Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PERBANDINGAN KONSTITUSI NEGARA


INDONESIA DENGAN NEGARA SWISS

NAMA : RIZKY DWI SATRIO


NPM : 16.0201.0046
SEMESTER 6 / A

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konstitusi merupakan sesuatu yang sangat penting bagi setiap bangsa dan
Negara, baik yang sudah lama merdeka maupun yang baru saja memperoleh
kemerdekaannya. Melalui konstitusi kita dapat melihat sistem ketatanegaraan
suatu Negara. Konstitusi merupakan hukum yang dianggap paling tinggi
tingkatannya di setiap Negara.

Istilah konstitusi pada mulanya berasal dari perkataan latin, constitutio


yang berkaitan dengan kata jus atau ius yang berarti “hukum atau prinsip”. Di
zaman modern, bahasa yang biasa dijadikan sumber rujukan mengenai istilah
konstitusi adalah Inggris, Jerman, Perancis, Italia dan Belanda. Untuk pengertian
constitution dalam bahasa Inggris, bahasa Belanda membedakan antara constitutie
dan grondwet, sedangkan bahasa Jerman membedakan antara verfassung dan
grundgesetz seperti antara grondrecht dan grondwet dalam bahasa Belanda. Istilah
konstitusi menurut Wirjono Prodjodikoro berasal dari kata kerja “constituer”
dalam bahasa Perancis yang berarti “membentuk”, jadi konstitusi berarti
pembentukan. Konstitusi mengandung permulaan dari segala macam peraturan
pokok mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar yang
bernama Negara. K.C. Wheare F.B.A dalam bukunya Modern Constitution
menjelaskan istilah konstitusi dapat dibedakan kedalam dua pengertian :

Istilah konstitusi dipergunakan untuk menunjuk kepada seluruh aturan


(rules) mengenai sistem ketatanegaraan.

Istilah Konstitusi menunjuk kepada suatu dokumen atau beberapa


dokumen yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan tertentu yang
bersifat pokok atau dasar saja mengenai ketatanegaraan suatu Negara.

Konstitusi memiliki fungsi-fungsi yang oleh Jimly Asshidiqie diperinci


sebagai berikut : Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ Negara;

1. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan Negara;


2. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan Negara dengan
warganegara;
3. Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan Negara
ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan Negara;
4. Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang
asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat ) kepada organ
Negara;
5. Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity) sebagai rujukan
identitas dan keagungan kebangsaan (identity of nation) serta sebagai
center of ceremony;
6. Fungsi sebagai sarana pengendali masyarakat (social of unity), baik dalam
arti sempit hanya di bidang politik, maupun dalam arti luas mencakup
bidang sosial dan ekonomi;
7. Fungsi sebagai sarana perekayasa dan pembaruan masyarakat (social
engineering atau social reform).;

Konstitusi dengan istilah lain constitution atau verfasung dibedakan dari


undang-undang dasar atau groundgezetz. Herman Heller menyatakan bahwa
konstitusi mempunyai arti lebih luas dari undang-undang dasar. Sedangkan
menurut pendapat Solly Lubis bahwa konstitusi memiliki dua pengertian yaitu
konstitusi tertulis (Undang-Undang Dasar) dan konstitusi tidak tertulis (konvensi).
Bentuk Konstitusi itu sebetulnya tidak ada keharusan tertulis maupun tidak
tertulis. Bagi Negara yang menggunakan konstitusi yang tidak tertulis seperti
Inggris dan Canada tetap dianggap mempunyai dan mengunakan konstitusi.

Pembedaan konstitusi tertulis dengan konstitusi tidak tertulis tidak mutlak


benar. Menurut CF Strong ketika menjelaskan mengenai perbandingan konstitusi
dalam bukunya yang berjudul Modern Political Constitution mengatakan bahwa
sebenarnya pembedaan konstitusi tertulis dan tidak tertulis tidaklah benar karena
tidak ada konstitusi yang benar-benar tertulis maupun yang benar-benar tidak
tertulis. Yang disebut tertulis biasanya dimaksudkan sebagai dokumen konstitusi
yang mempunyai kesakralan khusus sedangkan yang tidak tertulis adalah
konstitusi yang berkembang atas dasar adat istiadat (costum). Negara Inggris yang
dikatakan tidak memiliki konstitusi tertulis sebenarnya memiliki berbagai hukum
dan undang-undang tertulis yang memodifikasi berbagai ketentuan konstitusi
seperti the Bill of Rights (1689). Sebaliknya Amerika Serikat yang dikatakan
sebagai Negara paling lengkap konstitusi tertulisnya ternyata juga memiliki
konstitusi tidak tertulis karena disana telah tumbuh dan berkembang konvensi
tidak tertulis tanpa adanya amandemen yang sebenarnya atas konstitusi itu sendiri.

Sebagian besar Negara di dunia menggunakan konstitusi berupa konstitusi


tertulis termasuk Negara Indonesia dan Negara Swiss. Dalam Makalah ini akan
dilakukan perbandingan konstitusi dari segi muatan konstitusi kedua Negara
tersebut sehingga akan diperoleh perbedaan dan persamaan dari masing-masing
konstitusi serta akan diperoleh kelebihan serta kekurangannya sehingga akan
memperkaya wawasan serta pengetahuan kita mengenai hukum konstitusi.
B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai


berikut :

1. Apakah Prosedur amandemen Konstitusi yang digunakan oleh Republik


Indonesia dan Swiss?
2. Bagaimana mekanisme yang ditempuh bila amandemen tersebut
dilakukan?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perbandingan Berdasarkan Prinsip-Prinsip Umum Perubahan Konstitusi

1. Perbandingan berdasarkan Sistem Amandemen

Kata amandemen berasal dari bahasa Inggris yaitu amendment yang


berarti perubahan atau to amend, to alter, to revise. Perubahan ini dapat berupa
pencabutan (repeal), penambahan (addition), dan perbaikan (revision). Istilah lain
dari perubahan adalah pembaharuan (reform). Jadi Pengertian Perubahan
konstitusi mencangkup dua pengertian yaitu :

 Amandemen Konstitusi (constitutional amendment)


 Pembaruan Konstitusi (constitutional reform)

Jadi, sistem yang dianut oleh negara-negara dalam mengubah konstitusi dapat
digolongkan ke dalam dua sistem perubahan yaitu :

Apabila suatu konstitusi diubah maka yang akan berlaku adalah konstitusi
yang baru secara keseluruhan, sehingga tidak ada kaitannya lagi dengan konstitusi
lama. Sistem ini masuk kategori Pembaruan Konstitusi(constitutional reform).
Sistem ini dianut oleh hampir semua Negara di dunia, diantaranya adalah Belanda,
Jerman, dan Perancis. Sistem perubahan konstitusi dimana konstitusi asli tetap
berlaku sementara bagian perubahan konstitusi tersebut merupakan adendum atau
sisipan dari konstitusi asli. Bagian yang diamandemen menjadi bagian
konstitusinya. Jadi antara bagian perubahan dan bagian konstitusi aslinya masih
terkait. Keberlakuan konstitusi dengan sistem perubahan inipun masih didasarkan
kepada saat berlakunya konstitusi yang lama, sehingga nilai-nilai lama dalam
konstitusi asli yang belum diubah masih tetap eksis. Sistem perubahan dengan
istilah amandemen ini dianut oleh Amerika Serikat.

