Anda di halaman 1dari 21

TEORI HANS KELSEN TENTANG HUKUM

Oleh Nur Moklis


Nur.moklis1@gmail.com

I. SEJARAH KEHIDUPAN HANS KELSEN


Hingga saat ini hanya terdapat satu biografi lengkap tentang Hans
Kelsen yang disusun oleh Rudolf Aladár Métall, Hans Kelsen: Leben und
Werk diterbitkan tahun 1969. Hans Kelsen dilahirkan dari pasangan kelas menengah
Yahudi berbahasa Jerman di Prague pada tanggal 11 Oktober 1881. Saat berusia tiga
tahun, Kelsen dan keluarganya pindah ke Wina dan menyelesaikan masa
pendidikannya. Kelsen adalah seorang agnostis, namun pada tahun 1905 Kelsen pindah
agama menjadi Katolik demi menghindari masalah integrasi dan kelancaran karir
akademiknya. Namun identitas Kelsen sebagai keturunan Yahudi tetap saja
mendatangkan banyak masalah dalam hidupnya. Kelsen pada awalnya adalah
pengacara publik yang berpandangan sekuler terhadap hukum sebagai instrumen
mewujudkan kedamaian. Pandangan ini diinspirasikan oleh kebijakan toleransi yang
dikembangkan oleh rezim Dual Monarchy di Habsburg.
Sejak kecil Kelsen sesungguhnya lebih tertarik pada bidang ilmu klasik dan
humanisme seperti filsafat, sastra, logika, dan juga matematika. Ketertarikan inilah yang
sangat mempengaruhi karya-karyanya kemudian. Tahun 1906 Kelsen memperoleh gelar
Doktor di bidang hukum. Pada tahun 1905 Kelsen menerbitkan buku pertamanya
berjudul Die Staatslehre des Dante Alighieri. Pada tahun 1908 dia mengikuti seminar di
Heidelberg yang diselenggarakan oleh Georg Jellinek. Tahun 1911 Kelsen mengajar di
University of Vienna untuk bidang hukum publik dan filsafat hukum dan menyelesaikan
karyaHauptprobleme der Staatsrechtslehre. Pada tahun 1914 Kelsen menerbitkan dan
menjadi editor the Austrian Journal of Public Law.
Selama perang dunia pertama, Kelsen menjadi penasehat untuk departemen
militer dan hukum (military and justice administration). Tahun 1918 dia men-

Page 1 of 21
jadi associate professor di bidang hukum pada University of Vienna dan tahun 1919
menjadi profesor penuh di bidang hukum publik dan hukum administrasi. Pada tahun
1919, saat berakhirnya monarkhi Austria, Chancellor pemerintahan republik pertama,
Karl Renner, mempercayai Kelsen menjadi penyusun konstitusi Austria. Hal ini karena
kedekatan Kelsen dengan Partai Sosial Demokrat (Social Democratic Party/SDAP)
meskipun secara formal Kelsen tetap netral karena tidak pernah menjadi anggota partai
politik.
Draft konstitusi yang berhasil disusun, diterima dengan baik tanpa
perubahan berarti baik oleh SDAP maupun oleh kelompok Sosialis Kristen (Christian
Socialist) dan Nasionalis Liberal (Liberal Nationalist) yang kemudian bersama-sama
membentuk pemerintahan koalisi. Draft konstitusi tersebut kemudian di tetapkan men-
jadi Konstitusi 1920. Tahun 1921 Kelsen ditunjuk sebagai anggota Mahkamah
Konstitusi Austria.
Memasuki tahun 1930 muncul sentimen anti-Semitic di kalangan Sosialis
Kristen sehingga Kelsen diberhentikan dari anggota Mahkamah Konstitusi Austria dan
pindah ke Cologne. Di sini Kelsen mengajar Hukum Internasional di University of
Cologne, dan menekuni bidang khusus Hukum Internasional positif. Tahun 1931 dia
mempublikasikan karyanya Wer soll der Hűter des Verfassung sei?. Tahun 1933 saat
Nazi berkuasa situasi berubah cepat dan Kelsen dikeluarkan. Bersama dengan istri dan
dua putrinya Kelsen kemudian pindah ke Jenewa pada tahun 1933 dan memulai karir
akademik di the Institute Universitaire des Hautes Etudes International hingga tahun
1935. Di samping itu, Kelsen juga mengajar Hukum Internasional di University of
Prague pada tahun 1936, namun kemudian harus keluar karena sentimen anti-semit di
kalangan mahasiswanya.
Pecahnya perang dunia kedua dan kemungkinan terlibatnya
Switzerland dalam konflik tersebut memotivasi Kelsen pindah ke Amerika Serikat pada
tahun 1940. Kelsen, sebagai research associate, mengajar di Harvard University tahun
1940 sampai tahun 1942. Pada tahun 1942, dengan dukungan Roscoe Pound yang me-
ngakui Kelsen sebagai ahli hukum dunia, Kelsen menjadi visiting professor di

