Anda di halaman 1dari 203

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

PENERAPAN
HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH
MAHKAMAH SYARIYAH
DI ACEH

Nur Moklis,S.H.I.,S.Pd. dan Agus Sanwani Arif,S.H.I

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

PENERAPAN HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH


MAHKAMAH SYARIYAH DI ACEH
Copyright@Nur Moklis & Agus Sanwani Arif

Penyusun:
Nur Moklis,S.H.I.,S.Pd. dan Agus Sanwani Arif,S.H.I

Desain Cover:
Ahmad Abdul Halim,S.H.I

Tata Letak:
Ahmad Mufid Bisri,S.H.I

Edisi I
Nopember 2012

Dipublikasikan secara Online


Email:
nurmoklis@yahoo.com
agussanwaniarif@yahoo.com

Dipersilahkan mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini, guna kepentingan akademik,
karya ilmiyah atau sejeninya. Dilarang mengutipnya baik sebagian atau seluruhnya untuk
kepentingan komersial atau sejenisnya.

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh

Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufiq, hidayah dan inayah-Nya kepada kita dalam menjalankan aktifitas sehari-hari.
Showalat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Agung akhir
zaman Muhammad SAW.
Kami

berdua

sengaja

menyusun

E-BOOK

PENERAPAN

HUKUM

ACARA

PIDANA/JINAYAT MAHKAMAH SYARIYAH DI ACEH dalam sebuah buku guna memudahkan


kami dan para pembaca mempelajari hukum acara pidana/jinayah yang menjadi
kompetensi Mahkamah Syariyah Aceh sebagaimana amanat Undang-Undang Republik
Indonesia No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh pasal 128 ayat 3 menyebutkan
Mahkamah Syariyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum
perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syariat Islam.
Terkait hal tersebut kami berdua yang saat diklat II calon hakim angkatan VII di
Megamendung Bogor, bertepatan tanggal 24 september s.d. 28 nopember 2012 berinisiatif
untuk mengumpulkan berbagai makalah, bahan ajar diklat, catatan-catatan saat mengikuti
perkuliahan, juga

hunting buku di perpustakaan badan litbang diklat kumdil MA-RI

tentang hukum acara pidana/jinayah untuk menjadikannya sebuah e-book.


Lebih

tepatnya,

E-BOOK

PENERAPAN

HUKUM

ACARA

PIDANA/JINAYAT

MAHKAMAH SYARIYAH DI ACEH ini adalah sebagai salah satu oleh-oleh(cendramata) yang
kami bawa salama mengikuti pelatihan tersebut. Dalam pelatihan tersebut bayak hal yang
telah kami pelajari seperti hukum acara perdata di Peradilan Agama, termasuk juga hukun
acara ekonomi syariah, hukum materiil peradilan Agama, termasuk didalamnya hukum
materiil ekonomi syariah, hukum acara pidana/ jinayah di mahkamah syariyah di aceh,
hukum pidana/jinayah diaceh dan lainnya. Oleh karena itu kami menyebutnya sebagai
salah satu oleh-oleh (cendramata) dari diklat.
Ucapan terimakasih yang tulus kami sampaikan kepada Ibu Ny. Siti Nur
Jannah,SH.,MH.(Kepala Badan), Ibu Marni,SH.,MH. (Sekretaris Badan), Bapak IG. Agung

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Sumanthana,SH.,MH., Bapak Suwoto, S.H.,M.Pd. Bapak Firman,SH, Bapak Suhenda, Bapak H.


Moch. Amirullah Sholeh,SH.,MH. Dan seluruh Panitia yang tidak dapat kami sebutkan satupersatu.
Terimakasih yang sangat dalam kami sampaikan kepada Bapak-Bapak Dosen yang
telah memberikan pencerahan luar biasa, antara lain Bapak Prof. Dr. H. Abdul
Manan,SH.,S.IP.,M.Hum, Bapak Dr. H. Habiburrahman.S.H.,MH, Bapak Prof. Dr. H. Abdul
Ghani Abdullah,S.H.,MH., Bapak Drs. H. Armia Ibramim,S.H.,MH., Bapak Dr. H. Mukti
Arto.S.H. MH., Bapak Drs. Rum Nessa,SH.,MH. Bapak Dr. H. Qomari,MH., Bapak Dr. H. Ahmad
Mujahidin MH., Bapak Drs. H. Mawardy Amien,MH., Bapak Prof. Dr.H.Hasbi Hasan,SH.,MH
dan lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Semoga amal beliau menjadi
amal jariyah, amien.
Tidak lupa kami juga mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada
sahabat tercinta kami, Sdr. Prasetyo Wibowo Cakim PTUN Jakarta, selama 2 bulan kami
bertiga tinggal bersama di Gedung Sari Lt.3 No.15 dengan sangat harmonis guna mengikuti
diklat II cakim PPC Terpadu angkatan VII. Rekan-rekan dari Pengadilan Agama Kelas 1B
Kudus; Mas Iyan, mas Burhan, Mas Lesta, Mas Halim, Mas Mamat, Mas Kusnoto, Mb. Rica,
Mas Dani, dan Mas Sholichin yang selalu meluangkan waktu untuk belajar bersama-sama .
Rekan-rekan Pengadilan Agama kelas 1B Cianjur yang selalu bersemangat, mas Jimmy, Mas
Rifqi, Mas Ivan, Cak Massadi, Aa Mumu, Bang Iwin, Teteh Habsah, dan Aa Ghani, tetap
kompak selalu. Tidak lupa Semua rekan-rekan Cakim PA,PN dan PTUN yang tidak dapat
kami sebut namanya satu persatu.
E-book ini menjelaskan sejarah Mahkamah Syariyah di Aceh yang tidak lepas dari
Peradilan Agama pada umumnya diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
telah mendapatkan

penambahan

kompetensi sebagaimana amanat Undang-Undang

dibidang muamalah dan jinayat/pidana. Selain hal tersebut dalam e-book ini juga telah
kami klasifikafikan dalam bab-bab yang akan memudahkan bagi pembaca.
Secara singat dapat kami sampaikan bahwa e-book ini memuat 22 bab yang terdiri
dari sejarah Mahkamah Syariyah, kewenanganya, dan lainnya yang bisa dibaca secara rinci
dalam daftar isi.

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Kami sangat berharap masukan-masukan

dari pembaca, apabila dalam

penyusunan dan pengumpulan bahan tentang E-BOOK PENERAPAN HUKUM ACARA


PIDANA/JINAYAT MAHKAMAH SYARIYAH DI ACEH ada kesalahan atau hal-hal yang perlu
diperbaiki. Demikian, semoga e-book ini menjadi amal sholih bagi kami. Amin.

Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh


Megamendung, 28 Nopember 2012
Penyusun

Nur Moklis,S.H.I.,S.Pd. &


Agus Sanwani Arif,S.H.I

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR--2
DAFTAR ISI--5
BAB

HUKUM ACARA PIDANA DALAM PERKARA JINAYAT DI PROVINSI ACEH--11


A. Pendahuluan--11
B. Landasan Normatif--12
C. Istilah-Istilah Dalam Qanun Aceh--16
D. Kompetensi Mahkamah Syariyah--19
E. Kewenangan Mengadili Perkara Pidana/Jinayat--20

BAB

II

MAHKAMAH SYARIYAH DALAM SISTIM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA-23


A. Sejarah Mahkamah Syariyah di Aceh--23
1. Mahkamah Syariyah Pada Masa Kesultanan Islam--23
2. Mahkamah Syariyah Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda--25
3. Mahkamah Syariyah Pada Masa Pendudukan Jepang--25
4. Mahkamah Syariyah Pada Masa Revolusi Fisik Hingga Kembali Ke
NKRI--26
5. Mahkamah Syariyah Pada Masa Otonomi Khusus Aceh--38
B. Mahkamah Syariyah dalam Sistem Perundang-Undangan--39
C. Kewenangan dan Kekuasaan Mahkamah Syariyah di Indonesa--40
1. Kekuasaan Relative--40
2. Kekuasan Absolute--40
a. Bidang Ahwalus Syakhsiyah--43
b. Bidang Muamalah--43
c. Bidang Jinayah --45

BAB

III

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA MAHKAMAH SYARIYAH--46


A. Pendahuluan--46
B. Terminologi Asas Hukum--67

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

C. Latar Belakang Lahirnya Asas Hukum--50


D. Asas-Asas Hukum Acara Pidana Dalam Al-Quran--52
1. Asas Keadilan--52
2. Asas Kepastian Hukum--54
3. Asas Kemanfaatan--55
4. Asas Legalitas--56
5. Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Pada Orang Lain--58
6. Asas Praduga tidak Bersalah--59
E. Asas-Asas Hukum Acara Pidana Universal--60
1. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence)--60
2. Asas Oportunitas--60
3. Asas Accusatoir dan Inquisitoir--60
4. Asas Audi Et Alteram Partem--62
5. Asas Independen--63
6. Asas Sidang Terbuka untuk Umum--64
7. Asas Equality Before the Law--56
8. Asas Ratio Decidendi /Basic Reasion (Putusan Harus Disertai Alasan)-66
9. Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan--66
10. Asas Nemo Judex Indoneus in Propria Causa--67
11. Asas Unus Testis Nullus Testes--69
12. Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori--69
13. Asas Ius Curia Novit--70
14. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali--70
15. Asas Pemeriksaan Perkara Pidana dengan Kehadiran Terdakwa--71
16. Asas Bantuan Hukum--71
17. Asas Pemeriksaan Hakim Secara Lisan langsung--72
18. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi--72
19. Asas Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan-73
20. Asas Kepastian Jangka Waktu Penahanan--73

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

F. Asas- Asas Pengadilan Hak Asasi Manusia--74


1. Hanya Mengadili Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat--74
2. Kejahatan Universal--74
3. Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan--74
4. Jaksa Agung sebagai Penyidik dan Penuntut Umum--74
5. Pejabat Ad Hoc--74
6. Pemeriksaan Banding dan Kasasi Limiatif--74
7. Perlindungan Korban dan Saksi--74
8. Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban--75
9. Ancaman Hukum Diperberat--75
10. Tanggung Jawab Komandan dan Atasan--76
11. Retro Aktif--76
12. Tidak ada Daluwarsa--76
13. Komnas HAM Sebagai Penyelidik--76
14. Kewenangan Ankum dan Perwira Penyerah Perkara Tidak Ada--77
G. Asas-Asas Hukum Spesifik--77
1. Asas The Binding Force of Presedent--77
2. Asas Cogatitionis Poenam Nemo Patitur--78
3. Asas Restitutio in Integrum--78
4. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali--78
H. Asas-Asas Hukum dalam Sebuah Peradilan--79
1. Sistem Peradilan Juri--80
2. Sistem Peradilan Eropa Kontinental--82
I. Kesimpulan--84

BAB

IV

LEMBAGA PELAKSANA HUKUM ACARA PIDANA MAHKAMAH SYARIYAH DI


INDONESIA--86
a. Kepolisian/ Wilayatul Hisbah--87
b. Kejaksaan91
1. Tugas dan Wewenang Kejaksaan93
2. Tugas dan Wewenang Jakas Agung--94

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

c. Mahkamah Syaryah--95

BAB

PENYELIDIK, PENYIDIK, DAN PENUNTUT UMUM--97


A. Penyidik--97
B. Penyidikan98
B.1. Laporan atau Pengaduan--99
B.2. Informasi yang diperoleh Aparat Penegak Hukum100
B.3. Tertangkap Tangan--101
C. Penyelidik--102
D. Penyelidik Pembantu--104
E. Penyidikan104
E.1. Wewenang Penyidik--105
E.2. Tatacara Penyidikan--106
F. Penuntut Umum--113

BAB VI

PENANGKAPAN, PENAHANAN, JAMINAN PENANGGUHAN PENAHANAN,


PENGGELEDAHAN, PENYITAAN, DAN PEMERIKSAAN SURAT--114
A. Penangkapan--114
B. Penahanan--115
C. Jaminan Penangguhan Penahanan--121
D. Penggeledahan--122
E. Penyitaan--124
F. Pemeriksaan surat--128

BAB

VII

TERSANGKA DAN TERDAKWA--130


A. Tersangka--130
B. Terdakwa--130

BAB

XIII

BANTUAN HUKUM--135

BAB

IX

BERITA ACARA DAN SUMPAH--136

10

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

A. BERITA ACARA--136
B. SUMPAH--137

BAB

WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI--138


A. Praperadilan--138
B. Mahkamah Syariyah, Mahkamah Syariyah Aceh dan MA- RI--140

BAB

XI

PERADILAN KONEKSITAS--142
A. Pengertian--142
B. Prinsip-Prinsip Koneksitas--143
C. Penyidikan Perkara Koneksitas--143
D. Tatacara Penentuan Pengadilan Koneksitas--144
E. Susunan Majlis Hakim Pengadilan Koneksitas--146

BAB XII

GANTI KERUGIAN, REHABILITASI DAN PENGGABUNGAN PERKARA GANTI


KERUGIAN--148
A. Ganti kerugian--149
B. Rehabilitasi--149
C. Penggabungan Perkara Ganti Kerugian--149

BAB

XIII

TAHAP-TAHAP DAN PROSES SIDANG DALAM PERKARA JINAYAT--151

BAB

XIV

PENUNTUTAN,DAKWAAN DAN PANGGILAN--153


A. Penuntutan--153
B. Panggilan--155

BAB

XV

SENGKETA WEWENANG MENGADILI--157

BAB

XVI

ACARA PEMERIKSAAN BIASA--159

BAB

XVII

ACARA PEMERIKSAAN SINGKATS--172

11

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB

XVIII ACARA PEMERIKSAAN CEPAT--174


A. Pendahuluan--174
B. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan--174
C. Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan--174

BAB

XIX

PEMBUKTIAN--178

BAB

XX

UPAYA HUKUM--186
A. Pengertian Upaya Hukum--186
B. Pemeriksaan Tingkat Banding--186
C. Pemeriksaan Untuk Kasasi--190

BAB

XXI

UPAYA HUKUM LUAR BIASA--191


A. Pengertian--191
B. Pemeriksaaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum--191
C. Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh
Kekuatan Hukum Tetap--191

BAB

XXII

PUTUSAN--195
A. Pelaksanaan Putusan Pengadilan--195
B. Pengawasan Dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan--197

DAFTAR PUSTAKA--199

TENTANG PENYUSUN--201

12

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB I
HUKUM ACARA PIDANA DALAM PERKARA JINAYAT
DI PROPINSI ACEH1

A.

PENDAHULUAN

Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diberikan
kewenangan untuk melaksanakan Syariat Islam, Keistimewaan dan Otonomi khusus,
menjunjung tinggi kepastian hukum, keadilan dan kesamaan di depan hukum.

Dalam melaksanakan Hukum Jinayat, Hukum Acara Jinayat merupakan salah


satu aturan tersendiri yang sangat diperlukan sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, dan
Qanun Nomor 10 Tahun 2002, karena aturan yang ada dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan
penegak hukum di Aceh;

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UndangUndang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, mengakui
adanya peradilan Syariat Islam sebagai bagian sistem peradilan nasional yang
dilakukan oleh mahkamah syariyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun.
Kewenangan mahkamah Syariyah didasarkan atas syariat Islam dalam sistem
hukum nasional, diatur lebih lanjut dengan Qanun. Untuk melaksanakan ketentuan
pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tersebut, pasal tanggal 4 Oktober
2002 telah disahkan qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun
2002 tentang Peradilan Syariat Islam. Pasal 49 Qanun tersebut mengatur
kewenangan mahkamah Syariyah yang meliputi bidang al-syaksyiah muamallah

Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Bahan Ajar Diklat II Calon Hakim Peradilan
Agama Program Pendidikan Dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu (PPC Terpadu), 2012.
1

13

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

dan jinayat. Untuk dapat menjalankan kewenangan tersebut diperlukan adanya


hukum formil (hukum acara). Baik muamalat maupun jinayat, Pasal 54 Qanun
Nomor 10 tahun 2002 menentukan bahwa hukum formil yang akan digunakan
mahkamah adalah bersumber atau sesuai dengan syariat islam yang sesuai dengan
Qanun.

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai


hukum formil yang berlaku dilingkungan peradilan umum, belum menampung
sepenuhnya prinsip-prinsip hukum acara pidana islam sesuai dengan kebutuhan
Peradilan Syariat Islam. Karenanya kehadiran hukum acara jinayat merupakan
kebutuhan mutlak bagi mahkamah dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
Dalam sistem Peradilan Syariat sebagaimana diatur.

B.

LANDASAN NORMATIF

Mahkamah Syariyah adalah suatu lembaga peradilan yang dilakukan berdasar


Syariat Islam dan menurut cara yang diatur dalam Qanun.2 Qanun Aceh Tentang
Hukum Acara Jinayat hanya berlaku di Nagroe Aceh Darussalam (NAD) untuk
melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan Syariat Islam pada
semua tingkat peradilan.3 Adapun sumber hukum Qanun Aceh adalah bersumber
pada dasar-dasar hukum sebagai berikut:
1. AI-Quran;
2. Al-Hadits;
3. Pasal 18 B, 28 J dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah
Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Pemerintah
Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103);

Rancangan Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat Pasal 3

Ibid. Pasal 2.

14

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
(Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against
Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277);
7. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4958);
8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3400) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4611);
9. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668);
10. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang
Kejam,

Tidak

Manusiawi

atau

Merendahkan

Martabat

Manusia

(Convention Against Torture and Other Cruel, in Human or Degrading


Treatment or Punishment) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

15

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

1998 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia


Nomor 3783);
11. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
12. Undang-Undang

Nomor

44

Tahun

1999

tentang

Penyelenggaran

Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik


Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3893);
13. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168);
14. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4234);
15. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4288);
16. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);
17. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4389);
18. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);
19. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419);

16

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

20. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan

Lembaran

Negara

Republik

Indonesia

Nomor

4437)

sebagaimana telah diubah untuk yang kedua kalinya dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
21. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
(Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4633);
22. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635);
23. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang
Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Daerah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Sumatera Utara menjadi Undangundang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 168,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4796);
24. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
KUHAP (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);
25. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan
Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3373);
26. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000
tentang Pelaksanaan Syari'at Islam (Lembaran Daerah Propinsi Daerah
Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30);

17

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

27. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun

2002

tentang Peradilan Syariat Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe


Aceh Darussalam Tahun 2002 Nomor 2 Seri E Nomor

2, Tambahan

Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4);


28. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang
Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam (Lembaran
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2002 Nomor 54 Seri E
Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 5);
29. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun
(Lembaran Daerah Naggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 03,
Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 03);

C.

ISTILAH-ISTILAH DALAM QANUN ACEH

Berdasar Rancangan Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat Bab I Pasal 1
terdapat beberapa istilah, yakni:
1. Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum
yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang
Gubernur.
2. Kabupaten/Kota adalah bagian dari daerah Provinsi sebagai suatu kesatuan
masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan dalam sistem dan
prinsip negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dipimpin oleh seorang
Bupati/Walikota.

18

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

3. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem


Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan
masing-masing.
4. Pemerintah Daerah Aceh yang selanjutnya disebut Pemerintah Aceh adalah
unsur penyelenggara pemerintahan Aceh yang terdiri atas Gubernur dan
perangkat daerah Aceh.
5. Gubernur adalah Kepala Pemerintah Aceh yang dipilih melalui suatu proses
demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil.
6. Pemerintah daerah kabupaten/kota yang selanjutnya disebut pemerintah
kabupaten/kota

adalah

unsur

penyelenggara

pemerintahan

daerah

kabupaten/kota yang terdiri atas bupati/walikota dan perangkat daerah


kabupaten/kota.
7. Mahkamah Agung adalah Mahkamah Agung Republik Indonesia.
8. Mahkamah Syariyah Aceh dan Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota
adalah pengadilan selaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam
lingkungan peradilan agama yang merupakan bagian dari sistem
peradilan nasional.
9. Mahkamah adalah Mahkamah Syariyah, Mahkamah Syariyah Aceh
dan Mahkamah Agung.
10. Polri adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas di
Aceh.
11. Polisi Wilayatul Hisbah (WH) adalah lembaga yang berfungsi
melakukan

sosialisasi,

pengawasan,

pembinaan,

penyelidikan,

penyidikan dan pelaksanaan hukuman terhadap pelaksanaan Syariat


Islam.

19

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

12. Penyelidik adalah pejabat Polri di Aceh dan Polisi WH yang telah
diberi

wewenang

oleh

undang-undang

dan/atau

qanun

untuk

melakukan penyelidikan.
13. Penyidik adalah pejabat Polri di Aceh dan Polisi WH yang telah
menjadi PPNS yang diberi wewenang oleh undang-undang dan/atau
qanun untuk melakukan penyidikan.
14. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari
dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai jarimah guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun.
15. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang jarimah yang
terjadi guna menemukan tersangka.
16. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh qanun ini dan
peraturan perundang-undangan lainnya untuk melakukan penuntutan serta
melaksanakan penetapan dan putusan hakim mahkamah.
17. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara jinayat ke Mahkamah Syariyah yang berwenang dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di
sidang Mahkamah.
18. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu
terdapat

cukup

kebebasan
bukti

guna

tersangka

atau

kepentingan

terdakwa apabila

penyidikan

dan/atau

penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang


diatur dalam undang-undang dan/atau qanun.
19. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat
tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang dan/atau qanun.

20

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

20. Putusan Mahkamah adalah pernyataan yang diucapkan hakim dalam


sidang mahkamah terbuka yang dapat berupa penjatuhan uqubat atau
bebas atau lepas dari tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun.
21. Tersangka adalah orang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku jarimah.
22. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa dan memutuskan perkara jinayat berdasarkan azas bebas,
jujur dan adil dalam sidang Mahkamah menurut cara yang diatur
dalam undang-undang dan/atau qanun.
23. Permohonan adalah permintaan terdakwa atau pelaku jarimah yang
atas kesadaran sendiri mengakui kesalahan atas jarimah yang
dilakukan dan meminta ia dijatuhi uqubat sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun.
24. Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam yang
dalam qanun jinayat diancam dengan uqubat hudud dan/atau tazir.
25. Uqubat adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap
pelanggaran jarimah.
26. Qarinah adalah salah satu dari berbagai cara pembuktian suatu
gugatan/dakwaan yang dapat membantu para penegak keadilan untuk
menyingkap rahasia suatu peristiwa.

D.

KOMPETENSI MAHKAMAH SYARIYAH

Menurut ketentuan Pasal 85 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,


Mahkamah Syariyah memiliki kewenangan sebagai berikut:
1. Mahkamah Syariyah berwenang mengadili segala perkara mengenai jarimah
yang dilakukan dalam daerah hukumnya;
2. Mahkamah Syariyah yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat
tinggal atau berdiam terakhir atau di tempat ia diketemukan atau ditahan,
hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat

21

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat
Mahkamah Syariyah itu dari pada tempat kedudukan Mahkamah Syariyah
yang di dalam daerahnya jarimah itu dilakukan;
3. Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa jarimah dalam daerah
hukum pelbagai Mahkamah Syariyah, maka tiap Mahkamah Syariyah itu
masing-masing berwenang mengadili perkara jinayat itu;
4. Terhadap beberapa perkara jinayat yang satu sama lain ada sangkut pautnya
dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai Mahkamah
Syariyah, diadili oleh masing-masing Mahkamah Syariyah dengan
ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.

Dalam hal keadaan daerah tidak memungkinkan suatu Mahkamah Syariyah


untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua Mahkamah Syariyah atau
Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung menetapkan atau
menunjuk Mahkamah Syariyah lain daripada yang tersebut pada Pasal 85 untuk
mengadili perkara yang dimaksud .4

Menurut Rancangan Qonun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat

Pasal 87

Mahkamah Syariyah Aceh berwenang mengadili perkara yang diputus oleh


Mahkamah Syariyah dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding. Sedangkan
menurut Pasal 88 Rancangan Qonun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat Mahkamah
Agung berwenang mengadili semua perkara jinayat yang dimintakan kasasi.

E.

KEWENANGAN MENGADILI PERKARA PIDANA/JINAYAT

Menurut ketentuan Pasal 78 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Mahkamah Syariyah berwenang untuk memeriksa dan memutus tentang hal-hal
sebagai berikut:

Ibid., Pasal 86.

22

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau


penghentian penuntutan;
b. Ganti kerugian

dan/atau rehabilitasi bagi setiap orang yang perkara

jinayatnya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.


c. Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua
Mahkamah Syariyah dan dibantu oleh seorang panitera. (Pasal 79)
d. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau
penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua
Mahkamah Syariyah dengan menyebutkan alasannya. (Pasal 80)
e. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian
penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut
umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Mahkamah
Syariyah dengan menyebutkan alasannya. (Pasal 81).
f. Permintaan ganti kerugian

dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya

penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan


atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang
berkepentingan kepada Ketua Mahkamah Syariyah dengan menyebutkan
alasannya. (Pasal 82)
g. Acara pemeriksaaan praperadilan menurut Pasal 83 untuk hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 80, 81 dan Pasal 82 ditentukan sebagai berikut:
1. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang

ditunjuk menetapkan hari sidang;


2. hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon

maupun dari pejabat yang berwenang, dalam memeriksa dan memutus


tentang:
(1) sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan;
(2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan;
(3) permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan;
(4) akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan; dan
(5) ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian.

23

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

3. pemeriksaan sebagaimana pada huruf b dilakukan sacara cepat dan

putusan dijatuhkan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak


disidangkan;
4. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Mahkamah

Syariyah, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada


praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;
5. putusan

praperadilan

pada

tingkat

penyidikan

tidak

menutup

kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada


tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan
permintaan baru.
6. Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 sampai dengan Pasal 82, harus


memuat dengan jelas dasar dan alasannya.
h. Putusan hakim, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf
(g) juga memuat hal sebagai berikut:
1. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau
penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada
tingkat pemeriksaan masing-masing harus membebaskan tersangka;
2. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan
atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap
tersangka wajib dilanjutkan;
3. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau
penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya
ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal
suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan
tersangkanya tidak ditahan, maka dalam

putusan dicantumkan

rehabilitasinya;
4. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak
termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa

24

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari


siapa benda itu disita.
i.

Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 78 dan Pasal 91.

j.

Ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada huruf (i) dibebankan pada


APBA yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

k. Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 80, sampai dengan Pasal 82 menurut ketentuan Pasal 84 tidak dapat
dimintakan banding, dikecualikan apabila putusan praperadilan yang
menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang
untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Mahkamah Syariyah Aceh.

======000=====

25

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB II
MAHKAMAH SYARIYAH
DALAM SISTIM KEKUASAAN KEHAKIMAN
DI INDONESIA

A. SEJARAH MAHKAMAH SYARIYAH DI ACEH5


1. MAHKAMAH SYARIYAH PADA MASA KESULTANAN ISLAM

Peradilan Islam telah lahir di Aceh sejak zaman jayanya Kerajaan Aceh. Pada
masa itu peradilan dipegang oleh Qadli Malikul Adil yang berkedudukan di
ibukota kerajaan, Kutaraja. Qadli Malikul Adil ini kira-kira dapat disamakan dengan
Mahkamah Agung, sebagai Pengadilan Tertinggi. Di masing-masing daerah
Uleebalang terdapat Qadli Uleebalang yang memutuskan perkara di daerahnya.
Banding terhadap putusan Qadli Uleebalang diajukan ke Qadli Malikul Adil.
Qadli Malikul Adil dan Qadli Uleebalang diangkat dari ulama-ulama yang
cakap dan berwibawa. Karena perkara yang dibanding ke Qadli MalikulAdil tidak
banyak, maka Qadli Malikul Adil lebih banyak bertugas memberikan fatwa dan
nasehat kepada kerajaan.
Menurut Syamsudi Irsyad sistem peradilan di Kesultanan Aceh terdiri dari
beberapa tingkat6, yaitu:
b. Jurudamai, dua tingkat, yaitu: jurudamai tingkat I, diketuai oleh Keuchik dan
jurudamai tingkat II diketuai oleh Imun Mesjid.
c. Pengadilan Mukim, diketuai oleh Imun Mukim, anggotanya terdiri dari Keuchik,
Imam Mesjid yang bersangkutan dan Cerdik Pandai.

5 H.Armia Ibrahim, Hakim Tinggi Mahkamah Syariyah Provinsi Nangro Aceh Darussalam, Makalah:
Sejarah Perkembangan Peradilan Agama Di Aceh Sebelum Dan Setelah Kemerdekaan RI, 2006. Dan Disadur
Dengan Beberapa Sumber Lainnya.

Syamsul Hadi Irsyad, 130 Tahun Peradilan Agama Berahan dan Mengembangkan Eksistensinya,
Makalah Dalam Forum Saresehan Tentang Perjalanan 130 Tahun Peradilan Agama Yang Diselenggarakan Oleh
Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2012.
6

26

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

d. Pengadilan

Uleebalang,

diketuai

oleh

Uleebalang,

anggota-anggota

serupapengadilan Mukim, mengadili perkara yang diminta banding atas


putusan pengadilan Mukim.
e. Pengadilan Panglima Sagoe, diketuai oleh Panglima Sagoe dan anggotanya sama
dengan yang diketuai oleh uleebalang, hanya Aceh Besar.
f. Mahkamah Agung (MA), Ketua adalah Sultan Aceh sendiri, wakil ketuanya Qadli
Malikul Adil dan anggota-anggota.
2.... MAHKAMAH SYARIYAH PADA MASA HINDIA BELANDA

Zaman Hindia Belanda, peradilan agama merupakan bagian dari pengadilan


adat, dimana untuk tingkat Uleebalang ada pengadilan yang diketuai oleh
Uleebalang

yang

bersangkutan.

Sedangkan

untuk

tingkat

afdeeling

atau

onderafdeeling ada pengadilan yang bernama Musapat yang dikepalai oleh


Controleur, dimana Uleebalang serta pejabat-pejabat tertentu menjadi anggotanya.
Dalam prakteknya bila perkaranya melulu bersangkutan dengan hukum
agama, seringkali diserahkan saja kepada Qadli Uleebalang untuk memutuskannya,
tetapi kalau ada sangkut pautnya dengan hukum yang lain dari hukum agama,
diketuai sendiri oleh Uleebalang yang bersangkutan dengan didampingi Qadli
Uleebalang dimaksud.
Perlu diketahui pula bahwa dalam sidang peradilan Musapat, agar sah maka
harus ada Ketua, sekurang-kurangnya tiga orang anggota dan ada seorang Ulama
Islam. Bila menyangkut kasus pidana, maka harus ada seorang opsir justisi bumi
putera.

3. MAHKAMAH SYARIYAH PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG


Zaman pendudukan Jepang, keadaan peradilan Agama di Indonesia tidak
banyak berubah. Apa yang berjalan pada zaman Belanda tetap dipertahankan oleh
Pemerintah pendudukan Jepang.

27

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Khusus untuk wilayah Aceh, Jepang mengeluarkan suatu Undang-undang


yang bernama Atjeh Syu Rei ( Undang-undang Daerah Aceh ) Nomor 12 tanggal
Syowa Ni Gatu 15 ( 15 Pebruari 1944 ) mengenai Syukyo Hooin ( Mahkamah
Agama).

Sesuai dengan bunyi pasal 1 Atjeh Syu Rei Nomor 12, ada tiga tingkatan peradilan
agama saat itu, yakni :
1. Syukyo Hooin berkedudukan di Kutaraja (sekarang Banda Aceh);
2. Seorang Kepala Qadli dengan beberapa anggotanya di tiap-tiap Bunsyu
(Kabupaten sekarang );
3. Seorang Qadli Son di tiap-tiap son ( kecamatan sekarang ).

Syukyo Hooin merupakan pengadilan tingkat banding atas putusan Kepala


Qadli dan Qadli Son. Tugas Qadli Son pada saat itu mirip dengan tugas Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan saat ini.

Syukyo Hooin terdiri dari anggota-angota harian dan anggota-angota biasa.


Salah seorang dari anggota harian diangkat menjadi Ketua ( Iintyo ) oleh Atjeh Syu
Tyokan berdasarkan unjukan/ rekomendasi dari Kepala Pengadilan Negeri Kutaraja
yang dipilih dari ulama yang cerdik pandai, jujur dan berpengaruh di dalam daerah
Aceh.

Pada saat itu sebagai Ketua Atjeh Syukyo Hooin adalah Tgk.H.Jafar Shiddiq,
sedangkan anggota-anggota harian adalah : Tgk.Muhammad Daud Beureu-eh dan
Tgk.Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy serta Said Abubakar.

4. MAHKAMAH SYARIYAH PADA MASA REVOLUSI FISIK HINGGA KEMBALI KE


NEGARA KESATUAN RI.
Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, status Pengadilan Agama di
Aceh tidak menentu karena tidak mempunyai landasan hukum yang kuat. Namun di

28

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

beberapa daerah di Sumatera sejak tanggal 1 Agustus 1946, sebagai salah satu hasil
revolusi kemerdekaan, telah terbentuk Mahkamah Syariyah, antara lain di daerah
Aceh, Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang dan Lampung. Semua
Mahkamah Syariyah dimaksud kemudian diakui sah oleh Wakil Pemerintah Pusat
Darurat di Pematang Siantar.

