Anda di halaman 1dari 7

PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN MUSIK KONTEMPORER

A. Latar Belakang
Dalam proses perjalanan seni musik, sejarah menguak beberapa perkembangan yang dialami
oleh seni musik itu sendiri. Dimulai dari musik Renaissance (1350-1600), musik Barok (1600-1750)
dan kemudian pada 1750-1820 berganti menjadi musik klasik. Setelah itu masih banyak lagi jenis
musik yang berubah mengikuti perkembangan zaman pada waktu itu. Perkembangan ini,
menunjukkan keberadaan musik sebagai satu kesatuan yang ikut berkembang seiring jaman.
Sekitar zaman Renaissance, abad ke-15 ke atas, muncul satu fenomena, yakni pemahaman
karya musik otonom yang kemudian disebut karya seni. Sejak itulah pengertian seni musik Barat
sepenuhnya menuju ke karya seni otonom. Dari perkembangan ini, akhirnya muncullah musik
kontemporer (Neue Musik). Sejajar dengan perkembangan ini pada abad ke-20 muncul sesuatu yang
sangat baru lagi, yaitu musik populer. Musik populer ini tidak dapat disamakan dengan musik
rakyat, seperti misalnya dalam tradisi etnik-etnik di Indonesia.
Sementara dalam proses perdebatan tentang seni yang aktual di Indonesia, seni musik paling
sering dipermasalahkan. Untuk pemahaman permasalahan seni musik kontemporer, kita harus
menyinggung situasi tersebut terlebih dahulu, fenomena perbedaan persepsi antara jenis-jenis seni
kontemporer tidak hanya terjadi di Indonesia saja, di Barat sendiri sering terdapat hal yang sama.
Persepsi dan pendapat yang terjadi didasarkan oleh kesalahpahaman yang fatal. Kenyataan ini harus
kita maklumi, siapapun bisa memilih yang diinginkan. Ini dapat memperkuat bahwa perkembangan
musik kontemporer di Indonesia jangan dianggap sebagai Penjajahan baru melainkan sebagai
sebuah tawaran pemikiran lain.
Adapun proses perselisihan atau dialog antarbudaya merupakan kenyataan yang sekaligus
global dan alami. Segala perbedaan pendapat yang muncul dari para pengamat seni ini dapat
menimbulkan kesalahpahaman. Hal inilah yang menjadi masalah pokok dan menghambat
perkembangan musik kontemporer di Indonesia. Namun dalam hal ini, berbagai hambatan yang amat
mendalam tersebut mampu diatasi, apabila hanya ada satu pandangan yang tegas dan bisa
menghasilkan berbagai daya tarik yang efektif.
B. Istilah Kontemporer
Paradigma tentang musik kontemporer akan sulit dipahami apabila kita hanya menggunakan
parameter yang sempit serta hanya berdasar pada pemahaman budaya lokal saja. Berdasar pada
berbagai referensi bahwa asal usul istilah itu datang ke negeri kita dapat dipastikan berasal dari
budaya Barat (Eropa-Amerika). Oleh karena itu pemahaman masyarakat kita terhadap musik
kontemporer seringkali agak keliru. Tentang hal itu, seorang tokoh musik di Indonesia yaitu Suka
Hardjana (Harjana, 2004 : 187) pernah mengemukakan, antara lain :
Secara spesifik, musik kontemporer hanya dapat dipahami dalam hubungannya
dengan perkembangan sejarah musik barat di Eropa dan Amerika. Namun, walaupun
dapat mengacu pada sebuah pemahaman yang spesifik, sesungguhnya label
kontemporer yang dibubuhkan pada kata seni maupun musik sama sekali tidak
menunjuk pada sebuah pengertian yang per definisi bersifat normatif. Itulah
sebabnya, terutama bagi mereka yang awam, seni atau musik kontemporer banyak
menimbulkan kesalahpahaman yang berlarut-larut.
