Latar Belakang
PEMBAHASAN
Banyak biografi tentang Toshihiko Izutsu yang telah ditulis, baik dalam
media cetak maupun elektronik. Untuk lebih menambah wawasan, maka saya
mengambil biografi Toshihiko Izutsu dari sebuah jurnal Qur’anic Studies,
Edinburgh University.
Mentor awal yang penting juga bagi Izutsu adalah Musa Carullah Bigiyef
seorang ulama dan reformis,2 dimana Izutsu belajar al-kitab Sibawayhi dan Shahih
Muslim serta sya’ir-syair arab sebelum kedatangan Islam. Izutsu belajar Sastra
Inggris di Universitas Keio dan pada tahun 1942, mulai bekerja sebagai seorang
ahli dalam bahasa Timur di Universitas Institut Kebudayaan dan Linguistic
Studies. Dia menjadi Kepala Departemen Studi Arab pada tahun 1945. Pada tahun
1950 Izutsu menjadi Asisten Profesor, tahun 1954 ia diangkat sebagai Profesor di
Keio dan bekerja di sana sampai 1968.3
1
Revolusi Bolshevik atau dikenal juga dengan Revolusi Oktober adalah revolusi yang
dilakukan oleh pihak komunis Rusia, di bawah pimpinan Lenin. Setelah merebut kekuasaan di
Petrograd, ibu kota Rusia kala itu, mereka menggulingkan pemerintahan nasionalis di bawah
pimpinan Alexander Kerensky yang mulai memerintah sejak bulan Februari. Pemerintahan ini
diangkat setelah Tsar Nikolas II dari Rusia turun takhta karena dianggap tidak kompeten.
Amerika Serikat yang saat itu sedang menjalankan perjanjian dengan pemimpin Rusia, Tsar
Nikolai II, secara otomatis kehilangan perjanjian tersebut karena kaum Bolshevik mengambil alih
pemerintahan dan menghilangkan kuasa dari Tsar Rusia saat itu.
2
Musa Carullah lahir di Rusia pada tahun 1875 dan meninggal di Mesir pada tahun 1949. Ia
dianggap salah satu ulama terkemuka saat itu. Ia dididik dalam Madaris di Bukhara(Uzbekistan
saat ini) dan menerbitkan banyak jurnal, surat kabar dan buku. Dia terutama bekerja pada sejarah
teks Alquran, masa depan umat Islam di Rusia, status perempuan dalam Islam, dan berbagai
masalah hukum. Ia menerjemahkan al-Qur'an kedalam bahasa tatar atau Turki.
3
Ismail Albayrak, The Reception of Toshihiko Izutsu’s Qur’anic Studies in the Muslim
World: With Special Reference to Turkish Qur’anic Scholarship, Journal of Qur’anic Studies 14.1
(2012), Edinburgh University Press, Skotlandia.
Arkoun. Dia meninggalkan Iran pada malam tahun 1979, ketika berkecamuknya
Revolusi Iran dan pindah ke Jepang, dimana ia diangkat sebagai Profesor
Emeritus di Universitas Keio tahun 1982. Ia menerbitkan berbagai buku selama
periode ini dan meninggal di rumah pada 7 Januari 1993.4
Ada beberapa alasan mengapa hasil penelitian Izutsu ini menarik untuk
dikaji. Pertama, Izutsu merupakan sosok intelektual yang dikenal memiliki
pengetahuan yang baik tentang Islam. Toshihiko Izutsu adalah tokoh utama
pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius tidak hanya
dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Izutsu juga didukung dengan
penguasaanya lebih dari tiga puluh bahasa dunia termasuk Yahudi, Persia, Cina,
Turki, Sansekerta, dan Arab, serta beberapa bahasa Eropa modern.
4
Ibid.
relatif dapat bersikap lebih netral terhadap data-data historis yang tersimpan
dalam karya-karya kaum Muslim sendiri.5
5
Machasin, ―Kata Pengantar‖ untuk edisi terjemahan bahasa Indonesia dalam Toshihiko
Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung, diterjemahkan oleh
Agus Fahri Husein, dkk., Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. xiii.