Page 2 of 21
California University, Barkeley, namun bukan di bidang hukum, tetapi di departemen
ilmu politik. Dari tahun 1945 sampai 1952 menjadi profesor penuh, dan pada tahun
1945 itulah Kelsen menjadi warga negara Amerika Serikat dan menjadi penasehat pada
United Nation War Crimes Commission di Washington dengan tugas utama
menyiapkan aspek hukum dan teknis pengadilan Nuremberg. Dia juga menjadi visiting
professor di Geneva, Newport, The Hague, Vienna, Copenhagen, Chicago, Stockholm,
Helsinkfors, dan Edinburg, serta memperoleh 11 gelar doktor honoris causa dari
Utrecht, Harvard, Chicago, Mexico, Berkeley, Salamanca, Berlin, Vienna, New York,
Paris dan Salzburg. Kelsen tetap aktif dan produktif setelah pensiun pada tahun 1952.
Kelsen tinggal di Amerika Serikat hingga akhir hayatnya pada tahun 1973. Kelsen me-
ninggal di Barkeley, 19 April 1973 pada usia 92 tahun dengan meninggalkan sekitar 400
karya. Karya-karya Kelsen di antaranya adalah:
Umum:
1. Théorie générale de droit international public. Problèmes choisis., 42 RdC(1932,
IV) 116.
2. Principles of International Law. (1952, 2nd ed. Revised and edited by Tucker,
1966).
3. Théorie du Droit International Public., 84 RdC (1953, III) 1.
4. Allgemeine Theorie der Normen [General Theory of Norms] (1979)-an index is
available separately (1989); tr. M. Hartney.
5. Essays in Legal and Moral Philosophy, sel. O. Weinberger (1973), pp. 216-27
6. The Communist Theory of Law (1955). Mostly a critique of the collectionSoviet
Legal Philosophy, tr. H. Babb (1951).
7. The Function of a Constitution‟ (1964), tr. I. Stewart in Tur and Twining.
8. General Theory of Law and State (tr. A. Wedberg 1945, reissued 1961).
9. Hauptprobleme der Staatsrechtslehre entwickelt aus der Lehre vom
Rechtssatze [Major Problems in Theory of the Law of the State, Approached from
Theory of the Legal Statement] (1911; 2nd edn. 1923, reissued 1960
10. Pure Theory of Law (1967 - translation by M. Knight of RR2).

Page 3 of 21
11. eine Rechtslehre: Einleitung in die Rechtswis-senschaftliche Problematik[Pure
Theory of Law: Introduction to the Problematic of Legal Science] (1st edn.
1934); tr. B.L. and S.L. Paulson, Introduction to the Problems of Legal
Theory (forthcoming). The French translation, Théorie Pure du Droit (1953), tr. H.
Thévenaz.
12. Reine Rechtslehre (2nd edn. 1960—tr. as PTL).
13. What is Justice? Justice, Law, and Politics in the Mirror of Science.Collected
Essays (1957).
14. H. Kelsen, A. Merkl and A. Verdross, Die Wiener rechtstheoretische Schule [The
Vienna School of Legal Theory], ed. H. Klecatsky et al. (1968, in 2 vols)
Kedaulatan:
1. Das Problem der Souveränität und die Theorie des Völkerrechts (1920).
2. Der Wandel des Souveränitätsbegriffs., 2 Studi filosofico-giuridici dedicati a
Giorgio Del Vecchio (1931) 1.
3. Sovereignty and International Law., 48 The Georgetown Law Journal(1960) 627.
4. Souveränität., Wörterbuch des Völkerrechts (1962) 278.
Sanksi:
Unrecht und Unrechtsfolge im Völkerrecht., 12 Zeitschrift für öffentliches Recht (1932)
481.
Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional
1. Staat und Völkerrecht., 4 Zeitschrift für öffentliches Recht (1925) 207.
2. Les rapports de système entre le droit interne et le droit international public.,
14 RdC (1926, IV) 231.
3. La transformation du droit international en droit interne., 43 Revue générale de droit
international public (1936) 5.
4. Zur Lehre vom Primat des Völkerrechts., 12 Revue internationale de la théorie du
droit (1938) 211.
5. Die Einheit von Völkerrecht und staatlichem Recht., 19 Zeitschrift für ausländisches
öffentliches Recht (1958) 234.