Istilah musik kontemporer yang seringkali diterjemahkan menjadi musik baru atau musik
masa kini menyebabkan persepsi bahwa jenis musik apapun yang dibuat pada saat sekarang dapat
disebut sebagai musik kontemporer. Padahal istilah kontemporer yang melekat pada kata musik itu
bukanlah menjelaskan tentang jenis (genre), aliran atau gaya musik, akan tetapi lebih spesifik pada
sikap atau cara pandang senimannya yang tentunya tersirat dalam konsep serta gramatik musiknya
yang memiliki nilai-nilai kekinian. Persoalannya adalah, untuk mengetahui apa yang terkini tentu
saja kita mesti memiliki referensi secara historis. Melalui kesadaran historislah seseorang akan
memiliki wahana (tools) yang dapat digunakan untuk menilai serta memahami aspek kebaruan
dalam karya musik (baca:musik kontemporer).

Bagi pemahaman sebagian orang, musik kontemporer selalu dikaitkan dengan konsep
penggunaan alat musiknya. Yang paling trend adalah ketika suatu karya musik menggunakan
campuran alat modern dan tradisional dapat memberi penegasan bahwa itulah musik
kontemporer. Walaupun pada kenyataannya banyak karya musik kontemporer menggunakan
campuran alat musik seperti yang disebutkan di atas, akan tetapi konsep atau ide dengan campuran
alat musik tersebut sebenarnya belum dapat menjamin bahwa karya musik tersebut adalah musik
kontemporer. Bagi saya, penerapan istilah modern-tradisional atau konvensional-non
konvensional yang ditujukan pada sebuah alat/instrumen musik sebenarnya agak membingungkan.
Sistem pengelompokan musik berdasar penggunaan instrumen yang dangkal tersebut justru
diruntuhkan oleh ideologi para komponis kontemporer. Bagi para komponis kontemporer, semua
instrumen musik yang digunakan dalam karyanya dikembalikan harfiahnya sebagai alat permainan.
Dengan demikian sekat-sekat cara penggunaan atau teknik bermain alat musik yang bersifat
konservatif dan secara geokultural terasa sempit itu dibuka seluas-luasnya. Bahkan penemuanpenemuan dalam bidang organologi atau pemanfaatan teknologi canggih menjadi orientasi penting
dalam perkembangan musik kontemporer.
Istilah musik kontemporer dewasa ini sudah sangat sering dipergunakan oleh para insan
musik Indonesia. Namun harus diakui bahwa pengertian musik kontemporer yang tunggal dan bulat
mungkin tidak akan pernah ada, karena ia lebih menunjuk pada suatu prinsip-prinsip
kecendrungan fenomenologis yang terlalu heterogen, sehingga cirinya bukan pada kebakuan format
melainkan idealisme yang selalu berkembang. Secara etimologis kata kontemporer menunjuk pada
arti saat sekarang atau sesuatu yang memiliki sifat kekinian. Kata tersebut tidak berarti sesuatu
yang terputus dari tradisi, melainkan sesuatu yang dicipta sebagai hasil perkembangan tradisi
sampai saat ini. Kata kontemporer kendatipun harus diakui diadopsi dari bahasa Inggris
(Barat)contemporary, namun tidak relevan jika kita selalu menghubungkan karya-karya kita sematamata dari sudut pandang musik kontemporer Barat. Terminologi kontemporer Barat inipun di Barat
tidak ada yang bisa menjelaskan, kendatipun banyak diantara mereka yang mencoba mereka-reka
(Harjana, 2004:187).
Gendon Humardani seperti yang dikutip Rustopo (1990: 22-26) membatasi kontemporer
sebagai suatu sikap berkesenian yang sejalan dengan konsep seni modern yang berorientasi pada
masalah-masalah kehidupan masa kini. Sikap kontemporer yaitu terus menerus mengembangkan
kreativitas, mewujudkan yang baru dan yang segar, mengakomodasi masalah kehidupan masa kini.
Menurut Edi Sedyawati (1981:122), istilah kontemporer sebenarnya luas. Rumusannya mudah
dikatakan tetapi tidak semudah menentukan batas-batasnya, bahkan cendrung kurang memberikan
manfaat. Ia menawarkan suatu batasan yang bergeser dari arti katanya tetapi lebih mendekati
maksud yang dituju yaitu seni kontemporer adalah seni yang menunjukkan daya cipta yang hidup,
yang menunjukkan kondisi kreatif dari masa terakhir.
