Menjelaskan tentang Bagaimana Perkembangan Hukum Keluarga, baik dalam perundang-
undangan maupun isu-isu kontemporernya di Negara:
1. Afganistan 2. Banglades 3. Republik Islam Iran 4. Pakistan 5. Turki
Jawaban:
1. Perkembangan Hukum Keluarga di Afganistan, baik dalam perundang-undangan
maupun isu-isu kontemporernya. Afghanistan secara lengkap bernama Democratic Republic of Afghanistan. Negara yang berbentuk republik ini berada di daratan Asia Tengah yang berbatasan dengan Uni Soviet di sebelah utara, Republik Rakyat Tiongkok di sebelah timur laut, Pakistan disebelah timur dan selatan, serta Iran di sebelah barat. Luas wilayah negara ini adalah 652.225 km2. Penduduknya berjumlah sekitar 38,93juta pada tahun 2020. Penduduk yang beragama Islam Sunni 74%, Islam Syi’ah 25% dan lain-lain 1%. Bahasa resminya Pusthu, yang merupakan bahasa Persia. Ibukotanya Kabul dan mata uangnya Afghani (AF). Pustun merupakan etnis besar yang memiliki nilai-nilai superioritas kekeluargaan yang konon sama-sama merupakan keturunan Khalid bin Walid, jenderal legendaris di zaman Nabi Muhammad SAW. Mayoritas muslim di Republik Afghanistan mengikuti madzhab Hanafi, sehinggga madzhab Hanafi dominan di daerah-daerah Afghanistan. Hingga akhir perang dunia I negara ini berada di bawah sistem hukum Inggris. Selama periode ini hukum adat Inggris mempengaruhi sistem hukum Afghanistan,dimana sisa-sisa pengaruh Islam masih sangat besar. Dalam perkembangannya, citra Islam dalam memperlakukan wanita Afghanistan sempat mendapat sorotan ketika banyak wanita Afghanistan yang menderita penyakit mental akibat kebijakan Islam dari pemerintahan Taliban yang juga membatasi kesempatan memperoleh akses pendidikan. Ketika Taliban berkuasa di tahun 1999, sebuah Dekrit dikeluarkan yang melarang wanita meninggalkan rumah mereka. Padahal sebelumnya, para wanita Afghanistan melakukan aktivitas di berbagai sektor publik seperti rumah sakit, sekolah dan instansi-instansi lainnya. Pada 1964 konstitusi negara ini membentuk sistem peradilan yang dipimpin oleh pengadilan tertinggi, meskipun patut disayangkan peraturan formal tersebut tidak menyentuh seluruh wilayah perdesaan dan perkampungan terpencil yang lebih mengutamakan hukum dan pemimpin-pemimpin adat." Setelah 1978, tatkala komunis menguasai Afganistan, pembaruan di bidang hukum pertanahan dan perkawinan mendapatkan perlawanan hebat dari para pimpinan suku di perkampungan dan kelompok islamis di perkotaan, sehingga proses perubahan yang dilakukan oleh Uni Soviet pun (selama periode 1979-1989) tidak memberikan pengaruh di wilayah perdesaan dan perkampungan yang terpencil. Kemudian, memasuki era 1990an, setelah berakhirnya pengaruh Uni Soviet, praktik hukum Islam (syariah law) secara keras mulai dilakukan oleh negara atas dorongan dari kelompok Taliban yang menguasai pemerintahan. Saat ini, fase setelah tahun 2004, Konstitusi Afganistan yang dibentuk oleh Majelis Nasional (Afganistan Loya Jirga) secara tidak langsung mengikuti hukum kebiasaan/adat yang ada di negara tersebut. Konstitusi ini melarang adanya pengadopsian hukum baru yang bertentangan dengan dasar-dasar Islam dan syariah mengizinkan diterapkannya hukum adat/kebiasaan yang ada di masyarakat tanpa mencampurinya secara prinsipiel. Afganistan merupakan salah satu negara yang secara tegas menetapkan Islam sebagai dasar negaranya di dalam konstitusi. Denga dasar tersebut, Afganistan menetapkan Islam sebagai agama resmi yang dianut, walaupun setiap penganut agama dibebaskan untuk beribadah dan melaksanakan ritual keagamaan sesuai dengan ajarannya masing-masing. Implikasi dari ketetapan tersebut, di Afganistan tidak dimungkinkan adanya hukum yang dianggap bertentangan dengan kepercayaan dan ketentuan agama Islam. (Pasal 3) Bila dilihat dari konteks historisnya, ketetapan bahwa Islam sebagai agama resmi negara telah dilakukan oleh Afganistan sejak negara ini berdiri melalui konstitusi tahun 1964. Setelah mengalami perubahan menjadi republik pada 1973, keputusan ini tidak mengubah sikap negara tersebut untuk menjadikan Islam sebagai dasar dan agama resmi. Ketetapan bahwa negara sebagai pelindung hukum Islam yang dianut oleh warga negara masih dikuatkan, termasuk pula pada perubahan konstitusi pada 2004. Dengan mayoritas umat Islam penganut Mazhab Hanafi, Afganistan menetapkan mazhab tersebut sebagai mazhab hukum resmi negara dan hanya memungkinkan adanya penerapan hukum Syiah bagi mereka yang menganut aliran tersebut. Ketentuan ini dapat dilihat pada Pasal 130 ayat (2) Konstitusi Afganistan, yaitu: "When there is no provision in the Constitution or other laws regarding ruling on an issue, the courts' decisions shall be within the limits of this Constitution in accord with the Hanafi jurisprudence and in a way to ser- ve justice in the best possible manner." Afganistan pada fase tinggal landas transisi (2004) memiliki konstitusi, hukum, strategi, kebijakan dan program yang semuanya baru, termasuk pula infrastruktur. Hukum keluarga dikodifikasi sebagai bagian dari hukum sipil (civil code) belum sempurna diimplementasikan karena masih lemahnya kewenangan negara, sehingga secara praktis hukum adat di Afganistan selalu mengisi kekosongan-kekosongan tersebut. Untuk pertama kalinya hukum keluarga Afganistan dikodifikasikan pada 1920 dengan tambahan yang cukup berpengaruh pada 1961. Pada 1970, UU Perkawinan secara resmi baru diumumkan, yang mengatur beberapa aspek, yaitu pendaftaran perkawinan dan beberapa ketentuan dalam perceraian. Pada pasal 1977, Hukum Sipil Afganistan menggabungkan ketentuan keluarga ini dengan beberapa ketentuan lain, tetapi hanya memasukkan sedikit aspek pembaruan pada perka- winan anak, poligami, dan perceraian. Undang-undang masih mengalami proses pembaruan menuju suatu tatanan hukum yang seiring dengan konstitusi baru, yang mengandung keadilan gender, menekan kan pendidikan bagi perempuan, mendorong adanya perlindungan dan kesehatan bagi keluarga, serta mengikis pelbagai tradisi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Hukum yang paling dominan berlaku di Afganistan adalah hukum dari aliran Hanafi, karena secara populasi penduduk di daerah-daerah Afghan menganut aliran ini. Sampai akhir Perang Dunia I negara ini dikuasai oleh hukum Inggris dan selama periode ini Afganistan sangat dipengaruhi oleh hukum adat Inggris, selain masih kuatnya pula hukum Islam di masyarakat. Konstitusi pertama berlaku pada 1923 dan konstitusi kedua diberlakukan pada 1931, yang keduanya mengakui supremasi hukum Islam dalam pemerintahan negara. Pada pemerintahan Raja Ama- nullah sebagian besar hukum yang terkodifikasi masih diberlakukan, yang sebagian besarnya diambil dari legislasi paralel yang disebarluaskan di Kerajaan Ottoman, Mesir, dan Sudan. Pada 1930an, sekelompok pakar hukum Islam Afganistan menyusun dan memublikasikan sebuah hukum tak resmi yang diberi judul Tamassuk al-Qada' (Judicial Compendium) dan didasarkan kepada prinsip-prinsip hukum Hanafi yang telah diseleksi. Selanjutnya, Fatawa al-Alamgiri di India dan Hukum Sipil Turki digunakan sebagai sandaran otoritatif dan sumber materiel di Afganistan. Pada 1950an, beberapa pengundangan telah disahkan dan diberlakukan di Afganistan, termasuk di dalamnya adalah Tijaratmanah tahun 1954 (Commerial Law), Hukum Administrasi Keadilan 1956, dan Hukum Secara Sipil 1958. Jika diperhatikan, Konstitusi Afganistan mengakui keluarga sebagai pilar penting masyarakat, sehingga kedudukan penting tersebut harus diperhatikan dan dijaga oleh negara. Dari sini pula, negara merasa perlu untuk mengambil tindakan yang menjamin adanya kesehatan suatu keluarga, baik secara psikis maupun fisik, terutama bagi anak dan ibu. Negara juga merasa berkepentingan untuk menjaga keluarga, terutama anak-anak, dari pengaruh yang dapat merusak keluhuran nilai-nilai Islam. Secara tegas Pasal 