Pembentukan Mahkamah Syariyah di Keresidenan Aceh pada waktu itu


hanya didasarkan kepada Kawat Gubernur Sumatera Nomor

189 tanggal 13

Januari 1947 yang waktu itu dijabat oleh seorang tokoh Aceh yaitu Mr.T.Muhammad
Hasan, yang disusul dengan Kawat Wakil Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera
No. 226/3/djaps tanggal 22 Pebruari 1947.

Adapun mengenai kewenangan Mahkamah Syariyah di Aceh saat itu


awalnya didasarkan kepada Kawat Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera yang
ditujukan kepada Jabatan Agama Daerah Aceh di Kutaraja Nomor 896/3/djaps yang
intinya bahwa hak Mahkamah Syariyah memutus soal-soal tentang :
21. Nikah, thalaq, rujuk, nafkah dsb.
22. Pembahagian pusaka ( kewarisan)
23. Harta wakaf, hibah, sedeqah dan selainnya
24. Baitul mal.
Untuk mendapat landasan yang kuat atas surat kawat tersebut, Pemerintah
Aceh membawa masalah tersebut ke sidang Badan Pekerja Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh. Badan Pekerja DPR Aceh telah menguatkan kewenangan dimaksud
dengan Putusannya tanggal 3 Desember 1947 Nomor 35, yang intinya sebagai
berikut :
1. Menguatkan Instruksi Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera tentang hak
Mahkamah Syariyah, yaitu memutuskan :
a. perkara nikah, thalaq, rujuk dan nafkah;
b. pembahagian pusaka;
c. memutuskan harta wakaf, hibah dan sedekah;

29

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

d. memutuskan Baitul Mal.


2. Vonnis-vonnis yang bersangkutan ini dipandang serupa kekuatan vonnis Hakim
Negeri.
3. Buat sementara menunggu ketentuan dari Propinsi, maka urusan harta pusaka
ditetapkan terus menjadi hak Mahkamah Syariyah dan tidak lagi menjadi hak
Hakim Rendah atau Hakim Negeri.
4. Untuk menjalankan urusan ini diserahkan kepada Kepala Jawatan Agama Daerah
Aceh.

Ada tiga tingkatan Mahkamah Syariyah di Aceh pada era awal kemerdekaan
hingga lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1957 tanggal 10 Agustus
1957, yakni :
1. Mahkamah Syariyah Daerah Aceh sebagai Pengadilan tertinggi dan tingkat
terakhir yang berkedudukan di Kutaraja.
2. Mahkamah Syariyah Kewedanaan sebagai Pengadilan tingkat banding sebanyak
20 buah yang berada di seluruh daerah Kewedanaan yang ada di Aceh saat itu.
3. Mahkamah Syariyah Kenegerian sebagai Pengadilan tingkat pertama sebanyak
106 buah yang berada di setiap daerah Kecamatan yang ada di Aceh saat itu.

Adapun nama-nama Mahkamah Syariyah Kewedanaan dan Kenegerian


dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Mahkamah Syariyah Kewedanaan Kutaraja, membawahi 9 buah Mahkamah
Syariyah Kenegerian, yaitu :
1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Mesjid Raya;
2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Ingin Jaya;
3). Mahkamah Syariyah Kenegerian Tungkop;
4). Mahkamah Syariyah Kenegerian Krueng Raya;
5). Mahkamah Syariyah Kenegerian Kuta Baro;
6). Mahkamah Syariyah Kenegerian Darul Imarah;
7). Mahkamah Syariyah Lhonga;
8). Mahkamah Syariyah Kenegerian Peukan Bada;

30

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

9). Mahkamah Syariyah Kenegerian Lhoung.

2. Mahkamah Syariyah Kewedanaan Seulimum, membawahi 4 buah Mahkamah


Syariyah Kenegerian, yaitu :
1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Seulimum;
2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Suka Makmur;
3). Mahkamah Syariyah Kenegerian Montasik;
4). Mahkamah Syariyah Kenegerian Indrapuri.

3. Mahkamah Syariyah Kewedanaan Sigli, membawahi 11 buah Mahkamah


Syariyah Kenegerian, yaitu :
1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Peukan Baro;
2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Pidie;
3). Mahkamah Syariyah Kenegerian Muara Tiga;
4). Mahkamah Syariyah Kenegerian Kembang Tanjong;
5). Mahkamah Syariyah Kenegerian Mutiara;
6). Mahkamah Syariyah Kenegerian Simpang Tiga;
7). Mahkamah Syariyah Kenegerian Delima;
8). Mahkamah Syariyah Kenegerian Bandar Baro;
9). Mahkamah Syariyah Kenegerian Geulumpang Tiga;
10). Mahkamah Syariyah Kenegerian Indra Jaya;
11). Mahkamah Syariyah Kenegerian Padang Tiji.

4. Mahkamah Syariyah Kewedanaan Kota Bakti, membawahi 6 Mahkamah


Syariyah Kenegerian, yaitu :
1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Sakti;
2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Titue;
3). Mahkamah Syariyah Kenegerian Mila;
4). Mahkamah Syariyah Kenegerian Tangse;
5). Mahkamah Syariyah Kenegerian Geumpang;
6). Mahkamah Syariyah Kenegerian Tiro.

31

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

5. Mahkamah Syariyah Kewedanaan Meureudu, membawahi 4 buah Mahkamah


Syariyah Kenegerian, yaitu :
1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Meureudu;
2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Trienggadeng;
3). Mahkamah Syariyah Kenegerian Pantee Raja;
4). Mahkamah Syariyah Kenegerian Bandar Dua.
6. Mahkamah Syariyah Kewedanaan Bireuen, membawahi 6 buah Mahkamah
Syariyah Kenegerian, yaitu :
1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Jeumpa;
2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Peusangan;
3). Mahkamah Syariyah Kenegerian Ganda Pura;
4). Mahkamah Syariyah Kenegerian Peudada;
5). Mahkamah Syariyah Kenegerian Jeunib;
6). Mahkamah Syariyah Kenegerian Samalanga.

7. Mahkamah Syariyah Kewedanaan Lhok Seumawe, membawahi 7 buah


Mahkamah Syariyah Kenegerian, yaitu :
1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Samudera;
2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Syamtalira;
3). Mahkamah Syariyah Kenegerian Muara Dua;
4). Mahkamah Syariyah Kenegerian Dewantara;
5). Mahkamah Syariyah Kenegerian Kuta Makmur;
6). Mahkamah Syariyah Kenegerian Meurah Mulia;
7). Mahkamah Syariyah Kenegerian Muara Batu.

8. Mahkamah Syariyah Kewedanaan Lho Sukon, membawahi 8 buah Mahkamah


Syariyah Kenegerian, yaitu :
1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Lhok Sukon;
2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Matangkuli;

32

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

3). Mahkamah Syariyah Kenegerian Blang Jrun;


4). Mahkamah Syariyah Kenegerian Aron;
5). Mahkamah Syariyah Kenegerian Jeurat Manyang ( Tanah
Pasir );
6). Mahkamah Syariyah Kenegerian Alu Ie Puteh ( Baktya );
7). Mahkamah Syariyah Kenegerian Sidondon;
8). Mahkamah Syariyah Kenegerian Jambo Air.
9. Mahkamah Syariyah Kewedanaan Idi, membawahi 4 buah Mahkamah Syariyah
Kenegerian, yaitu :
1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Idi Rayek;
2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Darul Aman;
3). Mahkamah Syariyah Kenegerian Kota Meulati ( Julok );
4). Mahkamah Syariyah Kenegerian Simpang Ulim.

10. Mahkamah Syariyah Kewedanaan

Langsa, membawahi 4 buah Mahkamah

Syariyah Kenegerian, yaitu :


1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Langsa;
2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Rantau Selamat;
3). Mahkamah Syariyah Kenegerian Peureulak;
4). Mahkamah Syariyah Kenegerian Lokop.

11. Mahkamah Syariyah Kewedanaan Kuala Simpang, membawahi 4 buah


Mahkamah Syariyah Kenegerian, yaitu :
1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Kuala Simpang;
2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Karang Baru;
3). Mahkamah Syariyah Kenegerian Tamiang Hulu;
4). Mahkamah Syariyah Kenegerian Tamiang Hilir.

12. Mahkamah Syariyah Kewedanaan Takengon, membawahi 2 buah Mahkamah


Syariyah Kenegerian, yaitu :

33

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Bukit Linggo;


2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Bukit Nosar.

13. Mahkamah Syariyah Kenegerian Kutacane, membawahi 2 buah Mahkamah


Syariyah Kenegerian, yaitu :
1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Tanah Luas;
2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Pulo Nas.
14. Mahkamah Syariyah Kewedanaan Blangkejeren, membawahi 1 buah Mahkamah
Syariyah Kenegerian, yaitu :Mahkamah Syariyah Kenegerian Gayo Luas.

15. Mahkamah Syariyah Kewedanaan Calang, membawahi

5 buah Mahkamah

Syariyah Kenegerian, yaitu :


1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Teunom;
2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Krueng Sabee;
3). Mahkamah Syariyah Kenegerian Setia Bakti;
4). Mahkamah Syariyah Kenegerian Sampoi Niet;
5). Mahkamah Syariyah Kenegerian Jaya.

16. Mahkamah Syariyah Kewedanaan Meulaboh, membawahi 8 buah Mahkamah


Syariyah Kenegerian, yaitu :
1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Seunagan;
2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Kaway XVI;
3). Mahkamah Syariyah Kenegerian Samatiga;
4). Mahkamah Syariyah Kenegerian Buloh;
5). Mahkamah Syariyah Kenegerian Tungkup;
6). Mahkamah Syariyah Kenegerian Beutong;
7). Mahkamah Syariyah Kenegerian Tripa;
8). Mahkamah Syariyah Kenegerian Dayah.

34

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

17. Mahkamah Syariyah Kewedanaan Sinabang, membawahi 3 buah Mahkamah


Syariyah Kenegerian, yaitu :
1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Simeulu Timur;
2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Simeulu Tengah;
3). Mahkamah Syariyah Kenegerian Simeulu Barat.

18. Mahkamah Syariyah Kewedanaan Tapaktuan, membawahi 10 buah Mahkamah


Syariyah Kenegerian, yaitu :
1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Samadua;
2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Sawang;
3). Mahkamah Syariyah Kenegerian Meukek;
4). Mahkamah Syariyah Kenegerian Labuhan Haji;
5). Mahkamah Syariyah Kenegerian Manggeng;
6). Mahkamah Syariyah Kenegerian Blangpidie;
7). Mahkamah Syariyah Kenegerian Tangan-Tangan;
8). Mahkamah Syariyah Kenegerian Susoh;
9). Mahkamah Syariyah Kenegerian Inong;
10. Mahkamah Syariyah Kenegerian Tapaktuan.

19. Mahkamah Syariyah Kewedanaan Bakongan, membawahi 4 buah Mahkamah


Syariyah Kenegerian, yaitu :
1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Bakongan;
2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Kandang;
3). Mahkamah Syariyah Kenegerian Rasian ( Klut Utara );
4). Mahkamah Syariyah Kenegerian Trumon.

20. Mahkamah Syariyah Kewedanaan Singkil, membawahi 4 buah Mahkamah


Syariyah Kenegerian, yaitu :
1). Mahkamah Syariyah Kenegerian Singkil;
2). Mahkamah Syariyah Kenegerian Simpang Kanan;
3). Mahkamah Syariyah Kenegerian Simpang Kiri;

35

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

4). Mahkamah Syariyah Kenegerian Pulau Banyak.

Dalam perjalanannya Mahkamah Syariyah baru memperoleh landasan


hukum yang kuat setelah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun
1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah di Aceh. PP
tersebut keluar setelah ada desakan dari tokoh-tokoh Ulama Aceh saat itu kepada
pemerintah pusat ( Departemen Agama ) di Jakarta yang dituangkan dalam suatu
Surat Pernyataan, ditandatangani 17 orang tokoh Ulama Aceh yang kebetulan
bekerja pada kantor-kantor dalam lingkungan Departemen Agama. Inti dari
pernyataan dimaksud adalah : Mengharap/meminta kepada Kementerian Agama
agar memperjuangkan dasar hukum

( Status ) Mahkamah Syariyah di Daerah

Aceh dengan bersungguh-sungguh hingga tercapai, walaupun dengan jalan


menyimpang(afwijken ) dari prosedure biasa.

Setelah lahirnya PP No. 29 Tahun 1957, Mahkamah Syariyah Kenegerian


dihilangkan, sedangkan Mahkamah Syariyah Kewedanaan berubah menjadi
Mahkamah Syariyah tingkat pertama.

Peraturan Pemerintah tersebut tidak berumur panjang karena ternyata


kemudian daerah-daerah lainnya di Indonesia juga menuntut hal yang sama kepada
Pemerintah

Pusat

agar

di

daerah

mereka

juga

dibentuk

Pengadilan

Agama/Mahkamah Syariyah.
Akhirnya tuntutan daerah lain di luar Jawa dan Madura dipenuhi Pemerintah
Pusat dengan dicabut kembali PP Nomor 29 tahun 1957 dan diganti dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syariyah di Luar Jawa dan Madura. Dengan demikian jelaslah
bahwa Daerah Aceh sekali lagi merupakan daerah modal untuk terbentuknya
Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah di daerah-daerah lainnya di indonesia.

Penghapusan kembali Mahkamah Syariyah Kenegerian yang pernah ada di


ibukota Kecamatan di Aceh disebabkan adanya ketentuan dalam PP Nomor 29

36

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

tahun 1957, yakni pasal 1 dimana Pengadilan Agama ( Mahkamah Syariyah ) ada di
tempat-tempat yang ada Pengadilan Negeri di Propinsi Aceh yang daerah hukumnya
sama dengan daerah hukum Pengadilan Negeri. Sedangkan Pengadilan negeri saat
itu hanya ada di kabupaten/kota.

Perlu diketahui pula bahwa sejak lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 45


tahun1957, di Aceh hanya tinggal 16 buah Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah
yang dikukuhkan dengan Penetapan Menteri Agama RI Nomor 58/1957 sebagai
pelaksanaan

PP

nomor

45

tahun

1957. Ke

enam

belas

Pengadilan

Agama/Mahkamah Syariyah dimaksud adalah sebagai berikut :


1. PA/Masya Kutaraja ( sekarang Banda Aceh );
2. PA/Masya Sabang;
3. PA/Masya Sigli;
4. PA/Masya Bireuen;
5. PA/Masya Lhok Sukon;
6. PA/Masya Idi;
7. PA/Masya Langsa;
8. PA/Masya Kuala Simpang;
9. PA/Masya Takengon;
10. PA/Masya Blang Kejeren;
11. PA/Masya Kutacane;
12. PA/Masya Calang;
13. PA/Masya Meulaboh;
14. PA/Masya Sinabang;
15. PA/Masya Tapaktuan;
16. PA/Masya Singkel.

Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 62/1961,


sejak tanggal 25 Juli 1961 dibentuk sebuah cabang Pengadilan Agama/Mahkamah
Syariyah di Lhok Seumawe yang wilayah hukumnya diambil dari sebagian wilayah
hukum Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah Bireuen. Sebelas tahun kemudian

37

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

tepatnya tanggal 16 Maret 1972 dibentuk pula sebuah lagi cabang Pengadilan
Agama/Mahkamah Syariyah di Meureudu yang wilayah hukumnya diambil dari
sebagian wilayah hukum Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah Sigli. Kemudian
berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 18/1975, kedua cabang
Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah tersebut ditingkatkan statusnya menjadi
Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah penuh terlepas dari instansi induknya.
Terakhir berdasarkan Keputusan Menteri Agama pula, pada tahun 1984
telah dibentuk satu lagi Pengadilan Agama di Jantho ibukota Kabupaten Aceh Besar
yang wilayah hukumnya diambil dari sebagian wilayah hukum Pengadilan
Agama/Mahkamah Syariyah Banda Aceh. Dengan demikian hingga saat ini di
seluruh Aceh terdapat 19 buah Mahkamah Syariyah tingkat pertama. Sedangkan
Pengadilan Negeri hanya ada 18 buah di seluruh wilayah Aceh, dimana di Meureudu
tidak ada Pengadilan Negeri.

Perlu diketahui pula bahwa sejak keluarnya Keputusan Menteri Agama RI


Nomor 6 Tahun 1980, maka penyebutan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah
yang ada di Luar Jawa dan Madura dan diluar Sebagian Kalimantan Selatan dan
Timur, termasuk yang ada di Aceh menjadi Pengadilan Agama ( PA ) untuk tingkat
pertama dan Pengadilan Tinggi Agama ( PTA ) untuk tingkat banding.

Suatu pertanyaan mungkin timbul, mengapa Pemerintah mengatur tentang


Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah tidak meliputi Jawa dan Madura. Hal ini
karena untuk wilayah Jawa dan Madura telah ada dasar hukum yang ditetapkan
Pemerintah Hindia Belanda yakni Stbl. 1882 Nomor 152 jo. Stbl 1937 Nomor 160
dan 610.
Demikian pula untuk sebagian Kalimantan Selatan dan Timur telah ada
aturan yang mengatur tentang Pengadilan Agama yang diberi nama dengan
Kerapatan Qadli dan Kerapatan Qadli Besar sejak zaman Hindia Belanda, yakni
Stbl. 1937 Nomor 638 dan 639.

38

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Bila dibandingkan dengan Pengadilan Agama yang telah ada di Jawa dan
Madura sejak tahun 1882 dan Kerapatan Qadli di Sebagian Kalimantan Selatan dan
Timur

yang

lahir

sejak

tahun

1937,

maka

kewenangan

Pengadilan

Agama/Mahkamah Syariyah di Luar Jawa dan Madura termasuk di Aceh jauh lebih
luas.

Perlu diketahui pula bahwa sejak awal zaman kemerdekaan RI hingga saat
ini, Pengadilan Agama tingkat banding yang ada di Aceh telah berganti-ganti
nama/sebutannya, mulai dari Mahkamah Syariyah Daerah Aceh, Pengadilan
Agama/Mahkamah Syariyah Provinsi di Banda Aceh, Pengadilan Tinggi Agama
Banda Aceh, dan terakhir berdasarkan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh disebut dengan nama Mahkamah Syariyah Aceh.
Adapun orang-orang yang telah pernah memimpinnya sebagai Ketua secara
berurutan adalah sebagai berikut :
1. Tgk.H.Ahmad Hasballah Indrapuri, dari tanggal 1 Maret 1946 sampai 30
September 1955.
2. Tgk. Muhammad Saleh Lambhuk, dari tanggal 1 Oktober 1955 sampai 31
Desember 1960.
3. Tgk.H.Abdullah Ujong Rimba, dari tanggal 1 Januari 1961 sampai 31 April 1971.
4. Drs Tgk.H.Abdul Hamid Irsyad, dari tanggal 1 Mai 1971 sampai 31 Desember
1975.
5. H.Zainal Abidin Abubakar, SH., dari tanggal 1 Januari 1976 sampai 31Januari
1992.
6. Drs H.Mahfudh Arhasy, SH., dari tanggal 1 Pebruari 1992 sampai tanggal 31
Oktober 2000.
7. Drs H.Soufyan M.Saleh, SH., dari tanggal 1 Nopember 2000 sampai dengan
sekarang.

39

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

5. MAHKAMAH SYARIYAH PADA MASA OTONOMI KHUSUS ACEH


Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, maka terjadilah sejarah baru bagi peradilan agama di Aceh. Karena
salah satu lembaga yang harus ada di Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka
pelaksanaan otonomi khusus adalah Peradilan Syariat Islam yang dilaksanakan
oleh Mahkamah Syariyah.

Mahkamah Syar`iyah adalah lembaga Peradilan Syari'at Islam di Nanggroe


Aceh Darussalam sebagai pengembangan dari Peradilan Agama yang diresmikan
pada tanggal 4 Maret 2003 M/1 Muharram 1424 H sesuai dengan Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2001, Keppres Nomor 11 Tahun 2003 dan Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002.

H.Armia Ibrahim7 menjelaskan pada saat ini mahkamah syariayah aceh


(diluar aceh disebut Pengadilan Tinggi Agama) wilayah hukumnya meliputi 23
mahkamah syariyah tingkat kabupaten/kota, sebagai berikut ini:
1.

Mahkamah Syariyah Banda Aceh ( Kota )

2.

Mahkamah Syariyah Aceh Besar

3.

Mahkamah Syariyah Sabang ( Kota )

4.

Mahkamah Syariyah P i d i e

5.

Mahkamah Syariyah Bireuen

6.

Mahkamah Syariyah Lhokseumawe ( Kota )

7.

Mahkamah Syariyah Aceh Utara

8.

Mahkamah Syariyah Langsa ( Kota )

9.

Mahkamah Syariyah Aceh Timur

10.

Mahkamah Syariyah Aceh Tamiang

11.

Mahkamah Syariyah Aceh Tengah

H. Armia Ibrahim, Mahkamah Syariyah Nangro Aceh Darussalam, Makalah: Disampaikan Pada Diklat
II Cakim Angkatan VII, Bogor, 2012.
7

40

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

12.

Mahkamah Syariyah Bener Meriah

13.

Mahkamah Syariyah Aceh Tenggara

14.

Mahkamah Syariyah Gayo Lues

15.

Mahkamah Syariyah Aceh Jaya

16.

Mahkamah Syariyah Aceh Barat

17.

Mahkamah Syariyah Nagan Raya

18.

Mahkamah Syariyah Aceh Barat Daya

19.

Mahkamah Syariyah Aceh Selatan

20.

Mahkamah Syariyah Aceh Singkil

21.

Mahkamah Syariyah Simeulue

22.

Mahkamah Syariyah Pidie Jaya

23.

Mahkamah Syariyah Subulussalam (Kota)

C. MAHKAMAH SYARIYAH DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Pengertian Syariat Islam Menurut UU No.44 Th. 1999 tentang keistimewaan


Aceh dan Perda No.5 Th.2000 tentang pelaksanaan syariat islam adalah tuntunan
ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan. Djamil Ibrahim8 menyatakan bahwa di era
reformasi yang mulai bergulir di negeri ini Aceh tidak ketinggalan membaca peluang
diantaranya ialah keingin menjalankan Syariat Islam secara kaffah.
Perjuangan ini membuahkan hasil dengan lahir tiga buah Undang-Undang,
yaitu Undang-Undang keistimewaan Aceh No. 44 Tahun 1999 dan Undang-Undang No
18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, dan Undang Undang No.11 tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh.

Selanjutnya dalam pelaksanaannya diaturlah beberapa Perda dan Qanun


sebagai penjabaran dari pada amanah Undang-Undang tersebut. Perda dan Qanun
tersebut adalah:
Djamil Ibrahim, Mahkamah Syariyah Nagro Aceh Darussalam: Makalah Disampaikan Pada Calon
Hakim Di Anyer Jawabarat, Tahun 2007.
8

41

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

1. Perda No.5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan Syariat Islam


2. Perda No.3 Tahun 2000 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU)
3. Perda No.6 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan pendidikan.
4. Perda No.7 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan kehidupan adat.
5. Qanun Provinsi NAD No.10 Tahun 2002 tentang peradilan Syariat Islam.
6. Qanun Provinsi NAD No.11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariat Islam bidang
ibadah dan Syariat Islam.
7. Qanun Provinsi NAD No.12 Tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya.
8. Qanun Provinsi NAD No.13 Tahun 2003 tentang perjudian.
9. Qanun Provinsi NAD No.14 Tahun 2003 tentang khalwat.
10. Qanun Provinsi NAD No.7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat.
11. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun
12. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal ;
13. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat Dan Adat
Istiadat ;
14. Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Perlindungan Anak .
15. Dan Lain-Lain.

D. KEWENANGAN DAN KEKUASAAN MAHKAMAH SYARIYAH DI INDONESIA


1. Kewenangan Relatif
Kewenangan relatif adalah kewenangan mengadili oleh mahkamah syariyah
berdasarkan pada wilayah teritorialnya masing-masing. Pada kewenangan ini
mahkamah syariyah hanya menerima perkara yang berada pada wilayahnya. (lihat
Bab I bagian D)

2. Kewenangan Absolute
Kewenangan absolute adalah kewenangan mengadili oleh mahkamah
syariyah berdasarkan hukum materiil yang menjadi lingkup kewenanganya.
Mahkamah Syariyah adalah pengalihan wujud dari Pengadilan Agama yang telah
ada sebelumnya, maka hingga saat ini ada 23 Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota

42

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

di seluruh wilayah Aceh dan satu Mahkamah Syariyah Provinsi selaku pengadilan
tingkat banding yang berkedudukan di ibukota Provinsi Nangroe Aceh Darussalam
yakni di Banda Aceh.

Adapun Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar`iyah dan Mahkamah


Syar`iyah Provinsi (disebut Mahkamah Syariyah Aceh) adalah kekuasaan dan
kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama ditambah dengan
kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
dalam bidang ibadah dan syi`ar Islam yang ditetapkan dalam Qanun.

Kekuasaan dan Kewenangan Pengadilan Agama, sesuai dengan Pasal 49 ayat


(1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 49 Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, adalah
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
1. perkawinan;
2. waris;
3. wasiat;
4. hibah;
5. wakaf;
6. zakat;
7. infaq;
8. shadaqah; dan
9. ekonomi syariah .

Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud pada pada point 1 di atas,


adalah kekuasaan dan kewenangan menyangkut hal-hal yang diatur dalam atau
didasarkan kepada Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.

Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud pada point 2 di atas, adalah


kekuasaan dan kewenangan penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris,

43

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli


waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau


kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi : a)
Bank syariah; b) Lembaga keuangan mikro syariah; c) Asuransi syariah; d)
Reasuransi syariah; e) Reksa dana syariah; f) Obligasi syariah dan surat berharga
berjangka menengah syariah; g) Sekuritas syariah; h) Pembiayaan syariah; i)
Pegadaian syariah; j) Dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan k) Bisnis
syariah9.

Dalam melaksanakan amanat dari Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun


2001 dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 telah
memberikan kewenangan terhadap Mahkamah Syar`iyah untuk memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang:
a. Al-Ahwal al-Syakhshiyah;
b. Mu'amalah;
c. Jinayah.

Kekuasaan dan kewenangan tersebut akan dilaksanakan secara bertahap


sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia
dalam kerangka sistem Peradilan Nasional.

Lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh


tidak merubah status dan kewenangan Mahkamah Syariyah di Aceh. Bahkan
dengan Undang-undang tersebut, kewenangan Mahkamah Syariyah telah disebut
langsung di dalamnya yakni sebagaimana diatur dalam pasal 128 ayat (3) yang
berbunyi : Mahkamah Syariyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan

Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama Pasal 49 Huruf (i) Dan Penjelasannya.
9

44

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhshiah (hukum


keluarga), muamalah (hukum perdata) dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan
atas syariat Islam. Di samping itu Undang-undang tersebut mengamanatkan pula
untuk membentuk Qanun tentang hukum acara bagi Mahkamah Syariyah di Aceh,
baik hukum acara perdata Islam maupun hukum acara jinayah Islam.

Secara rinci kewengan absolute mahkamah syariyah dapat dikelompokan


sebagai berikut ini:
a. Bidang Ahwal Al-Syakhshiyah10
Dalam bidang Munakahah mahkamah syariayah berwenang mengadili perkaraperkara, yang meliputi kewenangan dalam bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah
dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
beserta penjelasan dari pasal tersebut, kecuali waqaf, hibah, dan sadaqah.

b. Bidang Muamalah11
Dalam bidang muamalah mahkamah syariayah berwenang mengadili perkaraperkara yang meliputi:
1)

Jual beli

2)

Hutang piutang

3)

Qiradh (Permodalan)

4)

Musaqah, muzara`ah, mukharabah (bagi hasil pertanian)

5)

Wakilah (Perwakilan)

6)

Syirkah (Perkongsian)

7)

`Ariyah (Pinjam-meminjam)

8)

Hajru (Penyitaan harta)

9)

Syuf`ah (Hak lang-geh)

10) Rahnun (Gadai)


10 Qanun Provinsi Nangro Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam
pasal 49 huruf (a) dan penjelasannya.
11

Ibid.,Pasal 49 huruf (b) dan Penjelasannya.

45

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

11) Ihya`ul mawat (Pembukaan la-han)


12) Ma`din (Tambang)
13) Luqathah (Barang temuan)
14) Perbankan
15) Ijarah (Sewa me-nyewa)
16) Takaful
17) Perburuhan
18) Wakaf
19) Hibah
20) Shadaqah
21) Hadiah
Kemudian timbul satu pertanyaan apakah mahkamah syar`iyah dengan
kekhususannya hanya berwenang mengadili bidang muamalat versi qanun no.
10 tahun 2002 dan tidak berwenang mengadili ekonomi syariah versi uu no. 3
tahun 2006 ? menurut Dr. H. Syamsuhadi Irsyad, SH, MH, dalam disertasinya
yang berjudul Mahkamah Syar`iyah Dalam Sistem Peradilan Nasional (2009 :
369) berpendapat bahwa perkara-perkara ekonomi syariah juga merupakan
kewenangan Mahkamah Syar`iyah dalam bidang muamalah , karena dalam
konteks ini Pengadilan Agama perlu dibaca sebagai Mahkamah Syar`iyah.

Dengan demikian Mahkamah syariyah juga berwenang mengadili


ekonomi syariah yang meliputi :
1)

Bank syariah;

2)

Lembaga keuangan mikro syariah;

3)

Asuransi syariah;

4)

Reasuransi syariah;

5)

Reksa dana syariah;

6)

Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah;

7)

Sekuritas syariah;

8)

Pembiayaan syariah;

9)

Pegadaian syariah;

46

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

10) Dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan


11) Bisnis syariah 12.

c.

Bidang Jinayah
Dalam bidang Jinayah13 mahkamah syariyah berwenang mengadili perkaraperkara yang meliputi: hudud, Qishas/diyat dan tazir, secara rinci sebagai
berikut:
Hudud, yang meliputi :
1) Zina
2) Qadzaf (Menu-duh berzina)
3) Mencuri
4) Merampok
5) Minuman ke-ras dan Nafza
6) Murtad
7) Pemberontakan

Qishash/Diyat, meliputi :
1) Pembunuhan
2) Penganiayaan

Tazir, hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran


syariat selain hudud dan qishash, me-liputi :
1) Judi
2) Penipuan
3) Pemalsuan
4) Khalwat
5) Meninggalkan shalat fardhu
6) Meninggalkan puasa Ramadhan.
12 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama Pasal 49 Huruf (i) Dan Penjelasannya.
13

Ibid.,Pasal 49 huruf (c) dan Penjelasannya

47

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB III
ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA MAHKAMAH SYARIYAH14

A. PENDAHULUAN

Salah satu persoalan fundamental yang tidak boleh diabaikan jika kita
membicarakan tentang penyelesaian perkara pidana di lingkungan peradilan, adalah
pembicaraan tentang keterkaitan antara asas-asas hukum acara pidana disatu pihak
dengan teknis pemeriksaan dan penyelesaian perkara pidana oleh hakim di lain pihak.
Fungsi dari asas-asas hukum acara pidana di dalam penyelesaian perkara pidana, tidak
lain untuk menjaga agar konsistensi peraturan hukum tetap dapat dipertahankan
dalam penegakan hukum yang berkeadilan.

Keberadaan asas-asas hukum acara pidana dalam kewenangan proses


penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sampai dengan pemeriksaan dan
penyusunan putusan pada majelis persidangan pengadilan negeri atau pengadilan hak
asasi manusia ad hoc sampai dengan pelaksanaan putusan yang dibuat oleh hakim itu
adalah untuk menjaga ketaatan asas, sebagai contoh : Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia berlaku asas retro aktif (berlaku
surut), terhadap pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya UU tersebut
tanggal 23 November 2000. Misalnya dapat dilakukan terhadap pelanggaran HAM yang
terjadi ketika peristiwa G-30 S PKI, Tanjung Priok, Lampung dan lain sebagainya.
Menurut Pasal 46 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 untuk pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat tidak berlaku ketentuan mengenai kedaluwarsa.

Asas hukum acara pidana sebagai aturan yang abstrak dapat dilahirkan
kembali secara lebih kongkrit melalui berbagai perwujudan, baik dalam peraturanperaturan hukum tertulis maupun dalam kebiasaan dan jurisprudensi. Untuk itu, bagi
14 Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Bahan Ajar Diklat II Calon Hakim Peradilan
Agama Program Pendidikan Dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu (PPC Terpadu), 2012.hal.142-167 dan
disadur dengan beberapa sumber yang lain.

48

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

setiap hakim yang memeriksa perkara pidana biasa maupun pelanggaran HAM berat
senantiasa harus taat asas atau konsisten dengan asas-asas hukum acara pidana yang
berlaku dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara pidana maupun pelanggaran
HAM.

