Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEBIDANAN KEGAWATDARURATAN


MATERNAL DAN NEONATAL PADA BAYI GAWAT NAFAS
(RESPIRATORY DISTRESS)

Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Ketuntasan


Praktik Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal

Program Studi Sarjana Terapan Kebidanan

Disusun oleh :
Desy Fitriani Rahmasari
PO.62.24.2.22.307

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL TENAGA KESEHATAN
POLTEKKES KEMENKES PALANGKA RAYA
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan karunia-Nya

sehingga dapat menyelesaikan Laporan Pendahuluan Asuhan Kebidanan

Kegawatdaruratan Maternal Neonatal ini dengan baik dan tepat waktu. Laporan

Pendahuluan Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal ini penulis

susun untuk memenuhi persyaratan ketuntasan praktik mata kuliah Asuhan

Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal di Jurusan Kebidanan Politeknik

Kesehatan Palangka Raya. Penulis menyadari bahwa dalam Laporan Pendahuluan

ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini karena adanya kekurangan dan

keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang

bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan Laporan

Pendahuluan Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal.

Penulis,
Desy Fitriani Rahmasari
DAFTAR ISI

COVER ....................................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... ii

KATA PENGANTAR ................................................................................. iii

DAFTAR ISI ............................................................................................... iv

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang ................................................................................ 1


B. Tujuan.............................................................................................. 3
C. Manfaat............................................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 5

A. Kegawatdaruratan Neonatal........................................................... 5
1. Definisi Neonatus ..................................................................... 5
2. Kegawatdaruratan Neonatal ...................................................... 5
B. Gawat Nafas (Respiratory Distress) pada Neonatus........................ 6
1. Transient Tachypneu of the Newborn ....................................... 6
2. Respiratory Distress Syndrom (RDS) / Hyaline Membrane Disease
(HMD) ..................................................................................... 10
3. Meconeal Aspiration Syndrome (MAS) .................................... 22
4. Pneumonia ............................................................................... 25
5. Apneu....................................................................................... 29
6. Downe Score ............................................................................ 34

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB)
merupakan indicator derajat kesehatan disuatu wilayah dan menjadi salah
satu komponen indeks pembangunan maupun indeks kualitas hidup.
Menurut WHO. (2019) hasil pencapaian AKI sebesar 23,88 per 1000
kelahiran hidup sedangkan AKB sebesar 12,41 per 1000 kelahiran hidup.
Mengurangi AKI dan AKB merupakan salah satu indikator dalam Goals
ketiga dari program SDGs yang merupakan kelanjutan MDGs. Salah satu
sasaran SDGs adalah AKI diturunkan sampai 70 per 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2030 dan menurunkan AKB menjadi 16 per 1000
kelahiran hidup pada tahun 2024. Keberhasilan dari upaya kesehatan ibu
dan anak dapat dilihat dari AKI dan AKB yang merupakan hal mendasar
dalam menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan kualitas
pelayanan kesehatan ibu dan anak. (Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemkes
RI, 2020).
Keadaan Angka Kematian Bayi di Provinsi Kalimatan Selatan
berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan dalam kurun 5
tahun terakhir (2017-2021) menunjukkan cenderung menurun, meskipun
pada tahun 2018 terjadi kenaikan kasus sebesar 732 kasus namun pada tahun
2019 dan 2020 terjadi penurunan menjadi 656 kasus dan 607 kasus, dan
pada tahun 2021 kembali mengalami kenaikan menjadi 620 kasus.
Sedangkan trend AKB dalam 1.000 kelahiran hidup di Provinsi Kalimantan
Selatan pada tahun 2021 yaitu terdapat 9 kematian bayi per 1.000 kelahiran
hidup di Provinsi Kalimantan Selatan (Profil Kesehatan Kalsel, 2021).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan, jumlah
kematian neonatus tahun 2020 ada sebanyak 508 kasus, penyebab kematian
neonatus terbesar adalah BBLR 226 kasus (44,48%) dan asfiksia 91 kasus

1
(17,91%). Kemudian kematian bayi 115 kasus, penyebab terbesar adalah
pneumonia 11 kasus (9,56%), diare 11 kasus (9,56%) dan kasus lain-lain 92
kasus (80%).
Neonatal dengan komplikasi menjadi salah satu penyebab terjadinya
peningkatan angka kesakitan, kecacatan dan kematian. Beberapa
komplikasi yang sering terjadi pada neonatal yaitu asfiksia, ikterus,
hipotermia, tetanus neonatorum, infeksi atau sepsis, BBLR (Berat Bayi
Lahir Rendah), sindroma gangguan pernafasan dan kelainan kongenital.
Komplikasi yang menyebabkan angka kematian tertinggi yang terjadi pada
neonatal adalah BBLR atau Bayi Baru Lahir Rendah (Kemenkes RI, 2019).
BBLR merupakan suatu kondisi dimana berat badan bayi baru lahir kurang
dari 2.500 gram atau 5,5 pon (Stevens dkk, 2014).
Bayi dengan BBLR mempunyai kecenderungan mengalami
peningkatan terjadinya infeksi dan mudah terserang komplikasi. Salah satu
komplikasi yang sering terjadi pada neonatus dengan BBLR terutama
premature adalah penyakit gangguan pernafasan atau RDS (Respiratory
Distress Syndrome). Penyakit RDS ini disebabkan karena imaturitas fungsi
organ pada bayi dengan keadaan alveoli yang masih berukuran kecil
sehingga membuat alveoli tersebut tidak dapat mengembang secara
sempurna karena dinding dada yang masih lemah dan kurangnya produksi
cairan surfaktan (Agrina dkk, 2016). Kekurangan cairan surfaktan dapat
membuat alveolus menjadi kolaps sehingga membuat ventilasi menurun dan
akan mengakibatkan terjadinya peningkatan usaha nafas yang menimbulkan
pergerakan otot-otot bantu pernafasan serta pernafasan cuping hidung.
(Hanum dkk, 2014).
Komplikasi jangka pendek yang akan terjadi pada bayi dengan RDS
yaitu ruptur alveoli apabila dicurigai adanya kebocoran udara sehingga
dapat membuat bayi mengalami apnea, pada bayi yang mengalami
perburukan kondisi maka akan sangat rentang terhadap infeksi sehingga
terjadi perubahan pada jumlah leukosit dan trombositnya. Selain itu,
komplikasi jangka panjang yang akan terjadi pada bayi yaitu BPD (Broncho

2
Pulmonary Dysplasia) yang disebabkan karena pemakaian oksigen pada
bayi dengan usia masa gestasi 36 minggu dan Retinopathy Premature yang
merupakan suatu kondisi kegagalan nafas yang berhubungan dengan usia
masa gestasi karena adanya hipoksia, komplikasi intrakranial dan adanya
infeksi (Haryani dkk, 2021). Akibat dari tanda dan gejala penyakit RDS
tersebut, akan membuat bayi mengalami pola nafas tidak efektif serta
terdapat retraksi dada atau otot bantu nafas akibat dari peningkatan
permeabilitas sehingga terjadi perubahan membran alveolar kapiler dan
menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas. Lalu pada komplikasi
jangka pendek yang muncul akibat perburukan kondisi hingga terjadinya
perubahan jumlah leukosit dan trombosit maka bayi akan beresiko terjadi
infeksi dan resiko perdarahan.
Penanganan utama pada neonatus dengan BBLR yang mengalami RDS
adalah unit perawatan intensif dengan memberikan terapi suportif berupa
ventilasi mekanis dan oksigen konsentrasi tinggi. Terapi lainnya yang dapat
diberikan meliputi high-frequency ventilator, terapi surfaktan, inhalasi
nitrat oksida dan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) (Hidajat
& Firdaus, 2012)

B. Tujuan
Mahasiswa mampu mengidentifikasi asuhan kebidanan pada pasien dengan
diagnosis medis gawat nafas (Respiratory Distress) di Ruang Instalasi
Neonatal Resiko Tinggi di RSUD Ulin Banjarmasin.

