menginterpretasi Al-Quran. Hal itu sebagaimana Prof. Syed Muhammad Nuquib al-
Attas, ilmuwan muslim pertama yang menjelaskan secara mendasar akan bahaya
penggunaan hermeneutika dalam penafsiran al-Quran. Itu jauh sebelum gelombang
hermeneutika menerpa sebagian kalangan intelektual di Indonesia. Prof. al-Attas
menjelaskan perbedaan antara hermeneutika dengan Ilmu Tafsir.
Pakar pemikiran Islam, Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, dalam bukunya, The
Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An
Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998),
menulis satu judul sub bab, “Tafsir is not Hermeneutics”.
Jadi, tulis Wan Mohd Nor, tafsir "benar-benar tidak identik dengan hermeneutika
Yunani, juga tidak identik dengan hermeneutika Kristen, dan tidak juga sama dengan
ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain." Ilmu Tafsir al-Qur'an adalah
penting karena ini benar-benar merupakan ilmu asas yang di atasnya dibangun
keseluruhan struktur, tujuan, pengertian pandangan dan kebudayaan agama Islam.
Itulah sebabnya mengapa al-Tabari (wafat 923 M) menganggapnya sebagai yang
terpenting dibanding dengan seluruh pengetahuan dan ilmu. Ini adalah ilmu yang
dipergunakan umat Islam untuk memahami pengertian dan ajaran Kitab suci al-Qur'an,
hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
Prof. Wan Mohd. Nor juga mengkritik dosen pembimbingnya di Chicago University,
yaitu Prof. Fazlur Rahman, yang mengaplikasikan hermeneutika untuk menafsirkan
ayat-ayat al-Quran. Wan Mohd Nor menulis: “Konsekuansi dari pendekatan
hermeneutika ke atas sistem epistemologi Islam termasuk segi perundangannya
sangatlah besar dan saya fikir agak berbahaya. Yang paling utama saya kira ialah
penolakannya terhadap penafsiran yang final dalam sesuatu masalah, bukan hanya
masalah agama dan akhlak, malah juga masalah-masalah keilmuan lainnya. Keadaan
ini dapat menimbulkan kekacauan nilai, akhlak dan ilmu pengetahuan; dapat
memisahkan hubungan aksiologi antar generasi, antar agama dan kelompok manusia.
Umat Islam memiliki kitab suci yang terjaga keotentikannya; yang dihafal dan ditulis
sejak awal. Al-Quran bukan teks budaya atau teks karya manusia. Al-Quran adalah
Tanzil. Kata-kata dalam al-Quran memiliki kepastian makna; bukan spekulatif. Karena
itu, metode hermeneutika tidak bisa diterapkan untuk al-Quran. Al-Quran dijaga oleh
Allah SWT. Bukan hanya lafaznya, tapi juga cara baca, makna, dan metode
penafsirannya.
Ilmu Tafsir telah diterima secara Ijma’ oleh para ilmuwan muslim sebagai metode yang
otoritatif dalam menafsirkan al-Quran. Kasus disertasi Abdul Azis membuka mata
banyak orang tentang problem penggunaan hermeneutika dalam penafsiran al-Quran.
Sebab, metode ini menimbulkan ketidakpastian atau relativisme nilai dan kebenaran.