B. TERMINOLOGI ASAS HUKUM


Pengertian asas berasal dari bahasa arab, asasun. Artinya dasar, basis, fondasi.
Kalau dihubungkan dengan sistem berfikir yang dimaksud dengan asas adalah
landasan berfikir yang sangat mendasar. Oleh karena itu, didalam bahasa Indonesia,
asas mempunyai arti (1) dasar, alas, pedoman. Asas dalam pengertian ini dapat dilihat
misalnya, dalam urutan yang disesuaikan dengan kata-kata:..batu itu baik benar
untuk fondamen atau fondasi rumah. (2) kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir
atau pendapat. Makna ini terdapat misalnya

dalam ungkapan; pernyataan itu

bertentangan dengan asas-asas hukum acara pidana. (3) cita-cita yang menjadi dasar
organisasi atau Negara. Hal ini jelas dalam kalimat; dasar Negara Republik Indonesia
adalah Pancasila.15

Salah satu term yang harus diketahui oleh kalangan hakim dalam menjalankan
fungsinya sebagai penegak hukum dan keadilan

adalah mengenai asas hukum.

Istilah asas dalam bahasa Inggris disebut dengan principle. Menurut kamus A.S.
Homby,16 principle dalam arti sempit adalah basic-truth atau general law of couse
and effect. Sedangkan principle dalam arti yang lebih luas adalah Principle is a
fundamental truth or doctrine, as of law : a comprehensive rule or doctrine which
fumishes a basis or origin for others. Asas hukum adalah yang melahirkan aturan
hukum dan merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Dengan demikian, asas
hukum adalah lebih abstrak dari peraturan hukum.
15 H. Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Cet.XVI, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal.126.

A.S. Homby, The Advanced Leaners Dictionary of Current English, The English Language Book Society
and Oxford University Press, 1972, halaman 769.
16

49

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum adalah merupakan jantungnya


peraturan hukum.17 Sedangkan menurut Paton, asas hukum tidak akan pernah habis
kekuatannya hanya karena telah melahirkan suatu aturan atau peratuan hukum,
melainkan tetap saja ada dan akan mampu terus melahirkan aturan dan peraturan
hukum untuk seterusnya.18 Asas hukum mengandung nilai-nilai dan tuntuan-tuntutan
etis. Apabila kita membaca suatu peraturan hukum, mungkin kita tidak menemukan
pertimbangan etis di situ, tetapi asas hukum menunjukkan adanya tuntutan etis yang
demikian itu, atau setidak-tidaknya kita bisa merasakan adanya petunjuk ke arah itu.19

Aturan hukum sebagai suatu sistem tidak menghendaki adanya konflik, dan
andaikata timbul konflik dalam sistem hukum itu, asas-asas hukumlah yang berfungsi
untuk menyelesaikan konflik-konflik itu. Sebagai contoh, jika ada konflik antara suatu
peraturan yang umum dengan peraturan sederajat yang khusus, maka diselesaikan
dengan asas Lex specialis derogat legi generali , hukum khusus didahulukan dari
hukum umum. Demikian juga jika ada peraturan yang lebih rendah bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi, diselesaikan dengan asas Lex superior derogat legi
inferiori, hukum yang lebih tinggi tingkatannya didahulukan dari hukum yang lebih
rendah. Jika ada pertentangan antara peraturan lama dengan peraturan baru, maka
diselesaikan dengan asas Lex posteriori derogat legi priori, peraturan yang baru
didahulukan dari peratuan yang lama.

Meskipun asas hukum bukan peraturan hukum, namun keberadaannya adalah


sebagai susuatu yang bersifat ratio legis-nya hukum, tidak ada hukum yang dapat
dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada didalamnya. Asas hukum
berperan sebagai pemberi arti etis terhadap peraturan-peraturan hukum, tata
hukum, dan sistem hukum.
17

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982, halaman 85.

18 Paton (1971: 204) dalam Rusli Effendy, Achmad Ali, Poppy Andi Lolo, Teori Hukum, Cet. I, Hasanuddin
University Press, Ujung Pandang, 1991, halaman 28.
19

Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hal. 86.

50

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Berbagai pernyataan dari kalangan para pakar ilmu hukum tentang pentingnya
peranan asas hukum sebagai pemberi arti etis terhadap aturan hukum, tata hukum,
dan sistem hukum, dapat di baca dalam pernyataan-pernyataannya berikut ini :20

Bellefroid, menyatakan bahwa asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan
dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturanaturan yang lebih umum. Asas hukum itu merupakan pengendapan hukum positif
dalam suatu masyarakat.

Van Eikema Hommes, menyatakan bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap
sebagai norma-norma hukum yang kongkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai
dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan
hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain,
asas hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.

Paul Scholten, menyatakan bahwa asas hukum adalah kecenderungankecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum,
merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang
umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.
Dari ketiga pernyataan para pakar hukum di atas tentang keberadaan asas
hukum, pandangan Bellefroid tidak memberikan gambaran jelas tentang apa yang
disebut asas hukum. Kemudian apa yang dikemukakan oleh Van Eikema Hommes dan
Paul Scholten adalah lebih jelas, di mana dari keduanya dapat disimpulkan bahwa asas
hukum bukan peraturan hukum yang kongkrit, melainkan pikiran dasar yang bersifat
umum dan merupakan latar belakang dari peraturan yang kongkrit yang terdapat di
dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam wujud peraturan
perundang-undangan maupun putusan hakim.
20

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1986, halaman 32-34.

51

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Paul Scholten, di samping telah memberikan pernyataan tentang asas hukum


sebagaimana diuraikan di atas, dia juga mengajarkan tentang adanya 5 (lima) asas
hukum yang universal, yaitu :21 1). Asas Kepribadian, 2). Asas Persekutuan, 3). Asas
Kesamaan, 4). Asas Kewibawaan, dan 5). Asas Pemisahan antara baik dan buruk.

Asas Kepribadian dicerminkan dengan pengakuan hak dan kewajiban serta


pengakuan adanya subyek hukum. Asas Persekutuan dicerminkan oleh kehendak
untuk mewujudkan keutuhan masyarakat. Asas Persamaan mencerminkan keinginan
untuk memperoleh keadilan dan berdasarkan pada asas persamaan itu di bidang
peradilan di kenal dengan asas persamaan bagi setiap orang untuk diberlakukan
sama di muka hukum, dan Asas Kewibawaan adalah mencerminkan adanya
keinginan akan adanya ketidaksamaan. Sedangkan asas pemisahan antara baik dan
buruk adalah melingkupi ke-empat asas sebelumnya.22

C.

LATAR BELAKANG LAHIRNYA ASAS HUKUM

Latar belakang lahirnya asas hukum adalah dipengaruhi oleh dan dari konteks
sosial tertentu. Oleh sebab itu, apabila kita berbicara tentang konteks sosial, maka
unsur keyakinanlah yang lebih dominan melatarbelakangi terbentuknya asas hukum,
meskipun pada sisi lain tidak tertutup kemungkinan apabila kita berbicara tentang
konteks sosial, maka berarti kita berlatar-belakangkan keyakinan bahwa asas hukum
itu tidak lain lahir dari hasil pemikiran masyarakat tertentu.

Asas hukum yang lahir dari hasil pemikiran masyarakat tertentu dapat diberikan
contoh yang populer di kalangan pemerhati dan pengkaji hukum, yakni asas the rule

21 Paul Scholten, Handleiding tot de Beoefening vat Het Nederlandsch Burgerlijke Recht, Algemeen Deel,
Zwolle, Tjeenk, Willink, 1954, hal.405.
22

Ibid.

52

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

of law. Asas ini lahir pada abad XVIII sebagai alat dari kaum Borjuis23 ketika itu, untuk
melawan kekuasaan raja dan kaum bangsawan yang feodal.24 Untuk dapat merebut dan
meruntuhkan pengaruh

raja dan kaum bangsawan yang feodal itu

yang

keberadaannya sangat dominan pengaruh kekuasaannya, maka kaum borjuis


menciptakan suatu struktur sosial

baru yang dapat mengatasi dan membatasi

kekuasaan raja dan kaum bangsawan, yakni menciptakan asas hukum berupa the
rule of law yang bertujuan untuk mendudukkan semua manusia adalah sama
kedudukannya di muka hukum. Sebenarnya asas hukum the rule of law ini lahir untuk
menunjang kepentingan perebutan kekuasaan golongan borjuis terhadap raja dan
kaum bangsawan yang berkuasa ketika itu.

Keberadaan asas the rule of law yang sangat populer dewasa ini, memang tidak
dapat sangkal mengenai nilai positifnya, namun dengan melihat latar belakang
sejarahnya, asas the rule of law ini tidaklah dapat kita terima begitu saja sebagai
doktrin yang universal, yang pasti cocok dan dapat ditransfer di masyarakat mana saja.
Penerapan asas the rule of law ini membutuhkan penyesuaian sosial 25 di mana asas
ini ingin diterapkan. Sebab persepsi setiap masyarakat terhadap konkritisasi dari asas
the rule of law akan senantiasa ditentukan dan dipengaruhi oleh berbagai faktor non
hukum, seperti faktor politik, budaya, dan sosial.

Menurut Schuyt, asas hukum yang dibentuk dalam konteks sosial tertentu,
apabila ingin diterapkan pada kondisi masyarakat sosial tertentu lainnya harus selektif
dan hati-hati, sebab kondisi sosio-masyarakat dalam satu tempat dengan kondisi sosiomasyarakat pada tempat lainnya tidak selalu sama. Pandangan Schuyt ini sejalan
dengan pendapat Robert Seidman yakni the law of the non transferbility of law
(hukum itu tidak dapat begitu saja ditransfer dari satu masyarakat ke masyarakat
lainnya). Terlebih lagi, dinamika hukum yang hidup di dalam masyarakat tertentu
23

Kaum Borjuis adalah kaum intelektual dan usahawan

24

Kaum Feodal adalah kalangan raja dan bangsawan.

25

Satjipto Rahardjo, Op.Cit., halaman 90.

53

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

sangat berbeda dengan dinamika hukum yang hidup pada masyarakat lainnya yang
berkembang secara pesat mengikuti perkembangan masyarakatnya masing-masing.
Apabila asas hukum yang dibentuk oleh kondisi masyarakat tertentu pada masa lalu,
belum tentu sesuai dengan fakta sosial masa sekarang dan masa yang akan datang. Hal
ini, sesuai dengan pendapat yang menyatakan het recht hinkt achter de feiten aan
(hukum selalu tertatih-tatih mengejar fakta).26
D. ASAS HUKUM ACARA PIDANA DALAM AL-QURAN27

1. Asas keadilan
merupakan asas yang sangat penting dalam hukum Islam. Sedemikian
pentingnya, sehingga ia dapat di sebut sebagai asas semua asas hukum islam. Di
dalam Al-Quran karena pentingnya kedudukan dan funfsi kata itu, keadilan disebut
lebih dari 1000 kali, terbanyak setelah kata Allah dan ilmu pengetahuan. Banyak
ayat-ayat al-Quran yang menyuruh manusia berlaku adil dan menegakkan
keadilan. Antara lain dalam surat Sad (38) ayat; 26:


Artinya:
Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan
adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat
dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan
hari perhitungan.
26

Ibid.

Materi ini disadur dari bukunya H. Mohammad Daud Ali, Op.Cit, Hal.127-132. Dan Alquran serta
terjemahnya.
27

54

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Dalam Al-Quran Surat al-Nisa (4) ayat; 135 Allah memerintahkan agar manusia
menegakkan keadilan, walaupun terhadap dirinya sendiri, orang tua dan keluarga
dekat.


Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia[orang yang tergugat
atau yang terdakwa] kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena
ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (katakata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha
mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.(al-nisa (4) ayat: 135).

Dalam surat al-maidah (5) ayat; 8, Allah menegaskan agar manusia berlaku adil
sebagai saksi, berlaku lurus dalam melaksanakan hukum, kendatipun ada tekanan,
ancaman atau rayuan dalam bentuk apapun juga. Didalam ayat itu juga di ingatkan
kepada para penegak hukum agar kebencian terhadap seseorang atau suatu
golongan tidak menyebabkan ia tidak berlaku adil dalam menyelenggarakan
hukum.

55

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang
diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak
menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), Maka Allah
menahan tangan mereka dari kamu. dan bertakwalah kepada Allah, dan
hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.
(al-Maidah (5) ayat :8)
2. Asas Kepastian Hukum

Asas ini antara lain disebtkan dalam Al-Quran surat Al-Israa (17) ayat: 15:


Artinya:
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka
Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan
Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang
lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.

Surat Al-maidah (5) ayat: 95 ada penegasan dari Allah bahwa Allah SWT
memaafkan apa yang tejadi dimasa lalu.

56

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang
buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu
membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan
binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut
putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa
sampai ke Ka'bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi
Makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang
dikeluarkan itu, supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya.
Allah telah memaafkan apa yang telah lalu dan Barangsiapa yang kembali
mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi
mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.

Dari kutipan kedua ayat diatas, yaitu: Kami tidak akan meng'azab sebelum
Kami mengutus seorang rasul dan .Allah telah memaafkan apa yang telah lalu ..
dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum tidak
dapat diberi sanksi kecuali telah diatur oleh undang-undang. Pada era modern asas
ini biasa disebut asas kepastian hukum.

3. Asas Kemanfaatan
Asas kemanfaatan

adalah asas yang mengiringi asas keadilan dan asas

kepastian hukum yang sebaiknya dipertimbangkan oleh hakim bagi subjek hukum
dan kepentingan masyarakat umum. Allah berfirman dalam Al-Quran Surat AlBaqarah (2) ayat 178:

57

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH


Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang
mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af)
membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula).
yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa
yang sangat pedih.
Pada seorang yang melakukan perbuatan pembunuhan yang diancam dengan
hukuman mati maka seorang hakim harus mempertimbangkan dari aspek
kemanfaatan yang ada bagi terdakwa dan juga kepentingan masyarakat umum. Jika
hukuman mati lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat umum maka
hukuman mati lebih baik. Jika tidak melaksanakan hukuman mati lebih bermanfaat
bagi terdakwa dan keluarga korban maka dapat diganti dengan hukuman diyat
untuk keluarga korban.
4. Asas legalitas

Asas legalitas maksudnya bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dihukum,
kecuali jika sudah ada undang-undang yang sebelumnya telah mengancam sanksi
atas perbuatan itu. Asas legalitas ini termasuk asas yang tidak bersifat universal,
melainkan spesifik sifatnya, karena hanya mungkin dianut oleh masyarakat yang

58

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

telah memiliki hukum tertulis saja, terhadap masyarakat yang berpegang pada
hukum adat atau kebiasaan misalnya tidak mengenal asas legalitas ini secara
konsisten. Asas legalitas dapat kita temukan dalam Al-Quran, antara lain dalam
surat al-israa (17) ayat 15 dan Surat al-anam (6) ayat 19:


Artinya:
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka
Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan
Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang
lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang
rasul.(Al-Israa [17] ayat:15)


Artinya:
Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah:
"Allah". Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. dan Al Quran ini
diwahyukan kepadaku supaya dengan Dia aku memberi peringatan
kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya).
Apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di
samping

Allah?"

Katakanlah:

59

"Aku

tidak

mengakui."

Katakanlah:

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

"Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)".(Al-Anam
[6] ayat: 19)

5. Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Pada Orang Lain

Dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan tentang


larangan pemindahan pidana pada orang lain. Setiap orang bertanggungjawab
dengan perbuatanya masing-masing. Sehingga tidak dibenarkan seorang memikul
tanggungjawab pidana atau kesalahan atas tindak pidana atau kesalahan orang
lain.
Adapun ayat Al-quran yang menjelaskan asas ini antara lain 6:164, 35:18,
39:7, 53:38, 74:38.


Artinya:
Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia
adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa
melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. kemudian kepada
Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang
kamu perselisihkan."( Q.S. Al-Anam [6] ayat:164)

60

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH


Artinya:
Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. dan jika
seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul
dosanya itu Tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang
dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri
peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya
(sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang.
dan Barangsiapa yang mensucikan dirinya, Sesungguhnya ia mensucikan
diri

untuk

kebaikan

dirinya

sendiri.

dan

kepada

Allahlah

kembali(mu).(Q.S.Al-Faathir [35] ayat: 18)

6. Asas Praduga Tak Bersalah

Mohammad Daud Ali28 menjelas bahwa ayat-ayat al-quran yang


menjelaskan asas legalitas dan asas tidak boleh memindahkan kesalahan pada
orang lain juga dapat ditarik asas praduga tidak bersalah. Seseorang yang dituduh
melakukan tindak pidana harus tianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan
bukti-bukti yang menyakinkan menyatakan dengan tegas memutus orang tersebut
bersalah.

28

Mohammad Daud Ali, OpCit.,, Hal131-132.

61

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

E.

ASAS HUKUM ACARA PIDANA UNIVERSAL

Asas-asas hukum acara pidana secara global diatur dalam Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pada umumnya asas-asas
hukum acara pidana itu bersifat universal, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa
terdapat juga asas hukum yang tidak selalu universal, melainkan bersifat spesifik untuk
suatu masyarakat tertentu. Dari titik tolak optiik kedua undang-undang tersebut,
dapatlah disebutkan bahwa asas-asas universal Hukum Acara Pidana itu adalah:

1.

Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence)

Asas

praduga

tidak

bersalah

atau

presumption

of

innocence,

keberadaannya tampak pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 dan


penjelasan umum angka (3) hurus (c) KUHAP yang menentukan bahwa:
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan / atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap

Penerapan asas presumption of innocence adalah bahwa selama proses


peradilan masih berjalan, baik di tingkat pertama, banding, maupun kasasi dan
belum memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka
terdakwa belum dapat dikategorikan bersalah sebagai pelaku tindak pidana.
Untuk itu, selama proses peradilan pidana baginya mendapatkan beberapa hak
sebagaimana diatur dalam undang-undang, yaitu : hak untuk segera mendapatkan
pemeriksaan dalam tahap penyidikan, hak segera mendapatkan pemeriksaan
oleh pengadilan, hak mendapatkan juru bahasa, hak untuk memperoleh bantuan,
dan hak untuk mendapatkan putusan yang seadil-adilnya.

62

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

2.

Asas Oportunitas

Dalam hukum acara pidana menurut Pasal 1 butir (a dan b) serta Pasal 137
dan seterusnya KUHAP dikenal suatu badan yang khusus diberi kewenangan
untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut penuntut umum
atau Jaksa. Kewenangan penuntutan oleh penuntut umum bersifat dominus litis
artinya bahwa monopoli tugas ini dilakukan oleh Penuntut Umum, sedangkan
Hakim menunggu saja dari tuntutan Penuntut Umum.

Sedangkan yang dimaksud dengan asas aportunitas adalah bahwa


penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika
menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Jadi, demi
kepentingan umum, seseorang yang melakukan delik tidak dituntut.29

Secara yuridis normatif asas oportunitas diatur dalam Pasal 35c UU Nomor
16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yakni Jaksa Agung dapat
menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum.

3.

Asas Accusatoir dan Inquisitoir

Kebebasan memberi dan mendapatkan nasehat hukum menunjukkan


bahwa dengan KUHAP telah dianut asas accusatoir. Hal ini, berarti perbedaan
antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada
asasnya telah dihilangkan.30

Adapun yang dimaksud dengan asas inquisitoir adalah bahwa tersangka


dipandang sebagai obyek pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR untuk

29

30

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, WD. II, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, halaman 17.
Ibid.

63

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

pemeriksaan pendahuluan, sama halnya dengan Ned.Sv. yang lama yaitu Tahun
1838 yang dirivisi tahun 1885.31

Sejak tahun 1926, yaitu berlakunya Ned. Sv. Yang baru di negeri Belanda
telah dianut asas gematigd accusatoir yang berarti bahwa tersangka dipandang
sebagai pihak pada pemeriksaan pendahuluan dalam arti terbatas, yaitu pada
pemeriksaan perkara-perkara politik, berlaku asas inquisitoir.32
Asas inquisitur ini sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka
merupakan alat bukti terpenting. Dalam pemeriksaan selalu pemeriksa berusaha
mendapatkan pengakuan dari tersangka.

4.

Asas Audi Et Alteram Partem

Makna dari asas audi et alteram partem ini pada mulanya adalah
dengarlah juga pihak lain33 namun dalam perkembangannya asas ini dapat juga
dimaknai sebagai keterangan saksi di persidangan yang bersumber dari
keterangan (cerita) orang lain, bukan keterangan yang bersumber dari suatu
peristiwa hukum yang saksi dengar, lihat, dan/atau alami sendiri. Kembali pada
makna asal dari asas audi et alteram partem, yakni dengarlah juga pihak lain,
hakim diwajibkan untuk tidak memutus suatu perkara yang diperiksanya
sebelum kedua belah pihak yang berperkara didengar keterangannya terlebih
dahulu, berikut bukti-bukti yang diajukannya. Di dalam hukum acara pidana, asas

31

Ibid.

32

Fockema Andreae dalam Andi Hamzah, Ibid.

33

Ibid.

64

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

ini dapat juga dipersamakan dengan asas the presumption of innocence (asas
praduga tak bersalah).34

Asas audi et alteram partem yang dapat disejajarkan dengan asas the
presumtion of innocence di atas, dalam penerapannya menurut hukum positif
yang berlaku di Indonesia adalah diatur dalam Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni Setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak
bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kemudian pada Pasal 6 (2) UU ini
memperluas pemaknaan asas the presumption of innocence yakni Tidak
seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat
pembuktian yag sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan
yang didakwakan atas dirinya.

5.

Asas Independen

Asas ini merupakan asas paling sentral dalam kehidupan peradilan. Sebab
peradilan diselenggarakan secara merdeka, bebas dari campur tangan pihak
kekuasaan negara lainnya dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau
rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang
diijinkan undang-undang.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,


Bab 1, dalam ketentuan umum, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1, yakni
34 Sebagaimana Pasal 8 dan Pasal 6 (2) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Bahwa
setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan /atau dihadapkan di depan pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, dan bahwa tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila
pengadilan, karena alat pembuktian yang menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa
seseorangyang dianggap dapat bertanggung jawab, telah besalah atas perbuatan yang didakwakan atas
dirinya.

65

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk


menyelenggarakan

peradilan

guna

menegakkan

hukum

dan

keadilan

berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik


Indonesia.

Memperhatikan bunyi pasal tersebut di atas, maka dapat dijabarkan


beberapa sendi filosofi dalam upaya penegakan hukum yang dilaksanakan oleh
badan-badan peradilan, yakni:
1) Kekuasaan kehakiman (judicial power) dalam melaksanakan fungsi
peradilan adalah sebagai alat kekuasaan negara yang lazim disebut
kekuasaan yudikatif.
2) Tujuan diberikan kemerdekaan bagi kekuasaan kehakiman dalam
menyelenggarakan fungsi peradilan adalah:
a. Agar

hukum

dan

keadilan

berdasarkan

Pancasila

dapat

ditegakkan;
b. Benar-benar

dapat

diselenggarakan

kehidupan

bernegara

berdasar hukum, kerena memang Negara Kesatuan Republik


Indonesia adalah Negara Hukum ( Rechtstaat).

6.

Asas Sidang Terbuka untuk Umum


Pada dasarnya, keterbukaan dari suatu proses peradilan (openbaarheid
van het proces) adalah sangat dibutuhkan. Hal ini dimaksudkan untuk menjunjung
tinggi hak asasi manusia serta menjamin objektifitas pemeriksaan yang fair.

Asas terbuka untuk umum, secara eksplisit tercermin dalam ketentuan


Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, Penjelasan Umum angka (3) huruf (i)
KUHAP dan diuraikan juga dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP, yakni : untuk
keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan
terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwanya anakanak.

66

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Apabila tidak memenuhi asas ini, menurut Pasal 153 ayat (4) KUHAP jo
Pasal 13 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009, maka seluruh pemeriksaan dalam
perkara tersebut beserta putusannya tidak sah, tidak memiliki kekuatan hukum,
serta putusan batal demi hukum. Karena menurut Pasal 13 (2) UU No. 48 Tahun
2009 jo Pasal 195 disebutkan bahwa putusan hanya sah dan memiliki kekuatan
hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Yang dimaksud dengan terbuka untuk umum adalah terbuka untuk siapa
saja yang ingin menghadiri, menyaksikan dan mendengar jalannya pemeriksaan
persidangan tanpa mempersoalkan apakah mereka ada kepentingan atau tidak.

7.

Asas Equality Before the Law

Asas equality merupakan salah satu manifestasi dari negara hukum


(rechtstaat), sehingga harus ada perlakuan yang sama bagi setiap orang di depan
hukum (gelijkheid van ieder voor de wet). Adapun elemen yang melekat pada asas
Equal Before the Law adalah : a). asas Equal Protection on Law (Hak perlindungan
yang sama di depan hukum), dan b). asas Equal Justice Under the Law (hak
mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum).
Hukum acara pidana tidak mengenal adanya peraturan yang memberi
perlakuan khusus kepada terdakwa (forum prevelegiatum), sehingga pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 dan Penjelasan
Umum angka (3) huruf (a) KUHAP.

Bahwa pengadilan agama

mengadili perkara menurut hukum dengan

tidak membeda-bedakan orang. Untuk itu, hakim harus memperlakukan sama


kepada siapapun sebagai terdakwa, sehingga tidak ada pembedaan yang bersifat
diskriminatif, baik dalam bentuk diskriminasi normatif maupun diskriminasi

67

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

kategoris. Maksud dari diskriminasi normatif adalah membedakan aturan hukum


yang berlaku terhadap terdakwa tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan
diskriminasi

kategoris

adalah

membeda-bedakan

perlakuan

pelayanan

berdasarkan status social, ras, agama, suku, jenis kelamin dan budaya.

8.

Asas Ratio Decidendi /Basic Reasion (Putusan Harus Disertai Alasan)


Semua putusan perkara pidana lingkungan peradilan umum harus mamuat
alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk mengadili, memuat pasal-pasal tertentu
dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum lain
yang dapat dijadikan dasar untuk mengadili.

Asas ratio decidendi / basic reation adalah diatur dalam Pasal 50 (1) UU
No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana sebuah putusan
harus mencakup tiga hal pokok yakni : a).

Rasional; b).

Aktual; dan c).

Mengandung nilai-nilai kemanusiaan, peradaban dan kepatutan.

9.

Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan diatur dalam Pasal 2
ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009 dan Penjelasan Umum Angka (3) huruf (e)
KUHAP. Sedangkan yang dimaksud dengan asas sederhana, cepat, dan biaya
ringan adalah :35
a. Sederhana, yaitu proses beracara dengan jelas, mudah dipahami dan

tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas


yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada
formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya
berbagai penafsiran;

Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah
(lengkap dengan blanko-blanko), Penerbit IKAHI- MA-RI, Jakarta, 2008 halaman 9.
35

68

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

b. Cepat, yaitu dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam

menginventarisir persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan


persoalan tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok
persoalan untuk selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti
yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim,
maka tidak ada cara lain kecuali mejelis hakim harus secepatnya
mengambil putusan untuk dibacakan di muka persidangan yang
terbuka untuk umum;
c. Biaya ringan, yaitu harus diperhitungkan secara logis, rinci dan

transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan


para

pihak

dalam

perkara.

Sebab

tingginya

biaya

perkara

menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap


keberadaan pengadilan. Khusus persoalan biaya sebenarnya harus
mengacu pada payung hukum tersendiri berupa PP, karena
menyangkut mengenai penerimaan negara bukan pajak, melalui
lembaga negara berupa pengadilan.

Dengan dilakukan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan


dimaksudkan agar terdakwa tidak diperlakukan dan diperiksa sampai berlarutlarut. Penerapan asas ini adalah diterapkannya pembatasan penanganan perkara
baik perdata maupun pidana pada tingkat yudex facti (pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi), yakni masing-masing selama 6 (enam) bulan, dan bila dalam
waktu ini belum selesai diputus, maka Ketua Pengadilan Negeri wajib melaporkan
hal tersebut beserta alasan-alasannya kepada Ketua Pengadilan Tinggi, dan hal
yang sama bagi Pengadilan Tinggi wajib melapor kepada Ketua Mahkamah Agung
RI. (SEMA Nomor 6 Tahun 1992 tanggal 21 Oktober 1992).

10. Asas Nemo Judex Indoneus in Propria Causa

Maksud dari asas nemo judex indoneus in propria causa ini adalah
bahwa tidak seorangpun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya

69

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

sendiri.36 Secara tekstual maupun kontekstual penerapan asas ini dapat


diberlakukan secara universal

di berbagai negara yang mendasarkan diri

sebagai negara hukum.

Asas nemo judex indoneus in propria causa ini sering juga disebut sebagai
asas objektivitas dari hakim dan / atau asas hak ingkar. Penerapan asas ini,
dalam hukum positif Indonesia diimplementasikan ke dalam Pasal 17 ayat (1
s/d 7) UU Nomor 48 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu hak
seorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan
terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.

Dilihat dari aspek teoritik dan praktik, secara lebih luas hak ingkar
dapat dilihat dari 2 (dua) optik pandangan, yaitu:
1) Hak ingkar terminologinya kewajiban mengundurkan diri bagi hakim
apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga atau adanya hubungan suami istri meskipun sudah
bercerai dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat
atau panitera (Pasal 17 ayat (3) dan (4) UU Nomor 48 Tahun 2009 jo
Pasal 157 ayat (1 dan 2) KUHAP) atau karena ada kepentingan
langsung maupun tidak langsung (Pasal 220 KUHAP). Apabila terjadi
pelanggaran, seorang hakim atau panitera tidak mengundurkan diri
dari persidangan padahal mempunyai kepentingan langsung atau
tidak langsung dalam perkara yang sedang diperiksanya, baik atas
kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang diadili atau
advokat, maka menurut Pasal 17 ayat (6) UU No. 48 Tahun 2009
mengakibatkan putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim
atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau
dipidana berdasar peraturan perundang-undangan.

36

Rusli Effendy, Op.Cit., halaman 72.

70

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

2) Hak ingkar terminologinya tidak dapat didengar keterangannya dan


dapat mengundurkan diri sebagai saksi karena adanya hubungan
keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa, saudara terdakwa,
saudara ibu/bapak dan anak-anak saudara terdakwa sampai serajat
ketiga, dan suami istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama terdakwa (Pasal 168 KUHAP).
11. Asas Unus Testis Nullus Testes

Maksud dari asas unus testis nullus testes adalah satu saksi bukan saksi.
Asas ini berlaku universal sifatnya, yakni berlaku di hampir seluruh sistem
hukum di dunia modern dewasa ini, baik dalam perkara perdata maupun
pidana. Untuk membuktikan suatu peristiwa di muka persidangan pengadilan,
tidak cukup hanya dengan keterangan seorang saksi saja, tanpa adanya alat
bukti lainnya.

12. Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori

Maksud asas lex superior derogat legi infiriori ini adalah bahwa jika
antara aturan hukum yang lebih tinggi hierakhinya bertentangan dengan aturan
yang lebih rendah hierarkhinya, maka yang akan didahulukan adalah aturan
yang lebih tinggi hierarkhinya. Asas lex superior derogat legi infiriori tampaknya
telah dijadikan sebagai asas hukum yang universal, karena telah dianut pada
semua sistem hukum di dunia modern ini. Asas lex superior derogat legi infiriori
sejalan juga dengan asas hukum Islam, yakni kalau suatu Hadits bertentangan
dengan Al-Quran, Hadits itu harus dianggap palsu, siapapun yang meriwayatkan
hadits itu.37

37

Haekal, 1982 dalam Rusli Effendy, op.cit. halaman 102.

71

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

13. Asas Ius Curia Novit

Maksudnya adalah bahwa hakim dianggap tahu akan hukum. Sehingga


tidak ada alasan bagi hakim untuk tidak mengetahui hukum.

Asas ius curia novit secara yuridis formal hukum positif di Indonesia
adalah diatur dalam Pasal 5 (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 yakni Hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat, Kemudian Pasal 10 (1) UU Nomor 48 Tahun 2009
disebutkan bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas (recht vacum), melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya. Menggali hukum dapat dilakukan melalui peraturan perundangundangan maupun nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law/
local wisdem)

14. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali

Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali disebut
juga dengan asas legalitas maksudnya adalah bahwa tidak ada perbuatan yang
dapat dihukum, kecuali jika sudah ada undang-undang yang sebelumnya telah
mengancam sanksi atas perbuatan itu. Asas legalitas ini termasuk asas yang
tidak bersifat universal, melainkan spesifik sifatnya, karena hanya mungkin
dianut oleh masyarakat yang telah memiliki hukum tertulis saja, terhadap
masyarakat yang berpegang pada hukum adat atau kebiasaan misalnya tidak
mengenal asas legalitas ini secara konsisten.

Asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali ini dianut dan
diterapkan dalam perkara hukum pidana, tidak terkecualikan di dalam hukum
positif pidana Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.

