Bahasa sebagai substansi beranggapan bahwa bahasa memiliki makna sebagai suatu ungkapan akan
pikiran dan perasaan manusia. Bahasa tidak sekedar struktur fisik. Bahasa dapat dianggap tersusun
dari segala sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan atau dipikir oleh manusia.
Jika kita melihat bagaimana konsep dan ontologi bahasa, kita akan melihat perbedaan-perbedaan
dalam melihat Bahasa sebagai substansi (AC). Ada dua perbedaan substansi, yaitu: (1) substansi
benda-benda ada yang kita pikirkan atau kita bicarakan (daerah A – isi), dan (2) substansi yang kita
gunakan untuk berbicara atau menulis yaitu suara yang dapat kita ucapkan atau lambang-lambang
yang kita buat di atas kertas (daerah C – ekspresi).
Sementara, teori bahasa yang melihat dari segi fisiologi melihat tentang bagaima terjadinya bunyi-
bunyi ujaran atau biasa disebut fonetik artikulatoris. Teori bahasa yang melihat seperti ini misalnya
teori fonetik artikulatoris seperti yang diungkapkan oleh Jones (English pronounciation). Atau teori
transkripsi fonetik yang diutarakan Joseph Fouche serta beberapa ahli fonetik artikulatori yang lain.
Sebagai selinga, pada teori ini, guru saya Almarhum Bu Jiah Fauziah, mengatakan bahwa
sebenarnya dalam tradisi Arab setelah dituliskannya Al-Quran, orang Arab sudah mempelajari
tentang teori bahasa sebagai ekspresi-substansi. Itu terbukti dari pentingnya pelajaran Makharijul
Huruf dan ilmu tajwid. Kitab seperti Hidayatus Shibyan merupakan salah satu kitab yang
membahas bagaimana suatu huruf dilafalkan dengan benar.
Bahasa Sebagai Substansi
Dengan demikian, beberapa ahli fonetik berpendirian bahwa dasar suatu bahasa adalah bunyi dari
suatu ungkapan atau ekspresi. Ahli-ahli tersebut telah membuat deskripsi yang lebih mendalam
tentang bunyi tersebut yang menjadi dasar bagi beberapa metode pengajaran bahasa.
Bahasa Sebagai Substansi memiliki 2 pembagian, yaitu bahasa sebagai substansi – isi (Wilayah A)
dan bahasa sebagai substansi – ekspresi (wilayah C). Dalam prakteknya, sehubungan
dengan rencana awal untuk mencari tahu bagaimana pengajaran bahasa, pembedaan pandangan
terhadap bahasa ini memiliki pengaruh.
Setidaknya bagi saya pribada, saya merasakannya ketika saya belajar ilmu bahasa Arab di Pondok.
Mungkin karena di pesantren memandang bahasa sebagai ekspresi-substansi, maka dalam tradisi
pengajaran di pesantren, ada pemisahan pelajaran tajwid dengan kitab Hidayatus Shibyan,
penulisan atau transkrip penulisan arab dengan khoth imla, serta tentang struktur bahasa atau
nahwu-sharaf.
Bahasa Sebagai Bentuk (Isi dan Ekspresi)
Bahasa sebagai bentuk mulai terkenal pada pertengahan pertama abad 20. Para linguis mulai banyak
beralih pandangan dari bahasa sebagai substansi ke arah bahasa sebagai bentuk. Para linguis pada
masa itu, beranggapan bahwa bahasa tidak sama seperti pikiran atau perasaan yang kita bicarakan.
Mereka juga beranggapan bahwa bahasa bukan bunyi atau hasil pergerakan alat pengucap yang kita
gunakan dalam rangka membicarakan pikiran atau perasaan kita.
Cassirer menganggap bahasa adalah bentuk mental yang berdiri sendiri dan terpisah dari bentuk-
bentuk simbolis yang lain seperti insting dan pikiran ilmiah (tentang pandangan Ernst Cassirer
tentang bahasa sebagai bentuk simbolis akan dijelaskan terpisah dari artikel ini).
Linguis yang berpandangan seperti ini menganggap bahasa tidak memperhitungkan bunyi dan
bentuk bahasa. Mereka juga menolak menghubungankan bahasa sebagai substansi atau ekspresi.
Karena itu, teori yang berlandaskan pandangan ini, tidak dianjurkan digunakan sebagai dasar
pengajaran bahasa.
Makna atau arti sebuah ujaran mustahil untuk bisa dianalisis melalui ilmu bahasa (linguistik). Dasar
argumen Bloomfield terkait hal ini adalah totalitas sebuah ujaran yang mengandung pengertian
atau makna wajib mempunyai sifat “kebenaran”, maksudnya ujaran itu harus mempunyai
pengertian dan kebenaran yang digunakan dalam pengertian pragmatis. Ujuran itu misalnya: Si
Fulan membelah gunung.
Jadi, masalah hakikat kebenaran tidak ada hubungannya sama sekali dengan hakikat bahasa.
