Anda di halaman 1dari 27

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 3
METODE ................................................................................................................................... 5
ISI ............................................................................................................................................... 6
A. DEFINISI............................................................................................................................ 6
B. EPIDEMIOLOGI................................................................................................................ 6
C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO................................................................................ 7
D. PATOFISIOLOGI............................................................................................................... 10
E. KRITERIA DIAGNOSIS.................................................................................................... 11
F. PRINSIP PENATALAKSANAAN..................................................................................... 14
G. PROGNOSIS...................................................................................................................... 21
H. PENCEGAHAN................................................................................................................. 21

KESIMPULAN ......................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 25

1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Ikterus neonatorum merupakan masalah yang sering dijumpai pada bayi baru
lahir, yaitu munculnya warna kuning pada kulit dan sklera karena terjadinya hiperbilirubinemia.
Hiperbilirubinemia bayi baru lahir merupakan fenomena biologis akibat tingginya produksi dan
rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Banyak bayi baru lahir,
terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 gram atau usia gestasi <37 minggu)
mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Bayi lahir cukup bulan mempunyai
risiko terjadi ikterus neonatorum mencapai 60% dan peningkatan risiko terjadi pada bayi lahir
prematur (80%). Penyebab dari ikterus neonatorum pada bayi baru lahir di antaranya disebabkan
oleh adanya gangguan pada produksi bilirubin yang berlebihan dari kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, gangguan dalam proses uptake dan konjugasi yang disebabkan oleh imaturitas
hepar, ganguan dalam transportasi bilirubin dalam darah yang terikat oleh albumin, gangguan
dalam sekresi, adanya obstruksi saluran pencernaan (fungsional atau struktural) dan ikterus yang
diakibatkan oleh ASI.1,2
C. Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih dari 50% bayi baru lahir
menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada
kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan
pengobatan. Sebagian besar tidak disebabkan oleh faktor tunggal tapi kombinasi dari berbagai
faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis bayi baru lahir atau disebut ikterus
fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan. Sebagian kecil memiliki
penyebab seperti hemolisis, septikemi, dan penyakit metabolik yang dapat menyebabkan
peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat
menyebabkan kematian (ikterus patologis).Faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin
pada sel otak bayi terutama pada bayi prematur berisiko untuk terkena ensefalopati bilirubin.1
D. Bayi baru lahir dengan ikterus neonatorum memiliki faktor risiko yang dibedakan
menjadi faktor risiko maternal, perinatal dan neonatus. Faktor risiko maternal diantaranya ras
atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American, Yunani), komplikasi kehamilan (diabetes
melitus, inkomptabilitas ABO dan Rh) dan penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
Faktor risiko perinatal diantaranya trauma lahir (sefalhematom, ekimosis) dan infeksi (bakteri,

2
virus, protozoa). Faktor neonatus: prematuritas (masa gestasi <37 minggu), aterm (masa gestasi
>37 minggu), faktor genetik, polisitemia, obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol,
sulfisoxazol), rendahnya asupan ASI, hipoglikemia dan hypoalbuminemia.1,3
E. Bayi lahir prematur memiliki risiko tinggi untuk terjadinya ikterus, hal ini
dikarenakan terdapat penurunan kemampuan dalam mengikat albumin, transpor bilirubin ke hati
untuk konjugasi menurun karena konsentrasi albumin yang rendah pada bayi prematur, sehingga
dapat menyebabkan ikterus pada bayi lahir prematur.1,4
F. Rumusan Masalah

1. Apakah definisi ikterus neonatorum?


2. Bagaimana epidemiologi dari ikterus neonatorum?
3. Apa etiologi dan faktor resiko dari ikterus neonatorum?
4. Bagaimana patofisiologi dari ikterus neonatorum?
5. Bagaimana kriteria diagnosis ikterus neonatorum?
6. Apa prinsip penatalaksanaan ikterus neonatorum?
7. Apa prognosis dari ikterus neonatorum?
8. Bagaimana pencegahan dari ikterus neonatorum?

G. Tujuan

Tujuan dari makalah adalah sebagai berikut:


1. Mahasiswa dapat menjelaskan definisi ikterus neonatorum
2. Mahasiswa mengetahui epidemiologi dari ikterus neonatorum
3. Mahasiswa mengetahui etiologi dan faktor resiko dari ikterus neonatorum
4. Mahasiswa memahami patofisiologi dari ikterus neonatorum
5. Mahasiswa mengetahui dan memahami kriteria diagnosis ikterus neonatorum
6. Mahasiswa mengetahui dan memahami prinsip penatalaksanaan ikterus neonatorum
7. Mahasiswa mengetahui prognosis dari ikterus neonatorum
8. Mahasiswa mengetahui dan memahami pencegahan dari ikterus neonatorum
9.

3
10.

METODE

A. Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan pada makalah ini berasal dari data sekunder yang sebagian besar
dari berbagai sumber di Indonesia, sehingga inilah yang menggambarkan terjadi nya kejadian
stunting di Indonesia. Beberapa informasi lain diambil dari luar, khususnya yang berkaitan
dengan teori. Data yang digunakan pada makalah ini berdasarkan dari berbagai jenis referensi
dimana meliputi buku pelajaran kedokteran, jurnal ilmiah edisi cetak ataupun edisi online, serta
artikel ilmiah yang bersumber dari internet.