72

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

15. Asas Pemeriksaan Perkara Pidana dengan Kehadiran Terdakwa

Asas pemeriksaan perkara pidana dengan hadirnya terdakwa secara


yuridis normatif diatur dalam : Pasal 154, Pasal 176 Ayat (2), Pasal 196 ayat (1)
KUHAP, dan Pasal 12 (1) UU No. 48 Tahun 2009, yakni : Pengadilan
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan kehadiran
terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain. Asas ini berlaku terhadap
perkara-perkara yang diajukan secara biasa (Pid. B) dan singkat (Pid.S).

Adapun ketidakhadiran terdakwa yang dibenarkan menurut undangundang adalah diatur dalam Pasal 12 (2) UU No. 48 Tahun 2009, yakni dalam
hal tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai,
putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.

Dikaji dari perspektif praktik peradilan, apabila terdakwa pernah hadir di


sidang pengadilan kemudian berikutnya tidak pernah hadir lagi sampai
penjatuhan putusan, putusan terhadap terdakwa tetap dijatuhkan (bukan
putusan in absentia), karena menurut Mahkamah Agung putusan tersebut
adalah tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 196 ayat (1) KUHAP.38

16. Asas Bantuan Hukum

Secara yuridis normatif asas bantuan hukum ditegaskan pada penjelasan


umum angka (3) huruf (f) KUHAP, yakni Setiap orang yang tersangkut perkara
wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum semata-mata diberikan
untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya. Sedang menurut UU
Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 56 ayat (1), yakni setiap orang yang tersangkut
perkara berhak memperoleh bantuan hukum.

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Normatif, Teoretis, Praktik, dan Permasalahannya), Penerbit PT.
Alumni, Bandung, 2007, halaman 17.
38

73

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Lebih lanjut asas bantuan diatur juga dalam Pasal 56, 69 sampai dengan
74 KUHAP dan Pasal 56 ayat (2), Pasal 57 ayat (1, 2, dan 3), yakni pada setiap
pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang
tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum, bantuan hukum diberikan
secara Cuma-Cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap
perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap
17. Asas Pemeriksaan Hakim Secara Lisan langsung

Asas pemeriksaan hakim secara lisan langsung secara yuridis normatif


diatur dalam Penjelasan Umum angka (3) huruf (h) dan Pasal 153, 154, 155
KUHAP. Bahwa pada asasnya, dalam praktik pemeriksaan perkara pidana di
depan persidangan dilakukan hakim secara langsung kepada terdakwa dan
saksi-saksi serta dilaksanakan dengan cara lisan dalam bahasa Indonesia.

Lebih lanjut, bahwa hukum acara pidana Indonesia tidak mengenal


pemeriksaan perkara pidana dengan cara mewakilkan dan pemeriksaan secara
tertulis sebagaimana halnya dalam hukum acara perdata.39

18. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi


Secara yuridis normatif asas ganti rugi dan rehabilitasi diatur dalam
Pasal 9 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, Pasal 95, 96, dan 97 KUHAP, yakni
Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan
berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Apabila
pengadilan memutus bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum
(onslag van alle rechtsvervolging), maka menurut Pasal 97 ayat (1) KUHAP

39

Ibid.

74

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

maka wajib dipulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya.

19. Asas Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Pada dasarnya, pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memiliki


kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) menurut Bab X1X Pasal 270
KUHAP dan Pasal 54 (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 adalah dilakukan oleh Jaksa.
Adapun pengawasan terhadap putusan menurut Pasal 55 (1) UU No. 48 Tahun
2009 adalah dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri, yang dalam praktik
didelegasikan kepada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua
dalam melakukan pengawasan dan pengamatan. Istilah yang biasa digunakan
adalah Hakim Wasmat atau Kimwasmat, hal ini diatur dalam Bab XX Pasal
277 ayat (1) KUHAP, Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 1985
tanggal 11 Februari 1985.

20. Asas Kepastian Jangka Waktu Penahanan

Secara limitatif menurut KUHAP Pasal 24 ayat (1 dan 2) bahwa batas


waktu penahanan dalam setiap tingkat pemeriksaan telah dibatasi jangka
waktunya. Misalnya, penyidik secara kumulasi dapat melakukan penahanan
sampai 60 (enam puluh) hari dengan perincian wewenang menahan atas
perintahnya sendiri selama 20 (dua puluh) hari dan permintaan perpanjangan
kepada Penuntut Umum selama 40 (empat puluh) hari.

Penuntut Umum menurut Pasal 25 ayat (1 dan 2) KUHAP dapat menahan


selama 20 (dua puluh) hari dan perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri selama
30 (tiga puluh) hari.

75

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Hakim Pengadilan Negeri menurut Pasal 26 ayat (1 dan 2) KUHAP dapat


menahan selama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua
Pengadilan Negeri selama 60 (enam puluh) hari.

Asas kepastian jangka waktu penahanan secara limitatif seorang


terdakwa selama proses persidangan dari tingkat penyidik sampai Mahkamah
Agung RI hanya dapat ditahan paling lama 400 (empat ratus) hari dengan
perincian 200 (dua ratus) hari dari tingkat penyidik sampai pengadilan negeri
dan 200 (dua ratus) hari untuk tingkat banding dan kasasi. Apabila asas ini
pada setiap tingkat pemeriksaan dilanggar, akan berakibat terdakwa harus
dilepaskan demi hukum.40

F.

ASAS-ASAS PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi


Manusia dianut beberapa asas, yaitu:

1. Hanya Mengadili Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat

Pengadilan Hak Asasi Manusia didirikan hanya untuk mengadili pelanggaran


hak asasi manusia yang berat saja, yakni Genosida dan kejahatan kemanusiaan.
Sementara kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia yang dikualifikasikan sebagai
kejahatan ringan diadili di sidang pengadilan pidana biasa, di pengadilan negeri
atau pengadilan militer sesuai dengan status hukum terdakwanya (Pasal 4 UU No.
26 Tahun 2000).

40

Ibid.

76

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

2. Kejahatan Universal
Pengadilan Hak Asasi Manusia berwenang memeriksa dan mumutus perkara
pelanggaran HAM yang berat, yang dilakukan di luar batas teritorial negara
Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia (Pasal 5 UU No. 26 Tahun 2000).

3. Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan


Pelanggarah HAM yang berat Menurut UU No. 26 Tahun 2000 hanya
menyangkut genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan saja (Pasal 7 UU No.
26 Tahun 2000).

4. Jaksa Agung sebagai Penyidik dan Penuntut Umum


Dalam perkara pelanggaran HAM, Penyidik dan Penuntut Umumnya adalah
Jaksa Penuntut Umum/Penyidik (Pasal 23 UU No. 26 Tahun 2000).

5. Pejabat Ad Hoc
Dalam Pengadilan HAM dikenal Penyidik Had Hoc (Pasal 18 (2) UU No. 26
Tahun 2000), Penuntut Umum Ad Hoc (Pasal 21 ayat (8) UU No. 26 Tahun 2000),
dan Hakim Ad Hoc (Pasal 2 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000).

Majelis hakim Pengadilan HAM berjumlah 5 (lima) orang, yakni 2 (dua)


orang hakim pada pengadilan HAM, dan 3 (tiga) orang Hakim ad hoc yang
diangkat oleh Presiden.

6. Pemeriksaan Banding dan Kasasi Limiatif


Tenggang waktu pemeriksaan banding dan kasasi dibatasi paling lama hanya
dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari (Pasal 32 dan 33 UU No. 26 Tahun 2000).

7. Perlindungan Korban dan Saksi


Dalam perkara pelanggaran HAM, korban dan saksi dilindungi oleh
Kepolisian (Pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000).

77

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

8. Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban


Kepada korban pelanggaran HAM yang berat dapat diberikan kompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi (Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000).

9. Ancaman Hukum Diperberat


Dalam pelanggaran HAM ancaman hukumannya berupa hukuman mati,
seumur hidup, penjara 25 tahun maksimum, dan minimum 10 tahun. ini berarti
lebih berat dari ketentuan dalam KUHP yang menentukan hukuman penjara
paling lama 20 tahun (Pasal 37 UU No. 26 Tahun 2000).

10. Tanggung Jawab Komandan dan Atasan


Dalam perkara pelanggaran HAM yang berat dikenal tanggung jawab
komandan atau atasan atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh bawahan
(Pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000).

11. Retro Aktif


Pelanggaran HAM yang berat dilakukan sebelum berlakunya UU No. 26
Tahun 2000 diadili oleh Pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk atas usulan DPRRI dan ditetapkan dengan Kepres secara kasus per-kasus (Pasal 43 dan 47 UU No.
26 Tahun 2000).

12. Tidak ada Daluwarsa


Perkara pelanggaran HAM tidak mengenal tenggang waktu daluwarsa. Oleh
karena itu, sewaktu-waktu dapat saja disidik, didakwa atau diadili (Pasal 46 UU
No. 26 Tahun 2000).

13. Komnas HAM Sebagai Penyelidik


Untuk pelanggaran HAM yang berat penyelidikannya dilakukan oleh Komnas
HAM. Ini berbeda dengan tindak pidana umum, penyelidiknya adalah Polisi (Pasal
18 UU No. 26 Tahun 2006).

78

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

14. Kewenangan Ankum dan Perwira Penyerah Perkara Tidak Ada

Menurut UU No. 31 Tahun 1997, Penyidik Militer terdiri dari Atasan yang
berhak mengkum (Ankum) Polisi Militer dan Oditur Militer (Pasal 10). Ankum
berwenang untuk memerintahkan melakukan pemeriksaan, menjatuhkan
hukuman disiplin dan menunda pelaksanaan hukuman disiplin terhadap prajurit
yang berada di bawah wewenangnya (pasal 12). Dalam perkara pelanggaran HAM
berat kewenangan Ankum tersebut tidak ada (Pasal 49 UU No. 26 Tahun 2000).

G.

ASAS HUKUM SPISIFIK

Selain asas-asas hukum universal yang telah diuraikan di atas, terdapat juga
berbagai asas hukum spisifik yang berlaku pada suatu masyarakat tertentu. Asas-asas
hukum spisifik itu antara lain adalah:

1. Asas The Binding Force of Presedent

Asas hukum the binding of presedent disebut juga dengan asas staro decisis
et quieta nonmovere (tetap pada apa yang telah diputuskan dan yang dalam
keadaan istirahat tidak digerakkan). Dalam implementasinya, hakim terikat pada
putusan terhadap perkara yang serupa dengan yang akan diputus, artinya hakim
berpedoman pada putusan-putusan pengadilan terdahulu jika hakim tersebut
dihadapkan pada suatu perkara (sengketa).

Asas hukum the binding force of presedent ini hanya dianut oleh sistem
hukum Anglo Saks. Asas ini berbeda dengan masyarakat yang menganut sistem
Eropa Kontinental, yakni putusan pengadilan bersifat persuasive presedent
artinya putusan hakim terdahulu tidak memiliki kekuatan yang mengikat

79

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

terhadap putusan hakim berikutnya dalam kasus sejenis, tetapi hanya memiliki
kekuatan yang meyakinkan.41

2. Asas Cogatitionis Poenam Nemo Patitur

Asas cogatitionis poenam nemo petitur ini menganggap bahwa tidak


seorangpun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan atau dibatinnya. Asas ini
jelas hanya berlaku bagi masyarakat yang menerapkan sistem hukum skuler dan
tidak berlaku bagi masyarakat yang menerapkan hukum agama.

3. Asas Restitutio in Integrum

Asas restitutio in integrum ini maksudnya adalah bahwa di dalam


masyarakat haruslah dipulihkan pada keadaan semula. Asas restitutio in integrum
ini hanya berlaku bagi masyarakat sederhana yang cenderung menghindari
konflik di dalam masyarakatnya, di mana budaya kompromistis selalu mewarnai
berlakunya asas ini.

4. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali

Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali disebut juga
dengan asas legalitas maksudnya adalah bahwa tidak ada perbuatan yang dapat
dihukum, kecuali jika sudah ada undang-undang yang sebelumnya telah
mengancam sanksi atas perbuatan itu. Asas legalitas ini termasuk asas yang tidak
bersifat universal, melainkan spesifik sifatnya, karena hanya mungkin dianut oleh
masyarakat yang telah memiliki hukum tertulis saja, terhadap masyarakat yang
berpegang pada hukum adat atau kebiasaan misalnya tidak mengenal asas
legalitas ini secara konsisten.

Knottenbelt, Inleiding in het Nederlandsrecht, Gouda Quint BV Arnhem, B and R.A.Torringa, 1979,
halaman 96.
41

80

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali ini dianut dan
diterapkan dalam perkara hukum pidana, tidak terkecualikan di dalam hukum
positif pidana Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.

H.

ASAS HUKUM DALAM SEBUAH PERADILAN


Asas hukum dalam sistem peradilan tergantung pada sistem hukum apa yang
dianut oleh suatu masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa sistem peradilan di dunia
modern kini tidak seragam. Meskipun demikian, ada sejumlah asas peradilan yang
secara universal menjadi asas-asas peradilan yang secara unversal pula telah menjadi
anutan dari berbagai masyarakat modern dewasa ini, tentu saja ada hal-hal spesifik
dari sebuah asas hukum dalam sistem peradilan tersebut.

Pada umumnya negara modern dewasa ini memproklamirkan bahwa negaranya


adalah sebagai negara hukum (rechtstaat) yang menganut asas the rule of law. 42
Sebagai konsekuensinya, dengan menganut asas negara hukum (rechtstaat) itu,
harus dianut pula asas peradilan bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya eksra
yudisial, baik dalam hal teknis yudisialnya maupun dalam hal non teknis yudisialnya.
Syarat negara hukum seperti ini, tidak hanya dianut oleh negara-negara leberal, tetapi
juga dianut oleh negara-negara sosialis seperti Uni Sovyet (sebelum menjadi Negara
Rusia dan negara-negara lain pecahan dari Uni Sovyet) menyebutkan pula di dalam
konstitusi mereka, yakni judges are independent and subject only to the law.
Peradilan yang berlaku di negara Uni Sovyet berprinsip pada independent of wxtrajudicial factors.

Prinsip independent judge juga dianut oleh negara kita pasca diterapkannya
asas peradilan satu atap di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam UU No. 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1 : Kekuasaan kehakiman adalah
42

Rusli Effendy, op.cit., halaman 112.

81

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna


menegakkan hukum dan keadilan berdasar Pancasila, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indoneseia. Kemudian di dalam penjelasan otentik UU No. 4 Tahun
2004 ini lebih terlihat kepada keinginan yang kuat untuk berpegang pada
independent judge, yakni kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini
mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur
tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lebih lanjut
penjelasan pasal ini disebutkan kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial
bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan
rakyat Indonesia.

Secara garis besar, sistem peradilan di dunia modern dewasa ini terdapat 2
(dua) kelompok besar, di mana masing-masing kelompok dibedakan lagi menjadi subsub sistem dalam suatu negara. Meskipun demikian, dua kelompok besar itu terdapat
kesamaan, yakni sama-sama menerapkan asas pemisahan kekuasaan kehakiman
(yudikatif) dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Adapun kedua kelompok besar
tersebut adalah:

1. Sistem Peradilan Juri

Sistem peradilan Juri ini dianut oleh negara-negara Anglo Saks., seperti
Inggris, USA, Australia, dan sebagainya. Dalam praktiknya sistem peradilan juri ini
hakim bertindak sebagai pejabat yang memeriksa mengenai hukumnya saja,
sedangkan tentang peristiwanya diputus oleh para juri. Yang menyatakan
salah atau benar adalah para juri, kemudian hakimlah yang memutuskan
hukumnya. Di dalam sistem peradilan Anglo Saks ini, hakim terikat oleh
presedent (uraian mengenai precedent telah diuraikan di atas), di samping itu
hakim bersikap induktif (cara berfikir dari khusus ke umum), karena hakim tidak
terikat pada undang-undang melainkan pada peristiwa secara langsung. Dengan

82

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

lain perkataan, hakim dalam menangani suatu kasus, batu ujiannya bukan
undang-undang, melainkan putusan pengadilan yang sejenis.43

Sistem Peradilan Anglo Saks, metode yang digunakan oleh hakim adalah
analogi, di mana hakim melakukan perbandingan antara peristiwa-peristiwa
yang sejenis, kemudian hakim melakukan reasoning by analogy atau reasoning
from case to case. Kemudian asas yang digunakan dalam sistem peradilan Anglo
Saks adalah stare decisis (berhenti pada atau mengikuti putusan-putusan,
apabila muncul suatu situasi atau serangkaian fakta seperti pernah terjadi
sebelumnya, maka putusan yang akan dijatuhkan oleh pengadilan dapat
diharapkan sama dengan putusan yang dijatuhkan ketika itu) asas stare decisis
disebut juga dengan asas the binding force of precedent.44 Asas ini sejalan
dengan apa yang pernah di gagas oleh Aristoteles, yakni peristiwa yang sejenis
harus diputus sejenis.

Yang dimaksud dengan precedent adalah tidak lain merupakan suatu


lembaga yang terdiri dari sebagian besar hukum tidak tertulis (ius non scriptum)
yang bersumber dari putusan-putusan pengadilan. Jadi apabila kita sering
mendengar istilah common law sistem tidak lain adalah sistem pengadilan yang
dalam penerapan hukumnya sebagian besar bersumber dari hukum tidak tertulis
(ius non scriptum) yang dihimpun dalam law report.

Menurut Satjipto Rahardjo, asas precedent bagi negara common law sistem
sebenarnya tidak mengikat secara mutlak, sebab ada beberapa alasan yang dapat
mengakibatkan hapus atau lemahnya kekuatan mengikat dari precedent itu, yaitu
disebabkan oleh beberapa hal :45
43

Curzon, L.B., Jurisprudence, M & E Handbooks, 1979. Halaman 85.

44 Bodenheimer, Jurisprudence, The Philosophy and Method of the Law, Cambridge Mass : Harvard
University Press, 1974, halaman 76.

Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum
Nasional, Sinar Baru, Bandung, 1985, halaman 99.
45

83

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

a. Keputusan-keputusan yang dibatalkan. Yakni suatu keputusan tidak lagi


mempunyai kekuatan mengikat, manakala sesudah keputusan itu dijatuhkan,
diundangkan suatu peraturan yang bertentangan dengannya atau apabila ia
digugurkan oleh keputusan yang lebih tinggi. Pengguguran ini terjadi apabila
dalam suatu kasus lain, pengadilan yang lebih tinggi menentukan bahwa
precedent itu telah diputus secara salah dan oleh karena itu tidak perlu
diikuti;
b. Ketidaktahuan mengenai adanya peraturan. Suatu precedent tidak mengikat,
apabila ia dibuat karena ketidaktahuan mengenai suatu peraturan;
c. Ketidakadaan konsistensi dengan keputusan pengadilan yang lebih tinggi.
Suatu precedent jelas menjadi batal, apabila ia mengabaikan keputusan dari
pengadilan yang lebih tinggi yang inkonsisten dengan precedent yang dibuat
tersebut;
d. Ketidakadaan konsistensi antara keputusan-keputusan yang setingkat. Suatu
pengadilan tidak terikat pada keputusan-keputusan yang ia buat sebelumnya
yang bertentangan satu sama lain. Apabila yang demikian itu terjadi, maka
pengadilan bebas untuk mengikuti keputusan-keputusan yang terdahulu atau
yang sekarang;
e. Precedent-precedent yang dibuat sub silentio atau tidak sepenuhnya
dipertahankan. Secara teknik, suatu keputusan yang dibuat sub silentio adalah
apabila suatu butir tertentu dalam hukum yang terlibat dalam pengambilan
keputusan tidak dipertimbangkan oleh pengadilan atau tidak muncul dalam
pikirannya.
f. Keputusan yang keliru. Suatu keputusan bisa juga salah atas dasar bahwa ia
dilandaskan pada asas-asas yang keliru atau bertentangan dengan asas-asas
fundamental dari common law. Apabila suatu keputusan yang salah telah
diterima untuk waktu lama dan dianggap telah membentuk hukum, sehingga
masyarakat bertindak sebagaimana hukum itu, dan dalam keadaan yang
demikian itu tetap saja dipertahankan, meskipun sebenarnya keliru, maka hal
inilah disebut sebagai communis error facit jus.

84

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

2. Sistem Peradilan Eropa Kontinental

Sistem peradilan Eropa Kontinental, bahwa hakim terikat dengan


undang-undang (peraturan tertulis). Jadi kepastian hukum yang dijamin oleh
asas the binding force of precedent di negara Anglo saks, maka di negara
Eropa Kontinental, kepastian hukumnya dijamin dengan sifat tertulisnya
hukum. Cara berfikir hakim di negara Eropa Kontinental adalah secara
deduktif (berfikir dari yang umum ke yang khusus), dan metode yang
digunakan adalah subsumptie, maksudnya adalah memasukkan peristiwa
ke dalam peraturannya. Metode subsumptie ini lebih digunakan dalam
perkara pidana.

Di

dalam

sistem

peradilan

Eropa

Kontinental,

sangat

jelas

pemisahannya antara perkara perdata dengan perkara pidana dan hukum


acaranyapun berbeda. Perbedaan prinsipil antara hukum acara perdata dan
hukum acara pidana adalah:
a. Perbedaan Inisiatif Penuntutan
Inisiatif pengajuan perkara pidana di muka pengadilan adalah
Jaksa selaku penuntut umum yang mewakili kepentingan publik.
Sedangkan dalam perkara perdata, inisiatif terletak kepada para pihak
untuk

mewakili

kepentingannya

sendiri.

Berbeda

juga

dalam

pengajukan alat bukti. Dalam perkara perdata pembuktian dibebankan


kepada pihak berperkara untuk membuktikan kebenaran dalilnya atau
bantahan terhadap dalil lawannya, sedangkan perkara pidana, inisiatif
bukti kesalahan terdakwa terletak pada jaksa selaku penuntut umum;
b. Perbedaan Keterikatan Hakim Pada Alat Bukti
Dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat bukti yang sah
atau dalam istilah lain disebut preponderance of evidence (pengaruh
yang lebih besar dari alat bukti). Sedangkan dalam hukum acara pidana,
hakim selain terikat dengan alat bukti yang sah juga harus yakin atas
kesalahan terdakwa atau dalam istilah lain disebut beyond reasonable

85

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

doubt.46 Dalam acara pidana dikenal dengan pameo hukum : lebih


baik membebaskan 1000 orang bersalah, dari pada menghukum 1
(satu) orang yang tidak bersalah. Sebab penghukuman terhadap
terdakwa yang tidak bersalah dapat dikategorikan sebagai cold
blooded execution (eksekusi berdarah dingin).
c. Perbedaan Kebenaran yang Ingin dicapai
Hukum acara perdata lebih mengedepankan pada tercapainya
kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara pidana adalah
semata-mata ingin mencapai kebenaran material.

I.

KESIMPULAN

Pentingnya asas hukum terhadap penegakan hukum adalah dimaksudkan untuk


menjaga konsistensi para hakim dan pengadilan dalam menerima, memeriksa dan
memutus serta melaksanakan setiap perkara yang ia tangani. Di samping itu, asas
hukum itu berfungsi sebagai pijakan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di
dalam sistem hukum itu sendiri, sebagai contoh: adannya asas lex superior derogat
legi inferiori (peraturan hukum yang hirarkhinya lebih tinggi harus didahulukan dari
pada yang lebih rendah). Dan demikian juga terhadap asas res judicata proveri tate
habetur (apa yang diputus oleh hakim, harus diterima sebagai hal yang benar).
Bahwa asas hukum sebagai aturan yang abstrak dapat dilahirkan kembali secara
lebih kongkrit melalui berbagai bentuk, baik dalam bentuk peraturan-peraturan
hukum, maupun dalam kebiasaan dan jurisprudensi.

Dewasa ini, sistem peradilan di dunia masih didominasi oleh 2(dua) kategori
besar, yakni : 1). Sistem peradilan juri di negara-negara Anglo Saks, seperti di Inggris,

46 Dalam praktik hukum positif Indonesia baca Pasal 6 (2) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, bahwa tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

86

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

USA, Australia, dan sebagainya; dan 2). Sistem peradilan Eropa Kontinental, termasuk
di dalamnya adalah negara Indonesia sebagai bekas jajahan Belanda.
Bahwa asas Hukum Acara Perdata dan Asas Hukum Acara Pidana adalah sangat
berbeda, paling tidak perbedaannya adalah meliuti : segi inisiatif penuntutan, segi
keterikatan hakim pada alat bukti, dan dari sisi kebenaran yang ingin dicapai.

=====000=====

87

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB IV
LEMBAGA PELAKSANA HUKUM ACARA PIDANA
MAHKAMAH SYARIYAH DI INDONESIA

A.

PENDAHULUAN

Hukum materiil dapat dijalankan dengan baik, apabila telah ada hukum formil.
Hukum formil (hukum acara) pidana mahkam syariyah belum terkodifikasi, tetapi
dalam pasal 37 Qanun No.12 tahun 2003 tentang minuman khomer dan sejenisnya
telah diatur bahwa Sebelum adanya hukum acara yang diatur dalam qanun tersendiri,
maka hukum acara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan peraturan perundang-undangan
lainnya tetap berlaku sepanjang tidak diatur di dalam qanun tersebut. Oleh karena itu
KUHP dan aturan-aturan tertentu yang terdapat dalam Qanun menjadi acuan aparat
peradilan di Mahkamah Syariyah dalam melaksanan penegakkan hukum dan
keadilan

Dalam undang-undang dasar Negara Republik Indonesia perubahan III tanggal


09 November 2001 pada bab IX bahwa (1) Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (3) Badan-badan
lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undangundang.

Pada ayat 2 bab IX UUD 45, telah disebutkan bahwa salah satu lingkungan
peradilan dibawah mahkamah agung adalah peradilan agama, adapun khusus untuk
provinsi daerah istimewa aceh peradilan agama disebut mahkamah syariyah. Hal ini
seperti ketentuan dalam Undang-Undang No.11 tahun 2006 tentang pemerintahan

88

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Aceh. Pasal 1 undang-undang tersebut menyatakan bahwa Mahkamah Syariyah Aceh


dan Mahkamah Syariyah kabupaten/kota adalah pengadilan selaku pelaksana
kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan agama yang merupakan bagian
dari sistem peradilan nasional.

Adapun lembaga-lembaga yang secara langsung bertanggung jawab dalam


penegakan hukum, khususnya di dibidang hukum pidana (janayah/jarimah) adalah
kepolisian Negara Republik Indonesia, Wilayatul Hisbah, kejaksaan Republik
Indonesia dan Mahkamah Syariyah ditingkat kota/kabupaten sebagai peratilan
tingkat pertama, mahkamah Syariyah Aceh di provinsi Aceh sebagai pengadilan
tingkat Banding dan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai pelaku kekuasaan
tertinggi Negara Republik Indonesia.

B.

Kepolisian Negara dan Wilayatul Hisbah


Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang kepolisian negara republik
indonesia

bahwa

pemeliharaan

keamanan

dalam

negeri

melalui

upaya

penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan


ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia
selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.

Secara khusus diatur dalam bab III pasal 13 undang-undang tersebut, bahwa
tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 14 (1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas: a. melaksanakan pengaturan,
penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah
sesuai kebutuhan; b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. membina masyarakat untuk

89

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan


warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d. turut serta
dalam pembinaan hukum nasional; e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan
umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan
swakarsa; g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h.
menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium
forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; i. melindungi
keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan
ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. melayani kepentingan warga masyarakat
untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k.
memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam
lingkup tugas kepolisian; serta l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. (2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam pasal 14 ayat 1 huruf g UU No. 2 tahun 2002 bahwa kepolisian


berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Selain
itu kepolisian Negara juga mempunyai kewenangan seperti dalam pasal 16 ayat (1)
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14
di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: a.
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, b. melarang
setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk
kepentingan penyidikan, c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik
dalam rangka penyidikan, d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeriksa tanda pengenal diri; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat,
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, g.
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan

90

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan, i. menyerahkan berkas perkara


kepada penuntut umum, j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat
imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak
atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan
tindak pidana, k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai
negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk
diserahkan kepada penuntut umum, dan l. mengadakan tindakan lain menurut hukum
yang bertanggung jawab.

Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang ini dijelaskan bahwa, tindakan lain


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan
penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut: a. tidak
bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. selaras dengan kewajiban hukum yang
mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. harus patut, masuk akal, dan termasuk
dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang
memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia.

Adapun wilayatul hizbah dalam Qanun provinsi nanggroe aceh darussalam


nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah, ibadah dan
syiar islam adalah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Syariat Islam.
Selanjutnya pasal 14 ayat (1) menyebutkan bahwa untuk terlaksananya Syariat Islam
di bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam, Pemerintah Provinsi, Kabupaten / Kota
membentuk Wilayatul Hisbah yang berwenang melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan Qanun ini. (2) Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong,
kemukiman, kecamatan atau wilayah / lingkungan lainnya. (3) Apabila dari hasil
pengawasan yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) pasal ini terdapat cukup alasan telah terjadinya pelanggaran terhadap Qanun ini,
maka

pejabat

pengawas

(Wilayatul

Hisbah)

diberi

wewenang

untuk

menegur/menasehati si pelanggar. (4) Setelah upaya menegur / menasehati dilakukan


sesuai dengan ayat (3) di atas, ternyata perilaku sipelanggar tidak berubah, maka
pejabat pengawas menyerahkan kasus pelanggaran tersebut kepada pejabat penyidik.

91

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

(5) Susunan organisasi Kewenangan dan tata kerja Wilayatul Hisbah diatur dengan
Keputusan

Gubernur

setelah

mendengar

pertimbangan

MPU

(Majelis

Permusyawaratan Ulama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam).

Pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa penyidikan terhadap pelanggaran Qanun


ini, dilakukan oleh: a. Pejabat kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, atau b.
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintahan Provinsi,
Kabupaten / Kota yang diberi wewenang khusus untuk itu. (2) Syarat pengangkatan,
kepangkatan dan kedudukan serta pemberhentian Pejabat Penyidik Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) b di atas ditetapkan dengan Keputusan
Gubernur.

Dalam ayat 3 pasal 15 Qanun ini disebutkan bahwa Pejabat Penyidik Pegawai
Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) b pasal ini, berwenang :a. menerima
laporan dari Wilayatul Hisbah tingkat gampong atau dari seseorang tentang adanya
pelanggaran Qanun ini; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat
kejadian dan melakukan pemeriksaan; c. melakukan penyitaan benda dan atau surat; d.
mengambil sidik jari dan memotret seseorang; e. memanggil orang untuk didengar dan
diperiksa sebagai tersangka atau saksi; f. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam
hubungan dengan pemeriksaan perkara; g. menghentikan penyidikan bila pelanggaran
tersebut tidak cukup alasan untuk diajukan ke Mahkamah Syariyah; h. mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. (4) Dalam
melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (3) di atas penyidik
wajib menjunjung tinggi Syariat Islam dan hukum yang berlaku.

Lebih lanjut UU No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan aceh lembaran negara
Republik Indonesia tahun 2006 nomor 62 pasal 244 ayat (1) menyebutkan bahwa
Gubernur, bupati/walikota dalam menegakkan qanun dalam penyelenggaraan kete
rtiban umum dan ketenteraman masyarakat dapat membentuk Satuan Polisi Pamong
Praja. (2) Gubernur, bupati/walikota dalam menegakkan qanun Syariyah dalam
pelaksanaan syariat Islam dapat membentuk unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai

92

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembentukan dan penyusunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam qanun yang berpedoman pada peraturan
perundang-undangan. Pasal 245 ayat (1) menyebutkan bahwa Anggota Satuan Polisi
Pamong Praja dapat diangkat sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

Jadi Penyidik adalah pejabat kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam


atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diangkat dan diberi wewenang untuk
melakukan penyidikan yang berhubungan dengan pelaksanaan Syariat Islam adapun
Wilayatul Hisbah adalah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Syariat Islam
dengan kewenagan-kewenagan yang telah ditentukan.

C. Kejaksaan
Kejaksaan Republik Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun terkait kedudukan lembaga ini secara rinci
diatur dalam undang-undang Republik Indonesia No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.

Pasal 1 dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Jaksa adalah pejabat
fungsional yang diberi wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai
penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Adapun
Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Adapun penuntutan
adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

Dalam undang-undang ini juga disebutkan bahwa Kejaksaan adalah lembaga


pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta

93

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

kewenangan lain berdasarkan undang-undang yang selenggarakan oleh (1) Kejaksaan


Agung yang berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan daerah
hukumnya meliputiwilayah kekuasaan negara Republik Indonesia. (2) Kejaksaan
Tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah
provinsi. (3) Kejaksaan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/ kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006 tentang
pemerintahan aceh tanggal 1 agustus 2006 lembaran negara republik indonesia tahun
2006 nomor 62, pasal 245 ayat (2) menyebutkan bahwa penyidikan dan penuntutan
terhadap pelanggaran atas qanun dilakukan oleh pejabat penyidik dan penuntut umum
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam Qanun provinsi nanggroe aceh darussalam nomor 11 tahun 2002 tentang
pelaksanaan syariat islam bidang aqidah, ibadah dan syiar islam Pasal 16 (1) Penuntut
umum adalah jaksa atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh Qanun untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan atau penetapan hakim Mahkamah
Syariyah.