Dalam perkembangannya kemudian, penerapan pengertian kontemporer dari yang semula
sangat ideologis menjadi lebih khusus, yaitu mengarah ke sebuah konsep untuk menggolongkan
karya-karya yang selalu disemangati pencarian kemungkinan baru, menekankan sifat anti pada
kaidah-kaidah kompositoris, bahkan anti pada bentuk-bentuk penyajian musikal yang baku dan
mapan. Dari sudut pandang konsep kreativitas, musik kontemporer dimengerti sebagai musik baru
yang dibuat dengan kaidah dan suasana yang baru. Paham mengenai musik tidak lagi terbingkai
pada sesuatu yang enak didengar saja, melainkan berkembang pada gagasan menampilkan proses
eksplorasi bunyi sebagai yang utama dan medium ekspresi yang tak terbatas agar dapat mewadahi
gagasannya. Dengan konsep ini akan memberikan kebebasan kepada penciptanya berintepretasi
berdasarkan pengalaman batinnya masing-masing. Namun justru dengan bentuknya yang sangat
bebas membuat penikmat kehilangan pegangan untuk bisa menikmati musik, sekaligus memahami
unsur-unsur kebebasan yang ditawarkan sang pencipta.
Berbagai sebutan seperti musik kontemporer Indonesia, musik kontemporer Jepang, musik
kontemporer Barat dan lain sebagainya, sebenarnya tidak menjelaskan apa pun bahkan sedikit
rancu. Oleh karena itu, upaya yang paling tepat dalam memahami musik kontemporer adalah tidak

melalui pendekatan secara general (genre, aliran, budaya dll.), akan tetapi melalui pendekatan karya
musik secara kompositoris serta sosok senimannya secara individual. Justru karena tuntunan
ekspresi individual para seniman-lah, fenomena musik kontemporer muncul ke permukaan kita.
Berbagai karya musik kontemporer yang pernah dicipta oleh komponis seperti, Charles Ives, John
Cage, Edgar Varese, Steve Reich dan lain sebagainya, masing-masing memiliki keunikan tersendiri
sekalipun mereka dapat disebut sebagai komponis Amerika. Tapi lain hal jika kita mendengar musik
blues misalnya, sekalipun para penyanyi atau pemain musiknya memiliki cara interpretasi yang
cukup unik, akan tetapi konsep gramatik musiknya seperti penggunaan kerangka akor, jajaran
nadanya, pola ritmenya dan lain-lain dapat dikenali secara mudah karena semua konsepnya itu telah
menjelaskan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang telah baku. Demikian juga dalam musik gamelan
Sunda misalnya, konsep kenongan goongan, perbedaan irama kering, sawilet, dua wilet dan lain
sebagainya merupakan ciri-ciri yang dapat menjelaskan konsep gamelan kliningan yang telah mapan
itu. Keindividualannya tidak dapat dilihat dari aspek kompositorisnya akan tetapi hanya terletak dari
interpretasi pemainnya.
Pengaruh Budaya Barat Terhadap Awal Perkembangan MKI
(Musik Kontemporer Indonesia)
Kalau kita berbicara tentang tradisi Barat, bagi seorang Barat apa yag dimaksud tradisi
Barat akan membingungkan. Ternyata di Indonesia sendiri tradisi musik Barat selalu
dihubungkan dengan musik tonal sederhana yang muncul sekitar pada abad ke-17. Walaupun sistem
tonal sendiri memang amat berperan. Di Indonesia persepsi dan pemahaman akan tradisi Barat
tertentu itu belum mencapai hasil yang memadai, terkecuali pencapaian beberapa orang saja.
Demikianlah kalau kita analisis sebagian bentuk musik di Indonesia penggarapannya dengan gaya
barat itu. Perkembangan seni musik yang terjadi khususnya di Indonesia tentunya mampu
menjelaskan seberapa besar peranan sistem tonal itu sendiri.
Namun penggunaan istilah kontemporer di Indonesia, terutama cara yang ditawarkan Franki,
mengarah kepada sesuatu yang bagi orang Barat sama sekali tidak berhubungan dengan aspek
kontem-porer, melainkan dengan suatu saat atau masa dalam perkembangan musik Barat yang
telah menyerbu Indonesia melalui jalur kolonialisme, dalam hal ini, yaitu peranan kolonialisme saya
setuju dengan Franki (Mack, 2004: 12).
