Anda di halaman 1dari 54

qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui 1

opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfgh
jklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvb
nmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwer
KEPERAWATAN PALIATIF DAN
tyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopas
MENJELANG AJAL

dfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx
Yosefa E. Dianputri

cvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq
NIM. 011201055

Universitas Nusa Nipa Maumere


wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuio
2020

pasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghj
klzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbn
mqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwerty
uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdf
ghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc
vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrty
uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdf
ghjklzxcvbnertuiopasdfghjklzxcvbnmq
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat dan berkatNya kepada kita semua. Puji Tuhan saya dapat
mengerjakan tugas ringkasan materi semester satu pada mata kuliah Keperawatan
Paliatif dan Menjelang Ajal
            Mohon maaf apabila dalam penulisan ringkasan materi  ini terdapat banyak
kesalahan didalamnya. Saya menyadari bahwa dalam penyusunannya   masih jauh
dari sempurna, mungkin masih ada materi yang belum sempat dimasukan atau pun
terlalu banyak materi yang dimasukan dalam menyelesaikan tugas dari dosen.
Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna
menyempurnakan  hasil tugas perkuliahan  saya selanjutnya. Saya berharap tugas ini
ini dapat bermanfaat bagi saya, teman-teman dan semua pembaca pada umumnya.

Desember, 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR....................................................................................................................2
DAFTAR ISI................................................................................................................................3
BAB. I........................................................................................................................................4
I. Latar Belakang..............................................................................................................4
II. Tujuan..........................................................................................................................5
BAB. II.......................................................................................................................................7
I. Konsep Keperawatan Paliative.....................................................................................7
II. Etik Dalam Keperawatan Paliative................................................................................9
III. Kebijakan Nasional Terkait Keperawatan Palliative................................................14
IV. Teknik Menyampaikan Berita Buruk.......................................................................16
V. Prinsip Komunikasi Dalam Keperawatan Palliative.....................................................17
VI. Patofisiologi Berbagai Penyakit Kronik Dan Terminal.............................................20
VII. Pengkajian Fisik Dan Psikologis..............................................................................30
VIII. Tinjauan Agama Untuk Keperawatan Palliative......................................................32
IX. Tinjauan Sosial Budaya Tentang Keperawatan Palliative........................................35
X. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terminal Illness...................................................37
XI. Manajemen Nyeri...................................................................................................41
BAB. III....................................................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................54

3
BAB. I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat


disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, gagal
ginjal, stroke, Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika
dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS yang memerlukan perawatan
paliatif, disamping kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Namun saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh
kebutuhan pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut,
terutama pada stadium lanjut dimana prioritas pelayanan tidak hanya pada
penyembuhan tetapi juga perawatan agar mencapai kualitas hidup yang
terbaik bagi pasien dan keluarganya.
Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya
mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan
berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan
psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien da
keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit
tidak hanya pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya
dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang
dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan
paliatif.
Masyarakat menganggap perawatan paliatif hanya untuk pasien
dalam kondisi terminal yang akan segera meninggal. Namun konsep baru
perawatan paliatif menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif
lebih dini agar masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan

4
5

baik. Perawatan paliatif adalah pelayanan kesehatan yang bersifat


holistik dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi dengan dasar
falsafah bahwa setiap pasien berhak mendapatkan perawatan terbaik
sampai akhir hayatnya.
Rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan perawatan
paliatif di Indonesia masih terbatas di 5 (lima) ibu kota propinsi yaitu
Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar dan Makassar. Ditinjau dari
besarnya kebutuhan dari pasien, jumlah dokter yang mampu memberikan
pelayanan perawatan paliatif juga masih terbatas.
Keadaan sarana pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih
belum merata sedangkan pasien memiliki hak untuk mendapatkan
pelayanan yang bermutu, komprehensif dan holistik, maka diperlukan
kebijakan perawatan paliatif di Indonesia yang memberikan arah bagi
sarana pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan pelayanan
perawatan paliatif.

II. Tujuan

1. Tujuan Umum
Sebagai proses pembelajaran dalam memahami konsep keperawatan
paliatif dan menjelang ajal. Serta memenuhi tugas dari mata kuliah
Keperawatan Paliatif dan Menjelang Ajal.
2. Tujuan Khusus
Agar dapat memahami:
 Konsep keperawatan palliative
 Etik dalam keperawatan palliative
 Kebijakan nasional terkait kebijakan palliative
 Teknik menyampaikan berita buruk
 Prinsip komunikasi dalam keperawatan paliatif
6

 Patofisiologi penyakit kronik dan terminal


 Pengkajian fisik dan psikologis
 Tinjauan agama untuk keperawatan palliative
 Tinjauan social budaya tentang keperawatan paliatif
 Asuhan keperawatan pada pasien terminal illness
 Manajemen nyeri
7

BAB. II

TINJAUAN TEORITIS

I. Konsep Keperawatan Paliative

A. Pengertian
 Pengertian palliative adalah: Kegiatan terpadu yang aktif dan
menyeluruh dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi.
 Perawatan Palliative adalah: pendekatan yang bertujuan
memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi
masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam
jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini
dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-
masalah lain, fisik, psikososial, dan spiritual [WHO,2002]
 Perawatan palliative adalah: pendekatan yang bertujuan
memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga dalam
menghadapi penyakit yang mengancam jiwa melalui pencegahan,
identifikasi dini dan penanganan masalah fisik, psikologis, social,
spiritual, dll. [ I Wayan Sudarsa]
 Perawatan palliative adalah: perawatan pada seorang pasien dan
keluarganya yang memiliki penyakit yang tidak dapat
disembuhkan dengan cara memaksimalkan kualitas hidup pasien
serta mengurangi gejala yang mengganggu, mengurangi nyeri
dengan memperhatikan aspek psikologis dan spiritual. Perawatan
ini juga menyediakan system pendukung untuk menolong keluarga
pasien menghadapi kematian dari anggota keluarga yang dicintai
8

sampai pada proses perkabungan sejak penyakit terdiagnosis


[Veronika, Bastian]
 Perawatan palliative adalah: perawatan kesehatan terpadu yang
bersifat aktif dan menyeluruh dengan pendekatan multidisiplin
yang terintegrasi antara dokter, perawat, terapis, petugas social,
medis, psikolog, rohaniwan, relawan dan profesi lain jika
diperlukan.
 Kualitas hidup pasien adalah: Keadaan yang dipersepsikan suatu
konteks budaya dan system nilai yang dianutnya, termasuk tujuan
hidup, harapan dan niatnya.
Kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinch, Deborah Dudgaeon
dan Harvey Schipper adalah: Kemampuan fisik dan fungsional
dalam beraktifitas, kesejahteraan keluarga, ketenangan spiritual,
fungsi social, kepuasan terhadap pengobatan [termasuk keuangan],
orientasi masa depan, kehidupan seksual, termasuk gambaran
terhadap diri sendiri dan fungsi dalam bekerja.

B. Prinsip Keperawatan Palliative


 Mengutamakan kenyamanan pasien
 Memperlambat kemajuan penyakit
 Bukan menutamakan penyediaan obat
 Menghargai setiap kehidupan
 Menganggap kematian merupakan proses normal
 Tidak mempercepat dan memperlambat kematian
 Menghargai keinginan pasien dalam mengambil keputusan
 Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang mengganggu
 Mengintegrasikan aspek psikologis, social dan spiritual dalam
perawatan pasien dan keluarga
9

 Menghindari tindakan medis yang sia sia


 Member dukungan kepada pasien dan keluarga dalam proses
perawatan sampai pada masa dukacita.

II. Etik Dalam Keperawatan Paliative

Etik adalah: ilmu tentang perilaku dan aksi moral terhadap nilai.