Pasal 17 dalam Qanun ini di sebutkan bahwa Penuntut umum berwenang : a.


menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik, b. mengadakan
pra penuntutan apabila berkas perkara hasil penyidikan terdapat kekurangan disertai
petunjuk penyempurnaannya, c. membuat surat dakwaan; d. melimpahkan perkara ke
Mahkamah Syariyah, e. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari
dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan, baik kepada
terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada hari sidang yang ditentukan; f.
melakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, g.
mengadakan tindakan lain dalam lingkungan tugas dan tanggung jawab sebagai
penuntut umum menurut peraturan perundangan; h. melaksanakan putusan hakim.

94

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Pasal 18 dalam Qanun diatas disebutkan Penuntut umum menuntut perkara


pelanggaran Qanun ini yang terjadi dalam wilayah hukumnya. Pasal 19 disebutkan
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Qanun ini diperiksa
dan diputuskan oleh Mahkamah Syariyah.

Jadi dalam hal penuntutan perkara pidana, jaksa penuntut umum memilahmilah perkara, apakah perkara tersebut menjadi kompetensi absolute pengadilan
negeri ataukah menjadi kompetensi absolute mahkamah syariyah sebagaimana yang
telah diatur dalam perundang-undangan.

1. Tugas dan Wewenang Kejaksaan

UU No. 16 Tahun 2004 pasal 30 ayat (1) menyebutkan bahwa tugas dan
wewenang kejaksaan dibidang pidana adalah: a. Melakukan penuntutan, b.
Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat, d.
Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang, e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Di bidang perdata dan tata usaha Negara (pasal 30 ayat 2), kejaksaan
dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan
untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Adapun dalam bidang ketertiban
dan ketentraman umum (pasal 30 ayat 3), kejaksaan turut meyelenggarakan
kegiatan: a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat, Pengamanan kebijakan
penegakan hukum, c. Pengawasan peredaran barang cetakan, d. Pengawasan
kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara, e. Pencegahan
penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, f. Penelitian dan pengembangan
hukum serta statik criminal.

95

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Pasal 31 menyebutkan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim


untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa,
atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri
sendiri atau disebabkab oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain,
lingkungan, atau dirinya sendiri. Pasal 32 di samping tugas dan wewenang
tersebut dalam Undang-Undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenag
lain berdasarkan undang-undang. Pasal 33 Dalam pelaksanaan tugas dan
wewenang, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak
hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainya. Pasal 34 Kejaksaan
dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi
pemerintah lainnya.

2. Tugas dan Wewenang Jaksa Agung

Tugas dan wewenang jaksa agung ini diatur dalam UU No. 16 Tahun 2004
pasal 35 s.d. pasal 37. Secara lengkap sebagai berikut; pasal 35 Jaksa Agung
mempunyai tugas dan wewenang: a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan
penegak hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang
kejaksaan; b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh
undang-undang, c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, d.
Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam
perkara pidana, perdata, dan tata usaha Negara, e. Dapat mengajukan
pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi
perkara pidana, f. Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam
perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 36 ayat (1) Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau
terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan dirumah sakit dalam negeri,
kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri. (2) Izin

96

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan
oleh kepala kejaksaan negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk
berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan
oleh Jaksa Agung. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), hanya
diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan
di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas meyatakan kebutuhan untuk itu
yang dikaitkan dengan belum mencukupi fasilitas perawatan tersebut di dalam
negeri.

Pasal 37 ayat (1) Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang
dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati
nurari.

(2)

Pertanggungjawaban

sebagaimana

dimaksud

pada

ayat

(1)

disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan rakyat sesuai dengan


akuntabilitas.

D. Mahkamah Syaryah

Mahkamah syariyah sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan


kehakiman diatur dalam UU No.11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.
Disebutkan dalam Pasal 128 ayat (1) Peradilan syariat Islam di Aceh adalah bagian
dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh
Mahkamah Syariyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun. (2) Mahkamah
Syariyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di
Aceh. (3) Mahkamah Syariyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga),
muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syariat
Islam. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum
keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.

97

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Dalam Pasal 136 ayat (1) mengatur tentang pembinaan teknis peradilan,
organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Syariyah dilakukan oleh Mahkamah
Agung. (2) Penyediaan sarana dan prasarana serta penyelenggaraan kegiatan
Mahkamah Syariyah dibiayai dari APBN, APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Aceh, biasa disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh),

dan APBK

(Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota biasa disebut Anggaran


Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota). Adapun dalam pasal 137 Sengketa
wewenang antara Mahkamah Syariyah dan pengadilan dalam lingkungan peradilan
lain menjadi wewenang Mahkamah Agung untuk tingkat pertama dan tingkat terakhir.

98

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB VI
PENYELIDIK, PENYIDIK, DAN PENUNTUT UMUM

Hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syariyah adalah hukum acara yang
diatur dalam Qanun Aceh. Sebelum Qanun Aceh tentang hukum acara dibentuk maka
hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syariyah sepanjang mengenai ahwal
alsyakhsiyah dan muamalah adalah hukum acara sebagaimana yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama kecuali yang diatur secara khusus dalam
Undang-Undang. Hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syariyah sepanjang
mengenai jinayah adalah hukum acara sebagaimana yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang.47

A.

Penyelidik
a. Disebut Penyelidik menurut Pasal 4 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara
Jinayat adalah pejabat Polri dan Polisi WH yang telah diberi wewenang
oleh undang-undang dan/atau qanun untuk melakukan penyelidikan.
Adapun wewenang penyelidik menurut Pasal 5 adalah:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya jarimah;
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain48 menurut hukum secara bertanggung jawab dan
sesuai dengan prinsip-prinsip Syariat Islam.
b. Penyelidik dalam tugas penyelidikan, atas perintah penyidik dapat melakukan
tindakan berupa:

47

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh pasal 133 ayat 1 dan 2.

48 Penjelasan, yang dimaksud dengan tindakan lain adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan
penyelidikan dengan syarat : 1). Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; 2). Selaras dengan
kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; 3). Tindakan itu harus patut dan
masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; 4). Atas pertimbangan yang layak berdasarkan
keadaan memaksa; dan 5). Menghormati hak asasi manusia.

99

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;


2. pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
4. membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
c. Penyelidik

membuat

dan

menyampaikan

laporan

hasil

pelaksanaan

penyelidikannya kepada penyidik.


B.

Penyelidikan
Tugas penyelidikan dan penyidikan untuk penegakan syariat Islam yang
menjadi kewenangan Mahkamah Syariyah sepanjang mengenai jinayah dilakukan
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.49
Dalam hal penyelidikan perkara jinayah Qanun aceh Darussalam belum mengaturnya
secara khusus. Jadi pada tahap penyelidikan menggunakan Undan-undang No.8 tahun
1981 tentang hukum acara pidana yaitu pasal 1 ayat (4) Penyelidik adalah pejabat
polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk melakukan penyelidikan. (5) Penyelidikan adalah serangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Dalam pasal 5 ayat 1 undang-undang ini Penyelidik karena kewajibannya


mempunyai wewenang : (1) menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang
adanya tindak pidana, (2) mencari keterangan dan barang bukti, (3) menyuruh
berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal
diri, (4) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung-jawab.
Penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: (1)
penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan, (2)
pemeriksaan dan penyitaan surat, (3) mengambil sidik jari dan memotret seorang, (4)
membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik. Pasal 5 ayat 2 menyebutkan

49

Ibid, Pasal 33.

100

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

bahwa Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan


sebagaimana tersebut pada kepada penyidik.

Adapun tatacara Penyelidikan

diatur dalam Pasal 102 undang-undang

diatas, yang menyebutkan bahwa (1) penyelidik yang mengetahui, menerima laporan
atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang 'patut diduga merupakan
tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. (2)
Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib
segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana
tersebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf b. (3)Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut
pada ayat (1) dan ayat (2) penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkannya
kepada penyidik sedaerah hukum.

Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 103 ayat (1) Laporan atau pengaduan
yang diajukan secara tertulis harus ditanda-tangani oleh pelapor atau pengadu. (2)
Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan
ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik. (3) Dalam hal pelapor atau
pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan sebagai catatan dalam laporan
atau pengaduan tersebut.

Jadi Suatu peristiwa dapat diduga sebagai tindak pidana dengan cara: a.
adanya laporan atau pengaduan. b. informasi yang diperoleh aparat penegak hukum
baik melalui sumber tertutup (melalui kegiatan intelijen) maupun sumber terbuka
(pemberitaan pers, publikasi-publikasi tertentu dan lainya). c. tertangkap tangan.

B.1. Laporan atau Pengaduan


Ramelan; 2006 membedakan antara laporan dengan pengaduan
sebagai berikut; a. pengaduan bukan saja berisi laporan, akan tetapi juga
permintaan supaya yang melakukan tindak pidana dituntut. b. laporan dapat
diberikan setiap saat, kapan saja sedangkan pengaduan hannya dalam waktu
tertentu saja. (pasal 74 ayat 1 Pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu

101

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan,
jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika
bertempat tinggal di luar Indonesia). c. Pengaduan dapat ditarik kembali (Orang
yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan
setelah pengaduan diajukan), Sedangkan laporan tidak dapat ditarik kembali
atau sekalipun orang yang melapor menarik/ mencabut laporannya tidak
mengurangi hak penuntut umum untuk melanjutkan penuntutan. d. Laporan
dapat dilakukan setiap orang, pengaduan hanya oleh orang-orang tertentu saja
yang disebut dalam undang-undang dan dalam kejahatan tertentu.

Kalau dilihat dari sistim KUHP Delik aduan dikategorikan dua


kelompok. pertama Delik aduan absolute yaitu tindak pidana tetentu yang
penuntutannya hanya dapat dilakukan bila ada pengaduan dari pihak-pihak
tertentu pula. Tanpa pengaduan tersebut perkaranya tidak dapat diajukan
penuntutan kesidang pengadilan. Contoh pasal 310 (menista), pasal 311 KUHP
(memfitnah), 315 KUHP (penghinaan ringan). Kedua, Delik aduan relative yaitu
suatu tindak pidana yang biasanya bukan merupakan delik aduan akan tetapi
dalam hal ini ditentukan bahwa pengaduan ini merupakan syarat, apabila
diantara si pelaku dan sikorban terdapat hubungan keluarga. Contoh KUHP
pasal 367 dan 376.
B.2. Informasi yang diperoleh Aparat Penegak Hukum

Informasi Secara tertutup dilakukan melalui kegiatan inteligen.


Sedangkan informasi terbuka biasanya diperoleh dari pemberitaan pers
ataupun surat kaleng maupun surat laporan dengan identitas yang jelas. 50
Dalam perkara pidana dilingkungan mahkamah syariyah, Wilayatul Hisbah
sebagai lembaga pengawasan, diberi pula peran untuk

mengingatkan,

membimbing dan menasehati sehingga pelanggaran yang dilakukan kepada


50

Ramelan, Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi,Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, 2006, hal.45.

102

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

penyidik untuk di usut dan diteruskan ke Pengadilan, adalah pelanggaran yang


sudah memperoleh nasehat, bimbingan dan peringatan. Jadi bentuk-bentuk
pelanggaran yang tidak bisa di perbaiki dengan bimbingan dan nasehat.51

B.3. Tertangkap Tangan

Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang


melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak
pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai
sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya
ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan
tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut
melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.52 Dalam hal
tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera
melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan.53 Penyidik
yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan
tindakan penyidikan yang diperlukan.54

Yang perlu diperhatikan dalam melakukan tindakan penyelidikan dan


penyidikan adalah sikap dasar yang harus dimiliki oleh penyelidik dan penyidik
bahwa dalam memeriksa dan meyidik perkara pidana, bukanlah untuk mencari
kesalahan seseorang, melainkan dilandasi oleh sikap mencari kebenaran dan
menegakkan keadilan. Filosofis ini akan memperingatkan penyelidik dan
penyidik bahwa setiap subjek yang diperiksa akan diperlakukan sebagaimana
51 Penjelasan Atas Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan
Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam.
52

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana pasal 1 butir 19.

53

Ibid. Pasal. 102 Ayat 2

54

Ibid Pasal 106

103

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

manusia dengan harkat dan martabatnya sebagai warga Negara yang memiliki
hak-hak yang dilindungi hukum.55Dengan demikian ketentuan yang terdapat
dalam hukum acara qanun maupun hukum acara pidana perlu diperhatikan
dengan sebaik-baiknya.

C.

Penyidik dan Penyidik Pembantu


a.

Penyidik menurut Pasal 6 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat adalah:
1.

Pejabat polisi Negara Republik Indonesia, dengan pangkat paling rendah


Ajun Inspektur Dua polisi; dan

2. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang dan/atau qanun dengan pangkat paling rendah Pengatur
Muda Tingkat I (II/b) atau yang disamakan dengan itu.
b.

Penyidik Polisi karena kewajibannya mempunyai wewenang : (Pasal 7)


1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang atau Wilayatul Hisbah
tentang adanya jarimah;
2. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3. Menyuruh berhenti seorang dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
9. Mengadakan penghentian penyidikan;
10. Menerima penyerahan berkas perkara dari PPNS;
11. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dan
sesuai dengan prinsip-prinsip Syariat Islam.

55

Ramelan, Op.Cit. Hal.46

104

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

c.

Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil mempunyai wewenang sesuai dengan


peraturan perundang-undangan dan qanun yang menjadi dasar hukum masingmasing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan
pengawasan penyidik Polri.

d.

Dalam melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangannya, penyidik wajib


menjunjung tinggi nilai-nilai Syariat Islam dan hukum yang berlaku.

e.

Penyidik sesuai Pasal 8 Qanun Aceh membuat berita acara sebagaimana


tercantum dalam Pasal 75 yang berisi tentang hal-hal sebagai berikut:
1.

pemeriksaan tersangka;

2.

penangkapan;

3.

penahanan;

4.

penjaminan penangguhan penahanan;

5.

penggeledahan;

6.

pemasukan rumah;

7.

penyitaan benda;

8.

pemeriksaan surat;

9.

pemeriksaan saksi;

10. pemeriksaan di tempat kejadian;


11. pelaksanaan penetapan dan putusan Mahkamah;
12. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam Qanun ini.

f.

Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan
sebagaimanan dimaksud pada huruf (e) dan dibuat atas kekuatan sumpah
jabatan;

g.

Berita acara ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada huruf (i),
ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan sebagaimana
dimaksud pada huruf (f);

h.

Penyidik PPNS menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum melalui


penyidik Polri.

i.

Penyidik Polri menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

j.

Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud pada huruf (i) dilakukan:


1. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;

105

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

2. setelah penyidikan dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab


atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
k.

Penyelidik dan penyidik mempunyai wewenang melakukan tugas masing-masing


pada umumnya di seluruh Aceh, khususnya di daerah hukum masing-masing
dimana

ia

diangkat

sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

perundang-

undangan.(Pasal 9 Qanun Aceh).


l.

Pemeriksaan di persidangan Mahkamah Syariyah juga harus dibuat berita


acara yang khusus untuk itu;

m. Berita acara sebagaimana dimaksud pada huruf (o) ditandatangani oleh Ketua
Majelis dan Panitera yang mencatat jalannya persidangan;

D.

Penyidik Pembantu

a.

Penyidik pembantu menurut Pasal 10 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat
adalah pejabat Polri yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan sesuai dengan peraturan perundangundangan.

b.

Penyidik pembantu mempunyai wewenang sebagaimana Penyidik kecuali


mengenai penahanan yang harus berdasarkan pelimpahan wewenang dari
penyidik.

c.

Penyidik pembantu membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara


kepada penyidik, kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapat
langsung diserahkan kepada penuntut umum.

E.

Penyidikan

Dalam Qanun No.11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang
aqidah, ibadah dan syiar islam pasal 1 (10) jo Qanun No.12 tahun 2003 pasal 20
tentang khamar dan sejenisnya jo Qanun No.13 tahun 2003 tentang Maisir pasal 18 jo
Qanun No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat (mesum) pasal 17 disebutkan bahwa
Penyidik adalah pejabat Polisi Nanggroe Aceh Darussalam dan pejabat Pegawai

106

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan bidang
Syariat Islam. Hal ini juga ditegaskan dalam UU No.11 tahun 2006 tentang
pemerintahan aceh bahwa penyidikan untuk penegakan syariat Islam yang menjadi
kewenangan Mahkamah Syariyah sepanjang mengenai jinayah dilakukan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (pasal 33
UU No.11 Tahun 2006).
Hal Senada juga terdapat dalam Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang
hukum acara pidana pasal 1 ayat (1) Penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. (2) Penyidik adalah
pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
(3)Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang
karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur
dalam undang-undang ini.

Jadi dalam penyidikan perkara jinayah yang menjadi kompetensi absolute


mahkamah syariyah provinsi Nangro Aceh Darussalam adalah pejabat Polisi
Nanggroe Aceh Darussalam dan pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang
khusus untuk melakukan penyidikan bidang Syariat Islam.

E.1. Wewenang Penyidik


Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam
Qanun No.11 tahun 2002 pasal 15 tentang pelaksanaan syariat islam bidang
aqidah, ibadah dan syiar islam, berwenang: a. menerima laporan dari Wilayatul
Hisbah tingkat gampong atau dari seseorang tentang adanya pelanggaran
Qanun ini; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan
melakukan pemeriksaan; c. melakukan penyitaan benda dan atau surat; d.
mengambil sidik jari dan memotret seseorang; e. memanggil orang untuk

107

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; f. mendatangkan ahli yang
diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara; g. menghentikan
penyidikan bila pelanggaran tersebut tidak cukup alasan untuk diajukan ke
Mahkamah Syariyah; h. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat
dipertanggung jawabkan. Dalam melaksanakan tugasnya penyidik wajib
menjunjung tinggi Syariat Islam dan hukum yang berlaku.
E.2. Tatacara Penyidikan
Pada tatacara pelaksanaan penyidikan diatur dalam pasal 106-136
KUHAP, untuh lebih rincinya berikut dikami kutipkan secara lengkap:
Pasal 106
Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang
terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib
segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.
Pasal 107
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a
memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b
dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.
(2) Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang
dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan
kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum,
penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b melaporkan hal itu kepada
penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam hal tindak pidana telah selesal disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal
6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut
umtim melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Pasal 108
(1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban
peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan
atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun
tertulis.
(2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau
terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada
penyelidik atau penyidik.
(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui
tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera
melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik.

108

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

(4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditanda-tangani
oleh pelapor atau pengadu.
(5) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik
dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.
(6) Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus
memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang
bersangkutan.
Pasal 109
(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang
merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut
umum.
(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu
kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
(3) Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan
mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.
Pasal 110
(1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera
menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut
ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas
perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.
(3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi,
penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk
dari penuntut umum.
(4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari
penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum
batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari
penuntut umum kepada penyidik.
Pasal 111
(1) Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang
mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan
umum wajib, menangkap tersangka guna diserahkan berserta atau tanpa
barang bukti kepada penyelidik atau penyidik.
(2) Setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan
lain dalam rangka penyidikan.
(3) Penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang ke
tempat kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu
selama pemeriksaan di situ belum selesai.

109

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

(4) Pelanggar larangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai
pemeriksaan dimaksud di atas selesai.
Pasal 112
(1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan
pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang
dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan
memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan
hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang,
penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk
membawa kepadanya.
Pasal 113
Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan
wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan,
penyidik itu datang ke tempat kediamannya.
Pasal 114
Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya
pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang
haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu
wajib didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
Pasal 115
(1) Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka,
penasihat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat
serta-mendengar pemeriksaan.
(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara penasihat hukum dapat hadir
dengan cara melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap
tersangka.
Pasal 116
(1) Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk
diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan.
(2) Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan
yang lain dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya.
(3) Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya
saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu
mdicatat dalam berita acara.
(4) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil
dan memeriksa saksi tersebut.
Pasal 117
(1) Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan
dari siapa pun dan atau dalmn bentuk apapun.

110

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

(2) Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang apa yang sebenarnya ia
telah lakukan sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan
kepadanya, penyidik encatat dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan
kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri.
Pasal 118
(1) Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang
ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah
mereka menyetujui isinya.
(2) Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tandatangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut
alasannya.
Pasal 119
Dalam hal tersangka dan atau saksi yang harus didengar keterangannya berdiam
atau bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menjalankan
penyidikan, pemeriksaan terhadap tersangka dan atau saksi dapat dibebankan
kepada penyidik di tempat kediaman atau tempat tinggal tersangka dan atau saksi
tersebut.
Pasal 120
(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli
atau orang yang memiliki keahlian khusus.
(2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik
bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaikbaiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau
jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk
memberikan keterangan yang diminta.
Pasal 121
Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita acara yang
diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan
menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan,
nama dan tempat tinggal dari tersangka dan atau saksi, keterangan mereka,
catatan mengenai. akta dan atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu
untuk kepentingan penyelesaian perkara.
Pasal 122
Dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan
itu dijalankan, ia harus mulai diperiksa oleh penyidik.
Pasal 123
(1) Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas
penahanan atau jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan
penahanan itu.

111

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

(2) Untuk itu penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan


mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan
atau tetap ada dalam jenis penahanan tertentu.
(3) Apabila dalam waktu tiga hari permintaan tersebut belum dikabulkan oleh
penyidik, tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu
kepada atasan penyidik.
(4) Untuk itu atasan penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan
mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan
atau tetap ada dalam jenis tahanan tertentu.
(5) Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut di
atas dapat mengabulkan pennintaan dengan atau tanpa syarat.
Pasal 124
Dalam hal apakah sesuatu penahanan sah atau tidak sah menurut hukum,
tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada
pengadilan negeri setempat untuk diadakan praperadilan guna memperoleh
putusan apakah penahanan atas diri tersangka tersebut sah atau tidak sah
menurut undang-undang ini.
Pasal 125
Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih dahulu
menunjukkan tanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya,
selanjutnya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal
34.
Pasal 126
(1) Penyidik membuat berita acara tentang jalannya dan hasil penggeledahan
rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5).
(2) Penyidik membacakan lebih dahulu berita acara tentang penggeledahan
rumah kepada yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun tersangka atau keluarganya dan atau kepala
desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.
(3) Dalam hal tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya, hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
Pasal 127
(1) Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik dapat
mengadakan penjagaan atau penutupan tempat yang bersangkutan.
(2) Dalam hal ini penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap
perlu tidak meninggalkan tempat tersebut selama penggeledahan berlangsung.
Pasal 128
Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda
pengenalnya kepada orang dari mana benda itu disita.
Pasal 129

112

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

(1) Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana
benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan
tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau
ketua lingkungan dengan dua orang saksi.
(2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu
kepada orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi
tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan
atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.
(3) Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau
membubuhkan tandatangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan
menyebut alasannya.
(4) Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya,
orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa.
Pasal 130
(1) Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan.atau jumlah menurut jenis
masing-masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan,
identitas orang dari mana benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian
diberi lak dan cap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik.
(2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang
ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda tersebut.
Pasal 131
(1) Dalam hal sesuatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya sehingga ada
dugaan kuat dapat diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau kitab,
daftar dan sebagainya, penyidik segera pergi ke tempat yang dipersangkakan
untuk menggeledah, memeriksa surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya
dan jika perlu menyitanya.
(2) Penyitaan tersebut dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 129 undang-undang ini.
Pasal 132
(1) Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau
dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan
penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari
orang ahli.
(2) Dalam hal timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau yang dipalsukan,
penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang
atau dapat minta kepada pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi,
supaya ia mengirimkan surat asli yang disimpannya itu kepadanya untuk
dipergunakan sebagai bahan perbandingan.
(3) Dalam hal suatu surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, menjadi
bagian serta tidak dapat dipisahkan dari daftar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 131, penyidik dapat minta supaya daftar itu seluruhnya selama waktu

113

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

yang ditentukan dalam surat permintaan dikirimkan kepadanya untuk


diperiksa, dengan menyerahkan tanda penerimaan.
(4) Dalam hal surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menjadi bagian
dari suatu daftar, penyimpan membuat salinan sebagai penggantinya sampai
surat yang asli diterima kembali yang di bagian bawah dari salinan itu
penyimpan mencatat apa sebab salinan itu dibuat.
(5) Dalam hal surat atau daftar itu tidak dikirimkan dalam waktu yang ditentukan
dalam surat permintaan, tanpa alasan yang sah, penyidik berwenang
mengambilnya.
(6) Semua pengeluaran untuk penyelesaian hal tersebut dalam pasal ini
dibebankan pada dan sebagai biaya perkara.
Pasal 133
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah
mayat.
(3) Mayat yang dikiriin kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan
terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak
dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain
badan mayat.
Pasal 134
(1) Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah
mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih
dahulu kepada keluarga korban.
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelasjelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau
pihak yang perlu diberitahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (3)undang-undang ini.
Pasal 135
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian
mayat, dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133
ayat (2) dan Pasal 134 ayat (1) undang-undang ini.
Pasal 136
Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Bagian Kedua Bab XIV ditanggung oleh negara.

114

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

F.

PENUNTUT UMUM

Penuntut Umum menurut ketentuan Pasal 13 Qanun Aceh Tentang Hukum


Acara Jinayat, mempunyai wewenang:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik
pembantu;
b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 104 ayat (3), yakni Setiap pegawai negeri
dalam rangka melaksanakan tugasnya, mengetahui terjadinya suatu peristiwa
yang merupakan jarimah, wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau
penyidik dan ayat (4) Yakni

Laporan dan pengaduan tentang terjadinya

peristiwa jarimah yang diajukan secara tertulis harus ditanda tangani oleh
pelapor atau pengadu, dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan
penyidikan dari penyidik;
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan dan/atau mengubah status tahanan lanjutan dan/atau mengubah status
tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. Membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke Mahkamah;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa dan saksi tentang ketentuan
hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan untuk datang
pada sidang yang telah ditentukan;
g. Melakukan penuntutan;
h. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggungjawab sebagai
penuntut umum menurut ketentuan qanun ini dan peraturan perundangundangan lainnya;
i.

Melaksanakan penetapan dan putusan hakim mahkamah.

115

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB VI
PENANGKAPAN, PENAHANAN, JAMINAN PENANGGUHAN PENAHANAN
PENGGELEDAHAN, PENYITAAN, DAN PEMERIKSAAN SURAT

A.

PENANGKAPAN

a.

Menurut Ketentuan Pasal 15 (1) Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik
berwenang melakukan penangkapan;

b.

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang


melakukan penangkapan. (Pasal 15 (2) ).

c.

Perintah penangkapan dilakukan terhadap setiap orang yang diduga keras


melakukan jarimah berdasarkan bukti permulaan yang cukup. (Pasal 16)

d.

Petugas pelaksana penangkapan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a, b, dan c)


harus memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat
perintah penangkapan yang mencantumkan indentitas tersangka, tempat ia
diperiksa dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat jarimah
yang dipersangkakan;

e.

Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah,


dengan ketentuan bahwa petugas yang melakukan penangkapan harus segera
menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau
penyidik pembantu yang terdekat;

f.

Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud pada huruf (d)


harus diberikan kepada keluarganya segera56 setelah penangkapan dilakukan.

g.

Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam huruf (c), dapat dilakukan untuk


paling lama 1 (satu) hari;

h.

Terhadap tersangka pelaku jarimah yang diperiksa dengan acara cepat, tidak
dilakukan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah 2 (dua)
kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.
56

Penjelasan : yang dimaksud dengan segera adalah tidak melebihi 24 (dua puluh empat) jam.

116

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

B.

PENAHANAN

a.

Menurut ketentuan Pasal 19 Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
terdakwa dapat ditahan dengan maksud:
1. Untuk

kepentingan

penyidikan,

penuntutan,

penyidangan

dan/atau

pelaksanaan uqubat terhadap tersangka, terdakwa dan terpidana dapat


ditahan.57
2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan.
3. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik pembantu atas perintah penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara
Jinayat berwenang melakukan penahanan.
4. Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan.
5. Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang mahkamah, hakim dengan
penetapannya

berwenang

melakukan

penahanan

dan

perpanjangan

penahanan.
6. Untuk

kepentingan

pelaksanaan

uqubat,

hakim

dalam

putusannya

berwenang memerintahkan jaksa untuk melakukan penahanan paling lama


30 (tiga puluh) hari.
b.

Berdasar ketentuan Pasal 20 Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
perintah penahanan dan penahanan lanjutan dilakukan dengan prosedur:
1.

Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang


tersangka

atau

terdakwa

yang

diduga keras

melakukan

jarimah

berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan dalam hal adanya keadaan
yang nyata-nyata menimbulkan kekhawatiran, tersangka atau terdakwa
akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau
mengulangi jarimah.
2.

Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut


umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat

Penjelasan : Penahanan untuk kepentingan pelaksanaan uqubat akan diperhitungkan dengan


masa hukuman penjara yang dikenakan kepada terdakwa.
57

117

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas


tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian
singkat jarimah yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia
ditahan;
3.

Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau


penetapan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberikan
kepada keluarganya;

4.

Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan terhadap


tersangka atau terdakwa yang melakukan, mencoba, membantu dan/atau
turut serta melakukan jarimah.

c.

Berdasar ketentuan Pasal 21 Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
tempat penahanan dan penghitungan lamanya penahanan berlaku ketentuan:
1. Penahanan dilakukan di rumah tahanan negara atau disuatu tempat
pembinaan yang disediakan oleh Pemerintah Aceh.
2. Masa penangkapan dan/atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari
uqubat yang dijatuhkan kecuali uqubat hudud.
3. Pengurangan uqubat sebagaimana dimaksud pada angka (2) sebagai
kompensasi penahanan terhadap pelaku jarimah untuk penahanan paling
lama 30 (tiga puluh) hari dikurangi 1 (satu) kali cambuk.58

d.

Berdasar ketentuan Pasal 22 Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
penahanan yang diperintahkan oleh penyidik berlaku hitungan sebagai berikut:
1. Penahanan yang diperintahkan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam
huruf (a) angka (2) di atas, hanya berlaku paling lama 15 (lima belas) hari.59
2. Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh
penuntut umum yang berwenang paling lama 30 (tiga puluh) hari.

58 Penjelasan : kompensasi penahanan sampai dengan 30 (tiga puluh) hari dikurangi 1 (satu) kali
cambuk dan begitu juga seterusnya;

Penjelasan : selama belum ada rumah tahanan negara di tempat yang bersangkutan, penahanan
dapat dilakukan di kantor kepolisian negara, di kantor kejaksaan negeri, di lembaga pemasyarakatan, di
rumah sakit dan dalam keadaan yang memaksa di tempat lain;
59

118

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup
kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir
waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
4. Setelah waktu 45 (empat puluh lima) hari sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka
dari tahanan demi hukum.
e. Berdasar ketentuan Pasal 23 Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa penahanan yang diperintahkan oleh penuntut umum berlaku
hitungan sebagai berikut:
1. Penahanan yang diperintahkan oleh penuntut umum sebagaimana
dimaksud dalam huruf (a) angka (4) di atas, hanya berlaku paling lama
15 (lima belas) hari.
2. Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan
guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang
oleh ketua mahkamah yang berwenang untuk paling lama 25 (dua puluh
lima) hari.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum
berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan
sudah terpenuhi.
4. Setelah waktu 40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), penuntut umum wajib mengeluarkan tersangka dari
tahanan demi hukum.
f. Berdasar ketentuan Pasal 24 Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat,
Hakim mahkamah yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 85 Qanun Aceh, guna kepentingan pemeriksaan berwenang
mengeluarkan surat perintah penahanan dengan hitungan sebagai berikut:
1. Hakim mahkamah yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud
dalam

Pasal

85,

guna

kepentingan

pemeriksaan

berwenang

mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama 20 (dua


puluh) hari.

119

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

2. Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan


guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang
oleh Ketua Mahkamah Syariyah yang bersangkutan untuk paling lama
40 (empat puluh) hari.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum
berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan
sudah terpenuhi.
4. Setelah waktu 60 (enam puluh) hari walaupun perkara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) belum diputus, terdakwa wajib
dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
g. Berdasar ketentuan Pasal 25 Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat,
Hakim mahkamah syariyah yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 87 Qanun Aceh, guna kepentingan pemeriksaan banding
berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan dengan hitungan
sebagai berikut:
1. Hakim Mahkamah Syariyah Aceh yang mengadili perkara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 87, guna kepentingan pemeriksaan banding


berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama
20 (dua puluh) hari;
2. Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila

diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat


diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Syariyah Aceh yang bersangkutan
paling lama 30 (tiga puluh) hari.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum


berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan
sudah terpenuhi.
4. Setelah waktu 50 (lima puluh) hari walaupun perkara sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) belum diputus, terdakwa wajib
dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

120

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

h. Berdasar ketentuan Pasal 26 Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat,


Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud
dalam

Pasal 88, guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang

melakukan perintah penahanan dan pembebasan sesuai dengan ketentuan


peraturan perundang-undangan.
i.

