Anda di halaman 1dari 20

KAJIAN ATAS KARYA TOSHIHIKO IZUTSU

PENDEKATAN SEMANTIK, GOD AND MAN IN THE QUR'AN

Latar Belakang

Sebagai sebuah Kitab Suci, al-Qur‘an ternyata sangat menarik perhatian


tidak saja umat Islam, namun juga non-Muslim. Kajian mengenai al-Qur‘an tidak
hanya dilakukan oleh umat Muslim, tapi juga oleh kalangan non-Muslim. Akan
tetapi kelompok yang disebutkan terakhir tidak memandang al-Qur‘an
sebagaimana kelompok pertama. Mayoritas kaum Muslim meyakini bahwa al-
Qur‘an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad melalui
perantaraan Jibril, kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya
secara mutawâtir, yang tertulis dalam mushaf dan membacanya dianggap ibadah.
Keyakinan demikian pada gilirannya menimbulkan ketertarikan dalam diri kaum
Muslim tersebut untuk memahami kandungan al-Qur‘an, sehingga melahirkan
karya melimpah yang terhimpun dalam kitab-kitab tafsir. Sementara non-Muslim
pada umumnya memandang al-Qur‘an bukanlah firman Tuhan, tapi sebagai
ucapan Muhammad.

Ketertarikan umat Muslim untuk mengkaji al-Qur‘an tentu saja tidak


menimbulkan keheranan, karena al-Qur‘an adalah kitab suci dan pedoman hidup
mereka. Sebaliknya, ketertarikan non-Muslim terhadap al-Qur‘an sering
mengundang tanda tanya. Apa motivasi yang mendorong mereka mendedikasikan
hidupnya untuk menggeluti al-Qur‘an, sementara dalam hati mereka tidak ada
keyakinan terhadap al-Qur‘an dan ajaran-ajarannya sebagai berasal dari Tuhan.

Walau begitu, beberapa non-muslim yang melakukan pengkajian


terhadap Islam terdapat beberapa hal yang layak diberi apresiasi. Salah satunya
adalah Toshihiko Izutsu yang mengkaji al-Qur’an lewat pendekatan semantiknya.
Makalh kali ini akan mencoba mengulas buku kedua Izutsu seorang sarjana
Jepang penganut Zen Budhism, dalam bukunya God and Man in the Qur’an:
Semantics of the Qur’anic Weltanschauung.

Dalam buku ini, Toshihiko Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai


konsep al-Qur‘an tentang relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan
manusia berdasarkan al-Qur‘an, menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu:
ontologis, komunikatif, tuan-hamba, dan etik.

Secara umum relasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:


Pertama, bahwa Tuhan adalah sumber wujud. Ia adalah pencipta segala yang ada,
termasuk manusia. Dengan demikian, secara ontologis, relasi antara Tuhan
dengan manusia adalah relasi antara pencipta dan makhluk. Kedua, antara Tuhan
(pencipta) dan manusia (makhluk) senantiasa terdapat jalinan komunikasi. Jalinan
ini memiliki dua bentuk, yaitu: bersifat verbal atau linguistik, dan non linguistik.
Ketiga, karena Tuhan adalah pencipta dan pemelihara manusia, maka manusia
harus tunduk dan mengabdi kepada-Nya dengan sepenuh hati, sebagaimana
seorang hamba mengabdi kepada tuannya. Dengan demikian relasi ini dapat
digambarkan sebagai relasi tuan-hamba. Dan keempat, menurut konsep al-Qur‘an,
Tuhan bersifat etik dan tindakannya terhadap manusia dilakukan dengan cara
yang etik. Sifat dan tindakan Tuhan tersebut membawa kepada pengertian yang
sangat penting bahwa manusia diharapkan untuk memiliki sifat etik dan merespon
tindakan Tuhan dengan cara yang etik pula.

PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Toshihiko Izutsu

Banyak biografi tentang Toshihiko Izutsu yang telah ditulis, baik dalam
media cetak maupun elektronik. Untuk lebih menambah wawasan, maka saya
mengambil biografi Toshihiko Izutsu dari sebuah jurnal Qur’anic Studies,
Edinburgh University.

Tohihiko Izutsu lahir pada 4 Mei 1914 di Tokyo, dimana ayahnya


merupakan master Zen dalam agama Budha. Izutsu telah diperkenalkan dengan
Zen Budha sejak usia dini dan ketertarikanya dengan agama Islam dimulai ketika
di duduk di bangku sekolah menengah atas. Secara periodik dia mengunjungi
masjid dan The Turkish Islamic Centre di Tokyo, mempelajari kedua bahasa baik
bahasa turki maupun bahasa arab disana. Perlu diketahui bahwa guru Islam
pertamanya adalah Tatar Turks yang berhasil melarikan diri dari Rusia setelah
Revolusi Bolshevik.1

Mentor awal yang penting juga bagi Izutsu adalah Musa Carullah Bigiyef
seorang ulama dan reformis,2 dimana Izutsu belajar al-kitab Sibawayhi dan Shahih
Muslim serta sya’ir-syair arab sebelum kedatangan Islam. Izutsu belajar Sastra
Inggris di Universitas Keio dan pada tahun 1942, mulai bekerja sebagai seorang
ahli dalam bahasa Timur di Universitas Institut Kebudayaan dan Linguistic
Studies. Dia menjadi Kepala Departemen Studi Arab pada tahun 1945. Pada tahun
1950 Izutsu menjadi Asisten Profesor, tahun 1954 ia diangkat sebagai Profesor di
Keio dan bekerja di sana sampai 1968.3