Teori Etik:
A. Etik Nonformatif
Etik Metaetik: menganalisa suatu makna, justifikasi dan pengembalian
keputusan berdasarkan fakta dan rasionalitas mengenai konsep moral
dan sikap.
B. Etik Formatif
 Berfokus pada norma dan standar perilaku nilai
 Berfokus pada manusia sebagai objeknya
 Dapat dijelaskan melalui 2 teori moral [Deontologi dan
Teleologycal]
C. Prinsip-Prinsip Etik
 Autonomy [Menghargai otonomi pasien]
Perawat tidak boleh memaksakan suatu tindakan pengobatan
kepada klien. Klien dan keluarga memiliki hak untuk memutuskan
sesuatu dalam pengambilan tindakan untuk mengatasi masalah
kesehatannya.
 Beneficience: melakukan hal yang terbaik untuk pasien/
bermanfaat
Semua tindakan terkait pasien harus bermanfaat bagi pasien dan
keluarga
 Non maleficience: menghindari hal yang merusak atau merugikan
pasien
10

Setiap tindakan yang diberikan untuk mengatasi masalah kesehatan


pasien tidak merugikan pasien, [tidak menimbulkan bahaya/cedera
fisik/psikologis. Risiko fisik, psikologis, social hendaknya
diminimalisir semaksimal mungkin.
 Veracity [Kejujuran]
Perawat hendaknya mengatakan sejujur-jujurnya tentang apa yang
dialami pasien serta akibat yang dirasakan oleh pasien dan
keluarga terkait masalah kesehatan pasien. Informasi yang
diberikan hendaknya sesuai dengan tingkst pendidikan pasien dan
keluarga.
 Justice [Keadilan]
Perawat professional harus mampu berlaku adil terhadap
konsekuensi segala tindakan. Perlakuan/ therapy yang sama
terhadap setiap individu sesuai ilmu dan kiat perawat.
 Confidentiality [Kerahasiaan]
Perawat harus menjaga privasi pasien
 Accountability [Akuntabilitas]
Tindakan perawat harus sesuai standar
 Fidelity [Menepati janji]
Perawat harus memiliki komitmen menepati janji profesi dan
menerapkan dalam pelayanan keperawatan.

D. Aplikasi Etik Dalam Praktik Palliative Care


 Pengelolaan gejala dan nyeri secara proposional
 Euthanasia
Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang
hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
11

memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seseorang pasien, dan


ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.
 Resusitasi jantung paru
 Isu mengenai hidrasi dan nutrisi
 Therminal sedation
 Isu mengenai ventilasi mekanik
 Memperhatikan dan menghentikan intevensi dan pengobatan disaat
menjelang ajal
 Penelitian perawatan palliative

E. Aspek Medikolegal Dalam Keperawatan Palliative


 Persetujuan tindakan medis/ Informed consent untuk pasien
palliative
a. Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan
pelaksanaan perawatan palliative melalui komunikasi yang
intensif dan berkesinambungan antara tim perawatan
palliative dengan pasien dan keluarganya.
b. Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan
kedokteran pada dasarnya dilakukan sebagaimana telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
c. Meskipun pada umumnya hanya tindakan kedokteran
(medis) yang membutuhkan informed consent, tetapi pada
perawatan paliatif sebaiknya setiap tindakan yang berisiko
dilakukan informed consent.
d. Baik penerima informasi maupun pemberi persetujuan
diutamakan pasien sendiri apabila ia masih kompeten,
dengan saksi anggota keluarga terdekatnya. Waktu yang
cukup agar diberikan kepada pasien untuk berkomunikasi
12

dengan keluarga terdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak


kompeten, maka keluarga terdekatnya melakukannya atas
nama pasien.
e. Tim perawatan paliatif sebaiknya mengusahakan untuk
memperoleh pesan atau pernyataan pasien pada saat ia
sedang kompeten tentang apa yang harus atau boleh atau
tidak boleh dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya
kemudian menurun (advanced directive). Pesan dapat
memuat secara eksplisit tindakan apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan, atau dapat pula hanya menunjuk
seseorang yang nantinya akan mewakilinya dalam
membuat keputusan pada saat ia tidak kompeten.
Pernyataan tersebut dibuat tertulis dan akan dijadikan
panduan utama bagi tim perawatan paliatif.
f. Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien,
tim perawatan paliatif dapat melakukan tindakan
kedokteran yang diperlukan, dan informasi dapat diberikan
pada kesempatan pertama.
 Resusitasi/ Tidak resusitasi pada pasien palliative
a. Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan
resusitasi dapat dibuat oleh pasien yang kompeten atau oleh
Tim Perawatan paliatif.
b. Informasi tentang hal ini sebaiknya telah diinformasikan
pada saat pasien memasuki atau memulai perawatan
paliatif.
c. Pasien yang kompeten memiliki hak untuk tidak
menghendaki resusitasi, sepanjang informasi adekuat yang
dibutuhkannya untuk membuat keputusan telah
13

dipahaminya. Keputusan tersebut dapat diberikan dalam


bentuk pesan (advanced directive) atau dalam informed
consent menjelang ia kehilangan kompetensinya.
d. Keluarga terdekatnya pada dasarnya tidak boleh membuat
keputusan tidak resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam
advanced directive tertulis. Namun demikian, dalam
keadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu yang layak
dan patut, permintaan tertulis oleh seluruh anggota
keluarga terdekat dapat dimintakan penetapan pengadilan
untuk pengesahannya.
e. Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk
tidak melakukan resusitasi sesuai dengan pedoman klinis di
bidang ini, yaitu apabila pasien berada dalam tahap
terminal dan tindakan resusitasi diketahui tidak akan
menyembuhkan atau memperbaiki kualitas hidupnya
berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut.
 Perawatan pasien palliative di ICU
a. Pada dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU mengikuti
ketentuan-ketentuan umum yang berlaku sebagaimana
diuraikan di atas.
b. Dalam menghadapi tahap terminal, Tim perawatan paliatif
harus mengikuti pedoman penentuan kematian batang otak
dan penghentian peralatan life-supporting.
 Masalah medikolegal lainnya pada perawatan pasien palliative
a. Tim Perawatan Paliatif bekerja berdasarkan kewenangan
yang diberikan oleh Pimpinan Rumah Sakit, termasuk pada
saat melakukan perawatan di rumah pasien.
14

b. Pada dasarnya tindakan yang bersifat kedokteran harus


dikerjakan oleh tenaga medis, tetapi dengan pertimbangan
yang memperhatikan keselamatan pasien tindakan-tindakan
tertentu dapat didelegasikan kepada tenaga kesehatan non
medis yang terlatih. Komunikasi antara pelaksana dengan
pembuat kebijakan harus dipelihara.

III. Kebijakan Nasional Terkait Keperawatan Palliative

Kebijakan nasional yang berkaitan dengan perawatan palliative


diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.
812/Menkes/SK/VII/2007, Tahun 2007, Tentang Kebijakan Perawatan
Palliative.
A. Tujuan kebijakan
 Tujuan umum:
Sebagai payung hukum dan arahan bagi perawatan paliatif di
Indonesia
 Tujuan khusus:
a. Terlaksananya perawatan paliatif yang bermutu sesuai
standar yang berlaku di seluruh Indonesia.
b. Tersusunnya pedoman-pedoman pelaksanaan/juklak
perawatan paliatif.
c. Tersedianya tenaga medis dan non medis yang terlatih.
d. Tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan.
B. Sasaran kebijakan pelayanan paliatif
 Seluruh pasien (dewasa dan anak) dan anggota keluarga,
lingkungan yang memerlukan perawatan paliatif di mana pun
pasien berada di seluruh Indonesia.
15

 Pelaksana perawatan paliatif : dokter, perawat, tenaga kesehatan


lainnya dan tenaga terkait lainnya.
 Institusi-institusi terkait, misalnya:
a. Dinas kesehatan propinsi dan dinas kesehatan
kabupaten/kota
b. Rumah Sakit pemerintah dan swasta
c. Puskesmas
d. Rumah perawatan/hospis
e. Fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta lain.
C. Lingkup Kegiatan Perawatan Palliative
1. Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi :
a. Penatalaksanaan nyeri.
b. Penatalaksanaan keluhan fisik lain.
c. Asuhan keperawatan
d. Dukungan psikologis
e. Dukungan sosial
f. Dukungan kultural dan spiritual
g. Dukungan persiapan dan selama masa dukacita
(bereavement).
2. Perawatan paliatif dilakukan melalui rawat inap, rawat jalan,
dan kunjungan/rawat rumah.
16

IV. Teknik Menyampaikan Berita Buruk

Berita buruk adalah suatu situasi dimana tidak ada harapan lagi,
adanya ancaman bagi kesejahteraan fisik dan mental seseorang, sesuatu yang
menuntut perubahan gaya hidup yang sudah menjadi kebiasaan, sesuatu yang
membuat seseorang menjadi lebih sedikit pilihan dalam hidup, informasi
negating tentang masa depan seseorang.

