Anda di halaman 1dari 6

Bahasa Sebagai Substansi

 
Bahasa sebagai substansi beranggapan bahwa bahasa memiliki makna sebagai suatu ungkapan akan
pikiran dan perasaan manusia. Bahasa tidak sekedar struktur fisik. Bahasa dapat dianggap tersusun
dari segala sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan atau dipikir oleh manusia.

Jika kita melihat bagaimana konsep dan ontologi bahasa, kita akan melihat perbedaan-perbedaan
dalam melihat Bahasa sebagai substansi (AC). Ada dua perbedaan substansi, yaitu: (1) substansi
benda-benda ada yang kita pikirkan atau kita bicarakan (daerah A – isi), dan (2) substansi yang kita
gunakan untuk berbicara atau menulis yaitu suara yang dapat kita ucapkan atau lambang-lambang
yang kita buat di atas kertas (daerah C – ekspresi).

Konsep map bahasa sebagai substansi


Substansi-isi (A)
Teori-teori modern tentang bahasa tidak menyampaikan kata dengan benda tapi sampai sekarang
ternyata orang masih beranggapan bahwa kata dan benda adalah sama.
Sebaliknya, pikiran telah lama dianggap sama dengan kata-kata yang mengungkapkan pikiran tadi.
Suatu pandangan yang menyatakan bahwa makna kata berasal dari konsep mental yang menyeluruh
telah didasarkan pada tata bahasa logis yang sejak permulaan abad 18 telah mendominasi
pengajaran bahasa di sekolah-sekolah.

Walaupun psikolog-psikolog dan linguist abad 20 telah menyisihkan ataupun mengadakan


perubahan-perubahan besar terhadap faham tersebut, pendapat lama di atas masih tetap merupakan
asumsi yang tak terungkapkan di mana banyak sekali cabang-cabang ilmu bahasa dan pengajaran
bahasa yang didasarkan pada pendapat tersebut.

Sebagai pengantar, silahkan membaca tulisan Salliyati, Peranan Filsafat Bahasa dalam


Pengembangan Ilmu Bahasa. Atau tulisan Masayu Gay dalam Jurnal Gramatika Kemendikbud
yang berjudul Esensi Bahasa dalam Kajian Struktural. Atau jika ingin serius, silahkan membaca
buku Filsafat Bahasa karya Kaelan. Atau Buku Teori Pengajaran Bahasa dari WF. Mackey. Atau
mungkin buku Alwasilah, Linguistik.
Ekspresi-substansi (C)
Beberapa teori bahasa melibatkan bahan-bahan yang dapat dilihat atau didengar sebagai bahasa,
yaitu substansi (misalnya suara) yang digunakan untuk menyatakan bahasa.
Sebagian besar teori bahasa tersebut ialah mengenai teori fonetik. Teori tersebut menganggap
bahwa bahasa timbul ditinjau dari dua hal, yaitu dari segi fisik dan fisiologi. Teori bahasa yang
melihat dari segi fisik melihat dari fonetik akustik suatu ujuaran, misalnya teori akustik produksi
tuturan (accustic theory of specch production) yang dikemukakan oleh Gunnar Fant.

Sementara, teori bahasa yang melihat dari segi fisiologi melihat tentang bagaima terjadinya bunyi-
bunyi ujaran atau biasa disebut fonetik artikulatoris. Teori bahasa yang melihat seperti ini misalnya
teori fonetik artikulatoris seperti yang diungkapkan oleh Jones (English pronounciation). Atau teori
transkripsi fonetik yang diutarakan Joseph Fouche serta beberapa ahli fonetik artikulatori yang lain.
Sebagai selinga, pada teori ini, guru saya Almarhum Bu Jiah Fauziah, mengatakan bahwa
sebenarnya dalam tradisi Arab setelah dituliskannya Al-Quran, orang Arab sudah mempelajari
tentang teori bahasa sebagai ekspresi-substansi. Itu terbukti dari pentingnya pelajaran Makharijul
Huruf dan ilmu tajwid. Kitab seperti Hidayatus Shibyan merupakan salah satu kitab yang
membahas bagaimana suatu huruf dilafalkan dengan benar.
Bahasa Sebagai Substansi
Dengan demikian, beberapa ahli fonetik berpendirian bahwa dasar suatu bahasa adalah bunyi dari
suatu ungkapan atau ekspresi. Ahli-ahli tersebut telah membuat deskripsi yang lebih mendalam
tentang bunyi tersebut yang menjadi dasar bagi beberapa metode pengajaran bahasa.