Perubahan konstitusi di Indonesia dari perubahan pertama sampai dengan


keempat UUD 1945 mengikuti sistem amandemen seperti di Amerika Serikat.
Mahfud MD menyebutkan kelemahan-kelemahan UUD 1945 sehingga perlu
perubahan diantaranya :

 UUD 1945 membangun sistem politik yang executive heavy


dengan memberi porsi yang sangat besar kepada kekuasaan
presiden tanpa adanya mekanisme checks and balances yang
memadai;
 UUD 1945 terlalu banyak memberi atribusi dan delegasi
kewenangan kepada presiden untuk mengatur lagi hal-hal penting
dengan UU maupun dengan PP;
 UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau multitafsir
sehingga bisa ditafsirkan dengan macam-macam tafsir, tetapi tafsir
yang harus diterima adalah tafsir yang dibuat oleh presiden;
 UUD 1945 lebih mengutamakan semangat penyelenggara Negara
daripada sistemnya.

Pada sidang tahunan MPR tahun 1999, seluruh Fraksi di MPR sepakat
membuat arah perubahan UUD 1945 yaitu :

1. Sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945


2. Sepakat untuk mempertahankan bentuk NKRI
3. Sepakat untuk mempertahankan sistem presidensil
4. Sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam penjelasan
UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945
5. Sepakat menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap
UUD 1945.

Berdasarkan kesepakatan tersebut dan dikaitkan dengan perubahan UUD


1945 amandemen dari tahun 1999 sampai dengan 2002, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa perubahan pertama hingga ke empat UUD 1945 berdasarkan
sistem amandemen konstitusi (constitutional amendment). Secara keseluruhan
Amandemen Pertama hingga ke empat UUD 1945 meliputi hampir keseluruhan
materi dalam UUD 1945. Naskah Asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan.
Namun pada amandemen UUD 1945 yang keempat materi mencangkup 199 butir
ketentuan. Dengan melihat jumlah materi yang bertambah bisa dikatakan hampir
ada perubahan pada seluruh pasal yang berarti sama saja dengan merubah
konstitusi lama menjadi konstitusi yang baru. Namun ini tetap sistem amandemen
karena perubahan amandemen UUD 1945 tetap mempertahankan pembukaan
UUD 1945, dan perubahan hanya pada batang tubuh serta menghilangkan
penjelasan pada UUD 1945 asli. Perubahan pertama sampai dengan ke empat
UUD 1945 merupakan perubahan berdasar sistem amandemen yang berlaku
sekarang.

Perubahan UUD 1945 mengikuti sistem amandemen meskipun jumlah


materi muatan perubahan lebih besar daripada naskah aslinya karena yang utama
dalam sistem amandemen adalah berlakunya konstitusi yang telah diubah itu tetap
berdasar pada saat berlakunya konstitusi asli, perubahan redaksi dan atau
substansi atas beberapa pasal atau ketentuan tersebut dijadikan sebagai adendum
atau lampiran konstitusi asli. Jadi sedikit banyaknya jumlah ketentuan dalam
konstitusi yang diubah bukan merupakan penentu sistem amandemen.
Mengenai sistem perubahan konstitusi di Swiss pada awalnya
menggunakan kategori Pembaruan Konstitusi (constitutional reform). Adapun
istilah yang digunakan dalam perubahan konstitusi di Swiss adalah revision. Pada
tahun 1999, Konstitusi Federal Swiss 1874 telah digantikan oleh Konstitusi Baru
(berlaku sejak 1 Januari 2000) mengintegrasikan sekitar 150 revisi kecil menjadi
teks, baru konsolidasi tanpa secara radikal mengubah struktur Federasi Swiss.
Konstitusi Swiss 1999 tersebut terus mengalami perubahan hingga sekarang
dengan langsung memasukkan materi perubahan yang baru dalam Konstitusi
Federal Swiss. Ini merupakan pembaharuan naskah lama menjadi naskah yang
baru dengan menambah materi perubahan dalam Konstitusi.

2. Perubahan Konstitusi secara Formal dan di Luar Cara Formal

Perubahan Konstitusi dapat berubah atau diubah melalui :

Jalan Yuridis Formal yaitu dilakukan sesuai dengan ketentuan formal


mengenai perubahan konstitusi yang terdapat dalam konstitusi sendiri dan
mungkin juga diatur dalam peraturan perundangan yang lain.

Jalan nonyuridis formal yaitu perubahan konstitusi tersebut terjadi karena


sebab tertentu atau keadaan khusus yang mendorong terjadinya perubahan
konstitusi baik perubahan konstitusi secara total maupun sebagian ketentuan saja
sesuai dengan kebutuhannya.

Menurut pendapat George Jellinek yang membedakan dua cara perubahan


konstitusi melalui cara Verfassungsanderung dan Verfassungswandlung.
Perubahan konstitusi yang dilakukan dengan sengaja menurut tata cara yang
diatur oleh konstitusi disebut sebagai Verfassungsanderung. Sedangkan
Verfassungswandlung merupakan yaitu perubahan konsitusi yang dilakukan tidak
berdasarkan cara formal yang ditentukan oleh konstitusi sendiri melainkan melalui
jalur istimewa seperti revolusi, kudeta (coup d’etat),konvensi dan sebagainya.

Dua cara perubahan konstitusional tersebut dapat dikembangkan lagi


menjadi empat macam cara. Menurut K.C.Wheare mengenai metode perubahan
terhadap konstitusi atau UUD ada empat cara, yaitu :

1. Formal amendment atau perubahan resmi ialah perubahan konstitusi yang


dilakukan sesuai ketentuan yang terdapat dalam konstitusi.
2. Some primary force merupakan perubahan konstitusi yang terjadi akibat
kekuatan-kekuatan yang bersifat primer, seperti dorongan politik.
3. Judicial Interpretation merupakan perubahan konstitusi melalui penafsiran
hakim atau pengadilan.
4. Usage and convention merupakan perubahan konstitusi oleh suatu
kebiasaan dan konvensi yang lahir apabila ada kesepakatan rakyat.

Menurut CF Strong dalam bukunya “Modern Political Constitutions” bahwa


prosedur perubahan konstitusi secara formal dapat dilakukan oleh :

1. Oleh pemegang kekuasaan legislatif, tetapi menurut pembatasan-


pembatasan tertentu.
2. Perubahan Konstitusi yang dilakukan oleh rakyat secara langsung melalui
suatu referendum.
3. Oleh utusan negara-negara bagian, khusus di negara-negara serikat.
4. Dengan kebiasaan ketatanegaraan atau perubahan oleh suatu Lembaga
Negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.