Sampai saat ini tidak ada suatu alasan pun, kenapa MKI dikaitkan secara mutlak dengan
pengaruh musik tonal Barat. Penalaran semacam ini mengabaikan kenyataan bahwa dalam berbagai
budaya musik Indonesia terdapat pembaharuan yang juga bisa dibandingkan dengan pengertian
kontemporer di Barat. Akan tetapi selalu berhubungan dengan gramatika atau bahasa seni musik
yang asli Indonesia, misalnya gaya Kebyar di Bali.
Memang sulit untuk mengumpulkan data yang akurat mengenai pengaruh budaya Barat
terhadap MKI. Karena musik itu sendiri dimulai dari barat sendiri. Namun, bukan berarti MKI yang
terdapat di Indonesia sepenuhnya mendapat pengaruh dari budaya Barat. MKI masuk ke Indonesia
memang mengikuti perkembangan dari gaya barat. Tetapi itu bukan argumentasi yang dapat
menyatakan bahwa MKI keluar dari tradisi musik dalam negeri sendiri.
Pembangunan suatu bangsa yang mengabaikan kebudayaannya akan melemahkan sendisendi kehidupan bangsa itu sendiri. Pembangunan yang tidak berakal pada nilai fundamental budaya
bangsanya, akan berakibat pada hilangnya kepribadian dan jati diri bangsa yang bersangkutan
( Sutrisno, 1993: 15).
Pendapat dari seorang pengamat seni seperti Franki bisa saja menimbulkan kesalahpahaman
yang besar karena pendapatnya mencoba menggabungkan komersialisasi dengan aspek seni itu
sendiri. Sementara analisisnya hanya diperkuat dengan alibi yang menghubungkan MKI dengan
objek komersial sebagai tujuan utama dari jenis musik maka dapat disimpulkan bahwa, argumentasi
Franki yang menyatakan MKI sepenuhnya berkembang berdasarkan musik Barat tidak sepenuhnya
benar. Banyak argumen lainnya yang menyatakan musik barat memang berpengaruh terhadap
perkembangan MKI namun MKI tetap berpegang pada kebudayaan sendiri.
Perkembangan Musik Kontemporer di Indonesia

Di Indonesia, perkembangan musik kontemporer baru mulai dirasakan sejak


diselenggarakannya acara Pekan Komponis Muda tahun 1979 di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Melalui acara itu komunikasi para seniman antar daerah dengan berbagai macam latar belakang
budaya lebih terjalin. Forum diskusi serta dialog antar seniman dalam acara tersebut saling memberi
kontribusi sehingga membuka paradigma kreatif musik menjadi lebih luas. Sampai hari ini para
komponis yang pernah terlibat dalam acara itu menjadi sosok individual yang sangat memberi
pengaruh kuat untuk para komponis musik kontemporer selanjutnya. Nama-nama seperti Rahayu
Supanggah, Al Suwardi, Komang Astita, Harry Roesli, Nano Suratno, Sutanto, Ben Pasaribu, Trisutji
Kamal, Tony Prabowo, Yusbar Jailani, Dody Satya Ekagustdiman, Nyoman Windha, Otto Sidharta dan
masih banyak yang belum disebutkan, adalah para komponis kontemporer yang ciri-ciri karyanya
sulit sekali dikategorikan secara konvensional. Karya-karya mereka selain memiliki keunikan
tersendiri, juga cukup bervariasi sehingga dari waktu ke waktu konsep-konsep musik mereka bisa
berubah-ubah tergantung pada semangat serta kapasitas masing-masing dalam mengembangkan
kreatifitasnya. Pada puncaknya, karya-karya musik kontemporer tidak lagi menjelaskan ciri-ciri latar
belakang tradisi budayanya walaupun sumber-sumber tradisi itu masih terasa lekat. Akan tetapi
sikap serta pemikiran individual-lah yang paling penting, sebagai landasan dalam proses kreatifitas
musik kontemporer. Sikap serta pemikiran itu tercermin seperti yang telah dikemukakan komponis
kontemporer I wayan Sadra antara lain:
Kini tak zamannya lagi membuat generalisasi bahwa aspirasi musikal masyarakat
adalah satu, dengan kata lain ia bukan miliki kebudayaan yang disimpulkan secara
umum, melainkan milik pribadi orang per orang (Sadra, 2003).