Bahasa Sebagai Substansi memiliki 2 pembagian, yaitu bahasa sebagai substansi – isi (Wilayah A)
dan bahasa sebagai substansi – ekspresi (wilayah C). Dalam prakteknya, sehubungan
dengan rencana awal untuk mencari tahu bagaimana pengajaran bahasa, pembedaan pandangan
terhadap bahasa ini memiliki pengaruh.
Setidaknya bagi saya pribada, saya merasakannya ketika saya belajar ilmu bahasa Arab di Pondok.
Mungkin karena di pesantren memandang bahasa sebagai ekspresi-substansi, maka dalam tradisi
pengajaran di pesantren, ada pemisahan pelajaran tajwid dengan kitab Hidayatus Shibyan,
penulisan atau transkrip penulisan arab dengan khoth imla, serta tentang struktur bahasa atau
nahwu-sharaf.
Bahasa Sebagai Bentuk (Isi dan Ekspresi)
 
Bahasa sebagai bentuk mulai terkenal pada pertengahan pertama abad 20. Para linguis mulai banyak
beralih pandangan dari bahasa sebagai substansi ke arah bahasa sebagai bentuk. Para linguis pada
masa itu, beranggapan bahwa bahasa tidak sama seperti pikiran atau perasaan yang kita bicarakan.
Mereka juga beranggapan bahwa bahasa bukan bunyi atau hasil pergerakan alat pengucap yang kita
gunakan dalam rangka membicarakan pikiran atau perasaan kita.

Konsep Map bahasa sebagai bentuk


Bahasa sebagai Bentuk
Pandangan ini bersebrangan dengan pandangan linguis yang menganggap bahasa sebagai substansi.
Jika dihubungkan dengan tujuan awal terkait pengajaran bahasa (lihat Kategorisasi teori bahasa),
pandangan yang berkaitan dengan ontologi dan validitas bahasa ini penting untuk dijelaskan, karena
banyak model pembelajaran yang berangkat dari pemahaman teori bahasa yang memandang bahasa
sebagai bentuk.
Mengikuti pandangan MF. Mackey, dalam bukunya Language Teaching Analysisi (1967), dalam
memandang bahasa sebagai bentuk ada tiga perbedaan dalam memandang hakekat bahasa: pertama,
bahasa sebagai suatu klasifikasi tentang pikiran dan benda-benda (bentuk-isi: Area B); kedua,
bahasa sebagai pengelompokan yang abstrak atau bayangan bunyi dan bentuk-bentuk bahasa
(bentuk-ekpresi: area D); atau ketiga, bahasa sebagai pembentukan dari keduanya, yaitu apa yang
kita bicarakan dan bagaimana kita membicarakannya (isi dan ekspresi: area BD).
Sebagai pengantar, silahkan membaca tulisan Salliyati, Peranan Filsafat Bahasa dalam
Pengembangan Ilmu Bahasa. Atau tulisan Masayu Gay dalam Jurnal Gramatika Kemendikbud
yang berjudul Esensi Bahasa dalam Kajian Struktural. Atau jika ingin serius, silahkan membaca
buku Filsafat Bahasa karya Kaelan. Atau Buku Teori Pengajaran Bahasa dari WF. Mackey. Atau
mungkin buku Alwasilah, Linguistik.

Bentuk – Isi (Area B)


Pada area ini, bahasa tidak lebih hanya sebatas alat penyusunan pikiran. Bahasa adalah bentuk
simbolis yang berdiri sendiri. Linguis yang getol berpandangan seperti ini adalah salah satunya
adalah Ernst Cassirer (1874-1945).

Cassirer menganggap bahasa adalah bentuk mental yang berdiri sendiri dan terpisah dari bentuk-
bentuk simbolis yang lain seperti insting dan pikiran ilmiah (tentang pandangan Ernst Cassirer
tentang bahasa sebagai bentuk simbolis akan dijelaskan terpisah dari artikel ini).
Linguis yang berpandangan seperti ini menganggap bahasa tidak memperhitungkan bunyi dan
bentuk bahasa. Mereka juga menolak menghubungankan bahasa sebagai substansi atau ekspresi.
Karena itu, teori yang berlandaskan pandangan ini, tidak dianjurkan digunakan sebagai dasar
pengajaran bahasa.

