Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH HUKUM PAJAK INTENSIFIKASI DAN

EKSTENSIFIKASI PAJAK TERHADAP ROKOK TEMBAKAU

NAMA
ERICO WILDAN KURNIAWAN 15.0201.0080
CAHYA YOGA ADITAMA 16.0201.0024
RIZKY DWI SATRIO 16.0201.0046

FAKULTAS ILMU HUKUM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAGELANG
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pajak merupakan kontribusi wajib kepada kas negara oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Perkembangan penerimaan negara dari sektor pajak dari tahun ketahun selalu mengalami
peningkatan. Kementrian Keuangan mencatat penerimaan negara dari sektor pajak pada
tahun 2013 sebesar Rp 1.072,1 Triliun atau (APBN-P) 2013 yang sebesar Rp 1.148,4
Triliun. Sedangkan pada tahun 2014 target penerimaan negara dari sektor pajak sebesar Rp
1.200 Triliun. Maka tidak heran kalau sumber pendapatan negara yang terbesar berasal dari
pajak. Salah satu penyumbang pendapatan dari sektor pajak adalah pajak rokok.

Pajak rokok merupakan pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah. Secara
efektif pemberlakuan pajak rokok ini baru akan diterapkan pada tahun 2014. Dasar
Pengenaan Pajak rokok adalah cukai rokok dan besarnya tarif ditetapkan sebesar 10% dari
cukai rokok. Pajak rokok masuk dalam kategori pajak Provinsi yang menjadi
penyempurnaan kebijakan dan peraturan pajak daerah dalam bentuk perluasan obyek pajak
daerah. Artinya, pajak rokok ini nantinya akan menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Meskipun demikian pemerintah provinsi diharuskan membagi penerimaan dari
pajak rokok ini dengan pemerintah kabupaten/kota dengan porsi sebesar 70% untuk
Kabupaten/Kota sisanya 30% diperuntukan bagi pemerintah provinsi. Di bidang kesehatan,
keputusan ini diambil sebagai langkah pengimbangan antara konsumsi rokok dengan
kesehatan masyarakat. Artinya, pemungutan pajak rokok didasarkan agar masyarakat
mengurangi konsumsi rokok karena memberikan dampak buruk bagi kesehatan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh pemungutan pajak rokok terhadap pendapatan negara?
2. Kapan pajak rokok mulai ditetapkan secara efektif?
3. Kapan pajak rokok diberlakukan secara efektif?
4. Bagaimana pembagian pajak rokok oleh Pemerintah Daerah Provinsi dengan
Kabupaten/Kota?
5. Apa tujuan Pemerintah memberlakukan pajak rokok?
C. Tujuan
1. Menambah pemahaman tentang dasar pemungutan pajak rokok,
2. Mengetahui kontribusi pajak rokok terhadap pendapatan negara, dan
3. Mengetahui tarif dan cara perhitungan Pajak Rokok.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Landasan Hukum

Pajak rokok diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 26 sampai dengan
Pasal 31. Dimana pajak rokok merupakan pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh
instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai
rokok. Pajak rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah disetor ke rekening kas umum
provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.

Dalam rangka persiapan pelaksanaan pemungutan pajak rokok, Direktorat Jenderal


Perimbangan Keuangan bersama dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Direktorat
Jenderal Perbendaharaan telah melakukan sosialisasi kebijakan pajak rokok kepada pejabat
Dispenda provinsi, pengusaha/pengelola pabrik rokok dan importir rokok, dan pejabat dari
Kantor Pelayanan Bea dan Cukai.