B. Pengumpulan Data

Metode yang digunakan pada makalah ini adalah literature review atau article review dan
analisa statistik terhadap semua literatur hasil penelitian di Indonesia, kemudian merangkumnya
menjadi satu rangkaian informasi yang dapat menggambarkan penjelasan ikterus neonatorum.

C. Analisis Data

Sebagian besar data dan informasi dalam makalah ini adalah menyunting informasi yang
sudah siap pakai. Artinya analisis telah dilakukan oleh masing-masing riset atau studi atau
disertasi serta analisis yang dilakukan yang disusun secara sistematis serta logis, dimana hampir
seluruh informasi yang didapat merupakan hasil analisis deskriptif.

D. Penarikan Kesimpulan

Simpulan didapakan setelah merujuk kembali pada bagian latar belakang, tujuan masalah
serta pembahasan, dimana simpulan yang diambil merupakan hasil dari pokok bahasan dalam
makalah.

4
ISI

A. Definisi
H. Ikterus neonatorum yaitu munculnya warna kuning pada kulit dan sklera
karena terjadi hiperbilirubinemia, ikterus pada sebagian bayi dapat bersifat fisiologis dan
pada sebagian lagi mungkin bersifat patologis yang dapat menimbulkan gangguan yang
menetap atau menyebabkan kematian. Oleh karena itu, setiap bayi dengan ikterus harus
mendapat perhatian, terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan
bayi dengan kadar bilirubin meningkat > 5 mg/dl. Proses hemolisis darah, infeksi berat,
ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direct > 1 mg/dl, juga merupakan
keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologis.5
I.
B. Epidemiologi
J. Angka kematian bayi di Indonesia dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) pada tahun 2007 sebesar 34 per 1.000 kelahiran. Sebagian besar bayi baru lahir,
terutama bayi yang kecil (bayi yang berat lahir < 2.500 gr atau usia gestasi < 37 minggu)
mengalami ikterus pada minggu awal kehidupannya.6 Angka kematian bayi di Indonesia dari
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 sebesar 32 per 1.000 kelahiran
hidup. Kematian neonatus terbanyak di Indonesia disebabkan oleh asfiksia (37%), Bayi Berat
Lahir Rendah (BBLR) dan prematuritas (34%), sepsis (12%), hipotermi (7%), ikterus
neonatorum (6%), postmatur (3%), dan kelainan kongenital (1%) per 1.000 kelahiran hidup.1
K. Kejadian ikterus neonatorum menjadi penyebab yang paling banyak terjadi
pada kelahiran neonatal. 30-50% bayi baru lahir mengalami ikterus neonatorum. Ikterus
neonatorum terjadi 3-5 hari setelah kelahiran.7,8 Ikterus neonatorum pada bayi saat lahir biasa
terjadi saat 25-50% neonatus yang sudah cukup bulan dan sangat meninggi lagi untuk
neonatus belum cukup bulan.7,9
L. Kejadian ikterus neonatorum di Indonesia mencapai 50% bayi cukup bulan
dan kejadian ikterus neonatorum pada bayi kurang bulan (premature) mencapai 58%. Rumah
Sakit Dr. Sarditjo melaporkan kejadian ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebanyak
85% yang mana memiliki kadar bilirubin di atas 5 mg/dl dan 23,80% memiliki kadar
bilirubin di atas 13 mg/dl. Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang
melaporkan bahwa insiden ikterus fisiologis paling sering terjadi jika dibandingkan ikterus
patologis dengan angka kematian terkait hiperbilirubin sebesar 13,10%. Insiden ikterus

5
neonatorum di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya sebesar 13% dan 30%.7,10 Penelitian di
RSUD Dr. Adjidarmo Rangkasbitung oleh Putri & Rositawati (2016) angka kejadian bayi
ikterus neonaotum tahun 2013 yaitu 4,77%. Angka kejadian ikterus neonatorum tahun 2014
yaitu 11,87%.7,11
M.
C. Etiologi dan Faktor Resiko
1. Etiologi dari ikterus neonatorum6
a) Produksi bilirubin yang berlebihan misalnya pada pemecahan sel darah merah
(hemolisis) yang berlebihan pada incompabilitas (ketidaksesuaian) darah bayi
dengan ibunya.
b) Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi akibat dari gangguan fungsi liver.
c) Gangguan proses tranportasi karena kurangnya albumin yang meningkatkan
bilirubin indirek.
d) Gangguan ekskresi yang terjadi akibat sumbatan hepar karena infeksi atau
kerusakan sel hepar (kelainan bawaan).
N. Etiologi ikterus yang sering ditemukan ialah: hiperbilirubinemia fisiologik,
inkompabilitas golongan darah ABO dan Rhesus, breast milk jaundice, infeksi, bayi dari
ibu penyandang diabetes melitus, dan polisitemia/hiperviskositas.12
O. Etiologi yang jarang ditemukan yaitu: defisiensi G6PD, defisiensi piruvat
kinase, sferositosis kongenital, sindrom Lucey-Driscoll, penyakit Crigler-Najjar, hipo-
tiroid, dan hemoglobinopati.12
P. Etiologi ikterus fisiologis disebabkan hemolisis darah janin dan selanjutnya
diganti menjadi darah dewasa. Pada janin menjelang persalinan terdapat kombinasi antara
darah janin (fetal blood) dan darah dewasa (adult blood ) yang mampu menarik O2 dari
udara dan mengeluarkan CO2 melalui paru-paru. Penghancuran darah janin inilah yang
menyebabkan terjadinya ikterus yang bersifat fisiologis. Sebagai gambaran dapat
dikemukakan bahwa kadar bilirubin indirek bayi cukup bulan sekitar 15 mg% sedangkan
bayi belum cukup bulan 10 mg%, apabila diatas angka tersebut disebut sebagai
hiperbilirubinemia. yang dapat menimbulkan kern icterus.13