Izutsu mendapatkan beasiswa Rockefeller Fellow scholarship pada tahun


1959, ia menetap di Mesir dan Libanon hingga penghujung tahun 1961. Dia
menemui banyak ulama muslim disana, termasuk Rashid Ridha, Ibrāhīm
Madhkūr, Aḥmad Fuʾād Akhwānī and Muḥammad Kāmil Ḥusayn. Tahun 1962,
Izutsu diundang oleh Wilfred Cantwell Smith ke kanada, dimana dia dijadikan
profesor tamu di Universitas McGill hingga tahun 1969. Kemudian dia diberikan
mandat untuk mengajar full-time di program professor McGill dan bekerja disana
hingga 1974. Disana juga ia bertemu Seyyed Hossein Nasr, A. Rusen Sezer and
Hermann Landolt. Izutsu mengajar di cabang universitas McGill di Teheran sejak
1972. Di akhir tahun 1974, dia meninggalkan McGill atas undangan Hossein
Nasr. Ketika masih berada di Iran, dia juga bertemu dengan para akademisi seperti
Sayyid Jalāl al-Dīn Ashtiyānī, Henry Corbin, James Morris and Mohammed

1
Revolusi Bolshevik atau dikenal juga dengan Revolusi Oktober adalah revolusi yang
dilakukan oleh pihak komunis Rusia, di bawah pimpinan Lenin. Setelah merebut kekuasaan di
Petrograd, ibu kota Rusia kala itu, mereka menggulingkan pemerintahan nasionalis di bawah
pimpinan Alexander Kerensky yang mulai memerintah sejak bulan Februari. Pemerintahan ini
diangkat setelah Tsar Nikolas II dari Rusia turun takhta karena dianggap tidak kompeten.
Amerika Serikat yang saat itu sedang menjalankan perjanjian dengan pemimpin Rusia, Tsar
Nikolai II, secara otomatis kehilangan perjanjian tersebut karena kaum Bolshevik mengambil alih
pemerintahan dan menghilangkan kuasa dari Tsar Rusia saat itu.
2
Musa Carullah lahir di Rusia pada tahun 1875 dan meninggal di Mesir pada tahun 1949. Ia
dianggap salah satu ulama terkemuka saat itu. Ia dididik dalam Madaris di Bukhara(Uzbekistan
saat ini) dan menerbitkan banyak jurnal, surat kabar dan buku. Dia terutama bekerja pada sejarah
teks Alquran, masa depan umat Islam di Rusia, status perempuan dalam Islam, dan berbagai
masalah hukum. Ia menerjemahkan al-Qur'an kedalam bahasa tatar atau Turki.
3
Ismail Albayrak, The Reception of Toshihiko Izutsu’s Qur’anic Studies in the Muslim
World: With Special Reference to Turkish Qur’anic Scholarship, Journal of Qur’anic Studies 14.1
(2012), Edinburgh University Press, Skotlandia.
Arkoun. Dia meninggalkan Iran pada malam tahun 1979, ketika berkecamuknya
Revolusi Iran dan pindah ke Jepang, dimana ia diangkat sebagai Profesor
Emeritus di Universitas Keio tahun 1982. Ia menerbitkan berbagai buku selama
periode ini dan meninggal di rumah pada 7 Januari 1993.4

Izutsu telah menulis beberapa karya yang menyangkut tentang al-Qur’an,


diantara tulisan-tulisan yang diterbitkan adalah sebagai berikut:

1. The Structure of the Ethical Terms in the Quran: A Study in


Semantics (Tokyo: Keio University, 1959).
2. God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung
(Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1964)
3. The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantic Analysis of
Īmān and Islām (Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic
Studies, 1966).
4. Ethico-religious Concepts in the Qurʾān (Montreal: McGill University
Press, 1966)

Ada beberapa alasan mengapa hasil penelitian Izutsu ini menarik untuk
dikaji. Pertama, Izutsu merupakan sosok intelektual yang dikenal memiliki
pengetahuan yang baik tentang Islam. Toshihiko Izutsu adalah tokoh utama
pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius tidak hanya
dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Izutsu juga didukung dengan
penguasaanya lebih dari tiga puluh bahasa dunia termasuk Yahudi, Persia, Cina,
Turki, Sansekerta, dan Arab, serta beberapa bahasa Eropa modern.

Kedua, ia merupakan sarjana non Muslim yang dengan metode dan


pendekatan yang dipakainya – kalau dipandang dengan sikap tebuka, tanpa
kecurigaan akan tujuan-tujuan negatif yang tersembuyi – dapat membuka
cakrawala baru atau mengingatkan lagi pada khazanah yang selama ini terlupakan.
Di antara sebabnya, menurut Machasin, karena kalangan non Muslim (outsiders)

4
Ibid.
relatif dapat bersikap lebih netral terhadap data-data historis yang tersimpan
dalam karya-karya kaum Muslim sendiri.5

B. Metodologi Izutsu dalam memahami al-Qur’an

Izutsu menerangkan metodologi pembacaan teks al-Qur’an secara


gamblang terutama dalam dua buku karyanya yaitu: The Structure of Ethical
Terms in the Quran: A Study in Semantics dan God and Man in the Koran:
Semantics of the Koranic Weltanschauung. Izutsu mengatakan bahwa al-Qur’an
dapat didekati dengan sejumlah cara pandang yang beragam seperti teologi,
psikologi, sosiologi, tata bahasa, tafsir dan lain sebagainya. Izutsu sendiri
menggunakan pendekatan yang disebutnya sebagai pendekatan semantik untuk
kajian al-Qur’an. Analisis semantik atau konseptual digunakan untuk mengkaji
bahan-bahan yang disediakan oleh kosakata al-Qur’an. Dengan kata lain, semantik
merupakan metodologinya, sedangkan al-Qur’an merupakan materinya.

Semantik adalah cabang linguistik yang meneliti arti atau makna.


Semantik sebagai cabang ilmu bahasa mempunyai kedudukan yang sama dengan
cabang-cabang ilmu bahasa lainnya. Semantik berkedudukan sama dengan
fonologi, morfologi, dan sintaksis. Di sini, yang membedakan adalah cabang-
cabang ilmu bahasa ini terbagi menjadi dua bagian besar yaitu morfologi dan
sintaksis termasuk pada tataran gramatika, sedangkan fonologi dan semantik
termasuk pada tataran di luar gramatika. 6 Singkatnya, semantik adalah ilmu
bahasa yang mempelajari arti kata atau makna kata.