B. Objek Pajak Rokok

Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 26 dijelaskan bahwa :

1. Objek pajak rokok adalah konsumen rokok


2. Rokok sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
- cigarette,
- cerutu, dan
- rokok daun.
3. Sebagaimana dalam ayat (2) menjelaskan bahwa :
- Yang dimaksud dengan “sigaret” adalah hasil tembakau yang dibuat dari
tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting, untuk
dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang
digunakan dalam pembuatannya. Sigaret terdiri atas sigaret kretek, sigaret putih,
dan sigaret kelembak kemenyan. “Sigaret kretek” adalah sigaret yang dalam
pembuatannya dicampuri dengan cengkih, atau bagiannya, baik asli maupun
tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya. “Sigaret putih” adalah sigaret yang
dalam pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, tau
kemenyan. “Sigaret kelembak kemenyan” adalah sigaret yang dalam
pembuatannya dicampur dengan kelembak dana tau kemenyan asli maupun
tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya.
- Yang dimaksud dengan “cerutu” adlah hasil tembakau yang dibuat dari
lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung
sedemikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan
bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
- Yang dimaksud dengan “rokok daun” adalah hasil tembakau yang diolah
dengan daun nipah, daun jagung, atau sejenisnya dengan cara dilinting untuk
dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti.

C. Subjek Pajak Rokok

Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 27 dijelaskan bahwa :

1. Subjek pajak rokok adalah konsumen rokok.


2. Wajib Pajak (WP) rokok adalah Pengusaha Pabrik rokok/Produsen dan importer
rokok yang memiliki ijin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai.
3. Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai
bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
4. Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah disetor ke rekening kas umum
daerah secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.

D. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Dasar Pengenaan Pajak Rokok diatur dalam UU PDRD Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 28. Dalam
Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai yang
ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.

Yang dimaksud dengan cukai adalah pungutan yang dikenakan terhadap rokok berupa sigaret,
cerutu, dan rokok daun sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibidang cukai. Pungutan
tersebut dapat berupa persentase dari harga dasar atau jumlah dalam rupiah untuk setiap batang
(spesifik) atau penggabungan dari keduanya.

Adapun besar tariff cukai rokok, antara lain :


1. Tarif harga dasar :40% dari harga jual eceran (HJE)
2. Tariff cukai spesifik :Rp 200,-/batang,
3. Jika menggunakan penggabungan maka tarifnya : Rp 200,-/batang + 40% HJE.

E. Tarif Pajak Rokok

Besarnya tariff untuk pajak rokok tertian dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 29.
Pemerintah sudah mulai memungut pajak rokok sejak awal tahun 2014 lalu, hal ini sesuai
amanah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Ada beberapa hal yang melatar belakangi adanya kebijakan pajak rokok, yaitu :