Bentuk – Ekspresi (D)


Bahasa sebagai Bentuk dalam pandangan Cassirer
Berbeda dengan pandangan Cassirer, linguis yang mempunyai pandangan bahasa sebagai bentuk –
ekspresi (Area D) memandang bahasa merupakan sarana penyusunan manusia untuk berekspresi.
Teori-teori yang berangkat dari pandangan ini juga cocok untuk diterapkan dalam
pengajaran bahasa.
Salah satu teori yang terkenal dalam pandangan ini adalah teori bahasa yang dikemukakan oleh
Bloomfield.
Dalam menyusun teorinya, Bloomfield pertama-tama menyisihkan pikiran, perasaan atau benda-
benda dari masalah kebahasaan. Hal itu dikarenakan, menurut Bloomfield, bahasa tidak berurusan
dengan masalah-masalah mental atau kejiwaan dan tidak pula berurusan dengan masalah fisiologi.

Makna atau arti sebuah ujaran mustahil untuk bisa dianalisis melalui ilmu bahasa (linguistik). Dasar
argumen Bloomfield terkait hal ini adalah totalitas sebuah ujaran yang mengandung pengertian
atau makna wajib mempunyai sifat “kebenaran”, maksudnya ujaran itu harus mempunyai
pengertian dan kebenaran yang digunakan dalam pengertian pragmatis. Ujuran itu misalnya: Si
Fulan membelah gunung.
Jadi, masalah hakikat kebenaran tidak ada hubungannya sama sekali dengan hakikat bahasa.

Perihal arti, fonetik, dan mental


Kerena masalah bahasa adalah masalah ekspresi yang alamiah, maka persoalan arti, fonetik dan
makna tidak menjadi bagian. Dalam hal ini, dalam rangka menjaga kemurnian ilmu bahasa dan
ketepatan teorinya, mereka melemparnya pada bidang lain: terkait arti diberikan kepada ahli-ahli
antropologi; terkait masalah fonetik diberikan kepada ahli fisika; dan terkait mental diberikan pada
ahli-ahli psikologi.
Namun, cabang-cabang ilmu bahasa tadi tak satupun yang selaras dengan cabang-cabang ilmu
tersebut. Sulit bagi seorang antropolog untuk memahami arti sebuah ujaran jika tidak berlandaskan
pada ekspresi bahasa. Begitu juga seorang ahli fisika yang mungkin ingin mengetahui resonansi
atau getaran suatu bunyi bahasa jika tidak berangkat dari linguistik. Apalagi hubungannya dengan
mental dan psikologi.

Sebagai tambahan, tokoh linguis lain yang terkenal yang berpandangan mirip dengan Bloomfield
adalah Rudolf Carnap (1891-1970). Teori tentang sintaksis logis bahasa atau bahasa positivisme
yang dikemukakan beranganggapan bahwa bahasa adalah bentuk ekspresi. Teori ini kurang cocok
jika dijadikan landasan menyusun metode pengajaran bahasa.

Bila teori bahasa Bloomfield hanya membicarakan bentuk ucapan bahasa yang alamiah, Carnap
membicarakan bentuk tertulis dari bahasa apa saja, terutama bahasa buatan yang digunakan oleh
ahli-ahli logika untuk kepentingan studi mereka.

Isi dan ekspresi


Pandangan bahasa sebagai isi dan ekspresi ini bisa dikatakan merupakan gabungan bahasa sebagai
bentuk – isi (area B) dan bahasa sebagai bentuk – ekspresi (area D). Terdapat banyak teori yang
tidak hanya membatasi ruang lingkup teori bahasanya pada persoalan ekspresi atau isi, namun
meliputi keduanya.
Teori ini mengetengahkan adanya hubungan yang erat antara ekspresi bahasa dengan apa yang di
maksudkan dengan ekspresi tersebut. Karena itu, sebagian besar metode pengajaran bahasa juga
banyak berdasar pada pandangan ini.

