Anda di halaman 1dari 5

Mencermati Fenomena

Musik Pop Daerah Dewasa Ini


Oleh: Brian Trinanda K. Adi
0910349015

Dewasa ini, jagad musik di Indonesia diramaikan dengan menjamurnya musik-


musikyang oleh masyarakat awamyang disebut dengan musik pop daerah.
Sebagai contoh, kini umum dijumpai album-album bertajuk musik pop Sulawesi,
musik pop minang, musik pop sunda, musik pop manado, dan lain sebagainya.
Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan istilah pop yang dilekatkan pada
musik-musik tersebut? Apakah pop sebagai genre? Apakah pop disini sama
artinya dengan istilah populer? Bagaimana efek-efek yang ditimbulkan,
sehubungan dengan maraknya musik pop daerah tersebut terhadap musik-
musik asli Indonesia? Pertama-tama, dalam makalah ini saya akan membahas
definisi dari pop dan populer sebagai kerangka konsep berpikir. Selanjutnya, akan
dibahas mengenai fenomena musik pop daerah yang terjadi belakangan ini.
Terakhir, saya akan mengajukan analisis singkat mengenai dampak-dampak yang
ditimbulkan dari fenomena semacam ini terhadap kehidupan musik asli di
Indonesia, disertai dengan refleksi singkat bagi para etnomusikolog di Indonesia.

Pop dan Populer

Istilah musik pop, kiranya perlu diperjelas maknanya. Konsep musik pop berbeda
dengan konsep musik populer.

While the use of the word populer in relation to the lighter forms of musik goes back to
the mid-19th century, the abbreviation pop was not in use as a generic term until the
1950s when it was adopted as the umbrella name for a special kind of musikal product
aimed at a teenage market (Gammond, 1991: 457, seperti dikutip oleh Shuker, 2002:
225).

[Penggunaan kata populer ditujukan untuk menyebut bentuk-bentuk musik ringan yang
muncul pada pertengahan abad ke-19, sementara sebutan singkat pop bukanlah istilah
generic yang digunakan hingga tahun 1950-an, yakni ketika istilah digunakan untuk
memayungi sebuah jenis produk musik yang ditujukan untuk musik bagi kalangan
remaja.]

Musik pop merupakan genre musik, yang terutama ditujukan untuk


kalangan remaja. Kendatipun demikian, penggunaan istilah musik pop dan
musik populer seringkali tumpang tindih. Musik populer adalah musik yang
diorentasikan untuk tujuan komersialisasi, sedangkan musik pop hanya
merupakan salah satu genre yang dewasa ini sangat populer. Untuk lebih
memahami apa yang dimaksud dengan musik populer, agar kita dapat
membedakannya dengan genre musik pop, berikut saya mengutip pendapat Roy
Shuker.
Populer, bagi sebagian orang, berarti sesuatu yang menarik bagi masyarakat; bagi
sebagian lainnya, istilah ini memiliki arti sesuatu yang berangkat dari masyarakat.
Arti yang pertama secara umum digunakan untuk mengacu pada produk-produk yang
diproduksi secara komersial, sementara arti yang kedua mengacu pada bentuk-bentuk
produk budaya yang bersifat kerakyatan. Berkenaan dengan musik, perbedaan arti ini
memunculkan apa yang disebut dengan musik rakyat dan musik yang berorientasi chart.
Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh banyak pakar, bahwa komersialisasi adalah
kunci untuk memahami musik populer: Ketika kita membicarakan musik populer, kita
membicarakan musik yang berorientasi komersial (Shuker, 2001:6).

Berdasarkan definisi-definisi yang dipaparkan di atas dapat disimpulkan


bahwa apa yang disebut dengan musik pop daerah oleh masyarakat awam
sesungguhnya lebih tepat bila disebut sebagai musik populer daerah. Hal ini
disebabkan karena, tidak semua musik pop daerah dikemas dalam genre musik
pop, sebab ada pula yang bergenre slow rock, house musik, hardcore, jazz,
hawaiaan, bossanova. Meskipun penggunaan istilah musik pop daerah terkesan
kurang tepat atau salah kaprah, namun dalam makalah ini saya akan menggunakan
istilah musik pop daerah untuk menyebut lagu-lagu atau musik daerah di
Indonesia yang diproduksi untuk konsumsi massa (melalui CD, kaset, tayang
radio dan televisi)yang seharusnya disebut dengan musik populer daerah.