6
Dra. Novi Resmini, M.Pd, Bahan Belajar Mandiri (BBM) VIII, Unsur Semantik dan Jenis
Makna, pdf file on file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/KEBAHASAAN_I/BBM_8.pdf, t.t. hal,
44
tetapi lebih penting lagi, pengkonsepan dan penafsiran dunia yang
melingkupinya.7
Lebih lanjut Izutsu mengatakan bahwa kata-kata atau konsep dalam al-
Qur’an itu tidak sederhana. Kedudukanya masing-masing saling terpisah, tetapi
sangat saling bergantung dan menghasilkan makna konkret justru dari seluruh
sistem hubungan itu. Dengan kata lain, kata-kata itu membentuk kelompok-
kelompok yang bervariasi, besar dan kecil, dan berhubungan satu sama lain
dengan berbagai cara, demikianlah pada akhirnya menghasilkan keteraturan yang
menyeluruh, sangat kompleks dan rumit sebagai kerangka kerja gabungan
konseptual.8 Hubungan antara kata inilah yang akan diteliti disamping mengetahui
makna dasar dari kata tersebut.9
Contohnya kata ‘yaum’ yang memiliki arti kata dasar ‘hari’. Hal ini akan
berlaku bila kita menempatkan kata ini bersamaan dengan peristiwa yang biasa
dijalani, maka sifatnya netral dan berarti ‘hari’ sebagaimana biasanya. Bila kita
melihat variasinya dalam al-Qur’an, kita akan menemukan konsep ‘yaum’ sebagai
hari akhir dengan sedikit ditandai warna eskatologis. Pendek kata ‘al-yaum’ ‘hari’
dalam pengertian ini bukan hari biasa, tetapi ‘hari akhir’ atau ‘hari pengadilan’.11
Namun ada suatu ketika kekuatan modifikasi seluruh sistem pada kata itu
bekerja begitu kuatnya sehingga akhirnya hampir menghilangkan makna
7
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hal. 3
8
Ibid., Izutsu, hal. 4
9
Ibid., Izutsu, hal. 4
10
Ibid., Izutsu, hal. 12
11
Ibid., Izutsu, hal. 12
konseptual aslinya. Bila ini terjadi, kita mendapatkan sebuah kata yang berbeda.
Dengan kata lain, kita menyaksikan sebuah kelahiran kata baru.
Selanjutnya, perlu diingat bahwa salah satu konsep essensial dalam al-
Qur’an adalah kepercayaan atau keyakinan ‘iman’. Nah, disini kata ‘kafara’ mulai
sedikit-demi sedikit menyimpang dari arti aslinya yaitu tidak bersyukur dan
semakin dekat pada makna ‘tidak percaya’ sebagai pengingkaran terhadap konsep
iman. Kini kafara bukan lagi lawan kata dari syakaro, melainkan lawan kata dari
aamana yang berarti menolak keimanan atau keluar dari iman.
Izutsu melanjutkan bahwa yang dicari bukan hanya relasi kata tersebut
dengan kata lainya atau dalam bentuk-bentuk tertentu dalam susunanya,
melainkan juga makna relasional yang kongkret, atau kristalisasi dari semangat
budaya dan refleksi yang terpercaya dari kecenderungan umum, keadaan
psikologik dan lainya dari masyarakat yang emmakai kata tersebut sebagai bagian
kosakatanya.
12
Ibid., Izutsu, hal. 14
benar-benar berhasil melakukanya, kombinasi dua aspek makna kata akan
memperjelas aspek khusus. Satu segi yang signifikan dengan budayanya, atau
pengalaman yang dilalui oleh budaya tersebut. Dan pada akhirnya, jika kita
mencapai tahap akhir, semua analisis akan membantu kita merekonstruksi pada
tingkat analitik struktur keseluruhan budaya itu sebagai konsepsi masyarakat yang
sungguh-sungguh ada. Inilah yang disebut Izutsu sebagai weltanschauung
semantik budaya.13
Analisis ini menurut penulis bermula dengan mencari makna dasar suatu
kata, kemudian mencari hubungan antara kata itu dengan kata yang lain yang
disebut makna relasional. Makna relasional ini secara tidak langsung akan
menggambarkan budaya pada masa dimana kata itu digunakan. Dengan
mengetahui budaya dari relasi kata tersebut, maka proses rekonstruksi budaya bisa
dilakukan yang mana rekonstruksi ini membentuk konsepsi masyarakat pada
masanya.
Dalam bab kedua ini Izutsu menerangkan tentang semantik sinkronik dan
diakronik yang akan digunakan dalam telaahnya terhadap istilah-istilah kunci
dalam al-Qur’an. Sebagaimana disinggung diatas, Izutsu mencoba menelaah
weltanschauung al-Qur’an melalui kosakata-kosakatanya.