Miriam Budiarjo mengemukakan empat macam prosedur, yang pada dasarnya


sama dengan yang dikemukakan oleh CF Strong, yaitu :

1. Sidang badan legislatif dengan ditambah beberapa syarat, misalnya


ditetapkan kuorum untuk sidang yang membicarakan usul perubahan
undang-undang dasar dan jumlah minimum anggota badan legislatif untuk
menerimanya (Belgia, RIS 1949);
2. Referendum atau plebisit (Swiss, Australia);
3. Negara-Negara bagian dalam Negara federal (Amerika Serikat: ¾ dari
lima puluh Negara-Negara bagian harus menyetujui; India);
4. Musyawarah khusus (special convention) (beberapa Negara Amerika
Latin).
5. Untuk Indonesia menggunakan perubahan konstitusi melalui jalur formal
yaitu prosedur perubahan konstitusi melalui pemegang kekuasaan legislatif
dalam UUD 1945.

Menurut CF Strong perubahan konstitusi melalui lembaga legislatif dapat terjadi


melalui tiga macam kemungkinan sebagai berikut :

Untuk mengubah konstitusi adalah sidang pemegang kekuasaan legislatif


harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya sejumlah anggota tertentu yang disebut
dengan kuorum.

Lembaga perwakilan rakyat harus dibubarkan kemudian diselenggarakan


pemilihan umum. Lembaga perwakilan rakyat yang diperbarui ini lalu
melaksanakan wewenangnya mengubah konstitusi.

Kemungkinan ketiga ini terjadi dan berlaku dalam sistem dua kamar
bahwa untuk mengubah konstitusi, kedua kamar lembaga perwakilan.
Rakyat harus mengadakan sidang gabungan dengan syarat-syarat
seperti dalam cara kesatu yang berwenang mengubah konstitusi.

Perubahan konstitusi yang digunakan Indonesia melalui pemegang


kekuasaan legislatif menggunakan kemungkinan pertama yaitu sidang pemegang
kekuasaan legislatif yang harus dihadiri sekurang-kurangnya sejumlah anggota
tertentu (kuorum) yang diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. Cara perubahan
Konstitusi UUD 1945 mencangkup dua hal yaitu perubahan konstitusi menurut
Pasal 37 UUD 1945 Asli dan menurut pasal 37 UUD 1945 amandemen keempat.
Cara Perubahan UUD 1945 Menurut Pasal 37 Sebelum Perubahan menyebutkan :

1. Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota


MPR harus hadir;
2. Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah
anggota yang hadir.

Dari ketentuan tersebut diatas mengandung tiga norma, yaitu :

1. Bahwa wewenang untuk mengubah UUD ada pada MPR sebagai lembaga
tertinggi Negara;
2. Bahwa untuk mengubah UUD, kuorum yang harus dipenuhi sekurang-
kurangnya adalah 2/3 dari seluruh jumlah anggota MPR;
3. Bahwa putusan tentang perubahan UUD adalah sah apabila disetujui oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota MPR yang hadir.

jika di lihat dari sisi persyaratan kuorum sidang yang harus dihadiri oleh
2/3 (66,66%) dari jumlah anggota majelis, maka sebenarnya cara perubahan
demikian dapat dilakukan tergolong sulit, karena kurang dari satu orang anggota
saja yang tidak hadir dalam kuorom dapat dinyatakan tidak sah. Selanjutnya
pelaksanaan perubahan konstitusi diatur dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat No.II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Tap ini sebagai pedoman majelis
alam melaksanakan tugas dan wewenangnya termasuk melaksanakan perubahan
UUD 1945.

Sedangkan cara Perubahan UUD 1945 Menurut Pasal 37 Amandemen


keempat pada prinsipnya tidak ada perbedaan sebelum dan sesudah perubahan
UUD 1945 mengenai kewenangan MPR dalam melakukan perubahan undang
undang dasar. Perbedaannya terletak pada prosedur dan jumlah kuorum. Menurut
Pasal 37 UUD 1945 Amandemen keempat yang menyebutkan :

(1) “Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan


dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh
sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat”.
(2) “Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara
tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah
beserta alasannya”
(3) “Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
(4) “Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan
dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu
anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
(5) “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak
dapat dilakukan perubahan”.

Selain tata cara perubahan menurut pasal 37 tersebut, juga diamanatkan


melalui Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Kontitusi.
Akan tetapi, Komisi Konstitusi ini tidak berwenang mengubah UUD, Menurut
pasal 3 ayat I UUD 1945 yaitu yang berwenang mengubah UUD adalah MPR.
Komisi Konstitusi ini terbentuk karena ada desakan dari masyarakat yang
menghendaki agar perubahan UUD 1945 dilakukan oleh lembaga di luar majelis.

Apabila kita melihat ketentuan pasal 37 UUD 1945 setelah amandemen


dan ketetapan MPR No.1/MPR/2002 tentang perubahan yang di atur dalam UUD
1945 telah memenuhi kriteria cara perubahan konstitusi. Cara perubahan
konstitusi UUD 1945 setelah amandemen telah mengikuti cara perubahan yang
seusia dengan yuridis formal, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
konstitusi dan melalui lembaga perwakilan rakyat yang bernama Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Sementara Prosedur perubahan konstitusi dengan jalur formal yang


digunakan oleh Swiss adalah menggunakan Referendum atau plebisit.
Referendum adalah semacam hak veto rakyat terhadap keputusan-keputusan
tertentu Parlemen dan bersifat reaktif. Walaupun Parlemen merupakan lembaga
legislatif yang mempunyai kewenangan membuat undang-undang, namum
masyarakat Swiss mempunyai hak untuk melakukan intervensi kepada Parlemen,
baik dalam hal pembuatan undang-undang, perubahan konstitusi maupun
keikutsertaan Negara untuk menjadi anggota suatu organisasi internasional.
Referendum dalam Konstitusi federal Swiss diatur dalam Pasal 138 sampai 139
Konstitusi Swiss 1999. Keputusan perubahan konstitusi federal diserahkan kepada
rakyat melalui referendum. Perubahan konstitusi dapat dilakukan secara total
maupun sebagian. Untuk perubahan secara total harus mengikuti ketentuan
undang-undang federal yang dapat diusulkan oleh sebagian anggota sidang dewn
federal atau seratus ribu warga Negara Swiss yang memiliki hak suara. Sedangkan
perubahan konstitusi sebagian dapat dilakukan dengan inisiatif biasa berupa
permintaan yang diajukan pleh seratus ribu warga Negara Swiss yang memiliki
hak suara.