6
Q. Tabel 1. Pembagian Ikterus Berdasarkan Metode Kremer

R. Kern ikterus adalah terimbunnya dalam jaringan otak sehingga dapat


menganggu fungsi otak dan menimbulkan gejala klinis sesuai tempat timbunan itu.
S. Etiologi ikterus patologis disebabkan oleh bilirubin yang terkonjugasi tidak
dapat masuk ke dalam lumen usus halus sehingga tetap berada di dalam usus, kemudian
didekonjugasi dan diresorbsi ke dalam aliran darah. Sedangkan bilirubin yang tidak
terkonjugasi (indirek), suatu zat larut lemak memiliki afinitas untuk jaringan
ekstravaskular. Disini bilirubin disimpan jika ada kelebihan bilirubin di dalam darah.
Bilirubin yang disimpan di dalam kulit dan sclera menyebabkan ikterus. Jika kadar
bilirubin yang disimpan di otak menjadi cukup tinggi dapat menyebabkan letargi, ikterus
menjadi patologis.14 Selain itu ikterus ini terjadi karena produksi yang berlebihan
misalnya pada proses hemolisis, gangguan transportasi misalnya hipoalbuminemia pada
bayi kurang bulan, gangguan pengelolahan oleh hepar, gangguan fungsi hepar atau
imaturitas, dan gangguan ekskresi atau obstruksi.15
T. Tabel 2. Perbedaan Ikterus Fisiologis dan Patologis

7
U.

V. Faktor resiko dari ikterus neonatorum yaitu;16


1. Faktor maternal
a) Ras atau kelompok etnis tertentu
W. Hal yang berhubungan dengan kejadian ikterik adalah peningkatan sirkulasi
enterohepatic. Pada bayi Asia sirkulasi enterohepatiknya biasanya lebih lama.16
b) Komplikasi kehamilan (DM, inkomptabilitas ABO, dan Rh)
X. Komplikasi neonatal menyebabkan hiperinsulenimia janin sehingga dapat
terjadi polisitemia. Hal ini berdampak pada peningkatan sel darah merah dan
ketika pemecahannya berlebihan disertai imaturitas relative hati pada bayi maka
dapat menyebabkan ikterus.16
c) Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.16
d) Masa gestasi
Y. Bayi lahir cukup bulan memiliki resiko 60% dan bayi premature memiliki
resiko 80% mengalami icterus.16

8
e) Jenis persalinan
Z. Persalinan Sc cenderung membuat ibu menunda untuk menyusui sehingga
lambatnya pemecahan bilirubin. Bayi yang dilahirkan secara ekstraksi vacuum
dan ektraksi forcep cenderung mengalami pendarahan tertutup di kepala dan itu
merupakan factor resiko hiperbilirubin.16
2. Faktor perinatal
a) Trauma lahir.16
b) Infeksi bakteri dan virus.16
3. Faktor neonates
a) Prematuritas
AA.Belum matangnya fungsi organ hatu membuat penumpukan bilirubin sehingga
muncul kekuningan pada kulit dan mukosa yang disebut ikterus.16
b) Factor genetic
c) Polisitemia
BB. Biasannya didefinisikan sebagai hematokrit vena diatas 0,65. Potensi bahaya
hematokrit yang tinggi adalah hipervikositas yang dapat menyebabkan
penumpukan sel darah merah dan pembentukan mikrotombin sehingga
menyebabkan oklusi vaskular. Peningkatan volume darah memiliki salah satu
gambar klinis yaitu hiperbilirubin.16
d) Pemberian ASI
CC. Bayi yang mendapat ASI bila dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu
formula, mempunyai kadar bilirubin yang lebih tinggi berkaitan dengan
penurunan asupan pada beberapa hari pertama kehidupan. Pengobatannya bukan
dengan menghentikan pemberian ASI melainkan meningkatkan frekuensi
pemberian.16
e) Pengaruh obat-obatan.16
f) Berat badan lahir
DD. Seorang ibu yang memiliki kelainan pada fungsi organ dan sistem
peredaran darah akan menyebabkan sirkulasi ibu ke janin terganggu sehingga
akan mengakibatkan pasokan nutrisi, volume darah, dan cairan dari ibu ke janin
akan sangat minim. Hal tersebut mengakibatkan pertumbuhan janin dalam rahim
akan terganggu dan berat badan lahir kurang dari normal.16
EE.

9
D. Patofisiologi
FF. Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel
hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya
bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.17
GG. Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada
keadaan proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis
atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar
bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil
transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis
neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.17
HH. Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut
dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik
pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi
pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa
kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin
indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus
sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat
keadaan imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan
susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.17
II.
JJ.

KK.