Teknik menyampaikan berita buruk adalah tatacara memberikan


informasi yang adekuat, mudah dimengerti, saling timbale balik dalam rangka
memfasilitasi pengambilan keputusan dan mengkoordinasikan pelayanan
kepada pasien, keluarga dan penyedia layanan lainnya.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam menyampaikan berita buruk


dalam buku Oxford Textbook Of Palliative Nursing, 2010
1. Ciptakan lingkungan/ruangan yang nyaman dengan semua peserta
duduk dan bebas interupsi;
2. Tentukan siapa yang harus hadir;
3. Memperjelas dan menyatakan dengan jelas tujuan anda dan pasien
melakukan pertemuan;
4. Tentukan apa yang diketahui pasien dan keluarganya tentang kondisi
pasien dan apa yang telah mereka ketahui;
5. Berikan dasar gambaran singkat tentang kondisi pasien;
6. Berikan peringatan, Misalnya dengan mengatakan “Sayangnya, saya
punya kabar buruk untuk saya sampaikan ”
7. Duduk dengan tenang dan biarkan pasien dan keluarga menyerap
informasi. Tunggu sampai pasien merespon. Setelah menjadi diam,
periksa dengan pasien seperti dengan mengatakan, “Saya baru saja
memberi tahu Anda beberapa berita yang cukup serius. Apakah kamu
17

merasa nyaman berbagi pemikiran Anda tentang ini? ” Ini dapat


membantu pasien mengungkapkan kekhawatirannya
8. Dengarkan baik-baik dan hargai pasien dan emosi keluarga seperti
dengan merefleksikan makna dan pengaruh tanggapan mereka. Beri
kesempatan untuk pertanyaan dan komentar.

V. Prinsip Komunikasi Dalam Keperawatan Palliative

Komunikasi adalah proses transaksional yang kompleks dan


berkelanjutan yang terjadi antara orang orang, dengan informasi, perasaan dan
makna yang disampaikan melalui pesan verbal dan Nonverbal.
Komunikasi adalah aspek inti dari asuhan keperawatan klien dengan
penyakit yang mengancam jiwa. Keterampilan dalam komunikasi yang
dibutuhkan, mencakup:
1. Mendengar dengan efektif
2. Komunikasi nonverbal yang sesuai
3. Konseling keterampilan dengan unsure-unsur refleksi
4. Klarifikasi
5. Empati
6. Supportive

Komunikasi yang baik memungkinkan asuhan paliatif yang optimal,


hal ini didasarkan pada pembentukan hubungan perawat dan pasien yang kuat
yang memberikan dasar terapeutik untuk asuhan. Peran perawat dalam
berkomunikasi/ berinteraksi dapat diberikan dengan cara:

1. Memberi dukungan
2. Kepedulian
3. Kolaborasi
4. Kehadiran
5. Mendorong harapan
18

6. Advokasi

Aspek berkomunikasi dalam palliative care:

1. Mendengar dengan aktif


2. Kehadiran perawat saat dibutuhkan
3. Memberikan pilihan dan memfasilitasi dalam mengambil
keputusan
4. Kepercayaan, Kontinuitas, membina hubungan yang baik
5. Perawat memiliki gaya koping yang sehat
6. Perawat memahami waktu dalam berkomunikasi

Menurut Pierce, 3 hal yang harus diperhatikan dalam berkomunikasi adalah


sebagai berikutL

1. Menciptakan lingkumgan yang kondusif


2. Memudahkan interaksi antara dokter dan pasien
3. Memfasilitasi interaksi antara keluarga dan pasien

Hambatan dalam berkomunikasi, dapat dilihat dari perspektif pasien,


keluarga dan perawat. Pasien sering menghindari pembicaraan tentang rasa
sakit, amarah, rasa kehilangan, rasa bersalah, dan ketakutan mereka karena
malu, bingung atau larangan budaya. Atau takut berbicara sesuatu yang
menurut pasien akan lebih menyusahkan dirinya sendiri atau keluarga maupun
orang kain. Atau keadaannya terlalu dirasa menyakitkan karena mereka
dicintai seseorang.

Tidak jarang anggota keluarga memiliki sedikit pengetahuan tentang


prevarensi pasien untuk jenis perawatannya. Untuk menjaga harapan keluarga
cenderung melebih-lebihkan kemungkinan kesembuhan. Dan juga takut
penyesalan di masa depan jika mereka tidak menuntut perlakuan kuratif lebih
lanjut.
19

Hambatan komunikasi dalam keperawatan termasuk ketakutan,


persepsi masalah ruang lingkup praktik dan masalah hukum.

Elemen Komunikasi

Ada empat elemen dasar komunikasi:

1. Penyampaian informasi
Dalam menyampaikan informasi, termasuk tentang penyakit,
pengobatan atau informasi umum perawatan dan informasi lainnya
termasuk diagnosis dan pilihan pengobatan harus
mempertimbangkan kondisi pasien, termasuk tingkat pendidikan,
tingkat perkembangan dan tingkat stress
2. Mendengarkan
Mendengarkan adalah proses aktif yang membutuhkan kehadiran
dan perhatian penuh. Secara khusus, baik mendengarkan kata-kata
maupun menafsirkan gerakan nonverbal. Selama proses ini
perawat mendengarkan kata-kata dan kekhawatiran pasien tanpa
menyela. Perawat hadir dan diam, serta tidak memberikankan
jawaban, dengan cara ini perawat memberikan refleksi dan
menyampaikan empati.
3. Pengumpulan informasi
Untuk mengumpulkan informasi dari pasien, penggunaan
pertanyaan terbuka yang paling efektif. Ini memungkinkan pasien
untuk menceritakan kisahnya dalam narasi. Dan sedapat mungkin
menghindari pertanyaan tertutup.
4. Kepekaan
Sensitivitas, mencakup masalah-masalah yang berkaitan dengan
agama, spiritual, budaya, etnis, ras, jenis kelamin dan bahasa dan
ini merukan elemen komunkasi yang penting
20

Informasi penting paling baik disampaikan secara tatap muka,


memungkinkan obserfasi komunikasi verbal maupun non verbal oleh anggota
tim pelayanan. Pertemuan terjadwal bagus untuk pasien dan tim pelayanan
kesehatan. Pertemuan terjadwal memungkinkan persiapan informasi penting
yang akan dibagikan, termasuk fakta medis, prognosis, pilihan pengobatan,
dan sumber dukungan dan panduan.

Situasi yang memerlukan komunikasi langsung:

1. Pasien yang menghadapi kematian


2. Pasien yang berbicara tentang keinginan untuk mati
3. Pasien atau keluarga yang bertanya tentang rumah sakit
4. Pasien yang baru dirawat dengan sakit kritis dan penyakit progresif
5. Pasien yang mengalami penderitaan berat dengan prognosis buruk

Situasi yang tidak terlalu mendesak yang membutuhkan lebih banyak


perencanaan rutin pertemuan termasuk:

1. Pembahasan prognosis, terutama jika harapan hidup diperkirakan 6


bulan sampai 12 bulan
2. Diskusi tentang pilihan pengobatan dengan probabilitas keberhasilan
yang rendah
3. Pembahasan harapan dan ketakutan akhir hidup

VI. Patofisiologi Berbagai Penyakit Kronik Dan Terminal

A. HIV/AIDS
a. Pengertian
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler
pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat
menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-
21

obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan


sebagainya.
b. Etiologi
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human
immunodeficiency virus (HIV).
c. Manifestasi Klinis
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah
infeksi. Tidak ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala
flu likes illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala
tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam,
keringat malam hari, BB menurun, diare, neuropati, lemah, rash,
limfadenopati, lesi mulut
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS
pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan
tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria
maupun wanita.
Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
1. Lelaki homoseksual atau biseks.
2. Orang yang ketagian obat intravena
3. Partner seks dari penderita AIDS
4. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.
22

d. Patofisiologi
Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan bergabung dengan
DNA sel pasien, sehingga orang yang terinfeksi HIV seumur hidup
akan tetap terinfeksi. Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak
khas infeksi seperti demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar
getah bening, ruam, diare, atau batuk pada 3-6 minggu setelah infeksi.
Kondisi ini dikenal dengan infeksi primer (Sudoyo, 2006 dalam
Nursalam dan Kurniawati, 2007).
Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu dimana HIV
pertama kali masuk ke dalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi
(imunokompeten) akan terjadi respons imun berupa peningkatan
aktivitas imun, yaitu pada tingkat seluler, serum atau humoral, dan
antibodiupregulation. Induksi sel T-Helper dan sel-sel lain diperlukan
untuk mempertahankan fungsi sel-sel faktor sistem imun agar tetap
berfungsi baik. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga
T-Helper tidak dapat memberikan induksi kepada sel-sel efektor
sistem imun. Dengan tidak adanya T-Helper, sel-sel efektor sistem
imun seperti T8 sitotoksik, sel NK, monosit dan sel B tidak dapat
berfungsi secara baik. Daya tahan tubuh menurun sehingga pasien
jatuh ke dalam stadium lebih lanjut (Hoffman, Rockstroh, Kamps,
2006 dalam Nursalam dan Kurniawati, 2007).
Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah
menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ pada
nodus limfa dan thymus selama waktu tersebut, yang membuat
individu yang terinfeksi HIV akan mungkin terkena infeksi
oportunistik dan membatasi kemampuan thymus untuk memproduksi
limfosit T. Tes antibodi HIV menggunakan enzyme linked
imunoabsorbent asay (ELISA) yang akan menunjukkan hasil positif
(Calles, N.R, 2000 dalam Nursalam dan Kurniawati, 2007).
23