Mengamati perkembangan musik kontemporer di daerah sundatampaknya agak lamban.
Selain apresiasi masyarakat Sunda belum begitu memadai, para komponisnya yang relatif sangat
sedikit, juga dukungan pemerintah setempat atau sponsor-sponsor lain untuk penyelenggaraan
konser-konser musik kontemporer sangat kurang. Di Yogyakarta misalnya, secara konsisten selama
belasan tahun mereka berhasil menyelenggarakan acara Yogyakarta Gamelan Festival tingkat
Internasional yang didalamnya banyak sekali karya-karya musik kontemporer dipentaskan. Kota Solo
pada tahun 2007 dan 2008 telah menyelenggarakan acara SIEM (Solo International Ethnic Music).
Banyak karya-karya musik kontemporer dipentaskan dalam acara itu dengan jumlah penonton
kurang lebih 50.000 orang. Festival World Music dengan nama acara Hitam Putih di Riau, Festival
Gong Kebyar di Bali dan lain sebagainya. Acara-acara tersebut secara rutin dilakukan bukan sekedar
ritual atau memiliki tujuan memecahkan rekor Muri apalagi mencari keuntungan, karena
pementasan musik kontemporer seperti yang pernah dikatakan Harry Roesli merupakan seni yang
merugi akan tetapi melaba dalam tata nilai.
Sebenarnya banyak komponis kontemporer di daerah Sunda yang cukup potensial, akan
tetapi sangat sedikit yang konsisten. Salah satu komponis pertama yang perlu disebut adalah Nano S.
Meskipun aktifitasnya lebih cenderung sebagai pencipta lagu, akan tetapi beberapa karyanya seperti
karya Sangkuriang atau Warna memberi nafas baru dalam pengembangan musik Sunda.
Komponis lain seperti Suhendi Afrianto, Ismet Ruhimat sangat nyata upayanya dalam pengembangan
instrumentasi pada gamelan Sunda. Dodong Kodir yang cukup konsisten dalam upaya
mengembangkan aspek organologi dalam komposisinya, Ade Rudiana yang sukses dalam
pengembangan dibidang komposisi musik perkusi, Lili Suparli yang memegang prinsip kuat dalam
pengolahan idiom-idiom musik tradisi Sunda, serta tak kalah penting komponis-komponis seperti
Dedy Satya Hadianda, Dody Satya Eka Gustdiman, Oya Yukarya, Dedy Hernawan, Ayo Sutarma yang
karya-karyanya cukup variatif dan memiliki orsinalitas dilihat dari aspek kompositorisnya. (posisi
penulis sebagai komponis juga memiliki ideologi yang kurang lebih sama dengan para komponis yang
terakhir disebutkan).
Dari beberapa komponis Sunda seperti yang telah disebutkan di atas, secara kompositoris
karakteristik karyanya dapat dipetakan menjadi tiga kategori. Pertama adalah karya musik yang
bersifat musik iringan. Konsep komposisi dalam karya seperti ini berdasar pada penciptaan suatu
melodi (bentuk lagu/intrumental), kemudian elemen-elemen lainnya berfungsi mengiringi melodi

tersebut. Kedua adalah karya musik yang bersifat illustratif. Konsep komposisinya berusaha
menggambarkan sesuatu dari naskah cerita, puisi dan lain-lain. Dengan demikian orientasi
musiknya lebih tertuju pada penciptaan suasana-suasana yang berdasar pada interpretasi
komponisnya. Ketiga adalah karya musik yang bersifat otonom. Karya musik seperti ini biasanya
sangat sulit dipahami oleh orang awam. Selain bentuknya yang tidak baku, aspek gramatika
musiknya pun sangat berbeda jika dibandingkan dengan karya-karya tradisi. Kadang-kadang karyakarya musik seperti ini sering menimbulkan hal yang kontroversial. Seperti yang anti tradisi,
padahal secara sadar atau tidak, semua tatanan konsepnya bersumber dari tradisi. Kategori yang
seperti ini lebih dekat atau lebih cocok dengan fenomena musik kontemporer Barat (Eropa-Amerika).