3. Tingkat kesulitan Perubahan Konstitusi

Berdasarkan tingkat kesulian perubahan konstitusi maka konstitusi dapat


diklasifikasikan bersifat luwes (flexible) atau kaku (Rigid). Ukuran yang biasanya
dipakai para ahli untuk menentukan suatu konstitusi bersifat luwes atau kaku
adalah : (i) apakah terhadap naskah konstitusi dimungkinkan dilakukan perubahan
dan apakah cara mengubahnya mudah atau sulit, dan (ii) apakah naskah konstitusi
itu mudah atau tidak mudah mengikuti perkembangan zaman. Apabila Prosedur
perubahan undang-undang dasar diatur sedemikian berat dan rumit syarat-
syaratnya maka termasuk rigid atau kaku. Sebaliknya bila undang-undang dasar
yang mensyaratkan tata cara perubahan tidak terlalu berat dengan pertimbangan
tidak mempersulit perubahan sehingga undang-undang dasar dapat disesuaikan
dengan tuntutan perubahan zaman maka termasuk konstitusi yang fleksibel atau
luwes. James Bryce dalam bukunya yang berjudul “Studies in History and
Jurisprudence” sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri menjelaskan tentang ciri-
ciri pokok yang rigis antara lain mempunyai kedudukan dan derajat lebih tinggi
dari peraturan perundang-undangan yang lain, hanya dapat diubah dengan cara
yang khusus atau istimewa seperti persetujuan rakyat dalam referendum atau
keputusan legislatif dengan suara terbanyak mutlak.

Untuk naskah konstitusi yang bersifat luwes, perubahan undang-undang


dasarnya tidak memerlukan cara yang istimewa melainkan cukup dengan lembaga
pembuat-undang-undang biasa dan persyaratannya mudah, perubahan konstitusi
dapat dilakukan jika lebih dari setengah jumlah anggota yang hadir atau cukup
dilakukan dengan jalur setingkat undang-undang. Sedangkan konstitusi yang rigid
perubahannya dapat dilakukan :

(1) Oleh Lembaga legislatif tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu;


(2) Oleh rakyat secara langsung melalui suatu referendum;
(3) Oleh utusan-utusan Negara bagian, khusus di Negara-Negara serikat;
(4) ketatanegaraan atau oleh suatu lembaga Negara yang khusus dibentuk
untuk keperluan perubahan.

Ada beberapa alasan mengapa Negara-Negara lebih suka memakai


kontitusi rigid karena pertimbangan faktor keinginan para pembentuk konstitusi
untuk mempertahankan cita-cita fundamental mereka yang menjadi alasan atau
latar belakang dibentuknya Negara tersebut.

Dalam Konstitusi Indonesia Pasal 37 UUD 1945 sebelum amandemen,


prosedur perubahan konstitusinya termasuk bersifat fleksibel karena perubahan
undang-undang dasar dapat dilakukan dengan dukungan tidak melebihi setengah
dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Kemudian dalam
pasal 37 UUD 1945 setelah amandemen keempat mekanisme prosedur perubahan
sedikit diperberat dengan dicantumkan ketentuan yang menegaskan untuk
perubahan pasal undang-undang dasar hanya dapat dilakukan apabila disetujui
oleh lebih dari separuh jumlah anggota MPR.

Berbeda dengan prosedur perubahan konstitusi federal Negara Swiss yang


bersifat rigid. diatur dalam pasal 138 sampai dengan pasal 139 Konstitusi Swiss.
Amandemen konstitusi memerlukan persetujuan dari mayoritas rakyat dan kanton.
Keputusan perubahan konstitusi federal diserahkan kepada rakyat melalui
referendum. Referendum adalah semacam hak veto rakyat terhadap keputusan-
keputusan tertentu parlemen dan bersifat reaktif. Walaupun Parlemen merupakan
lembaga legislatif yang mempunyai kewenangan membuat undang-undang,
namun masyarakat Swiss mempunyai hak melakukan intervensi kepada Parlemen,
baik dalam pembuatan undang-undang, perubahan konstitusi dan keikutsertaan
Negara untuk menjadi anggota organisasi internasional.

Sistem referendum ini terdiri dari dua macam yaitu referendum obligatur
berupa pemungutan suara secara langsung oleh rakyat yang berhak mengeluarkan
suara guna dimintai persetujuannya terhadap peraturan perundang-undangan yang
baru. Yang kedua adalah referendum fakultatif yaitu referendum yang
dilaksanakan untuk meminta pendapat rakyat apakah suatu peraturan perundang-
undangan yang sedang berlaku masih tetap dapat dipertahankan, atau perlu
dirubah, atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru dan
bersifat representatif.

Perubahan konstitusi dapat dilakukan secara total atau sebagian. Cara


perubahan secara total harus mengikuti ketentuan undang-undang federal yang
diusulkan oleh sebagian anggota sidang dewan federal atau seratus ribu warga
Negara yang mempunyai hak suara. Sedangkan perubahan konstitusi sebagian
dapat dilakukan dengan inisiatif biasa, berupa permintaan yang diajukan oleh
seratus ribu warga Negara Swiss yang memiliki hak suara.

B. Perbandingan Berdasarkan Bentuk Pemerintahan

Bentuk pemerintahan Indonesia adalah Republik bukan kerajaan


(monarchi). Semenjak Indonesia merdeka dan membentuk Negara modern yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, bentuk pemerintahan yang dipilih
adalah republik. Hal tersebut dikarenakan falsafah dan kultur politik yang bersifat
kerajaan yang didasarkan pada sistem feodalisme dan paternalisme tidak
dikehendaki oleh bangsa Indonesia modern. Bangsa Indonesia menghendaki
Negara modern dengan pemerintahan res republica.

Bentuk pemerintahan Negara Indonesia dengan Negara Swiss sama-sama


berbentuk republik dimana Negara dikepalai oleh presiden sebagai kepala Negara
untuk masa jabatan tertentu. Dalam bentuk pemerintahan republik, kepala
pemerintahan dan kepala Negara ada di tangan Presiden. Namun ada beberapa
perbedaan bila dilihat dari bentuk pemerintahan antara Indonesia dengan Swiss
antara lain :

Masa jabatan Presiden Indonesia Berdasarkan Pasal 7 UUD RI 1945


setelah amandemen menyatakan bahwa untuk jabatan presiden dan wakil presiden
memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam
jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Sedangkan untuk masa
jabatan Presiden dan wakil Presiden di Swiss berdasarkan Pasal 176 ayat 2
Konstitusi Swiss 1999 adalah satu tahun. Jabatan Presiden di Swiss digilir di
antara para Menteri Kabinet yang berjumlah 7 orang.

Presiden di Indonesia dalam menjalankan pemerintahannya menunjuk dan


membentuk kabinet yang akan membantu dan mendukung presiden dalam
menjalankan pemerintahannya dalam jumlah yang besar. Namun pembentukan
kabinet di Swiss hanya terdiri dari 7 orang Menteri Kabinet dipilih oleh Majelis
Federal. Jumlah menteri termasuk presiden dan wakil presiden hanya tujuh orang.
Mereka disebut sebagai Federal Council atau Dewan Federal. Masa jabatan dewan
federal selama empat tahun. Mereka dipilih oleh DPR dengan mempertimbangkan
komposisi partai yang ada di parlemen. Dengan demikian, parlemen Swiss juga
tidak mengenal sistem oposisi sebagaimana di parlemen Negara Eropa lainnya.