54 Konstitusi Afganistan (Tahun 2004) menyebutkan: "Family is the fundamental pillar of the society, and shall be protected by the state. The state shall adopt necessary measures to attain the physical and spiritual health of the family, especially of the child and mother, upbringing of children, as well as the elimination of related traditions contrary to the principles of the sacred religion of Islam." Berdasarkan Pasal 60 Undang-Undang Sipil Afganistan, disahkan pada 1355 H (1976 M), pernikahan didefinisikan sebagai "suatu kontrak yang melegalkan hubungan antara pria dan perempuan dengan objek untuk membentuk keluarga, dan itu menciptakan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak," meskipun pada kenyataannya di masyarakat sebagian besar telah bertentangan dengan definisi di atas. Menurut catatan Orzala Ashraf Nemat dalam Comparative Analysis of Family Law in the Context of Islam ada beberapa tantangan dan rintangan yang berkaitan dengan hukum perkawinan di masyarakat Afganistan yang akhirnya berakibat pada perkawinan dan masa depan suami istri, di antaranya: Pertama, kebiasaan dan tradisi memainkan peranan signifikan dalam menentukan nasib suatu perkawinan dibandingkan hukum. Bahkan sangat sering suatu kebiasaan atau tradisi itu mengambil pengaruh yang sangat jauh dari posisi yang seharusnya di dalam kehidupan masyarakat. Kedua, kebanyakan dari perkawinan tidak didasarkan kepada kemauan antara laki- laki dan perempuan, tetapi mengikuti keputusan yang diambil oleh keluarga. Meskipun Pasal 66 dan 77 Undang- Undang Keluarga Afganistan telah menegaskan peranan laki-laki dan perempuan di dalam perkawinan, pada praktiknya justru yang terjadi sebaliknya. Keluarga merupakan satu-satunya pihak yang menentukan suatu perkawinan bagi anak-anak mereka, dengan pertimbangan yang didasarkan kepada kepentingan mereka (keluarga), seperti kesukuan dan hubungan ekonomi. Jika pasangan tersebut menikah di luar dari ketentuan keluarga dan mereka merasa adanya perubahan dalam sikap para keluarga terhadap mereka, maka pernikahan ini biasanya tidak diterima oleh keluarga. Ketiga, kuatnya ketergantungan ekonomi kepada laki-laki bagi perempuan merupakan suatu contoh yang lain. Kekuatan ekonomi meningkatkan otoritas kedua orang tua dan keluarga, meskipun anak tersebut tidak menyetujui keputusan orangtuanya ini, sehingga perkawinan hanya menjadi tontonan bagi pengantin perempuan, tanpa mampu menentukan dan bersikap terhadap masa depannya. Keempat, yang juga menjadi permasalahan, adalah tingginya biaya perkawinan yang semunya diputuskan oleh ayah, seperti halnya ayah yang memegang otoritas terkuat untuk menentukan perkawinan. Ayah biasanya yang memutuskan besarnya jumlah mahar. Hal ini biasanya juga berpindah kepada relasi ekonomi di antara kedua keluarga yang hendak menikah. Dengan perkataan lain, laki-laki akan mencari istri-istri yang lebih murah harganya sementara perempuan akan mencari laki-laki yang sanggup membayar lebih mahal atas dirinya. Jika memaksakan untuk menikah dalam kondisi apa adanya, pada masa selanjutnya biasanya suami istri tersebut akan menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-harinya. Gambaran tersebut di atas beriringan dengan pandangan sementara kalangan terhadap kondisi dan pergulatan hukum Islam secara lebih khusus hukum keluarga di Afganistan, bahwa hukum di negara tersebut merupakan suatu interaksi antara hukum adat, sistem masyarakat patriarkis yang kuat dan hukum Islam, sehingga menjadikan ketiga bidang ini berada pada suatu lingkaran kepentingan: untuk menjaga kehormatan keluarga, keluarga menikahkan anak perempuan sesegera mungkin atau paling tidak meminangkannya dengan seorang laki-laki, karena pinangan telah memiliki kekuatan yang sama dengan perkawinan dan sangat sulit untuk melepaskannya, kecuali jika perempuan rela mendapatkan hinaan dan celaan dari masyara kat. Dalam kondisi ini pula, perempuan harus dipaksa menerima suami mereka yang menikah untuk kedua, ketiga, atau bahkan keempat kalinya." Pembaharuan Hukum Keluarga Afganistan Hukum keluarga merupakan suatu undang-undang yang dikodifikasi yang telah ada di Afganistan sejak 1920an dalam ordonansi mengenai perkawinan (nezammaneh Nekah). Pada tahun 1961, prinsip-prinsip mengenai perkawinan (usulnaamehe Ezdewaadj) berjalan secara efektif. Dokumen ini menetapkan bahwa seseorang yang telah berusia 15 tahun dapat melakukan perkawinan dan melarang perempuan untuk dipertukarkan sebagai pergantian rugi suatu kejahatan. Pada 1971, suatu peraturan tentang perkawinan disahkan yang memberikan perhatian pada pendaftaran perkawinan, termasuk pula pada otoritas seorang perempuan untuk melakukan perceraian (Taf- wiz al-thalâq). Peraturan terakhir ini menjadi suatu peraturan yang dianggap oleh sementara kelompok sebagai peraturan yang progresif yang menyinggung masalah poligami. Dari keterangan tersebut, pembaruan hukum keluarga di Afganistan, secara minimal dapat diidentifikasi dari perubahan konstitusi, UU Perkawinan, dan Undang-Undang Sipil (civil code). Pada 1971, sebuah Undang-Undang Perkawinan (the Qânun Izdiwâj) diberlakukan di Afganistan, yang didasarkan kepada Hukum Perseorangan (Personal Status) Mesir kedua tahun 1929 dan memiliki persamaan dengan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan Muslim yang berlaku pada 1939 di seluruh India. Peraturan ini secara menyeluruh menganut aliran hukum Mâlikî, yang memungkinkan perempuan untuk mengajukan perceraian ke pengadilan. Ketentuan ini mengubah praktik praktik yang berlaku secara lokal dan yang berkenaan dengan perkawinan dan perceraian." Pada 1977, melalui Official Gazette No. 353, pemerintah Afganistan mengeluarkan Undang-Undang Sipil (Qanun e-Madani) tertanggal 5 Januari 1977.18 UU Sipil Afganistan mengenalkan hanya sedikit aspek pembaruan, yaitu dalam ketetapan perkawinan anak, poligami, perceraian, meskipun ketentuan tersebut tidak cukup memadai untuk diterapkan dalam konteks masyarakat Afganistan dan tidak kuatnya dorongan/tindakan untuk menerapkannya. Terkait dengan pembaruan hukum keluarga di Afganistan ada beberapa aspek yang menjadi perhatian peraturan perundang-undangan, yaitu: a. Kewajiban pendaftaran perkawinan. b. Keharusan meminta izin dari pengadilan keluarga untuk melakukan perkawinan bigami. c. Intervensi pengadilan dalam urusan perceraian. d. Adanya hukum perceraian bagi istri untuk alasan-alasan tertentu; e. Hak ibu untuk mengasuh anak ketika terjadi perceraian. f. Pengakuan kedudukan persamaan hak sipil perempuan dengan laki-laki. Undang-Undang Keluarga telah berlaku di Afganistan sejak permulaan abad ke-20. Berdasarkan kepada aliran hukum Sunni, hukum keluarga Afganistan diperbarui pada pasal- pasal pertama Undang- Undang Sipil Afganistan yang disahkan pada 1977," Undang-Undang Sipil Afganistan Tahun 1977, meskipun dirasa cukup memperbarui doktrin hukum Islam klasik, menurut kalangan feminis, undang-undang tersebut masih menyisakan bias gender da lam bidang hukum keluarga. Di samping aspek-aspek yang telah disebutkan di atas, kurang eksplisitnya pengaturan tentang perhatian terhadap perkawinan, adanya keharusan ketaatan istri kepada suami, tidak setaranya pengertian tentang perkawinan, pengabaian hak-hak anak dan kepentingannya, pasal-pasal diskriminasi dalam hal kewarisan, dan pembatasan hak-hak perempuan secara konstitusional atas suami, menjadi catatan tersendiri kelompok perempuan tentang kekurangan yang ada di dalamnya. Namun demikian, pembaruan hukum keluarga di Afganistan dipengaruhi pula dengan pembentukan peraturan hak-hak perempuan pada 17 Oktober 1978. Kontrol Partai Rakyat Demokrasi Afganistan pada tahun ini telah mengarahkan pada reformasi institusi secara radikal di Afganistan yang menyebabkan peningkatan hak dan kedudukan perempuan, seperti pelarangan sejumlah praktik budaya dalam