Izutsu sendiri memberikan penjelasan tentang semantik yang akan


digunakan dalam kajianya. Semantik yang dimaksud Izutsu adalah kajian analitik
terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya
sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia
masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak sebagai alat bicara dan berfikir,

5
Machasin, ―Kata Pengantar‖ untuk edisi terjemahan bahasa Indonesia dalam Toshihiko
Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung, diterjemahkan oleh
Agus Fahri Husein, dkk., Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. xiii.
6
Dra. Novi Resmini, M.Pd, Bahan Belajar Mandiri (BBM) VIII, Unsur Semantik dan Jenis
Makna, pdf file on file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/KEBAHASAAN_I/BBM_8.pdf, t.t. hal,
44
tetapi lebih penting lagi, pengkonsepan dan penafsiran dunia yang
melingkupinya.7

Lebih lanjut Izutsu mengatakan bahwa kata-kata atau konsep dalam al-
Qur’an itu tidak sederhana. Kedudukanya masing-masing saling terpisah, tetapi
sangat saling bergantung dan menghasilkan makna konkret justru dari seluruh
sistem hubungan itu. Dengan kata lain, kata-kata itu membentuk kelompok-
kelompok yang bervariasi, besar dan kecil, dan berhubungan satu sama lain
dengan berbagai cara, demikianlah pada akhirnya menghasilkan keteraturan yang
menyeluruh, sangat kompleks dan rumit sebagai kerangka kerja gabungan
konseptual.8 Hubungan antara kata inilah yang akan diteliti disamping mengetahui
makna dasar dari kata tersebut.9

Kemudian Izutsu membedakan antara makna dasar kata dan makna


relasional. Menurutnya, makna dasar kata adalah sesuatu yang melekat pada kata
itu sendiri, yang selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan. Sedang makna
relasional adalah sesuatu yang konotatif, yang diberikan dan ditambahkan pada
makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus dalam
bidang khusus, berada pada relasi yang berbeda dengan semua kata-kata penting
lainya dalam sistem tersebut.10

Contohnya kata ‘yaum’ yang memiliki arti kata dasar ‘hari’. Hal ini akan
berlaku bila kita menempatkan kata ini bersamaan dengan peristiwa yang biasa
dijalani, maka sifatnya netral dan berarti ‘hari’ sebagaimana biasanya. Bila kita
melihat variasinya dalam al-Qur’an, kita akan menemukan konsep ‘yaum’ sebagai
hari akhir dengan sedikit ditandai warna eskatologis. Pendek kata ‘al-yaum’ ‘hari’
dalam pengertian ini bukan hari biasa, tetapi ‘hari akhir’ atau ‘hari pengadilan’.11

Namun ada suatu ketika kekuatan modifikasi seluruh sistem pada kata itu
bekerja begitu kuatnya sehingga akhirnya hampir menghilangkan makna

7
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hal. 3
8
Ibid., Izutsu, hal. 4
9
Ibid., Izutsu, hal. 4
10
Ibid., Izutsu, hal. 12
11
Ibid., Izutsu, hal. 12
konseptual aslinya. Bila ini terjadi, kita mendapatkan sebuah kata yang berbeda.
Dengan kata lain, kita menyaksikan sebuah kelahiran kata baru.

Izutsu menerangkan contoh yang paling terkenal adalah kata kafara.


Kafara berarti tidak bersyukur untuk menunjukkan rasa tidak bersyukur terhadap
perbuatan baik atau pertolongan yang ditunjukkan oranglain. Kata ini berarti
berlawanan dengan kata ‘syakaro’ yang berarti bersyukur. Namun, ketika konsep-
konsep Islam masuk dan memberikan warna baru bagi kosakata bahasa arab,
kafaro tidak sesederhana sikap tidak bersyukur, tetapi tidak bersyukur kepada
Tuhan, atau lebih tepatnya lagi, mengingkari kebaikan-kebaikan Tuhan yang telah
diberikan kepadanya.12

Selanjutnya, perlu diingat bahwa salah satu konsep essensial dalam al-
Qur’an adalah kepercayaan atau keyakinan ‘iman’. Nah, disini kata ‘kafara’ mulai
sedikit-demi sedikit menyimpang dari arti aslinya yaitu tidak bersyukur dan
semakin dekat pada makna ‘tidak percaya’ sebagai pengingkaran terhadap konsep
iman. Kini kafara bukan lagi lawan kata dari syakaro, melainkan lawan kata dari
aamana yang berarti menolak keimanan atau keluar dari iman.

Izutsu melanjutkan bahwa yang dicari bukan hanya relasi kata tersebut
dengan kata lainya atau dalam bentuk-bentuk tertentu dalam susunanya,
melainkan juga makna relasional yang kongkret, atau kristalisasi dari semangat
budaya dan refleksi yang terpercaya dari kecenderungan umum, keadaan
psikologik dan lainya dari masyarakat yang emmakai kata tersebut sebagai bagian
kosakatanya.