C. Manfaat
1. Bagi Institusi
Laporan pendahuluan ini sebagai syarat ketuntasan Ptraktik Kebidanan
Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal Program Studi Pendidikan
Sarjana Terapan Kebidanan di Politeknik Kesehatan Kementerian
Kesehatan Palangka Raya. Diharapkan laporan pendahuluan ini dapat

3
menambah bahan pustaka yang dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa
untuk meningkatkan pengetahuan mengenai kegawatdaruratan neonatal
dengan Gawat Nafas (Respiratory Distress).
2. Bagi Penulis
Laporan pendahuluan ini dapat memberikan pengetahuan tentang
kegawatdaruratan neonatal dengan Gawat Nafas (Respiratory
Distress).

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kegawatdaruratan Neonatal
1. Definisi Neonatus
Bayi baru lahir normal (neonatal) adalah bayi yang baru lahir pada
usia kehamilan 37- 42 minggu, dengan persentasi belakang kepala atau
letak sungsang yang melewati vagina tanpa menggunakan alat, dan
berat badan lahir 2.500gram sampai dengan 4.000 gram sampai dengan
umur bayi 4 minggu (28 hari) sesudah kelahiran. Neonatus adalah bayi
berumur 0 (baru lahir) sampai dengan usia 1 bulan sesudah lahir.
Neonatus dini adalah bayi 0-7 hari. Neonatus lanjut adalah bayi berusia
7-28 hari (Tando,2016).
Ciri-ciri bayi baru lahir normal adalah lahir aterm antara 37-42
minggu, berat badan 2500-4000 gram, panjang lahir 48-52 cm. lingkar
dada 30-38 cm, lingkar kepala 33-35 cm, lingkar lengan 11-12 cm,
frekuensi denyut jantung 120- 160 kali permenit, kulit kemerah-
merahan dan licin karena jaringan subkutan yang cukup, rambut lanugo
tidak terlihat dan rambut kepala biasanya telah sempurna, kuku agak
panjang dan lemas, nilai Appearance Pulse Grimace Activity
Respiration (APGAR) > 7, gerakan aktif, bayi langsung menangis kuat,
genetalia pada laki-laki kematangan ditandai dengan testis yang berada
pada skrotum dan penis yang berlubang sedangkan genetalia pada
perempuan kematangan ditandai dengan labia mayora menutupi labia
minora, refleks rooting susu terbent uk dengan baik, refleks sucking
sudah terbentuk dengan baik (Armini, 2017).

2. Kegawatdaruratan Neonatal
Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan
evaluasi dan manajemen yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit

5
kritis (≤usia 28 hari) membutuhkan pengetahuan yang dalam mengenali
perubahan psikologis dan kondisi patologis yang mengancam jiwa yang
bisa saja timbul sewaktu-waktu.
Beberapa faktor berikut dapat menyebabkan kegawatdaruratan pada
neonatus. Faktor tersebut antara lain, faktor kehamilan yaitu kehamilan
kurang bulan, kehamilan dengan penyakit DM, kehamilan dengan
gawat janin, kehamilan dengan penyakit kronis ibu, kehamilan dengan
pertumbuhan janin terhambat dan infertilitas. Faktor lain adalah faktor
pada saat persalinan yaitu persalinan dengan infeksi intrapartum dan
persalinan dengan penggunaan obat sedative. Sedangkan faktor bayi
yang menyebabkan kegawatdaruratan neonatus adalah Skor apgar yang
rendah, BBLR, bayi kurang bulan, berat lahir lebih dari 4000 gr, cacat
bawaan, dan frekuensi pernafasan dengan 2x observasi lebih dari
60/menit (didien ika setyarini & Suprapti, SST., 2016).

B. Gawat Nafas (Respiratory Distress) Pada Neonatus


1. Transient Tachypneu of the Newborn
a. Definisi
Takipnea transien pada bayi baru lahir (TTN) adalah kondisi jinak
dan sembuh sendiri yang dapat muncul pada bayi dengan usia
kehamilan berapa pun, segera setelah lahir. Hal ini disebabkan
keterlambatan pembersihan cairan paru janin setelah lahir yang
menyebabkan pertukaran gas tidak efektif, gangguan pernapasan,
dan takipnea.
Takipnea transien pada bayi baru lahir (TTN) adalah suatu kondisi
yang menyebabkan masalah pernapasan pada bayi baru lahir. Bayi
memiliki cairan di paru-parunya sebelum lahir. Cairan biasanya
hilang saat bayi lahir. Pada beberapa bayi, cairan tidak hilang
secepat seharusnya. Hal ini menyebabkan TTN.

6
b. Faktor Risiko
Faktor risiko dari ibu :
1) Usia kehamilan <39 minggu
2) Persalinan secara Sectio Caesarea (SC)
3) Ibu penderita Diabetes Melitus
4) Partus lama
Faktor risiko dari janin :
1) Prematur
2) Berjenis kelamin laki-laki
3) Asfiksia perinatal
4) Bayi kecil masa kehamilan
5) Bayi besar masa kehamilan
6) APGAR score < 7 pada menit 1
7) Downe score > 4 pada menit 1

c. Gejala Klinis
Gejala klinis yang muncul pada penderita Takipneu :
1) Bayi aterm atau mendekati aterm
2) Mengalami takipnea segera setelah lahir (pernafasan >60 x /
menit)
3) Merintih
4) Pernafasan cuping hidung
5) Sianosis
6) Mengalami perbaikan spontan

d. Tatalaksana
Mengingat TTN adalah kondisi yang sembuh sendiri, perawatan
suportif adalah pengobatan andalan.
1) Aturan 2 jam : Dua jam setelah distres pernapasan, jika kondisi
bayi belum membaik atau memburuk atau jika FiO2 yang

7
dibutuhkan lebih dari 0,4 atau rontgen dada tidak normal,
pertimbangkan untuk memindahkan bayi ke pusat dengan
tingkat yang lebih tinggi. perawatan neonatus.
2) Perawatan NICU rutin termasuk pemantauan kardiopulmoner
terus menerus, pemeliharaan lingkungan termal netral,
mengamankan akses intravena (IV), pemeriksaan glukosa
darah, dan observasi untuk sepsis harus disediakan.
3) Dukungan oksigen mungkin diperlukan jika oksimetri nadi
atau ABG menunjukkan hipoksemia. Konsentrasi harus
disesuaikan untuk mempertahankan saturasi oksigen pada 90-
an rendah.
4) Intubasi endotrakeal dan kebutuhan dukungan ECMO
biasanya jarang terjadi tetapi harus selalu dipertimbangkan
pada pasien dengan status pernapasan menurun.
5) Analisis gas darah arteri (ABG) harus diulang, dan
pemantauan oksimetri nadi harus dilanjutkan sampai tanda-
tanda gangguan pernapasan teratasi.
6) Status pernapasan neonatus adalah penentu yang biasa untuk
tingkat dukungan nutrisi yang dibutuhkan.
7) Takipnea lebih dari 80 kali per menit dengan peningkatan kerja
pernapasan terkait sering membuat bayi tidak aman untuk
menerima makanan oral. Bayi seperti itu harus dijaga nil per
oral (NPO), dan cairan intravena (IV) harus dimulai dengan 60
hingga 80 ml per kg per hari.
8) Jika distres pernapasan teratasi, diagnosis pasti dan laju
pernapasan kurang dari 80 kali per menit; makanan enteral
dapat dimulai.
9) Pemberian makanan enteral harus selalu dimulai secara
perlahan dengan peningkatan volume makanan yang progresif
sampai takipnea benar-benar teratasi

8
10) Karena TTN mungkin sulit dibedakan dari sepsis dan
pneumonia neonatus dini, terapi antibiotik empiris dengan
ampisilin dan gentamisin harus selalu dipertimbangkan.
11) Percobaan kontrol acak mempelajari kemanjuran furosemide
atau rasemat epinefrin di TTN menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam durasi takipnea atau lama
tinggal di rumah sakit dibandingkan dengan control
12) Salbutamol (beta2-agonis inhalasi) telah terbukti mengurangi
durasi gejala dan tinggal di rumah sakit; namun, diperlukan
lebih banyak penelitian berbasis bukti untuk memastikan
kemanjuran dan keamanannya.
TTN biasanya hilang pada saat bayi berusia 3 hari. Sampai itu
terjadi, dokter dapat membantu bayi mendapatkan oksigen dan
nutrisi yang cukup jika dia membutuhkannya.