perkawinan dan hukum keluarga yang dianggap "Islâmi" oleh masya- rakat Afgan. Keputusan hak-hak perempuan ini merevisi ketentuan-ketentuan yang ada di dalam UU Perkawinan 1971 dan menjamin hak- hak hukum yang lebih baik bagi kaum perempuan Muslim. Pembaruan Hukum Keluarga a. Peminangan (Khitbah) Pertunangan di Afganistan terkait dengan dua aspek permasalahan, yaitu tingginya biaya yang harus dikeluarkan dan secara faktul tentunya bertentangan dengan hukum Islam pertunangan dianggap oleh masyarakat sebagai suatu keputusan yang final perkawinan. Suatu peminangan (khitbah) dianggap sebagai perjanjian perkawinan (marriage), bukan perjanjian untuk menikah (marry), meskipun dite gaskan di dalam Undang-Undang Perdata Afganistan Pasal 64, bahwa peminangan adalah sebuah perjanjian untuk menikah, bukan perjan jian perkawinan. Secara praktik (menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2005), sangat jarang laki-laki membatalkan peminangan yang sudah dilakukan, karena hal itu dianggap aib dan cela. Jika diba- talkan, sayangnya, yang mendapatkan stigma dan ejekan adalah calon perempuan, bukan laki-laki, bahkan secara sosial perempuan diang- gap sebagai perempuan janda yang telah diceraikan suaminya. b. Mahar (Maskawin) Menurut hukum Islam, sebagaimana yang disebutkan di dalam surah an-Nisa'/4 ayat 5, serta yang ditetapkan di dalam Hukum Perdata Afganistan 1971, Pasal 99 sampai 101, bahwa perempuan berhak untuk menerima mahar pada saat perkawinan. Uang atau harta tersebut menjadi hak milik perempuan sebagai sebuah jaminan keamanan baginya pada saat terjadi perceraian atau suaminya meninggal. Dalam Pasal 99 Undang-Undang Perdata Afganistan disebutkan, bahwa istri berhak menentukan jumlah mahar yang harus diberikan suami kepadanya. Jika mahar tidak ditentukan sampai berakhirnya akad nikah atau bahkan ditiadakan, maka pembayaran mahar tetap harus dibayarkan oleh suami dengan menggunakan mahar mitls (mahar sesuai jumlah yang berlaku di masyarakat). UU Perdata Afganistan juga memungkinkan adanya pemberikan barang tertentu sebagai mahar. (Pasal 100). Mahar juga dapat dibayarkan dengan cara tunai (pada saat akad) atau ditunda (muajjal), sehingga secara legal undang-undang tidak dimungkinkan adanya perkawinan tanpa mahar, karena jika terjadi, kebiasaan yang telah tumbuh di masyarakat dapat saja memaksakannya.29 Pembayaran mahar ini bisa pula ditambahkan oleh suami ketika akad perkawinan sudah sempurna dan keduanya telah menjalani kehidupan rumah tangga, dengan catatan: (a) penambahannya diketahui secara jelas; dan (b) perempuan atau walinya bisa menerima penambahan tersebut. c. Pendaftaran Perkawinan Undang-Undang Perdata Afganistan Tahun 1977 menetapkan bahwa perkawinan harus didaftarkan, sebagaimana halnya pada saat kelahiran, perceraian, dan kematian. Pasal 61 Undang-Undang Afganistan menetapkan: (1) Marriage contract shall be registered in the official marriage deed by the respective office and shall be prepared in three copies. The original shall be kept with the respective office and the two copies shall be supplied to the concluding parties. After having been registered, the marriage deed shall be brought to the notice of the identification Registration office as provide under Article 46 of this law. (2) Where the registration of marriage contract is now possible in this way, it shall be effected by other way envisaged for registration of official documents. Sejak 1992, pencatatan perkawinan mulai diperlakukan secara ketat dan dapat dilakukan di setiap daerah masing-masing di Afganistan oleh pemerintahan komunis. Sertifikat perkawinan adalah suatu sertifikat yang dikeluarkan oleh pengadilan tinggi, yang biasanya diterbitkan dengan rangkap tiga. Satu salinan untuk penghulu yang menikahkan, satu salinan untuk pengadilan tinggi, dan satu lagi untuk dipegang oleh suami istri. Seperti halnya surat resmi yang lain, di dalam sertifikat disertakan pula nomor registrasi, lembaran pertama dengan lencana pengadilan tinggi. Sertifikat ini ditandatangani oleh beberapa orang, yaitu: pengantin perempuan, pengantin laki-laki, para saksi, dan penghulu yang mengawinkan. d. Perkawinan Anak Perkawinan anak merupakan suatu hal yang biasa dan sering terjadi, bahkan terkadang dengan jarak usia yang jauh di antara pasangan. Menurut doktrin hukum Islam klasik, perkawinan anak masih dimungkinkan untuk dilakukan dan tidak ada batasan usia anak kecuali telah baligh. Dalam pada itu, hukum Islam juga mengakui adanya nikah ijbar sebagai hak orang tua/wali untuk menikahkan anak perempuan yang belum dewasa, meskipun dengan persetujuan anak perempuan tersebut. Menurut Undang-Undang Perdata Afganistan, sebagaimana tertera di dalam Pasal 70, bahwa usia perkawinan bagi anak perempuan adalah 16 tahun dan 18 tahun bagi laki-laki. Perkawinan di bawah usia tersebut dianggap tidak berdasarkan kepada Undang-Undang Perdata Afganistan dan Keputusan No. 7 Tahun 1978 tentang Hak-hak Perempuan. e. Poligami Poligami merupakan suatu praktik perkawinan yang juga banyak ditemui di negara- negara Muslim. Tidak hanya secara budaya (hukum) yang telah dipraktikkan oleh masyarakat Muslim dengan mendasarkan kepada hukum Islam, UU Hukum Keluarga yang berlaku di negara-negara Muslim pun terkadang tetap memberikan toleransi terhadap praktik poligami. Hanya ada beberapa negara saja yang secara ketat melarang poligami. Di Afganistan, poligami dimungkinkan untuk dilakukan oleh suami, jika memenuhi kondisi berikut: 1) Jika tidak dikhawatirkan melakukan ketidakadilan terhadap paraistri. 2) Jika seorang laki-laki memiliki kemampuan ekonomi yang cukup untuk menghidupi para istrinya, yaitu saat ia mampu memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, rumah yang laik, dan keperluan medis. 3) Ketika memiliki keadaan hukum yang memadai, yaitu saat istri pertama tidak memiliki anak, istri menderita penyakit keras, dan tidak bisa memberikan perawatan kepada suaminya. f. Perceraian dan Pemisahan Ketentuan pemisahan yang diatur di dalam Undang-Undang Perdata Afganistan memberikan peluang pertama kepada perempuan untuk menuntut perceraian saat terjadi beberapa keadaan pada suaminya, yaitu Ketika suami ternyata memiliki penyakit yang tidak diketahui kesembuhannya atau memerlukan waktu yang lama dan pergaulan dalam waktu yang lama dengan suaminya tersebut justru akan menimbulkan bahaya baginya. Namun jika cacat tersebut ternyata sudah diketahuinya sebelum perkawinan dan adanya persetujuan dari perempuan akan kondisi tersebut, baik secara jelas maupun implisit, maka pemisahan tidak dapat dituntut setelah selesainya akad nikah. Pasal selanjutnya menyebutkan, jika hakim mendapati bahwa penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan (mustahil disembuhkan), maka hakim dapat secara langsung memisahkan perkawinannya, tanpa me nunda, tetapi jika ternyata dimungkinkan kesembuhannya, meskipun dalam waktu yang lama, maka hakim harus menunda putusannya. (Pasal 179) g. Pertukaran (Perkawinan) Perempuan Pada prinsipnya, praktik pertukaran perempuan ini tidak sesuai dengan hukum Islam, karena secara hukum perempuan berhak menerima mahar. Perkawinan seperti ini pun dilarang menurut Undang- Undang Perdata Afganistan. Namun kebiasaan yang berkembang di masyarakat sangat kuat berperan dalam melanggengkan praktik perkawinan seperti ini, terutama tradisi kehormatan (disebut namus). Namus diterapkan kepada perempuan yang termasuk bagian dalam keluarga, selain kadang juga menggunakan tanah. Dalam konteks ini juga dikenal istilah pasthun yaitu seorang laki-laki yang mampu melindungi atau mempertahankan perempuan di keluarganya dan tanah sukunya, sehingga mereka dapat mengklaim namus atas dirinya sendiri. Posisi laki-laki di dalam masyarakat diekspresikan melalui namus, tingginya status namus menandakan tingginya pula status seseorang di masyarakat.