C. Perbandingan Berdasarkan Bentuk Negara

Secara garis besar bentuk Negara di dunia terbagi menjadi :

Negara Kesatuan dapat disebut sebagai Negara unitaris adalah Negara


yang tidak tersusun dari beberapa Negara melainkan hanya terdiri atas satu
Negara sehingga tidak ada Negara dalam Negara. Dalam Negara kesatuan hanya
ada satu pemerintah yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan dan
wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan Negara, menetapkan kebijakan
pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan baik di pusat maupun didaerah.
Pemerintah pusat memegang kedaulatan sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke
luar. Hubungan antara pemerintah pusat dengan rakyat dan daerahnya dapat
dijalankan secara langsung. Dalam Negara kesatuan hanya ada satu konstitusi,
satu kepala Negara, satu dewan menteri (kabinet), dan satu parlemen. Negara
kesatuan dapat dibedakan menjadi dua macam sistem, yaitu Sentralisasi, dan
Desentralisasi.

Negara Serikat adalah Negara bersusunan jamak, terdiri atas beberapa


Negara bagian yang masing-masing tidak berdaulat. Kendati Negara-Negara
bagian boleh memiliki konstitusi sendiri, kepala Negara sendiri, parlemen sendiri,
dan kabinet sendiri, yang berdaulat dalam Negara serikat adalah gabungan
Negara-Negara bagian yang disebut Negara federal. Setiap Negara bagian bebas
melakukan tindakan ke dalam, asal tak bertentangan dengan konstitusi federal.
Tindakan ke luar (hubungan dengan Negara lain) hanya dapat dilakukan oleh
pemerintah federal. Ciri-ciri Negara serikat federal yaitu :

1. Tiap Negara bagian memiliki kepala Negara, parlemen, dewan menteri


(kabinet) demi kepentingan Negara bagian;
2. Tiap Negara bagian boleh membuat konstitusi sendiri, tetapi tidak boleh
bertentangan dengan konstitusi Negara serikat;
3. Hubungan antara pemerintah federal (pusat) dengan rakyat diatur melalui
Negara bagian, kecuali dalam hal tertentu yang kewenangannya telah
diserahkan secara langsung kepada pemerintah federal.

Jika dilihat dari sejarah ketatanegaraan berdasarkan konstitusi maka bentuk


Negara Indonesia telah mengalami perubahan bentuk Negara beberapa kali
sebagai berikut :

1. Pada masa UUD 1945 yang pertama

Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 yang asli bahwa : “Negara Indonesia ialah
Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”.[45] Berdasarkan UUD 1945
original dapat disimpulkan bahwa pada masa diberlakukannya UUD yang
pertama, bahwa bentuk Negara Indonesia adalah berbentuk Negara kesatuan.
Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 Indonesia menganut bentuk Negara kesatuan
dengan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi. Namun pada pelaksanaannya
berdasarkan Undang-undang organik dari pasal 18 UUD 1945 yaitu Undang-
undang Nomor 22 tahun 1948 Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan
Daerah pada Konsideran bagian Menimbang beserta pasal-pasalnya hanya
mengatur pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah-daerah otonom saja.

2. Pada masa Konstitusi RIS 1949

Konstitusi RIS 1949 adalah konstitusi Negara federasi dengan sistem


parlementer yang masih bersifat sementara. Materi pasal konstitusi RIS telah
memenuhi kriteria menjadi konstitusi demokratik karena memuat tiga pokok
penting dalam UUD yakni jaminan terhadap HAM, ditetapkannya susunan
ketatanegaraan yang bersifat mendasar dan adanya pembagian dan pembatasan
tugas-tugas ketataNegaraan yang bersifat mendasar. Meskipun masa berlaku
Konstitusi RIS 1949 ini singkat dari tanggal 27 Desember 1949 – 17 Agustus
1950 namun apabila dilihat dari latar belakang anggota Panita pembuat konstitusi
RIS yaitu para teknokrat pejuang Republik Indonesia, teknokrat akademisi
Belanda, dan teknokrat BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overlag/ Wilayah
Indonesia yang akan menjadi anggota RIS) maka konstitusi RIS termasuk produk
karya intelektual. Dalam Bab V pasal 188 Konstitusi RIS diatur pembuatan UUD
yang mencantumkan perlunya diangkat keanggotaan Konstituante yang bersifat
ad-hoc. Pasal-pasal dalam konstitusi RIS tersusun secara sistematik, rapi dan
rasional serta adanya bab Lampiran sedemikian rinci yang bisa dijadikan rujukan
dalam pembuatan undang-undang agar tidak terjadi tumpang tindih.

Berdasarkan pasal 1 Konstitusi RIS 1949 maka indonesia pernah


berbentuk Negara serikat (Federal). Republik Indonesia Serikat merupakan
Negara serikat yang terdiri dari Negara-Negara bagian sebagai berikut :

Negara Republik Indonesia, dengan daerah menurut status quo seperti


tersebut dalam persetujuan Renville tanggal 17 Januari 1948; Negara Indonesia
Timur; Negara Pasundan; termasuk Distrik Federal Jakarta, Negara Jawa Timur,
Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dengan pengertian bahwa status quo
Asahan dan Labuhan Batu berhubungan dengan Negara Sumatera Timur tetap
berlaku; Negara Sumatera Selatan;

Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri : Jawa Tengah, Bangka,


Belitung, Riau, Kalimantan Barat (Daerah Istimewa),Dayak Besar, Daerah Banjar,
Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timor a dan b ialah daerah-daerah bagian
yang dengan kemerdekaan menentukan nasib sendiri bersatu dalam ikatan federasi
Indonesia Serikat.

Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.