e. Komplikasi
Komplikasi TTN antara lain persistent pulmonary hypertension of
the newborn (PPHN), pneumotoraks, gagal napas, dan asma.
PPHN disebabkan oleh peningkatan resistensi vaskular akibat
retensi cairan dan hiperinflasi paru. Komplikasi gagal napas dapat
terjadi bila TTN berkembang menjadi prolonged tachypnea (>72
jam). Pada keadaan ini diperlukan tindakan intubasi dan ventilasi
mekanik.
Risiko komplikasi berupa pneumotoraks dan pneumomediastinum
lebih tinggi pada penggunaan CPAP, meskipun jarang terjadi.
Neonatus dengan TTN berisiko untuk menderita asma di kemudian
hari. Risiko timbulnya asma dilaporkan meningkat pada anak yang
lahir secara section caesarea, memiliki status sosioekonomi rendah,
terutama pada anak laki-laki dari ibu yang tinggal di perkotaan dan
tidak memiliki riwayat asma. Selain itu, TTN juga meningkatkan

9
risiko terjadinya sindrom mengi lainnya, sepert bronkiolitis dan
bronchitis akut atau kronis.

f. Prognosis
Pada umumnya, TTN memiliki prognosis yang baik dan sebagian
besar kasus akan mengalami resolusi dalam waktu kurang lebih 48
jam. Pada beberapa kasus, takipnea dapat berlangsung selama satu
minggu atau lebih.
Beberapa faktor yang dikaitkan dengan prolonged TTN (takipnea
terjadi lebih dari 72 jam) adalah adanya merintih; laju napas lebih
dari 90 kali per menit; FiO2 lebih dari 0,4 dalam waktu 6 jam;
puncak laju napas lebih dari 90 kali per menit dalam 36 jam
pertama; dan tidak adanya kontraksi persalinan atau persalinan
cepat.
Studi oleh Kasap et al mendapatkan bahwa neonatus dengan
puncak laju respirasi >90 kali per menit pada 36 jam pertama
memiliki risiko tujuh kali lebih besar untuk mengalami prolonged
tachypnea

2. Respiratory Distress Syndrome (RDS) / Hyaline Membrane


Disease (HMD)
a. Definisi
RDS (Respiratory Distress Syndrome) adalah penyakit yang
diderita oleh bayibaru lahir yang disebut juga dengan penyakit
membrane hialin dimana penyebab dari penyakit ini diduga karena
prematuritas dan penyakit ini paling banyak diderita oleh bayi yang
dilahirkan sebelum usia 28 minggu. Abnormalitas yang terjadi
pada bayi premature adalah adanya insufisiensi surfaktan paru
sehingga menyebabkan kegagalan paru untuk berkembang setelag
lahir.RDS disebut dengan penyakit membrane hialin karena
membrane ini melapisi bronkus respiratorius, duktus alveolus, dan

10
sel alveolus, ketika bayi yang dilahirkan memiliki reaksi inflamasi
neutrofil yang menyebabkan adanya lesi pada membrane ini maka
akan muncul gejala gagal nafas karena paru-paru masih belum
berfungsi dengan sempurna pada bayi premature (Ham &
Saraswati, 2019).
RDS merupakan penyakit paru yang akut dan berat terutama
menyerang bayi preterm dengan tanda disfungsi pernafasan saat
dilahirkan. Sistem pernafasan yang tidak adequate dikarenakan
ketidakadekuatan jumlah surfaktan didalam paru-paru sehingga
menyebabkan pertukaran gas dalam alveolus tidak berjalan dengan
efektif. RDS dapat menimbulkan kematian pada bayi sekitar 3%
hingga 38% (Hardriana, 2016).
RDS disebut juga HMD (Hyaline Membrane Disease)yang terjadi
pada 10% bayi prematur yang disebabkan defisiensi sulfaktan yang
berfungsi untuk menjafa kantong alveolus tetap berkembang dan
berisi udara, pada penyakit RDS paru-paru neonatus tidak bisa
mengembang dengan sempurna sehingga menyebabkan gejala
sesak nafas dan akan bertambah berat dengan berjalannya waktu.
RDS akan mengalami takipnea (Respiratory Rate (RR) > 60x
/menit) dan dan adanya sianosis dalam rentang waktu 48-96 jam
pertama setelah lahir. RDS sangatlah berbahaya jika tidak segera
dilakukan intervensi oksigenasi yang adekuat (Soegijanto, 2016).

b. Etiologi
Menurut (Febri Agrina et al., 2017), penyebab dari penyakit RDS
atau penyakit gagal nafas oada neonatus adalah:
1) Neonatus preterm atau premature
Neonatus dengan kelahiran yang premature menjadi faktor
penyebab utama kejadian RDS dikarenakan fungsi organ bayi
baru lahir masih belum sempurna atau matur sehingga alveoli
kecil dan sulit mengembang karena dinding dada masih sangat

11
lemah, produksi surfaktan belum sempurna sehingga
menyebabkan kapasitas paru kurang mencukupi kebutuhan
oksigen didalam tubuh.
2) Neonatus preterm dengan jenis kelamin laki-laki
Neonatus prematur dengan jenis kelamin laki-laki lebih
beresiko mengalami RDS dikarenakan adanya hormone
androgen pada laki-laki yang dapat menurunkan produksi
surfaktan oleh sel pneumosit tipe II.
3) Neonatus dengan ibu yang memiliki penyakit Diabetes
Melitus gestasional
Neonatus yang dilahirkan ibu dengan gestasional DM akan
mengalami hipoglikemia dikarenakan ibu pada saat kehamilan
mengalami kelebihan glukosa didalam darah dan janin
mengkompensasi hal tersebut dengan cara memproduksi
insulin sebanyak mungkin atau kondisi hiperinsulin, pada saat
bayi dilahirkan maka pasokan glukosa ibu yang biasanya
disalurkan melewati plasenta bayi sudah terhenti sehingga
hiperinsulin pada neonatus dapat menghambat proses maturasi
paru dan menyebabkan gangguan surfaktan paru

Menurut (Rogayyah, 2016), penyebab lainnya dari penyakit RDS


atau penyakit gagal nafas pada neonatus adalah:

1) Neonatus yang dilahirkan dengan cara Sectio Caesaria


Neonatus yang dilahirkan secara SC (Sectio Caesaria)
meningkatkan resiko terjadinya gangguan pernafasan karena
saat neonatus dilahirkan dengan SC maka akan memiliki
volume resido paru yang lebih besar dibandingkan dengan
cairan paru sehingga paru-paru bayi dengan SC kurang
mengeluarkan surfaktan pada permukaan alveolar dimana hal
ini menyebabkan resiko tinggi menderita RDS.
2) Ibu yang melahirkan neonatus dalam keadaan hipertensi

12
Neonatus yang lahir dari ibu dengan riwayat hipertensi dapat
menyebabkan vasospasme pada pembuluh darah ibu sehingga
sirkulasi airan darah yang masuk keplasenta janin tidak efektif
dan ketika neonatus dilahirkan akan mengalai penurunan
kadar oksigen.
3) Asfiksia Neonatorum
Gangguan ini dikarenakan adanya gangguan perfusi neonatus,
hipoksia, dan kegagalan nafas secara spontan saat neonatus
dilahirkan. Hal ini berkaitan dengan kondisi ibu saat
melahirkan, jeratan tali pusat, maupun keadaan bayi baik saat
dilahirkan maupun sebelum dilahirkan.
4) KPD (Ketuban Pecah Dini)
Air ketuban ibu berfungsi untuk melindungi dan
mempertahankan janin agar tidak terbentur lingkungan
sekitarnya baik didalam rahim ibu maupun lingkungan luar
dan air ketuban dapat membuat janin dapat bergerak bebas.
KPD dapat menyebabkan adanya interaksi antara intrauterine
dan ekstrauterine Hal ini dapat menyebabkan infeksi pada saat
intrapartum bahkan peritonitis pada ibu.
5) Infeksi Perinatal
Pneumonia primer menyebabkan RDS pada pasien sekitar
10% sehingga berkembang menjadi sepsis dan kegagalan
multiorgan. Neonatus saat lahir dapat terinfeksi bakteri
patogen dari ibu seperti bakkteri Streptococcus dan
Staphylococcus. Hal ini terjadi karena infeksi intrauterine atau
selama persalinan.