13
Ibid., Izutsu, hal. 17
Beberapa kata dalam kelompok itu dapat berhenti tumbuh dalam pengertian
berhenti penggunaanya oleh masyarakat dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan
kata-kata lainya dapat terus digunakan dalam jangka waktu yang lama. Sekali lagi
kata-kata baru dapat melakukan debutnya di gelanggang pada titik waktu tertentu
dan memulai sejarahnya pada periode itu. 14
Kosakata yang terkumpul pada satu waktu membentuk jaringan dan pola
kalimat sebagai hasil budaya masyarakat. Dalam hal ini Izutsu menyebut sebagai
permukaan. Pada permukaan yang seperti itulah dan hanya pada permukaan itu
sajalah, kata-kata tersebut muncul dihadapan kita dalam bentuk jaringan konsep
yang rumit. Sehingga sudut pandang yang melintasi garis-garis historis kata-kata
tersebut memungkinkan kita dengan cara tersebut untuk memperoleh suatu sistem
kata yang statis, disebut singkronik.15
Kosakata dalam pengertian khusus ini, yakni permukaan kata yang statis,
sesungguhnya merupakan sesuatu yang artifisial. Ia merupakan kondisi statis yang
dihasilkan secara artifisial oleh satu pukulan dalam arus sejarah terhadap semua
kata-kata dalam bahasa pada suatu titik waktu tertentu. Lintas-bagian yang
dihasilkan memberikan kesan kepada kita sebagai sesuatu yang statis, namun
sebenarnya hanya tampaknya seperti itu. Dengan kata lain, ia hanya statis bila
dilihat dari sudut pandang makroskopik. Secara mikroskopik, permukaan tersebut
menggelegakkan kehidupan dan gerakan. Keadaan tersebut tampak sangat jelas
bila bahasa berada dalam periode kritis dan revolusioner.16
14
Ibid., Izutsu, hal. 32
15
Ibid., Izutsu, hal. 33
16
Ibid., Izutsu, hal. 33
bila kita melakukan pengkajian terhadap sejarah kata-kata berdasarkan seluruh
sistem statis. Dengan kata lain, bila kita membandingkan dua permukaan atau
lebih dari satu bahasa yang sama, maka akan memunculkan tahap-tahap sejarah
yang berbeda, yang satu sama lainya dipisahkan oleh interval waktu.17
1. Relasi Ontologis
Salah satu pertanyaan dasar dan selalu mengusik pikiran manusia dalam
weltanschauung religius dan filosofis adalah eksistensi manusia. Pertanyaan abadi
dan berulang-ulang adalah: Dari mana manusia berasal? Apa sumber wujudnya di
dunia ini? Menurut konsepsi al-Qur‘an, Allah adalah pencipta manusia. Dialah
sumber wujud yang menganugerahkan eksistensi kepada manusia. Jadi secara
ontologis, relasi antara Allah dan manusia adalah relasi antara sang pencipta
(khâliq) dan yang diciptakan (makhlûq).22
20
Ibid., Izutsu, hal. 35
21
Ibid., hal 79
22
Ibid., hal. 77-78
Manusia bukanlah satu-satunya ciptaan Allah. Dalam al-Qur‘an juga
ditegaskan bahwa Allah adalah pencipta alam semesta: mulai dari malaikat, jin,
langit dan bumi, matahari, bulan, siang dan malam, gunung dan sungai, pohon-
pohon, buah-buahan, biji-bijian, daun-daunan, hingga semua jenis binatang, dan
bahkan segala yang ada di alam semesta ini yang tak dapat disebutkan satu
persatu. Hal ini menunjukkan bahwa ada sebuah kekuatan yang dapat
menciptakan segala hal dan juga menjaganya, pencipta itulah Allah Swt Tuhan
semesta alam.