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik


(tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini bisa berlangsung selama 8-10
tahun. Tetapi ada sekelompok orang yang perjalanan penyakitnya
sangat cepat, hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya
sangat lambat (Nursalam dan Kurniawati, 2007).
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA
mulai menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik (penurunan
berat badan, demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare,
tuberkolosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain. Pada fase ini disebut
imunodifisiensi, Dalam serum pasien yang terinfeksi HIV ditemukan
adanya faktor supresif berupa antibodi terhadap proliferasi sel T.
Adanya supresif pada sel T tidak mampu memberikan respons
terhadap mitogen, terjadi disfungsi imun yang ditandai dengan
penurunan kadar CD4+, sitokin, antibodi down regulation, TNF,
antinef (Hoffman, Rockstroh, Kamps, 2006 dalam Nursalam dan
Kurniawati, 2007).

B. Kanker Payudara
a. Pengertian
Kanker payudara adalah adanya proliferasi keganasan sel epitel
yang membatasi duktus atau lobus payudara (Price & Wilson,
2014).
b. Etiologi
Penyebab kanker payudara belum diketahui secara pasti.
Diperkirakan 5-10 % dikaitkan dengan mutasi gen yang diturunkan
secara genetik.
24

c. Manifestasi Klinik
 Benjolan pada payudara atau pengerasan yang berbeda dari
jaringan sekitar
 Perubahan pada bentuk atau tampilan dari payudara
 Retraksi atau inversi dari putting payudara
 Pengelupasan puting sekitar payudara
 Kemerahan atau pembesaran pori-pori kulit payudara, yang
dapat menyerupai kulit jeruk
d. Patofisiologi
Kanker payudara berasal dari jaringan epitel dan paling sering
terjadi pada sistem duktal, awalnya terjadi hiperplasia sel –sel
dengan perkembangan sel atipik. Sel ini akan berlanjut menjadi
carsinoma insitu dan menginvasi stroma. Karsinoma
membutuhkan waktu tujuh tahun untuk bertumbuh dari sel tunggal
sampai menjadi massa yang cukup besar untuk dapat diraba (kira –
kira berdiameter 1 cm). Pada ukuran itu kira –kira seperempat dari
kanker payudara telah bermetastasis. Sel kanker akan tumbuh terus
menerus dan sulit untuk dikendalikan. Kanker payudara
bermetastasis dengan menyebar langsung ke jaringan sekitarnya
dan juga melalui saluran limfe dan aliran darah.

C. Gagal Ginjal Kronik


a. Pengertian
Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi renal yang

progresif dan irreversible dimana ginjal gagal untuk

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan


25

elektrolit, menyebabkan uremia berupa retensi urea dan sampah

lain dalam darah (Brunner & Suddarth, 2002 : 1448).

b. Etiologi
Penyebab kasus baru dari gagal ginjal kronis stadium akhir di
Hong Kong pada tahun 2008 adalah:
 Diabetes Melitus 44%
 Alasan yang tidak diketahui 20%
 Glomerulonefritis 19%
 Hipertensi/Penyakit vaskular ginjal 9%
 Batu ginjal/obstruksi saluran kemih 3%
 Genetik (misalnya penyakit ginjal polikistik, gangguan
di mana kelompok kista
 berkembang di dalam ginjal) 4%
 Infeksi saluran kemih 1%
(Sumber dari: Catatan Ginjal Otoritas Rumah Sakit
Hong Kong - Penyebab Kasus Gagal Ginjal Stadium
Akhir Baru Tahun 2008)
c. Manifestasi Klinik
Penyakit ginjal dan gagal ginjal kronis tidak menunjukkan gejala
penyakit yang jelas pada stadium awalnya. Gejala ini bisa
mencakup:
 Darah dalam urin / urin berwarna seperti teh atau gelap
(hematuria)
 Urin berbusa (albuminuria)
 Urin berwarna keruh (infeksi saluran kemih)
 Rasa nyeri saat buang air kecil
 Kesulitan untuk buang air kecil (tidak lancar)
26

 Pasir/batu dalam urin


 Peningkatan atau penurunan produksi urin secara signifikan
 nokturia (sering buang air pada malam hari)
 Nyeri di pinggang/perut
 Pembengkakan pergelangan kaki atau kelopak mata, wajah
bengkak
 Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)
 Jika fungsi ginjal memburuk hingga stadium gagal ginjal
berat (kurang dari 25% fungsi ginjal normal), bisa terjadi
gejala uremia: Sering buang air kecil pada malam hari,
penurunan jumlah urin
 Kehilangan nafsu makan, mual, muntah
d. Patofisiologi

Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron


(termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang
lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh
hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat
disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR /
daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk
berfungsi sampai ¾ dari nefron-nefron rusak. Beban bahan yang
harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi
berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah
banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana
timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi
ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang
27

demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau


lebih rendah dariitu. ( Barbara C Long, 1996, 368).
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein
(yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam
darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan
semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.
(Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Perjalanan umum gagal ginjal progresifdapat dibagi menjadi
tiga stadium yaitu:
1. Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal)
Di tandai dengan kreatinin serum dan kadar Blood
Ureum Nitrogen (BUN) normal dan penderita
asimtomatik.
2. Stadium 2 (insufisiensi ginjal)
Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak
(Glomerulo filtration Rate besarnya 25% dari
normal). Pada tahap ini Blood Ureum Nitrogen mulai
meningkat diatas normal, kadar kreatinin serum mulai
meningkat melabihi kadar normal, azotemia ringan,
timbul nokturia dan poliuri.
3. Stadium 3 (Gagal ginjal stadium akhir / uremia).
Timbul apabila 90% massa nefron telah hancur, nilai
glomerulo filtration rate 10% dari normal, kreatinin
klirens 5-10 ml permenit atau kurang. Pada tahap ini
kreatinin serum dan kadar blood ureum nitrogen
meningkat sangat mencolok dan timbul oliguri. (Price,
1992: 813-814)
28

D. Leukimia
a. Pengertian
 Leukemia merupakan penyakit akibat terjadinya proliferasi
[pertumbuhan sel imatur] sel leikosit yang abnormal dan
ganas, serta sering disertai adanya leukosit dengan jumlah
berlebihan, yang dapat menyebabkan terjadinya anemia
trombositopenia [Hidayat, 2006]
 Leukemia merupakan penyakit akibat proliferasi
[bertambah banyak atau multiplikasi] patologi dari sel
pembuat darah yang bersifat sistemik dan biasanya
berakibat fatal. [Nursalam, 2005]
 Leukemia adalah proliferasi tak teratur atau akumulasi sel-
sel darah putih dalam sum-sum tulang, menggantikan
elemen-elemen sum-sum normal. [Baughman,2000]
b. Etiologi
Penyebab pasti belum diketahui. Mengutip penelitian-
penelitian para ahli leukemia kemungkinan disebabkan zat-zat
kimiawi, anak cukup rentan mengkonsumsi makanan dan
minuman yang mengandung pengawet. Dugaannya bahan
pengawet tersebut dapat menyebabkan kanker pada anak dan dapat
disebabkan oleh abnormalitas genetic pada sel hematopoetik serta
factor genetic. Radiasi dan sinar radioaktif pun dapat memicu
terjadinya kanker pada anak.
c. Manifestasi Klinik
 Anemia
 Perdarahan: petekie, purpura, ekimosis, hematuri,
perdarahan gusi, perdarahan orak, perdarahan
gastrointestinal
29