c. Patofisiologi
Gawat nafas terjadi atelektasis yang sangat progresif, hal ini
disebabkan kurangnya zat yang disebut surfaktan.Surfaktan adalah
zat aktif yang diproduksi sel epitel saluran nafas disebut sel

13
pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24
minggu dan mencapai max pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari
fosfolipid (75%) dan protein (10%).Peranan surfaktan ialah
merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi
kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional pada sisa akhir
expirasi. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya
ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.
Hipoksia akan menyebabkan terjadinya :
1) Oksigenasi jaringan menurun>metabolisme anerobik dengan
penimbunan asam laktat asam organic>asidosis metabolic.
2) Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus
alveolaris>transudasi kedalam alveoli>terbentuk fibrin>fibrin
dan jaringan epitel yang nekrotik>lapisan membrane hialin.
Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya
jantung, penurunan aliran darah ke paru, dan mengakibatkan
hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan
terjadinya atelectasis
3) Sel tipe II ini sangat sensitive dan berkurang pada bayi dengan
asfiksia pada periode perinatal, dan kematangannya dipacu
dengan adanya stress intrauterine seperti hipertensi, IUGR dan
kehamilan kembar

d. Manifestasi Klinis
Menurut (Rogayyah, 2016), manifestasi yang dapat diobservasi
dari adanya penyakit RDS adalah adanya tanda dispnea atau sesak
nafas, neonatus merintih (grunting), takipnea, adanya sianosis yang
timbul pada 24 jam pertama sesudah lahir. RDS dapat dilihat dari
tanda dan gejala tersebut terlebih lagi jika terdapat faktor resiko
yang menyertainya. Pada neonatus dengan RDS akan terdengar
suara mendengus dan juga memungkinkan jika neonatus memiliki

14
jeda dalam bernafas secara langsung selama beberapa dengan atau
adanya tanda-tanda awal apnea. Menurut (Moi, 2019),
1) Tanda dan gejala terjadinya RDS pada neonatus adalah
sebagai berikut: Memiliki berat badan lahir rendah
dikarenakan usia kehamilan yang masih premature.
2) Terjadi peningkatan frekuensi nafas atau takipnea dengan rata-
rata Respiratory Rate >60x/menit dan pernafasan tidak teratur.
3) Pernafasan dangkal sehingga terlihat adanya retraksi dinding
dada suprasternal dan substernal.
4) Terdapat sianosis dikarenakan kekurangan suplai oksigen
didalam tubuh sehingga terjadi penurunan suhu tubuh.
5) Neonatus menggunakan pernafasan cuping hidung

e. Komplikasi
Menurut (Soegijanto, 2019), Komplikasi neonatus dengan penyakit
RDS dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Komplikasi Jangka Pendek
a) Ruptur alveoli: hal ini terjadi karena adanya kebocoran
udara paruparu, biasanya gejala yang dapat terlihat dari
komplikasi ini adalah hipotensi, apnea, bradikardi,
asidosis menetap. Hal ini memperburuk kondisi neonates
b) Terjadi infeksi karena neonatus dalam keadaan yang
memburuk, hal ini memicu peningkatan leukosit dan
trombositopenia. Infeksi juga dapat terjadi karena
tindakan invasif seperti pemasangan infus, kateter dan
penggunaan alat bantu pernafasan dalam waktu singkat
maupun lama
c) Pendarahan pada otak atau intrakraial dan leukomalacia
periventrikuler yang terjadi pada sekitar 20-40% bayi
premature dengan prevalensi paling banyak pada neonatus
yang menggunakan ventilasi mekanik

15
d) Adanya PDA dengan peningkatan stunting dari area kiri
kekanan, hal ini terjadi pada bayi yang terapi surfaktannya
dihentikan karena kondisi tertentu
2) Komplikasi Jangka Panjang
a) Komplikasi jangka panjang yang disebabkan oleh
toksisitas oksigen dan tekanan tinggi dalam paru-paru
seperti BPD (Bronchopulmonary Dysplasia) yaitu
penyakit paru kronis pada bayi dengan usia kehamilan ibu
saat melahirkan neonatus 36 minggu. Biasanya BPD
dikarenakan penggunaaan alat bantu nafas mekanik dalam
jangka waktu lama sehingga meningkatkan resiko infeksi
dan inflamasi, defisiensi vitamin A.
b) Retinopathy Premature, Kegagalan fungsi neurologi yang
terjadi sekitar 10-70% pada bayi dengan masa gestasi
kurang bulan sehingga memicu hipoksia dalam jangka
waktu lama, meningkatkan komplikasi intracranial dan
infeksi pada banyak organ. Jika mengenai saraf mata
maka akan terjadi kebutaan pada neonatus yang bersifat
permanen.

Menurut (Moi, 2019), Komplikasi yang dapat terjadi pada neonatus


dengan penyakit RDS adalah sebagai berikut:

1) Ketidakseimbangan asam basa


2) Kebocoran udara (Pneumothoraks, pneumomediastinum,
pneumoperikardium, pneumoperitonium, emfisema subkutan,
emfisema interstisial pulmonal)
3) Perdarahan pulmonal
4) Penyakit paru kronis pada bayi 5%-10%
5) Apnea
6) Hipotensi sistemik
7) Anemia

16
8) Infeksi (pneumonia, septikemia, atau nosokomial)
9) Perubahan perkembangan bayi dan perilaku orangtua

f. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Cecily & Sowden (2009) dalam (Moi, 2019), pemeriksaan
yang dapat menunjang diagnosis RDS pada neonatus adalah
dengan:
1) Kajian pada penampakan foto rontgen thoraks
2) Pola retikulogranular difus atau bercampur dengan udara yang
saling tumpang tindih
3) Tanda paru sentral dan batas jantung sukar dilihat karena
tertutupi udara yang terlihat adanya bercak putih yang diikuti
hipoinflasi paru.
4) Pada beberapa kasus terdapat kardiomegali bila system organ
lain juga terkena (bayi memiliki faktor resiko dilahirkan oleh
ibu yang diabetes, hipoksia atau gagal jantung kongestif
5) Bayangan timus yang besar
6) Bergranul merata pada bronkogram udara yang menandakan
penyakit berat jika muncuk pada beberapa jam pertama
7) Gas darah arteri-hipoksia dengan asidosis respiratorik dan atau
metabolik
8) AGD menunjukkan asidosis respiratory dan metabolik yaitu
adanya penurunan pH, penurunan PaO2, dan peningkatan
paCO2, penurunan HCO3.
9) Hitung darah lengkap atau cek darah lengkap pasien untuk
mengetahui jumlah haemoglobin, leukosit, dan trombosit
neonates
10) Periksa serum elektrolit, kalsium, natrium, kalium, glukosa
serum untuk menentukan intervensi lanjutan

17
11) Tes cairan amnion (lesitin banding spingomielin) untuk
menentukan maturitas paru dan pastikan cairan ketuban saat
neonatus dilahirkan sudah hilang pada jalan nafasnya
12) Periksa Saturasi Oksigen dengan menggunakan oksimetri
untuk menentukan hipoksia dan banyak kebutuhan oksigen
yang harus diberikan pada bayi
13) Biopsi paru, terdapat adanya pengumpulan granulosit secara
abnormal dalam parenkim paru.
Menurut (Rogayyah, 2016), pemeriksaan penunjang lainnya yang
dapat dilakukan untuk penetapan diagnosa RDS adalah dengan
melakukan CT Scan thorax dimana biasanya pada neonatus dengan
RDS menunjukkan jika adanya konsolidasi parenkim diarea paru
mengikuti arah gravitasi dan biasanya penemuan ini tidak dapat
dilihat menggunakan pemeriksaan rontgen thorax saja. Pada hasil
pemeriksaan ini, RDS cenderung asimetris pada paruparu

g. Penatalaksanaan
Menurut Lowdermilk et al., (2014) dalam (Atika, 2019),
penatalakasanaan pada bayi baru lahir atau neonatus dengan
gangguan pernafasan atau RDS adalah sebagai berikut :
1) Terapi Oksigen
Tujuan terapi oksigen adalah untuk menyediakan oksigen
sesuai dengan kebutuhan jaringan tubuh, mencegah adanya
penumpukan zat asam laktat yang dihasilkan oleh ketika
keadaan hipoksia, serta pada waktu yang sama menghindari
efek buruk yang potensial dari hiperoksia dan radikal bebas.
Jika bayi tidak membutuhkan ventilasi mekanik seperti
penggunaan ventilator maka oksigen dapat dipasok
menggunakan tudung plastic yang ditempatkan di atas kepala
bayi, menggunakan nasal kanul, atau penggunaan continuous
positive airway pressure (CPAP) untuk menyediakan