Di Bali, aktivitas berkesenian dengan ideologi kontemporer sesungguhnya telah berlangsung
sejak awal abad ke-20 dengan lahirnya seni kekebyaran di Bali Utara. Namun wacana tentang musik
kontemporer mulai mengemuka serangkaian adanya Pekan Komponis Muda I yang diselenggarakan
di Jakarta pada tahun 1979. Komponis muda yang mewakili Bali pada waktu itu adalah I Nyoman
Astita dengan karyanya yang berjudul Gema Eka Dasa Rudra. Pada tahun-tahun berikutnya Pekan
Komponis Muda diikuti oleh komponis-komponis muda Bali lainnya seperti I Wayan Rai tahun 1982
dengan karyanya Trompong Beruk, I Nyoman Windha tahun 1983 dengan karyanya berjudul
Sangkep, I Ketut Gede Asnawa tahun 1984 dengan karyanya berjudul Kosong, Ni Ketut Suryatini
dan I Wayan Suweca tahun 1987 dengan karyanya berjudul Irama Hidup, I Nyoman Windha tahun
1988, dengan dua karyanya sekaligus yaitu Bali Age dan Sumpah Palapa.
Kehadiran karya musik kontemporer ini mulai terasa mengguncang persepsi masyarakat
akademik di ASTI dan STSI (kini ISI) Denpasar dan juga di KOKAR Bali (kini SMK 3 Sukawati),
karena musik ini cendrung mengubah cara pandang, cita rasa, dan kriteria estetik yang sebelumnya
telah dikurung oleh sesuatu yang terpola, ada standarisasi, seragam, global, dan bersifat sentral.
Konsep musik kontemporer menjadi sangat personal (individual), sehingga perkembangannyapun
beragam. Paham inilah yang ditawarkan oleh musik kontemporer, sehingga dalam karya-karya yang
lahir banyak terjadi vokabuler teknik garapan dan aturan tradisi yang telah mapan ke dalam wujud
yang baru, terkesan aneh, nakal, bahkan urakan.
Pada tahun 1987 serangkain dengan tugas kelas mata kuliah Komposisi VI, mahasiswa
jurusan karawitan ASTI Denpasar semester VIII untuk pertama kalinya menggarap sebuah musik
kontemporer dengan judul Apang Sing Keto. Karya yang berbentuk drama musik ini menggunakan
instrumen pokok Gamelan Gong Gede dipadu olahan vokal dan penggunaan lagu Goak Maling
Taluh sebagai lagu pokok. Karya ini kemudian ditampilkan pada Pesta Kesenian Bali tahun 1987
dan mendapat sambutan meriah dari penonton. Pada tahun 1988 ketika Festival Seni Mahasiswa di
Surakarta, saya sendiri selaku komponis mewakili STSI Denpasar menggarap karya musik
kontemporer yang berjudulBelabar Agung dengan menggunakan gamelan Gong Gede. Dua karya
terakhir ini sempat mendapat kecaman dari beberapa sesepuh karawitan, karena dianggap
memperkosa dan melecehkan gamelan Gong Gede yang telah memiliki kaidah-kaidah konvensional
yang mapan.
Dua tahun kemudian, satu garapan musik kontemporer dengan media ungkap berbeda
digarap kolaboratif oleh dua seniman I Wayan Dibia dan Keith Terry yaitu Body Tjak. Karya ini
merupakan seni pertunjukan multikultural hasil kerja sama atau kolaborasi internasional yang
memadukan unsur-unsur seni dan budaya Barat (Amerika) dan Timur (Bali-Indonesia). Body Tjak
digarap dengan penggabungan unsur-unsur seni Kecak Bali dengan Body Music, sebuah jenis musik
baru yang menggunakan tubuh manusia sebagai sumber bunyi. Garapan bernuansa seni budaya
global ini, lahir dengan dua produksinya yaitu Body Tjak 1990 (BT90) dan Body Tjak 1999 (BT99)
(Dibia, 2000:10). Kedua karya ini memang murni lahir dari keinginan seniman untuk
mengekspresikan jiwanya yang telah tergugah oleh dinamisme seni kecak dan body music. Dengan
berbekal pengalaman estetis masing-masing, dan diilhami oleh obsesi aktualitas kekinian, kedua
seniman sepakat melakukan eksperimen dalam bentuk workshop-workshop sehingga lahirlah musik
kontemporer Body Tjak.

