari.
 Secara mandiri mampu menciptakan perilaku sehat bagi dirinya
sendiri maupun menciptakan perilaku sehat di dalam kelompok.
Itulah sebabnya dalam hal ini Pelayanan Kesehatan Dasar (PHC =
Primary Health Care) diarahkan agar dikelola sendiri oleh
masyarakat, dalam hal bentuk yang nyata adalah PKMD. Contoh
PKMD adalah Posyandu. Seterusnya dalam kegiatan ini diharapkan
adanya langkah-langkah mencegah timbulnya penyakit.
 Mendorong berkembangnya dan penggunaan sarana pelayanan
kesehatan yang ada secara tepat. Ada kalanya masyarakat
memanfaatkan sarana kesehatan yang ada secara berlebihan
Sebaliknya sudah sakit belum pula menggunakan sarana kesehatan
yang ada sebagaimana mestinya.
3. Sasaran Pendidikan Kesehatan
Menurut Susilo (2011) sasaran pendidikan kesehatan di indonesia,
berdasarkan kepada program pembangunan di Indonesia adalah :
a. Masyarakat umum dengan berorientasi pada masyarakat pedesaan.
b. Masyarakat dalam kelompok tertentu, seperi wanita, pemuda, remaja.
c. Termasuk dalam kelompok khusus ini adalah kelompok pendidikan mulai
dari TK sampai perguruan tinggi, sekolah agama swasta maupun negeri.
d. Sasaran individu dengan teknik pendidikan kesehatan individu.
4. Media Pendidikan Kesehatan
Menurut Nursalam (2008) media pendidikan kesehatan adalah
saluranbkomunikasi yang dipakai untuk mengirimkan pesan kesehatan. Media
dibagi menjadi 3, yaitu: cetak, elektronik, media papan (billboard).
a. Media cetak
1) Booklet : untuk menyampaikan pesan dalam bentuk pesan tulisan
maupun gambar, biasanya sasarannya masyarakat yang bisa
membaca.
2) Leaflet : penyampaian pesan melalui lembar yang dilipat biasanya
berisi gambar atau tulisan atau biasanya kedua-duanya.
3) Flyer (selebaran) :seperti leaflet tetapi tidak berbentuk lipatan.

4) Flip chart (lembar balik) : informasi kesehatan yang berbentuk


lembar balik dan berbentuk buku. Biasanya berisi gambar
dibaliknya berisi pesan kalimat berisi informasi berkaitan dengan
gambar tersebut.
5) Rubik atau tulisan-tulisan pada surat kabar atau majalah,
mengenai hal yang berkaitan dengan hal kesehatan.
6) Poster :berbentuk media cetak berisi pesan-pesan kesehatan
biasanya ditempel di tembok-tembok tempat umum dan
kendaraan umum.
7) Foto : yang mengungkapkan masalah informasi kesehatan.
b. Media elektronik
1) Televisi : dalam bentuk ceramah di TV, sinetron, sandiwara, dan
vorum diskusi tanya jawab dan lain sebagainya.
2) Radio :bisa dalam bentuk ceramah radio, sport radio, obrolan
tanya jawab dan lain sebagainya.
3) Vidio Compact Disc (VCD).
4) Slide : slide juga dapat digunakan sebagai sarana informasi.
5) Film strip juga bisa digunakan menyampaikan pesan kesehatan.
c. Media papan (bill board)
Papan yang dipasang di tempat-tempat umum dan dapat dipakai dan
diisi pesan-pesan kesehatan.