 Infeksi pada mulut, selulitis


 Limfadenopati
 Hepatomegali
 Nyeri tulang
d. Patofisiologi
Penyakit leukemia ditandai oleh adanya proliferasi tak
terkendali dari satu atau beberapa jenis sel darah. Hal ini terjadi
karena adanya perubahan pada kromosom sel induk sistem
hemopoetik. Sel sistem hemopoetik adalah sel yang terus menerus
berproliferasi, karena itu sel ini lebih potensial untuk
bcrtransformasi menjadi sel ganas dan lebih peka terhadap obat
toksik seperti sitostatika dan radiasi. Penelitian morfologik
menunjukkan bahwa pada Leukemia Limfositik Akut (LLA)
terjadi hambatan diferensiasi dan sel limfoblas yang neoplastik
memperlihatkan waktu generasi yang memanjang, bukan
memendek. Oleh karena itu, akumulasi sel blas terjadi akibat
ekspansi klonal dan kegagalan pematangan progeni menjadi sel
matur fungsional. Akibat penumpukan sel blas di sumsum tulang,
sel bakal hemopoetik mengalami tekanan.
Kelainan paling mendasar dalam proses terjadinya
keganasan adalah kelainan genetik sel. Proses transformasi
menjadi sel ganas dimulai saat DNA gen suatu sel mengalami
perubahan. Akibat proliferasi sel yang tidak terkendali ini tcrjadi
kenaikan kadar satu atau beberapa jenis sel darah dan
penghambatan pembentukan sel darah lainnya dengan akibat
terjadinya anemia, trombositopenia dan granulositopenia.
30

Perubahan kromosom yang terjadi merupakan tahap awal


onkogenesis dan prosesnya sangat kompleks, melibatkan faktor
intrinsik (host) dan ekstrinsik (lingkungan).

VII. Pengkajian Fisik Dan Psikologis

A. Faktor-faktor yang perlu dikaji dalam perawatan paliatif


1. Faktor Fisik
Pada kondisi terminal atau menjelang ajal klien dihadapkan pada
berbagai masalah pada fisik. Gejala fisik yang ditunjukan antara lain
perubahan pada penglihatan, pendengaran, nutrisi, cairan, eliminasi,
kulit, tanda-tanda vital, mobilisasi, nyeri.
Perawat harus mampu mengenali perubahan fisik yang terjadi
pada klien, klien mungkin mengalami berbagai gejala selama
berbulan-bulansebelum terjadi kematian.Perawat harus respek
terhadap perubahan fisik yang terjadi pada klien terminal karena hal
tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan penurunan kemampuan
klien dalam pemeliharaan diri.
2. Faktor Psikologis
Perubahan Psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi
terminal.Perawat harus peka dan mengenali kecemasan yang terjadi
pada pasien terminal, harus bisa mengenali ekspresi wajah yang
ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah. Problem psikologis lain
yang muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan,
kehilangan harga diri dan harapan. Perawat harus mengenali tahap-
tahap menjelang ajal yang terjadi pada klien terminal.
31

3. Faktor Sosial
Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama
kondisi terminal, karena pada kondisi ini pasien cenderung menarik
diri, mudah tersinggung, tidak ingin berkomunikasi, dan sering
bertanya tentang kondisi penyakitnya.Ketidakyakinan dan
keputusasaan sering membawa pada perilaku isolasi.Perawat harus
bisa mengenali tanda klien mengisolasi diri, sehingga klien dapat
memberikan dukungan social bisa dari teman dekat, kerabat/keluarga
terdekat untuk selalu menemani klien.
4. Faktor Spiritual
Perawat harus mengkaji bagaimana keyakinan klien akan
proses kematian, bagaimana sikap pasien menghadapi saat-saat
terakhirnya. Apakah semakin mendekatkan diri pada Tuhan ataukah
semakin berontak akan keadaannya. Perawat juga harus mengetahui
disaat-saat seperti ini apakah pasien mengharapkan kehadiran tokoh
agama untuk menemani disaat-saat terakhirnya.
Keyakinan spiritual mencakup praktek ibadah, ritual harus
diberi dukungan.Perawat harus mampu memberikan ketenangan
melalui keyakinan-keyakinan spiritual. Perawat harus sensitive
terhadap kebutuhan ritual pasien yang akan menghadapi kematian,
sehingga kebutuhan spiritual klien menjelang kematian dapat
terpenuhi.

B. Pengkajian fisik dan psikologis dalam perawatan paliatif


1. Mengkaji Kondisi Kesehatan Fisik
Nyeri :Ketika mengkaji pasien sangat penting untuk mendengarkan
pasien, memperhatikan pada bahaa yang digunakan untuk
mendeskripsikan nyeri akan membantu diagnosanya. Tipe nyeri dapat
ditentukan dari obat apa yang harus digunakan.
32

2. Mengkaji Kondisi Psikologis


 Kondisi pikiran dan suasana hati (mood).
Meliputi : Apakah dalam bulan terakhir anda merasakan: Merasa
putus asa atau merasa tidak berdaya? kehilangan minat? Apakah
anda merasa depresi?Apakah anda merasa tegang atau cemas?
Apakah anda pernah mengalami serangan panic?Apakah ada hal
spesifik yang anda harapkan?
 Penyesuaian terhadap sakit.
Meliputi : Apa pemahaman anda terhadap sakit saat ini? Gali
dengan hati-hati ekspektasi pasien.
 Sumber – sumber dan hal yang menguatkan.
Meliputi : Apakah sumber dukungan anda? Misalnya: orang-orang,
hobi, iman dan kepercayaan
 Total Pain (nyeri multidimensi yang tidak terkontrol)
Meliputi : Adakah masalah psikologis, sosial, spiritual yang
dialami yang berkontribusi terhadap gejala yang dialami?
 Sakit sebelumnya (dapat dikaji langsung atau pada keluarga):
Adakah risiko stress psikologikal dan riwayat masalah kesehatan
mental?
VIII. Tinjauan Agama Untuk Keperawatan Palliative

Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan


peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Agama yang diakui di Indonesia ada 6 yakni Agama Islam, Kristen Protestan,
Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu. Dari sudut pandang keagamaan,
baik agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, maupun Buddha tidak
menentang tindakan perawatan paliatif.
33

Dalam Agama Katolik, tidak ada larangan bagi orang sakit


untuk menjalani dan pengobatan paliatif, selama pengobatan – pengobatan
ini dapat menyembuhkan atau membuat keadaan menjadi lebih baik. Hal ini
berdasarkan pada landasan ajaran agama Katolik, yaitu Hukum Cinta Kasih
dan KGK 1506 – 1510, dimana Kristus mengajak para murid – muridnya dan
juga gereja untuk menyembuhkan dan merawat para orang – orang sakit.
Dengan pengurapan orang sakit Gereja dalam keseluruhannya
menyerahkan si sakit kepada kemurahan Tuhan, agar Ia menguatkan dan
meluputkannya.
Perawat dari segi rohani kristen adalah suatu panggilan untuk
menolong sesama sebagai insan ciptaan yang Maha kuasa,panggilan sebagai
seorang perawat terlepas dari menolong dari sisi fisik dan tidak melupakan
sisi psikologis bahkan rohani spiritual kristen untuk memberikan dukungan
spriritual,sehingga pasien paliatif betul – betul merasakan asuhan keperawatan
dengan dasar kasih Yesus untuk memperoleh pemulihan iman dan yakin
bahwa ada kuasa yang dasyat dibalik semua situasi yang dialami melalui
jamahan rohani kristen melalui perawat.
Perawatan paliatif dalam agama Islam menggunakan metode
counseling Konseling Islam yang dilakukan diarahkan pada peningkatan
pengetahuan, pemahaman dan pengamalan pada pasien dengan peyakit
terminal terhadap ajaran Islam, seperti mengakui kesalahan (taubatan nasuha),
tekun salat , mendekatkan diri pada Allah, menjalani kehidupan selanjutnya
dengan lebih bermakna, Proses ini mampu mengantarkan pasien mendapatkan
kondisi psikologis positif dan mampu meningkatkan kualitas hidup pasien
terutama dalam menangani masalah psiko-sosiospiritual pasien. Peningkatan
kualitas hidup pasien inilah yang berarti terwujudnya palliative care.
Agama Buddha tidak memandang kematian sebagai akhir dari
segalanya, artinya pada saat kita meninggal pada kehidupan ini, kita akan lahir
menjadi makhluk lain di kehidupan yang selanjutnya. Maka dari itu, pada saat
34

seseorang berada pada stadium terminal, maka seharusnya pasien dianjurkan


untuk melakukan kebaikan sebanyak mungkin agar ia dapat terlahir di alam
yang bahagia di kehidupan yang selanjutnya. Agama Budha mengajarkan
Cara untuk mengakhiri penderitaan adalah dengan menghentikan hasrat. Cara
untuk menghentikan hasrat adalah dengan mengikuti jalan mulia berunsur
delapan:
• keyakinan yang benar
• tujuan yang benar
• ucapan yang benar
• perilaku yang benar
• penghidupan atau mata pencaharian yang benar
• usahayang benar
• perhatian yang benar
• meditasi yang benar