Kehidupan dan perkembangan musik kontemporer yang diawali event-event gelar seni baik
dalam dan luar negeri akhirnya juga masuk ke ranah akademik. Mahasiswa jurusan karawitan ISI
Denpasar telah banyak menggarap musik kontemporer sebagai materi ujian akhirnya. Hingga tahun
2009 penggarapan musik kontemporer masih mendominasi pilihan materi ujian akhir mahasiswa
jurusan karawitan, hal ini menyebabkan secara produktivitas penciptaan musik kontemporer sangat
banyak, model dan jenisnyapun sangat beragam. Penggunaan instrumen tidak hanya terpaku pada
alat-alat musik tradisional Bali, juga digunakan instrumen musik budaya lainnya, bahkan
mahasiswa sudah mengeksplorasi bunyi dari benda-benda apa saja yang dianggap bisa
mengeluarkan suara yang mendukung ide garapannya.
Musik kontemporer yang berjudul Gerausch karya Sang Nyoman Putra Arsa Wijaya adalah
salah satu contoh eksplorasi radikal dalam musik kontemporer Bali. Karya ini sempat memunculkan
polemik kecil di kalangan akademik kampus. Berkembang wacana apakah karya ini tergolong musik
atau tidak, termasuk karya karawitan atau bukan?. Namun dengan pemahaman yang cukup alot
dari masyarakat akademik kampus, akhirnya karya kontroversial inipun telah mengantarkan sang
komposer memperoleh gelar S1 Komposisi Karawitan. Apa yang dijadikan titik tolak menilai sesuatu
sebagai karya seni, pemahaman konsep dan paradigma berfikir yang sesuai dengan perubahan
jaman diharapkan mampu menjelaskan seluruh fenomena yang ada. Itulah musik kontemporer,
kontroversial adalah ciri keberhasilannya.
Ciri Khas Musik Kontemporer di Indonesia
Menggambarkan kekhasan musik kontemporer di Indonesia adalah (walaupun hanya satu
kelompok, yaitu yang nonkarawitan) tidak mungkin karena pasti terdapat beberapa komponis yang
menarik, tetapi tidak sesuai sepenuhnya dengan kriteria-kriteria utama tentang musik kontemporer.
Kalau suatu ciri khas kemudian dapat dikaitkan dengan satu orang saja, maka pasti masih ada
beberapa di belakangnya yang juga mesti disebut. Keanekaragaman individual musik kontemporer di
Indonesia barangkali tidak disangka sebelumnya oleh beberapa orang, terutama ditinjau dari
peranan kesadaran hidup secara individual yang masih belum menonjol sebagai ciri khas budaya
Indonesia (pengutamaan kesadaran kelompok dan gotong royong misalnya, untuk menyebut berbagai
aspek saja).
Bagi telinga orang Barat, mula-mula kebanyakan komposisi kontemporer di Indonesia
barangkali dirasakan agak sederhana, improvisatif, bahkan seperti main-main saja. Ternyata hal
tersebut bisa ditafsirkan sebagai salah satu benang merah hampir antara semua komponis di
lingkungan kontemporer. Namun, tetap saja ada konotasi negatif. Tafsiran seperti ini kurang cocok
untuk sebagian karya-karya komponis Indonesia, karena justru unsur main-main itu adalah
metode tertentu untuk mentransfer unsur kesadaran kolektif pada suatu konsep karya seni yang
lebih otonom.
Dengan demikian, bentuk musikal sering terjadi pada saat pementasan salah satu karya
melalui proses interaksi antar musisi. Dimana esensi kualitatif sebagai karya seni tidak bisa
dipelajari dari notasi partitur. Maka tidak mengherankan kalau beberapa musikolog atau kritikus
Barat cenderung pada kesalahpahaman karya-karya komponis Indonesia dalam proses penilaiannya.