1. Kosakata dan Weltanschauung

Analisis semantik bukanlah analisis sederhana mengenai struktur bentuk


kata maupun studi makna asli yang melekat pada bentuk kata itu atau analisis
etimologi. Etimologi hanya dapat memberikan petunjuk bagi kita untuk mencapai
makna ‘dasar’ kata. Analisis semantik lebih dari itu, jika diklasifikasi, ia diaku
sebagai ilmu budaya. Analisis unsur-unsur dasar dan relasional terhadap istilah
kunci harus dilakukan dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga jika kita

12
Ibid., Izutsu, hal. 14
benar-benar berhasil melakukanya, kombinasi dua aspek makna kata akan
memperjelas aspek khusus. Satu segi yang signifikan dengan budayanya, atau
pengalaman yang dilalui oleh budaya tersebut. Dan pada akhirnya, jika kita
mencapai tahap akhir, semua analisis akan membantu kita merekonstruksi pada
tingkat analitik struktur keseluruhan budaya itu sebagai konsepsi masyarakat yang
sungguh-sungguh ada. Inilah yang disebut Izutsu sebagai weltanschauung
semantik budaya.13

Analisis ini menurut penulis bermula dengan mencari makna dasar suatu
kata, kemudian mencari hubungan antara kata itu dengan kata yang lain yang
disebut makna relasional. Makna relasional ini secara tidak langsung akan
menggambarkan budaya pada masa dimana kata itu digunakan. Dengan
mengetahui budaya dari relasi kata tersebut, maka proses rekonstruksi budaya bisa
dilakukan yang mana rekonstruksi ini membentuk konsepsi masyarakat pada
masanya.

Hal ini bisa dipahami bahwa bahasa merupakan kunci sebuah


kebudayaan manusia. Setiap bagian dari belahan dunia memiliki bahasanya
masing-masing yang itu bukan hanya menunjukkan bahasa, melainkan konsepsi
yang berisi kepercayaan dan hal-hal lainya dalam komunitas tersebut. Wajar bila
Izutsu ingin mengetahui budaya dan konsepsi masyarakt pada zaman itu dengan
menggunakan analisis bahasa dengan makna dasar dan relasionalnya.

2. Semantik Sinkronik dan Diakronik

Dalam bab kedua ini Izutsu menerangkan tentang semantik sinkronik dan
diakronik yang akan digunakan dalam telaahnya terhadap istilah-istilah kunci
dalam al-Qur’an. Sebagaimana disinggung diatas, Izutsu mencoba menelaah
weltanschauung al-Qur’an melalui kosakata-kosakatanya.

Diakronik menurut pengertian etimologi adalah pandangan terhadap


bahasa, yang pada prinsipnya menitikberatkan pada unsur waktu. Dengan
demikian, secara diakronik kosakata adalah sekumpulan kata yang masing-
masingnya tumbuh dan berubah secara bebas dengan caranya sendiri yang khas.

13
Ibid., Izutsu, hal. 17
Beberapa kata dalam kelompok itu dapat berhenti tumbuh dalam pengertian
berhenti penggunaanya oleh masyarakat dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan
kata-kata lainya dapat terus digunakan dalam jangka waktu yang lama. Sekali lagi
kata-kata baru dapat melakukan debutnya di gelanggang pada titik waktu tertentu
dan memulai sejarahnya pada periode itu. 14

Dengan kata lain, terdapat kosakata yang seiring dengan zaman


dilupakan dan tidak digunakan oleh masyarakat sehingga kosakata ini dinamakan
mati atau tidak tumbuh. Dilain waktu, terdapat kosakata baru yang masuk dalam
perbendaharaan kata dan digunakan masyarakat pada waktu itu.

Kosakata yang terkumpul pada satu waktu membentuk jaringan dan pola
kalimat sebagai hasil budaya masyarakat. Dalam hal ini Izutsu menyebut sebagai
permukaan. Pada permukaan yang seperti itulah dan hanya pada permukaan itu
sajalah, kata-kata tersebut muncul dihadapan kita dalam bentuk jaringan konsep
yang rumit. Sehingga sudut pandang yang melintasi garis-garis historis kata-kata
tersebut memungkinkan kita dengan cara tersebut untuk memperoleh suatu sistem
kata yang statis, disebut singkronik.15

Kosakata dalam pengertian khusus ini, yakni permukaan kata yang statis,
sesungguhnya merupakan sesuatu yang artifisial. Ia merupakan kondisi statis yang
dihasilkan secara artifisial oleh satu pukulan dalam arus sejarah terhadap semua
kata-kata dalam bahasa pada suatu titik waktu tertentu. Lintas-bagian yang
dihasilkan memberikan kesan kepada kita sebagai sesuatu yang statis, namun
sebenarnya hanya tampaknya seperti itu. Dengan kata lain, ia hanya statis bila
dilihat dari sudut pandang makroskopik. Secara mikroskopik, permukaan tersebut
menggelegakkan kehidupan dan gerakan. Keadaan tersebut tampak sangat jelas
bila bahasa berada dalam periode kritis dan revolusioner.16

Semantik historis bukanlah pelacakan sejarah terhadap kata-kata


individual belaka untuk melhiat bagaimana kata-kata tersebut berubah maknanya
karena perjalanan sejarah. Semantik historis yang sesungguhnya hanya dimulai

14
Ibid., Izutsu, hal. 32
15
Ibid., Izutsu, hal. 33
16
Ibid., Izutsu, hal. 33
bila kita melakukan pengkajian terhadap sejarah kata-kata berdasarkan seluruh
sistem statis. Dengan kata lain, bila kita membandingkan dua permukaan atau
lebih dari satu bahasa yang sama, maka akan memunculkan tahap-tahap sejarah
yang berbeda, yang satu sama lainya dipisahkan oleh interval waktu.17

Interval tersebut bisa panjang ataupun pendek tergantung apda tujuan


analisa kita. Misalnya, bahkan bahasa al-Qur’an itu sendiri dapat dianggap
sebagai proses historis yang berlangsung selama lebih dari duapuluh tahun dengan
periode yang khas, periode Mekah dan Madinah.dalam kasus tersebut, sudah pada
tempatnya bila kita membuat dua potongan horizontal yang melintasi
perkembangan sejarah bahasa tersebut pada titik-titik yang penting, kemudian
membandingkan dua cross-section antara yang satu dengan yang lain, bila tujuan
kita melakukan studi semantik terhadap perkembangan pemikiran Islam di dalam
batas-batas al-Qur’an.18