Musik Pop Daerah di Indonesia

Maraknya musik pop daerah di Indonesia diperkirakan mulai muncul sekitar tahun
1970-an, yang terutama diproduksi dalam kemasan kaset audio (Sutton, 1985;
Yampolsky, 1987, seperti dikutip dalam Barendregt & Zanten, 2002:68). Dalam
perkembangannya kemasan kaset mulai tersingkir, karena mulai dikenalnya
kemasan-kemasan yang lebih ringkas, misalnya CD, MP3, bahkan dengan
mengunduh secara cuma-cuma melalui media internet (antara lain yang dapat
ditemui di www.4shared.com).
Jika dicermati, digunakannya istilah musik pop daerah didasarkan
terutama pada lirik-lirik dari lagu yang dibawakan. Bahkan sebagian besar lagu
yang dikemas menjadi musik/lagu pop daerah merupakan lagu-lagu tradisi dari
berbagai daerah di Indonesia. Sebagai contoh, lagu berjudul Sulawesi
Parasanganta yang merupakan lagu tradisi Makassar (Sulawesi Selatan), Bubui
Bulan, Es Lilin merupakan lagu tradisi Sunda (Jawa Barat), dan lain sebagainya.
Akan tetapi, unsure lain yang juga dapat menjadi sebab untuk menyebut suatu
lagu menjadi musik/lagu pop daerah ialah digunakannya instrumen tradisi daerah
yang bersangkutan (Barendregt & Zanten, 2002:69), meskipun belakangan ini
tidak lagi ditemukan fenomena semacam ini (penggunaan instrument tradisi).
Musik pop daerah merupakan suatu metamorfosa dari musik tradisi menuju musik
tradisi baru.1
Kemunculan musik pop daerah yang begitu marak belakangan ini kiranya
memiliki dua dimensi dampak yang ditimbulkan, layaknya pisau bermata dua. Di
satu sisi, musik pop daerah dapat menjadi wahana untuk mengangkat,
memperkenalkan, serta memelihara kekayaan tradisi musik nusantarameskipun
baru pada aspek lagunya semata. Di sisi lain, musik pop daerah juga merupakan
ancaman yang berpotensi memarjinalkan musik-musik asli2 Indonesia.
Pandangan-pandangan semacam ini dimiliki oleh kaum konservatif. Memang,
oposisi biner semacam ini selalu kita temui dalam kehidupan, seperti halnya dua
sisi mata uang yang tak terpisahkan. Jika kita mencermati masalah ini dengan
perspektif yang lebih luas, pada dasarnya kemunculan musik pop daerah tersebut
merupakan suatu bentuk adaptasi dari musik local dalam merespon pengaruh-
pengaruh global. Mengapa demikian? Musik merupakan bagian dari kebudayaan;
kebudayaan merupakan suatu entitas yang memiliki sifat dinamis dan adaptatif.
Artinya kebudayaan selalu berubah seiring dengan yang dialami oleh masyarakat
pemiliknya, agar kebudayaan tersebut dapat tetap eksis. Berangkat dari konsep ini,
maka jika kita menginginkn suat musik dapt terus eksis, sudah selayaknya kita
membiarkannya atau bahkan mendorongnya untuk terus berubah atau beradaptasi
dengan masyarakat pendukungnya. Saya akan mengajukan pertanyaan klasik dan
sederhana: apakah kita menginginkan musik milik kita tetap eksis atau hilang
ditelan jaman? Pertanyaan ini kiranya dapat menjadi refleksi bagi mereka yang
menyebut dirinya sebagai etnomusikolog. Akan tetapi, berikut saya akan
memberikan pemaparan singkat terkait bagaimana disiplin etnomusikologi dapat
digunakan untuk menghadapi permasalahan-permasalahan di atas.

Refleksi bagi Etnomusikolog


Kecenderungan untuk mengabaikan musik populer memang cukup tampak dalam
disiplin etnomusikologi. Para etnomusikolog umumnya berorientasi konservatif,
dimana mereka mengabaikan bentuk-bentuk perubahan dan lebih cenderung
melindungi tradisi-tradisi musik (Nettl, 2005:275; Nettl, 1964:22-23).3 Namun