Berdasar ketentuan Pasal 27 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,


terdapat pengecualian tentang jangka penahanan dengan ketentuan:
1. Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 sampai dengan

Pasal 26, guna kepentingan

pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat


diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan,
karena:
(1)

tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental


yang berat, yang dibuktikan dengan surat dokter; atau

(2)

perkara yang sedang diperiksa diancam dengan uqubat penjara 9


(sembilan) tahun atau lebih.

2. Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk


paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dalam hal penahanan tersebut
masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 30 (tiga
puluh) hari.
3. Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan
pemeriksaan dalam tingkat:
(1) penyidikan dan penuntutan diberikan oleh Ketua Mahkamah

Syariyah;
(2) pemeriksaan

di

Mahkamah

Syariyah

diberikan

oleh

Ketua

Mahkamah Syariyah Aceh;


(3) pemeriksaan banding di Mahkamah Syariyah Aceh diberikan oleh

Ketua Mahkamah Agung;


(4) pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.

121

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

4. Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat


dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh
tanggung jawab.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menutup
kemungkinan dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahanan
sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan
pemeriksaan sudah dipenuhi;
6. Setelah waktu 60 (enam puluh) hari, walaupun perkara tersebut belum
selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa wajib
dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
7. Terhadap perpanjangan penahanan dimaksud pada ayat (2) tersangka
atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat:
(1) penyidikan dan penuntutan kepada Ketua Mahkamah Syariyah Aceh;
(2) pemeriksaan Mahkamah Syariyah dan pemeriksaan banding, kepada
Ketua Mahkamah Agung.
j.

Berdasar ketentuan Pasal 28 Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat,


Apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
sampai dengan Pasal 26 atau perpanjangan penahanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa
berhak minta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92.

k. Berdasar ketentuan Pasal 29 Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat,


penyidik atau penuntut umum atau hakim sesuai dengan kewenangan
masing-masing dapat mengadakan penangguhan penahanan, dengan
ketentuan:
1. Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut
umum atau hakim sesuai dengan kewenangan masing-masing dapat
mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan
orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.

122

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

2. Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktuwaktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka
atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

C. JAMINAN PENANGGUHAN PENAHANAN

a. Berdasar ketentuan Pasal 30 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) dapat
ditangguhkan sekiranya ada orang yang menjamin bahwa tersangka atau terdakwa
tidak akan melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti, tidak mengulangi
jarimah dan atau tidak mempersulit proses penyidikan, penuntutan atau
penyidangan.
b. Penjamin untuk penahanan sebagaimana dimaksud pada huruf (a) paling kurang 2
(dua) orang, yang terdiri dari 1 (satu) orang anggota keluarga tersangka atau
terdakwa, dan 1 (satu) orang lagi pimpinan gampong atau pengacaranya.
c. Berdasar ketentuan Pasal 31 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a dan b) di atas dilakukan melalui
surat pernyataan yang ditanda tangani oleh penjamin dan tersangka atau terdakwa
serta pejabat yang barwenang melakukan penahanan, disertai dengan suatu berita
acara penjaminan.
d. Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada huruf (c) memuat jumlah uang yang
harus dibayar oleh penjamin apabila tersangka atau terdakwa tidak dapat
dihadirkan atas permintaan penyidik, penuntut umum atau hakim tanpa alasan
yang sah.
e. Penjamin tidak dapat membatalkan surat pernyataan penjaminannya kecuali di
depan pejabat yang berwenang melakukan penahanan dan dihadiri oleh
tersangka atau terdakwa.
f. Penjaminan dianggap berakhir apabila masa penjaminan telah habis, atau
tersangka atau terdakwa menyerahkan diri kepada pejabat yang berwenang
untuk ditahan.

123

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

g. Penangguhan penahanan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a dan b) di atas


dilakukan oleh penyidik, penuntut umum atau hakim, sesuai dengan
kewenangan masing-masing.
h. Berdasar ketentuan Pasal 32 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Kewajiban menghadirkan tersangka atau terdakwa yang dijamin untuk
keperluan penyidikan, penuntutan, penyidangan dan pelaksanaan 'uqubat
terbeban kepada penjamin.
i.

Surat panggilan atau pemberitahuan lain yang berkaitan dengan tersangka atau
terdakwa yang dijamin disampaikan kepada tersangka atau terdakwa dan salah
seorang penjamin.

j.

Apabila penjamin tidak dapat menghadirkan tersangka atau terdakwa yang


dijamin, atas permintaan penyidik, penuntut umum atau hakim tanpa alasan
yang sah, maka setelah lewat waktu 30 (tiga puluh) hari penjamin diwajibkan
membayar uang yang besarnya sebagaimana termuat dalam surat jaminan.

k. Bentuk dan isi surat jaminan, bentuk dan isi berita acara penjaminan, besarnya
uang jaminan, tata cara pemanggilan yang sah, alasan yang sah untuk tidak
hadir, serta bentuk dan isi berita acara pernyataan ketidakhadiran tersangka
yang dijamin, akan ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
l.

Berdasar ketentuan Pasal 33 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Proses hukum atas tersangka atau terdakwa yang dijamin, yang tidak hadir atau
tidak dapat dihadirkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) tetap
berlanjut, tidak boleh dihentikan, dan kepada aparat yang berwenang
diperintahkan untuk menangkap tersangka atau terdakwa.

D. PENGGELEDAHAN
a.

Berdasar ketentuan Pasal 34 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat Untuk
kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau
penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang
ditentukan dalam qanun ini.

124

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

b.

Berdasar ketentuan Pasal 35 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dengan surat izin ketua Mahkamah Syariyah setempat penyidik dalam melakukan
penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.

c.

Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas Polri dapat
memasuki rumah.

d. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dalam hal
tersangka atau penghuni menyetujuinya.
e.

Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh Keuchik atau nama lain atau
Kepala Dusun dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak
atau tidak hadir.

f.

Dalam waktu paling lama 2 (dua) hari setelah memasuki dan/atau menggeledah
rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada
pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.

g.

Berdasar ketentuan Pasal 36 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu,
dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat
(5) penyidik dapat melakukan penggeledahan:
1. pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang
ada di atasnya;
2. pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;
3. di tempat jarimah dilakukan atau terdapat bekasnya;
4. di tempat penginapan dan tempat umum lainnya yang dicurigai.

h. Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan sebagaimana dimaksud pada huruf


(g) penyidik wajib segera melaporkan kepada ketua Mahkamah Syariyah setempat
guna memperoleh persetujuannya.
i.

Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan sebagaimana dimaksud pada huruf


(g) dan huruf (h) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat,
buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan
jarimah yang bersangkutan.

125

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

j.

Berdasar ketentuan Pasal 37 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki:
1. ruangan dimana sedang berlangsung sidang Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota;
2. tempat dimana sedang berlangsung ibadah dan/atau upacara keagamaan;
3. ruang dimana sedang berlangsung sidang mahkamah.

k. Berdasar ketentuan Pasal 38 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah
hukumnya, tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31,
maka penggeledahan tesebut harus diketahui oleh ketua Mahkamah Syariyah
setempat dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana
penggeledahan itu dilakukan.
l.

Berdasar ketentuan Pasal 39 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Pada waktu menangkap tersangka, penyidik hanya berwenang menggeledah
pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras
dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang
dapat disita.

m. Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana


dimaksud pada huruf (l) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang
menggeledah badan tersangka.
n. Dalam hal penggeledahan sebagaimana dimaksud pada huruf (l) dan huruf (m),
petugas wajib memperhatikan aturan dan norma yang sesuai dengan Syariat Islam.

E. PENYITAAN

a. Berdasar ketentuan Pasal 40 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua
Mahkamah Syariyah setempat.60

60

Penggeledahan badan meliputi pemeriksaan rongga badan, yang wanita dilakukan oleh pejabat

wanita.

126

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

b. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu,
tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf (a) penyidik
dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib
segera melaporkan kepada Ketua Mahkamah Syariyah setempat guna
memperoleh persetujuan.61
c. Berdasar ketentuan Pasal 41 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
1. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian
diduga diperoleh dari jarimah atau sebagai hasil jarimah;
2. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan jarimah
atau untuk mempersiapkannya;
3. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan jarimah;
4. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan jarimah;
5. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan jarimah yang
dilakukan.
d. Benda yang berada dalam sitaan karena perkara muamalat atau karena pailit
(muflis) dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan
mengadili perkara jinayat,

sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud pada huruf (c).


e. Berdasar ketentuan Pasal 42 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang
ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan jarimah
atau benda lain yang dipakai sebagai barang bukti.
f. Berdasar ketentuan Pasal 43 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat atau
benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos
dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan,
sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau
Dalam hal penyidik berpendapat perlu dilakukan pemeriksaan rongga badan, penyidik minta
bantuan kepada pejabat kesehatan.
61

127

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

yang berasal dari padanya dan untuk itu kepada tersangka dan / atau kepada
pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahan komunikasi
atau

pengangkutan

yang

bersangkutan,

harus diberikan

surat

tanda

penerimaan.
g. Berdasar ketentuan Pasal 44 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang
dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan
pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat
tanda penerimaan.
h. Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada
penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa atau
ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jika
benda tersebut merupakan alat untuk melakukan jarimah.
i.

Berdasar ketentuan Pasal 45 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut
undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia
negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus
Ketua Mahkamah Syariyah setempat kecuali undang-undang menentukan lain.

j.

Berdasar ketentuan Pasal 46 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara. 62

k. Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung


jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk
dipergunakan oleh siapapun juga.
l.

Berdasar ketentuan Pasal 47 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang lekas rusak atau yang
membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan
mahkamah terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum

62
Penjelasan : selama belum ada rumha penyimpanan benda sitaan negara di tempat yang
bersangkutan, penyimpanan benda sitaan tersebut dapat dilakukan di kantor kepolisian negara RI, di kantor
kejaksaan negeri, di kantor pengadilan negeri, di gedung bank pemerintah, dan dalam keadaan memaksa di
tempat penyimpanan lain atau tetap di tempat semula benda itu disita.

128

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

tetap atau jika biaya penyitaan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi,
sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil
tindakan sebagai berikut:
1. Apabila perkara masih ada di tangan penyidik atau penuntut umum, benda
tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau
penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;
2. Apabila perkara sudah ada di mahkamah, maka benda tersebut dapat
diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas izin hakim yang
menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.
m. Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai
barang bukti.
n. Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dari
benda sebagaimana dimaksud pada huruf (l).
o. Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak
termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf (l), dirampas untuk
negara atau untuk dimusnahkan.
p. Berdasar ketentuan Pasal 48 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada
mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang
paling berhak apabila:
1. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
2. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata
tidak merupakan jarimah;
q. Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan
dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan,
kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, atau
dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau
jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.

129

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

F. PEMERIKSAAN SURAT

a. Berdasar ketentuan Pasal 49 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui
kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau
pengangkutan jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai
hubungan dengan perkara jinayat yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang
diberikan untuk itu dari ketua Mahkamah Syariyah setempat.
b. Untuk kepentingan tersebut penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos
dan

telekomunikasi,

kepala

jawatan

atau

perusahaan

komunikasi

atau

pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk
itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
c. Hal sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dan huruf (b), dapat dilakukan pada
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan.
d. Berdasar ketentuan Pasal 50 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya
dengan perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas
perkara.
e. Apabila sesudah diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan
perkara, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor pos
dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain
setelah dibubuhi cap yang berbunyi telah dibuka oleh penyidik dengan dibubuhi
tanggal, tanda tangan beserta identitas penyidik.
f. Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemerikasaan dalam proses
peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah
jabatan isi surat yang dikembalikan itu.
g. Berdasar ketentuan Pasal 51 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 dan Pasal 75.

130

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

h. Turunan berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala kantor pos
dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang
bersangkutan.

131

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB VII
TERSANGKA DAN TERDAKWA
A.

TERSANGKA
Lilik Mulyadi63 mejelaskan bahwa pada hakikatnya, itilah tersangka dan
terdakwa merupkan terminology dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) sebagaimana terintrodusir undang-undang nomor 8 tahun 1981. Kalau nertolak
dari sistim hukum belanda yang termaktub dalam Wetboek van strafvordering, ternyata istilah
tersangka atau Beklaagde dan terdakwa atau Verdachte tidak di bedakan pengertiannya
dan dipergunakan dalam satu istilah saja yaitu: Verdachte.
Selanjutnya dalam kepustakaan ilmu hukum terminoligi tersanka dan terdakwa
pada KUHAP identik dengan sistem hukum Inggrissesuai dengan rumpun Anglo Saxon, yang
dikenal istilah the suspect untuk tindakan sebelum penuntutan dan the accused bagi
tindakan sesudah penuntutan.lebih lanjut lagi, perbedaan istilah tersangka dan terdakwa
ini dalam terminology KUHAP secara definitive dapat ditemukan pada ketentuan bab I
tentang ketentuan umum pasal 1 angka 14 dan 15 KUHAP yang menentukan, bahwa:

Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,


berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Dalam rancangan Qanun zcara jinayat Tersangka adalah orang karena
perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku
jarimah.

B.

TERDAKWA

Terdakwa adalah seorang tersangka (orang karena perbuatannya atau


keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku jarimah)
yang dituntut, diperiksa dan diadili disidang pengadilan64

63 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik Dan Permasalahannya, PT Alumni,
Cet. I, Bukit Pakar Timur, 2007, Hal 49.
64

Bandingkan dengan Rancangan Qanun Jinayat Aceh pasal 1 ayat: 18,19 dan 23

132

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

a. Berdasar ketentuan Pasal 52 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Seorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa mempunyai hak
sebagai berikut:
1.

diperiksa segera oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada


Penuntut Umum;

2.

diajukan segera perkaranya ke Mahkamah Syariyah oleh Penuntut Umum;

3.

diadili segera oleh Mahkamah Syariyah.

b. Berdasar ketentuan Pasal 53 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Untuk mempersiapkan pembelaan:
1.

tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang


dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu
pemeriksaan dimulai;

2.

terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang


dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya.

c. Berdasar ketentuan Pasal 54 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan peradilan tersangka atau
terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau
hakim.
d. Berdasar ketentuan Pasal 55 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka atau
terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan dari juru bahasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171.
e. Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan/atau tuli diberlakukan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172.
f. Berdasar ketentuan Pasal 56 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Untuk kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat
bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu
dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam
qanun ini.

133

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

g. Berdasar ketentuan Pasal 57 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Untuk mendapat penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 56
tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.
h. Berdasar ketentuan Pasal 58 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan jarimah
yang diancam dengan uqubat hudud atau ancaman 15 (lima belas) tahun
penjara atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu untuk mempunyai
penasihat hukum sendiri yang diancam dengan uqubat 5 (lima) tahun penjara
atau lebih, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
i.

Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud


pada huruf (h), memberikan bantuannya sesuai peraturan perudang-undangan.

j.

Berdasar ketentuan Pasal 59 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,


bahwaTersangka

atau

terdakwa

yang

dikenakan

penahanan

berhak

menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan qanun ini.


k. Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan
berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam
menghadapi proses perkaranya.
l.

Berdasar ketentuan Pasal 60 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,


bahwaTersangka

atau

terdakwa

yang

dikenakan

penahanan

berhak

menghubungi, menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan


kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak.
m. Berdasar ketentuan Pasal 61 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwaTersangka

atau

terdakwa

yang

dikenakan

penahanan

berhak

diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang,


pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya
atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang
lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk
mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.
n. Berdasar ketentuan Pasal 62 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwaTersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan

134

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan


tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan
penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum.
o. Berdasar ketentuan Pasal 63 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwaTersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan
perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan
sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara
tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan
kekeluargaan .
p. Berdasar ketentuan Pasal 64 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwaTersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat
hukumnya, dan/atau menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak
keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya.
q. Surat-menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya
atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim
atau pejabat rumah tahanan negara, kecuali jika terdapat cukup alasan untuk
diduga bahwa surat-menyurat itu disalahgunakan.
r. Dalam hal surat untuk tersangka atau terdakwa itu ditilik atau diperiksa oleh
penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara, hal itu
diberitahukan kepada tersangka atau terdakwa dan surat tersebut dikirim
kembali kepada pengirimnya setelah dibubuhi cap yang berbunyi telah ditilik .
s. Berdasar ketentuan Pasal 65 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwaTersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan
dari pembimbing agama.
t. Berdasar ketentuan Pasal 66 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwaTerdakwa berhak untuk diadili di sidang Mahkamah Syariyah yang
terbuka untuk umum.
u. Berdasar ketentuan Pasal 67 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwaTersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan
saksi dan / atau orang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan
keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.

135

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

v. Berdasar ketentuan Pasal 68 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,


bahwaTersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
w. Berdasar ketentuan Pasal 69 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwaTerdakwa atau penuntut umum berhak untuk memohon banding
terhadap putusan Mahkamah Syariyah tingkat pertama kecuali terhadap
putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah
kurang tepatnya penerapan hukum.
x. Berdasar ketentuan Pasal 70 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan / atau
rehabilitasi dalam hal-hal tertentu yang diatur dalam qanun ini.

136

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB VIII
BANTUAN HUKUM

a. Berdasar ketentuan Pasal 71 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Penasihat hukum berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka atau terdakwa
sejak saat ditangkap atau ditahan menurut tata cara yang ditentukan dalam qanun ini
untuk kepentingan pembelaan perkaranya.
b. Jika terdapat bukti bahwa penasihat hukum tersebut menyalahgunakan haknya dalam
pembicaraan dengan tersangka atau terdakwa sesuai dengan tingkat pemeriksaan,
penyidik, penuntut umum atau petugas rumah tahanan negara memberi peringatan
kepada penasihat hukum.
c. Apabila peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf (b) tidak diindahkan, maka
hubungan tersebut diawasi oleh pejabat/petugas sebagaimana dimaksud pada huruf
(b).
d. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dilakukan tanpa mendengar isi
pembicaraan.
e. Apabila setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan, maka hubungan tersebut
disaksikan oleh pejabat/petugas sebagaimana dimaksud pada huruf (b) dan apabila
setelah itu tetap dilanggar maka hubungan selanjutnya dilarang.
f. Berdasar ketentuan Pasal 72 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa Atas
permintaan tersangka atau penasihat hukumnya penyidik memberikan turunan berita
acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya.
g. Berdasar ketentuan Pasal 73 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Penasihat hukum berhak mengirim kepada dan menerima surat dari tersangka atau
terdakwa setiap kali dikehendaki olehnya.
h. Berdasar ketentuan Pasal 74 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Pengurangan

kebebasan

hubungan

antara

penasihat

hukum

dan

tersangka

sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf (d) dan huruf (e) dilarang, setelah perkara
dilimpahkan oleh penuntut umum kepada Mahkamah Syariyah untuk disidangkan,
yang tembusan suratnya disampaikan kepada tersangka atau penasihat hukumnya
serta pihak lain dalam proses.

137

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB IX
BERITA ACARA DAN SUMPAH
A.

BERITA ACARA
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana pasal 75 ayat 1-3 menyebutkan
bahwa berita acara dibuat dalam berbagai tindakan yaitu:
(1) Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang :
a. pemeriksaan tersangka;
b. penangkapan;
c. penahanan;
d. penggeledahan;
e. pemasukan rumah;
f.

penyitaan benda;

g. pemeriksaan surat;
h. pemeriksaan saksi;
i.

pemeriksaan di tempat kejadian;

j.

pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;

k. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.


(2) Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan
tersebut pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.
(3) Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut pada ayat (2)
ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut pada
ayat (1).

Hal senada juga disebutkan dalam Pasal 75 Rancangan Qanun Aceh tentang
Hukum Acara Jinayat meyebutkan ayat (1) Berita acara dibuat untuk setiap tindakan
tentang : a. pemeriksaan tersangka; b. penangkapan; c. penahanan; d. penjaminan
penangguhan penahanan; e. penggeledahan; f. pemasukan rumah; g. penyitaan benda;
h. pemeriksaan surat; i. pemeriksaan saksi; j. pemeriksaan di tempat kejadian; k.
pelaksanaan penetapan dan putusan Mahkamah; l. pelaksanaan tindakan lain sesuai
dengan ketentuan dalam Qanun ini.

138

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

(2) Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan
tindakan sebagaimanan dimaksud pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah
jabatan;
(3) Berita acara ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 76 (1) Pemeriksaan di persidangan
Mahkamah Syariyah juga harus dibuat berita acara yang khusus untuk itu; (2) Berita
acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Ketua Majelis dan
Panitera yang mencatat jalannya persidangan;

B.

SUMPAH
Rancangan qanun hukum acara jinayat Pasal 77 (1) Dalam hal adanya
keharusan mengangkat sumpah bagi yang beragama Islam, maka lafazh sumpah
diawali dengan : Bismillahirrahmanirrahim. Wallahi, demi Allah saya bersumpah,
bahwa saya .... (sesuai dengan kepentingan sumpah); (2) Dalam hal yang harus
mengangkat sumpah bukan beragama Islam, maka lafazh sumpahnya disesuaikan
dengan agama atau kepercayaan yang bersangkutan sebagaimana yang diatur oleh
peraturan perundang-undangan; (3) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) atau ayat (2) tidak dipenuhi, maka sumpah tersebut batal menurut hukum.

139

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI

A. PRAPERADILAN
a. Berdasar ketentuan Pasal 78 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Mahkamah Syariyah berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam qanun ini tentang:
1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
2. ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi setiap orang yang perkara jinayatnya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
b. Berdasar ketentuan Pasal 79 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Pelaksanaan wewenang Mahkamah Syariyah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
78 melalui praperadilan.
c. Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah
Syariyah dan dibantu oleh seorang panitera. 65
d. Berdasar ketentuan Pasal 80 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau
penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua
Mahkamah Syariyah dengan menyebutkan alasannya.
e. Berdasar ketentuan Pasal 81 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan
atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak
ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Mahkamah Syariyah dengan
menyebutkan alasannya.
f. Berdasar ketentuan Pasal 82 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan
atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan

Yang dimaksud dengan Mahkamah Syariyah adalah Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota,


sedangkan Mahkamah Syariyah Aceh adalah Mahkamah Syariyah Propinsi.
65

140

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua
Mahkamah Syariyah dengan menyebutkan alasannya.
g. Berdasar ketentuan Pasal 83 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Acara pemeriksaaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam huruf d,
e dan f ditentukan sebagai berikut:
1. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk
menetapkan hari sidang;
2. hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun
dari pejabat yang berwenang, dalam memeriksa dan memutus tentang:
(1) sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan;
(2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan;
(3) permintaan ganti kerugian

dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya

penangkapan atau penahanan;


(4) akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan; dan
(5) ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian.

3. pemeriksaan sebagaimana pada angka 2 dilakukan sacara cepat dan putusan


dijatuhkan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak disidangkan;
4. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Mahkamah Syariyah,
sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum
selesai, maka permintaan tersebut gugur;
5. putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan
untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan
oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
6. Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal
sebagaimana dimaksud dalam hurufl (d) sampai dengan huruf (f), harus
memuat dengan jelas dasar dan alasannya.
h. Putusan hakim, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf (g)
juga memuat hal sebagai berikut:
1. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan
tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat
pemeriksaan masing-masing harus membebaskan tersangka;

141

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

2. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau


penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib
dilanjutkan;
3. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan
tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian
dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian
penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan,
maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
4. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak
termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda
tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda
itu disita.
i. Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 78 dan Pasal 91.
j. Ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada huruf (i) dibebankan pada APBA
yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.
k. Berdasar ketentuan Pasal 84 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
80, sampai dengan Pasal 82 tidak dapat dimintakan banding.
l. Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang
menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk
itu dapat dimintakan putusan akhir ke Mahkamah Syariyah Aceh.

B. MAHKAMAH SYARIYAH, MAHKAMAH SYARIYAH ACEH DAN MAHKAMAH AGUNG

a. Berdasar ketentuan Pasal 85 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Mahkamah Syariyah berwenang mengadili segala perkara mengenai jarimah yang
dilakukan dalam daerah hukumnya;
b. Mahkamah Syariyah yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal
atau berdiam terakhir atau ditempat ia diketemukan atau ditahan, hanya
berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman

142

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Mahkamah Syariyah
itu dari pada tempat kedudukan Mahkamah Syariyah yang di dalam daerahnya
jarimah itu dilakukan;
c. Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa jarimah dalam daerah hukum
pelbagai Mahkamah Syariyah, maka tiap Mahkamah Syariyah itu masing-masing
berwenang mengadili perkara jinayat itu;
d. Terhadap beberapa perkara jinayat yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan
dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai Mahkamah Syariyah, diadili
oleh masing-masing Mahkamah Syariyah dengan ketentuan dibuka kemungkinan
penggabungan perkara tersebut.
e. Berdasar ketentuan Pasal 86 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam hal keadaan daerah tidak memungkinkan suatu Mahkamah Syariyah untuk
mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua Mahkamah Syariyah atau Kepala
Kejaksaan Negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung menetapkan atau
menunjuk Mahkamah Syariyah lain daripada yang tersebut pada Pasal 85 untuk
mengadili perkara yang dimaksud .
f. Berdasar ketentuan Pasal 87 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Mahkamah Syariyah Aceh berwenang mengadili perkara yang diputus oleh
Mahkamah Syariyah dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.
g. Berdasar ketentuan Pasal 88 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara jinayat yang dimintakan
kasasi.

143

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB XI
PERADILAN KONEKSITAS66
A. PENGERTIAN
Pengertian koneksitas adalah sitem peradilan pidana/ jinayah terhadap
tersangka-tersangka yang bersama-sama melakukan tindak pidana akan tetapi masingmasing tunduk dalam kompetensi peradilan yang berbeda, sebagian tersangka tunduk
pada peradilan mahkamah syariyah dan sebagian lagi tunduk pada kompetensi
peradilan militer.

Tersangka-tersangka yng melakukan tindak pidana bersama-sama adalah


merupakan tindakan pidana yang berada dalam ruang lingkup pasal 55 KUHP atau
pasal 56 KUHP:

Pasal 55 KUHP adalah mengenai pengertian, yaitu: (1) Mereka yang melakukan
tindak pidana. (2) Mereka yang menyuruh melakukan tindak pidana. (3) Mereka yang
turut serta melakukan tindak pidana. (4). Mereka yang menganjurkan melakukan
tindak pidana.

Pasal 56 KUHP adalah mengenai pembantuan suatu kejahatan yaitu: (1) Mereka
yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. (2) Mereka yang
sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Adapun dalam rancangan qanun hukum acara jinayat aceh menyebutkan :


a. Berdasar ketentuan Pasal 89 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Jarimah yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang masuk dalam
lingkungan peradilan Syariat Islam dan peradilan militer yang menundukkan diri
pada qanun ini, diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Syariyah .

66 Disadur Dari Bukunya Ramelan, Hukum Acara Pidana Teori Dan Implementasinya, Sumber Ilmu
Jaya, Jakarta, 2006 Hal.140-146., Buku Bahan Ajar Diklat II Cakim Angkatan VII 2012, Rancangan Qanun
Hukum Acra Jinayat Aceh Dan KUHAP.

144

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

b. Penyidikan perkara jarimah sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dilaksanakan


oleh satu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 dan Penyidik Polisi Militer.
c. Berdasar ketentuan Pasal 90 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Penyidikan yang dilakukan oleh tim tetap sebagaimana dimaksud dalam huruf
(b) dalam pelaksanaannya sepanjang belum diatur lain dapat menggunakan
ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
B. PRINSIP-PRINSIP KONEKSITAS

Prinsip yang dianut dalam peradilan koneksitas sebagaimana ditentukan dalam


pasal 89 ayat 1 KUHAP adalah lingkungan peradilan umum67 yang berwenang
memeriksa dan mengadili perkara-perkara koneksitas.
Pengecualian terhadap prinsip umum tersebut ditentukan sebagai berikut:
a.

Jika menurut keputusan menteri pertahanan dan keamanan harus diperiksa dan
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

b.

Keputusan menteri pertahanan dan keamanan tersebut harus mendapat


persetujuan menteri kehakiman.

Dengan Adanya UU RI No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman maka


penentuan pengecualian prinsip peradilan koneksitas pada saat ini adalah keputusan
ketua mahkamah agung.

C. PENYIDIKAN PERKARA KONEKSITAS

Penyidikan perkara jarimah sebagaimana dimaksud pada pasal 89 huruf (a)


Qanun Hukum acara jinayat Aceh dilaksanakan oleh satu tim tetap yang terdiri dari
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Penyidik Polisi Militer.

67

Dalam Kontek Peradilah Perkara Jinayat Peradilan Umum Dibaca Peradilan Mahkamah Syariyah.

145

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Menurut pasal 89 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa penyidikan perkara


koneksitas dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 KUHAP (penyidik Polisi) dan polisi militer angkatan dara RI
dan oditur militer atau oditur militer tinggi.

Tim tetap penyidik perkara koneksitas tersebut dibentuk dengans surat


keputusan bersama menteri pertahan dan keamanan, dan menteri kehakiman (pasal
89 ayat (3) KUHAP).

Keputusan bersama yang dimaksud pasal 89 ayat (3) KUHAP adalah Keputusan
Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan, dan menteri Kehakiman Nomor:
KEP.10/M/XII/1983, Nomor M.57.PR.09.03 tahun 1983 tertanggal 29 desember 1983.

D. TATACARA PENENTUAN PENGADILAN KONEKSITAS

Setelah Tim penyidik Koneksitas selesai melakukan penyidikan, maka hasil


penyidikan diteliti bersama oleh jaksa dan oditur militer atau jaksa tinggi dan oditur
militer tinggi (pasal 90 ayat (1) KUHAP.

Menurut Pasal 90 ayat (2) KUHAP, pendapat dari penelitian bersama tersebut
dituangkan dalam berita acara yang ditanda tangani oleh pihak peneliti (jaksa dan
oditur militer atau jaksa tinggi danoditur militer tinggi).

Jika dalam penelitian bersama itu tidak terdapat persesuaian pendapat tentang
pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut maka hal itu dilaporkan oleh
jaksa atau jaksa tinggi kepada jaksa agung dan oleh oditur militeratau oditur militer
tinggi kepada oditur Jendral Angkatan Bersenjata RI (pasal 90 ayat 3 KUHAP).

Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) titik
berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada
kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan

146

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

dalam lingkungan peradilan umum, maka perwira penyerah perkara segera membuat
surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui oditur militer atau
oditur militer tinggi kepada penuntut umum, untuk dijadikan dasar mengajukan
perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang.(Pasal 91 ayat 1 KUHAP)

Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak
pidana tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka pendapat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur Jenderal
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk mengusulkan kepada Menteri
Pertahanan dan Keamanan, agar dengan persetujuan Menteri Kehakimaan dikeluarkan
keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan yang menetapkan, bahwa perkara
pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.(pasal 91
ayat 2 KUHAP)

Surat keputusan tersebut pada ayat (2) dijadikan dasar bagi perwira penyerah
perkara dan jaksa atau jaksa tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut kepada
mahkamah militer atau mahkamah militer tinggi.(pasal 91 ayat 3 KUHAP)

Apabila perkara diajukan kepada pengadilan negeri sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 91 ayat (1), maka berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh tim
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dibubuhi catatan oleh penuntut umum
yang mengajukan perkara, bahwa berita acara tersebut telah diambil alih
olehnya.(pasal 92 ayat 1 KUHAP)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi oditur
militer atau oditur militer tinggi apabila perkara tersebut akan diajukan kepada
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. (pasal 92 ayat 2 KUHAP)

Apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (l)


terdapat perbedaan pendapat antara penuntut umum dan oditur militer atau oditur

147

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

militer tinggi, mereka masing-masing melaporkan tentang perbedaan pendapat itu


secara tertulis, dengan disertai berkas perkara yang bersangkutan melalui jaksa tinggi,
kepada Jaksa Agung dan kepada Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia. (pasal 93 ayat 1 KUHAP)

Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia


bermusyawarah untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (pasal 93 ayat 2 KUHAP).

Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Oditur Jenderal
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, pendapat Jaksa Agung yang menentukan.
(pasal 93 ayat 3 KUHAP)

E. SUSUNAN MAJLIS HAKIM PENGADILAN KONEKSITAS

Berdasarkan pasal 94 KUHAP, susunan majelis hakim pengadilan koneksitas


adalah sebagai berikut:
a. Apabila perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh pengailan dalam
lingkungan peradilan umum68.
1. Majelis hakim sekurang-kurangnya tiga orang hakim
2. Hakim ketua majelis ditetapkan dari lingkungan peradilan umum dan hakim
anggota ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara
berimbang.
b. Apabila perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh pengailan dalam
lingkungan peradilan militer.
1. Majelis hakim sekurang-kurangnya tiga orang hakim
2. Hakim ketua majelis ditetapkan dari lingkungan peradilan umum dan hakim
anggota ditetapkan dari peradilan umum yang diberi pangkat militer tituler
dan peradilan militer secara berimbang,

68

Dalam perkara jinayat Peradilan umum dibaca Mahkamah Syariyah.