2. Perkembangan Hukum Keluarga di Banglades, baik dalam perundang-undangan
maupun isu-isu kontemporernya Bangladesh yang beribukota kan Dhaka merupakan negara yang terletak di kawasan Asia Selatan ini berbatasan langsung dengan India di sebelah barat dan timur, Nepal dan Bhutan di sebelah utara, Myanmar di sebelah tenggara dan laut Bengal di sebelah selatan. Sebelum merdeka Bangladesh merupakan bagian dari Pakitas atau disebut sayap timur Pakistan yang terpisah sejauh 1600 km. namun karena perbedaan politik, bahasa dan ekonomi Bangladesh memilih untuk menjadi negara independen dengan diawali perang. Bangladesh merdeka pada tahun 1971,yang di deklarasikan Bengali Nasionalist yang didirikan oleh oleh Mukhti Bagihi. Pada awal kemerdekaannya negara ini disebut sebagai Pemerintahan Sementara Bangladesh. Negara ini telah melewati 3 kali perubahan sistem pemerintahan yang dimulai dengan sistem parlemen, sistem presidensial dan kudeta (1975-1991), dan kembali ke sistem parlemen mulai 1991 hingga saat ini. Bangladesh adalah negara hukum umum yang sistem hukumnya dikembangkan oleh penguasa Inggris selama pemerintahan kolonial mereka atas British India. Tanah yang sekarang terdiri dari Bangladesh dikenal sebagai Bengal selama rezim Inggris dan Mughal sementara dengan beberapa nama lain sebelumnya. Meskipun ada peralatan dan institusi agama dan politik dari hampir era prasejarah, Mughal pertama kali mencoba mengenali dan membangunnya melalui mekanisme negara. Piagam tahun 1726, yang diberikan oleh Raja George I , memberi wewenang kepada East India Company untuk mendirikan Pengadilan Walikota di Madras, Bombay, dan Calcuttadan diakui sebagai hukum terkodifikasi pertama untuk British India. Sebagai bagian dari British India, itu adalah hukum kodifikasi pertama untuk Benggala saat itu juga. Sejak kemerdekaan pada tahun 1971, undang-undang yang disahkan oleh Parlemen Bangladesh telah menjadi bentuk utama dari legislasi. Hukum buatan hakim terus menjadi signifikan di bidang-bidang seperti hukum konstitusional . Tidak seperti di negara-negara hukum umum lainnya, Mahkamah Agung Bangladesh memiliki kekuatan tidak hanya untuk menafsirkan undang-undang yang dibuat oleh parlemen, tetapi juga menyatakannya batal demi hukum dan untuk menegakkan hak-hak dasar warga negara. Kode Bangladesh mencakup kompilasi semua undang-undang sejak 1836. Sebagian besar undang- undang Bangladesh berbahasa Inggris. Tetapi sebagian besar undang-undang yang diadopsi setelah tahun 1987 menggunakan bahasa Bengali. Hukum keluarga berkaitan erat dengan hukum agama. Bangladesh memiliki kewajiban hukum internasional yang signifikan. Patut dicatat bahwa Ordonansi 1985 tidak hanya berlaku untuk komunitas Muslim tetapi untuk semua warga negara tanpa memandang agama. Ini adalah keputusan terobosan yang dibuat oleh Divisi Pengadilan Tinggi dalam kasus Pochon Rikssi Das Vs Khuku Rani Dasi dan lainnya. Pengadilan Keluarga akan memeriksa saksi-saksi yang dihadirkan oleh para pihak dengan bantuan pengacara keluarga di Bangladesh, sesuai urutan yang ditetapkan oleh pengadilan dan pada tanggal yang ditetapkan oleh pengadilan untuk mencatat bukti. Selain itu, pengadilan memiliki kekuatan untuk mengabaikan pertanyaan apapun yang diajukan kepada saksi jika pertanyaannya tidak senonoh, sembrono, memalukan atau tampak menghina atau ofensif yang tidak perlu. Para saksi diminta untuk berbicara dengan kata- katanya sendiri sehingga mereka dapat dengan bebas menjawab pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Sesuai Peraturan, mereka dapat dikenakan pemeriksaan silang dan pemeriksaan ulang, di mana mereka harus bekerja sama dan jujur. a. Pernikahan dini Pernikahan dini merupakan masalah yang sudah ada sejak tahun 1900 an di Bangladesh. Pada tahun 1929 pernikahan dini tergolong sebagai pernikahan yang illegal, pada tahun yang bersamaan pemerintah Bangladesh mengadopsi Child Marriage Restraint Act. Ratifikasi peraturan internasional ini memuat bahwa usia minimum perempuan yang menikah ialah 18 tahun dan 21 tahun untuk laki-laki, jika ada pelanggaran dalam aturan ini maka dikenakan denda sebesar 1000 daka atau penjara minimal satu bulan dan maksimal lima bulan atau keduanya.Walaupun negara Bangladesh telah meratifikasi peraturan ini dan juga membuat peraturan tentang perlindungan perempuan dan anak tetapi tetap saja banyak keluarga yang melangsungkan pernikahan anak nya secara rahasia. Di daerah pedesaan tercatat sebanyak 71% wanita di daerah desa dan 54% wanita di daerah kota menikah di usia 18 tahun. Pada tahun 2012 tercatat sebanyak satu dari tiga orang berusia 20-24 tahun telah melangsungkan pernikahan di usia 15 tahun dan dua dari tiga orang perempuan telah menikah sebelum usia 18 tahun. Pemerintah Bangladesh meratifikasi Child Marriage Restraint Act 2017. Child Marriage Restraint Act 2017 merupakan pembaharuan dari undang-undang pernikahan dini lainnya. Dalam undang-undang tahun 2017 ini berisikan tentang pembolehan pernikahan dini dengan kasus-kasus khusus seperti hamil di luar nikah atau yang lainnya selama mendapatkan izin dari orangtua atau wali yang di nyatakan di depan hakim. b. Poligami Hukum keluarga Muslim mengatur poligami di komunitas Muslim Bangladesh. (1) Tidak seorang pun, selama kelangsungan perkawinan yang ada, kecuali dengan izin tertulis sebelumnya dari Dewan Arbitrase, mengadakan perkawinan lain, dan perkawinan semacam itu tidak boleh didaftarkan tanpa izin tersebut. Undang-undang Perkawinan dan Perceraian (Pendaftaran). (2) Permohonan izin menurut ayat (1) harus diajukan kepada ketua dengan cara yang ditentukan, bersama-sama dengan biaya yang ditentukan, dan harus menyebutkan alasan perkawinan yang diusulkan, serta persetujuan dari istri yang ada atau istri telah memperbolehkan poligami. (3) Pada saat menerima permohonan berdasarkan ayat (2), Ketua meminta pemohon dan istri atau istrinya yang ada masing-masing untuk mencalonkan seorang wakil, dan Majelis Arbitrase yang dibentuk demikian dapat, jika merasa yakin bahwa perkawinan yang diusulkan itu perlu dan adil dengan tunduk pada syarat-syarat itu. Jika ada yang dianggap cocok, pemohon harus menyepakati izin yang diminta. (4) Dalam memutuskan permohonan, Majelis Arbitrase harus mencatat alasan keputusannya. Setiap pihak dapat, dengan cara yang ditentukan, dalam jangka waktu yang ditentukan, dan dengan pembayaran biaya yang ditentukan, lebih memilih permohonan revisi kepada Hakim Asisten. Bersangkutan dan keputusannya bersifat final dan tidak dapat dipertanyakan di pengadilan mana pun. (5) Setiap laki-laki yang mengadakan perkawinan lain tanpa izin Majelis Arbitrase harus segera membayar seluruh jumlah mahar, baik yang segera maupun yang ditangguhkan, kepada istri atau istri-istri yang ada, yang jumlahnya, jika tidak dibayar demikian, akan dikembalikan sebagai tunggakan pendapatan tanah. c. Warisan Sistem hukum Bangladesh telah berevolusi dari kombinasi praktik hukum pribumi, Moghul dan Inggris. 89% populasi Bangladesh adalah Muslim. Dalam melindungi hak-hak perempuan Muslim di Bangladesh, negara ini mengikuti praktik hukum sekuler non-agama, yang dapat diwujudkan dalam undang-undang umum seperti hukum pidana tahun 1860 dan hukum acara perdata dan pidana tahun 1908 dan 1898, berdasarkan hukum perdata Eropa. Tapi, ketika menyangkut masalah warisan dan perkawinan, hukum Syariah diterapkan. Hukum syariah diambil dari hukum pribadi Muslim di bawah aturan ucapan Alquran , beberapa di antaranya diskriminatif terhadap perempuan.Oleh karena itu, pengaturan warisan dengan mengikuti hukum Syariah pasti mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam pasal 7, 17(1) dan 17(2) UUD 1945.Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Hukum Syariah menetapkan bahwa perempuan tidak berhak atas paritas dalam hal warisan, dan hanya diperbolehkan setengah dari apa yang akan diperoleh oleh pasangan laki- laki . Memang benar bahwa menurut hukum Islam, anak perempuan, ibu dan istri selalu berhak atas sebagian harta warisan; tetapi itu adalah komponen kecil dibandingkan dengan yang dipilih untuk laki-laki. Menurut Fyzee , banyak ketidaksetaraan sosial dan ekonomi yang ada dalam masyarakat Arab kuno dikurangi dengan reformasi Alquran. Undang-undang ini mengalami modifikasi lebih lanjut di sub-benua untuk menyesuaikan dengan peraturan dan kebiasaan yang telah ditetapkan. tulis Salma Sobhanbahwa, “Alquran harus disamakan dengan 'tindakan amandemen' dan bukan kode yang lengkap… dalam masyarakat yang berubah, jadi ada sedikit alasan untuk melanggengkan perbedaan ini” (antara perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan).