Buddha juga menjelaskan bahwa perawat juga diharapkan untuk


merawat kondisi batin pasien. Dalam profesi perawatan dengan memasukkan
elemen SPIRITUAL dalam pembicaraan perawat. Cara-cara yang paling
bagus untuk menenangkan perasaan takut ini adalah dengan mengalihkan
perhatian kepada Dhamma. Dalam pengawasannya, perawat diharapkan
memberikan bimbingan spiritual kepada pasien sebagai suatu bagian dan
paket dari kewajiban seorang perawat. Isu utama saat menjelang ajal bagi
banyak pasien dan keluarga beragama Buddha adalah untuk mempertahankan
kesadaran sehingga pasien dapat “mengisi benak mereka dengan pemikiran
yang sehat” (Ratanakul, 1991, hlm. 396).
35

IX. Tinjauan Sosial Budaya Tentang Keperawatan Palliative

Sosial budaya merupakan segala hal yang diciptakan oleh manusia


dengan pikiran dan budinya dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut
Andreas Eppink, sosial budaya atau kebudayaan adalah segala sesuatu atau
tata nilai yang berlaku dalam sebuah masyarakat yang menjadi ciri khas dari
masyarakat tersebut. Sedangkan menurut Burnett, kebudayaan adalah
keseluruhan berupa kesenian, moral, adat istiadat, hukum, pengetahuan,
kepercayaan, dan kemampuan olah pikir dalam bentuk lain yang didapat
seseorang sebagai anggota masyarakat dan keseluruhan bersifat kompleks.
Dari kedua pengertian tersebut bisa disimpulkan bahwa social budaya
memang mengacu pada kehidupan bermasyarakat yang menekankan pada
aspek adat istiadat dan kebiasaan masyarakat itu sendiri.
Green dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa perilaku
manusia dari tingkat kesehatan dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor
perilaku (behaviour cause) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour cause).
Perilaku itu sendiri terbentuk dari tiga factor, yaitu :

1. Faktor Predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam


pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya
2. Faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan
fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitasfasilitas atau sarana-sarana
kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, air bersih dan sebagainya
3. Faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan
kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Contoh lain, sosial budaya mempengaruhi kesehatan adalah
pandangan suatu masyarakat terhadap tindakan yang mereka lakukan ketika
mereka mengalami sakit, ini akan sangat dipengaruhi oleh budaya, tradisi, dan
kepercayaan yang ada dan tumbuh dalam masyarakat tersebut. Misalnya
36

masyarakat yang sangat mempercayai dukun yang memiliki kekuatan gaib


sebagai penyembuh ketika mereka sakit, dan bayi yang menderita demam atau
diare berarti pertanda bahwa bayi tersebut akan pintar berjalan. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa social budaya sangat mempengaruhi kesehatan baik itu
individu maupun kelompok.

Kebudayaan perilaku kesehatan yang terdapat dimasyarakat beragam


dan sudah melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan tersebut
seringkali berupa kepercayaan gaib. Sehingga usaha yang harus dilakukan
untuk mengubah kebudayaan tersebut adalah dengan mempelajari kebudayaan
mereka dan menciptakan kebudayaan yang inovatif sesuai dengan norma,
berpola, dan benda hasil karya manusia.

1. Kajian Sosial Budaya Tentang Perawatan Paliatif

Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat


adalah perilaku kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses
terbentuknya perilaku ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya
adalah faktor sosial budaya, bila faktor tersebut telah tertanam dan
terinternalisasi dalam kehidupan dan kegiatan masyarakat ada
kecenderungan untuk merubah perilaku yang telah terbentuk tersebut sulit
untuk dilakukan.

Untuk itu, untuk mengatasi dan memahami suatu masalah


kesehatan diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai budaya dasar
dan budaya suatu daerah. Sehingga dalam kajian sosial budaya tentang
perawatan paliatif bertujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya, meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga
dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang
mengancam kehidupan.
37

2. Budaya Masyarakat Tentang Pengobatan Pada Penyakit Paliatif

Kanker payudara merupakan penyakit yang mematikan. Jumlah


penderitanya pun tak sedikit. Sayang, banyak penderita justru memilih ke
dukun alias pengobatan alternatif. Ujung-ujungnya, malah bertambah
parah. Banyak penderita yang baru berobat ke dokter setelah menderita
kanker payudara stadium tinggi.

Selain itu, fenomena dukun Ponari sempat menyita perhatian


masyarakat Indonesia beberapa tahun yang lalu, cerita kemunculan dukun
Ponari dengan batu saktinya sebagai media penyembuhan dengan cara di
celupkan ke air. Percaya terhadap kesaktian batu yang dimiliki Ponari itu
merupakan sebuah budaya yang mengakar dan bertahan dimasyarakat
sebagai bagian dari kearifan lokal.

Pemahaman masyarakat terhadap hal-hal yang dipercayai secara


turun-temurun merupakan bagian dari kearifan lokal yang sulit untuk
dilepaskan. Hingga pemahaman magis yang irasional terhadap
pengobatan melalui dukun seperti diatas sangat dipercayai oleh
masyarakat. Peranan budaya dan kepercayaan yang ada dimasyarakat itu
diperkuat oleh rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi.

X. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terminal Illness

A. Pengkajian

1. Riwayat kesehatan sekarang


 Berisi tentang penyakit yang diderita klien pada saat sekarang
 Riwayat kesehatan dahulu
Berisi tentang keadaan klien apakah klien pernah masuk rumah
sakit dengan penyakit yang sama
38

 Riwayat kesehatan keluarga


Apakah anggota keluarga pernah menderita penyakit yang
sama dengan klien
2. Head To Toe
 Perubahan fisik saat kematian mendekat
 Pasien kurang rensponsif
 Fungsi tubuh melambat
 Pasien berkemih dan defekasi secara tidak sengaja
 Rahang cendrung jatuh
 Pernafasan tidak teratur dan dangkal
 Sirkulasi melambat dan ektremitas dingin, nadi cepat dan
melemah
 Kulit pucat
 Mata memelalak dan tidak ada respon terhadap cahaya

B. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi


1. Ansietas/ ketakutan individu , keluarga yang berhubungan
diperkirakan dengan situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang
tidak dapat diperkirakan takut akan kematian dan efek negatif pada
pada gaya hidup
Kriteria Hasil:
Klien atau keluarga akan :
 Mengunkapkan ketakutannya yang brhubungan dengan gangguan
 Menceriktakan tentang efek gangguan pada fungsi normal,
tanggung jawab, peran dan gaya hidup
39

Intervensi:

 Bantu klien untuk mengurangi ansietasnya : berikan kepastian dan


kenyamanan, tunjukkan perasaan tentang pemahman dan empti,
jangan menghindari pertanyaan, dorong klien untuk
mengungkapkan setiap ketakutan permasalahan yang
berhubungan dengan pengobtannya, identifikasi dan dukung
mekaniosme koping efektif
Rasional:
Klien yang cemas mempunnyai penyempitan lapang persepsi
dengan penurunan kemampuan untuk belajar. Ansietas cendrung
untuk memperburuk masalah. Menjebak klien pada lingkaran
peningkatan ansietas tegang, emosional dan nyeri fisik
 Kaji tingkat ansietas klien : rencanakan pernyuluhan bila
tingkatnya rendah atau sedang
Rasional:
Beberapa rasa takut didasari oleh informasi yang tidak akurat dan
dapat dihilangkan denga memberikan informasi akurat. Klien
dengan ansietas berat atauparah tidak menyerap pelajaran
 Dorong keluarga dan teman untuk mengungkapkan ketakutan-
ketakutan mereka
Rasional:
Pengungkapan memungkinkan untuk saling berbagi dan
memberiakn kesempatan untuk memperbaiki konsep yang tidak
benar
 Berikan klien dan keluarga kesempatan dan penguatan koping
positif Rasional: Menghargai klien untuk koping efektif dapat
menguatkan renson koping positif yang akan datang
40