1
Istilah musik tradisi baru disini mengacu pada penggabungan atau pengadobsian atau
peminjaman unsure-unsur asing yang kemudian dimasukkan ke dalam musik-musik atau lagu-lagu
local. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa unsure-unsur yang diadopsi tersebut sesuai atau tidak
jauh berbeda dengan musik-musik yang mengadopsinya.
2
Yang dimaksud dengan musik asli di sini ialah musik-musik tradisi local yang belum
terkontaminasi oleh unsure-unsur musik dari kebudayaan asing dalam arti khusus (sebab pada
dasarnya sebagian besar, bahkan hampir seluruh musik yang ada di Indonesia, merupakan
akumulasi dari gelombang-gelombang kebudayaan berabad-abad yang lalu, misalnya kebudayaan
India, kebudayaan Cina, kebudayaan Arab, dan lain sebagainya).
3
Sebagai perbandingan untuk melihat kecenderungan ini, lihat juga, misalnya, lampiran
dari salah satu karangan Alan P. Merriam (1995 [1977]:56-64), yang memuat sejumlah definisi
etnomusikologi. Definisi-definisi yang dikemukakan oleh para etnomusikolog angkatan pertama
ini umumnya menyatakan bahwa etnomusikologi merupakan studi terhadap budaya-budaya musik
di luar budaya Eropa, atau, selain itu, budaya-budaya musik di luar kebudayaan peneliti (yakni
belakangan, para etnomusikolog mulai merambah wilayah yang sebelumnya
tabu bagi mereka. Para etnomusikolog kini juga memasukkan fenomena
kontemporer, yakni budaya populer, sebagai objek kajian mereka. Studi-studi
etnomusikologi kini meliputi pula bentuk-bentuk kajian urban (urban studies),
dan, yang cukup mutakhir, munculnya etnomusikologi terapan yang umum
disebut dengan etnomusikologi advokasi. 4 Salah satu tindakan yang bisa
dilakukan oleh etnomusikolog dalam melakukan advokasi ialah dengan
memediasi kehidupan musik-musik asli, masyarkat, dan musik-musik baru
(terutama musik pop daerah). Bentuk mediasi yang dapat dilakukan antara lain
dengan menyediakan informasi-informasi tentang musik-musik yang ada di
Indonesia untuk kemudian disebarluaskan kepada masyarakat secara umum. Hal
ini dimakdudkan agar masyarakat lebih mengenal, mengetahui, dan memahami
musik-musik mereka secra khusus, dan kebudayaan mereka secara umum,
sehingga kemudian diharapkan mereka lebih memiliki rasa tanggung jawab untuk
memelihara apa yang mereka miliki itu.
Etnomusikolog, dalam menghadapi fenomena musik daerah serta berbagai
dampaknyabaik yang positif, dan terutama yang negatifbagi kelangsungan
musik asli, haruslah berada pada posisi netral. Seorang etnomusikolog tidak
mempunyai hak untuk menilai bahwa keberadaan suatu musik lebih baik bila
dibandingkan dengan musik lainnya, terutama jika penilaian ini dilatarbelakangi
oleh tendensi-tendensi yang sifatnya personal. Yang harus dilakukan oleh para
etnomusikolog hanyalah memberikan pilihan sekaligus penyadaran kepada
masyarakat bahwa apa yang telah mereka miliki sekarang tidak selalu lebih buruk
daripada hal-hal yang mereka anggap barubegitu pula sebaliknya, bahwa belum
tentu suatu hal yang baru lebih buruk daripada apa yang mereka miliki sekarang.
Tulisan ini bermaksud membaca fenomena sekaligus memberikan refleksi
bagi para etnomusikolog secara khusus, dan pihak-pihak yang memiliki tanggung
jawab terhadap keberlangsungan musik dan kebudayaan musik di Indonesia.
Tidak ada salahnya ketika kita mencoba melihat suatu masalah dari berbagai
perspektif yang berbeda agar pemahaman yang kita peroleh lebih komprehensif
serta holistic, dan solusi-solusi yang kita ajukan dapat lebih efektif.

kebudayaan Eropa). Hal ini kemungkinan benar pada masa itu, sebab mereka yang menyebut
dirinya etnomusikolog untuk pertama kalinya, atau yang mengemukakan bahwa studi yang sedang
mereka lakukan adalah studi etnomusikologi, adalah para sarjana Eropa yang mencoba untuk
melakukan studi terhadap musik-musik non-Barat (Putra, 2010:1).
4
Sebagai contoh, lihat, misalnya, artikel Helen Myers (1992), buku yang disunting oleh
Jennifer C. Post (2006), artikel Fintan Vallely (2003). Berbagai teori dan pendekatan-pendekatan
yang digunakan dalam etnomusikologi juga cenderung mengalami perkembangan, yang kini
mencakup juga, misalnya, evolusi budaya, difusi budaya, pendekatan-pendekatan struktural-
fungsional, pendekatan linguistik, pendekatan Marxis, teori pertunjukan (performance theory),
pendekatan gender, etnisitas, identitas, juga posmodern, poskolonial, serta globalisme.
Sumber Acuan

Barendregt, Bart & Wim van Zanten. 2002. Popular Music in Indonesia since
1998, in Particular Fusion, Indie and Islamic Music on Video Compact
Discs and the Internet. Yearbook for Traditional Music, Vol. 34:67-113.
Merriam, Alan P. 1995 [1977]. Beberapa Definisi tentang Musikologi
Komparatif dan Etnomusikologi: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,
dalam R. Supanggah, ed. Etnomusikologi. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Myers, Helen. 1992. Fieldwork, dalam Helen Myers, ed. Ethnomusicology: An
Introduction. New York: W.W. Norton.
Nettl, Bruno. 2005. The Study of Ethnomusicology: Thirty-one Issues and Con-
cepts. Urbana dan Chicago: University of Illinois Press.
_______. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: The Free
Press.
Post, Jennifer C., ed. 2006. Ethnomusicology: A Contemporary Reader. New
York dan London: Routledge.
Putra, Nathalian H.P.D. 2010. Etnomusikologi dan Musik Populer: Meninjau
Kembali Ruang Lingkup Etnomusikologi. Makalah tidak diterbitkan.
Shuker, Roy. 2001. Understanding Popular Music. Edisi Kedua. London & New
York: Routledge.
Vallely, Fintan. 2003. The Apollos of Shamrockery: Traditional Musics in the
Modern Age, dalam Martin Stokes & Philip V. Bohlman, eds. Celtic
Modern: Music at the Global Fringe. Maryland dan Oxford: Scarecrow
Press, Inc.

Anda mungkin juga menyukai