Page 4 of 21
Sumber Hukum
1. Völkerrechtliche Verträge zu Lasten Dritter., 14 Prager Juristische
Zeitschrift (1934) 419.
2. Contribution à la théorie du traité international., 10 Revue internationale de la
théorie du droit (1936) 253.
3. Théorie du Droit International Coutumier., Festschrift für Franz Weyer(1939) 85
4. The Basis of Obligation in International Law., Estudios de Derecho Internacional -
Homenaje al Professor Camilo Barcia Trelles (1958) 103.
Covenant of the League of Nations
1. Zur rechtstechnischen Revision des Völkerbund-statutes., 17 Zeitschrift für
öffentliches Recht (1937) 401, 590.
2. Zur Reform des Völkerbundes (1938).
3. Legal Technique in International Law (1939).
4. Revision of the Covenant of the League of Nations., A Symposium of the Institute of
World Organization (1942) 392.
World Organizations
1. The Legal Process and International Order (1934).
2. Die Technik des Völkerrechts und die Organisation des Friedens., 14 Zeitschrift für
öffentliches Recht (1935) 240.
3. The Essential Conditions of International Justice., Proceedings of the American
Society of International Law (1941) 70.
4. The Principle of Sovereign Equality of States as a Basis for International
Organisation., 53 The Yale Law Journal (1944) 207.
Kedamaian
1. Law and Peace in International Relations (1942).
2. Compulsory Adjudication of International Disputes., 37 AJIL (1943) 397.
3. Peace through Law (1944).
United Nations:
1. The Law of the United Nations (1950).

Page 5 of 21
2. Recent Trends in the Law of the United Nations. A Supplement to .The Law of the
United Nations. (1951).
3. Limitations on the Functions of the United Nations, 55 The Yale Law
Journal (1946) 997.
4. The Preamble of the Charter. A Critical Analysis., 8 The Journal of Politics (1946)
134.
5. General International Law and the Law of the United Nations. The United Nations
- Ten Years. Legal Progress (1956).
6. Organization and Procedure of the Security Council of the United Nations.,
59 Harvard Law Review (1946) 1087.
7. Sanctions in International Law under the Charter of the United Nations., 31 Iowa
Law Review (1946) 499.
8. Collective Security under International Law (1957).
Masalah-Masalah Khusus
1. Collective and Individual Responsibility in International Law with Particular
Regard to Punishment of War Criminals., 31 California Law Review (1943) 530.
2. Will the Judgement in the Nuremberg Trial Constitute a Precedent in International
Law?., 1 The International Law Quarterly (1947) 153.
3. Austria: Her Actual Legal Status and Re-establishment as an Independent
State. (1944).
4. Recognition in International Law. Theoretical Observations., 35 AJIL(1941) 605.
5. The Essence of International Law., The Relevance of International Law. Essays in
Honor of Leo Gross. (1968) 85.

II. POKOK-POKOK PEMIKIRAN HANS KELSEN


Jika dilihat karya-karya yang dibuat oleh Hans Kelsen, pemikiran yang
dikemukakan meliputi tiga masalah utama, yaitu tentang teori hukum, negara, dan
hukum internasional. Ketiga masalah tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan satu
dengan lainnya karena saling terkait dan dikembangkan secara konsisten berdasarkan

Page 6 of 21
logika hukum secara formal. Logika formal ini telah lama dikembangkan dan menjadi
karakteristik utama filsafat Neo-Kantian yang kemudian berkembang menjadi aliran
strukturalisme. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi
dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur
oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur
perbuatan tertentu.
Friedmann mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikiran Kelsen sebagai
berikut:
1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi
kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan
mengenai hukum yang seharusnya.
3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.
4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan
daya kerja norma-norma hukum.
5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan
cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum
positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen, disebut The Pure Theory of
Law, mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan yang
berbeda antara mahzab hukum alam dengan positivisme empiris. Beberapa ahli
menyebut pemikiran Kelsen sebagai “jalan tengah” dari dua aliran hukum yang telah
ada sebelumnya.
Empirisme hukum melihat hukum dapat direduksi sebagai fakta sosial.
Sedangkan Kelsen berpendapat bahwa interpretasi hukum berhubungan dengan norma
yang non-empiris. Norma tersebut memiliki struktur yang membatasi interpretasi
hukum. Di sisi lain, berbeda dengan mahzab hukum alam, Kelsen berpendapat bahwa
hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral. Tesis yang dikembangkan oleh kaum
empiris disebut dengan the reductive thesis, dan antitesisnya yang dikembangkan oleh

Page 7 of 21
mahzab hukum alam disebut dengan normativity thesis. Stanley L. Paulson membuat
skema berikut ini untuk menggambarkan posisi Kelsen di antara kedua tesis tersebut
terkait dengan hubungan hukum dengan fakta dan moral.

Law and Fact


Normativity Thesis Reductive Thesis
Law an Morality (Separability Of Law And (Inseparability Of Law
Fact) And Fact)
Morality thesis
(inseparability of law and Natural law theory -
morality)

Separability thesis
Kelsen‟s Pure Theory of Empirico-positivist theory
(separability of law and Law of law
morality)

Kolom vertikal menunjukkan hubungan antara hukum dengan moralitas


sedangkan baris horisontal menunjukkan hubungan antara hukum dan fakta. Tesis
utama hukum alam adalah morality thesis dan normativity thesis, sedangkan empirico
positivist adalah separability thesis dan reductive thesis. Teori Kelsen adalah pada
tesis separability thesis dan normativity thesis, yang berarti pemisahan antara hukum
dan moralitas dan juga pemisahan antara hukum dan fakta. Sedangkan kolom yang
kosong tidak terisi karena jika diisi akan menghasilkan sesuatu yang kontradiktif, sebab
tidak mungkin memegang reductive thesis bersama-sama dengan morality thesis.
Pada dua bab berikutnya akan disajikan teori umum tentang hukum yang
terutama dikemukakan oleh Kelsen melalui buku General Theory of Law and
State khususnya pada bagian pertama, yaitu konsep hukum. Pembahasan dilakukan
dengan membandingkannya dengan dua buku utama lainnya, yaitu Introduction to the
Problems of Legal Theory dan Pure Theory of Law, serta pembahasan yang dilakukan
oleh beberapa ahli hukum lainnya.