LL.
MM.
E. Kriteria Diagnosis

Ikterus dapat timbul saat lahir atau setiap saat selama masa neonatus, tergantung pada
etiologinya. Ikterus biasanya dimulai pada daerah wajah dan ketika kadar serum bilirubin
bertambah akan turun ke abdomen dan selanjutnya ke ekstremitas. Untuk menegakkan

10
diagnosis diperlukan langkah-langkah mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium.18
Hal – hal penting yang menunjang diagnosis meliputi: 18
1. Waktu terjadinya onset ikterus. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula
dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai
kaitan erat dengan etiologinya.
2. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi
intra uterin, infeksi intranatal)
3. Usia gestasi
4. Riwayat persalinan dengan tindakan atau komplikasi
5. Riwayat ikterus, kernikterus, kematian, defisiensi G6PD, terapi sinar, atau transfusi tukar
pada bayi sebelumnya
6. Inkompatibilitas darah (golongan darah ibu dan janin)
7. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.
8. Munculnya gejala-gejala abnormalitas seperti apnu, kesulitan menyusu, intoleransi susu,
dan ketidakstabilan temperatur.
9. Bayi menunjukkan keadaan lesu, dan nafsu makan yang jelek
10. Gejala-gejala kernikterus

Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa
hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan cahaya sinar yang cukup. Ikterus akan
terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang,
terutama pada neonatus yang kulitnya gelap. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan
untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi
apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. 19

Pemeriksaan fisik penting yang menunjang diagnosis meliputi:19


1. Kondisi umum, penentuan usia gestasi neonatus, berat badan, tanda-tanda sepsis, status
hidrasi.
2. Tanda-tanda kern ikterus seperti letargi, hipotonia, kejang, opistotonus, high pitch cry.
3. Pucat, plethora, sefalhematom, perdarahan subaponeurotik.
4. Tanda-tanda infeksi intrauterin, peteki dan splenomegali.
5. Progresi ikterus sefalo-kaudal pada ikterus berat.

11
Gambar 1. Derajat ikterus neonatal menurut Kramer 19

Penilaian klinis derajat ikterus neonatal menurut


Kramer, yaitu: 19
4 4
1. Kramer I pada Daerah kepala (Bilirubin total ± 5 – 7
mg)
3
2. Kramer II pada Daerah dada – pusat (Bilirubin total
± 7 – 10 mg%)
3. Kramer III pada Perut 4
dibawah pusat - lutut
(Bilirubin total ± 10 – 13 mg)
5
4. Kramer IV pada Lengan sampai pergelangan
tangan, tungkai bawah sampai pergelangan kaki
(Bilirubin total ± 13 – 17 mg%)
5. Kramer V pada hingga telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17 mg%)

Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang
tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang mengalami
ikterus berat, dilakukan terapi sinar sesegera mungkin tanpa menunggu hasil pemeriksaan
kadar serum bilirubin.19,20,21
Transcutaneous bilirubinometer (TcB) digunakan untuk menentukan kadar serum
bilirubin total dengan cara yang non-invasif tanpa harus mengambil sampel darah. Namun
alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 μmol/L), dan tidak
‘reliable’ pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar. Alat ini digunakan untuk
menyaring bayi yang berisiko. Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi
menentukan penyebab ikterus antara lain : 19,20,21
1. Golongan darah dan Coombs test
2. Darah lengkap dan hapusan darah tepi
3. Hitung retikulosit, skrining G6PD
4. Bilirubin total, direk, dan indirek. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap
4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar albumin serum juga
perlu diukur.

12
NN.

F. Prinsip Penatalaksanaan

13
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk mengendalikan agar
kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kern ikterus atau
ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus. Pemberian fototerapi, dan
jika tidak berhasil dilanjut dengan transfuse tukar dapat dilakukan untuk mempertahankan
kadar maksimum bilirubin total dibawah kadar maksimum pada bayi preterm dan bayi cukup
bulan yang sehat. Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma
atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau
transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar
bilirubin.22
Tabel 3. Tatalaksana kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan yang sehat.20
Umur (jam) Fototerapi Fototerapi & persiapan Transfusi tukar
transfusi tukar jika fototerapi
gagal
< 24 - - -
24-48 15-18 25 20
49-72 18-20 30 25
> 72 20 30 25
> 2 Minggu Transfusi tukar Transfusi tukar Transfusi tukar

1. Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958. Banyak
teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru mengemukakan
bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah
senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin
yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih
mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam
empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga
peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus.23

14
Gambar 2. Prinsip Fototerapi.23

Fototerapi tetap menjadi standar terapi hiperbilirubinemia pada bayi. Fototerapi yang
efisien dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum secara cepat. Pembentukan lumirubin
yang merupakan isomer bilirubin, komponen yang larut air merupakan prinsip eliminasi
bilirubin dengan fototerapi. Faktor yang menentukan pembentukan lumirubin antara lain:
spektrum dan jumlah dosis cahaya yang diberikan.23
Fototerapi yang intensif dapat membatasi kebutuhan akan transfusi tukar. Fototerapi
(penyinaran 11-14 μW/cm2/nm) dan pemberian asupan sesuai kebutuhan (feeding on demand)
dengan formula atau ASI dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum > 10 mg/dl dalam 2-
5 jam. Saat ini, banyak bayi mendapatkan fototerapi dalam dosis di bawah rentang terapeutik
yang optimal. Tetapi terapi ini cukup aman, dan efeknya dapat dimaksimalkan dengan
meningkatkan area permukaan tubuh yang terpapar dan intensitas dari sinar.23