3. Perkembangan Hukum Keluarga di Republik Islam Iran, baik dalam perundang-
undangan maupun isu-isu kontemporernya Iran Adalah sebuah negara Timur Tengah yang terletak di Asia Barat Daya. Meski di dalam negeri negara ini telah dikenal sebagai Iran sejak zaman kuno, hingga tahun 1935 Iran masih dipanggil Persia di dunia Barat. Pada tahun 1959, Mohammad Reza Shah Pahlavi mengumumkan bahwa kedua istilah tersebut boleh digunakan. Nama Iran adalah sebuah kognat perkataan “Arya” yang berarti “Tanah Bangsa Arya”. Pada tahun 1979, sebuah Revolusi Iran yang dipimpin Ayatollah Khomeini mendirikan sebuah Republik Islam teokratis sehingga nama lengkap Iran saat ini adalah Republik Islam Iran. Iran berbatasan dengan Azerbaijan (500 km) dan Armenia (35 km) di barat laut dan Laut Kaspia di utara, Turkmenistan (1000 km) di timur laut, Pakistan (909 km) dan Afganistan (936 km) di timur, Turki (500 km) dan Irak (1.458 km) di barat, dan perairan Teluk Persia dan Teluk Oman di selatan. Penduduk Iran berkisar 64 juta jiwa (996) dan merupakan negeri terbanyak penduduknya di Asia tengah, dengan luas wilayah 1.648.000 km2. Penduduk Iran mayoritas beragama Islam (95,5%) dan sisanya penganut Kristen, Zoroaster dan Yahudi. Sementara umat Islam yang berada di Iran penganut faham Syi’ah Isna Asy’ari, sementara penganut faham sunni menjadi warga minoritas. Iran memiliki salah satu peradaban tertua di dunia, kira-kira dimulai pada tahun 2700 SM, ketika Elamite menguasai daerah-daerah yang meliputi propinsi Khuzistan (sekarang) di barat daya Iran dan wilayah-wilayah perbatasan utara dan timur. Orang-orang indo-eropa yang berimigrasi ke arah timur belum mendominasi dataran tinggi Iran hingga zaman besi, sekitar tahun 1300 SM. Kerajaan Medes yang berpusat di Ecbatan (sekarang Hamadan), menguasai dataran tinggi serta wilayah barat dan barat daya tahun 728-559 SM. Selama masa itu masyarakat Indo-Eropa, seperti orang-orang Scythia, memasuki dataran tinggi bagian barat melalui pegunungan Caucasus. Dinasti Achaemenid (559-330 SM), Parthian (247-226 SM) dan Sassanian (224-651) menguasai wilayah Iran di samping wilayah Fertile Crescent, Caucasus, Transoxonia, Afganistan dan anak benua India. Invasi Arab pada tahun 637 merupakan saat yang menentukan bagi sejarah Iran. Kepercayaan Zoroaster digantikan dengan agama Islam, sebuah agama monoteistik. Sekalipun masyarakat Iran memeluk Islam, banyak tradisi-tradisi mereka yang dipertahankan. Selama masa seribu tahun, Iran menjadi wilayah kekhalifahan. Faham sunni mendominasi wilayah-wilayah Iran selain kota Qum yang menjadi pusat pengikut faham syi’ah. Selama itu orang-orang iran banyak memberikan kontrbusi yang besar bagi perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam. Sejak tahun 1928 hingga 1935 hukum keluarga iran telah dikodifikasi sebagai bagian dari hukum perdata. Ini semua bermula ketika pada tahun 1927, menteri keadilan Iran membentuk komisi yang bertugas menyiapkan draft hukum keluarga. Ketentuan-ketentuan selain hukum keluarga dan hukum waris diambil dari ketentuan-ketentuan Napoleon selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah. Sedangkan untuk hukum keluarga dan hukum waris lebih mencerminkan sebagai unifikasi dan kodifikasi hukum syari’ah. Draft yang disusun oleh komisi tersebut disebut sebagai Qanun Madani. Hukum perdata Iran mencakup berbagai aspek hukum. yang berkenaan dengan hukum waris diatur dalam pasal 861 – 949, sementara seluruh buku VII mengatur masalah hukum keluarga. Semua materi hukum waris dan keluarga didasarkan pada hukum keluarga syi’ah Isnan ‘Asyariyah (ja’fari). Materi hukum waris sebagaimana diatur dalam hukum perdata berlaku hingga saat ini, tanpa ada perubahan, sementara hukum yang mengatur perkawinan dan perceraian tidak tehindar dari reformasi hukum. Hukum keluarga yang diatur dalam bab VII hukum perdata tahun 1935 mengalami reformasi beberapa kali pada tahun-tahun berikutnya. Hukum yang mengatur perkawinan dan perceraian, secara terpisah, telah diundang-undangkan pada tahun 1931. UU tersebut memasukkan prinsip yang diatur oleh aliran-aliran hukum selain aliran isna asyri. Sebagian materinya didasarkan pada pertimbangan sosial budaya dan administrative. Pada tahun 1937 dan 1938 juga ditetapkan UU yang mengatur masalah perkawinan dan perceraian lebih lanjut. Reformasi yang lebih penting lagi dilakukan lembaga legislative iran pada tahun 1967. Pada tanggal 24 juni 1967 diundang-undangkan hukum perlindungan keluarga (Qanun himayat Khansiwada). UU ini bertujuan mengatur institusi perceraian dan poligami agar tehindar dari tindakan sewenang-wenang. Pada tahun 1975, hukum perlindungan keluarga yang baru ditetapkan. UU ini dimaksudkan untuk menggantikan hukum perlindungan keluarga tahun 1967. UU tahun 1975 ini, selain memasukkan ketentuan mengenai perceraian dalam UU sebelumnya, juga memasukkan perubahan-perubahanyang penting yang berkenaan dengan perceraian. UU ini juga membatasi pemberian ijin poligami oleh pengadilan hanya pada kondisi-kondisi yang spesifik. Hukum keluarga Iran kembali pada hukum keluarga tradisional sejak berhasilnya revolusi islam yang dipimpin oleh Imam Khumaini, rezim baru mendeklarasikan bahwa hukum Islam menjadi satu-satunya sumber hukum di Negara Iran. Konstitusi Republik Islam Iran 1979, antara lain menyatakan bahwa keluarga merupakan unit fundamental dalam masyarakat Islam, oleh karena itu, semua hukum, peraturan dan ketentuan administrative, harus dapat memmfasilitasi keutuhan keluarga. Konstitusi ini juga menekankan bahwa hubungan keluarga harus didasarkan pada hukum Islam. Pada tahun 1982, Mahkamah Agung Iran mengeluarkan keputusan Bakhsnamah khususnya, ditujukan kepada seluruh pengadilan Iran, agar tidak menggunakan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh lembaga non legislative Islam era pra-revolusi. System hukum Islam seluruhnya akan diberlakukan di Iran. Hukum pidana tahun 1912 dan hukum perdata 1928-1935 dicabut, selanjutnya diterapkan hukum Islam. Hukum keluarga 1931-1938 dan hukum perlindungan keluarga 1975, dipandang telah melewati batas hukum Islam mapan, maka UU ini juga dicabut. Selanjutnya hukum keluarga Islam dikembalikan pada mdzhab mayoritas, ja’fari Isna Asy;arid an madzhab minoritas (sunni). Hukum keluarga Iran Pra dan PascaRevolusi a. Pencatatan Perkawinan Hukum Keluarga yang berlaku mengharuskan setiap perkawinan agar dicatatkan pada lembaga yang berwenang. Pencatatan perkawinan ini berlaku bagi nikah daim maupun nikah mut’ah. Sebe-lum perkawinan, masing-masing calon mempelai harus mendapat sertifikat kese-hatan terlebih dahulu dari pihak medis. Bagi yang tidak mencatatkan pernikahan-nya dikenai hukuman kurungan maksimal enam bulan. Apabila ditinjau regulasi pencatatan nikah ini termasuk dalam pembaharuan yang sifatnya regulatory (administratif), karena pelanggarnya hanya mendapat sanksi fisik, sementara kedudukan perni-kahannya tetap sah. Ketentuan seperti ini dapat dinilai pro perempuan. Akibat dari pernikahan yang tidak dicatatkan sering-kali membawa dampak buruk dan merugi-kan pihak perempuan. Maka dengan dica-tatkan dapat dipandang sebagai salah satu cara pemerintah untuk menertibkan per-kawinan juga untuk meminimalisir terjadinya kezaliman. Terkait keharusan pencatatan nikah ini sebenarnya tidak ada bahasannya dalam fiqh, baik dalam mazhab Ja’fari maupun mazhab Sunni. b. Perkawinan di Bawah Umur Dalam pasal 1031 Qonun Madani Iran memberi ketentuan usia minimum dalam perkawinan, usia bagi lelaki 18 tahun dan bagi perempuan 13 tahun. Apabila seseorang mengawini seorang gadis yang masih di bawah batasan minimum usia pernikahan, dapat dihukum penjara enam bulan hingga dua tahun. Jika seorang gadis dinikahkan sebelum usia 13 tahun, maka yang menikahkan kena sanksi penjara selama 2-3 tahun. Di samping itu, bagi orang yang melanggar ketentuan ini dikenai denda 2-20 riyal. Keterangan hukuman ini tertuang dalam pasal 3 Hukum Keluarga (1931- 1937). c. Perjanjian Perkawinan Para calon pengantin yang akan menikah boleh membuat perjanjian. Perjanjian tersebut dapat dilaksanakan di bawah perlindungan pengadilan dan isi perjanjian diharuskan tidak bertentangan dengan tujuan perkawinan. Hal ini berbeda dengan fiqh klasik, yang tidak ada pembahasan mengenai perjanjian pernikahan. Pembahasan fiqh justru terkait pada persyaratan pernikahan. Menurut Mazhab Imamiyah (Syi’ah), syarat yang dinilai gugur dalam akad tidak dianggap dapat membatalkan akad nikah atau mahar itu sendiri, kecuali jika diisyaratkan dalam bentuk khiyar, atau tidak berlakunya semua dampak akad yang bertentangan dengan wataknya sendiri. Jika seorang istri ketika akad penikahan mensyaratkan kepada suami agar ia tidak menikah lagi, tidak menceraikannya, atau hak talak berada pada isteri saja, tidak boleh mewarisi, atau persyaratan lain yang bertentangan dengan tujuan akad nikah, maka persyaratan-persyaratan tersebut akan batal sendiri, sedangkan akad nikahnya tetap sah. d. Poligini