Page 8 of 21
Teori tertentu yang dikembangkan oleh Kelsen dihasilkan dari analisis
perbandingan sistem hukum positif yang berbeda-beda, membentuk konsep dasar yang
dapat menggambarkan suatu komunitas hukum. Masalah utama (subject matter) dalam
teori umum adalah norma hukum (legal norm), elemen-elemennya, hubungannya, tata
hukum sebagai suatu kesatuan, strukturnya, hubungan antara tata hukum yang berbeda,
dan akhirnya, kesatuan hukum di dalam tata hukum positif yang plural. The pure theory
of law menekankan pada pembedaan yang jelas antara hukum empiris dan keadilan
transendental dengan mengeluarkannya dari lingkup kajian hukum. Hukum bukan
merupakan manifestasi dari otoritas super-human, tetapi merupakan suatu teknik sosial
yang spesifik berdasarkan pengalaman manusia.
The pure theory of law menolak menjadi kajian metafisis tentang hukum. Teori
ini mencari dasar-dasar hukum sebagai landasan validitas, tidak pada prinsip-prinsip
meta-juridis, tetapi melalui suatu hipotesis yuridis, yaitu suatu norma dasar, yang
dibangun dengan analisis logis berdasarkan cara berpikir yuristik aktual. The pure
theory of law berbeda dengan analytical jurisprudence dalam hal the pure theory of
law lebih konsisten menggunakan metodenya terkait dengan masalah konsep-konsep
dasar, norma hukum, hak hukum, kewajiban hukum, dan hubungan antara negara dan
hukum.

III. KONSEP HUKUM STATIS (NOMOSTATICS) DAN KONSEP HUKUM


DINAMIS (NOMODINAMICS)
Perilaku manusia yang diatur oleh norma ataukah norma-norma yang mengatur
perilaku manusia (yakni apakah pengetahuan itu ditujukan kepada norma hukum yang
diciptakan, diterapkan atau dipatuhi oleh tindak perbuatan manusia atau kepada tindak
penciptaan, penerapan, atau kepatuhan yang diharuskan oleh norma hukum). Begitu
pentingnya hukum karena perilaku manusia sangat berbeda. keberbedaan perilaku
tersebut sangatlah mungkin menimbulkan berbagai macam tindakan
Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukum dalam menciptakan
suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara

Page 9 of 21
damai. Menurut sebagian orang, hukum merupakan sesuatu yang kompleks dan teknis
sehingga sering dijumpai orang dalam menghadapi hukum dengan sikap yang tidak
sabar dan sinis. Akan tetapi hukum merupakan salah satu perhatian manusia beradab
yang paling utama dimuka bumi, karena hukum dapat menawarkan perlindungan
terhadap tirani di satu pihak dan terhadap anarki di lain pihak. Hukum merupakan salah
satu instrumen utama masyarakat untuk melestarikan kebebasan maupun ketertiban dan
gangguan yang arbiter, baik oleh perorangan, golongan masyarakat atau
pemerintah. Karena itu, unsur utama dari hukum adalah ketertiban. Untuk mewujudkan
ketertiban itu manusia diharuskan membentuk kaidah.
Ketertiban dan kaidah yang diperlukan manusia yang secara otentik menciptakan
kondisi yang memungkinkan manusia secara wajar mewujudkan kepribadiannya secara
utuh, yang dengan itu ia dapat mengembangkan semua potensi kemanusiaan seperti apa
yang secara bebas dikehendakinya (vrije wil).
Tentunya, untuk membentuk suatu ketertiban itu dibutuhkan suatu jawaban yang
memadai yaitu bagaimana ketertiban itu dapat dijawab dengan baik dan terukur
menggunakan suatu teori?. Teori tersebut Penulis tawarkan cukup untuk menjawabnya
yaitu dengan menggunakan Teori Hukum Statis dan Teori Hukum Dinamis.
Teori Hukum Statis adalah hukum sebagai sistem norma yang berlaku, hukum
dalam kondisi istirahatnya. Sedangkan Teori Hukum Dinamis adalah proses ketika
hukum diciptakan dan diterapkan, hukum yang berjalan. Yang perlu diperhatikan ialah
bahwa proses itu sendiri diatur oleh hukum.
Dengan demikian Teori Hukum tersebut diatas dapat dijadikan suatu referensi
untuk menjawab beberapa pertannyaan hukum ketika ada sesuatu persoalan yang
sampai ketangan kita yang terkait dengan persoalan hukum.
Dalam kehidupan masyarakat, selalau terdapat berbagai macam norma yang
secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tatacara seseorang untuk
berperilaku atau bertindak. Dalam bukunnya yang berjudul Genaral teori of law And
State Hans Kelsen mengutarakan adanya dua yaitu sistem norma, yaitu sistem norma
yang statik (nomostatik) dan sistem norrma dinamik (nomodinamik).