Kemudian Izutsu melakukan upaya untuk menunjukkan persoalan ini


dengan cara sederhana dan sejelas mungkin, dengan mengisolasi tiga permukaan
semantik yang berbeda pada awal sejarah kosakata al-Qur’an. Pertama, sebelum
turunya al-Qur’an atau masa jahiliyah, kedua masa turunya al-Qur’an, dan yang
terakhir masa setelah turunya al-Qur’an.19

Dengan demikian, pada tahap pertama, yakni masa pra-Islam, kita


memiliki tiga sistem kata yang berbeda dengan tiga pandangan dunia yang
mendasarinya yang berbeda pula: (1) kosakata Badwi murni yang mewakili
weltanschauung Arab yang sangat kuno dan berkarakter sangat nomaden, (2)
kosakata kelompok pedagang, yang pada hakikatnya sangat terkait dengan dan
berlandaskan pada kosakata Badwi, yang sekalipun mewakili semangat yang
sangat berbeda dalam memandang dunia, namun merupakan hasil dari
perkembangan terakhir ekonomi perdagangan di Mekah, yang dengan demikian
sangat dipengaruhi oleh kata-kata dan gagasan yang menjadi cirikhas para
pedagang di kota tersebut, dan (3) kosakata Yahudi-Kristen, suatu sistem istilah-
istilah religious yang digunakan di kalangan orang-orang Yahudi dan Kristen
17
Ibid., Izutsu, hal. 33
18
Ibid., Izutsu, hal. 34
19
Ibid., Izutsu, hal. 35
yang hidup di tanah arab, yang juga mencakup persoalan sistem hanifiah yang
lebih banyak. Ketiga unsur-unsur tersebut merupakan unsur-unsur penting
kosakata Arab pra-Islam.20

C. Bentuk Relasi Tuhan dan Manusia

Dalam bab ketiga dengan tema struktur dasar weltanschauung al-Qur’an


Izutsu menuliskan bagian yang bisa jadi merupakan inti kajianya, yaitu relasi
Tuhan dan Manusia. Dalam hal ini, Izutsu menerangkan empat hubungan atau
relasi yang berlainan antara Tuhan dan Manusia, yaitu:

1) Relasi ontologis; dimana Tuhan sebagai sumber eksistensi manusia yang


utama dan manusia sebagai representasi wujud yang eksistensinya berasal
dari Tuhan. Kedua,

2) relasi Komunikatif; Tuhan dan manusia dibawa ke dalam korelasi yang


dekat, melalui komunikasi timbale balik.

3) Relasi Tuan-hamba; yakni Tuhan sebagai tuan (rabb), dan manusia


sebagai hamaba (abd).

4) Relasi Etik; yakni adanya perbedaan yang paling mendasar antara


keduanya. Divina Commedia, juga meliputi Allah berperan sebagai
Pemberi eksistensi dan wujud pada manusia. Dia adalah pencipta manusia,
danmanusia tidak lain adalah mahluknya. 21

1. Relasi Ontologis

Salah satu pertanyaan dasar dan selalu mengusik pikiran manusia dalam
weltanschauung religius dan filosofis adalah eksistensi manusia. Pertanyaan abadi
dan berulang-ulang adalah: Dari mana manusia berasal? Apa sumber wujudnya di
dunia ini? Menurut konsepsi al-Qur‘an, Allah adalah pencipta manusia. Dialah
sumber wujud yang menganugerahkan eksistensi kepada manusia. Jadi secara
ontologis, relasi antara Allah dan manusia adalah relasi antara sang pencipta
(khâliq) dan yang diciptakan (makhlûq).22
20
Ibid., Izutsu, hal. 35
21
Ibid., hal 79
22
Ibid., hal. 77-78
Manusia bukanlah satu-satunya ciptaan Allah. Dalam al-Qur‘an juga
ditegaskan bahwa Allah adalah pencipta alam semesta: mulai dari malaikat, jin,
langit dan bumi, matahari, bulan, siang dan malam, gunung dan sungai, pohon-
pohon, buah-buahan, biji-bijian, daun-daunan, hingga semua jenis binatang, dan
bahkan segala yang ada di alam semesta ini yang tak dapat disebutkan satu
persatu. Hal ini menunjukkan bahwa ada sebuah kekuatan yang dapat
menciptakan segala hal dan juga menjaganya, pencipta itulah Allah Swt Tuhan
semesta alam.

Konsep Allah sebagai Tuhan sejatinya telah dikenal masyarakat pada


zaman pra-Islam, yaitu sebelum kedatangan Islam. Orang-orang Arab jahiliyah
telah meyakini bahwa Allah adalah Tuhan langit dan bumi, Dia-lah yang
menciptakan segala sesuatu dimuka bumi ini. Redaksi ini bisa kita temukan dalam
al-Qur’an surah Ar-Ra’du ayat 16 sebagai berikut:

          
           
          
          
    

Artinya: Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya:


"Allah". Katakanlah: "Maka Patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu
dari selain Allah, Padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula)
kemudharatan bagi diri mereka sendiri?". Katakanlah: "Adakah sama orang buta
dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; Apakah
mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti
ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?"
Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha
Esa lagi Maha Perkasa". ( Q.S. al-Ra’du (13): 16)

Meskipun masyarakat Arab pra-Islam sudah mengenal konsep penciptaan


Allah, akan tetapi konsep ini hampir-hampir tidak memiliki pengaruh terhadap
pola pikir mereka. Artinya, mereka dapat hidup dengan nyaman tanpa menaruh
perhatian sama sekali terhadap asal-usul eksistensinya sendiri. Dalam sistem
jahiliyah, aktivitas kreatif Allah adalah awal sekaligus akhir intevensi-Nya dalam
urusan manusia. Dia tidak menaruh perhatian terhadap makhluk ciptaan-Nya.
Manusia, sesudah proses penciptaannya selesai, dikuasai oleh wujud lain yang
disebut dahr.23 Dahr ini meskipun memiliki beberapa nama lain, yaitu: zamân,
ashr, ayyâm, dan aud, namun gagasan yang mendasari konsep dahr selalu sama,
ia merupakan tiran yang tidak memiliki belas kasihan dan berdarah dingin. Dahr
bilamana dirujuk pada arti kosakatanya berarti waktu. Waktu memang tidak
mengenal siapapun, semua akan berlanjut dan berjalan baik siapapun yang mau
maupun tidak mau.