Sebagai tambahan, tokoh linguis lain yang terkenal yang berpandangan mirip dengan Bloomfield
adalah Rudolf Carnap (1891-1970). Teori tentang sintaksis logis bahasa atau bahasa positivisme
yang dikemukakan beranganggapan bahwa bahasa adalah bentuk ekspresi. Teori ini kurang cocok
jika dijadikan landasan menyusun metode pengajaran bahasa.
Bila teori bahasa Bloomfield hanya membicarakan bentuk ucapan bahasa yang alamiah, Carnap
membicarakan bentuk tertulis dari bahasa apa saja, terutama bahasa buatan yang digunakan oleh
ahli-ahli logika untuk kepentingan studi mereka.
Penjelasan terkait bahasa sebagai isi dan ekspresi dari bentuk bahasa akan dijelaskan secara lebih
mendetil pada artikel selanjutnya. Secara ringkas, sebagian besar teori berlandaskan pandangan ini
berdasar pada pendapat Saussure selaku bapak linguistik modern lalu aliran Glossematik.
Menurut Saussure, bahasa dibedakan antara koda atau sistem (langue) dari pemakaian dalam
pembicaraan (parole). Dan objek dari ilmu bahasa adalah langue yang sesungguhnya merupakan
bentuk (daerah BD) dan bukan substansi.
Pada perkembangannya, teori bahasa pada area ini muncul teori Glosematik yang berakar dari teori
Saussure. Sasaran Glosematik ialah studi tentang bentuk. Selain ilmu tentang bentuk bahasa, maka
urusan bidang ilmu lain. Teori ini juga, seperti Saussure, yang menganggap bahasa sebagai bentuk
dan bukan sebagai substansi yang terdiri dari benda-benda lain tetapi terdiri dari hubungan-
hubungan.
Selanjutnya, Saussure juga mementingkan prinsip bahwa bahasa (langue) tidak terdiri dari ide
ataupun bunyi. Tetapi, bahasa terdiri dari perbedaan-perbedaan konsep dan suara (bunyi yang
memiliki arti). Substansi isi dan substansi ekspresi (daerah AC) dari suatu bahasa betul-betul
bersifat arbitrer.
Sifat arbitrer bahasa itulah yang menjadikan bahasa (langage) sulit untuk diteliti. Demikian juga
hubungan antara keadaan yang sesungguhnya, atau gambaran kita tentang keadaan tersebut, dan
isyarat-isyarat atau tanda-tanda yang kita gunakan untuk membicarakan keadaan tersebut.
Signifier dan Signified
Suatu kekhususan pada teori Saussure ialah peleburan konsep linguistik yang ditandai (sifat di
daerah B dengan bayangan akustik dari bunyi atau signified) dan penanda (signifier) yang telah
terletak di daerah D. Peleburan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Sifat khusus konsep bahasa sebagai bentuk isi-ekspresi sekaligus dalam hal petanda
dan yang ditandai
Signifier tersusun dari sifat-sifat khusus yang dipisahkan oleh bahasa dari peristiwa-peristiwa
tentang keadaan yang sesungguhnya. Sementara, Signified meliputi bayangan akustik dari bunyi
bahasanya.
Tak satupun dari signified maupun signifier yang meliputi sifat-sifat seperti halnya dimiliki oleh
bunyi ucapan atau suatu kejadian. Satu hal yang relevan antara signified dan signifier ialah adanya
kenyataan bahwa suatu isyarat atau tanda tidak akan dikerjakan oleh tanda yang lain. Keistimewaan
suatu tanda tak lain ialah apa yang ada pada tanda itu dan tidak terdapat pada tanda yang lain.
Perbedaan-perbedaan pada tanda-tanda inilah yang dibicarakan dalam ilmu bahasa dan juga
menjadi bahasa sebagai bentuk isi-ekspresi sekaligus . Sebab pada kenyataannya, bahasa hampir
seluruhnya terbentuk dari perbedaan-perbedaan (dari titik ini kemudian Derrida mengkritik
Saussure). Satu-satunya kenyataan positif ialah adanya gabungan dari perbedaan-perbedaan tersebut
dan itu merupakan kenyataan satu-satunya yang terdapat dalam bahasa. Nilai apapun yang dimiliki
oleh suatu tanda terletak pada perbedaan atau kontras terhadap tanda-tanda yang lain.
Bagi Bloomfield, jelas bahwa masing-masing fonem berbeda dari fonem yang lain. Sementara
Saussure berpendirian bahwa pola penyusunan substansi bahasa bersifat arbitrer begitu juga
menurut bloomfield.
Namun perbedaannya jelas. Mereka pada posisi dan wilayah yang berbeda. Perbedaan pokok di
antara kedua teori ini ialah terletak pada letak isi bahasa. Bloomfield menempatkannya pada luar
bidang linguistik karena arti hanya bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan yang sasarannya tentang
sesuatu yang belum diketahui. Sementara, menurut Saussure, ekspresi tak mungkin untuk dianalisis
terpisah tanpa memperhatikan isinya.
Isi bahasa tak dapat dipisahkan dari ekspresi bahasa. Dan tugas linguistik mempelajari hubungan
antara keduanya.