15
Bayi yang diterapi dengan fototerapi ditempatkan di bawah sinar (delapan bohlam
lampu fluoresense) dan lebih baik dalam keadaan telanjang dengan mata tertutup. Temperatur
dan status hidrasi harus terus dipantau. Fototerapi dapat sementara dihentikan selama 1 – 2
jam untuk mempersilahkan keluarga berkunjung atau memberikan ASI atau susu formula.
Waktu yang tepat untuk memulai fototerapi bervariasi tergantung dari usia gestasi bayi,
penyebab ikterus, berat badan lahir, dan status kesehatan saat itu. Fototerapi dapat dihentikan
ketika konsentrasi bilirubin serum berkurang hingga sekitar 4-5 mg/dl.23

Gambar 3. Normogram ikterus neonatorum untuk neonatus usia gestasi ≥ 35 minggu.19

2.
Ter

api sinar konvensional dan intensif


Secara umum terapi sinar dibagi menjadi terapi sinar konvensional dan intensif.
Terapi sinar konvensional menggunakan panjang gelombang 425-475 nm. Intensitas cahaya
yang biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm
di atas bayi. Sedangkan fototerapi intensif menggunakan intensitas penyinaran >12
μW/cm2/nm dengan area paparan maksimal.24
Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru
(F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes. Cahaya biru
khusus memiliki kerugian karena dapat membuat bayi terlihat biru, walaupun pada bayi yang
sehat, hal ini secara umum tidak mengkhawatirkan. Untuk mengurangi efek ini, digunakan 4
tabung cahaya biru khusus pada bagian tengah unit terapi sinar standar dan dua tabung
daylight fluorescent pada setiap bagian samping unit.24

16
Tabel 4. Komplikasi terapi sinar.24
Kelainan Mekanisme yang mungkin terjadi
Bronze baby syndrome Berkurangnya ekskresi hepatik hasil
penyinaran bilirubin
Diare Bilirubin indirek menghambat lactase
Hemolisis Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi
eritrosit
Dehidrasi Bertambahnya Insensible Water Loss (30-
100%) karena menyerap energi foton
Ruam kulit Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast
kulit dengan pelepasan histamine

3. Transfusi tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang
dilanjutkan dengan pemasukan darah dari donor dalam jumlah yang sama. Teknik ini secara
cepat mengeliminasi bilirubin dari sirkulasi. Antibodi yang bersirkulasi yang menjadi target
eritrosit juga disingkirkan. Transfusi tukar sangat menguntungkan pada bayi yang mengalami
hemolisis oleh sebab apapun. Satu atau dua kateter sentral ditempatkan, dan sejumlah kecil
darah pasien dikeluarkan, kemudian ditempatkan sel darah merah dari donor yang telah
dicampurkan dengan plasma. Prosedur tersebut diulang hingga dua kali lipat volume darah
telah digantikan. Selama prosedur, elektrolit dan bilirubin serum harus diukur secara
periodik. Jumlah bilirubin yang dibuang dari sirkulasi bervariasi tergantung jumlah bilirubin
di jaringan yang kembali masuk ke dalam sirkulasi dan rata-rata kecepatan hemolisis. Pada
beberapa kasus, prosedur ini perlu diulang untuk menurunkan konsentrasi bilirubin serum
dalam jumlah cukup. Infus albumin dengan dosis 1 gr/kgBB 1 – 4 jam sebelum transfusi
tukar dapat meningkatkan jumlah total bilirubin yang dibuang dari 8,7 – 12,3 mg/kgBB,
menunjukkan kepentingan albumin dalam mengikat bilirubin.24
Sejumlah komplikasi transfusi tukar telah dilaporkan, antara lain trombositopenia,
trombosis vena porta, enterokolitis nekrotikan, gangguan keseimbangan elektrolit, graft-
versus-host disease, dan infeksi. Oleh sebab itu transfusi tukar hanya didindikasikan pada
bayi dengan kriteria sebagai berikut:24
a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu
b. Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir
c. Gagal fototerapi intensif
d. Kadar bilirubin direk >3,5 mg/dl di minggu pertama

17
e. Serum bilirubin indirek > 25 mg/dl pada 48 jam pertama
f. Hemoglobin < 12 gr/dl
g. Bayi pada resiko terjadi ensefalopati bilirubin
h. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberikan kesan kern ikterus pada kadar bilirubin
berapapun.

Penggunaan transfusi tukar menurun secara drastis setelah pengenalan prosedur


fototerapi, dan optimalisasi fototerapi lebih lanjut dapat membatasi penggunaannya.24

Transfusi pengganti digunakan untuk: 24


1. Mengatasi anemia akibat proses isoimunisasi.

2. Menghilangkan sel darah merah yang tersensitisasi

3. Menghilangkan serum bilirubin

4. Meningkatkan albumin bebas sehingga meningkatkan jumlah bilirubin yang terikat

albumin.

Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar:24

1. Darah yang digunakan harus golongan O.


2. Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood. Kerjasama dengan dokter
kandungan dan Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang
membutuhkan tranfusi tukar.
3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus
golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah
kelahiran, dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.
4. Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus
yang sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang
mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit
golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan
anti B yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen
tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.