Page 10 of 21
Sistem norma statik (Nomostatics) adalah sistem norma yang melihat pada
isinnya, menurut sistem norma statik sendiri suatu norma umum dapat di tarik menjadi
norma khusus dan norma khusus sendiri dapat di tarik dari suatu norma yang umum.
Penarikan norma khusus dari suatu norma umum dapat di artikan bahwa, dari norma
umum itu dirinci menjadi norma yang khusus dari segi isinnya.
Penulis memberikan 2 (dua) contoh sebagai berikut ini: (1) Dari norma umum
yang menyatakan „Hendaknya engkau menghormati orang tua‟dapat di tarik/dirinci
menjadi norma-norma khusus seperti kewajiban membantu orang tua kalau ia dalam
kesusaahan, atau kewajiban merawatnya kalau orang tua itu sedang sakit, dan
sebagainya. (2) Dari suatu norma umum yang menyatakan „Hendaknya kamu
menjalankan perintah agama‟ dapat di tarik/dirinci mejadi norma-norma khusus seperi
menjalankan sholat lima waktu, menjalankan puasa pada waktunya, membayar zakat,
dan lain sebagainya.
Sedangkan Sistem norma yang dinamik (Nomodynamics) adalah sistem
norma yang pada berlakunnya suatu norma dan cara
„pembentukannnya atau penghapusannya‟. Menurut Hans Kelsen norma itu berjenjang-
jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki, norma-norma yang di bawah
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi , demikian
seterusnya sampai akhirnya „regressus‟ ini berhenti pada suatu norma yang tertinggi
yang disebut dengan norma dasar (Grundnorm) yang tidak dapat di telusuri lagi siapa
pembentuknya atau dari mana asalnya. Dan norma ini adalah norma yang tertinngi yang
tidak bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Tetapi berlakunnya
secara „presuposed„ yaitu di tetapkan lebih dahulu oleh masyarakat.
Menurut Hans Kelsen hukum merupakan sistem norma yang
dinamik (Nomodynamics) dikarenakan hukum itu di bentuk dan dihapus oleh lembaga-
lembaga yang berwenang membentuk dan menghapusnya, sehinga dalam hal ini hukum
tidak dilihat dari segi isi dari norma tersebut, melainkan dilihat dari segi pembuatan dan
berlakunnya.

Page 11 of 21
Hukum itu adalah sah (valid) jika di bentuk oleh lembaga-lembaga atau
otoritas-otoritas yang berwenang serta bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi, sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk oleh
norma yang lebih tinggi(superior) dan hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis
membentuk suatu hierarkhi.
Dalam dinamikannya norma hukum dibagi menjadi dua yaitu norma hukum
vertikal dan horizontal. Dinamika norma hukum vertikal adalah dinamika yang
berjenjang dari atas ke bawah, dalam dinamika norma hukum vertikal ini suatu norma
hukum itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma hukum yang di atasnya, sampai
seterusnya sampai pada suatu norma hukum yang menjadi dasar dari semua norma
hukum yang berada di bawahnya. Demikian juga dalam hal dinamika dari atas ke
bawah, maka norma dasar itu selalu menjadi sumber dan menjadi dasar dari norma
hukum yang ada di bawahnya, norma hukum yang di bawahnya selalu menjadi sumber
dan dasar dari norma hukum yang ada di bawahnya lagi, dan seterusnya ke bawah.
Dinamika norma hukum yang horizontal adalah dinamika yang bergeraknya
tidak ke atas atau ke bawah, tetapi ke samping. Dinamika norma hukum horizontal ini
tidak membentuk suatu norma hukum yang baru, tetapi norma itu bergerak ke samping
karena adanya suatu analogi yaitu penarikan suatu norma hukum untuk kejadian-
kejadian lainnya yang dianggap serupa. Penarikan secara analogi dapat di beri contoh
sebagai berikut: Dalam kasus tentang „perkosaan‟ seorang hakim telah mengadakan
suatu penarikan secara analogi dari ketentuan tentang „perusakan barang‟ sehingga
terhadap suatu „perkosaaan‟selain dikenakan sanksi pidana dapat juga diberikan sanksi
pembayaran ganti rugi.
Untuk mempertegasnya lagi tentang konsep hukum dinamis dan statis perlu
digaris bawahi bahwa Tata hukum dalam pandangan dinamis adalah dengan
mendefinisikan konsep hukum dengan mengabaikan unsur paksaan tanpa memandang
perlu untuk melekatkan suatu sanksi pidana atau perdata kepada pelanggarannya.
Lawannya adalah norma yang bersifat memaksa (statis).