Regulasi yang berlaku menyatakan, bahwa seorang laki-laki yang bermaksud hendak poligini wajib menginformasikan statusnya kepada calon isterinya. Perbin-cangan tentang aturan poligini termaktub dalam Family Protection act, 1967, pasal 11 (c). Hukum ini menjelaskan bahwa suami yang ingin berpoligini harus mendapat izin dari istrinya. Apabila aturan tersebut dilanggar, isteri pertama berhak menuntut perceraian ke pengadilan. Selain itu, suami juga harus mendapatkan izin resmi dari pengadilan. Namun sebelum itu, pengadilan akan memeriksa kondisi suami terlebih dahulu apakah seorang yang mampu memberi nafkah lebih dari seorang istri; dan mungkinkah mampu berbuat adil tehadap isteriisterinya. Pelanggaran terhadap regulasi ini akan mendapat sanksi penjara selama 6 bulan hingga 6 tahun. e. Nafkah Keluarga Suami bertanggungjawab dalam kewajiban nafkah pada keluarganya. Nafkah itu meliputi pangan, pakaian, papan, dan kebutuhan lainnya. Apabila seorang suami tidak menafkahi isteri dan anak-anaknya, sang isteri dapat melapor-kannya kepada pengadilan. Kemudian pengadilan meminta suami tersebut untuk memberikan nafkah wajib pada isterinya. Apabila suami tetap tidak memberi nafkah isterinya lebih dari enam bulan, maka istri berhak untuk mengajukan perceraian. f. Hak Bekerja Istri Iran memberikan hak bekerja bagi istri. Namun, ada ketentuan yang membo-lehkan suami melarang istrinya bekerja pada suatu profesi yang tidak diinginkan-nya. Karena profesi tersebut dipandang tidak sesuai dengan visi keluarga atau dengan martabat dirinya sendiri sebagai perempuan atau isteri. g. Perceraian Hukum Family Protection Act Iran telah meniadakan hak suami menyatakan talak secara sepihak. Pernyataan pasal 8, bahwa setiap perceraian, harus ada permohonan pada pengadilan terlebih dahulu, agar pengadilan mengeluarkan sertifikat ‘tidak dapat berdamai kembali.’ Pengadilan akan mengeluarkan sertifikat tersebut setelah berupaya secara maksimal, tetapi tidak berhasil mendamaikan kedua-nya. Menurut Amandemen 1992, talak yang tanpa sertifikat (bukti talak) dari pengadilan tidak sah. h. Penyelesaian Perselisihan Melalui Arbitrator Jika pasangan suami istri meminta bantuan dalam penyelesaian perselisihan mereka, maka Pengadilan dapat menye-rahkan penyelesaiannya pada arbitrator (hakam). Pengadilan akan menangani sendiri kasus yang berkaitan dengan validitas perjanjian pernikahan dan perceraian yang rumit kasusnya, dan tidak perlu diserahkan pada Juru Damai. i. Hukum Waris Hukum waris diatur dalam pasal 86-93 Undang-Undang No. 188 Tahun 1959 dan lebih mencerminkan unifikasi syariat Islam mazhab Ja’fari. Adapun rukun-rukun waris dalam pasal 86 ayat (1): (1) Orang yang meninggal dan mewariskan disebut Murits; (2) Ahli waris, orang yang berhak dan masih hidup ketika Murits mati; (3) Ada harta yang ditinggalkan oleh Murits. Dalam Hukum Kewarisan lama Iran (The Civil Code, 1959: 67-68), istri yang mempunyai anak dapat bagian 1/8 warisan suaminya tanpa harta berupa tanah. Jika suami- istri tersebut tidak ada anak, maka bagian istri ½ dari tirkah. Pembagian sisanya melihat kondisi ahli waris yang ada, apabila ada ahli waris lain dari pihak almarhum suami, maka mereka mendapat sisanya. Tetapi jika tiada ahli waris lain, 1/2 harta tersebut diserahkan pada negara. Sebaliknya, apabila isteri yang meninggal dan pasangan itu tidak memiliki anak, suami mendapatkan seluruh harta almarhumah isteri. Jika mempunyai anak, suami hanya mendapat ¼ (pasal 91). Sedangkan dalam Hukum Kewarisan baru, hak waris suami dan istri setara, tidak lagi mengenal perbedaan jenis kelamin. Dalam The Civil Code tahun 2000 pasal 67-68, seorang istri akan mendapatkan seluruh warisan suaminya. Jadi, dalam Hukum Kewarisan baru, isteri berhak mendapat tanah suaminya, yang sebelumnya tidak mendapatkannya dalam Hukum Kewarisan lama.38 Ini merupakan ketentuan hukum progresif sebagai upaya menyetaraan bagian antara hak laki-laki dan perempuan. Hukum Keluarga Islam di Republik Iran telah mengalami perubahan yang signifikan mulai tahun 1906 atau tepatnya 1927 hingga 1979. Apabila dianalisa, perkembangan ini tidak berbeda dengan Negara-negara Islam lainnya, seperti di Mesir, Maroko maupun di Indonesia, dimana tidak dapat dilepaskan dari proses modernisasi karena proses itu melahirkan suatu situasi dan pengalaman yang berbeda. Di sinilah proses pembaharuan itu terjadi dengan alasan bahwa masyarakat menginginkan perubahan. Sedangkan dari segi pemerintahan, salah satu alasan utamanya adalah efisiensi birokrasi hukum dalam Reformasi hukum keluarga dan tata negara bangsa, serta modernisasi undangundang lokal disesuaikan dengan kepentingan humanisme tingkat global. Tuntutan ini telah mendorong negara-negara Muslim untuk memodifikasi hukum materiil dan melengkapi prosedur administrasi peradilan negara modern dengan melahirkan hukum acara Islam. Proses pembaharuan yang liberal di Iran ini tak lepas dari kepemimpinan Iran terutama sejak 1927 hingga 1979, yang menginginkan Iran maju dan modern seperti Barat. Selain penggubalan Undang-Undang Islam, termasuk juga hukum keluarga dikodifikasi kemudian berubah menjadi Protection of Family tahun 1975. Selain itu, mulai tahun 1925-1979, ada larangan pemakaian jilbab dan yang berjilbab disanksi. Jadi era itu perempuan Iran diberi kebebasan, dengan gaya busana layaknya bintang Hollywood. Perempuan Iran tak ragu berbusana kasual, dan rambut yang ditata dengan ber- make up wajah. Larangan jilbab ini sempat mendapat kecaman dari ulama, tetapi ulama yang dipandang melawan rezim akhirnya disingkirkan.
4. Perkembangan Hukum Keluarga di Pakistan, baik dalam perundang-undangan
maupun isu-isu kontemporernya Pakistan atau resminya bernama Republik Islam Pakistan adalah sebuah Negara di Asia Selatan berpenduduk 179, 2 juta jiwa pada tahun 2012, sehingga merupakan Negara Muslim terbesar kedua di dunia setelah Indonesia. Sebanyak 97 persen penduduknya beragama Islam, selebihnya ber agama Kristen, Hindu dan Parsian. Sebagian terbesar penduduk Muslim itu penganut ahli Sunnah wal Jamaah dengan mazhab Hanafi, hanya sekitar 10-15 persen penganut Syiah. Pakistan merdeka dari penjajahan Inggris pada tanggal 14 Agustus 1947, sama dengan kemerdekaan India, dan semula terdiri atas dua bagian yaitu Pakistan Barat dan Pakistan Timur. Pada tahun 1971 terjadi perang saudara dan Pakistan Timur memisahkan diri menjadi Negara Bangladesh, sehingga Pakistan sekarang adalah praktis Pakistan Barat dulu. Pakistan berbatasan dengan India pada sebelah Timur, Iran pada sebelah Barat, dan Afganistan serta Tajikistan pada sebelah Utara. Semula ibu kotanya adalah Karachi kemudian dipindahkan ke Islamabad. Bangsa Pakistan mempunyai adat dan budaya yang amat beragam. Landasan hukum utama Hukum Keluarga di Pakistan setelah merdeka adalah Muslim Family Law Ordinance (MFLO) tahun 1961. Selain itu terdapat beberapa perundangan yang diberlakukan baik sebelum maupun setelah merdeka yang terkait dengan hukum keluarga di Pakistan, yaitu: 1). Cast Disabilities Removal Act 1850; 2). Child Marriage Restraint Act 1929; 3). Christian Marriage 1872; 4). Majority Act 18758). 5). Guardians and Wards Act 1890; 6). Child Marriage Restraint Act 1929; 7). Dissolution of Muslim Marriages Ac 1939; 8). (West Pakistan) Muslim Personal Law (Shariat) Application Act 1962; Sejak sebelum merdeka, semasa masih berada di bawah jajahan Inggris, orang-orang Islam di India itu telah memiliki sebuah UU tentang hukum keluarga yaitu UU Penerapan Hukum Status Pribadi Muslim (Muslim Personal Law Application Act) tahun 1937. Kecuali soal-soal yang terkait tanah dan pertanian yang diatur secara hukum adat, UU tahun 1937 itu mengatur mengenai persoalan-persoalan keluarga dan waris. UU kedua yang mengatur hukum keluarga bagi orang-orang Islam di India ialah UU Perceraian Orang-orang Islam (Dissolution of Muslim Marriages Act) tahun 1939 yang juga memberikan kedudukan hukum lebih baik kepada perempuan dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan dengan alasan-alasan yang dibenarkan. Kiranya perlu dicatat bahwa dalam mazhab Hanâfiah yang dianut oleh kebanyakan orang- orang Islam India, inisiatif perceraian tidak boleh diambil oleh pihak isteri. Perlu juga dicatat bahwa untuk menyiasati pendapat mazhab Hanâfi yang demikian itu maka dahulu sering terjadi seorang perempuan muslimah menyatakan keluar dari agama Islam dengan maksud hanya untuk memperoleh fasakh (bubarnya perkawinan otomatis karena terjadinya perbedaan agama), meskipun setelah itu ia menyatakan kembali masuk Islam. Selain UU tahun 1937 dan 1939 itu terdapat satu UU lagi yang berkait dengan hukum keluarga Islam di Pakistan yaitu UU tentang Child Marriage Restraint Act (UU Larangan Perkawinan Anak di Bawah Umur) tahun 1929. Pada waktu itu terdapat tradisi kuat baik di kalangan orang Islam maupun Hindu untuk mengawinkan anakanak mereka yang masih di bawah umur. Praktik ini kemudian dilarang yang tentu saja dampaknya kemudian diaturnya