18
6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched
terhadap plasma dan eritrosit bayi.
7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) yaitu
sekitar 160 ml/kgBB (dengan asumsi volume darah bayi baru lahir adalah 80 ml/kgBB,
sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.
8. Simple Double Volume. Push-Pull Tehcnique.
Jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis atau vena saphena magna. Darah
dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.
9. Isovolumetric. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri
umbilikalis dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
10. Partial Exchange Tranfusion. Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi
dengan polisitemia.
11. Di Indonesia, untuk kasus kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan
golongan darah O rhesus positif.
12. Setiap 4-8 jam kadar bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari
sampai stabil.

Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi: 24

-          Emboli, trombosis

-          Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia

-          Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin

-          Perforasi pembuluh darah

Komplikasi tranfusi tukar 24


-          Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis

-          Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung

-          Gangguan elektrolit: hipo atau hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis

-          Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih

-          Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan

-          Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia.

4. Terapi farmakologis

19
Fenobarbital telah digunakan sejak pertengahan tahun 1960 untuk meningkatkan
konjugasi dan ekskresi bilirubin dengan mengaktivasi enzim glukoronil-transferase, tetapi
penggunaanya kurang efektif. Percobaan yang dilakukan pada mencit menunjukkan
fenobarbital mengurangi metabolisme oksidatif bilirubin dalam jaringan saraf sehingga
meningkatkan resiko efek neurotoksik. Pemberian fenobarbital akan membatasi
perkembangan ikterus fisiologis pada bayi baru lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90
mg/24 jam sebelum persalinan atau pada saat bayi baru lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam.
Meskipun demikian fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati ikterus pada
neonatus karena:21,24
a. Pengaruhnya pada metabolisme bilirubin baru terlihat setelah beberapa hari pemberian.
b. Efektivitas obat ini lebih kecil daripada fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin.
c. Mempunyai pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan.
d. Tidak menambah respon terhadap fototerapi.

Beberapa penelitian juga menguji efektivitas dari enzim bilirubin oksidase yang
diperoleh dari fungi. Bilirubin tidak terkonjugasi dimetabolisme oleh enzim bilirubin
oksidase. Ketika darah melalui filter yang mengandung bilirubin oksidase tersebut maka >
90% bilirubin didegradasi dalam sekali langkah. Prosedur tersebut terbukti bermanfaat dalam
terapi hiperbilirubinemia neonatorum, tetapi belum diujikan secara klinis. Lebih lanjut,
kemungkinan dapat terjadi reaksi alergi pada penggunaan prosedur tersebut karena enzim
diperoleh dari fungus.21
Indikasi untuk merujuk ke RS19
 Ikterus timbul dalam 24 jam kehidupan
 Ikterus hingga di bawah umbilikus
 Ikterus yang meluas hingga ke telapak kaki harus dirujuk segera karena kemungkinan
membutuhkan transfusi tukar.
 Riwayat keluarga dengan penyakit hemolitik yang signifikan atau kernikterus
 Neonatus dengan keadaan umum yang kurang baik
 Ikterus memanjang > 14 hari.
OO.
PP.
G. Prognosis

20
Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang
penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dl, akan
mengalami kernikterus. Kernikterus didapatkan pada 8% bayi dengan hemolisis Rh yang
memiliki konsentrasi bilirubin serum 19-24 mg/dl, 33% pada bayi dengan konsentrasi
bilirubin 25-29 mg/dl, dan 73% pada bayi dengan konsentrasi bilirubin 30-40 mg/dl.24
Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 75% atau
lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80% yang bertahan hidup menderita
koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, tuli, dan kuadriplegia
sapstis lazim terjadi. Bayi yang berisiko harus menjalani skrining pendengaran.19,21
QQ.
RR.
H. Pencegahan
SS. Tidak semua kasus ikterus neonatorum dapat dicegah atau diprediksi karena
data dasar mengenai riwayat kesehatan orang tua dan keluarga tidak seluruhnya lengkap,
misalnya data golongan darah, rhesus dan penyakit herediter lainnya. Disamping hal tersebut,
masih dijumpai ibu hamil yang tidak melaksanakan antenatal care yang teratur di satu tempat.
Hal-hal tersebut membuat dokter tidak dapat menentukan faktor prediktor yang diperlukan
untuk mencegah ikterus neonatorum. Pada dasarnya setiap dokter atau tenaga kesehatan yang
menangani kehamilan dan persalinan seharusnya mencari semua faktor risiko timbulnya
ikterus neonatorum pada setiap ibu hamil sebagai upaya untuk antisipasi berdasarkan
pemahaman proses metabolisme bilirubin.25
TT. Pencegahan kejadian ikterus neonatorum, ibu hamil harus melakukan
pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali selama hamil, karena saat ibu memeriksakan
kehamilan, tenaga kesehatan akan memberikan pendidikan kesehatan mengenai keadaan ibu,
keadaan janin dan perkembangan janin.25
UU. Pada ikterus neonatorum yang patologis, peningkatan produksi bilirubin bebas
akibat peningkatan proses hemolisis eritrosit dapat disebabkan oleh ketidak sesuaian
golongan darah, rhesus, defisiensi atau kelainan bawaan enzyme glucose6-phosphate
dehydrogenase (G6PD) dan piruvat kinase. Hal ini tidak mungkin dicegah tetapi dapat
diprediksi sehingga dapat disampaikan dan diedukasikan kepada orang tua dengan harapan
tatalaksana tidak terlambat.25
VV. Peningkatan hemolisis eritrosit juga dapat disebabkan karena infeksi bakteri
sistemik (sepsis neonatorum) yang terjadi selama masa intrauterine, durante partum atau