Page 12 of 21
Norma merupakan suatu hukum (dalam konsep hukum yang dinamis) adalah
jika :
1. Norma tersebut telah dibuat oleh suatu otorita yang menurut konstitusi kompeten
untuk membuat hukum.
2. Lahir dari suatu otorita pembuat hukum
3. Hukum adalah sesuatu yang terjadi menurut cara yang ditentukan konstitusi bagi
pembentukan hukum.
4. Hukum adalah sesuatu yang dibuat melalui suatu proses tertentu
Konsep hukum dinamis ini hanya tampaknya saja sebagai konsep hukum,
karena :
1. Tidak mengandung jawaban apapun atas pertanyaan : (1) Apa yang merupakan
esensi hukum?. (2) Apa kriteria yang membedakan norma hukum dari norma-norma
sosial lainnya?.
2. Hanya memberikan jawaban atas pertanyaan :Apakah dan mengapa suatu norma
tertentu termasuk ke dalam suatu norma hukum yang valid dan membentuk bagian
tata hukum tertentu. Jawabannya : suatu norma termasuk ke dalam suatu tata hukum
tertentu jika norma tersebut sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh konstitusi
(yang menjadi dasar bagi tata hukum ini).
Tidak hanya suatu norma, tetapi suatu perintah yang mengatur perbuatan
manusia juga dapat dibuat menurut cara yang ditentukan oleh konstitusi bagi
pembentukan hukum.Tahap penting proses pembentukan hukum melalui prosedur
pembentukan undang-undang (dimana norma-norma umum dibuat ) :
1. Dua resolusi yang sama dari kedua parlemen (begi negara yang memiliki dua
majelis), persetujuan kepala negara / Presiden, pengumuman dalam suatu lembaran
berita negara.
2. Pengakuan resmi tentang kegunaan-kegunaan dari seorang negarawan, suatu
pernyataan yang diputuskan parlemen, disetujui oleh kepala negara atau presiden,
diumumkan dalam berita Negara.

Page 13 of 21
3. Produk dari prosedur legislatif (undang-undang = suatu dokumen yang berisikan
kata-kata, kalimat-kalimat - bukan merupakan suatu norma tetapi tetap merupakan
hukum).
Selain itu pembuatan norma-norma umum dapat juga berdasarkan : karakter
normatif, pandangan-pandangan yang benar-benar teoritis tentang masalah-masalah
tertentu, motif-motif dari pembuat undang-undang, ideologi-ideologi politik yang
terkandung dalam referensi-referensi seperti ‟keadilan‟ atau „kehendak‟ Tuhan, dan
sebagainya. Semua unsur ini adalah isi undang-undang yang tidak memiliki relevansi
hukum. Pertimbangan-pertimbangan dari pengadilan acapkali juga mengandung unsur-
unsur yang tidak memiliki relevansi hukum. Tidak semua yang dibuat menurut prosedur
yang ditetapkan oleh konstitusi adalah hukum dalam arti suatu norma hukum. Norma
hukum hanya jika berisikan norma untuk mengatur perbuatan manusia, dan jika
mengatur perbuatan manusia dengan menetapkan suatu tindakan paksa sebagai sanksi.

IV. KRITIK DAN PENGEMBANGAN TEORI HUKUM HANS KELSEN


Seperti halnya teori pada umumnya, teori hukum Hans Kelsen juga tidak
terlepas dari berbagai keberatan maupun kritik yang berasal dari aliran hukum
sebelumnya (kusususnya hukum Alam dan positivisme empiris), maupun dari aliran
hukum yang berkembang belakangan. Kritik terhadap teori hukum Kelsen pada
umumnya terkait dengan metode formal yang digunakan dalam Pure Theory of Law,
konsep hukun sebagai perintah yang memaksa namun tidak secara psikologis, postulasi
validitas norma dasar, hubungan hukum dan negara, dan masalah konsep hukum
internasional sebagai suatu sistem.
Kritik-kritik dikemukakan oleh banyak ahli hukum sesuai dengan pokok
masalah yang menjadi pusat perhatian, dan masing-masing menggambarkan perspektif
tertentu yang berbeda-beda.
a. Kritik Joseph Raz
Dalam bukunya the concept of legal system : An Itroduction to The Theory
of Legal System membahas tentang konsep hukum dan sistem hukum berdasarkan

Page 14 of 21
dua kriteria yaitu kriteria eksistensi dan kriteria identitas. Kririk terhadap teori
hukum Kelsen dilakukan dari berbagai aspek, mulai dari bahasa pernyataan normatif,
struktur norma, eksistensi norma, masalah individuasi, sampai pada massalah sistem
hukum Kelsen terkait dengan prinsip individuasi dan identitas sebagai pemikiran
Raz.