2. Relasi Komunikatif
23
Ibid., hal. 131
24
Ibid., hal. 79
komunikasi model ini terdapat masalah karena keduanya, yaitu Tuhan dan
manusia sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi ini, berada dalam
taraf ―eksistensi‘ yang berbeda. Tuhan berada dalam taraf ―eksistensi‖ supra-
natural, sementara manusia berada dalam taraf ―eksistensi‖ natural, sehingga
tidak ada keseimbangan ontologis antara keduanya. Oleh karena itu secara
teoritik, tidak mungkin terjadi pertukaran kata (al-taẖawwur), pengajaran (al-
ta’lîm), dan juga belajar (al-ta’llum).25
25
Ibid., hal. 183
26
Fathurrahman, Al-Qur'an dan Tafsirnya dalam Prespektif Toshihiko Izutsu, (Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2010), hal. 128
pengiriman wahyu yang berbeda-beda: (1) komunikasi misterius, (2) berbicara
dari balik tabir, (3) mengirimkan seorang utusan.27
Bila komunikasi linguistik dari Tuhan berupa wahyu, maka dari pihak
manusia berupa doa yang dipanjatkan ke hadirat-Nya. Menurut Toshihiko Izutsu,
doa dapat menjadi komunikasi dari manusia hanya terjadi dalam situasi yang
sangat istimewa, yakni ketika manusia mendapati dirinya berada dalam situasi
yang tidak wajar. Ketika jiwa manusia sedang tidak dalam keadaan sebagaimana
hari-harinya, maka ia berada dalam posisi yang dapat mengucapkan kata-kata
secara langsung kepada Tuhan. Dengan demikian, bahasa yang diucapkan
manusia secara spiritual menjadi lebih tinggi, dan doa merupakan percakapan
personal yang paling intim antara hati dengan Tuhan. Dengan mengutip al-
Kirmani, Toshihiko Izutsu mengatakan bahwa dalam situasi seperti itu manusia
bukan lagi manusia dalam pengertian umum, ia sudah mentransformasikan diri
menjadi sesuatu yang berada di atas dirinya.28
3. Relasi Tuhan-Hamba
30
Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 130
31
Ibid., hal. 79
32
Op. Cit., Izutsu..., hal.220
Artinya: Ya Tuhan Kami, Jadikanlah Kami berdua orang yang tunduk patuh kepada
Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu Kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan
tunjukkanlah kepada Kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji Kami, dan terimalah taubat
kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (al-Baqoroh:
128)
Hal lain yang menunjukkan bahwa istilah islâm sangat penting adalah
karena ia sebagai pengalaman batin religius yang bersifat personal pada tiap-tiap
orang, merupakan peristiwa penting yang menandai titik awal dimulainya
penyerahan dan kerendahan diri yang sesungguhnya. Ia menandai titik balik yang
menentukan dalam kehidupan seorang manusia. Sementara semua istilah al-
Qur‘an lainnya yang bermakna kepatuhan dan penyerahan diri sangat samar dan
ambigu. Istilah-istilah tersebut dapat memberikan kesan yang salah tentang
kepatuhan dan kerendahan diri sebagai sifat alamiah seseorang. Dalam struktur
semantiknya tidak terdapat momentum keputusan eksistensial, momentum
lompatan ke dalam bidang kehidupan yang tidak diketahui. Hanya kata islâm yang
berimplikasi demikian.33
33
Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 133
sifat yang dapat terjadi dalam diri seseorang yang berupa semangat kebebasan,
kesombongan, dan perasaan mulia yang menolak untuk tunduk di hadapan
penguasa manapun, baik manusia maupun Tuhan.34
4. Relasi Etik
Relasi ini didasarkan pada perbedaan yang paling dasar antara dua aspek
yang berbeda, yang dapat dibedakan dengan konsep Tuhan itu sendiri. Tuhan
yang kebaikanya tak terbatas, maha pengasih, pengampun dan penyayang di satu
sisi. Tuhan yang murka dan kejam serta sangat keras hukumanya di sisi yang lain.
Demikian pula, dari sisi manusia terdapat perbedaan dasar antara rasa syukur di
satu pihak (syukr), dan takut kepada tuhan (takwa) bersama-sama membentuk satu
kategori iman, dan ini akhirnya membentuk perbedaan yang tajam dengan kufr
baik dalam pengertian tidak bersyukur maupun ingkar.