Dalam Negara federasi, Negara-Negara bagian berhak memiliki undang-


undang dasar sendiri. Dengan demikian dalam Negara Republik Indonesia serikat
ada dua jenis undang-undang dasar yaitu Undang-Undang Dasar atau Konstitusi
Negara Federasinya dan Undang-Undang Dasar Negara Bagian, namun dalam
kurun kurun waktu berlakunya Konstitusi (Sementara) Republik Indonesia (tahun
1949); baru Negara Bagian Republik Indonesia (Proklamasi Yogyakarta) yang
telah memiliki UUD yaitu tetap menggunakan UUD 1945 sebagai Undang-
Undang Dasarnya. Dalam Konstitusi RIS1949 pengaturan dan ketentuan
mengenai pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah tidak ada karena hal
tersebut memang diatur dalam UUD Negara-Negara bagian. Dalam hal ini Negara
Bagian Republik Indonesia (Proklamasi Yogyakarta) tetap menggunakan Undang-
Undang Nomor 22 tahun 1948 Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan
Daerah.
3. Pada masa UUD Sementara Republik Indonesia1950

UUD sementara 1950 dilatarbelakangi oleh semangat mengembalikan


integritas Republik Indonesia menjadi Negara kesatuan sebagaimana yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Meskipun Belanda berusaha
memecah belah Negara Kesatuan republik Indnoesia dengan mendirikan Negara-
Negara bagian namun usaha tersebut gagal, terbukti dengan bersatunya Negara-
Negara bagian tersebut menjadi republik Indonesia serikat atau tergabung dalam
Negara federasi. Atas semangat itulah maka dilakukanlah perubahan Konstiusi
RIS 1949 menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950
(UUDS RI 1950) mengenai seluruh Negara bagian atau daerah yang tergabung
dalam Republik Indonesia Serikat untuk dirubah mengenai bentuk susunan
Negaranya dari Negara yang berbentuk federasi menjadi Negara yang berbentuk
kesatuan. UUDS RI 1950 berlaku resmi mulai tanggal 17 Agustus 1950
menggantikan Konstitusi RIS 1949 dan berakhir setelah dikeluarkannya Dekrit
Presiden (Soekarno) 5 Juli 1959 yang mana menetapkan kembali berlakunya
UUD 1945.

Perubahan tersebut dilakukan dengan Undang-Undang Federal yang


dibentuk Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat
yaitu dengan membentuk Undang-Undang Federal Nomor 7 tahun 1950 tentang
Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia serikat menjadi Undang-
Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Dengan diberlakukannya Undang-
Undang Federal Nomor 7 tahun 1950 maka nasib sebuah federasi terkubur dengan
terbentuknya Negara kesatuan yang baru dengan sebuah konstitusi yang baru
yaitu UUDS RI 1950. Mengenai pemerintahan daerah dalam UUDS RI 1950
menegaskan dengan jelas tentang sistem pemerintahan daerah dengan otonomi
yang luas yang diberikan kepada masing-masing daerah. Dalam Pasal 131 UUDS
RI 1950 diatur ketentuan mengenai pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah. Dalam Pasal 131 UUDS RI 1950 menentukan sebagai berikut :

1. Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang berhak
mengurus rumah tangganya sendiri (otonom), dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang
dan mengingati dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam
sistem pemerintahan Negara;
2. Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus
rumah tangganya sendiri;
3. Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas
kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah
tangganya.
Pada Pasal 131 ayat 1 UUDS RI 1950 menghendaki dibentuknya suatu
undang-undang organik untuk mengatur pelaksanaan penyelenggaraan
pemerintahan di daerah-daerah tersebut, namun kenyataannya undang-undang
organik tersebut tidak segera dibentuk sehingga berdasarkan peraturan peralihan
pasal 142 UUDS 1950 maka peraturan perundang-undangan yang sudah ada tetap
berlaku selama belum ada ketentuan yang mencabut, menambah atau
merubahnya. Berdasarkan ketentuan tersebut maka Undang-Undang Nomor 22
tahun 1948 masih tetap berlaku dengan diadakan penyesuaian. Undang undang
organik mengenai pemerintahan daerah sebagaimana dikehendaki pasal 131
UUDS RI 1950 baru dapat dibentuk pada tahun 1957 yaitu Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Sesuai
ketentuan ayat 2 pasl 131 UUDS RI 1950 maka Undang-Undang Nomor 1 tahun
1957 menganut prinsip otonomi seluas-luasnya. Undang-Undang Nomor 1 tahun
1957 iniseperti halnya dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 yang hanya
mengatur tentang pemerintahan daerah yang bersifat otonom dan tetap dikandung
maksud menghapus daerah-daerah administrasi. Melalui Undang-Undang Nomor
1 tahun 1957 diperkenalkan pula konsepsi tentang sistem otonomi yang riil yaitu
suatu sistem penyelenggaraan desentralisasi yang berdasarkan faktor-faktor yang
nyata sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari daerah-daerah
maupun pusat serta disesuaikan dengan pertumbuhan kehidupan masyarakat yang
tengah berlangsung.

4. Pada masa kembali lagi ke UUD 1945 hingga perubahannya sampai sekarang

Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno menetapkan Dekrit Presiden


yang terkenal dengan nama Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dimana salah satu
materinya adalah menetapkan kembali UUD 1945 Asli sebagai Konstitusi Negara.
UUD 1945 dari Era Orde lama sampai dengan UUD 1945 amandemen keempat
tetap konsisten mengenai bentuk Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan.
Dalam Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 Amandemen dinyatakan yaitu : Negara
Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk republik. Dengan berlakunya
kembali UUD 1945 (kurun waktu mulai tanggal 5 Juli 1959 pada masa orde lama)
maka pengaturan mengenai pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan
ketentuannya dikembalikan ke pasal 18 UUD 1945 yang menghendaki
dilaksanakannya asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan juga asas
pembantuan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Namun karena situasi politik yang tidak memungkinkan dan berbagai
permasalahan keNegaraan menyebabkan terjadinya kekosongan hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Pada masa Orde Baru dibentuk Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974


tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah sebagai sebagai undang-undang
organik dari Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur mengenai pelaksanaan politik
desentralisasi, politik dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Namun pada
pelaksanaan dan penyelenggaraannya sejak tahun 1974 hingga tahun 1992
mengalami hambatan terutama ketentuan pasal 11 Undang-Undang Nomor 5
tahun 1974 mengenai titik berat otonomi daerah pada Daerah Tingkat II.

Memasuki masa reformasi dihapuslah Undang-Undang Nomor 5 tahun


1974 dan dibentuklah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 ini telah mengubah
paradigma sentralisasi pemerintahan ke arah desentralisasi dengan pemberian
otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggungjawab kepada daerah.Undang-
Undang tersebut memberikan kewenangan yang luas namun bertanggung jawab
kepada daerah dan menitikberatkan pada pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah. Namun pelaksanaannya kurang efektif karena banyak pasal yang
berkaitan dengan pendelegasian wewenang harus diatur lebih lanjut oleh peraturan
perundang-undangan lain yang lebih rendah dan pelaksanaan undang undang ini
harus menunggu dua tahun kedepan. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 ini
tampaknya tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan ketataNegaraan
sehingga diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.