2. Relasi Komunikatif

Dalam bagian relasi ontologis telah diketahui bahwa Allah adalah


pencipta dan manusia adalah yang diciptakan. Antara pencipta dan yang
diciptakan terdapat hubungan komunikatif yang bersifat langsung dan bertimbal
balik. Komunikasi antara Allah dan manusia terjadi melalui dua cara, yaitu:
pertama, melalui penggunaan bahasa yang dapat dipahami oleh kedua belah
pihak; kedua, melalui penggunaan tanda-tanda alam oleh Tuhan dan isyarat-
isyarat atau gerakan tubuh oleh manusia. Dengan demikian komunikasi tipe
pertama bersifat linguistik atau verbal, sedang komunikasi tipe kedua bersifat non
linguistik atau non verbal.

Tipe komunikasi verbal dari atas kebawah adalah wahyu menurut


pengertian yang sempit dan teknis, sedangkan bentuk dari bawah ke atas
mengambil bentuk sembahyang/ du’a. Tipe komunikasi dari non-verbal dari atas
adalah tindakan ilahiah menurunkan (tanzil) “tanda-tanda” (ayat). Dari bawah ke
atas komunikasi dalam bentuk ibadah ritual (shalat) atau yang lebih umum lagi
praktek-praktek penyembahan.24

Komunikasi linguistik antara Tuhan dan manusia terjadi dalam bentuk


pengiriman wahyu dari Tuhan. Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa wahyu
merupakan perkataan (kalâm) Tuhan. Meskipun ia menyadari bahwa dalam

23
Ibid., hal. 131
24
Ibid., hal. 79
komunikasi model ini terdapat masalah karena keduanya, yaitu Tuhan dan
manusia sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi ini, berada dalam
taraf ―eksistensi‘ yang berbeda. Tuhan berada dalam taraf ―eksistensi‖ supra-
natural, sementara manusia berada dalam taraf ―eksistensi‖ natural, sehingga
tidak ada keseimbangan ontologis antara keduanya. Oleh karena itu secara
teoritik, tidak mungkin terjadi pertukaran kata (al-taẖawwur), pengajaran (al-
ta’lîm), dan juga belajar (al-ta’llum).25

Problem eksistensi antara keduanya juga berdampak pada sistem bahasa


yang digunakan dalam berkomunikasi. Tuhan sebagai dzat yang ghaib atau supra-
natural tentunya menggunakan sistem bahasa non-alamiah atau non-natural,
sebaliknya manusia sebagai makhluk natural menggunakan sistem bahasa alamiah
atau sistem bahasa natural. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam
konteks ini Fazlur Rahman berpendapat bahwa proses pewahyuan bukan
merupakan komunikasi verbal, tetapi merupakan pemberian inspirasi ke dalam
hati Nabi Muhammad.26

Problem tersebut, menurut Toshihiko Izutsu, dapat diatasi dengan


mengemukakan teori perantara. Perantara inilah yang menjembatani kesenjangan
komunikasi antara Tuhan dan manusia tersebut. Ia menegaskan bahwa wahyu
sebagai suatu peristiwa linguistik supranatural merupakan konsep yang
berhubungan dengan tiga individu. Kondisi ini juga berlaku dalam pewahyuan al-
Qur‘an. Dengan kata lain, dalam kesadaran kenabian yang dimiliki Muhammad,
selalu ada seseorang, suatu makhluk misterius antara Tuhan dan dirinya yang
membawa kata-kata Tuhan ke dalam hatinya. Makhluk ghaib tersebut, dalam
pandangan Toshihiko Izutsu, tidak lain adalah Malaikat Jibril, yang pada periode
Mekah disebut sebagai rûh al-quds (roh suci) dan rûh al-amîn (roh yang dapat
dipercaya). Hal inilah yang secara membuat wahyu secara struktural berbeda,
bukan saja dengan perkataan manusia pada umumnya, tapi juga dengan tipe
inspirasi verbal lainnya yang bersumber dari jinn. Dalam hal ini ada tiga cara

25
Ibid., hal. 183
26
Fathurrahman, Al-Qur'an dan Tafsirnya dalam Prespektif Toshihiko Izutsu, (Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2010), hal. 128
pengiriman wahyu yang berbeda-beda: (1) komunikasi misterius, (2) berbicara
dari balik tabir, (3) mengirimkan seorang utusan.27

Bila komunikasi linguistik dari Tuhan berupa wahyu, maka dari pihak
manusia berupa doa yang dipanjatkan ke hadirat-Nya. Menurut Toshihiko Izutsu,
doa dapat menjadi komunikasi dari manusia hanya terjadi dalam situasi yang
sangat istimewa, yakni ketika manusia mendapati dirinya berada dalam situasi
yang tidak wajar. Ketika jiwa manusia sedang tidak dalam keadaan sebagaimana
hari-harinya, maka ia berada dalam posisi yang dapat mengucapkan kata-kata
secara langsung kepada Tuhan. Dengan demikian, bahasa yang diucapkan
manusia secara spiritual menjadi lebih tinggi, dan doa merupakan percakapan
personal yang paling intim antara hati dengan Tuhan. Dengan mengutip al-
Kirmani, Toshihiko Izutsu mengatakan bahwa dalam situasi seperti itu manusia
bukan lagi manusia dalam pengertian umum, ia sudah mentransformasikan diri
menjadi sesuatu yang berada di atas dirinya.28