Penjelasan terkait bahasa sebagai isi dan ekspresi dari bentuk bahasa akan dijelaskan secara lebih
mendetil pada artikel selanjutnya. Secara ringkas, sebagian besar teori berlandaskan pandangan ini
berdasar pada pendapat Saussure selaku bapak linguistik modern lalu aliran Glossematik.

Menurut Saussure, bahasa dibedakan antara koda atau sistem (langue) dari pemakaian dalam
pembicaraan (parole). Dan objek dari ilmu bahasa adalah langue yang sesungguhnya merupakan
bentuk (daerah BD) dan bukan substansi.

Pada perkembangannya, teori bahasa pada area ini muncul teori Glosematik yang berakar dari teori
Saussure. Sasaran Glosematik ialah studi tentang bentuk. Selain ilmu tentang bentuk bahasa, maka
urusan bidang ilmu lain. Teori ini juga, seperti Saussure, yang menganggap bahasa sebagai bentuk
dan bukan sebagai substansi yang terdiri dari benda-benda lain tetapi terdiri dari hubungan-
hubungan.

Bahasa Sebagai Bentuk Isi-Ekspresi Sekaligus


 
Bahasa sebagai bentuk isi-ekspresi sekaligus (BD) merupakan perpaduan antara bahasa sebagai
bentuk – isi dan bentuk – ekspresi. Pada pandangan ini, teori bahasa mengetengahkan adanya
hubungan yang erat antara ekspresi bahasa dengan apa yang dimaksudkan dengan ekspresi tersebut.
Bahasa sebagai bentuk isi-ekspresi sekaligus: Saussure
Sebagai pengantar, silahkan membaca bukunya Kridalaksana Mongin Ferdinand de Saussure yang
diterbitkan oleh Yayayasan Obor. Atau versi artikel, silahkan membaca tulisan Bagus Tri
Handoko, Pandangan Saussure terhadap dikotomi konsep Linguistik.
Sementara untuk versi lengkap, bisa membaca buku Kridalaksana Pengantar Linguistik
Umum  yang diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press. Buku itu tak lain adalah versi
Indonesia dari buku Course de Linguistique Generale karya (murid-murid) Saussure. Untuk
hubungan dan pengaruh Saussure terhadap ilmu lain, silahkan membaca tulisan Didi Sukyadi
tentang Dampak Pemikiran Saussure Bagi Perkembangan Linguistik dan Disiplin Ilmu Lainnya.

Langue dan Parole


Seperti yang telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya (Bahasa sebagai Bentuk), sebagian
besar teori bahasa ini berdasar pada Saussure. Lima dikotomi dan sifat bahasa yang dikemukakan
Saussure juga menjadi landasan linguistik modern, hingga ia disebut sebagai bapak linguistik
modern.
Dikotomi yang berhubungan dengan bahasa sebagai bentuk isi-ekspresi sekaligus adalah terkait
konsep langue dan parole. Pendeknya, langue  adalah sistem suatu bahasa, sementara parole adalah
pemakaian sistem bahasa tersebut dalam pembicaraan sehari-hari.
Dari dikotomi tersebut, Saussure menekankan penting ilmu bahasa untuk fokus pada langue, yang
tak lain adalah wilayah BD, atau bahasa sebagai bentuk baik sebagai isi maupun sebagai ekspresi.
Dengan demikian, antara bentuk pikiran dan bentuk bunyi tidak berhubungan dengan ilmu bahasa.

Selanjutnya, Saussure juga mementingkan prinsip bahwa bahasa (langue) tidak terdiri dari ide
ataupun bunyi. Tetapi, bahasa terdiri dari perbedaan-perbedaan konsep dan suara (bunyi yang
memiliki arti). Substansi isi dan substansi ekspresi (daerah AC) dari suatu bahasa betul-betul
bersifat arbitrer.
Sifat arbitrer bahasa itulah yang menjadikan bahasa (langage) sulit untuk diteliti. Demikian juga
hubungan antara keadaan yang sesungguhnya, atau gambaran kita tentang keadaan tersebut, dan
isyarat-isyarat atau tanda-tanda yang kita gunakan untuk membicarakan keadaan tersebut.

