Anda di halaman 1dari 25

MASALAH – MASALAH LEGAL

(MALPRAKTIK – NEGLIGENCE)

Erik Firmansyah, S.H


Sub Bahasan
1. Pembuktian Malpraktik secara langsung dan tidak langsung
2. Upaya pencegahan dalam menghadapi tuntutan malpraktik
a. Upaya mencegah malpraktik dalam pelayanan kesehatan
b. Upaya menghadapi tuntutan hukum
3. Perbedaan Malpraktik dan Negligence (Kelalaian)
1. PEMBUKTIAN MALPRAKTIK SECARA
LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya (salah satunya
hak mendapatkan akses kesehatan) merupakan salah satu indikator
positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat.

Tapi sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan meningkatnya kasus


tenaga kesehatan ataupun rumah sakit di somasi, diadukan atau bahkan
dituntut pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam
para tenaga kesehatan yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses
pelayanan kesehatan tenaga kesehatan dibelakang hari.
Apabila seseorang datang kepada dokter untuk memanfaatkan
pelayanan medis yang tersedia maka terjadi hubungan hukum antara
dokter dan pasien yang disebut tranksaksi terapeutik.
Hubungan hukum yang tidak menjanjikan sesuatu kesembuhan atau
kematian semacam ini disebut inspanningsverbintenis, yang berbeda
dengan hubungan hukum yang biasa berlaku dalam perjanjian pada
umumnya yang menjanjikan suatu hasil yang pasti (risikoverbentenis /
resultaatsverbentenis).
Kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak bergantung kepada
dokter dalam menentukan cara penyembuhan (terapi), kini berubah
menjadi pihak yang sederajat dengan dokter. Dokter tidak boleh lagi
mengabaikan pertimbangan pendapat pasien dalam memilih cara
pengobatan, termasuk untuk menentukan perlunya tindakan operasi
atau tidak. Disamping itu, kenyataan menunjukkan bahwa kemajuan
teknologi dan semakin kritisnya masyarakat terhadap pelayanan medis
yang diterimanya menyebabkan semakin mengecilnya kesenjangan
pengetahuan antara pasien dan dokter serta makin terbukanya penilaian
dan kritik.
KOMUNIKASI

1 ARAH

2 ARAH

KOMUNIKASI

KOMUNIKASI
Malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap
pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang
sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos,
California, 1956)
Malpraktek sebagaimana definisi yang ada bukanlah suatu rumusan
hukum yang diatur dalam undang-undang, melainkan suatu kumpulan
dari berbagai perilaku menyimpang yang dapat terjadi karena suatu
tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu,
tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang mahiran /
ketidak kompetenan yang tidak beralasan (profesionalmisconduct).
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar
telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim
dipergunakan diwilayah tersebut.
Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan
merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut
(risk of treatment), karena perikatan dalam transaksi teraputik antara
tenagakesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya
upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil
(resultaa verbintenis).
Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah melakukan ciminal
malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga kesehatan
tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan
yang tercela.
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea)
yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukan kealpaan
sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka
yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah)
yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati
ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat
dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara Langsung
2. Cara Tidak Langsung
1. Cara Langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4
D yakni :
a. Duty (Kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga
perawatan haruslah bertindak berdasarkan :
1. Adanya Indikasi Medis
2. Bertindak secara hati-hati dan teliti
3. Bekerja sesuai standar profesi
4. Sudah ada Informed Consent.
b. Dereliction Of Duty (Penyimpangan dari Kewajiban)
Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan
menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa
yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka
tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (Penyebab Langsung)
d. Damage (Kerugian)
Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan
kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)
yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan
sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil
(outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga
perawatan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka
pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si
penggugat (pasien). (asas Actori Incumbit Onus Probandi).
2. Cara Tidak Langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi
pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita
olehnya sebagai hasil layanan perawatan dengan menunjukkan
fakta yang terjadi dan menarik diri sendiri kesimpulan tersebut
bahwa si Pelaku kemungkinan melakukan tindaakan malpraktik.
(doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang
ada memenuhi kriteria :
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak
lalai.
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga
perawatan.
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan
perkataan lain tidak ada contributory negligence. (kelalaian)
2. Perbedaan Malpraktik dan Negligence
(Kelalaian)
Malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap
pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang
sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos,
California, 1956)
Dari beberapa definisi malpraktek, malpraktek adalah tidak sama dengan
kelalaian. Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktek, tetapi
didalam malpraktek tidak selalu harus terdapat unsur kelalaian.
Jika dilihat beberapa definisi : malpractice mempunyai pengertian yang
lebih luas dari pada negligence. Karena selain mencakup arti kelalaian,
istilah malpraktekpun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan
dengan sengaja (intentional, dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-
undang.
Di dalam arti (negligence) kesengajaan tersirat adanya motif (mens rae,
guilty mind). Sedangkan arti negligence lebih berintikan kesengajaan
(culpa), kurang teliti, kurang hati-hati, acuh, sembrono, sembarangan,
tak peduli terhadap kepentingan orang lain. Namun akibatnya yang
timbul memang bukanlah menjadi tujuannya.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa malpraktek dalam arti luas dapat
dibedakan antara tindakan yang dilakukan :
a. Dengan sengaja yang dilarang oleh Peraturan Perundang-Undangan.
Dengan kata lain: malpraktek dalam arti sempit, misalnya dengan
sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medis, melakukan
euthanasia, memberi surat keterangan medis yang isinya tidak benar,
dan sebagainya.
b. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian,
misalnya menelantarkan pengobatan pasien, karena lupa atau
sembarangan sehingga penyakit pasien bertambah berat dan
kemudian meninggal (abandonment).
Perbedaan yang lebih jelas tampak kalau kita melihat pada motif yang
dilakukan, misalnya :
a. Pada malpraktek (dalam arti sempit) : tindakannya dilakukan secara
sadar, dan tujuan dari tindakannya memang sudah terarah kepada
akibat yang hendak ditimbulkan atau tak peduli terhadap akibatnya,
walaupun ia mengetahui bahwa tindakannya itu adalah bertentangan
dengan hukum yang berlaku, sedangkan
b. Pada kelalaian : tidak ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan
akibat yang terjadi. Akibat yang timbul itu disebabkan karena adanya
kelalaian yang sebenarnya terjadi diluar kehendak.
3. UPAYA PENCEGAHAN DALAM
MENGHADAPI TUNTUTAN MALPRAKTIK
a. Upaya mencegah malpraktik dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga
medis karena adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam
menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
■ Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan
upayanya, karena perjanjian layanan kesehatan berbentuk daya
upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil
(resultaat verbintenis).
■ Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed
consent.
■ Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
■ Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau
dokter.
■ Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan
segala kebutuhannya.
■ Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan
masyarakat sekitarnya.
b. Upaya menghadapi tuntutan hukum.
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak
memuaskan sehingga perawat menghadapi tuntutan hukum,
maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien
atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga
kesehatan. (asas Actori Incumbit Onus Probandi).
Namun apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal
malpractice, maka tenaga kesehatan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/
menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau
tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya perawat
mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan
tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau
mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin
(men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang
dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan
mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni
dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur
pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk
membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan
bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa
penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan
kepadanya.
SEMOGA BERMANFAAT
ARS UNIVERSITY

2020

Anda mungkin juga menyukai