Anda di halaman 1dari 2

Kritik Tokoh terhadap teory semantic Toshiko Izutsu

Al-Qur’an sebagai kitab suci dengan kekayaan aspek pengetahuan di dalamnya, memiliki
daya Tarik tersendiri bagi kalangan akademisi muslim maupun non-muslim untuk menilitinya.
Sebagai kitab suci yang kompleks banyak sekali metode-metode dan pendekatan yang kemudian
berkembang yang berpengaruh besar, baik pada penafsiran teks ataupun yang bersifat
pengembangan.1 Toshihiko Izutsu mesupakan satu diantara banyaknya akademisi yang
berkontribusi dalam pengembangan tafsir, yaitu melalui pendekatan semantiknya.

Teory yang dikemukakan oleh Izutsu sangat disambut baik dikalangan Muslim. Sebab
secara mendasar Izutsu tidak pernah menyinggung aspek kehidupan para pemeluk islam. Selain
itu berbeda dengan para cendekiawan non-muslim lainnya, teory yang dikemukakan oleh Izutsu
tidak bertujuan untuk mengkritisi ataupun meragukan tentang otentifikasi dari al-Quran.
Karakteristik yang demikian membuat kajian tentang semantic Al-Quran ini dijadikan salah satu
studi wajib pada beberapa universitas dan menjadikan karya-karya Izutsu sebagai rujukan
utamanya.2

Kendati demikian respon semacam itu sangat disayangkan oleh Ismail Albayrak. Ia
mengeluhkan kekritisan para cendekiawan muslim dalam menyikapi teory semacam ini.
Pertanyaan yang ia lontarkan adalah

1) Seberapa valid suatu pembacaan sinkronis konsep-konsep al-Qur ’an berdasarkan


pendekatan semantiknya? 2) Seberapa sukses penggunaan referensi Izutsu sebagai
mekanisme untuk memecahkan kode struktur dalam teks, dimana ada resiko makna
sederhana yang dimiliki suatu kata justru menguap? 3) Bagaimana sifat pendekatan
eksegetisnya (tekstual, teologis, kritis, lintas budaya dsb.)? 4) Dimana umat Islam
dapat menempatkan perhatian utama sebagai umat beriman biasa yang berusaha
memahami makna Tuhan, atau setidaknya apa yang Tuhan tuntut dari penerima-Nya
menurut wahyu Ilahi?
Hal lain yang kemudian menjadi sasaran kritik dari Ismail Albayrak adalah mengenai periodisasi
quranic dan post organic yang dinilai mengabaikan aspek Riwayat dan konteks sosial.
selanjutnya tidak adanya kebakuan pedoman dalam menentukan makna dasar menjadikan teori
ini bukanlah sesuatu yang final dan membuatnya menjadi teori yang anti kritik.

1
M. Mansur, Muhammad Yusuf Mustaqim, Suryadi, Dkk, Metodologi Living Quran dan Hadits, (Yogyakarta: Teras,
2007), 1-10
2
Ahmed Saranggi, Kritik Semantik Toshiko Izutsu dalam Kajian Al-Qur’an, https://tanwir.id/kritik-semantik-
toshihiko-izutsu-dalam-kajian-al-quran/, diakses pada 02 Maret 2024, 21.43 WIB.
Pada faktanya penafsiran terhadap Al-Qur’an harus dilakukan secara komprehensif.
Sehingga perlu adanya pendekatan secara kolaboratif antra semantic dan pendekatan-pendekatan
3
lainnya. sebagaimana yang telah dilakukan oleh para cendekiawan muslim yang juga
menggunakan pendekatan kebahasaan seperti Amin Al-Khulli, Aisyah Bintu Syathi’, Nasar
Hamid Abu Zaid dengan Hermeneutika linguisticnya.4

3
Suwarno, Rahmat Soleh, Ikrimah Retno Handayani, Euis Lusyana, “Relevansi Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
dalam Menafsirkan Al-Qur’an”, Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Volume 2, Nomor 2, September
2022
4
Siti Fahimah, “Al-Qur'an dan Semantik Toshihiko Izutsu Pandangan dan Aplikasi dalam Pemahaman Konsep
Maqam”, Al-Fanar: Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Vol. 3, No. 2, 2020

Anda mungkin juga menyukai