1. Perlunya penerapan pajak yang lebih adil kepada seluruh daerah, agar seluruh
daerah mempunyai sumber dana yang memadai untuk mengendalikan dan
mengatasi dampak negative rokok, karena sebelumnya daerah yang mendapatkan
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (yang sebagian dananya dapat digunakan
untuk mengendalikan/mengatasi dampak negative rokok) hanya daerah penghasil
rokok dan pengahasil tembakau,
2. Perlunya peningkatan local taxing power guna meningkatkan kemampuan daerah
dalam menyediakan pelayanan publik, khususnya pelayanan kesehatan,
3. Perlunya penerapan piggyback taxes, atau tambahan atas objek pajak yang dipungut
oleh Pemerintah Pusat terhadap konsumsi barang yang perlu dikendalikan, sesuai
dengan best practice yang berlaku di negara lain, dan
4. Perlunya pengendalian dampak negatif rokok, karena terkait dengan meningkatnya
tingkat prevalensi perokok di Indonesia (jumlah penduduk perokok terhadap jumlah
penduduk nasional), meningkatnya dampak negatif konsumsi rokok bagi
masyarakat, dan masih rendahnya komponen pajak dalam harga rokok di Indonesia
dibandingkan dengan negara-negara lain khususnya negara ASEAN.
Tarif pajak yang dikenakan sebesar 10% dari tarif cukai rokok. Pemungutan pajak
rokok ini akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai.
kemudian, hasil pemungutan tersebut diserahkan oleh DJBC dan selanjutnya akan
dipungut pajaknya sesuai dengan tarif yang sudah ditentukan yaitu 10%. Hasil
pemungutan (penerimaan) pajak rokok tersebut akan ditampung sementara dalam
rekening kas negara, untuk selanjutnya akan disetor ke Rekening Kas Umum
Daerah Provinsi sesuai proporsi jumlah penduduk masing-masing provinsi.
Penyetoran ke provinsi dilaksanakan secara triwulanan, yakni pada bulan pertama
triwulan berikutnya. Khusus untuk penyetoran triwulan IV hanya mencakup
penerimaan pajak rokok bulan Oktober dan Desember, sedangkan penerimaan
bulan Desember akan disetor ke provinsi setelah ditetapkannya hasil audit Laporan
Arus Kas Pemerintah oleh BPK. Ketentuan mengenai pemungutan dan penyetoran
pajak rokok telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok.
Pajak rokok memang dikategorikan sebagai pajak provinsi atau pajak yang menjadi
pendapatan provinsi. Walaupun begitu, pajak rokok tersebut harus dibagi dengan
pemerintah kabupaten/kota. Pajak Rokok ini akan diterima oleh pemerintah
kabupaten/kota sebesar 70% dan 30% akan diperuntukkan bagi pemerintah
provinsi. Sesuai Undang-undang Pajak Daerah dan Rtribusi Daerah, penerimaan
pajak rokok tersebut, baik yang bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota,
harus dialokasikan minimal 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat
dan penegakan hukum.
Pajak rokok ini sebenarnya dipungut oleh pemerintah daerah. Sebab, pajak rokok
memang menjadi pajak daerah provinsi. Namun, karena UU Nomor 28 Tahun 2009
mengamanatkan pemungutan pajak ini ke Bea Cukai, maka Direktorat Jendral Bea
Cukai (DJBC) mulai menyiapkan mekanismenya. Dengan begitu, ketika ini
diterapkan maka proses pemungutan pajak rokok tidak menimbulkan masalah.
Saat ini Ditrektorat Jendral Bea Cukai (DJBC) sedang menyiapkan tata cara dan
mekanisme pemungutan pajak rokok ini. Salah satu alternatifnya adalah pajak
rokok dipungut bersamaan dengan pemungutan cukai. Jadi, ketika produsen rokok
membayar setoran cukai rokok, pada saat bersamaan mereka juga akan membayar
pajak rokok yang besarnya 10% dari setoran cukai yang mereka bayarkan tersebut.
Misalkan seorang produsen rokok menyetorkan cukai rokok sebesar Rp 100 juta. Ia
juga harus membayar tambahan pajak rokok sebesar Rp 10 juta. Jadi total yang
harus disetorkan oleh produsen rokok tersebut adalah Rp 110 juta.
Pajak rokok tersebut tentunya akan menjadi beban bagi produsen rokok. Tetapi,
ujung-ujungnya nanti para produsen rokok pasti akan membebankan pajak tersebut
lagi ke konsumen dengan menaikkan harga jual rokok.
F. Penerimaan Pajak Rokok

Penerimaan Pajak Rokok tertuang dalam UU Nomer 28 Tahun 2009 Pasal 31 yang menyatakan
bahwa, Penerimaan Pajak Rokok baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota,
dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan
masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.

Pelayanan kesehatan masyarakat antara lain pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana


dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok
(smocking area), kegiatan pengenalan atau sosialisasi tentang bahaya rokok kepada
masyarakat, dan memasang iklan-iklan yang berkaitan tentang bahaya rokok.

Penegakan hukum sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah yang dapat bekerjasama
dengan pihak/instansi lain. Pihak/instansi tersebut, antara lain : pemberantasan peredaran rokok
ilegal dan penegakan aturan mengenai larangan merokok sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

G. Penjelasan Tambahan
1. Perbandingan Pajak Rokok di Indonesia dengan negara lain.

Guna menggenjot penerimaan negara dari sektor pajak, pemerintah dapat mempertimbangkan
penerimaan pajak dari para perokok. Hal ini sudah diterapkan di negara lain seperti di Filipina.
"Di Filipina mereka yang merokok dikena pajak yang tinggi, ini jadi pemasukan yang
lumayan," ujar Ekonom Asian Development Bank (ADB), Prianto Aji di Hotel Intercontinental
Midplaza, Jakarta, Selasa (1/4/2014).