Etika berkaitan dengan apa yang harus dilakukan oleh manusia terhadap
Tuhan berkaitan dengan perintah dan larangan Tuhan, maupun bagaimana Tuhan
berkehendak terhadap makhluk-Nya. Menurut Toshihiko Izutsu, terdapat tiga
kategori yang berbeda mengenai konsep etik di dalam al-Qur‘an, yaitu: pertama,
kategori yang menunjukkan dan menguraikan sifat Tuhan; kedua, kategori yang
menjelaskan berbagai macam aspek sifat fundamental manusia terhadap Tuhan;
dan ketiga, kategori yang menunjukkan tentang prinsip-prinsip dan aturan tingkah
laku yang menjadi milik dan hidup di dalam masyarakat Islam.35
Aspek Allah sebagai Tuhan yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha
Penyayang, dan Maha Pengampun kepada manusia ini disebutkan dalam al-
Qur‘an dengan kata kunci seperti ni„mah (kenikmatan), fadl (kemurahan hati),
rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan), dan sebagainya. Menurut
Toshihiko Izutsu, fakta yang menunjukkan bahwa Tuhan bersifat demikian dan
menunjukkan semua kebaikan dalam bentuk âyât ini hendaknya menentukan
respon yang benar di pihak manusia. Respon tersebut adalah syukr atau rasa
terima kasih atas karunia yang telah dianugerahkan Tuhan. Rasa terima kasih ini
hanya mungkin timbul bila manusia sudah mengerti makna âyât tersebut.36
34
Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 135
35
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concept in the Qur’an, hal. 18
36
Op. Cit., Izutsu..., hal.258
Konsep syukr sesungguhnya telah mengakar kuat pada masa jahiliyah.
Hal ini ditunjukkan oleh sajak karya seorang penyair dari suku Hudzail, syukr
bermakna sebagai ungkapan terima kasih terhadap pemberian (ni’mah) orang
lain.37 Dan konsep ini sangat mudah dipahami menggunakan logika sederhana,
yakni bila seseorang menunjukkan kemurahan, dalam pengertian
menganugerahkan ni’mah kepada anda, maka reaksi wajar yang harus anda
tunjukkan adalah berterima kasih. Ini dapat dikatakan sebagai aturan moral dasar
dalam hubungan antar sesama manusia. Akan tetapi, respon manusia terhadap
ni„mah tidaklah tunggal. Manusia kadang kala bahkan sering mengingkari (kufr)
atau menyikapi ni’mah dengan tidak berterima kasih. Contoh dalam al-Qur’an
adalah surah al-Zukhruf ayat 15, yakni:
Tidak berterima kasih terhadap anugerah atau ni’mah yang telah diterima
tentu saja merupakan reaksi alternatif yang menyalahi aturan moral dasar. Dengan
demikian, makna dasar syukr adalah respon positif manusia terhadap kebaikan
yang diperlihatkan orang lain. Lawannya adalah kufr, yang makna dasarnya
adalah tidak berterima kasih.
Aspek Tuhan yang keras, Tuhan yang akan membalas di Hari Pengadilan
dengan balasan yang sangat pedih (shadîd al-‘iqâb), Tuhan yang membalas
dendam (dzû intiqâm), Tuhan yang kemarahan-Nya (ghadab) akan melemparkan
siapa saja ke dalam kebinasaan hendaknya menjadikan manusia tidak menolak
untuk berserah diri ke hadapan Tuhan dan tidak lalai dalam hidupnya. Penekanan
mutlak terhadap penyerahan diri dan kesungguhan dalam hidup yang berdasarkan
kesadaran tentang Hari Pengadilan yang akan datang ini, menurut Toshihiko
Izutsu, merupakan makna asli taqwâ.38
37
Op. Cit., Izutsu..., hal.260
38
Op. Cit., Izutsu..., hal.262-263
Sebagaimana kata syukr, kata taqwâ ini juga telah dikenal pada masa
jahiliyah. Hal ini ditunjukkan oleh kata kerja ittaqâ yang merupakan salah satu
kata favorit dalam syair-syair pra-Islam. Hanya saja pada masa jahiliyah, kata ini
tidak dipergunakan dalam pengertian religius, kecuali mungkin di lingkungan
khusus, yakni di lingkungan orang-orang ẖanîf dan orang-orang yang secara nyata
telah terpengaruh oleh ajaran Yahudi. Dalam konsepsi jahiliyah, kata kerja ittaqâ
bermakna menjaga diri dari bahaya yang mengancam keselamatan dengan
sesuatu, baik berupa benda ataupun makhluk hidup. Dengan demikian, kata kerja
ittaqâ dalam konsepsi jahiliyah digunakan dalam pengertian fisik atau material,
atau paling tinggi diterapkan dalam konteks moral. Sementara dalam kasus al-
Qur‘an, istilah ittaqâ hampir selalu muncul dalam konteks religius.39
39
Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 141