B. Perencanaan kontinjensi
1. Perencanaan kontinjensi
Perencanaan kiontinjensi adalah sama pentingnya dengan Rencana
Kontinjensi. Ketiga lembaga merujuk ke dokumen-dokumen mereka sebagai
panduan praktis atau alat kerja, alih-alih aturan ketat, proses perencanaan
sama pentingnya dengan rencana itu sendiri.
a. UNISDR: Proses manajemen yang mengalisis kejadian potensial
tertentu atau situasi yang timbul yang mungkin mengancam
masyarakat dan lingkungan dan menyusun pengaturan di muka
untuk memungkinkan tanggapan yang tepat waktu, efisien, dan
patut terhadap kejadian atau situasi seperti itu.
b. IASC: Perencanaan kontinjensi adalah proses membentuk tujuan,
pendekatan, dan prosedur program untuk menanggapi situasi atau
kejadian yang cenderung terjadi, yang meliputi upaya
mengidentifikasi kejadian serta mengembangkan skenario yang
mungkin dan rencana yang patut untuk menyiapkan diri terhadap
dan menanggapi kejadian itu secara efektif.
c. Federasi Internasional: Berdasarkan kejadian tertentu atau risiko
yang diketahui pada tingkat lokal, nasional, regional, dan global
(misalnya gempa bumi, banjir) atau wabah penyakit untuk
membentuk prosedur operasional bagi tanggapan, berdasarkan
kebutuhan dan kapasitas sumber daya yang diperkirakan guna
memungkinkan tanggapan yang tepat waktu, efektif, dan patut.
d. BNPB: Proses perencanaan ke depan, dalam keadaan tidak
menentu, dimana skenario dan tujuan disepakati, tindakan teknis
dan manajerial ditetapkan, serta sistem tanggapan dan pengerahan
potensi disetujui bersama untuk mencegah, atau menanggulangi
secara lebih baik keadaan atau situasi darurat yang dihadapi.
Banyak hasil-hasil perencanaan kontinjensi yang berfaedah datang dari
proses yang dilalui saat mengembangkan rencana. Pentingnya proses tidak
berarti bahwa rencana tidak penting. Rencana adalah ukuran kualitas
proses. Proses perencanaan yang baik akan menghasilkan rencana yang
baik. Walaupun kedaruratan yang terjadi mungkin sangat berbeda dari yang
direncanakan untuk dihadapi, rencana itu tetap akan berguna.
Ketiga lembaga merangkum bahwa Rencana Kontinjensi sebaiknya
dicirikan oleh prinsip-prinsip berikut:
 Proses pengembangan rencana adalah partisipatif
 Rencana itu berfokus pada bahaya tunggal
 Rencana itu berdasarkan skenario
 Skenario dan tujuan dikembangkan sebagai suatu kesepakatan
bersama, sebagai hasil konsesus umum.
 Rencana itu tidak bersifat rahasia/tertutup
 Peran & tanggung jawab harus diidentifikasi
 Rencana itu dibuat untuk menangani keadaan darurat
Proses manajemen yang mengalisis kejadian potensial tertentu atau
situasi yang timbul yang mungkin mengancam masyarakat dan lingkungan
dan menyusun pengaturan di muka untuk memungkinkan tanggapan yang
tepat waktu, efisien, dan patut terhadap kejadian atau situasi seperti itu.
Perencanaan kontinjensi yang dibuat oleh IASC menyediakan kerangka
kerja umum dan menyeluruh untuk memandu tindakan bersama antar semua
mitra yang mencakup masing-masing badan dan/atau organisasi serta
kelompok sektor/gugus. Perencanaan tersebut tidak bermaksud
menggantikan kebutuhan perencanaan masing-masing badan dan/atau
organisasi sehubungan dengan mandat dan tanggung jawab mereka di
dalam sektor/gugus. Akan tetapi, perencanaan kontinjensi IASC memberikan
fokus dan keterpaduan untuk berbagai tingkat perencanaan yang dibutuhkan
demi mencapai tanggap kemanusiaan dengan efektif.
Federasi Internasional menggaris-bawahi perencanaan kontinjensi
sebagai bagian dari rencana respon bencana, yang terdiri dari seluruh
kegiatan menganitispasi krisis, termasuk menentukan tugas dan tanggung
jawab, mengembangkan kebijakan dan prosedur, dan mengidentifikasi serta
mengembangkan alat-alat umum untuk respon bencana, sementara
perencanaan kontinjensi dibuat untuk suatu kejadian khusus dan
menentukan prosedur operasional aksi kemanusiaan terhadap kejadian
tersebut. BNPB menyatakan bahwa perencanaan kontijensi yang efektif,
akan mampu meminimalisir dampak bencana, mencakup pengembangan
skenario dan perkiraan kebutuhan, dana, sumberdaya manusia dan lainnya,

Perencanaan yang dibuat sebelum kejadian kedaruratan memberi


peserta waktu berpikir dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis yang
mencakup:

1. Apakah yang dapat terjadi?


2. Apakah dampaknya pada orang-orang yang terkena?
3. Tindakan apakah yang akan dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan kemanusiaan?
4. Bagaimanakah cara badan/organisasi akan bekerja bersama?
5. Sumber daya apakah yang akan dibutuhkan?
6. Apakah yang dapat dilakukan badan/organisasi agar bersiapsiaga
dengan lebih baik?