Dia mengatakan, tambahan penerimaan negara melalui pajak ini dapat dimanfaatkan untuk
menambah subsidi pada sektor pendidikan atau kesehatan sehingga yang lebih berguna untuk
meningkatkan produktivitas sumber daya manusia (SDM). "Sistem perpajakan yang lebih baik
ini bisa memperbesar pemasukan bagi negara dan bisa dimanfaatkan pada sektor lain,"
lanjutnya.

Sementara itu, Deputy Country Director Asian Development Bank (ADB) Edimon Ginting
mengatakan, dengan pengenaan pajak yang tinggi pada rokok ini, juga akan mengurangi
pengeluaran masyakarat untuk sektor kesehatan.
"Pajak rokok ini kan berkaitan dengan kesehatan, makin murah pajaknya, makin banyak yang
merokok. Tapi, biasanya semakin maju sebuah negara, maka makin tinggi pajak rokoknya. Di
sisi lain makin mahal pajak makin juga kan membanggakan bagi perokok, karena dianggap
mampu bayar pajak yang mahal itu," ujar Edimon.

Tarif pajak rokok yang tinggi sudah rata-rata diterapkan negara-negara maju karena acuannya
adalah dampak yang diberikan rokok sangatlah buruk bagi kesehatan.

Hal ini harusnya menjadi acuan bagi pemerintah Indonesia untuk menetapkan tarif pajak yang
tinggi terhadap rokok. Mengingat dampaknya yang buruk bagi kesehatan.

2. Analisa Perbedaan Pajak Rokok dengan Cukai Rokok.


a. Menurut definisinya :
- Pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah,
- Cukai rokok adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap perokok.
b. Menurut dasar pengenaannya :
- Dasar Pengenaan Pajak Rokok adalah berdasarkan cukai yang ditetapkan oleh
Pemerintah terhadap rokok,
- Dasar Pengenaan Cukai Rokok adalah harga dasar yang digunakan untuk
perhitungan cukai atas Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia yaitu Harga
Jual Pabrik atau Harga Jual Eceran.
c. Menurut Pengalokasiannya :
- Pajak rokok dipungut oleh Pemerintah Daerah dan sepenuhnya masuk ke kas
Pemerintah Daerah,
- Cukai Rokok yang diterapkan selama ini, yaitu pajak yang peruntukannya untuk
Pemerintah Pusat.
d. Menurut fungsi dan tujuannya :
- Tujuan utama penerapan pajak rokok adalah untuk melindungi masyarakat
terhadap bahaya rokok. Penerapan pajak rokok sebesar 10 persen dari nilai
cukai juga dimaksudkan untuk memberikan optimalisasi pelayanan pemerintah
daerah dalam menjaga kesehatan masyarakat. Seperti diketahui bahwa rokok,
membawa dampak kesehatan yang tidak baik bagi perokok itu sendiri maupun
orang lain. Pemerintah daerah berkewajiban untuk menjaga kesehatan
masyarakat. Selain itu pemda juga harus melakukan pengawasan terhadap
rokok di daerah masing-masing termasuk rokok ilegal. Dengan pajak rokok
maka kewajiban pemerintah untuk mengoptimalkan kesehatan masyarakat bisa
menjadi lebih baik,
- Fungsi pengenaan Cukai yaitu :
o melaksanakan fungsi untuk membatasi beredarnya barang barang yang
dianggap immoral atau tidak sehat jika di konsumsi masyarakat serta
melindungi lingkungan hidup seperti hasil tembakau, dan minuman
mengandung etil Alkohol,
o pengenaan cukai yang berfungsi untuk barang-barang nonesensial atau
atas konsumsi barang mewah,
o cukai dipergunakan sebagai suatu sarana untuk menciptakan tenaga
kerja seperti rokok sigaret kretek tangan,
o cukai merupakan salah satu sumber penerimaan negara dalam
pembiayaan pembagunan demi keadilan dan keseimbangan.
BAB III
KESIMPULAN