b. Kritik Hari Chand


Hari Chand membahas secara khusus Pure Theory of Law dalam bab kelima
buku “Modern Jurispudence”. Setelah menguraikan pokok-pokok pikirannya,
kemudian chand memberikan kritik tentang teori Kelsen tersebut, yaitu
1. Tentang norma dasar
Menurut Chand, konsep norma dasar yang dikemukan Kelsen tidak jelas.
Yang disebut norma dasar tersebut merupakan hukum positidf tetapi suatu pesu-
posisi penegtahuan yuridis, atau sesuatu meta-legal tetapi memiliki suatu fungsi
hukum. Sulit untuk melihat kontribusi Pure Theory of Law terhadap sistem
dengan mengasumsikan hukum berasal dari norma dasar yang tidak dapat
ditemukan.
2. Metodologi
Suatu sistem hukum bukan merupakan koleksi abstrak dari kategori yang
mati, tetapi suatu susunan hidup yang bergerak secara konstan dan terdapat
bahaya apabila melihat potongan-potongan danmenganalisa masing-masing
bagian. Pendekatan Kelsen hanya pada satu sisi ketertarikan, yaitu pada bentuk
hukum senbari meletakkan isinya sebagai hal yang sekunder.
3. Kemurnian
Kelsen sangat menekankan pada analaisis kemurnian sehingga
pendekatan lain terhadap penyelidikan yuridis diabaikan. Metodenya menjadi
tidak murni sepanjang menegenai norma dasar karena dia gagal menjelaskan
bagaimana norma tersebut eksis.
4. Hirarki Norma

Page 15 of 21
Terdapat sumber hukum seperti kebiasaan, undang-undang, dan
preseden, yang salah satunya tidak dapat dikatkanlebih tinggi dari yang lain.
Disamping norma, dalam sistem hukum juga terdapat standar, prinsip-prinsip,
kebijakan, asas (maxim), yang sama pentingnya dengan norma, namun tidak
diperhatikan oleh Kelsen.

c. Kritik J.W. Harris


Pandangan utana Kelsen adalah bahwa ilmu hukum harus terbebas dari hal-
hal yang tidak dapat dianalisis secara obyektif menurut hukum dan hal-hal yang
merupakan hukum. Harris menyatakan bahwa Kelsen telah gagal menjelaskan bahwa
hukum adalah praktek dari ilmuwan hukum. Dengan kata lain teori norma murni
tentang hukum adalah bukan tentang hukum, tetapi tentang disiplin institusional dari
ilmu hukum. Kelsen lebih memilih norma daripada aturan dengan dua
alasan. Pertama, dia khawatir penggunaan aturan dapat berujung pada kebingungan
dari ilmu alam, padahal dalam bahassa Inggris istilah law ambigu dan norm juga
memiliki ambiquitas khusus karena digunakan juga dalam mendeskripsikan rule
situations. Kedua, Kelsen mendefinisikan suatu norma sebagai “ekspresi dari ide...”,
bahwa seorang individu harus (ought) untuk berbuat sesuatu dengan cara tertentu.
Kelsen secara terus menerus menambahkan untuk mengaitkan dengan pandangannya
bahwa aturan hukum adalah entitas abstrak yang berbeda dengan legislasi masa lalu
atau pelaksanaanya di masa depan, dengan membentuk piramida hukum
(stufentheorie) yang dikembangkan murid Hans Kelsen Hans Nawiasky dimana
susunan normanya adalah :
1. Norma fundamental (staatsfundamental norm);
2. Aturan dasar negara (staats grunddgesetz);
3. Undang-undang formal (formel gesetz);
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonomesatzung).
Menurut Hans Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen adalah
norma dasar (norm basic) dalam suatu negara disebut sebagai norma fundamental

Page 16 of 21
negara. Sehingga dengan penempatan Pancasila sebagai staatsfundamental
norm berarti menempatkannya diatas Undang-Undang Dasar. Pancasila tidak
termasuk ke dalam konstirusi, karena berada diatas konstitusi.
Dari kalangan penganut sistem hukum Eropa Kontinental, Hans
Kelsen yang dikenal dengan jaran hukum murninya selalu digolongkan sebagai
penganut aliran positivisme ini. Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen
yang perlu diketengahkan. Pertama, ajarannya tentang hukum yang bersifat murni
dan kedua, berasal dari muridnya Adolf Merkl yaitu stufenbau des recht yang
mengutamakan tentang adanya hierarkis daripada perundang-undangan. Inti ajaran
hukum murni Hans Kelsen adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan dari anasir-
anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya. Dengan
demikian Kelsen tidak memberikan tempat bagi betrlakunya hukum alam. Hukum
merupakan sollen yuridis semata-mata yang terlepas dari das sein / kenyataan sosial.
Sedangkan ajaran stufentheorie berpendapat bahwa suatu sistem hukum
adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber
pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan yang paling
tanggi adalah Grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotetis. Ketentuan yang
lebih rendah adalah lebih konkrit daripada ketentuan yang lebih tinggi. Ajaran murni
tentang hukum adalah suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak
mempersoalkan hukum yang senyatanya itu, yaitu apakah hukum yang senyatanya
itu adil atau tidak adil.
Dewasa ini, teori-teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap konsep-
konsep dan implementasi kehidupan hukum di Indonesia adalah teori hukum
positivisme. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi
hukum dalam berbagai jenis hukum yang berlaku di Indonesia bahkan telah
merambat ke sistem hukum internasional dan tradisional (Lili Rasjidi, SH., 2003 :
181). Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat, pengaruh
aliran poisitvis adalah sangat dominan. Apa yang disebut hukum selalu dikaitkan
dengan peraturan perundang-undangan, di luar itu, dianggap bukan hukum dan tidak