21
pasca persalinan. Hemolisis akibat infeksi bakteri sebenarnya dapat dicegah dengan antenatal
care yang baik pada ibu hamil, menyelenggarakan proses persalinan seaseptik mungkin,
pencegahan infeksi nosokomial dan pemberian antibiotika pada bayi baru lahir dengan
ketuban pecah dini, ketuban keruh dan ketuban mekoneal.25
WW. Perencanaan proses persalinan yang aman untuk bayi dan ibu merupakan salah
satu usaha untuk menghindari kesulitan persalinan yang dapat menyebabkan perdarahan di
kepala bayi yang dapat menyebabkan peningkatan proses hemolisis eritrosit, misalnya
cefalhematoma, perdarahan subgaleal, perdarahan intrakranial. Pencegahan terjadinya
polisitemia akibat kesalahan meletakkan bayi saat tali pusat belum dipotong dengan
meletakkan bayi lebih rendah dari posisi ibu harus diedukasikan kepada paramedis yang
terlibat pada proses persalinan. Dengan kondisi polisitemia dapat diikuti dengan kondisi
hyperbilirubinemia akibat meningkatnya proses hemolisis eritrosit.25

Reduksi bilirubin dalam sirkulasi enterohepatik


Bayi baru lahir yang tidak diberi asupan secara adekuat dapat meningkatkan sirkulasi
enterohepatik bilirubin, karena keadaan puasa dapat meningkatkan akumulasi bilirubin.
Peningkatan jumlah asupan oral dapat mempercepat ekskresi bilirubin, sehingga pemberian
ASI yang sering atau asupan tambahan dengan susu formula efektif dalam menurunkan kadar
bilirubin serum pada bayi yang sedang menjalani fototerapi. Sebaliknya, asupan tambahan
dengan air atau dekstrosa dapat mengganggu produksi ASI, sehingga dapat meningkatkan
konsentrasi bilirubin.26
Tidak ada obat-obatan atau agen-agen lain yang dapat menurunkan sirkulasi
enterohepatik bilirubin. Pada tikus percobaan, karbon aktif dapat berikatan dengan bilirubin
dan meningkatkan ekskresinya, tetapi efikasi dari karbon aktif tersebut pada bayi belum
pernah diujikan. Pada sebuah penelitian, penggunaan agar pada bayi yang sedang menjalani
fototerapi secara signifikan dapat menurunkan durasi fototerapi dari 48 jam menjadi 38 jam.
Cholestyramine yang digunakan untuk terapi ikterus obstruktif, dapat meningkatkan ekskresi
bilirubin melalui ikatan dengan asam empedu di dalam intestinal dan membentuk suatu
kompleks yang tidak dapat diabsorbsi.21,24
Inhibisi produksi bilirubin
Metalloporfirin sintetis dapat menghambat produksi bilirubin dengan menjadi inhibitor
kompetitif enzim heme-oksigenase. Pada bayi prematur dengan berat lahir 1500-2500 gram,
dosis tunggal mesoporfirin timah intramuskular (6 μmol/kg) yang diberikan dalam 24 jam
pertama kelahiran dapat menurunkan kebutuhan fototerapi sebesar 76%, dan menurunkan

22
konsentrasi puncak bilirubin serum sebesar 41%. Satu-satunya efek yang merugikan adalah
eritema sementara akibat fototerapi. Walaupun tampak sangat menjanjikan, metalloporfirin
saat ini belum disetujui penggunaannya pada bayi baru lahir.21
Pencegahan ensefalopati bilirubin

23
Sekali bilirubin terakumulasi, peningkatan pH otak dapat membantu mencegah ensefalopati,
karena bilirubin lebih mudah larut dalam suasana alkali. Pada bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia berat, alkalinisasi yang cukup (pH 7,45 – 7,55) dapat diperoleh dengan infus
bikarbonat atau dengan menggunakan strategi ventilator untuk menurunkan tekanan parsial
karbon dioksida sehingga pH meningkat.21KESIMPULAN

Ikterus neonatorum yaitu munculnya warna kuning pada kulit dan sklera karena terjadi
hiperbilirubinemia, ikterus pada sebagian bayi dapat bersifat fisiologis dan pada sebagian lagi
mungkin bersifat patologis.5 Etiologi ikterus fisiologis disebabkan hemolisis darah janin dan
selanjutnya diganti menjadi darah dewasa.13 Etiologi ikterus patologis disebabkan oleh bilirubin
yang terkonjugasi tidak dapat masuk ke dalam lumen usus halus sehingga tetap berada di dalam
usus, kemudian didekonjugasi dan diresorbsi ke dalam aliran darah.15 Faktor-faktor yang
mempengaruhi icterus neonatorum diantaranya adalah faktor maternal,faktor perinatal dan faktor
neonates.16 Ikterus biasanya dimulai pada daerah wajah dan ketika kadar serum bilirubin
bertambah akan turun ke abdomen dan selanjutnya ke ekstremitas. Untuk menegakkan diagnosis
diperlukan langkah-langkah mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium.18 Prinsip tatalaksananya adalah fototerapi,sinar konvensional,transfusi tukar dan
terapi farmakologi.23 Prognosis tergantung etiologinya.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Ratuain, M., O., Wahyuningsih, H., P., Purnamaningrum, Y.E. Hubungan antara masa
gestasi dengan kejadian ikterus neonatorum. Kesehatan ibu dan anak. 2015;7(1):51-54.