2. Berduka yang behubungan dengan penyakit terminal dan kematian


yang dihadapi, penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik
diri dari orang lain
Klien akan :
 Mengungkapakan kehilangan dan perubahan
 Mengungkapakan perasaan yang berkaitan kehilangan dan
perubahan
 Menyatakan kematian akan terjadi
Anggota keluarga akan melakukan hal berikut : mempertahankan
hubungan erat yang efektif , yang dibuktikan dengan cara sbb:
 Menghabiskan waktu bersama klien
 Memperthankan kasih sayang , komunikasi terbuka dengan
klien
 Berpartisipasi dalam perawatan

Intervensi dan rasional:

 Berikan kesempatan pada klien da keluarga untuk


mengungkapkan perasaan, didiskusikan kehilangan secara
terbuka , dan gali makna pribadi dari kehilangan.jelaskan
bahwa berduka adalah reaksi yang umum dan sehat
Rasional:
Pengetahuan bahwa tidak ada lagi pengobatan yang dibutuhkan
dan bahwa kematian sedang menanti dapat menyebabkan
menimbulkan perasaan ketidak berdayaan, marah dan
kesedihan yang dalam dan respon berduka yang lainnya.
Diskusi terbuka dan jujur dapat membantu klien dan anggota
keluarga menerima dan mengatasi situasi dan respon mereka
terhdap situasi tersebut
41

 Berikan dorongan penggunaan strategi koping positif yang


memberikan keberhasilan pada masa lalu
Rasional:
Stategi koping fositif membantu penerimaan dan pemecahan
masalah
 Berikan dorongan pada klien untuk mengekpresikan atribut diri
yang positif Memfokuskan pada atribut yang positif
meningkatkan penerimaan diri dan penerimaan kematian yang
terjadi
 Bantu klien mengatakan dan menerima kematian yang akan
terjadi, jawab semua pertanyaan dengan jujur Proses berduka,
proses berkabung adaptif tidak dapat dimulai sampai kematian
yang akan terjadi di terima
 Tingkatkan harapan dengan perawatan penuh perhatian,
menghilangkan ketidak nyamanan dan dukungan Penelitian
menunjukkan bahwa klien sakit terminal paling menghargai
tindakan keperawatan berikut : membantu berdandan,
mendukung fungsi kemandirian, memberikan obat nyeri saat
diperlukan dan meningkatkan kenyamanan fisik ( skoruka dan
bonet 1982

XI. Manajemen Nyeri

a. Pengertian
Nyeri adalah pendamping umum dari kelahiran, pertumbuhan,
kematian, dan penyakit; itu terkait erat dengan sifat alami keberadaan
manusia. Kebanyakan nyeri bisa diredakan, dan pasien bisa relatif
bebas rasa sakit. Nyeri merupakan perasaan tidak nyaman,baik ringan
maupun berat yang hanya dapat dirasakan oleh individu tersebut tanpa
42

dapat dirasakan oleh orang lain,mencakup pola pikir,aktifitas


seseorang secara langsung,dan perubahan hidup seseorang.Nyeri
merupakan tanda dan gejala penting yang dapat menunjukkan telah
terjadinya gangguan fisiological, Menurut beberapa tokoh atau
sumber:
 IASP 1979 (International for the Study of Pain)nyeri
adalah”Suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan,yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang
nyata atau yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan
jaringan”dari definisi tersebut dapat di simpulkan bahwa nyeri
bersifat subyektif dimana individu mempelajari apa itu
nyeri,melalaui pengalaman yang langsung berhubungan
dengan luka (injuri),yang dimulai dari awal masa
kehidupannya.
 Sternbach (1968) mengatakan nyeri sebagai “konsep yang
abstrak “ yang merujuk pada sensasi pribadi tentang sakit,suatu
stimulus berbahaya yang menggambarkan akan terjadinya
kerusakan jaringan,suatu pola respon untuk melindungi
organism dari bahaya.
 McCafferi (1979) mengatakan nyeri sebagai penjelasan pribadi
tentang nyeri ketika dia mengatakan tentang nyeri “apapun
yang di katakan tentang nyeri dan di manapun ketika dia
mengatakan,hal itu ada.
 Tamsuri (2007) nyeri di definisikan sebagai suatu keadaan
yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya di ketahui
bila seseorang pernah mengalaminya.
43

Studi menunjukkan bahwa sebanyak 25% pasien kanker yang


terdiagnosis, 60% dari mereka yang menjalani pengobatan, dan 75%
dari mereka yang berada dalam fase penyakit terminal, menderita
nyeri yang tidak mereda.

b. Ruang Lingkup Nyeri

Ruang lingkup pelayanan nyeri yaitu semua pasien dengan


kondisi nyeri yang membutuhkan pelayanan manajemen nyeri,
pengobatan dan observasi nyeri. Pada tahun 1986, The Nasional
Institutes of Health Consensus Conference on Pain mengkategorikan
nyeri menjadi 2 tipe yaitu :
1. Nyeri Akut, merupakan hasil dari injuri acut,penyakit dan
pembedahan. Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan
durasi yang terbatas, memiliki hubungan temporal dan kausal
dengan adanya cedera atau penyakit.
2. Nyeri Kronik :
 Non keganasan di hubungkan dengan kerusakan
jaringan yang dalam masa penyembuhan atau tidak
progresif
 Keganasan adalah nyeri yang di hubungkan dengan
kanker atau proses penyakit lain yang progresif.
 Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode
waktu yang lama. Nyeri kronik adalah nyeri yang terus
ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan
sering sekali tidak diketahui penyebab yang pasti
Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis
44

C. Anamnesa
a. Riwayat penyakit sekarang.
 Onset nyeri: akut atau kronik, traumatik atau non-traumatik. 
 Karakter dan derajat keparahan nyeri: nyeri tumpul, nyeri
tajam, rasa terbakar, tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.
 Pola penjalaran / penyebaran nyeri.
 Durasi dan lokasi nyeri.
 Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal,
kesemutan, mual/muntah, atau gangguan keseimbangan /
kontrol motorik.
 Faktor yang memperberat dan memperingan.
 Kronisitas.
 Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya,
termasuk respons terapi.
 Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka.
 Penggunaan alat bantu.
 Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan
aktivitas hidup dasar (activity of daily living).
 Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan,
seperti adanya fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis
progresif cepat yang berhubungan dengan sindrom kauda
ekuina.
b. Riwayat pembedahan / penyakit dahulu.
c. Riwayat psiko-sosial.
 Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika.
 Identifikasi pengasuh / perawat utama (primer) pasien.
 Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi
menimbulkan eksaserbasi nyeri.
45

 Pembatasan /restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial


yang berpotensi menimbulkan stres. Pertimbangkan juga
aktivitas penggantinya.
 Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh
diri) dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi
dan kooperasi pasien dengan program penanganan /
manajemen nyeri ke depannya. Pada pasien dengan masalah
psikiatri, diperlukan dukungan psikoterapi / psikofarmaka.
 Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat
menimbulkan stres bagi pasien / keluarga.
d. Riwayat pekerjaan :
Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti
mengangkat benda berat, membungkuk atau memutar; merupakan
pekerjaan tersering yang berhubungan dengan nyeri punggung.
e. Obat-obatan dan alergi.
 Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk
mengurangi nyeri (suatu studi menunjukkan bahwa 14%
populasi di AS mengkonsumsi suplemen / herbal, dan 36%
mengkonsumsi vitamin).
 Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi,
efektifitas, dan efek samping.
 Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan
obat-obatan dengan efek samping kognitif dan fisik.
f. Riwayat keluarga.
i. Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik.
g. Asesmen sistem organ yang komprehensif
46

 Evaluasi gejala kardiovaskular, psikiatri, pulmoner,


gastrointestinal, neurologi, reumatologi, genitourinaria,
endokrin, dan muskuloskeletal).
 Gejala konstitusional: penurunan berat badan, nyeri malam
hari, keringat malam, dan sebagainya.
D. Asesmen nyeri.
1. Numeric Rating Scale.
 Indikasi: digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia >
9 tahun yang dapat menggunakan angka untuk
melambangkan intensitas nyeri yang dirasakannya.
 Instruksi: pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri
yang dirasakan dan dilambangkan dengan angka antara 0 –
10.
  0      = tidak nyeri.
 1 – 3   = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-
hari).
 4 – 6   = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas
sehari-hari).
 7 – 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas
sehari-hari).