batas minimum umur kawin, termasuk dalam MFLO tahun 1961. Pakistan memiliki UUD yang pertama, setelah tiga buah rancangan UUD sebelumnya ditolak pada tahun 1949, 1950, dan 1952. Semangat dari UUD 1956 itu ialah bahwa semua hukum warisan zaman penjajahan Inggris yang masih berlaku akan diganti dengan hukum baru yang berdasarkan atau berorientasi kepada hukum Islam. Praktis UUD 1956 itu hanya dipersiapkan dalam dua tahun yaitu tahun 1953 dan 1954. Penyiapan UUD pertama Pakistan itu memakan waktu demikian lama, karena adanya perdebatan di kalangan elit Pakistan di sekitar persoalan apakah Pakistan itu akan menjadi Negara sekuler bagi orang-orang Islam di Pakistan ataukah menjadi Negara Islam. Ketika MFLO diberlakukan pada tahun 1961 ternyata tidak semua rekomendasi Komisi tersebut ditampung di dalamnya, sehingga membuat orang berkesimpulan bahwa MFLO 1961 adalah hasil kompromi antara kelompokkelompok Muslim modernis dan konservatif di Pakistan. Dalam MFLO 1961 dan berbagai peraturan perundangan terkait, termasuk beberapa amandemennya, terdapat sejumlah hal penting yang diatur tentang hukum keluarga di Pakistan, yaitu: a. Batas usia minimum perkawinan Mengenai berbagai hal terkait batas usia minimum kawin diatur dalam UU No. 29 tahun 1929 tentang larangan pernikahan anak (Child Marriage Restraint Act) sebagaimana diamandemen oleh Ordonansi No. 8 tahun 1961 (MFLO). Dalam UU itu didefinisikan bahwa anak (child) adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun bagi laki-laki dan di bawah 16 tahun bagi perempuan. Adapun perkawinan anak (perkawinan di bawah umur) ialah perkawinan yang salah satu dari pengantin laki-laki atau perempuan berusia anak-anak sebagaimana didefinisikan tersebut. Kemudian “minor” didefinisikan sebagai seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, yang berusia di bawah 18 tahun. Nampaknya UU ini membedakan antara “child” dan “minor”. 6 Selanjutnya MFLO mengatur bahwa seorang laki-laki berumur lebih dari 18 tahun yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan berumur di bawah 16 tahun, diancam dengan hukuman penjara paling lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu Rupee atau kedua-duanya, kecuali ia mempunyai bukti-bukti yang meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya bukanlah perkawinan di bawah umur (child marriage). b. Kewajiban pencatatan perkawinan Mengenai pencatatan perkawinan MFLO mengaturnya melalui Section 5 bahwa setiap peristiwa perkawinan harus dicatat oleh petugas yang ditetapkan pemerintah. Jika perkawinan itu terjadi di luar Pakistan maka satu lembar tembusan pencatatan itu disampaikan kepada petugas pencatat nikah di wilayah di mana si pengantin perempuan bertempat tinggal. Kelalaian mencatatkan perkawinan diancam dengan hukuman penjara tiga bulan bagi pengantin laki-laki dan/atau denda paling banyak 1000 Rupee, meskipun ada atau tidaknya pencatatan perkawinan itu tidak mempengaruhi ke absahan perkawinan tersebut secara agama Islam. c. Kewajiban memperoleh izin Dewan Arbitrasi bagi pria untuk melakukan poligami Terkait poligami, MFLO 1961 mengatur bahwa seorang laki-laki yang masih ter ikat dalam suatu ikatan perkawinan di larang melakukan perkawinan lagi dengan perempuan lain, kecuali setelah mendapat izin isterinya dan izin dari Dewan Arbitasi. Barang siapa yang melanggar ketentuan tersebut, yakni melakukan akad nikah tanpa izin isteri dan Dewan Arbitrasi, diancam dengan hukuman kewajiban membayar secara sekaligus seluruh hutang mahar yang belum terbayar, dan hukuman penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak 5000 Rupee atau kedua-duanya. d. Kewajiban melaporkan peristiwa talak kepada pejabat berwenang agar ia dapat segera membentuk Dewan Arbitrasi selaku Dewan Hakam Terkait pengaturan perceraian dan poligami, terdapat inovasi yang menarik dari MFLO ini yaitu dibentuknya sebuah Dewan Arbitrasi (Arbitration Council) yang keanggotaannya terdiri atas seorang ketua yang diangkat dari unsur pemerintah dan dua orang anggota yang masing-masing mewakili keluarga pihak suami dan pihak isteri. Mungkin ini semacam bentuk implementasi dari konsep “hakam” yang terdapat di dalam Alquran. Jika seorang suami hendak menceraikan isterinya maka setelah mengucapkan talaknya ia harus segera memberitahukan secara tertulis kepada ketua Dewan Arbitrasi mengenai telah terjadinya pengucapan talak itu, kemudian salinan dari surat pemberitahuan itu disampaikan kepada isterinya. Kegagalan melaporkan secara tertulis kepada Dewan Arbitrasi itu, suami diancam dengan hukuman penjara paling lama satu tahun dan dendiia paling banyak 5000 Rupee, atau dengan kedua-duanya. e. Ancaman sanksi atas pelanggaran batas maksimal nilai maskawin dan biaya perkawinan serta pelanggaran lainnya Terkait mahar dalam perkawinan, di Pakistan terdapat tradisi di mana para orang tua calon mempelai perempuan berlombalomba menetapkan jumlah mahar dan pemberian- pemberian lainnya di seputar perkawinan yang amat tinggi nilainya sehingga dapat memberatkan pihak keluarga laki-laki. Itulah sebabnya telah dikeluarkan sebuah UU tersendiri yang mengatur batas maksimum nilai mahar dan biaya perkawinan itu, bukan batas minimumnya. UU itu disebut Dowry and Bridal Gift (Restriction) Act tahun 1976 yang kemudian diamandemen dengan Ordinance No. 36 tahun 1980. Dalam UU itu disebutkan bahwa selain mahar yang wajib dalam setiap akad nikah, terdapat pemberianpemberian lain diseputar perkawinan f. Kehadiran ahli waris pengganti Terkait sistem kewarisan MFLO Section 4 mengatur tentang bagian warisan bagi cucu yang orang tuanya meninggal terlebih dahulu sebelum meninggalnya kakek atau neneknya. Dalam kitab-kitab fikih klasik hal ini tidak diatur dan dianggap sudah jelas, karena dalam Islam prinsipnya orang yang telah meninggal dunia terlebih dahulu tidak menerima warisan dari orang yang meninggal dunia kemudian. Pada masa lalu, ketika sistem kekeluargaan bersifat extended family (apalagi dalam sistem kesukuan) di mana cucu yatim biasanya menjadi tanggung jawab pamannya maka sistem pembagian waris demikian itu tidak menjadi persoalan. Pakistan tidak mengadopsi sistem wasiat wajibah ini, melainkan melalui Section 4 MFLO tahun 1961 yang memberlakukan ketentuan yang disebutnya sebagai inheritance by right yaitu bahwa cucu yang demikian itu memperoleh bagian warisan dari harta warisan nenek atau kakeknya sama persis jumlahnya dengan jumlah yang akan diterima orangtuanya apabila ia belum meninggal dunia.
5. Perkembangan Hukum Keluarga di Turki, baik dalam perundang-undangan maupun
isu-isu kontemporernya Turki, merupakan negara yang berdiri di atas reruntuhan Imperium Turki Usmani yang berkuasa hampir enam abad lamanya (1342±1924 Masehi). Imperium Turki Usmani mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sulaiman alQanuni. Wilayahnya meliputi Asia kecil, Syiria, Iraq, Mesir, Afrika Utara, wilayah pesisir Arabia, Azarbaijan, Balkan, Hungaria, dan wilayah-wilayah kecil di Volga dan wilayah diperbatasan selatan Rusia. Selain kemajuan dalam bidang militer, juga kemajuan dalam bidang administrasi, institusi sosial, arsitektur dan pekerjaan umum. Istanbul, ibu kota Turki Usmani, menjadi satu diantara kota-kota terbesar di dunia. Turki Usmani mempertahankan ajaran Islam Ortodoks dan sekaligus mencerminkan corak keislaman masyarakat Turki, yang mana utamanya mereka bertindak sebagai muslim, kemudian baru atas nama bangsa Turki Bagi Muslim Turki, Hanafi adalah mazhab yang dijadikan rujukan secara formal sampai tahun 1926. Walaupun 96% dari seluruh jumlah penduduknya beragama Islam, banyak di antara mereka yang secara sadar tidak menjalankan ajaran Islam, sebagai akibat dari kebijakan sekularisasi yang diterapkan pada abad 20. Sisanyaterdiri dari berbagai kelompok, seperti Yahudi, Katolik Roma, dan pengikut beberapa kelompok Ortodoks Timur. Sejak tahun 1876 Turki Usmani telah menetapkan Undang-undang Sipil Islam (Majallat al-Ahkam al-Adliya) yang diadopsi dari hukum-hukum pada berbagai mazhab dan sebagian diambil dari materi hukum Barat. Namun Undang-undang itu kurang lengkap karena tidak mencantumkan hukum keluarga dan hukum waris. Seluruh materi hukum yang ada pada Majallat al-Ahkam al-Adliya ini belum sempat direformasi dan belum diundangkan sampai abad ke-20. Untuk kasus-kasus yang berhubungan dengan hukum keluarga dan hukum waris, diatur secara resmi oleh pemerintah dengan mengadopsi penuh dari mazhab Hanafi. Untuk kasus- kasus yang berhubungan dengan hukum keluarga dan hukum waris, diatur secara resmi oleh pemerintah dengan mengadopsi penuh dari mazhab Hanafi. Dirasa adanya penjajahan terhadap hak-hak perempuan, terutama dalam 6 masalah perceraian, maka pada tahun 1915 pemerintah mengijinkan untuk diadakannya reformasi hukum keluarga. Setidaknya ada 2 kasus yang menjadi alasan mendasar diadakannya perubahan, yaitu : pertama, kasus dimana seorang suami mengkhianati isterinya sehingga isteri tidak mendapat nafkah sebagai haknya, dan