Setelah menjelaskan bentuk Negara yang digunakan di Indonesia akan


dibahas mengenai bentuk Negara Swiss dimana menjadi Negara Federal semenjak
tahun 1848 karena Swiss Mengadopsi konstitusi Federal. Pada tahun 1999,
Konstitusi Swiss 1874 telah digantikan oleh Konstitusi Baru (berlaku sejak 1 Jan
2000) mengintegrasikan sekitar 150 revisi kecil menjadi teks, baru konsolidasi
tanpa secara radikal mengubah struktur Federasi Swiss. Berdasarkan Pasal 1
Konstitusi Swiss 1999 menyatakan bahwa Rakyat Swiss dan kanton Zurich, Bern,
Lucerne, Uri, Schwyz, Obwald, Nidwald, Glarus, Zug, Fribourg, Solothurn,
Basel-Kota, Basel-Land, Schaffhausen, Appenzell Outer Rhodes, Appenzell Inner
-Rhodes, St Gall, Grisons, Aargau, Thurgau, Ticino, Vaud, Valais, Neuchatel,
Jenewa, dan Jura membentuk Federasi Swiss. Berdasarkan konstitusi Swiss 1999
maka Swiss adalah Negara federasi yaitu Nationalrat yaitu semacam dewan
perwakilan rakyat dan standerat semacam senat. Kedudukan kanton (semacam
Negara bagian) sangat kuat dalam struktur Negara di Swiss. Kanton merupakan
komunitas politik yang memiliki otonomi yang sangat luas. Setiap kanton terdiri
dari beberapa Komune. Tugas dan fungsi Pemerintah Federal secara tegas
ditentukan dalam Konstitusi Federal seperti kebijakan luar negeri, pertahanan, dan
keamanan, kebijakan moneter, bea cukai, pos, telegrap dan telekomunikasi serta
menetapkan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang menyangkut
kepentingan umum seluruh warga Negara Swiss. Kanton sendiri memiliki
pemerintahan, konstitusi, parlemen dan pengadilan sendiri, dan secara bebas
mengatur pemerintahan masing-masing. Pemerintah Federal sama sekali tidak
mencampuri urusan-urusan yang secara tegas ditentukan dalam Konstitusi
Federal. Meskipun politik luar negeri merupakan wewenang pusat, namun dalam
beberapa hal, masing-masing Kanton juga diberi wewenang untuk melakukan
hubungan luar negeri seperti mengadakan perjanjian dengan Negara lain,
sepanjang hal tersebut diketahui oleh Pemerintah Pusat dan tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Federal.

D. Perbandingan Berdasarkan Model Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan Negara yang paling dikenal di dunia yaitu :

1. Sistem Pemerintahan Presidensiil

Sistem pemerintahan dikatakan presidensiil apabila (a) kedudukan kepala


Negara tidak terpisah dari jabatan kepala pemerintahan, (b) kepala Negara tidak
bertanggung jawab terhadap parlemen melainkan bertanggung jawab terhadap
rakyat yang memilihnya, (c) presiden tidak berwenang membubarkan parlemen,
(d) kabinet sepenuhnya bertanggung jawab kepada presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan Negara atau sebagai administrator yang tertinggi.

2. Sistem Pemerintahan Parlementer atau sistem Kabinet

Sistem pemerintahan dikatakan parlementer apabila (a) sistem


kepemimpinannya terbagi dalam jabatan kepala Negara dan kepala pemerintahan
sebagai dua jabatan yang terpisah, (b) jika sistem pemerintahannya ditentukan
harus bertanggung jawab kepada parlemen, (c) kabinet dapat dibubarkan apabila
tidak mendapat dukungan parlemen, (d) parlemen juga dapat dibubarkan oleh
pemerintah apabila dianggap tidak memberikan dukungan kepada pemerintah.

3. Sistem Pemerintahan Campuran

Dinamakan dengan sistem pemerintahan campuran karena terdapat sistem


pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer yang diterapkan
secara bersama-sama. Apabila sistem pemerintahan presidennya lebih menonjol
maka disebut sistem pemerintahan quasi- presidensiil. Apabila sistem
pemerintahan parlemennya lebih menonjol disebut sistem quasi parlementer.

4. Sistem Pemerintahan Kolegial

Selain ketiga sistem pemerintahan diatas masih ada satu sistem


pemerintahan yang unik yang diterapkan di Swiss yaitu Sistem Pemerintahan
Kolegial. Sistem pemerintahan kolegial adalah sistem pemerintahan dimana
kepemimpinan Negara dan pemerintahan dilaksanakan secara bersama sama.
Dalam Sistem pemerintahan kolegial di Swiss, tujuh orang anggota Dewan
Federal yang dipilih oleh parlemen ini secara bersama sama memimpin Negara
dan pemerintahan Swiss. Ketujuhnya berstatus menteri, mengepalai departemen,
dan untuk jabatan presiden dan wakil presiden di Swiss dipilih oleh tujuh anggota
dewan federal untuk masa jabatan secara bergantian setiap tahun.

Keunikan dari sistem pemerintahan kolegial yang diterapkan di Swiss


ialah tidak ada orang yang sangat berkuasa, tetapi juga tidak ada orang yang
paling berat menanggung tugas kewajiban. Semuanya ditanggung bersama karena
kepemimpinan bersifat kolegial. Presiden Swiss bukanlah orang paling berkuasa
sebagaimana dalam Negara bersistem presidensial. Sistem demikian ini sudah
berjalan sejak konstitusi Swiss modern disahkan tahun 1848. Sistem ini untuk
mencegah terjadinya otoriter serta kekuasaan yang terus-menerus dan sewenang-
wenang.

Untuk Indonesia semenjak awal pembentukan UUD 1945 dan berdasarkan


keinginan para perancang UUD 1945 menggunakan sistem pemerintahan
presidensiil namun Apabila ditelaah secara seksama dalam sejarah tatakeNegaraan
kita, sistem presidensiil yang dianut di Indonesia adalah tidak murni. Pada
Konstitusi UUD 1945 Original dikatakan bahwa sistem pemerintahannya berupa
sistem pemerintahan presidensiil. Namun apabila kita lihat Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi Negara dan juga
lembaga parlemen yang diberi kewenangan yang luas salah satunya dengan
membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang harus dilaksanakan
oleh presiden sehingga presiden harus bertanggung jawab kepada MPR. MPR
juga diberi wewenang untuk memberhentikan presiden di tengah masa jabatannya
kaitannya dengan tuduhan pelanggaran haluan Negara. Presiden di posisikan
sejajar dengan lembaga tinggi Negara dalam UUD 1945 original sehingga seakan
akan diposisikan setara dengan fungsi perdana menteri seperti yang berlaku pada
sistem parlementer. dalam prakteknya banyak bagian-bagian dari sistem
pemerintahan parlementer yang masuk ke dalam sistem pemerintahan di
Indonesia. Sehingga secara singkat bisa dikatakan bahwa sistem pemerintahan
yang berjalan di Indonesia adalah sistem pemerintahan yang merupakan gabungan
atau perpaduan antara sistem pemerintahan presidensiil dengan sistem
pemerintahan parlementer. Sistem pemerintahan seperti ini justru mencerminkan
sistem pemerintahan campuran (quasi presidensiil).