148

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

c. Susunan Majelis Hakim yang dimaksud pada huruf a dan b tersebut diatas juga
berlaku bagi pengadilan tingkat banding.
Menurut pasal 94 ayat 5 KUHAP pengangkatan hakim anggota sebagaimana
tersebut

diatas diusulkan secara timbal balik oleh menteri kehakiman dan

menteri pertahanan keamanan. Adapun pada saat ini dengan adanya UU RI


tentang kekuasaan kehakiman No. 48 tahun 2009 maka yang mengangkat hakim
koneksitas adalah Ketua Mahkamah Agung.

149

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB XII
GANTI KERUGIAN, REHABILITASI DAN
PENGGABUNGAN PERKARA GANTI KERUGIAN

A. GANTI KERUGIAN

a.

Berdasar ketentuan Pasal 91 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena
ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan
yang berdasarkan qanun dan undang-undang lainnya atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

b.

Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau
penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan qanun dan undangundang lainnya atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan sebagaimana dimaksud pada huruf (a) yang perkaranya tidak diajukan
ke Mahkamah Syariyah, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 78;

c.

Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada huruf (a) diajukan oleh
tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada Mahkamah Syariyah
yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.

d. Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian sebagaimana


dimaksud pada huruf (a) Ketua Mahkamah Syariyah sedapat mungkin menunjuk
hakim yang sama yang telah mengadili perkara jinayat yang bersangkutan.
e.

Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada huruf (d)


mengikuti acara praperadilan.

f.

Berdasar ketentuan Pasal 92 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan.

g.

Penetapan sebagaimana dimaksud pada huruf (f) memuat dengan lengkap semua
hal yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut.

150

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

B. REHABILITASI

a. Berdasar ketentuan Pasal 93 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh Mahkamah diputus bebas
atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
b. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan
Mahkamah sebagaimana dimaksud pada huruf (a).
c. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa
alasan yang berdasarkan qanun dan undang-undang lainnya atau kekeliruan
mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
91 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke Mahkamah Syariyah, diputus oleh
hakim praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78.
d. Berdasar ketentuan Pasal 94 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 dibebankan pada APBA dan
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

C.

PENGGABUNGAN PERKARA GANTI KERUGIAN

a. Berdasar ketentuan Pasal 95 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan
perkara jinayat oleh Mahkamah Syariyah, menimbulkan kerugian bagi orang lain,
maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan gugatan ganti kerugian kepada perkara jinayat itu.
b. Permintaan sebagaimana dimaksud pada huruf (a) hanya dapat diajukan
selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan uqubat.
Dalam hal perkara jinayat tidak mengharuskan penuntut umum hadir,
permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
c. Berdasar ketentuan Pasal 96 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada
perkara jinayat sebagaimana dimaksud dalam pasal 95, maka Mahkamah

151

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Syariyah menimbang tentang kewenangan untuk mengadili gugatan tersebut,


tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang kewajiban penggantian biaya yang
telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.
d. Kecuali dalam hal Mahkamah Syariyah menyatakan tidak berwenang mengadili
gugatan sebagaimana dimaksud pada huruf (b) atau gugatan dinyatakan tidak
dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan kewajiban
penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
e. Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap,
apabila putusan jinayatnya juga mendapat kekuatan hukum tetap.
f. Berdasar ketentuan Pasal 97 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Apabila terjadi penggabungan antara perkara muamalat dan perkara jinayat,
maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan
tingkat banding.
g. Apabila terhadap suatu perkara jinayat tidak diajukan permintaan banding, maka
permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.

152

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB XIII
TAHAPAN-TAHAPAN DAN PROSES SIDANG DALAM PERKARA JINAYAT
JAKSA
PENUNTUT
UMUM

HAKIM/
MAJELIS
HAKIM

TERDAKWA/
PENASEHAT
HUKUM

SIDANG
DIBUKA
DAKWAAN
EKSEPSI
TAHAP I

TANGGAPAN
(REPLIK)
TANGGAPAN
(DUPLIK)

SIDANG
PERTAMA

PUTUSAN
SELA

TAHAP II

PEMERIKSAAN
BUKTI
. Saksi A Charge
. Ahli
. Surat
. Barang Bukti
PEMERIKSAAN
BUKTI
. Saksi A decharge
. Ahli
. Surat
. Barang Bukti

SIDANG
PEMBUKTIAN

PEMERISAAN
TERDAKWA
REQUISITOIR
(Tuntutan Pidana)
TAHAP III

PLEIDOOI
(Pembelaan)
PEPLIK
DUPLIK
REREPLIK
REDUPLIK

153

SIDANG
TUNTUTAN
DAN
PEMBELAAN

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Musyawarah
Hakim
Penilaian
Fakta
Penerapan
Hukum
dan
Penerapan
Saksi

TAHAP IV
Pernyataan
Sikap
. Menerima
. Pikir-Pikir
. Upaya Hukum

PUTUSAN

SIDANG
DITUTUP

154

SIDANG
PUTUSAN
Pernyataan Sikap
. Menerima
. Pikir-Pikir
. Upaya Hukum

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB XIV
PENUNTUTAN, DAKWAAN DAN PANGGILAN

A.

PENUNTUTAN DAN DAKWAAN


1.

Berdasar ketentuan Pasal 131 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun
yang didakwa melakukan suatu jarimah dalam daerah hukumnya dengan
melimpahkan perkara ke Mahkamah Syariyah yang berwenang mengadili.

2.

Berdasar ketentuan Pasal 132 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera
mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu 7 (tujuh) hari wajib
memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap
atau belum.

3.

Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum


mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal
yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu 14 (empat belas) hari
sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali
berkas perkara itu kepada penuntut umum.

4.

Berdasar ketentuan Pasal 133 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil
penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera memeriksa untuk menentukan
apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak
dilimpahkan ke Mahkamah Syariyah.

5.

Berdasar ketentuan Pasal 134 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan
dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat
dakwaan.

6.

Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan


karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan
jarimah, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.

155

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

7.

Isi surat ketetapan sebagaimana dimaksud pada angka (6) diberitahukan


kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan.

8.

Turunan surat ketetapan sebagaimana dimaksud pada angka (6) wajib


disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat
rumah tahanan negara, penyidik dan hakim.

9.

Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, maka penuntut umum dapat
melakukan penuntutan terhadap tersangka.

10.

Berdasar ketentuan Pasal 135 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan
membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau
hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:
a. beberapa jarimah yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan
pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
b. beberapa jarimah yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;
c. beberapa jarimah yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan
tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini
penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

11.

Berdasar ketentuan Pasal 136 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat
beberapa jarimah yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak
termasuk dalam ketentuan pasal 135, penuntut umum dapat melakukan
penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.

12.

Berdasar ketentuan Pasal 137 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Penuntut umum melimpahkan perkara ke Mahkamah Syariyah dengan
permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat
dakwaan.

13.

Penuntut

umum

membuat

surat

dakwaan

yang

diberi

tanggal

dan

ditandatangani serta berisi:


a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;

156

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai jarimah yang


didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat jarimah itu dilakukan.
14.

Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada


angka (13) huruf b batal demi hukum.

15.

Turunan surat pelimpahan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta
surat dakwaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada
tersangka atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan
dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke Mahkamah
Syariyah.

16.

Berdasar ketentuan Pasal 138 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum hakim
menetapkan hari sidang, baik untuk penyempurnaan maupun untuk tidak
melanjutkan penuntutannya.

17.

Pengubahan surat dakwaan sebagaimana dimaksud pada angka (16) dapat


dilakukan hanya 1 (satu) kali.

18.

Dalam hal penuntut umum merubah surat dakwaan sebagaimana dimaksud


pada angka (16), penuntut umum menyampaikan turunannya kepada tersangka
atau penasihat hukum dan penyidik.

B.

PANGGILAN
1. Berdasar ketentuan Pasal 139 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Pemberitahuan untuk datang ke sidang Mahkamah dilakukan secara sah,
apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat
tinggalnya, atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di
tempat kediamannya terakhir.
2. Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediamannya
terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Keuchik atau nama lain tempat
tinggal terdakwa atau tempat kediaman terdakwa terakhir.
3.

Dalam hal terdakwa ditahan dalam rumah tahanan negara, surat panggilan
disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara.

157

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

4. Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak diketahui,


surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung
Mahkamah Syariyah yang berwenang mengadili perkaranya.
5. Surat panggilan yang diterima oleh terdakwa, oleh orang lain atau melalui
orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan.
6. Berdasar ketentuan Pasal 140 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa
yang memuat

hari, tanggal serta jam sidang dan untuk perkara apa ia

dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan paling lama 3
(tiga) hari sebelum sidang dimulai.
7. Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada saksi yang memuat
hari, tanggal serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus
sudah diterima oleh yang bersangkutan paling lama 3 (tiga) hari sebelum
sidang dimulai.

158

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB XV
SENGKETA WEWENANG MENGADILI

MEMUTUS SENGKETA MENGENAI WEWENANG MENGADILI

1.

Berdasar ketentuan Pasal 141 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Setelah Mahkamah Syariyah menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut
umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang mahkamah yang
dipimpinnya.

2.

Berdasar ketentuan Pasal 142 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam hal Ketua Mahkamah Syariyah berpendapat, bahwa perkara tersebut tidak
termasuk wewenangnya, maka dikembalikan kepada penuntut umum dengan suatu
penetapan untuk dilimpahkan kepada pengadilan yang berwenang.

3.

Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
terdakwa atau penasihat hukum dan penyidik.

4.

Berdasar ketentuan Pasal 143 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam hal penuntut umum keberatan terhadap surat penetapan Mahkamah Syariyah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142, maka ia mengajukan perlawanan kepada
Mahkamah Syariyah Aceh dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah penetapan tersebut
diterima melalui Mahkamah Syariyah setempat untuk dicatat dalam buku daftar
panitera.

5.

Dalam waktu 7 (tujuh) hari Mahkamah Syariyah sebagaimana dimaksud pada angka
(4) wajib meneruskan perlawanan tersebut kepada Mahkamah Syariyah Aceh.

6.

Apabila tidak terpenuhinya tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada angka (4)
maka perlawanan tersebut batal. 69

7.

Mahkamah Syariyah Aceh dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah
menerima perlawanan sebagaimana dimaksud pada angka (4), dapat mengabulkan
atau menolak perlawanan itu dengan surat penetapan.

69 Penjelasan : yang dimaksud dengan perlawanan batal yaitu batal demi hukum karena penuntut
umum tidak dapat memenuhi tenggang waktu yang telah dipersyaratkan. Perlawanan batal tersebut dicatat
secara resmi dalam buku registrasi kepaniteraan Mahkamah Syariyah untuk selanjutnya panitera membuat
suatu akta penolakan.

159

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

8.

Dalam hal Mahkamah Syariyah Aceh mengabulkan perlawanan penuntut umum,


maka dengan surat penetapan diperintahkan kepada Mahkamah Syariyah

yang

bersangkutan untuk menyidangkan perkara tersebut.


9.

Jika Mahkamah Syariyah Aceh menguatkan pendapat Mahkamah Syariyah,


Mahkamah Syariyah Aceh mengirimkan berkas perkara jinayat tersebut kepada
Mahkamah Syariyah yang bersangkutan.

10.

Tembusan surat penetapan Mahkamah Syariyah Aceh sebagaimana dimaksud pada


angka (8) dan angka (9) disampaikan kepada penuntut umum.

11.

Berdasar ketentuan Pasal 144 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Sengketa wewenang mengadili terjadi jika:
a.

2 (dua) mahkamah atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas


perkara yang sama;

b.

2 (dua) mahkamah atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili


perkara yang sama.

12.

Berdasar ketentuan Pasal 145 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Mahkamah

Syariyah Aceh memutus sengketa wewenang mengadili antara dua

Mahkamah Syariyah atau lebih.


13.

Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir terhadap semua
sengketa kewenangan mengadili antara Mahkamah Syariyah dengan pengadilan
dalam lingkungan peradilan lainnya.

160

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB XVI
ACARA PEMERIKSAAN BIASA

A.

ACARA PEMERIKSAAN BIASA

1.

Berdasar ketentuan Pasal 146 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam hal Mahkamah Syariyah menerima surat pelimpahan perkara dan
berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, ketua Mahkamah
Syariyah menunjuk majelis hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut
dan majelis hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang.

2.

Majelis Hakim dalam menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud pada angka
(2) memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan
saksi untuk datang di sidang mahkamah . 70

3.

Berdasar ketentuan Pasal 147 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Pada hari yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 Mahkamah
bersidang.

4.

Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang Mahkamah yang dilakukan


secara lisan dalam bahasa Indonesia.

5.

Hakim ketua sidang wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan
pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberi jawaban secara
tidak bebas.

6.

Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan


menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara kesusilaan atau yang
menurut peraturan perundang-undangan dinyatakan tertutup.

7.

Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka (4), angka (5)
dan angka (6) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.

8.

Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur
17 (tujuh belas) tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang.

70

Penjelasan : Majelis hakim diwakili oleh ketua majelis hakim.

161

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

9.

Berdasar ketentuan Pasal 148 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika
dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas.

10. Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan, tidak hadir pada
hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa
sudah dipanggil secara sah.
11. Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang menunda
persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir
pada hari sidang berikutnya.
12. Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah, tetapi tidak hadir di sidang
tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan
dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.
13. Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua
terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir
dapat dilangsungkan.
14. Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan
yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan
paksa pada sidang pertama berikutnya.
15. Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan
sebagaimana dimaksud pada angka (11), angka (12) dan angka (14) serta
menyampaikan kepada hakim ketua sidang.
16. Berdasar ketentuan Pasal 149 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Pada permulaan sidang, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa
tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
tempat tinggal, pekerjaan, agama dan kebangsaan serta mengingatkan terdakwa
supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang.
17. Sesudah pemeriksaan identitas sebagaimana dimaksud pada angka (17) hakim
ketua sidang mempersilahkan penuntut umum untuk membacakan surat
dakwaan.
18. Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah
benar-benar mengerti, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti, maka penuntut

162

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang
diperlukan.
19. Berdasar ketentuan Pasal 150 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa
mahkamah tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat
diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan
kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, majelis hakim
mempertimbangkan

keberatan

tersebut

untuk

selanjutnya

mengambil

keputusan.
20. Jika majelis hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu
tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim
berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka
sidang dilanjutkan.
21. Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap keputusan tersebut, maka ia
dapat mengajukan perlawanan kepada Mahkamah Syariyah Aceh melalui
Mahkamah Syariyah yang bersangkutan.
22. Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya
diterima oleh Mahkamah Syaryah Aceh, maka dalam waktu 14 (empat belas)
hari, Mahkamah Syaryah Aceh dengan surat penetapannya membatalkan
putusan Mahkamah Syariyah dan memerintahkan Mahkamah Syariyah yang
berwenang untuk memeriksa perkara itu.
23. Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding
terdakwa atau penasihat hukumnya kepada Mahkamah Syaryah Aceh, maka
dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak menerima perkara dan mengabulkan
perlawanan terdakwa, Mahkamah Syaryah Aceh membatalkan putusan
Mahkamah Syariyah yang bersangkutan dan menunjuk Mahkamah Syariyah
yang berwenang.
24. Mahkamah Syaryah Aceh menyampaikan salinan putusan tersebut kepada
Mahkamah Syariyah yang berwenang dan kepada Mahkamah Syariyah yang
semula mengadili perkara yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara
untuk diteruskan kepada Kejaksaan Negeri yang melimpahkan perkara itu.

163

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

25. Hakim ketua sidang karena jabatannya walaupun tidak ada perlawanan, setelah
mendengar pendapat penuntut umum dan terdakwa dengan surat penetapan
yang memuat alasannya dapat menyatakan mahkamah tidak berwenang.
26. Berdasar ketentuan Pasal 151 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari mengadili perkara tertentu apabila
ia terikat hubungan keluarga nasabiyah (sedarah) atau mushaharah (semenda)
sampai derajat ketiga atau hubungan suami/isteri meskipun sudah bercerai
dengan Hakim ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum atau panitera.
27. Hakim ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum atau panitera wajib
mengundurkan diri dari menangani perkara apabila terikat hubungan keluarga
nasabiyah (sedarah) atau mushaharah (semenda) sampai derajat ketiga atau
hubungan suami/isteri meskipun sudah bercerai dengan terdakwa atau dengan
penasihat hukum.
28. Jika dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka (26) dan angka (27),
mereka yang mengundurkan diri harus diganti.
29. Jika hubungan sebagaimana dimaksud pada angka (26) dan angka (27) terpenuhi
dan mereka tidak mungundurkan diri atau tidak diganti, sedangkan perkara
sudah diputus, maka perkara ini harus diadili ulang dengan susunan majelis
hakim yang lain.
30. Berdasar ketentuan Pasal 152 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan tentang
keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.
31. Berdasar ketentuan Pasal 153 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Hakim ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi yang dipanggil
telah hadir dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi
berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberi keterangan di sidang.
32. Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim
ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak
akan mau hadir, maka Hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi
tersebut dihadapkan secara paksa ke persidangan.

164

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

33. Berdasar ketentuan Pasal 154 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Pemanggilan saksi oleh hakim ke ruang sidang dilaksanakan sebagai berikut:
a. Saksi dipanggil seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang
sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat
penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum.
b. Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi
saksi.
c. Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan
terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan / atau yang
diminta terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama
berlangsung sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang
wajib mendengar keterangan saksi tersebut.
34. Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi tentang nama lengkap, tempat
lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal, agama,
dan kebangsaan, selanjutnya apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa
melakukan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan serta apakah ia terikat
hubungan nasabiyah (sedarah) atau mushaharah (semenda) dan sampai derajat
ke berapa dengan terdakwa atau apakah ia punya hubungan suami/isteri
meskipun sudah bercerai dengan terdakwa

atau terikat hubungan kerja

dengannya.
35. Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah, bahwa ia akan
memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang
sebenarnya.
36. Jika mahkamah menganggap perlu, seorang saksi atau ahli setelah selesai
memberi keterangan disumpah.
37. Berdasar ketentuan Pasal 155 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak bersumpah
sebagaimana dimaksud dalam pasal angka (35) dan angka (36), maka
pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan
hakim ketua sidang dapat kenakan sandera di rumah tahanan negara paling lama
14 (empat belas) hari.

165

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

38. Dalam hal tenggang waktu tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak
mau disumpah, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan
yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
39. Berdasar ketentuan Pasal 156 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau
karena halangan yang sah, tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena
jauh tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan
kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikan itu dibacakan.
40. Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka
keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah
yang diucapkan di sidang.
41. Berdasar ketentuan Pasal 157 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangan yang terdapat dalam
berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta
meminta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita
acara pemeriksaan sidang.
42. Berdasar ketentuan Pasal 158 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Setiap kali seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua sidang
menanyakan kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan
tersebut.
43. Penuntut umum atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang
diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa.
44. Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut
umum atau penasihat hukum kepada saksi atau terdakwa dengan memberikan
alasannya.
45. Berdasar ketentuan Pasal 159 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Hakim ketua sidang dan hakim anggota dapat meminta kepada saksi untuk
memberikan keterangan yang dipandang perlu dalam upaya mendapatkan
kebenaran.

166

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

46. Penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim
ketua sidang dapat mengajukan pertanyaan atau meminta keterangan lebih
lanjut kepada saksi.
47. Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut
umum, terdakwa atau penasihat hukum kepada saksi dengan memberikan alasan.
48. Hakim dan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan
perantaraan hakim ketua sidang, dapat saling menghadapkan saksi untuk
menguji kebenaran keterangan mereka masing-masing.
49. Berdasar ketentuan Pasal 160 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa
maupun kepada saksi.71
50. Berdasar ketentuan Pasal 161 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Setelah saksi memberi keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua
sidang memberi izin untuk meninggalkannya.
51. Izin sebagaimana dimaksud pada angka (50) tidak diberikan jika penuntut umum
atau terdakwa atau penasihat hukum mengajukan permintaan supaya saksi itu
tetap menghadiri sidang.
52. Para saksi selama sidang berlangsung dilarang saling berkomunikasi dalam
bentuk apapun.
53. Berdasar ketentuan Pasal 162 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Kecuali ditentukan lain dalam qanun ini, maka tidak dapat didengar
keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

Penjelasan : Jika dalam salah satu pertanyaan disebutkan suatu tindak pidana yang tidak diakui
telah dilakukan oleh terdakwa atau tidak dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap seolah-olah diakui atau
dinyatakan, maka pertanyaan yang sedemikian itu dianggap sebagai pertanyaan yang bersifat menjerat.
Pasal ini penting karena pertanyaan yang bersifat menjerat itu tidak hanya tidak boleh diajukan kepada
terdakwa, akan tetapi juga tidak boleh diajukan kepada saksi. ini sesuai dengan prinsip bahwa keterangan
terdakwa atau saksi harus diberikan secara bebas di di semua tingkat pemeriksaan. Dalam pemeriksaan
penyidik atau penuntut umum tidak boleh mengadakan tekanan yang bagaimanapun caranya, lebih-lebih
di dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Tekanan. itu, misalnya ancaman dan sebagainya yang
menyebabkan terdakwa atau saksi menerangkan hal yang berlainan daripada hal yang dapat dianggap
sebagai peryataan pikirannya yang bebas.
71

167

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

a.

Keluarga nasabiyah (sedarah) atau mushaharah (semenda) dalam garis


lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau
yang bersama-sama sebagai terdakwa.

b.

Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,


saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan

perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai

derajat ketiga.
c.

Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang


bersama-sama sebagai terdakwa.

54. Berdasar ketentuan Pasal 163 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162
menghendakinya dan penuntut

umum serta terdakwa secara tegas

menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah.


55. Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud pada angka (54) mereka
diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah.
56. Berdasar ketentuan Pasal 164 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban
untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal

yang

dipercayakan kepada mereka.


57. Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan
tersebut.
58. Berdasar ketentuan Pasal 165 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah
ialah:
a.

anak yang umurnya belum cukup 15 (lima belas) tahun dan belum
pernah kawin;

b.

orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang


ingatannya baik kembali.

59. Berdasar ketentuan Pasal 166 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Setelah saksi memberi keterangan, terdakwa atau penasihat hukum

168

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kepada hakim ketua


sidang, agar di antara saksi tersebut yang tidak mereka kehendaki
kehadirannya, dikeluarkan dari ruang sidang, supaya saksi lainnya
dipanggil masuk oleh hakim ketua sidang untuk didengar keterangannya,
baik seorang demi seorang maupun bersama-sama tanpa hadirnya saksi
yang dikeluarkan tersebut.
60. Apabila dipandang perlu hakim karena jabatannya dapat meminta supaya
saksi yang telah didengar keterangannya keluar dari ruang sidang untuk
selanjutnya mendengar keterangan saksi yang lain.
61. Berdasar ketentuan Pasal 167 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai
hal tertentu tanpa hadirnya terdakwa, untuk itu ia minta terdakwa keluar
dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu pemeriksaan perkara tidak boleh
diteruskan sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua hal pada waktu
ia tidak hadir.
62. Berdasar ketentuan Pasal 168 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua
sidang

memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya

memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman


uqubat yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan
keterangan palsu.
63. Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena
jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat
memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut
karena perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
64. Jika saksi memberi keterangan sebagaimana dimaksud pada angka (62) dan
angka (63), panitera segera membuat berita acara dalam pemeriksaan
sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan
persangkaan, bahwa keterangan saksi - saksi itu adalah palsu dan berita
acara tersebut ditanda tangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan

169

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut


ketentuan peraturan perundang-undangan.
65. Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula
sampai pemeriksaan perkara jinayat terhadap saksi itu selesai.
66. Berdasar ketentuan Pasal 169 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab
pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan
untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.
67. Berdasar ketentuan Pasal 170 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga
mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan jika
teguran itu tidak diindahkan ia memerintahkan supaya terdakwa
dikeluarkan dari ruang sidang, kemudian pemeriksaan perkara pada waktu
itu dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa.
68. Dalam hal terdakwa secara terus-menerus bertingkah laku yang tidak patut
sehingga

mengganggu

ketertiban

sidang,

hakim

mengupayakan sedemikian rupa agar putusan sidang

ketua

sidang

tetap dapat

dijatuhkan dengan hadirnya terdakwa.


69. Berdasar ketentuan Pasal 171 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua
sidang

menunjuk

seorang

juru

bahasa

yang

bersumpah

akan

menerjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.


70. Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak
boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara itu.
71. Berdasar ketentuan Pasal 172 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Jika terdakwa atau saksi bisu

dan/atau tuli serta tidak dapat

menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penerjemah orang yang


pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.
72. Jika terdakwa atau saksi bisu dan/atau tuli tetapi dapat menulis, hakim
ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya
secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan

170

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta


jawaban harus dibacakan.
73. Berdasar ketentuan Pasal 173 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberi keterangan ahli
demi keadilan.
74. Semua ketentuan yang berlaku untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang
memberikan

keterangan

ahli,

dengan

ketentuan

bahwa

mereka

mengucapkan sumpah akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya


dan sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
75. Berdasar ketentuan Pasal 174 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang
timbul di sidang mahkamah, hakim ketua sidang dapat minta keterangan
ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang
berkepentingan.
76. Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat
hukum terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud pada angka
(75) hakim memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang.
77. Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian
ulang sebagaimana dimaksud pada angka (76).
78. Penelitian ulang sebagaimana dimaksud pada angka (76) dan angka (77)
dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi personil yang berbeda
dan instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu.
79. Berdasar ketentuan Pasal 175 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala
barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu
dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
qanun ini.
80. Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang pada saksi.
81. Apabila

dianggap

perlu

untuk

pembuktian,

hakim

ketua

sidang

membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada

171

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

terdakwa atau saksi dan selanjutnya meminta keterangan seperlunya


tentang hal itu.
82. Berdasar ketentuan Pasal 176 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Penyampaian tuntutan dan pembelaan dilakukan sebagai berikut :
a.

Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan


tuntutan uqubat.

b.

Selanjutnya terdakwa

dan/atau penasihat hukum mengajukan

pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan


ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat
giliran terakhir.
c.

Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara


tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua
sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.

83. Jika acara sebagaimana dimaksud pada angka (82) telah selesai, hakim
ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan
ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim
ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum
atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya.
84. Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil
keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa,
saksi, penasihat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan
ruangan sidang.
85. Musyawarah sebagaimana dimaksud pada angka (84) harus didasarkan
atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di
sidang.
86. Dalam musyawarah sebagaimana dimaksud pada angka (84), hakim ketua
sidang mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai
hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya
adalah hakim ketua sidang dan semua pendapat harus disertai
pertimbangan beserta alasannya.

172

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

87. Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil


permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguhsungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a.

putusan diambil dengan suara terbanyak;

b.

jika ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak terpenuhi,


putusan

yang

dipilih

adalah

pendapat

hakim

yang

paling

menguntungkan bagi terdakwa;


c.

dalam hal terjadinya perbedaan pendapat (disenting opinion), maka


hakim yang berbeda pendapat tersebut diberikan kesempatan untuk
mengemukakan pendapatnya disertai alasan yang cukup dalam
pertimbangan hukum.

88. Putusan Mahkamah Syariyah dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari
itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada
penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum.

173

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB XVII
ACARA PEMERIKSAAN SINGKAT

ACARA PEMERIKSAAN SINGKAT

1.

Berdasar ketentuan Pasal 199 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara jarimah yang
menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan
sifatnya sederhana.

2.

Dalam perkara sebagaimana dimaksud pada angka (1), penuntut umum


menghadapkan terdakwa beserta saksi, barang bukti dan ahli serta juru bahasa jika
diperlukan.

3.

Dalam acara pemeriksaan singkat ini berlaku ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian
Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini dengan ketentuan sebagai berikut:
a.

penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di sidang menjawab segala


pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 149 ayat (1) memberitahukan
dengan lisan dari catatannya kepada terdakwa tentang jarimah yang
didakwakan kepadanya dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada
waktu jarimah itu dilakukan;

b.

pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf a dicatat dalam berita acara


sidang dan merupakan pengganti surat dakwaan;

c.

dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan, supaya diadakan


pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan
bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum belum juga dapat
menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka hakim memerintahkan perkara
itu diajukan ke sidang Mahkamah dengan acara biasa;

d.

untuk kepentingan pembelaan, maka atas permintaan terdakwa

dan/atau

penasihat hukum, hakim dapat menunda pemeriksaan paling lama 7 (tujuh)


hari;
e.

putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara sidang;

174

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

f.

hakim memberikan surat yang memuat amar putusan dan surat tersebut
mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan Mahkamah dalam
acara biasa.

175

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB XIX
ACARA PEMERIKSAAN CEPAT72

A. PENDAHULUAN
Acara Pemeriksaan cepat diatur dalam Bagian ke enam bab XVI KUHAP yang
dibagi menjadi dua, yaitu: (1) acara pemeriksaan tindak pidana ringan, yaitu yang
diatur dalam paragraph 1 pasal 205 samapai dengan pasal 210 KUHAP. (2) Acara
pemeriksaan pelanggaran lalulintas jalan, yang diatur dalam paragraph dua dari pasal
211 sampai pasal 216 KUHAP.

Acara pemeriksaan cepat ini merupakan bentuk ke tiga tatacara pemeriksaaan


perkara pidana di sidang pengadilan, setelah acara pemeriksaan biasa (sebagai bentuk
pertama) dan acara pemeriksaan singkat ( sebagai bentuk kedua).

Dalam Rancangan Qanun Hukum acara jinaya Aceh Pasal 18 ayat (2) disebutkan
Terhadap tersangka pelaku jarimah yang diperiksa dengan acara cepat, tidak dilakukan
penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah 2 (dua) kali berturut-turut
tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.

B. ACARA PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN


Untuk lebih memahami acara pemeriksaan tindak pidana ringan dalam KUHAP
berikut ini kami kutipkan dari pasal 205-210, sebagai berikut ini:
Pasal 205
(1) Yang diperiksa menurut acara pemeriksana tindak pidana ringan ialah perkara
yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan
atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan
ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.

Disadur Dari Bukunya Ramelan, Hukum Acar Pidana Teori Dan Implementasinya Sumber Ilmu
Jaya 2006 Hal.282-286, KUHAP Dan Rancangan Qanun Hukum Acara Jinayat Aceh.
72

176

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik atas kuasa
penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai
dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru
bahasa ke sidang pengadilan.
(3) Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengadilan
mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam
hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding.
Pasal 206
Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk mengadili perkara
dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan.

Pasal 207
(1) a. Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada terdakwa tentang hari,
tanggal, jam dan tempat ia harus menghadap sidang pengadilan. dan hal
tersebut dicatat dengan baik oleh penyidik, selanjutnya catatan bersama berkas
dikirim ke pengadilan.
b. Perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan yang diterima harus
segera disidangkan pada hari sidang itu juga.
(2) a.

Hakim yang bersangkutan memerintahkan panitera mencatat dalam buku

register semua perkara yang diterimanya.


b. Dalam buku register dimuat nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal
lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa
serta apa yang didakwakan kepadanya.

Pasal 208
Saksi dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak mengucapkan sumpah atau
janji kecuali hakim menganggap perlu.

177

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Pasal 209
(1) Putusan dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perkara dan selanjutnya oleh
panitera dicatat dalam buku register serta ditandatangani oleh hakim yang
bersangkutan dan panitera.
(2) Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika dalam pemeriksaan
tersebut temyata ada hal yang tidak sesuai dengan berita acara pemeriksaan yang
dibuat oleh penyidik.
Pasal 210
Ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini tetap
berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Paragraf ini.

B.

ACARA PEMERIKSAAN PERKARA PELANGGARAN LALU LINTAS JALAN

Di Aceh perkara pelanggaran lalu lintas menjadi kewenangan pengadilan


Negeri. Dalam Qanun Aceh juga tidak disebutkan tentang hal tersebut. Hanya saja Pasal
18 ayat (2) Rancangan Qanun menyebutkan secara implicit seperti tersebut diatas.
Untuk lebih memperdalam acara pemeriksaan pelanggaran lalulintas maka kami
kutipkan KUHAP dari pasal 211-pasal 216 sebagai berikut:
Pasal 211
Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan pada Paragraf ini ialah perkara
pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan.

kesempatan hari sidang pertama berikutnya.

Pasal 213
Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang.

Pasal 214
(1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara
dilanjutkan.

178

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

(2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan
segera disampaikan kepada terpidana.
(3) Bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan oleh penyidik kepada
terpidana, diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku register.
(4) Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa
pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan.
(5) Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada
terdakwa,

ia

dapat

mengajukan

perlawanan

kepada

pengadilan

yang

menjatuhkan putusan itu.