Page 17 of 21
dapat dipergunakan sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma di luar undang-
undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang-undang dan hanya
untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undang yang tidak atau belum
mengatur masalah tersebut.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi
ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and
balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah
perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai
penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang
masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap
lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan
negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks
and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-
undang dasar , tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di
atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap
warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari
instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi
negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan
undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan
dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang
diajukan kepada Mahkamah Agung.
Walaupun di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-
instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan
mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik.
Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui
keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut
sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi
kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan

Page 18 of 21
lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-
Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu
yang diatur dalam Pasal 53 : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang
dan Rancangan Peraturan Daerah.
Ilmu hukum adalah “ilmu normatif”, demikian dinyatakan oleh Kelsen
berkali-kali. Hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Ciri hakiki
dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Ia lahir bukan karena proses alami,
melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini menelorkan
pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar atau permulaan. Dinyatakan, bahwa
berbuat begini atau begitu merupakan dalil yang umum dan sebagai kelanjutannya
harus diikuti oleh konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang demikian itu akan
dilaksanakan oleh kehendak manusia sendiri juga. Oleh karena itu salah satu ciri
yang menonjol pada teori Kelsen adalah paksanaan. Kelsen berpendapat bahwa
norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarkhi
tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu
norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu
norma dasar (grundnorm). Sehingga, norma yang lebih rendah memperoleh
kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan
semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan
semakin konkrit norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak
piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama Grundnorm (norma dasar).
Sistem hukum Indonesia pada dasarnya menganut teori yang
dikembangkan oleh Hans Kelsen. Hal ini tampak dalam rumusan hirarkhi peraturan
perundangan-undangan Indonesia sebagaimana dapat kita temukan dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Page 19 of 21
Undangan. Dalam Pasal 7 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa, Jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
Menurut Bagir Manan, hukum positif adalah kumpulan asas dan kaidah
hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini yang berlaku dan mengikat secara
umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan
dalam negara. Teori Hukum Murni masih banyak dipakai di Indonesia, hal tersebut
tercermin dengan masih diikutinya/diterapkannya beberapa pemikiran dari Hans
Kelsen dalam sistem kehidupan secara yuridis. Dalam hubungan tugas hakim dan
perundang-undangan masih terlihat pengaruh aliran Aliran Legis (pandangan
Legalisme), yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh berbuat selain daripada
menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet undang-
undang dan selain itu juga dalam penerapan hukum oleh para Hakim masih terpaku
peraturan perundang-undangan tertulis. Bahkan peraturan, perundang-undangan yang
tertulis dianggap keramat oleh banyak Hakim di Indonesia.
Akan tetapi tidak semua sistem hukum nasional Indonesia secara bulat mengadopsi
sistem hukum yang berkembang di Eropa, walaupun sebagian besar hukum
peninggalan kolonial Belanda masih tetap berlaku. Teori hukum murni dalam
perjalanannya tidak mampu menjelaskan keadaan hukum secara holistik, maka
Satjipto Rahardjo meminjam Sosiologi Hukum sebagai alat bantu untuk menjelaskan
persoalan tersebut. Penyebab utama gagalnya suatu teori disebabkan karena teori
bersifat instruktif.

V. PENUTUP
Dalam menggunakan suatu teori hukum sebagai landasan dalam membuat
suatu hukum diperlukan suatu kejelasan yang sejelas-jelasnya terhadap teori tersebut
dengan harapan bahwa teori hukum tersebut tetap relevan untuk beberapa tahun
kedepan sehingga suatu teori hukum benar-benar sesuai dengan makudnya yakni untuk
mengetahui perbuatan-perbuatan hukum dan untuk menilai perbuatan-perbuatan
tersebut.

Page 20 of 21
Suatu teori hukum tidaklah selalu sempurna dalam hal relevansinya terhadap
perkembangan zaman. Namun demikian, bukan berarti teori tersebut tidak dapat lagi
digunakan sesuai dengan maksud dari teori tersebut karena walau bagaimanapun suatu
teori yang dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman tetap dapat dipakai sebagai
landasan untuk membuat teori tersebut lebih sempurna.

Page 21 of 21

Anda mungkin juga menyukai