Pajak rokok merupakan pajak yang dipungut oleh instansi pemerintah setelah pemungutan
cukai rokok. Sebenarnya pajak rokok dikategorikan sebagai pajak pemerinah daerah provinsi
dan dipungut sendiri oleh pemerintah provinsi. Namun, karena UU Nomor 28 Tahun 2009
mengamanatkan pemungutan pajak ini ke Bea Cukai, maka Ditjen Bea Cukailah yang akan
melakukan pemungutan pajak rokok tersebut. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok
yang dipungut oleh instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan
pemungutan cukai rokok. Pajak rokok yang dipungut oleh instansi pemerintah nantinya akan
disetor ke rekening kas umum provinsi secara proposional berdasarkan jumlah produk.
Penerimaan pajak rokok, baik bagian provinsi maupun kabupaten/kota, dialokasikan paling
sedikit 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hokum oleh
apparat yang berwenang. Adanya pajak rokok disamping cukai, maka harga beli rokok menjadi
semakin mahal dengan maksud agar konsumen rokok dapat mengurangi konsumsi rokoknya
karena rokok bias mengancam kesehatan.

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) rokok adalah cukai rokok dan tarif yang sudah ditetapkan
sebesar 10% dari cukai rokok. Pajak rokok masuk dalam kategori pajak Provinsi yang
menjadipenyempurna kebijakan dan peraturan pajak daerah dalam bentuk perluasan objek
pajak daerah sesuai dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali atas UU Nomor 34 Tahun 2000 dan UU Nomor
18 Tahun 1997. UU Nomor 28 Tahun 2009 yang baru disahkan oleh DPR pada 18 Agustus
2009 yang lalu dan diharapkan dapat lebih mendorong peningkatan pelayanan kepada
masyarakat dan kemandirian daerah. Walaupun dikategorikan sebagai pajak Provinsi, namun
pajak rokok tersebut harus dibagi dengan Pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Pajak Rokok ini
akan diterima oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 70% dan 30% akan diperuntukan bagi
pemerintah provinsi.

Dalam pajak rokok, pihak yang dikenakan pajak atau pihak yang menjadi subjek pajak rokok
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 27 adalah konsumen itu sendiri,
akan tetapi yang menjadi Wajib Pajak (WP) rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen
rokok dan importir rokok yang memiliki ijin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena
Cukai (NPPBKC). Sedangkan objek pajaknya adalah konsumsi rokok. Sebagaimana yang
dimaksud UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 26, rokok meliputi sigaret, cerut, dan rokok daun.

Dalam pajak, tentunya ada subjek dan objek yang akan dipungut pajaknya. Subjek pajak
rokok adalah konsumen rokok dan wajib pajak rokok adalah produsen rokok. Sedangkan
objeknya adalah konsumsi rokok tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Priantara, Diaz. 2012. Perpajakan Indonesia, Edisi 2. Jakarta. Mitra Wacana Media
http://hukum-dan-umum.blogspot.com/2012/04/pajak-rokok-10-dari-cukai-berlaku-
tahun.html
http://bisnis.liputan6.com/read/2030756/kenaikan-pajak-rokok-perlu-jadi-pertimbangan-
pemerintah
http://memesarasawati.blogspot.com/2012/09/perbedaan-pajak-rokok-dan-cukai-rokok.html
http://gitacintanyawilis.blogspot.com/2010/07/pajak-rokok.html
http://www.djpk.depkeu.go.id/berita-headline/368-sosialisasi-kebijakan-pajak-rokok

Anda mungkin juga menyukai