(6) Dengan perlawanan itu putusan di luar hadirnya terdakwa menjadi gugur.
(7) Setelah panitera memberitahukan kepada penyidik tentang perlawanan itu
hakim menetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali perkara itu.
(8) Jika putusan setelah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), terhadap putusan tersebut terdakwa dapat
mengajukan banding.

Pasal 215
Pengembalian benda sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang paling berhak, segera
setelah putusan dijatuhkan jika terpidana telah memenuhi isi amar putusan.

Pasal 216
Ketentuan dalam Pasal 210 tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan
dengan Paragraf ini.

179

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB XIX
PEMBUKTIAN

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN DALAM ACARA PEMERIKSAAN BIASA

2.

Berdasar ketentuan Pasal 177 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Hakim tidak boleh menjatuhkan uqubat kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu jarimah benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.

3.

Berdasar ketentuan Pasal 178 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Alat bukti yang sah ialah:
a.

pengakuan terdakwa;

b.

keterangan saksi;

c.

keterangan ahli;

d.

surat; 73

e.

petunjuk (qarinah);

f.

pengetahuan hakim.

4.

Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

5.

Berdasar ketentuan Pasal 179 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Pengakuan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan
yang ia lakukan.

6.

Pengakuan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk


membantu menemukan bukti di sidang, asalkan pengakuan itu didukung oleh suatu
alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

7.

Pengakuan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

8.

Pengakuan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah


melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai

Yang dimaksud dengan surat adalah pesan tertulis yang menuduh seseorang telah melakukan
perzinahan baik surat dalam bentuk konvensional maupun dalam bentuk elektronik.
73

180

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

dengan alat bukti yang lain, kecuali terhadap jarimah zina atau perkara atas dasar
permohonan terdakwa.
9.

Berdasar ketentuan Pasal 180 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam hal terdakwa mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka
(7) kepada Mahkamah untuk dijatuhi uqubat atas jarimah yang telah dilakukannya,
maka pengakuan terdakwa saja telah cukup untuk membuktikan kesalahannya.

10.

Berdasar ketentuan Pasal 181 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang
Mahkamah.

11.

Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

12.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka (10) tidak berlaku apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

13.

Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau
keadaaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu
ada hubungannya satu

dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat

membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.


14.

Khusus pada jarimah zina dibuktikan dengan 4 (empat) orang saksi yang melihat
sendiri proses yang menunjukkan telah terjadi perbuatan zina pada waktu, tempat
serta orang yang sama, tanpa diperlukan tambahan bukti lain.

15.

Pendapat atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran, bukan merupakan
keterangan saksi.

16.

Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguhsungguh memperhatikan:

17.

a.

Integritas dan kualitas kejujuran (adalah) saksi;

b.

persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;

c.

persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

d.

alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan;

Keterangan saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak
merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi
yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

181

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

18.

Berdasar ketentuan Pasal 182 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang Mahkamah.

19.

Keterangan ahli sebagaimana dimaksud pada angka (17) diberikan di bawah


sumpah.

20.

Berdasar ketentuan Pasal 183 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1) huruf d, dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a.

berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri,
disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;

b.

surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau


surat

yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata

laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi


pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c.

surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan


keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara
resmi daripadanya;

21.

Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.

22.

Berdasar ketentuan Pasal 184 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Petunjuk (Qarinah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1) huruf e adalah
perbuatan, kejadian, keadaan atau benda yang karena persesuaian baik antara yang
satu dengan yang lain maupun dengan jarimah itu sendiri menandakan bahwa telah
terjadi suatu jarimah dan siapa pelakunya.

23.

24.

Petunjuk (Qarinah) sebagaimana dimaksud pada angka (21) dapat diperoleh dari:
a.

keterangan saksi;

b.

surat;

c.

pengakuan/keterangan terdakwa.

Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk (Qarinah) dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia

182

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

mengadakan

pemeriksaaan

dengan

penuh

kecermatan

dan

kesaksamaan

berdasarkan hati nuraninya.


25.

Berdasar ketentuan Pasal 185 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Pengetahuan hakim ialah apa yang diketahui oleh hakim dalam proses persidangan
tentang terjadinya suatu jarimah.

26.

Pengetahuan hakim sebagaimana dimaksud pada angka (23) dapat menambah


keyakinannya, dalam pembuktian suatu jarimah.

27.

Berdasar ketentuan Pasal 186 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Selama pemeriksaan di sidang, jika terdakwa tidak ditahan, Mahkamah dapat
memerintahkan dengan surat penetapannya untuk menahan terdakwa apabila
dipenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 20 dan terdapat
alasan yang cukup kuat untuk itu.

28.

Dalam hal terdakwa ditahan, Mahkamah dapat memerintahkan dengan surat


penetapan untuk membebaskan terdakwa, jika terdapat alasan cukup kuat untuk itu
dengan mengingat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.

29.

Berdasar ketentuan Pasal 187 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Jika Mahkamah berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

30.

Jika Mahkamah berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa


terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu jarimah, maka terdakwa
diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

31.

Dalam hal sebagaimana dimaksud pada angka (27) dan angka (28), terdakwa yang
ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali
karena ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan.

32.

Berdasar ketentuan Pasal 188 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Perintah untuk membebaskan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187
ayat (3) segera dilaksanakan oleh jaksa sesudah putusan diucapkan.

33.

Laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah tersebut yang dilampiri surat


penglepasan, disampaikan kepada ketua Mahkamah yang bersangkutan selambatlambatnya dalam waktu 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam.

183

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

34.

Berdasar ketentuan Pasal 189 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Jika Mahkamah berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan jarimah yang
didakwakan

kepadanya atau

yang

dimohon

terdakwa, maka

Mahkamah

menjatuhkan uqubat.
35.

Jika terdakwa tidak ditahan, Mahkamah dalam putusannya dapat memerintahkan


supaya terdakwa ditahan, apabila terdapat alasan yang cukup untuk itu.

36.

Jika terdakwa ditahan, Mahkamah dalam putusannya dapat menetapkan terdakwa


tetap berada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan yang
cukup untuk itu.

37.

Berdasar ketentuan Pasal 190 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam hal putusan penjatuhan uqubat atau bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, Mahkamah menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada
pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam
putusan tersebut, kecuali jika menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau
dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.

38.

Kecuali apabila terdapat alasan yang sah, Mahkamah menetapkan supaya barang
bukti diserahkan segera sesudah sidang selesai.

39.

Perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai sesuatu syarat apapun
kecuali dalam hal putusan Mahkamah belum mempunyai kekuatan hukum tetap.

40.

Berdasar ketentuan Pasal 191 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Semua putusan Mahkamah hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan di sidang terbuka untuk umum.

41.

Berdasar ketentuan Pasal 192 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Mahkamah memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal qanun
menentukan lain.

42.

Dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat
diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.

43.

Segera sesudah putusan penjatuhan uqubat diucapkan, hakim ketua sidang wajib
memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya, yaitu:
a.

hak segera menerima atau segera menolak putusan;

184

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

b.

hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak


putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh qanun ini;

c.

hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang


ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia
menerima putusan;

d.

hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu
yang ditentukan oleh qanun ini, dalam hal ia menolak putusan;

e.

hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam


tenggang waktu yang ditentukan oleh qanun ini.

44.

Berdasar ketentuan Pasal 193 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Surat putusan penjatuhan uqubat memuat:
a.

kalimat Basmalah;

b.

kepala putusan yang ditulis : DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN


YANG MAHA ESA;

c.

nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

d.

dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan atau permohonan;

e.

pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan


beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan dalam sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

f.

tuntutan uqubat, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan, kecuali dalam


hal perkara atas dasar permohonan;

g.

pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penjatuhan uqubat


atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang
meringankan terdakwa ;

h.

hari dan tanggal diadakan musyawarah majelis hakim kecuali perkara


diperiksa oleh hakim tunggal;

i.

pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur


dalam rumusan jarimah disertai dengan kualifikasinya dan uqubat atau
tindakan yang dijatuhkan;

185

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

j.

ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan


jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

k.

keterangan bahwa seluruh surat

ternyata palsu atau keterangan dimana

letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik yang dianggap palsu;
l.

perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan ;

m.

hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus
dan nama panitera yang turut bersidang.

45.

Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam qanun ini.

46.

Berdasar ketentuan Pasal 194 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam hal seorang hakim atau penuntut umum berhalangan, maka ketua mahkamah
atau pejabat kejaksaan yang berwenang wajib segera menunjuk pengganti pajabat
yang berhalangan tersebut.

47.

Dalam hal penasihat hukum berhalangan, ia menunjuk penggantinya dan apabila


penggantinya ternyata tidak ada atau juga berhalangan, maka sidang berjalan terus.

48.

Berdasar ketentuan Pasal 195 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Surat putusan bukan penjatuhan uqubat, memuat:
a.

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 42 (1) kecuali huruf f, huruf g


dan huruf i.

b.

pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar putusan;

c.

perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan.

49.

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 42 berlaku juga bagi pasal ini.

50.

Berdasar ketentuan Pasal 196 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Surat putusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu
diucapkan.

51.

Berdasar ketentuan Pasal 197 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam hal terdapat surat palsu atau dipalsukan, maka panitera melekatkan petikan
putusan yang ditandatanganinya pada surat tersebut yang memuat keterangan
sebagaimana dimaksud dalam angka

42

huruf k dan surat palsu atau yang

dipalsukan tersebut diberi catatan dengan menunjuk pada petikan putusan itu.

186

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

52.

Tidak akan diberikan salinan pertama atau salinan dari surat asli palsu atau yang
dipalsukan kecuali panitera sudah membubuhi catatan pada catatan sebagaimana
dimaksud pada angka (50) disertai dengan salinan petikan putusan.

53.

Berdasar ketentuan Pasal 198 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Panitera membuat berita acara sidang dengan memperhatikan persyaratan yang
diperlukan dan memuat segala kejadian di sidang yang berhubungan dengan
pemeriksaan itu.

54.

Berita acara sidang sebagaimana dimaksud pada angka (52) memuat juga hal yang
penting dari keterangan saksi, terdakwa dan ahli kecuali jika hakim ketua sidang
menyatakan bahwa untuk ini cukup ditunjuk kepada keterangan dalam berita acara
pemeriksaan dengan menyebut perbedaan yang terdapat antara yang satu dengan
lainnya.

55.

Atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, hakim ketua
sidang wajib memerintahkan kepada penitera supaya dibuat catatan secara khusus
tentang suatu keadaan atau keterangan.

56.

Berita acara sidang ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan panitera kecuali
apabila salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal ini dinyatakan dalam
berita acara tersebut.

187

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB XX
UPAYA HUKUM

A. PENGERTIAN UPAYA HUKUM


Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima
putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak
terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta
menurut cara yang diatur-dalam undang-undang ini (KUHAP Pasal1 (12))
Upaya hukum ada 2 macam, pertama upaya hukum biasa yang terdiri dari upaya
hukum banding dan kasasi. Kedua adalah upaya hukum luar biasa yaitu upaya kasasi
demi kepentingan hukum dan upaya hukum peninjauan kembali.
B. PEMERIKSAAN TINGKAT BANDING

1. Berdasar ketentuan Pasal 216 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dapat diajukan ke
Mahkamah Syariyah Aceh oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu
atau penuntut umum.
2. Hanya permohonan banding sebagaimana dimaksud pada

angka (1) boleh

diterima oleh panitera Mahkamah Syariyah dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah
putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang
tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam pasal 192 ayat (2).
3. Permohonan sebagaimana dimaksud pada angka (1) oleh panitera dibuat sebuah
surat keterangan yang ditanda tangani olehnya dan juga oleh pemohon serta
tembusannya diberikan kepada pemohon yang bersangkutan.
4. Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh panitera
dengan disertai alasannya dan catatan harus dilampirkan dalam berkas perkara
serta ditulis dalam daftar perkara jinayat.

188

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

5. Dalam hal Mahkamah Syariyah menerima permohonan banding yang diajukan


oleh penuntut umum dan/atau terdakwa, maka panitera wajib memberitahukan
permohonan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
6. Berdasar ketentuan Pasal 217 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam angka (2) telah lewat
tanpa diajukan permohonan banding oleh yang bersangkutan, maka yang
bersangkutan dianggap menerima putusan.
7. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada angka (6) maka panitera mencatat dan
membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas
perkara.
8. Berdasar ketentuan Pasal 218 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Selama perkara banding belum diputus oleh Mahkamah Syariyah Aceh,
permohonan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut,
permohonan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi.
9. Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus, sementara itu
pemohon mencabut permohonan bandingnya, maka pemohon dibebani membayar
biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Syariyah Aceh hingga saat
pencabutannya.
10. Berdasar ketentuan Pasal 219 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Paling lama dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak permohonan banding
diajukan, panitera mengirimkan salinan putusan Mahkamah Syariyah dan berkas
perkara serta surat bukti kepada Mahkamah Syariyah Aceh.
11. Selama 7 (tujuh) hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada Mahkamah
Syariyah Aceh, pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari
berkas perkara tersebut di Mahkamah Syariyah.
12. Dalam hal pemohon banding yang dengan jelas menyatakan secara tertulis akan
mempelajari berkas tersebut di Mahkamah Syariyah Aceh, maka kepada pemohon
wajib diberi kesempatan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal berkas
perkara diterima oleh Mahkamah Syariyah Aceh.
13. Pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk sewaktu-waktu meneliti
keaslian berkas perkaranya yang sudah ada di Mahkamah Syariyah Aceh.

189

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

14. Berdasar ketentuan Pasal 220 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Selama Mahkamah Syariyah Aceh belum mulai memeriksa suatu perkara dalam
tingkat banding, baik terdakwa atau kuasa hukumnya maupun penuntut umum
dapat menyerahkan memori banding atau kontra memori banding kepada
Mahkamah Syariyah Aceh.
15. Berdasar ketentuan Pasal 221 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Pemeriksaan dalam tingkat banding dilakukan oleh Makamah Syariyah Aceh
dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim atas dasar berkas perkara yang
diterima dari Mahkamah Syariyah yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari
penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang Mahkamah Syariyah, beserta semua
surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu dan putusan
Mahkamah Syariyah.
16. Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Mahkamah Syariyah Aceh
sejak saat diajukannya permohonan banding.
17. Dalam waktu 3 (tiga) hari sejak tanggal menerima berkas perkara banding dari
Mahkamah Syariyah, Mahkamah Syariyah Aceh wajib mempelajarinya untuk
menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena
wewenang jabatannya, maupun atas permintaan terdakwa.
18. Jika dipandang perlu Mahkamah Syariyah Aceh mendengar sendiri keterangan
terdakwa atau saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat
dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya.
19. Berdasar ketentuan Pasal 222 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dan Pasal 203 ayat (1) sampai
dengan ayat (3) berlaku juga bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat banding.
20. Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam pasal 151 ayat (1) berlaku juga
antara hakim dan/atau panitera tingkat banding, dengan hakim atau panitera
tingkat pertama yang telah mengadili perkara yang sama.
21. Jika hakim yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama menjadi hakim
pada tingkat banding, maka hakim tersebut dilarang memeriksa perkara yang
sama dalam tingkat banding.

190

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

22. Berdasar ketentuan Pasal 223 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
jika Mahkamah Syariyah Aceh berpendapat bahwa dalam pemeriksaan tingkat
pertama ternyata ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan
atau ada yang kurang lengkap, maka Mahkamah Syariyah Aceh dengan suatu
keputusan dapat memerintahkan Mahkamah Syariyah untuk memperbaiki hal itu
atau Mahkamah Syariyah Aceh melakukannya sendiri.
23. Jika perlu Mahkamah

Syariyah Aceh dengan keputusan dapat membatalkan

penetapan dari Mahkamah Syariyah sebelum putusan Mahkamah Syariyah Aceh


dijatuhkan.
24. Berdasar ketentuan Pasal 224 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Setelah semua hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 223 dipertimbangkan dan
dilaksanakan, Mahkamah Syariyah Aceh memutuskan, menguatkan, mengubah
atau dalam hal membatalkan putusan Mahkamah Syariyah, Mahkamah Syariyah
Aceh mengadili sendiri perkara tersebut.
25. Dalam hal pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi atas putusan
Mahkamah Syariyah karena ia tidak berwenang memeriksa perkara itu, maka
berlaku ketentuan tersebut pada pasal 142.
26. Berdasar ketentuan Pasal 225 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Jika dalam pemeriksaan tingkat
ditahan, maka Mahkamah

banding terdakwa yang dijatuhi uqubat itu

Syariyah Aceh dalam putusannya memerintahkan

supaya terdakwa perlu tetap ditahan atau dibebaskan.


27. Berdasar ketentuan Pasal 226 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Salinan surat putusan Mahkamah Syariyah Aceh beserta berkas perkara dalam
waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada
Mahkamah Syariyah yang memutus pada tingkat pertama.
28. Isi putusan setelah dicatat dalam buku register segera diberitahukan kepada
terdakwa dan penuntut umum oleh panitera Mahkamah Syariyah dan selanjutnya
pemberitahuan tersebut dicatat dalam salinan putusan Mahkamah Syariyah Aceh.
29. Ketentuan mengenai putusan Mahkamah Syariyah sebagaimana dimaksud dalam
pasal 209 berlaku juga bagi putusan Mahkamah Syariyah Aceh.

191

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

30. Dalam hal terdakwa bertempat tinggal di luar daerah hukum Mahkamah Syariyah
tersebut,

panitera

minta

bantuan

kepada

panitera

Mahkamah

Syariyah/Pengadilan Agama di luar Aceh yang daerah hukumnya meliputi tempat


tinggal terdakwa untuk memberitahukan isi putusan itu kepadanya.
31. Dalam hal terdakwa tidak diketahui tempat tinggalnya atau bertempat tinggal di
luar negeri, maka isi putusan sebagaimana dimaksud pada angka (28) disampaikan
melalui keuchik atau nama lain atau pejabat gampong atau melalui perwakilan
Republik Indonesia, dimana terdakwa biasa berdiam.
32. Dalam hal putusan sebagaimana dimaksud pada angka (31) masih belum berhasil
disampaikan, terdakwa dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut melalui 2 (dua) buah
surat kabar yang terbit dalam daerah hukum Mah

C. PEMERIKSAAN UNTUK KASASI

Berdasar ketentuan Pasal 227 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Terhadap putusan perkara uqubat yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
Mahkamah Syariyah Aceh, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permohonan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung, dengan berpedoman
kepada Peraturan Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas.74

Dalam hal Peraturan Mahkamah Agung terhadap pemeriksaan untuk kasasi belum terbit, maka
berlaku ketentuan sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.
74

192

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB XXI
UPAYA HUKUM LUAR BIASA

A.

PENGERTIAN
Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dan penyimpangan dari
upaya hukum biasa, yaitu pengecualian dari upaya hukumbanding dan kasasi. Upaya
hukum luar biasa dapat diajukan terhapad putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, bahkan jaksa penuntut umum atau terdakwa
sudah tidak mungkin lagi atau sudah tertutup untuk mengajukan upaya hukum
biasa75.

B.

PEMERIKSAAN TINGKAT KASASI DEMI KEPENTINGAN HUKUM

Berdasar ketentuan Pasal 228 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dari mahkamah selain dari Mahkamah Agung, dapat diajukan
satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung dengan berpodaman pada Peraturan
Mahkamah Agung.

C.

PENINJAUAN

KEMBALI

PUTUSAN

MAHKAMAH

AGUNG

YANG

TELAH

MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP

1. Berdasar ketentuan Pasal 229 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Terhadap putusan mahkamah yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terhukum atau ahli
warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung.
2. Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:

75

Ramelan, Op.Cit. Hal.313

193

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya
akan berupa putusan bebas atau tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan uqubat yang lebih
ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang
dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang
lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata.

3. Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap
suatu putusan mahkamah yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat
diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu perbuatan
yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu
penjatuhan uqubat.
4. Berdasar ketentuan Pasal 230 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam
angka (1) diajukan kepada panitera mahkamah yang telah memutuskan
perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 ayat (2) berlaku juga bagi
permintaan peninjauan kembali.
6. Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terhukum yang kurang
memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan
kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut
dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali.
7. Ketua mahkamah segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali
beserta berkas perkara kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan
penjelasan.

194

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

8. Berdasar ketentuan Pasal 231 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu.
9. Permohonan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan 1
(satu) kali.
10. Berdasar ketentuan Pasal 232 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Ketua

mahkamah

setelah

menerima

permintaan

peninjauan

kembali

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak
memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali

itu untuk

memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2).
11. Dalam pemeriksaaan sebagaimana dimaksud pada angka (10) pemohon dan
jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.
12. Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditanda tangani
oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat
berita acara pendapat yang ditanda tangani oleh hakim dan panitera.
13. Ketua mahkamah segera melanjukan permintaan peninjauan kembali yang
dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara
pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya
disampaikan kepada pemohon dan jaksa.
14. Dalam hal suatu perkara yang dimohonkan peninjauan kembali adalah putusan
Mahkamah Syariyah Aceh, maka tembusan surat pengantar tersebut harus
dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan
disampaikan kepada Mahkamah Syariyah Aceh yang bersangkutan.
15. Berdasar ketentuan Pasal 233 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam hal permohonan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan
bahwa permohonan peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai
dasar alasannya.
16. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan peninjauan
kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut:

195

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

a. apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah


Agung menolak permohonan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa
putusan yang dimohonkan peninjauan kembali itu tetap berlaku diser tai
dasar pertimbangannya;
b. apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung
membatalkan putusan yang dimohonkan

peninjauan kembali itu dan

menjatuhkan putusan yang dapat berupa:


(1) putusan bebas;
(2) putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
(3) putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
(4) putusan dengan menerapkan ketentuan uqubat yang lebih ringan.
17. Berdasar ketentuan Pasal 234 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas
perkaranya yang sudah diterima oleh Mahkamah Syariyah, dalam waktu 7
(tujuh) hari dikirim kepada pemohon.
18. Berdasar ketentuan Pasal 235 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Permohonan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan
maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.
19. Apabila suatu permohonan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah
Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau
tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada

kehendak ahli

warisnya.
20. Berdasar ketentuan Pasal 236 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Semua putusan Mahkamah yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat
diajukan permohonan grasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

196

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

BAB XXII
PUTUSAN

A.

PELAKSANAAN PUTUSAN MAHKAMAH

1.

Berdasar ketentuan Pasal 237 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Pelaksanaan putusan Mahkamah yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan
kepadanya.

2.

Berdasar ketentuan Pasal 238 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Jika terhukum dijatuhi uqubat penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi
uqubat yang sejenis sebelum ia menjalani uqubat yang dijatuhkan terdahulu,
maka uqubat itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan uqubat yang
dijatuhkan lebih dahulu.

3.

Berdasar ketentuan Pasal 239 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
jika putusan mahkamah menjatuhkan uqubat denda, kepada terhukum diberikan
jangka waktu 1 (satu) bulan untuk membayar denda tersebut.

4.

Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka
(1) dapat diperpanjang untuk paling lama 1 (satu) bulan.

5.

Jika putusan mahkamah juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk
negara, selain pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, jaksa
menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu 3
(tiga) bulan untuk dijual lelang yang hasilnya dimasukkan ke Baitul Mal.

6.

Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka (5) dapat diperpanjang untuk
paling lama 1 (satu) bulan.

7.

Berdasar ketentuan Pasal 240 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Dalam hal mahkamah menjatuhkan juga putusan ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 96, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara
putusan perdata.

8.

Berdasar ketentuan Pasal 241 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Apabila lebih dari satu orang dihukum dalam satu perkara, maka biaya perkara

197

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

atau ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 dibebankan kepada
mereka bersama-sama secara berimbang.
9.

Berdasar ketentuan Pasal 242 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
jika terhukum dihukum dengan uqubat cambuk, maka pelaksanaannya dilakukan
oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh jaksa.

10. Uqubat cambuk dilakukan di tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan
dihadiri jaksa dan dokter yang ditunjuk.
11. Pencambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameter 0,75 s/d 1 cm, panjang
1 m dan tidak mempunyai ujung ganda/belah.
12. Pencambukan dilakukan pada bagian belakang tubuh dan tidak mengenai kepala
dan leher.
13. Kadar pukulan atau cambukan tidak menimbulkan luka.
14. Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri dan bagi terhukum
perempuan dalam posisi duduk dengan memakai pakaian menutup aurat yang
disediakan oleh jaksa. 76
15. Pencambukan terhadap terhukum perempuan yang sedang hamil dilakukan
setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan.
16. Berdasar ketentuan Pasal 243 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Apabila proses pencambukan menimbulkan hal-hal yang membahayakan
terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, pencambukan dihentikan
dan pelaksanaan sisa pencambukan ditunda sampai dengan waktu yang
memungkinkan.77
17. Berdasar ketentuan Pasal 244 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa
Jika terhukum dihukum dengan uqubat rajam/hukuman mati, maka pelaksanaan
hukumannya dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh jaksa yang mekanisme
pelaksanaannya akan diatur oleh Mahkamah Agung.

76 Terhukum perempuan atas permintaannya sendiri dapat dicambuk dalam posisi berdiri. Terhukum
tidak boleh diikat dan berdiri tanpa penyangga kecuali bagi terhukum yang cacat.

Yang dimaksud membahayakan adalah pecambukan yang mengakibatkan luka atau penyakitpenyakit lain yang menurut dokter tidak layak dilakukan pencambukan.
77

198

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

B.

PENGAWASAN DAN PENGAMATAN PELAKSANAAN PUTUSAN MAHKAMAH

1.

Berdasar ketentuan Pasal 245 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Pada setiap Mahkamah Syariyah ditunjuk hakim yang bertugas untuk
membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap
putusan mahkamah yang menjatuhkan uqubat.

2.

Hakim sebagaimana dimaksud pada angka (1) disebut hakim pengawas dan
pengamat, ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Syariyah untuk paling lama 2 (dua)
tahun.

3.

Berdasar ketentuan Pasal 246 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan
mahkamah yang ditanda tangani olehnya, terhukum dan/atau lembaga
pemasyarakatan kepada mahkamah yang memutus perkara pada tingkat
pertama dan

panitera mencatatnya

dalam

register

pengawasan

dan

pengamatan.
4.

Berdasar ketentuan Pasal 247 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Register pengawasan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 246 wajib dikerjakan ditutup dan ditanda tangani oleh panitera pada
setiap hari kerja dan untuk diketahui ditanda tangani juga oleh hakim
sebagaimana dimaksud dalam pasal 245.

5.

Berdasar ketentuan Pasal 248 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna
memperoleh kepastian bahwa putusan mahkamah dilaksanakan sebagaimana
mestinya.

6.

Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan


penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi penjatuhan uqubat, yang
diperoleh dari prilaku terhukum atau pembinaan lembaga pemasyarakatan
serta pengaruh timbal balik terhadap terhukum selama menjalani hukumannya.

7.

Pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap dilaksanakan setelah


terhukum selesai menjalani hukumannya.

199

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

8.

Berdasar ketentuan Pasal 249 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat kepala lembaga
pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala78 atau sewaktuwaktu tentang prilaku terhukum tertentu yang ada dalam pengamatan hakim
tersebut.

9.

Berdasar ketentuan Pasal 250 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, wa
Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan
pengamat dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan
tentang cara pembinaan terhukum tertentu.

10.

Berdasar ketentuan Pasal 251 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat,
bahwa Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh hakim pengawas dan
pengamat kepada ketua Mahkamah Syariyah secara berkala.

78

Yang dimaksud berkala adalah 3 (tiga) bulan sekali.

200

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syariah (lengkap dengan blanko-blanko), Penerbit IKAHI- MA-RI, Jakarta,
2008
Al Winubroto, Teknis Persidangan Pidana, Universitas Atmajaya Jogjakarta,2009,
Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Bahan Ajar Diklat II Calon Hakim
Peradilan Agama Program Pendidikan Dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu
(PPC Terpadu), 2012.
Djamil Ibrahim, Mahkamah Syariyah Nagro Aceh Darussalam: Makalah Disampaikan Pada
Calon Hakim Di Anyer Jawabarat, Tahun 2007.
Drs H.Ismuha, Sejarah Dan Pekembangan Peradilan Agama Di Aceh, Penerbit Pengadilan
Tinggi Agama Banda Aceh, Tahun 1982.
H. Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia,
Cet.Xvi, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal.126.
H.Armia Ibrahim, Hakim Tinggi Mahkamah Syariyah Provinsi Nangro Aceh Darussalam,
Makalah: Sejarah Perkembangan Peradilan Agama Di Aceh Sebelum Dan
Setelah Kemerdekaan RI, 2006.
Keppres Nomor 11 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Syariyah Provinsi Dan Mahkamah
Syariyah Di Nanggroe Aceh Darussalam.
Moh Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Pt
Raja Grafindo Persada Jakarta. Cet. Ke-16, 2011.
P.A.F. Lamintang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Pembahasan Secara
Yuridis Menurut Yurisprudensi Dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar
Baru, Bandung, 1984
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 Tentang

Pembentukan Pengadilan

Agama/Mahkamah Syariyah Di Propinsi Aceh.


Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 Tentang

Pembentukan Pengadilan

Agama/Mahkamah Syariyah Di Luar Jawa Madura.


Perda No.3 Tahun 2000 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU)

201

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

Perda No.5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan Syariat Islam


Perda No.6 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan pendidikan.
Perda No.7 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan kehidupan adat.
Qanun Provinsi Nangro Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan
Syariat Islam Dan Penjelasannya.
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal
Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Perlindungan Anak
Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat Dan Adat Istiadat ;
Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun
Qanun Provinsi NAD No.10 Tahun 2002 tentang peradilan Syariat Islam.
Qanun Provinsi NAD No.11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariat Islam bidang ibadah
dan Syariat Islam.
Qanun Provinsi NAD No.12 Tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya.
Qanun Provinsi NAD No.13 Tahun 2003 tentang perjudian.
Qanun Provinsi NAD No.14 Tahun 2003 tentang khalwat.
Qanun Provinsi NAD No.7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat.
Ramelan, Hukum Acara Pidana Teori Dan Implementasi, Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, 1996.
Rancangan Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat
Syamsul Hadi Irsyad, 130 Tahun Peradilan Agama Berahan Dan Mengembangkan
Eksistensinya, Makalah Dalam Forum Saresehan Tentang Perjalanan 130
Tahun Peradilan Agama Yang Diselenggarakan Oleh Direktorat Jendral
Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2012.
Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 49 Huruf (I) Dan Penjelasannya.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Aceh.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah
Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Zainal Abidin Yusuf, Perkembangan Pengadilan Agama Di Aceh Sejak Zaman Kemerdekaan
Sampai Dewasa Kini, Skripsi Pada Iain Ar-Raniry Darussalam- Banda Aceh,
Tahun : 1981.

202

PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYARIAYAH DI ACEH

TENTANG PENYUSUN

NUR MOKLIS,S.H.I.,S.Pd
Nur Moklis menyelesaikan S1 fakultas Syariah Jurusan
Ahwal Asyakhsiyah STAIN Kudus tahun 2005 dengan prediket
CUMLUDE dan S1 FKIP Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris
Universitas PGRI Ronggolawe Tuban tahun 2008.
Mengajar Pendidikan Agama Islam di SMP IT Pati
Tahun 2005-2010, SMK IT Pati Tahun 2007-2010 dan SMK
Gajah Mada 01 Pati tahun 2009-2010.
Pada tahun 2010 mengikuti seleksi CPNS/Cakim yang diselenggarakan Mahkamah
Agung RI di PTA Semarang. Pada Tahun 2011- Agustus 2012 bertugas di Pengadilan
Agama Kelas IA Semarang sebagai CPNS/Cakim. Pada tanggal 13 Agustus 2012 dilantik
menjadi PNS/Cakim, kemudian bertugas di Pengadilan Agama Kelas IB Kudus Jawa Tengah
sampai sekarang. Saat ini sedang mengikuti diklat Cakim II angkat VII PPC Terpadu yang
diselenggarakan Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI di Megamendung Bogor.

AGUS SANWANI ARIF,S.H.I.,


Agus Sanwani Arif menyelesaikan S1 Fakultas Syariah
Jurusan Perbandingan Madzhab Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta tahun 2008. Mengajar
Madrasah ibtidaiyah Pandegelang Banten Tahun 2008-2011.
Pada Tahun 2010 Mengikuti Seleksi CPNS/Cakim yang
diselenggarakan Mahkamah Agung RI di Pengadilan Tinggi
Agama (PTA) Banten.
Pada Tahun 2011-Agustus 2012 bertugas sebagai CPNS/Cakim Pengadilan Agama
Kelas 1A Tiga Raksa Kabupaten Tangerang Banten. Semenjak dilantik tanggal 08 Agustus
2012 sekarang bertugas sebagai PNS/Cakim di Pengadilan Agama Kelas 1B Cianjur Jawa
Barat. Pada Saat ini sedang menempuh pendidikan Cakim II angkat VII PPC Terpadu yang
diselenggarakan Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI di Megamedung Bogor.

203

Anda mungkin juga menyukai