18
konsentrasi dan kelembapan oksigen yang bervariasi.
Ventilasi mekanik (bantuan pernafasan dengan memberikan
sejumlah oksigen yang ditentukan melalui tabung endotrakeal)
diatur untuk memberikan sejumlah oksigen yang telah
ditentukan pada bayi selama nafas spontan dan menyediakan
pernafasan mekanik pada saat tidak ada nafas spontan.
2) Resusitasi Neonatal
Pengkajian bayi secara cepat dapat mengidentifikasi bayi yang
tidak membutuhkan resusitasi seperti: (a) bayi lahir cukup
bulan tanpa ada bukti meconium atau infeksi pada pada cairan
amnion; (b) bernafas atau menangis; dan (c) memiliki tonus
otot yang baik. Keputusan untuk melanjutkan langkah
tindakan berdasarkan pengkajian pernafasan, denyut jantung
dan warna. Jika salah satu karakteristik tersebut tidak ada,
maka bayi harus menerima tindakan berikut secara berurutan :
a) Langkah awal penstabilan berikan kehangatan dan
menempatkan bayi di bawah pemancar panas, posisikan
kepala pada posisi jalan nafas terbuka, bersihkan jalan
nafas dengan bulb syringe atau kateter pengisap (suction),
keringkan bayi, rangsang untuk bernafas dan ubah posisi
bayi
b) Ventilasi
c) Kompresi dada
d) Pemberian epinefrin atau ekspansi volume atau keduanya.
3) Terapi Penggantian Surfaktan
Surfaktan dapat diberikan sebagai tambahan untuk terapi
oksigen dan ventilasi. Pada umumnya, bayi yang lahir sebelum
usia kehamilan 32 minggu belum mempunyai surfaktan paru
yang cukup adekuat untuk kelangsungan hidup di luar rahim.
Penggunaan surfaktan disarankan pada bayi dengan distress
pernafasan sesegera mungkin, setelah kelahiran, terutama bayi

19
BBLR, yang belum terpapar steroid antenatal pada ibu hamil.
Pemberian steroid antenatal pada ibu hamil dan penggantian
surfaktan dapat mengurangi insiden distress pernafasan dan
penyakit penyerta.
4) Terapi Tambahan
Terapi tambahan Nitrat hidup (inhaled nitric oxcide-INO),
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO), dan cairan
ventilasi merupakan terapi tambahan yang digunakan pada
digunakan bagi bayi matur/cukup bulan dan prematur akhir
dengan kondisi seperti hipertensi pulmonal, sindrom aspirasi
mekonium, pneumonia, sepsis, dan hernia diafragmatika
kongenital untuk mengurangi atau membalikkan hipertensi
pulmonal, vasokontstriksi paru, asidosis, serta distres
pernapasan dan gagal napas bayi baru lahir. Terapi INO
digunakan bersamaan dengan terapi penggantian surfaktan,
ventilasi frekuensi tinggi, atau ECMO. ECMO digunakan pada
penatalaksanaan bayi baru lahir dengan gagal napas akut hebat
pada kondisi yang sama seperti yang disebutkan untuk INO.
Terapi sebuah mesin jantung-paru yang dimodifikasi,
meskipun begitu, pada ECMO jantung tidak berhenti dan
darah tidak sepenuhnya melewati paru. Darah didorong dari
kateter atrium kanan atau vena jugularis kanan dengan gaya
gravitasi ke sebuah pompa pengatur, dipompa melalui
membran paru di mana darah dioksigenasi, kemudian melalui
sebuah mesin penukar panas yang kecil di mana darah
menghangatkan, dan kemudian dikembalikan ke sistem
sirkulasi melalui sebuah arteri utama seperti arteri karotis ke
lengkung menyediakan oksigen untuk sirkulasi, yang
memungkinkan paru beristirahat serta menurunkan hipertensi
paru maupun hipoksemia pada kondisi seperti hipertensi paru

20
menetap bayi baru lahir, hernia diafragmatika kongenital,
sepsis, aspirasi mekonium, dan pneumonia berat
Menurut (Lilis, 2016), penatalakasanaan neonatus dengan
gangguan pernafasan atau RDS adalah sebagai berikut:
1) Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang
diberikan pada bayi prematur dengan RDS. Sampai saat ini ada
dua pilihan terapi surfaktan, yaitu natural surfaktan yang
berasal dari hewan dan surfaktan sintetik bebas protein,
dimana surfaktan natural secara klinik lebih efektif. Adanya
perkembangan di bidang genetik dan biokimia, maka
dikembangkan secara aktif surfaktan sintetik. Surfaktan paru
merupakan pilihan terapi pada neonatus dengan RDS sejak
awal tahun 1990 dan merupakan campuran antara fosfolipid,
lipid netral, dan protein yang berfungsi menurunkan tegangan
permukaan pada air-tissue interface.
2) Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk
mempertahankan homeostasis dan menghindarkan dehidrasi.
Pada permulaan diberikan glukosa 5-10% dengan jumlah yang
disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125
ml/kgBB/hari. Asidosis metabolic yang selalu dijumpai harus
segera dikoreksi dengan memberikan NaHCO3 secara
intravena yang berguna untuk mempertahankan agar pH darah
7,35-7,45. Bila tidak ada fasilitas untuk pemeriksaan analisis
gas darah, NaHCO3 dapat diberi langsung melalui tetesan
dengan menggunakan campuran larutan glukosa 5-10% dan
NaHCO3 1,5% dalam perbandinagn 4:1
3) Pemberian antibiotic pada bayi dengan RDS perlu untuk
mencegah infeksi sekunder. dapat diberikan penisilin dengan
dosis 50.000-100.000 U/kgBB/hari atau ampisilin 100
mg/kgBB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5
mg/kgBB/hari.

21
3. Meconeal Aspiration Syndrome (MAS) / Sindrom Aspirasi
Mekonium
a. Definisi
Sindroma aspirasi mekonium (SAM) merupakan sekumpulan
gejala yang diakibatkan oleh terhisapnya cairan amnion mekonial
ke dalam saluran pernapasan bayi. Sindroma aspirasi mekonium
adalah salah satu penyebab yang paling sering menyebabkan
kegagalan pernapasan pada bayi baru lahir aterm maupun post-
term. Kandungan mekonium antara lain adalah sekresi
gastrointestinal, hepar, dan pankreas janin, debris seluler, cairan
amnion, serta lanugo. Adanya mekonium pada cairan amnion
jarang dijumpai pada kelahiran preterm. Resiko SAM dan
kegagalan pernapasan yang terkaitmeningkat ketika mekoniumnya
kental dan apabila diikuti dengan asfiksia perinatal. Beberapa bayi
yang dilahirkan dengan cairan amnion mekonialmemperlihatkan
distres pernapasan walaupun tidak ada mekonium yang terlihat
dibawah korda vokalis setelah kelahiran. Pada beberapa bayi,
aspirasi mungkin terjadi intrauterin, sebelum dilahirkan.
Bayi dengan SAM didefinisikan apabila saat lahir memiliki cairan
ketuban bercampur mekonium dan bayi mengalami distres
respirasi berat dengan ditemukannya mekonium di trakea saat
resusitasi neonatus serta tidak ditemukan penyebab distres respirasi
lainnya selain akibat aspirasi meconium.

b. Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya mekonium keluar intrauterin akibat
adanya stres tertentu pada janin. Umumnya janin sudah cukup
bulan dan waktunya untuk lahir tetapi akibat suatu sebab masih
berada di intrauterin yang mengakibatkan mekonium keluar
dengan ditandai adanya distres janin. Semakin lama janin terpapar