Komunikasi non linguistik antara Tuhan dan manusia terjadi dalam


bentuk pengiriman tanda-tanda alam dari Tuhan. Tanda-tanda ini, bagi orang-
orang yang mau memperhatikan dan merenungkannya, dapat dilihat setiap saat,
karena memang semua yang sering disebut sebagai peristiwa alam, seperti hujan,
angin, susunan langit dan bumi, pergantian siang dan malam, dan sebagainya pada
dasarnya merupakan tanda-tanda yang menunjukkan kepedulian Tuhan terhadap
kehidupan umat manusia di muka bumi, sekaligus merupakan bukti Ketuhanan-
Nya.Sementara dari manusia berupa salat.29

Komunikasi antara Tuhan dan manusia, baik yang bersifat verbal


maupun non-verbal, terjadi atas inisiatif dari Tuhan, sementara manusia pada
dasarnya hanya menanggapi apa yang dilakukan Tuhan. Kehendak Tuhan untuk
membuka komunikasi langsung antara Dia dan manusia termanifestasi dalam
bentuk pengiriman âyât (tanda-tanda). Ayat Ilahi yang dimaksud dalam al-
Qur‘an merupakan pengertian yang umum, yakni meliputi simbol-simbol verbal
dan non-verbal. Dari kedua jenis simbol ini, pesan-pesan Tuhan melalui simbol
27
Op. Cit., Izutsu, hal. 194
28
Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 129
29
Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 129
verbal (waẖy) dapat dikatakan lebih jelas, karena pada dasarnya bersifat
konseptual dan analitis. Dengan demikian, waẖy dapat menyajikan kehendak
Tuhan dalam yang mudah dipahami oleh alam pikiran manusia. Sementara dalam
simbol non-verbal, kehendak Tuhan termanifestasikan secara global. Dan karena
sifatnya yang tidak konseptual, maka pesan-pesan yang dibawa sangat tidak jelas
atau kabur. Akan tetapi simbol non-verbal lebih terbuka, dapat diakses oleh siapa
saja tanpa perantara, sedang simbol verbal hanya mungkin diketahui oleh umat
manuisa melalui seorang perantara, yaitu Rasul.30

3. Relasi Tuhan-Hamba

Relasi ini melibatkan di pihak Tuhan sebagai Tuhan (rabb), semua


konsep yang berhubungan dengan keagungan-Nya, kekuasaan-Nya, kekuatan
mutlak-nya dan lain sebagainya. Sedangkan di pihak manusia sebagai hamba
(‘abd) seluruh konsep yang menunjukkan kerendahan, kepatuhan mutlak, dan
sifat-sifat serupa lainya yang tercakup di dalam dan terkait dengan kata
jahiliyyah.31

Dalam sistem al-Qur‘an, Allah adalah penguasa mutlak; satu-satunya


Tuhan yang berkuasa di seluruh dunia, sementara manusia adalah hamba (‘abd).
Sebagai hamba (‘abd), manusia harus bersikap berserah diri sepenuhnya,
merendah, dan menghinakan diri di hadapan-Nya tanpa syarat.

Dalam pandangan Toshihiko Izutsu, islâm merupakan istilah yang paling


penting. Dengan menghubungkan kata islâm dengan kata kerjanya, yaitu aslama,
maka islâm dapat dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang
dengan sukarela untuk menyerahkan diri kepada kehendak Allah dan
memercayakan diri secara penuh kepada-Nya. Pengertian ini diperoleh
berdasarkan penggunaannya dalam frase aslama wajhahu li Allâh. 32 Istilah ini
dapat ditemukan salah satunya dalam surah al-Baqoroh ayat 128, yakni:

30
Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 130
31
Ibid., hal. 79
32
Op. Cit., Izutsu..., hal.220
      
        
  

Artinya: Ya Tuhan Kami, Jadikanlah Kami berdua orang yang tunduk patuh kepada
Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu Kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan
tunjukkanlah kepada Kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji Kami, dan terimalah taubat
kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (al-Baqoroh:
128)

Hal lain yang menunjukkan bahwa istilah islâm sangat penting adalah
karena ia sebagai pengalaman batin religius yang bersifat personal pada tiap-tiap
orang, merupakan peristiwa penting yang menandai titik awal dimulainya
penyerahan dan kerendahan diri yang sesungguhnya. Ia menandai titik balik yang
menentukan dalam kehidupan seorang manusia. Sementara semua istilah al-
Qur‘an lainnya yang bermakna kepatuhan dan penyerahan diri sangat samar dan
ambigu. Istilah-istilah tersebut dapat memberikan kesan yang salah tentang
kepatuhan dan kerendahan diri sebagai sifat alamiah seseorang. Dalam struktur
semantiknya tidak terdapat momentum keputusan eksistensial, momentum
lompatan ke dalam bidang kehidupan yang tidak diketahui. Hanya kata islâm yang
berimplikasi demikian.33

islâm dalam pandanganToshihiko Izutsu bertentangan dengan jahiliyah.


Namun pada masa pra-al-Qur‘an, term jahiliyah sama sekali tidak mempunyai
konotasi religius. Menurut konsepsi pra-Islam, jahl sama sekali tidak mempunyai
kaitan dengan tuhan-tuhan. Konsep ini semata-mata hanya meyangkut hubungan
manusia dengan sesamanya. Jahl merupakan sifat pribadi manusia yang menjadi
ciri khas masyarakat Arab pra-Islam. Konsep ini, bersama dengan pasangannya –
hilm, begitu lekat dengan psikologi mayarakat Arab ketika itu, sehingga wajar
jika kata tersebut seringkali dijumpai dalam puisi-puisi jahiliyah. Dalam al-
Qur‘an, jahiliyah merupakan istilah religius dalam pengertian yang negatif, karena
merupakan landasan tempat kata kufr. Di sini Toshihiko Izutsu memandang
jahiliyah bukan sebagai fase sejarah yang mendahului Islam, tetapi merupakan

33
Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 133
sifat yang dapat terjadi dalam diri seseorang yang berupa semangat kebebasan,
kesombongan, dan perasaan mulia yang menolak untuk tunduk di hadapan
penguasa manapun, baik manusia maupun Tuhan.34

4. Relasi Etik

Relasi ini didasarkan pada perbedaan yang paling dasar antara dua aspek
yang berbeda, yang dapat dibedakan dengan konsep Tuhan itu sendiri. Tuhan
yang kebaikanya tak terbatas, maha pengasih, pengampun dan penyayang di satu
sisi. Tuhan yang murka dan kejam serta sangat keras hukumanya di sisi yang lain.
Demikian pula, dari sisi manusia terdapat perbedaan dasar antara rasa syukur di
satu pihak (syukr), dan takut kepada tuhan (takwa) bersama-sama membentuk satu
kategori iman, dan ini akhirnya membentuk perbedaan yang tajam dengan kufr
baik dalam pengertian tidak bersyukur maupun ingkar.