Signifier dan Signified
Suatu kekhususan pada teori Saussure ialah peleburan konsep linguistik yang ditandai (sifat di
daerah B dengan bayangan akustik dari bunyi atau signified) dan penanda (signifier) yang telah
terletak di daerah D. Peleburan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Sifat khusus konsep bahasa sebagai bentuk isi-ekspresi sekaligus dalam hal petanda
dan yang ditandai
Signifier tersusun dari sifat-sifat khusus yang dipisahkan oleh bahasa dari peristiwa-peristiwa
tentang keadaan yang sesungguhnya. Sementara, Signified meliputi bayangan akustik dari bunyi
bahasanya.

Tak satupun dari signified  maupun signifier yang meliputi sifat-sifat seperti halnya dimiliki oleh
bunyi ucapan atau suatu kejadian. Satu hal yang relevan antara signified dan signifier ialah adanya
kenyataan bahwa suatu isyarat atau tanda tidak akan dikerjakan oleh tanda yang lain. Keistimewaan
suatu tanda tak lain ialah apa yang ada pada tanda itu dan tidak terdapat pada tanda yang lain.
Perbedaan-perbedaan pada tanda-tanda inilah yang dibicarakan dalam ilmu bahasa dan juga
menjadi bahasa sebagai bentuk isi-ekspresi sekaligus . Sebab pada kenyataannya, bahasa hampir
seluruhnya terbentuk dari perbedaan-perbedaan (dari titik ini kemudian Derrida mengkritik
Saussure). Satu-satunya kenyataan positif ialah adanya gabungan dari perbedaan-perbedaan tersebut
dan itu merupakan kenyataan satu-satunya yang terdapat dalam bahasa. Nilai apapun yang dimiliki
oleh suatu tanda terletak pada perbedaan atau kontras terhadap tanda-tanda yang lain.

Saussure dan Bloomfield


Walaupun teori ini sifatnya lebih komprehensif atau lebih luas daripada teori Bloomfield, namun
teori Saussure dan Bloomfield mempunyai persamaan. Persamaan kedua teori itu adalah sama-sama
menganggap bahwa bahasa adalah bentuk dan bukan substansi. Persamaannya lagi adalah bahwa
kedua teori tersebut mencari perbedaan-perbedaan formal yang merupakan ciri utama suatu bahasa.

Bagi Bloomfield, jelas bahwa masing-masing fonem berbeda dari fonem yang lain. Sementara
Saussure berpendirian bahwa pola penyusunan substansi bahasa bersifat arbitrer begitu juga
menurut bloomfield.

Namun perbedaannya jelas. Mereka pada posisi dan wilayah yang berbeda. Perbedaan pokok di
antara kedua teori ini ialah terletak pada letak isi bahasa. Bloomfield menempatkannya pada luar
bidang linguistik karena arti hanya bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan yang sasarannya tentang
sesuatu yang belum diketahui. Sementara, menurut Saussure, ekspresi tak mungkin untuk dianalisis
terpisah tanpa memperhatikan isinya.

Isi bahasa tak dapat dipisahkan dari ekspresi bahasa. Dan tugas linguistik mempelajari hubungan
antara keduanya.

Bahasa sebagai bentuk isi-ekspresi sekaligus: Aliran Glossematik


Suatu teori yang berakar pada teori Saussure adalah teori glosematik. Sasaran glosematik ialah studi
tentang bentuk; sedangkan ilmu yang lain mengenai substansi bahasa itu sendiri. Teori ini
menganggap bahasa sebagai bentuk dan bukan sebagai substansi, yang terdiri dari benda-benda lain
tetapi terdiri dari hubungan-hubungan.
Jelas kiranya menurut kaum glosematik bahwa bahasa dapat dinyatakan dengan adanya hubungan
antara unit-unit yang relevan sehingga tidak termasuk di dalamnya sesuatu yang menyangkut
substansi unit-unit tadi. Bunyi yang sesungguhnya dan benda-benda yang ada didalamnya tidak
selaras dengan sistem bahasa dan bisa ditukar tanpa mengubah bahasa. Berbeda dengan teori
Bloomfield, teori glosematik meliputi studi tentang bentuk pada kedua daerah yakni ekspresi dan isi
dan menekankan pada hubungan yang selalu tetap antara keduanya.

Anda mungkin juga menyukai