2. Wong Baker FACES Pain Scale.


47

 Indikasi: Pada pasien (dewasa dan anak > 3 tahun) yang tidak
dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka,
gunakan asesmen.
 Instruksi: pasien diminta untuk menunjuk / memilih gambar
mana yang paling sesuai dengan yang ia rasakan. Tanyakan
juga lokasi dan durasi nyeri.
 0 – 1  = sangat bahagia karena tidak merasa nyeri sama sekali.
 2 – 3 = sedikit nyeri.
 4 – 5 = cukup nyeri.
 6 – 7 = lumayan nyeri.
 8 – 9 = sangat nyeri.
 10     = amat sangat nyeri (tak tertahankan).

3. Comfort scale.
 Indikasi: pasien bayi, anak, dan dewasa di ruang rawat
intensif / kamar operasi / ruang rawat inap yang tidak dapat
dinilai menggunakan Numeric Rating Scale atau Wong-Baker
FACES Pain Scale.
 Instruksi: terdapat 9 kategori dengan setiap kategori memiliki
skor 1-5, dengan skor total antara 9 – 45.
 Kewaspadaan.
 Ketenangan.
48

 Distress pernapasan.
 Menangis.
 Pergerakan.
 Tonus otot.
 Tegangan wajah.
 Tekanan darah basal.
 Denyut jantung basal.
Kategori Skor Tanggal/Waktu

Kewaspadaan 1 – tidur pulas / nyenyak.


2 – tidur kurang nyenyak.
3 – gelisah.
4 – sadar sepenuhnya dan waspada.
5 – hiper alert.

Ketenangan 1 – tenang.
2 – agak cemas.
3 – cemas.
4 – sangat cemas.
5 – panik.
Distress pernapasan 1 – tidak ada respirasi spontan dan
tidak ada batuk.
2 – respirasi spontan dengan sedikit /
tidak ada respons terhadap ventilasi.
3 – kadang-kadang batuk atau
terdapat tahanan terhadap ventilasi.
4 – sering batuk, terdapat tahanan /
perlawanan terhadap ventilator.
5 – melawan secara aktif terhadap
49

ventilator, batuk terus-menerus /


tersedak
Menangis  1– bernapas dengan tenang, tidak
menangis.
2 – terisak-isak.
3 – meraung.
4 – menangis.
5 – berteriak
Pergerakan 1 – tidak ada pergerakan.
2 – kedang-kadang bergerak
perlahan.
3 – sering bergerak perlahan.
4 – pergerakan aktif / gelisah.
5 – pergrakan aktif termasuk badan
dan kepala.
Tonus otot 1 – otot relaks sepenuhnya, tidak ada
tonus otot.
2 – penurunan tonus otot.
3 – tonus otot normal.
4 – peningkatan tonus otot dan fleksi
jari tangan dan kaki.
5 – kekakuan otot ekstrim dan fleksi
jari tangan dan kaki
Tegangan wajah 1 – otot wajah relaks sepenuhnya.
2 – tonus otot wajah normal, tidak
terlihat tegangan otot wajah yang
nyata.
3 – tegangan beberapa otot wajah
terlihat nyata.
4 – tegangan hampir di seluruh otot
50

wajah.
5 – seluruh otot wajah tegang,
meringis
Tekanan darah basal 1 – tekanan darah di bawah batas
normal.
2 – tekanan darah berada di batas
normal secara konsisten.
3 – peningkatan tekanan darah
sesekali ?15% di atas batas normal
(1-3 kali dalam observasi selama 2
menit).
4 – seringnya peningkatan tekanan
darah ?15% di atas batas normal (>3
kali dalam observasi selama 2 menit).
5 – peningkatan tekanan darah terus-
menerus ?15%
Denyut jantung basal 1 – denyut jantung di bawah batas
normal.
2 – denyut jantung berada di batas
normal secara konsisten.
3 – peningkatan denyut jantung
sesekali ?15% di atas batas normal
(1-3 kali dalam observasi selama 2
menit).
4 – seringnya peningkatan denyut
jantung ?15% di atas batas normal
(>3 kali dalam observasi selama 2
menit).
5 – peningkatan denyut jantung terus-
51

menerus ?15%
Skor total

BAB. III

KESIMPULAN
52

Perawatan paliatif adalah perawatan medis khusus untuk orang dengan


penyakit fatal yang tidak memiliki obat yang jelas, atau bahkan sudah divonis
mengidap penyakit yang mematikan. Tujuan perawatan ini terletak pada bagaimana
perawat meringankan kondisi pasien, bukan sebagai bentuk pengobatan untuk
menyembuhkan.

Perawatan paliatif tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, karena harus
melibatkan tim khusus seperti dokter, perawat, dan tenaga ahli medis lainnya yang
profesional dalam bidang spesialisasi paliatif. Mereka bertugas memberikan
dukungan bagi pasien yang menderita penyakit mematikan, dan keluarga pasien
dalam mengadapi persiapan kematian yang tidak terhindari.

Perawatan paliatif merupakan jenis perawatan yang tidak hanya menekankan


pada kondisi fisik si pasien saja, melainkan fokus terhadap aspek-aspek emosional,
psikososial, ekonomis, serta spritual untuk memenuhi kebutuhan akan perbaikan
kualitas hidup seorang pasien dan keluarganya. Sering kali perawatan ini dikaitkan
dengan penyakit terminal seperti HIV/AIDS, kanker, gagal ginjal dan lain
sebagainya.

Penting bagi pasien agar bisa memiliki akses ke ahli kesehatan yang
mengkhususkan diri dalam kesehatan mental, sehingga mampu membantu mereka
agar lebih kuat menjalani setiap masalah psikologis yang harus mereka hadapi.
Ketakutan tentang masa depan sering menjadi perhatian besar bagi pasien, dan tak
jarang mereka kadang merasa perlu untuk mengungkapkan hal tersebut.

Untuk membantu kecemasan mereka, perawatan ini menawarkan: konseling,


visualisasi, terapi kognitif, terapi obat, terapi manajemen nyeri, juga bagian dari
53

perawatan paliatif yang melibatkan pemberian dukungan emosional, bagi pasien yang
merasa membutuhkannya.

Selain kepada penderitanya, perawatan ini juga memberi dukungan kepada


seluruh anggota keluarga dan pelaku rawat lainnya. Perawatan ini dilakukan mulai
dari tahap diagnosis, sepanjang pengobatan, hingga jelang ajal dan pasca kematian.
Hal ini bertujuan agar pasien bisa mendapatkan kualitas hidup yang baik sebelum
menghadapi kematian yang tidak pernah diketahui waktu pastinya. Berdasarkan
Keputusan Kementrian Kesehatan tahun 2007 tentang perawatan paliatif, tempat
untuk melakukan perawatan paliatif adalah:

 Rumah sakit: untuk pasien yang harus mendapatkan perawatan yang


memerlukan pengawasan ketat, tindakan khusus, atau peralatan khusus.
 Puskesmas: untuk pasien yang memerlukan pelayanan rawat jalan.
 Rumah singgah/panti (hospis): untuk pasien yang tidak memerlukan
pengawasan ketat, tindakan khusus, maupun peralatan khusus, tetapi belum
dapat dirawat di rumah karena masih memerlukan pengawasan tenaga
kesehatan.
 Rumah pasien: untuk pasien yang tidak memerlukan pengawasan ketat,
tindakan khusus, maupun peralatan khusus atau keterampilan perawatan yang
tidak mungkin dilakukan oleh keluarga

Perlu diketahui jika di rumah sakit dan puskesmas yang menyediakan


perawatan paliatif di Indonesia masih terbatas karena jumlah dokter yang mampu
memberikan pelayanan perawatan ini pun juga terbatas. Oleh sebab itu, ada baiknya
Anda perlu melakukan konfirmasi lebih lanjut ke pihak-pihak terkait jika ingin
melakukan perawatan ini.

DAFTAR PUSTAKA
54

 Oxford Text Book Of Palliative Nursing, 2010


 Hadi Purwanto, Keperawatan Medikal Bedah II, Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2016
 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 812/Menkes/VII/2007, Tentang
Kebijakan Perawatan Palliatif
 TKJ, Panduan Manajemen Nyeri, 2017
 Chronic Renal Failure Indonesia, Gagal Ginjal Kronis, 2016

Anda mungkin juga menyukai