Etika berkaitan dengan apa yang harus dilakukan oleh manusia terhadap
Tuhan berkaitan dengan perintah dan larangan Tuhan, maupun bagaimana Tuhan
berkehendak terhadap makhluk-Nya. Menurut Toshihiko Izutsu, terdapat tiga
kategori yang berbeda mengenai konsep etik di dalam al-Qur‘an, yaitu: pertama,
kategori yang menunjukkan dan menguraikan sifat Tuhan; kedua, kategori yang
menjelaskan berbagai macam aspek sifat fundamental manusia terhadap Tuhan;
dan ketiga, kategori yang menunjukkan tentang prinsip-prinsip dan aturan tingkah
laku yang menjadi milik dan hidup di dalam masyarakat Islam.35

Aspek Allah sebagai Tuhan yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha
Penyayang, dan Maha Pengampun kepada manusia ini disebutkan dalam al-
Qur‘an dengan kata kunci seperti ni„mah (kenikmatan), fadl (kemurahan hati),
rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan), dan sebagainya. Menurut
Toshihiko Izutsu, fakta yang menunjukkan bahwa Tuhan bersifat demikian dan
menunjukkan semua kebaikan dalam bentuk âyât ini hendaknya menentukan
respon yang benar di pihak manusia. Respon tersebut adalah syukr atau rasa
terima kasih atas karunia yang telah dianugerahkan Tuhan. Rasa terima kasih ini
hanya mungkin timbul bila manusia sudah mengerti makna âyât tersebut.36
34
Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 135
35
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concept in the Qur’an, hal. 18
36
Op. Cit., Izutsu..., hal.258
Konsep syukr sesungguhnya telah mengakar kuat pada masa jahiliyah.
Hal ini ditunjukkan oleh sajak karya seorang penyair dari suku Hudzail, syukr
bermakna sebagai ungkapan terima kasih terhadap pemberian (ni’mah) orang
lain.37 Dan konsep ini sangat mudah dipahami menggunakan logika sederhana,
yakni bila seseorang menunjukkan kemurahan, dalam pengertian
menganugerahkan ni’mah kepada anda, maka reaksi wajar yang harus anda
tunjukkan adalah berterima kasih. Ini dapat dikatakan sebagai aturan moral dasar
dalam hubungan antar sesama manusia. Akan tetapi, respon manusia terhadap
ni„mah tidaklah tunggal. Manusia kadang kala bahkan sering mengingkari (kufr)
atau menyikapi ni’mah dengan tidak berterima kasih. Contoh dalam al-Qur’an
adalah surah al-Zukhruf ayat 15, yakni:

        


 

Artinya: Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bahagian


daripada-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat

Allah). (Q.S. al-Zukhruf : 15)

Tidak berterima kasih terhadap anugerah atau ni’mah yang telah diterima
tentu saja merupakan reaksi alternatif yang menyalahi aturan moral dasar. Dengan
demikian, makna dasar syukr adalah respon positif manusia terhadap kebaikan
yang diperlihatkan orang lain. Lawannya adalah kufr, yang makna dasarnya
adalah tidak berterima kasih.

Aspek Tuhan yang keras, Tuhan yang akan membalas di Hari Pengadilan
dengan balasan yang sangat pedih (shadîd al-‘iqâb), Tuhan yang membalas
dendam (dzû intiqâm), Tuhan yang kemarahan-Nya (ghadab) akan melemparkan
siapa saja ke dalam kebinasaan hendaknya menjadikan manusia tidak menolak
untuk berserah diri ke hadapan Tuhan dan tidak lalai dalam hidupnya. Penekanan
mutlak terhadap penyerahan diri dan kesungguhan dalam hidup yang berdasarkan
kesadaran tentang Hari Pengadilan yang akan datang ini, menurut Toshihiko
Izutsu, merupakan makna asli taqwâ.38
37
Op. Cit., Izutsu..., hal.260
38
Op. Cit., Izutsu..., hal.262-263
Sebagaimana kata syukr, kata taqwâ ini juga telah dikenal pada masa
jahiliyah. Hal ini ditunjukkan oleh kata kerja ittaqâ yang merupakan salah satu
kata favorit dalam syair-syair pra-Islam. Hanya saja pada masa jahiliyah, kata ini
tidak dipergunakan dalam pengertian religius, kecuali mungkin di lingkungan
khusus, yakni di lingkungan orang-orang ẖanîf dan orang-orang yang secara nyata
telah terpengaruh oleh ajaran Yahudi. Dalam konsepsi jahiliyah, kata kerja ittaqâ
bermakna menjaga diri dari bahaya yang mengancam keselamatan dengan
sesuatu, baik berupa benda ataupun makhluk hidup. Dengan demikian, kata kerja
ittaqâ dalam konsepsi jahiliyah digunakan dalam pengertian fisik atau material,
atau paling tinggi diterapkan dalam konteks moral. Sementara dalam kasus al-
Qur‘an, istilah ittaqâ hampir selalu muncul dalam konteks religius.39

39
Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 141

Anda mungkin juga menyukai