22
amnion yang tercemar mekonium, akan semakin meningkatkan
risiko aspirasi amnion yang mengandung meconium. Studi di India
bahwa mayoritas kasus SAM pada usia kehamilan 38 sampai
dengan 40 minggu. Bayi baru lahir dengan SAM paling banyak
dilahirkan dengan metode seksio sesarea karena kondisi bayi yang
tidak memungkinkan untuk lahir pervaginam akibat distres janin.
Kondisi distres janin akan mengakibatkan pasase mekonium
intrauterin dan meningkatkan risiko SAM (Anindita et.al., 2018).
Mekonium yang terhirup oleh bayi dapat menghalangi saluran
udara dan menyebabkan paru-paru tidak dapat mengembang.
Saluran udara tersebut bisa tersumbat sebagian atau seluruhnya.
Air ketuban dan mekonium juga bisa menumpuk dalam rongga
dada di sekitar paru-paru (pneumotoraks), yang dapat pula
menyebabkan radang paru-paru (pneumonitis) dan meningkatkan
risiko infeksi paru-paru dan hipertensi pulmonar persisten
(persistent pulmonary hypertension of the newborn atau PPHN).

c. Faktor Risiko
Faktor resiko dari sindrom aspirasi meconium antara lain ;
1) Persalinan lama
2) Kehamilan >42 minggu
3) Bayi yang lahir dari ibu penderita Diabetes Melitus
4) Bayi yang lahir dari ibu penderita hipertensi, gangguan paru
atau jantung kronis
5) Distress janin

d. Gejala Klinis
Gejala dan tanda-tanda yang dapat terlihat pada sindrom aspirasi
mekonium adalah sebagai berikut:
1) Kulit bayi terlihat kebiruan
2) Sesak napas ketika dilahirkan

23
3) Air ketuban gelap dan kehijauan akibat kontaminasi
meconium
4) Bayi tidak bergerak aktif ketika lahir

e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan respiratory distress pada neonatus secara umum
yaitu rawat di inkubator untuk mempertahankan suhu tubuh (aksila
36-37°C), oksigenasi untuk mempertahankan saturasi oksigen 95-
98% dengan metodeCPAP, puasa per oral dan berikan cairan
parenteral dengan dekstrosa 10% mulai 60 ml/kg/hari, serta
berikan antibiotika dan septic work up sampai terbukti bukan
sepsis.
Tatalaksana pernapasan dilakukan berupa penggunaan CPAPyang
merupakan suatu alat yang sederhana dan efektif untuk
mempertahankan tekanan positif pada saluran napas neonatus
selama pernapasan spontan.Penatalaksanaan pada pasien dengan
penggunaan CPAP karena pada neonatus tersebut mengalami
retraksi napas, merintih, dan sempat mengalami apneu.Hal tersebut
merupakan kriteria indikasi pemasangan CPAP yang meliputi
frekuensi nafas >60x permenit, merintih dalam derajat sedang
sampai parah, retraksi napas, saturasi oksigen 60%, sering
mengalami apneu dan semua bayi cukup bulan atau kurang
bulanyang menunjukkan salah satu kriteria tersebut diatas, harus
dipertimbangkan untuk menggunakan CPAP. Pada pasien
dilakukan pemasangan CPAP, dengan FiO2 55% PEEP 7.
Pedoman penatalaksanaan bayi yang terpapar mekonium menurut
The American Academy of Pediatrics Neonatal Resuscitation
Program (NRP) Steering Committee adalah jika bayi tidak bugar
(tonus otot yang lemah dan usaha napas yang kurang maupun tidak
ada) dilakukansuction trakea langsung setelah kelahiran. Suction
dilakukan selama tidak lebih dari 5 detik. Jika tidak didapatkan

24
cairan mekonial, jangan ulangi intubasi dan suction.Sebaliknya,
jika didapatkan cairan mekonial tanpa adanya bradikardi, lakukan
reintubasi dan suction. Jika bradikardi, lakukan ventilasi tekanan
positif dan rencanakan suction ulang setelah beberapa waktu.
Apabila bayi bugar (usaha napas yang cukup, menangis, tonus otot
cukup, dan warna kulit yang baik), bersihkan sekresi dan
mekonium dari mulut lalu hidung menggunakan bulb syringe atau
selang suction yang besar. Pada kondisi apapun, langkah-langkah
resusitasi berikutnya harus mencakup pengeringan, reposisi, dan
pemberian oksigen sesuai kebutuhan (Tryvanie, 2017)

4. Pneumonia
a. Definisi
Pneumonia adalah infeksi jaringan paru-paru yang bersifat akut,
yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, pajanan bahan kimia
atau kerusakan fisik dari paru-paru, juga efek tidak langsung dari
penyakit lain. Bakteri yang menyebabkan pneumonia adalah
Streptococcus dan Mycoplasma pneumonia, sedangkan virus yang
menyebabkan pneumonia ialah adenoviruses, rhinovirus, influenza
virus, respiratory syncytial virus (RSV) serta para influenza virus
(Anwar & Dharmayanti, 2014)
Pneumonia merupakan infeksi akut yang mengenai jaringan paru-
paru (alveoli) yang dapat disebabkan oleh aneka macam
mikroorganisme seperti virus, fungi dan bakteri (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2019).

b. Etiologi
Pneumonia neonatal dipicu oleh beberapa kondisi. Kelompok
bayi tertentu diketahui lebih rentan mengalami gangguan ini,
yaitu kondisi bayi seperti berikut:
1) Bayi yang lahir dari ibu yang mengalami ketuban pecah dini

25
2) Bila ibu mengalami infeksi di dalam rahim saat mengandung
3) Bayi yang menjalani perawatan lama di ruang rawat intensif
4) Ibu yang demam saat menjelang persalinan
5) Bila bagian terbawah janin adalah bokong
6) Ibu yang mengalami infeksi saluran kencing berulang
7) Ibu yang mengalami obesitas
8) Ibu yang menggunakan antibiotik saat hamil
9) Ibu yang merokok saat hamil

Kuman penyebab pneumonia adalah bakteri yang berasal dari area


organ intim ibu atau bakteri yang terdapat di ruang perawatan bayi
di rumah sakit. Bakteri yang paling sering ditemui
adalah streptococcus grup A dan grup B, Staphylococcus aureus,
dan bakteri batang gram negatif seperti Eschericia coli, Klebsiella
sp, dan Proteus sp.
Pada beberapa kasus, pneumonia neonatal juga dapat disebabkan
oleh virus, seperti respiratory syncytial virus (RSV), adenovirus,
atau virus influenza. Pneumonia yang disebabkan oleh virus
umumnya ditularkan oleh anggota keluarga atau orang sakit yang
mengunjungi bayi.
Pneumonia ditimbulkan oleh beberapa faktor yang saling
memengaruhi, yaitu mikroorganisme/agen, berat bayi pada waktu
dilahirkan rendah (≤2500 gram), pemberian ASI tidak secara
eksklusif (pemberian ASI selama 6 bulan tanpa diberikan kuliner
pendamping lain), imunisasi dasar yang tidak lengkap, tidak
adekuatnya pemberian vitamin A, terlalu dini pemberian makanan
tambahan, serta faktor lingkungan. Seluruh faktor tersebut akan
saling mempengaruhi dan bisa menyebabkan menurunnya daya
tahan tubuh terhadap penyakit, apabila terdapat mikroorganisme
penyebab penyakit pneumonia, bayi serta balita tersebut dapat
terkena pneumonia (Efni et al., 2016). Kondisi sekarang

26
pneumonia seringkali terjadi sebab perubahan keadaan balita
seperti kekebalan tubuh, polusi lingkungan serta penyakit kronis.

c. Patofisiologis
Reaksi inflamasi terjadi di alveoli yang menghasilkan eksudat yang
dapat mengganggu difusi oksigen dan karbon dioksida:
bronkospasme juga dapat terjadi apabila pasien menderita penyakit
jalan nafas reaktif. Bronkopnemonia bentuk pneumonia yang
paling umum menyebar dalam model bercak yang meluas dari
bronki ke parenkim paru sekitarnya. Pneumonia lobar merupakan
istilah yang digunakan jika pneumonia mengenai bagian
substansial pada satu atau lebih lobus. Pneumonia disebabkan oleh
berbagai agen mikroba yang terdapat di berbagai tatanan.
Organisme yang biasa menyebabkan pneumonia antara lain
pseudomonas aeruginosa dan spesies klebsiella; Staphylococcus
aureus; Haemophilus influenza; Staphylococcus pneumonia dan
basilus gram negative, jamur dan virus (paling sering terjadi pada
anak-anak) (Zuriati et al., 2017).

d. Manifestasi Klinis
Menurut (Utama, 2017) gejala penyakit pneumonia biasanya
didahului oleh infeksi saluran pernafasan akut selama beberapa
hari disertai dengan muncul demam, menggigil, kemudian
ditunjukkan dengan adanya pelebaran cuping hidung, ronki, dan
retraksi dinding dada atau yang lebih dikenal dengan tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam ( chest indrawing). Gejala
yang terjadi pada anak-anak di tandai dengan ciri-ciri adanya
demam, batuk disertai dengan nafas cepat (takipnea).