Kesimpulan
Dalam proses perjalanan seni musik, sejarah menguak beberapa perkembangan yang dialami
oleh seni musik itu sendiri. Dari perkembangan ini, akhirnya muncullah musik kontemporer (Neue
Musik). Kontemporer dianggap sebagai salah satu gaya tertentu, padahal kontemporer mesti diartikan
sebagai suatu sikap menggarap di ujung perkembangan seni yang digeluti. Namun perkembangan
musik kontemporer itu sendiri memunculkan nayak pertanyaan akan keberadaan musik
kontemporer di Indonesia.
Terlepas dari persoalan yang timbul, perlu diperhatikan bentuk musikal yang dimunculkan
dalam bentuk kontemporer. Hal tersebut dapat menggambarkan secara jelas bentuk musik
kontemporer yang masih berkaitan dengan budaya dalam negeri sendiri. Demikianlah kalau kita
analisis, dimana sebagian bentuk musik di Indonesia penggarapannya dengan gaya barat itu
meskipun tetap menggambarkan ciri khas budaya Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Arsawijaya, Sang Nyoman Putra. 2005. Gerausch, Skrip Karawitan untuk memenuhi syarat-syarat
untuk mencapai gelar sarjana (S1) pada Institut Seni Indonesia Denpasar.
Atmaja, Jiwa. 1993. Seni Kontemporer dalam Brosur Festival Seni Masa Kini, Denpasar: Yayasan
Walter Spies.
Bahm, Archie J. 2007. Filsafat Perbandingan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Baker SJ, J.W.M. 2005. Filsafat Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Bandem, I Made, 1986. Prakempa, Sebuah Lontar Gamelan Bali, Denpasar: Akademi Seni Tari
Indonesia.
Dickie, George. 1979. Aesthetics, Indiana Polis: Pegasus, Bobbs-Meril Education Publishing.
Djelantik, 1990. Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid II, Falsafah Keindahan dan Kesenian, Denpasar:
Sekolah Tinggi Seni Indonesia.
Dwi Maryanto M. 2002. Seni Kritik Seni, Yogyakarta: Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta.
Harjana, Suka. 2003. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini, Jakarta: The Ford Foundation
dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
________________ 2004. Musik Antara Kritik dan Apresiasi, Jakarta: Kompas.
Holt, Claire. 1967. Art In Indonesia Continuities And Changes, Ithaca New York: Cornell University
Press.

Kuta Ratna, Nyoman. 2007. Estetika, Sastra dan Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Langer K, Susanne (Terj. Fx. Widaryanto). 2006. Problematika Seni. Bandung: Sunan Ambu Press.
Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik, Kitsch, Kontemporer, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mack, Dieter. 2004. Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural, Bandung: ARTI.
Merriam, Alan P.1964. The Anthropology Of Music, Northwestern: University Press.
Meyer, Leonard P. 1970. Music, The Arts, and Ideas, Chicago, London: University of Chicago Press.
Munro, Thomas. 1969. The Arts and Their Interrelations, Cleveland and London: The Press Of Case
Western Reserve University.
Raden, Franki. 1994. Dinamika Pertemuan Dua Tradisi, Musik Kontemporer Indonesia di Abad ke20, dalam Jurnal Kebudayaan Kalam Edisi 2 1994.
Ramseyer, Urs dan I Gusti Raka Panji Tisna (Editor). 2002. Bali Dalam Dua Dunia. Basel: Musium der
Kulturen.
Read, Herbert (Terj. Soedarso Sp). 1993. Pengertian Seni.Yogyakarta: Saku Dayar Sana.
Ritzer, George. 2008. Teori Sosial Postmodern. Jakarta: Juxtapose bekerja sama dengan Kreasi
Wacana.
Rustopo. 1991. Gamelan Kontemporer di Surakarta: Pembentukan dan Perkembangannya (1970-1990),
Laporan Penelitian yang dibiayai oleh Proyek Operasi dan Perawatan Fasilitas STSI Surakarta.
Sachari, Agus. 2002. Estetika, Makna, Simbol dan Daya, Bandung: Penerbit ITB.
Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar Harapan.
To Thi Anh.1985. Nilai Budaya Timur dan Barat, Jakarta: PT Gramedia.
Sadra, I Wayan. 2003. Gamelan Kontemporer Antara Ada dan Tiada, Mencermati Seni Pertunjukan I

Anda mungkin juga menyukai