Kemudian apabila kita melihat dalam UUD 1945 amandemen keempat


dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah tidak lagi ditempatkan
menjadi lembaga penjelmaan rakyat serta menempatkan DPR sebagai lembaga
legislatif yang juga memiliki kewenangan dan kekuasaan yang terlalu besar dan
membatasi kekuasaan presiden yang menyebabkan sistem presidensiil menjadi
tidak efektif. Hal ini menjadikan sistem pemerintahan di Indonesia kembali
menjadi tidak jelas apakah akan tetap menganut sistem pemerintahan presidensiil
atau parlementer.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai materi muatan Konstitusi di Negara Indonesia dan


Negara Swiss dari segi prosedur perubahan konstitusi, bentuk pemerintahan,
bentuk Negara, sistem pemerintahannya maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Dari Segi prosedur perubahan konstitusi

Bahwa secara formal perubahan UUD 1945 dari yang pertama hingga
perubahan keempat UUD 1945 secara formal mengikuti sistem amandemen
dimana konstitusi yang lama berupa pembukaan UUD 1945 masih tetap berlaku
dan beberapa ketentuan seperti penjelasan dalam UUD 1945 Asli sudah tidak ada
dan tidak berlaku lagi, yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang baru dalam
pasal-pasal perubahan UUD 1945 yang telah diamandemen walaupun materi
jumlah muatan perubahan lebih besar dari pada naskah aslinya namun sedikit
banyaknya perubahan ketentuan konstitusi bukan merupakan penentu sistem
amandemen. Mengenai cara perubahan konstitusi UUD 1945 dilakukan dengan
cara Yuridis Formal sebagaimana telah memenuhi ketentuan yang diatur dalam
konstitusi yaitu pasal 37 UUD 1945 sebelum Perubahan dan Pasal 37 UUD 1945
setelah amandemen keempat. Pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara sebelum
dan sesudah Amandemen UUD 1945 dimana MPR tetap sebagai lembaga yang
berwenang untuk merubah UUD 1945 meskipun dengan struktur yang sudah
diubah. Perbedaannya hanya pada prosedur dan jumlah kuorum saja. Dari segi
prosedur perubahan konstitusi maka berdasarkan pasal 37 Undang-Undang Dasar
1945 amandemen keempat mekanisme prosedur perubahan konstitusi di Indonesia
sedikit diperberat dengan dicantumkan ketentuan yang menegaskan untuk
perubahan pasal undang-undang dasar hanya dapat dilakukan apabila disetujui
oleh lebih dari separuh jumlah anggota MPR. Berbeda dengan prosedur perubahan
konstitusi federal Negara Swiss yang bersifat rigid. Prosedur perubahan konstitusi
di Swiss diatur dalam pasal 138 sampai dengan pasal 139 Konstitusi Swiss.
Amandemen konstitusi memerlukan persetujuan dari mayoritas rakyat dan kanton.
Keputusan perubahan konstitusi federal diserahkan kepada rakyat melalui
referendum.
2. Dari bentuk pemerintahan

Mengenai Bentuk pemerintahan Negara Indonesia dengan Negara Swiss


sama-sama berbentuk republik dimana Negara dikepalai oleh presiden sebagai
kepala Negara untuk masa jabatan tertentu. Dalam bentuk pemerintahan republik,
kepala pemerintahan dan kepala Negara ada di tangan Presiden. Namun
perbedaannya adalah tampak pada masa jabatan, dan jumlah anggota kabinet. Di
Indonesia berdasarkan Pasal 7 UUD RI 1945 setelah amandemen maka jabatan
presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya
dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa
jabatan. Sedangkan untuk masa jabatan Presiden dan wakil Presiden di Swiss
berdasarkan Pasal 176 ayat 2 Konstitusi Swiss 1999 adalah satu tahun. Jabatan
Presiden di Swiss digilir di antara para Menteri Kabinet yang berjumlah 7 orang.
Presiden di Indonesia dalam menjalankan pemerintahannya menunjuk dan
membentuk kabinet yang besar untuk membantu dan mendukung presiden dalam
menjalankan pemerintahannya. Sedangkan pembentukan kabinet di Swiss hanya
terdiri dari 7 orang Menteri Kabinet (dewanfederal) dipilih oleh Majelis Federal
(parlemen). Jumlah menteri termasuk presiden dan wakil presiden hanya tujuh
orang. Hal ini merupakan salah satu kelebihan Swiss dalam meminimalkan
jumlah kabinet sehingga dapat menghemat pengeluaran Negara. Sumber daya
Manusia di Swiss benar-benar dioptimalkan untuk membangun Negara.

3. Dari bentuk Negara

Menurut Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 amandemen dinyatakan bahwa bentuk


Negara Indonesia adalah Negara kesatuan. Sedangkan bentuk Negara Swiss
adalah Negara Serikat/Federal semenjak tahun 1848 karena Swiss Mengadopsi
konstitusi Federal. Lepas dari perbedaan bentuk Negara pada dasarnya terdapat
persamaan antara Negara serikat/federal dan Negara kesatuan yaitu bersistem
desentralisasi, Pemerintah pusat sebagai pemegang kedaulatan ke luar, Sama-
sama memiliki hak mengatur daerah sendiri (otonomi). Yang membedakannya
ialah mengenai asal-asul hak mengurus rumah tangga sendiri itu. Pada Negara
bagian, hak otonomi itu merupakan hak aslinya, sedangkan pada daerah otonom di
Negara kesatuan, hak itu diperoleh dari pemerintah pusat.

4. Dari sistem pemerintahan

Meskipun kesepakatan dasar dalam Konstitusi Indonesia yang terakhir berupa


UUD 1945 amandemen keempat salah satunya adalah mempertegas sistem
pemerintahan presidensiil namun pada kenyataannya konstitusi UUD 1945
amandemen keempat justru memperkuat kedudukan DPR (bagian dari parlemen)
sebagai lembaga legislatif dan membatasi kewenangan presiden. Hal ini
menyebabkan sistem pemerintahan di Indonesia menjadi tidak jelas. Apabila telah
sepakat untuk mempertegas sistem pemerintahan presidensiil maka dalam
konstitusi Indonesia harus diatur kembali mengenai sistem pemerintahan
presidensiil yang murni sehingga penataan hubungan dan kewenangan antara
legislatif dan eksekutif menjadi lebih jelas. Berbeda dengan sistem pemerintahan
di Swiss yang menggunakan sistem pemerintahan Kolegial tampak lebih stabil
dengan kepemimpinannya secara bersama-sama oleh tujuh dewan federal
termasuk didalamnya presiden dan wakil presidennya. Seluruh anggota Dewan
Federal dianggap sebagai Kepala Negara kolektif.

B. Saran

Pemerintah dalam hal perubahan Konstitusi hendaknya membuat suatu


rumusan konstitusi yang efektif sehingga tidak terjadi pembatalan. Hendaknya
dalam perumusan perubahan konstitusi sebelum disahkan dan diberlakukan secara
efektif harus diajukan dahulu ke Mahkamah Konstitusi untuk diadakan pengujian
dan pengkajian terkait substansi hukumnya.

Anda mungkin juga menyukai