27
e. Tatalaksana
Penatalaksanaan yang dilakukan pada orang dengan pneumonia
yaitu :
1) Suplai oksigen dan ventilasi mekanik
2) Hidrasi yang adekuat
3) Kebersihan pulmonari yang baik seperti napas dalam, batuk,
terapi fisik pada dada
4) Pembersihan antibiotik untuk pneumonia bakterial dalam
menentukan antibiotik harus selektif berdasarkan kultur
sputum dan sensitifitas bakteri spesifik (Zuriati et al., 2017)
Menurut (Dahlan et al., 2014) penatalaksanaan pneumonia yang
utama yaitu memberikan antibiotik tertentu terhadap kuman
tertentu yang menyebabkan infeksi penumonia. Pemberian
antibioitik memiliki tujuan untuk memberikan terapi kausal
terhadap kuman penyebab infeksi, oleh sebab itu penting dipahami
berbagai aspek tentang antibiotik untuk efisiensi pemakaian
antibiotik. Secara praktis dipilih antibiotik yang secara empirik
telah terbukti merupakan obat pilihan utama dalam mengatasi
kuman penyebab yang paling mungkin pada pneumonia.

f. Komplikasi
Menurut (Zuriati et al., 2017) komplikasi pneumonia yaitu :
1) Abses kulit
2) Abses jaringan lunak
3) Otitis media
4) Sinusitis
5) Meningitis purualenta
6) Perikarditis

28
5. Apnea
a. Definisi
Apnea adalah berhentinya napas yang patologis yang
menyebabkan perubahan fisiologis, (seperti penurunan rangsang
sentral, perfusi perifer, siaosis, bradikardia, hipotonia) dan
memerlukan penanganan. Batasan apnea adalah bila henti napas
>20 detik atau henti napas berapapun lamanya yang disertai
bradikardia (denyut jantung <100 x/menit) atau desaturasu
oksigen/sianosis, pucat dan atau hipotoni. Sedangkan apnea
prematuritas adalah apnea yang terjadi pada neonatus yang lahir
dengan umur kehamilan <37 minggu. Apnea berbeda dengan
pernapasan periodik, yang merupakan hal yang normal pada bayi
prematur dan tidak berhubungan dengan perubahan fisiologis dan
tidak memerlukan pengobatan. Pada pernapasan periodik siklus
napasnya regular dengan durasi 10-18 detik yang diikuti henti
napas 3-10 detik. Kejadian pernapasan periodik juga meningkat
dengan umur kehamilan, pada bayi cukup bulan sekitar 2-6% dan
pada bayi prematur meningkat menjadi 25%.
Apnea prematuritas (AP) adalah gangguan umum pada bayi
prematur. Apnea dapat berlanjut menjadi hipoksemia dan
bradikardia yang dapat membahayakan bayi dan dapat
menimbulkan gejala sisa pada usia sekolah. AP biasanya
berhubungan dengan imaturitas susunan saraf pusat, namun bisa
juga sekunder karena penyakit lain dan merupakan gejala yang
umum pada banyak penyakit pada neonatus seperti sepsis,
gangguan metabolik, gangguan susunan saraf pusat, dan berbagai
penyakit berat lainnya.

b. Etiologi
Apnea dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit atau
kondisi. Imaturitas susunan saraf pusat menyebabkan apnea yang

29
muncul pada 1-2 hari setelah lahir dan dalam 7 hari pertama. Apnea
yang terjadi pada 24 jam pertama dan setelah 7 hari pertama
kemungkinan besar bukan apnea prematuritas.
Penyebab sekunder meliputi gangguan suhu (hipo/hipertermia),
gangguan saraf (trauma, obat-obatan, infeksi susunan saraf pusat,
perdarahan intrakranial, asfiksia, obat anestesi), penyakit paru
(penyakit membran hialin, pneumonia, penyakit paru
kronik/chronic lung disease, perdarahan paru, sumbatan jalan
napas, pneumotoraks), penyakit jantung (kelainan jantung bawaan
sianotik, hipo/hipertensi, gagal jantung, duktus arteriosus
persisten), gangguan gastroinrestinal (refluks gastroesofageal,
esofagitis), gangguan hematologi (anemia, polisitemia), infeksi
(sepsis, enterokolitis nekrotikans), gangguan metabolik
(hipoglikemia, hipokalsemia, hipo/hipernatremia), dan inborn
error of metabolism.

c. Patofisiologi
Pusat pernapasan terdapat di batang otak, pengaturannya
tergantung pada asupan rangsang dari kemoreseptor di arteria
karotis, mekanoreseptor di paru dan jalan napas, serta korteks
serebri. Pada bayi prematur, mekanisme tersebut belum
berkembang sempurna. Pada bayi prematur, jumlah sambungan
sinaps, dendrit, dan mielinisasi masih terbatas sehingga konduksi
batang otak lebih lama. Respons terhadap hiperkapnea, hipoksia,
dan respons inhibitor berlebihan merupakan manifestasi imaturitas
pusat napas. Usaha napas (inspirasi) pada bayi prematur juga
masih lemah seperti aktifitas refleks pernapasan, kelemahan
diafragma dan otot dinding dada.

30
d. Gejala Klinis
Apnea prematuritas adalah jeda pernapasan pada bayi prematur.
Apnea ini haruslah memiliki satu atau lebih ciri-ciri berikut ini: 1.
Bayi berhenti bernapas lebih dari 15-20 detik. 2. Menyebabkan
warna kulit bayi berubah menjadi biru, ungu atau pucat. 3. Pada
saat yang sama detak jantung juga melambat

e. Tatalaksana
Apnea adalah suatu keadaan darurat. Walaupun dapat membaik
dengan sendirinya atau dengan tindakan yang sederhana, kadang
diperlukan tindakan resusitasi. Tatalaksana meliputi pemberian
obat-obatan, oksigen, bantuan napas.
1) Umum
a) Atur suhu lingkungan yang optimal.
b) Mengurangi manipulasi untuk mengurangi refleks yang
dapat menimbulkan apnea
c) Amati bayi secara ketat terhadap periode apnea berikutnya
dan bila perlu rangsang pernapasan bayi dengan
mengusap dada atau punggung.
d) Bila bayi mengalami apnea lebih dari sekali, sampai
membutuhkan resusitasi tiap jam: jangan beri minum
paling tidak 24 jam, pasang jalur IV dan berikan cairan
rumatan; bila bayi tidak mengalami episode apnea dan
tidak memerlukan resusitasi selama 6 jam, bayi
diperbolehkan menyusu.
e) Lakukan perawatan lekat atau kontak kulit bayi dengan
ibu bila memungkinkan; dengan cara ini serangan apnea
berkurang dan ibu dapat mengamati bayinya dengan ketat.
f) Nilai kondisi bayi setiap 3 jam
g) Jaga jalan napas