2. Nursanti, Ida. Pengaruh Kecukupan Asupan ASI Terhadap Resiko Terjadinya Ikterus
Neonatorum di Yogyakarta. [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada; 2011.

3. NICE. 2010. Neonatal Jaundice.NICE Clinical Guideline. http://www.nice. org.uk/


nicemedia/live/12986/48578/48578.pdf diakses pada tanggal 16 April 2020.

4. Fraser, MD., & Margaret A, Cooper. Myles Buku Ajar Bidan Edisi 14 Jakarta: EGC.
2009.

5. Yuliawati, D., Astutik, R.Y. Hubungan faktor perinatal dan neonatal terhadap kejadian
ikterus neonatorum. Jurnal Ners dan Kebidanan. 2018;5(2):83-89.

6. Maulida, L.F. Ikterus neonatorum. PROFESI. 2014;10(1):39-43.

7. Puspita, N. Pengaruh Berat Badan Lahir Rendah Terhadap Kejadian Ikterus Neonatorum
di Sidoarjo. Jurnal Berkala Epidemiologi. 2018;6 (2):174-181.

8. Viswanath, D., Menon, V. V., Phabhuji, M., Kailasam, S., & Kumar, M. Neonatal
jaundice. Journal of Indian Academy of Oral Medicine and Radiology. 2013;25(3):200–
205.

9. Vivian, N. Asuhan neonatus bayi dan balita. Jakarta: Salemba Medika. 2010.

10. Hafizah, Imelda. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hiperbilirubinemia di


ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh. [Thesis]. Aceh: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas U’budiyah
Indonesia; 2013.

11. Putri, S. D., & Rositawati, R. Hubungan BBLR dan asfiksia dengan kejadian ikterus
neonatorum. Jurnal Obstretika Scientia. 2016;4(2):508–520.

12. Mathindas, S., Wilar, R., Wahani, A. Hiperbilirubinemia pada neonates. Jurnal Biomedik.
2013;5(1):S4-10.

25
13. Dwienda, O.R., Juliarti, W. Prinsip Etika dan Moralitas Dalam Pelayanan Kebidanan.
Yogyakarta: Deepublish. 2014.

14. Komalasari, R. Buku saku kebidanan. Jakarta: EGC. 2010.

15. Muhulisi, L.O. Faktor risiko kejadian ikterus neonatorum pada neonatus di ruang teratai
rumah sakit umum daerah Kabupaten Muna tahun 2016. Jurnal Antara Kebidanan.
2016;2(3).

16. Akmal AF. Rasio prevalensi BBLR terhadap kejadian icterus neonatorum dini di RSUD
Wates Kabupaten Kulon Progo. [Skripsi]. Yogyakarta. Politeknik Kesehatan Kementrian
Kesehatan; 2019.

17. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R,Sarosa GI, Usman
A, penyunting. Buku ajar neonatologi. Edisi 1. Jakarta: IDAI. 2008.h.147-69.

18. Hassan R.Ikterus Neonatorum dalam :Hassan R, Alatas H, editors Ilmu kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran UI. Jilid ke-2. Jakarta. 2007. h.519-22,1101-23.

19. American academy of pediatrics. Subcommittee on hyperbilirubinemia. In : Management


of hyperbilirubinemia the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics;
2004. p.114, 297-316.

20. Kliegman, Robert M.Neonatal Jaundice And Hyperbilirubinemia Dalam :Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HBEditors. Nelson Textbook Of Pediatrics. 17ThEdition.
Philadelphia: Saunders; 2004. p. 592-8.

21. Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik, Sylviati M. Dalam : Hiperbilirubinemia Pada


Neonatus.Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr. Soetomo – Surabaya; 2004.

22. Hansen, Thor W.R. Core Concepts: Bilirubin Metabolism. Neoreviews. 2010(11):316-
220.

23. Departement of Nursing. Phototherapy Nursing Guideline. Our Lady’s Children’s


Hospital, Crumlin. 2018(3):2-19.

24. Rohsiswatmo, R., Amandito, R. Hiperbilirubinemia pada neonatus >35 minggu di


Indonesia; pemeriksaan dan tatalaksana terkini. Sari Pediatri. 2018;2(20):115-122.

26
25. Prasetyo, D., Prasetyo, O., Erny. Deskripsi ikterus neonatorum di RSU Muhamadiyah
Gresik pencegahan ikterus neonatorum ditinjau dari pemahaman proses metabolisme
bilirubin. HTMJ. 2019;17(1):1-9.

26. Ritarwan, Kiking. Ikterus. Bagian Perinatologi Fakultas Kedokteran USU/RSU H. Adam
Malik. Sumatra Utara. 2011.

27

Anda mungkin juga menyukai