kedua, kasus dimana sang suami menderita penyakit tertentu yang bisa mengganggu kelangsungan perkawinannya terhadap hak-hak perempuan, terutama dalam 6 masalah perceraian, maka pada tahun 1915 pemerintah mengijinkan untuk diadakannya reformasi hukum keluarga. Setidaknya ada 2 kasus yang menjadi alasan mendasar diadakannya perubahan, yaitu : pertama, kasus dimana seorang suami mengkhianati isterinya sehingga isteri tidak mendapat nafkah sebagai haknya, dan kedua, kasus dimana sang suami menderita penyakit tertentu yang bisa mengganggu kelangsungan perkawinannya. Sebelumnya, isteri tidak punya hak sama sekali untuk mengajukan perceraian, wewenang penuh ada pada suami. Akhirnya pada tahun 1917, diresmikan Undang-Undang Hukum Keluarga yang diambil dari berbagai mazhab dengan menggunakan prinsip tahayyur (eclectic choice). Undang- undang tersebut diberi nama The Ottoman Law of Family Rights atau Qanun Qarar al-Huquq al-‘AilahUsmaniyyah. Undang-undang Ottoman ini terdiri dari 156 pasal minus pasal mengenai waris. Meski tidak mengkodifikasi masalah waris, namun ini adalah terobosan awal bagi perkembangan hukum keluarga di dunia Islam. Pergolakan politik yang terjadi di Turki pada saat itu, sangat mempengaruhi stabilitas perundang-undangan. Terutama ketika isu Turki Modern mulai mengemuka, UU ini sempat dibekukan pada tahun 1919, dengan harapan akan dapat diganti dengan UU yang lebih komprehensif. Pada tahun 1923 pemerintah membentuk panitia untuk membuat draft Undang-undang baru. Akan tetapi, para ahli hukum yang diserahi tugas tidak berhasil mencapai yang dimaksud. Akhirnya Turki mengadopsi The Swiss Civil Code Tahun 1912, yang dijadikan UU Sipil Turki (The Turkish Civil Code of 1926), dengan sedikit perubahan sesuai dengan tuntutan kondisi Turki. Beberapa ketetapan yang dianggap bertentangan dengan konsep Islam tradisional, beberapa mazhab mempertimbangkannya untuk dilakukan amandemen. Keseriusan ini terlihat ketika UU Sipil 1926 ini diamandemen sebanyak enam kali dari tahun 1933-1956 agar dicapai satu kesepakatan dan kesesuaian antara UU Sipil dengan konsep-konsep Islam. UU Sipil Turki 1926 ini memuat tentang perkawinan, perceraian, hubungan keluarga dan kewarisan. Di samping itu juga memuat tentang kontrak dan obligasi. a. Pertunangan Khitbah adalah permintaan pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk dijadikan isteri melalui cara yang diketahui oleh beberapa pihak (Sayid Sabiq, tt: 150). Hukum Keluarga Turki tidak menganjurkan untuk diadakannya pesta seremonial tertentu pra pernikahan (Tahir Mamood, 1972: 19). Karena khitbah ini bertujuan untuk saling menjajaki antara pasangan calon pengantin, jadi ada kemungkinan setelah pertunangan ini akan semakin kuat ikatan batin antara keduanya atau akan menggagalkan rencana pernikahan karena ada ketidakcocokan dari masing-masing pihak. b. Usia Pernikahan Undang-undang Turki menyebutkan batas minimal umur pernikahan seorang gadis adalah 17 tahun dan 18 tahun untuk seorang laki-laki. Namun dalam kasuskasus tertentu, pengadilan dapat mengijinkan pernikahan anak laki-laki 15 tahun dan perempuan berusia 14 tahun, setelah mendapat keterangan dari orang tua mereka. Setelah dilakukan amandemen tentang batas-batas umur perkawinan, maka yang tertera dalam UU SipilTurki 1926 adalah : Seorang laki-laki dan seorang perempuan tidak dapat menikah sebelum berumur 17 dan 15 tahun. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu, pengadilan mengijinkan terjadinya pernikahan umur 15 tahun laki-laki dan 14 tahun bagi perempuan, setelah adanya konsultasi / ijin dari wali atau orang tuanya. c. Larangan Melakukan Pernikahan UU Turki menetapkan beberapa katagori larangan larangan dalam penyatuan melalui ikatan pernikahan. Yaitu dimana calon mempelai masih mempunyai hubungan darah dalam garis langsung, saudara laki-laki, perempuan, bibi, paman, keponakan, saudara seibu, saudara seayah, dan juga melalui perkawinan. Pengadilan Turki juga mengenalkan adopsi secara khusus. Dalam pengadilan, adopsi disebut sebagai salah satu penghalang pernikahan, walaupun secara legal dalam yurisprodensi Islam tidak disebutkan. Pasal 121 UU Turki menegaskan bahwa adopsi dapat dihentikan oleh fakta pernikahan atau sebuah pernyataan bahwa pernikahan pernah terjadi. d. Poligami UU Turki melarang adanya perkawinan diatas perkawinan yang masih berlaku. Jadi sebelum adanya pernyataan tentang bubarnya perkawinan yang pertama, baik karena kematian, perceraian atau pembatalan perkawinan, perkawinan yang kedua dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan atas dasar orang tersebut telah mempunyai kehidupan pernikahan yang masih berlaku. Turki merupakan negara Muslim pertama yang secara resmi melarang poligami. Adapun yang termaktub pada UU sebelumnya yaitu The Ottoman Law of Family Rights tahun 1917, pasal 74 menjelaskan bahwa suami boleh poligami dengan syarat harus berlaku adil kepada para isterinya. Tetapi isteri berhak membuat taklik talak pada waktu akad nikah bahwa suaminya tidak akan menikah lagi. Kalau suami melanggar, maka isteri berhak minta cerai. e. Resepsi Pernikahan Disebutkan dalam UU Sipil Turki, bahwa resepsi pernikahan boleh dirayakan sesuai dengan agama yang dianut, hanya saja, sebaiknya syarat-syarat formalitas seperti pendaftaran atau pencatatan perkawinan dipenuhi dulu sesuai dengan peraturan yang berlaku. Para ulama sepakat bahwa penyelenggaraan Walimatul Urs 10 adalah sunat muakkad, sementara menghadiri undangannya adalah wajib. Kecuali menurut Hanafi bahwa menghadiri undangan hukumnya sunnah. F. Pembatalan Pernikahan Pasal 112 UU Sipil Turki menyebutkan bahwa pernikahan harus dibatalkan bila dalam kondisi : 1). Salah satu pihak telah berumah tangga saat menikah, 2). Pada saat menikah salah satu pihak menderita penyakit jiwa, 3). Termasuk dalam pernikahan yang dilarang. Menurut mazhab Hanafi, pernikahan dianggap batal apabila ada rukun dan syarat pernikahan yang tidak dipenuhi. Bila hal itu terjadi, dan pasangan telah melakukan hubungan suami isteri, hakim harus memisahkan secara paksa dan tidak berlaku iddah bagi wanitanya. g. Pernikahan yang Tidak Sah UU Turki memberi kewenangan kepada pengadilan untuk menyatakan ketidakabsahan suatu pernikahan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut : 1). Pada saat pernikahan, salah satu pihak merasa dirugikan karena alasan alasan tertentu, 2). Salah satu pihak pada dasarnya tidak punya keinginan sungguh-sungguh untuk menikah dengan pasangannya. 3). Salah satu pihak mempunyai anggapan yang mendasar bahwa pasangannya tidak memiliki kualitas atau kriteria seperti yang diharapkan. 4). Salah satu pihak merasa tertipu dengan kepribadian/ karakter moralnya. 5). Salah satu pihak mempunyai penyakit yang membahayakan atau salah satu pihak masih di bawah umur, 6). Salah satu pihak menikah di bawah paksaan dan ancaman orang lain yang membahayakan hidupnya, kesehatannya atau membahayakan orang-orang yang dekat dengannya. h. Perceraian UU Turki menyebutkan tentang 6 alasan yang memungkinkan masing-masing pihak untuk mengajukan perceraian. Pengadilan juga membuka kemungkinan adanya rekonsiliasi antar pihak. Namun jika rekonsiliasi tak terjadi, maka tetap perceraian bisa terjadi. Keenam alasan tersebut adalah : 1). Salah satu pihak telah melakukan perselingkuhan/perzinahan, 2). Salah satu pihak menyakiti pihak lain, yang menyebabkan luka-luka, 3). Salah satu pihak melakukan tindakan kriminal yang mengganggu kelangsungan hubungan perkawinan, 4). Salah satu pihak meninggalkan tempat tinggal dengan alasan yang tidak jelas, sampai batas waktu sekurang-kurangnya 3 bulan, 5). Salah satu pihak mempunyai penyakit jiwa yang membahayakan kehidupan perkawinan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter dalam waktu sekurang-kurangnya 3 tahun, 6). Perselisihan antara suami isteri yang terjadi terus menerus yang sudah tidak bisa didamaikan lagi. i. Kompensasi (Ganti Rugi) dalam Perceraian Pengadilan menetapkan bahwa pihak yang bersalah membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan secara fisik, keuangan, atau dirugikan reputasinya. Aturan tambahan dari UU Sipil Turki yang memberikan hak kepada pengadilan untuk mengatur bahwa pihak yang diceraikan tidak peduli bersalah atau tidak, harus diberi ganti rugi oleh pihak yang menceraikan selama pihak pertama belum menikah lagi dalam periode tak lebih dari 1 tahun dari tanggal perceraian . j. Hukum Waris Tentang Kewarisan dalam UU Sipil Turki diatur dalam buku ketiga. Buku ini memuat tentang aturan kewarisan tanpa wasiat, yang diadopsi dari UU Sipil Swiss. Undang-undang ini sekaligus menggantikan UU Hanafi yang berlaku sebelumnya hingga tahun 1926. Dalam UU kewarisan ini, prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan warisan, berbeda dengan apa yang ada dalam hukum Islam, dimana laki-laki dan perempuan mendapatkan bagian yang sama. Sedang dalam Alquran, laki-laki mendapat bagian dua kali dari yang diterima perempuan.