31
h) Hindari pengisapan berlebihan orofaring
i) Terapi penyebab yang mendasari: sepsis, anemia,
pilisitemia, hipoglikemia, hipokalsemia, penyakit
membran hialin
j) Transfusi PRC bila hct < 30%
2) Emergensi
Pada keadaan emerjensi harus diperiksa bradikardia, sianosis
dan obstruksi jalan napas. Leher diposisikan sedikit ekstensi
isap orofaring dan rangsang taktil dilakukan. Kebanyak
serangan apnea berrespons terhadap rangsang taktil. Berikan
oksigen bila pasien mengalami hipoksia (jaga saturasi 92-
95%) dengan head box atau kanul nasal. Bila bayi tetap apnea
dan berrespons dengan rangsang taktil, ventilasi tekanan
positif (VTP) dengan balon dan sungkup dengan oksigen
100% harus segera dimulai. Bila VTP gagal untuk
menginisiasi respirasi maka harus dilakukan bantuan napas
dengan ventilator.
3) Pemeriksaan klinik
Setelah bayi stabil, segera lakukan evaluasi untuk mencari
penyakit yang mendasari. Riwayat penyakit yang mungkin
sebagai penyebab sekunder apne meliputi asfiksia, obat-obat
yang dikonsumsi ibu, sepsis, dan intoleransi minum. Bayi
harus diperiksa instabilitas suhu, hipotensi, ikterus, pucat,
bising jantung dan perfusi jaringan yang jelek. Onset apnea
dalam 7 hari pertama pada bayi prematur (<34 minggu)
kecurigaan ke apnea prematuritas.
4) Terapi oksigen
Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) menurunkan
episode apnea dengan meningkatkan kapasitas residual
fungsional, mencegah obstruksi laring dan stabilisasi
oksigenasi. CPAP efektif untuk manajemen semua tipe apnea.

32
CPAP Ventilator mekanik digunakan pada apnea berat dan
refrakter. Pengaturan ventilator minimal digunakan untuk
meminimalkan barotrauma dan mengikuti usaha napas
spontan.
Indikasi penggunaan CPAP untuk terapi apnea adalah apnea
yang tidak berrespons terhadap terapi metilsantin. Indikasi
memulai CPAP pada neonatus dengan terapi aminofilin adalah
a) >1 kali episode apnea sampai memerlukan VTP atau
suplementasi oksigen dalam 24 jam
b) >12 episode dalam 24 jam (atau > 6 dalam 12 jam) perlu
rangsang taktil
c) >1 episode apnea setiap 12-24 jam.

CPAP bisa diberikan lewat nasal prong atau nasofaringeal


tube. ET-CPAP tidak digunakan untuk serangan apnea. CPAP
tidak ada manfaatnya untuk mencegah AP. Adverse effect
CPAP adalah barotraumas, distensi abdomen, intoleransi
minum, dan iritasi hidung local.

Ventilasi mekanik harus diberikan apabila farmakoterpi dan


CPAP sudah dilakukan dan apnea masih terus terjadi. Apabila
paru normal, bayi harus diventilasi dengan seting tekanan
minimal (PIP 13-14 cm H2O dan PEEP 4-5 cm H2O), RR
rendah (20-25 x/menit), Ti rendah (0,35-0,40 detik) dan FiO2
rendah (0,4-0,5). Metode ini efektif untuk semua tipe apnea.

f. Prognosis
Banyak faktor yang menentukan luaran neonatus dengan apnea,
antara lain umur kehamilan, penyakit penyerta. Apnea pada
neonatus yang lahir pada umur kehamilan antara 24-28 minggu
dapat menetap sampai umur kehamilan 40 minggu pascakonsepsi.
Kejadian penyakit berat lebih sering pada neonatus yang

33
mengalami apnea lebih dari 20 detik seperti perdarahan
intraventrikular, hidrosefalus, pemakaian ventilasi mekanik yang
lama, perkembangan neurologi yang abnormal.

6. Downe Score
Penilaian derajat gangguan napas pada bayi baru lahir dapat dilakukan
dengan menggunakan skor Downe (Downe score). Skor ini yang dapat
digunakan pada berbagai kondisi dan usia gestasi. Distres napas adalah
suatu manifestasi klinis yang disebabkan oleh berbagai kelainan yang
melibatkan paru maupun organ selain paru. Jika laju napas >
60kali/menit disertai pCO2 yang tinggi maka penyebab distres napas
bisa berasal dari paru seperti sindrom gawat napas, pneumonia, aspirasi,
perdarahan paru, obstruksi jalan napas, serta pneumotoraks, sedangkan
jika pCO2 rendah maka distres napas mungkin disebabkan oleh organ
di luar paru (IDAI, 2016).
Menurut (Atika, 2019), Klasifikasi gawat nafas dibagi menjadi 3 jenis
sesuai dengan perhitungan Down Score dibawah ini:
Pemeriksaan Downe Score
0 1 2
Frekuensi nafas < 60x/menut 60-80x/mnt >80x/mnt
Retraksi dada Tidak ada Ringan Berat
Sianosis Tidak ada Sianosis hilang Sianosis menetap
dengan oksigen walaupun diberikan
oksigen
Air Entry Udara Masuk Penurunan ringan Tidak ada udara masuk
udara masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar tanpa
dengan stetoskop alat bantu
Evaluasi Score < 3 : Gawat nafas ringan
Score 4-5 : Gawat nafas sedang
Score > 6 : Gawat nafas berat

34
Menurut (Dwiristyan, 2015), Gawat nafas jika diklasifikasikan dari
gambaran foto dadanya dibagi menjadi:
a. Stadium I : terdapat sedikit bercak yang berbentuk retikulogranular
dan sedikit bronkogram udara atau adanya udara dalam bronkus.
b. Stadium II: adanya bercak yang homogen retikulogranular pada
semua lapang paru kanan dan kiri dan terdapat gambaran cairan
area bronkus sehigga penumpukan udara terlihat lebih jelas dan
meluas diarea tepian alveolus sehingga menyebabkan bayangan
pada jantung dan adanya penurunan aerasi organ paru-paru.
c. Stadium III: sel-sel alveolus pada paru-paru terlihat kolaps yang
ditandai dengan penyusutan pengembangan alveolus paru dan
bercak menutupi jantung dan bronkogram udara lebih luas
sehingga batas ruang jantung tidak terlihat.
d. Stadium IV: paru-paru Nampak putih dan tidak dapat dilihat secara
jelas karena udara sudah menumpuk diseluruh lapang paru.

35
DAFTAR PUSTAKA

Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemkes RI. Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia. 2020.
Jenny J.S Sondakh. Asuhan Kebidanan Persalinan & Bayi Baru Lahir. Erlangga, 2013.
Kementerian Kesehatan RI. “PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG PELAYANAN
KESEHATAN NEONATAL ESSENSIAL.” Kementerian Kesehatan RI, 2014.

Sarwono Prawirohardjo. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo, 2014.
Widia Shofa Ilmiah. Buku Ajar Asuhan Persalinan Normal. Yogyakarta: Nuha Medika,
2015.
Gomella TL, Cunningham M.D, Eyal F.G. Neonatology Management, Procedures, On-
Call Problems, Diseases, and Drugs 7th ed. Mc-Graw Hill. Lange. 2013.
Hagen E, Chu A, Lew C. Transient Tachypnea of the Newborn. American Academy of
Pediatrics. 2017; 18(3).
Jha K, Nassar G, Makker K. Transient Tachypnea of the Newborn. StatPearls. 2020.
Kasap B, Duman N, Özer E; Tatli M; Kumral A; Özkan H. Transient tachypnea of the
newborn: Predictive factor for prolonged tachypnea. 2008;50(1):81–84.
Hermansen CL, Mahajan A. Newborn Respiratory Distress. 2015; 92(11): 994-1002.
Vidyasagar D, Bhat R. Meconium aspiration syndrome: summary. 2018 Maret. [diakses
tanggal 18 Oktober 2018]. Tersedia di: 9. https://bestpractice.bmj.com/topics/en-
gb/1185 10. Behera MK, Kulkarni SD, Gupta RK. Meconium aspiration syndrome:
a clinical study. Med J Armed Forces India. 2017;54:19- 20.
Nath GDR, Penchalaiah A. Study of clinical profile of meconium aspiration syndrome
in relation to gestational age and birth weight and their immediate outcome at
Narayana Medical College Hospital, Nellore, India. Int J Contemp Pediatr.
2017;4:2142-50.

Anda mungkin juga menyukai