Proses kontinjensi mungkin saja dipicu oleh tanda-tanda peringatan dini,


khususnya untuk kejadian yang datangnya lambat seperti kekeringan,
letusan gunung berapi, dan epidemik. Namun bagaimanpun juga, bencana
yang jarang terjadi tapi sangat merusak seperti tsunami perlu segera dibuat
ketika hasil kajian bahaya dan risiko mengindikasikan adanya potensi
ancaman tersebut.

Peringatan dini merupakan alat penting untuk menentukan pengambilan


tindakan secara detil. Perencanaan kontinjensi berubah menjadi aksi
terencana ketika peringatan dini keluar dan mengindikasikan bencana akan
segera tiba.

2. Proses dan Langkah-Langkah Perencanaan kontinjensi

Ketiga organisasi di atas memasukkan aspek-aspek berikut dalam


proses perencanaan kontinjensi:

a. Menganalisis potensi kedaruratan;


b. Menganalisis potensi dampak kemanusiaan dan konsekuensi
kedaruratan yang teridentifikasi;
c. Menyusun tujuan, strategi, kebijakan dan prosedur yang jelas dan
menegaskan tindakan kritis yang harus diambil guna menanggapi
suatu kedaruratan, dan;
d. Memastikan bahwa kesepakatan terekam dan tindakan yang perlu
diambil guna menyempurnakan kesiapsiagaan.

Proses IASC berfokus lebih pada kolaborasi antarlembaga, baik dalam


penyusunan rencana maupun dalam penerapan. Modelnya terdiri atas enam
langkah
1. Menyiapkan dan Menyelenggarakan Proses Perencanaan Kontinjensi.
Sasaran dibatasi dan peran serta ditentukan, jadwal ditetapkan, serta
tugas dan tanggung jawab didokumentasi.

2. Analisis Bahaya dan Risiko, Penyusunan Skenario, Pengembangan


Asumsi Perencanaan.

Analisis tersebut dikembangkan untuk memberikan perencana


pemahaman yang kuat tentang bahaya yang dihadapi masyarakat,
dan dampaknya.

3. Menentukan Tujuan dan Strategi

Tanggapan. Skenario lalu dikembangkan, yang digunakan untuk


menetapkan tujuan dan intervensi strategi.

4. Menentukan Pengaturan Manajemen dan Koordinasi untuk Tanggap


Kemanusiaan. Disini, manajemen dan mekanisme koordinasi
ditetapkan.

5. Mengembangkan Rencana Tanggapan.

Rencana tanggapan dikembangkan, yang mana di dalam konteks


IASC biasanya berarti bahwa masing-masing sektor atau gugus
mengembangkan rencana atau program layanan khusus yang diyakini
perlu, sesuia dengan skenario yang telah disepakati bersama.

6. Menerapkan Kesiapsiagaan.

Akhirnya, rencana-rencana tanggapan setiap sektor dan badan


dikonsolidasikan dan diperiksa untuk memastikan bahwa rencana
mereka konsisten dengan tujuan dan strategi keseluruhan, dan
dengan tugas dan tanggung jawab yang sudah ditetapkan di langkah
sebelumnya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setiap wilayah tempat tinggal manusia memiliki resiko bencana. Seringkali
resiko tersebut tidak terbaca oleh komunitas dan karenanya tidak dikelola dengan
baik. Hal ini menyebabkan terkadang, dan mungkin juga sering, bencana terjadi
secara tak terduga-duga. Dampak paling awal dari terjadinya bencana adalah
kondisi darurat, dimana terjadi penurunan drastis dalam kualitas hidup komunitas
korban yang menyebabkan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasarnya dengan kapasitasnya sendiri.
Bencana harus ditangani secara menyeluruh setelah situasi darurat itu
direspons. Setiap akibat pasti punya sebab dan dampaknya, maka bencana
sebagai sebuah akibat pasti punya sebab dan dampaknya, agar penanganan
bencana tidak terbatas pada simpton simpton persoalan, tetapi menyentuh
substansi dan akar masalahnya. Dengan demikian kondisi darurat perlu dipahami
sebagai salah satu fase dari keseluruhan resiko bencana itu sendiri. Penanganan
kondisi darurat pun perlu diletakkan dalam sebuah perspektif penanganan terhadap
keseluruhan siklus bencana. Setelah kondisi darurat, biasanya diikuti dengan
kebutuhan pemulihan (rehabilitasi), rekonstruksi (terutama menyangkut perbaikan-
perbaikan infrastruktur yang penting bagi keberlangsungan hidup komunitas),
sampai pada proses kesiapan terhadap bencana, dalam hal ini proses preventif.

Anda mungkin juga menyukai