Anda di halaman 1dari 16

RESUME

IRIGASI RAWA / REKLAMASI PASANG SURUT DAN


PERMASALAHAN YANG TERJADI PADA DAERAH IRIGASI
RAWA PASANG SURUT

Dibuat untuk memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Sistem Operasi dan Pemeliharaan
Irigasi yang Diampu Oleh Bapak Dr. Eng. Tri Budi Prayogo, ST., MT.

Disusun Oleh:

Safirah Anisah H. (185060401111016)

Mukhlis Arief Irvandi (185060407111011)

Kelas B

JURUSAN TEKNIK PENGAIRAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
RESUME IRIGASI RAWA / REKLAMASI PASANG SURUT

1. Pengertian Rawa
Rawa sebagai jaringan sumber daya air adalah genangan air terus menerus atau
musiman yang terbentuk secara alamiah merupakan satu kesatuan jaringan sumber daya air
dan mempunyai ciri-ciri khusus secara phisik, kimiawi dan biologis (Suhardjono,2010).
Ciri fisik rawa pada umumnya kondisi tanahnya cekung dengan topografi relatif datar. Ciri
kimiawi pada umumnya derajat keasaman airnya rendah dan/atau tanahnya bersifat
anorganik atau mengandung pirit dan ciri biologis rawa pada umumnya terdapat flora dan
fauna yang spesifik.

Pengertian rawa berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan


Rakyat Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2015 tentang Ekploitasi dan Pemeliharaan
Jaringan Reklamasi Rawa Pasang Surut pasal 1 butir 1 sebagai berikut: “Rawa adalah
lahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat
drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi
dan biologis”.

Selain Peraturan tersebut diatas, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2015 tentang Ekploitasi dan Pemeliharaan
Jaringan Irigasi Rawa Lebak pasal 1 butir 1 memuat berikut: “Rawa adalah wadah air
beserta air dan daya air yang terkandung di dalamnya, tergenang secara terus menerus atau
musiman, terbentuk secara alami di lahan yang relatif datar atau cekung dengan endapan
mineral atau gambut, dan ditumbuhi vegetasi, yang merupakan suatu ekosistem”.
Peraturan-peraturan di atas memberikan pengertian rawa yang lazim digunakan di
Indonesia.

2. Karakterisitik Lahan Rawa


Reklamasi rawa berarti mengubah lahan rawa sedemikian sehingga terbentuk suatu
lingkungan baru yang cocok untuk maksud reklamasi tersebut. Apabila dalam reklamasi
rawa dimaksudkan untuk pengembangan pertanian, maka lingkungan rawa tersebut harus
diubah sedemikian sehingga cocok untuk pertanian. Hal penting yang harus diketahui
sebelum reklamasi dilaksanakan pada suatu lahan rawa adalah karakteristik dari lahan
tersebut. Karakteristik ini dapat memberikan gambaran apakah reklamasi atas lahan rawa
tersebut dapat berhasil menyediakan lahan yang cocok untuk tujuan reklamasi dalam arti
berhasil secara teknis dan menguntungkan secara ekonomi. Menurut Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2015
tentang Rawa pasal 4 ayat (1) menjelaskan karakteristik rawa yang meliputi rawa pasang
surut dan rawa lebak.

2.1. Rawa Pasang Surut


Menurut PP No. 73 tahun 2013 (Republik Indonesia (2013) dan Permen PU No. 05
tahun 2010 (Kementerian Pekerjaan Umum, 2010), rawa pasang surut merupakan lahan
yang tergenang secara terus menerus atau musiman dan terletak di tepi pantai atau dekat
pantai atau muara sungai, dimana genangan air sangat dipengaruhi oleh pasang surutnya
air laut. Skema luapan atau hidrotopografi rawa pasang surut terbagi dalam empat tipe: A,
B, C dan D. Kategori A, yaitu daerah pasang surut langsung. Daerah ini paling cocok
ditanami padi, kategori B, yaitu daerah pasang surut tidak langsung cocok untuk padi dan
holtikultura, kategori C, yaitu daerah pasang surut tadah hujan cocok untuk palawija dan
tanaman perkebunan, dan kategori D paling cocok dengan tanaman kering dan perkebunan
(Imanudin et al., 2010).

Wilayah rawa pasang surut air asin/payau terdapat di bagian daratan yang
berkesambungan dengan laut, khususnya di muara sungai besar dan pulau-pulau delta di
wilayah dekat muara sungai besar. Di bagian pantai, dimana pengaruh pasang surut air
asin/laut masih sangat kuat, sering kali disebut sebagai tidal wetlands yakni lahan basah
yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Dalam keadaan alamiah, tanah-tanah pada
lahan rawa pasang surut merupakan tanah yang jenuh atau tergenang dangkal, sepanjang
tahun atau dalam waktu yang lama, beberapa bulan dalam setahun. Dalam klasifikasi
Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), tanah rawa termasuk tanah basah atau
wetsoils yang dicirikan oleh kondisi berair, yakni saat ini mengalami penjenuhan air dan
reduksi secara terusmenerus atau periodik. Proses pembentukan tanah yang dominan
adalah pembentukan horison tanah tereduksi berwarna kelabu kebiruan disebut proses
glesasi, dan pembentukan lapisan gambut di permukaan. Bentuk penampang rawa pasang
surut, ditampilkan dalam bentuk sketsa pada Gambar 3.

Zona wilayah rawa pasang surut terdapat dataran lumpur (mud flats) yang dapat
terbenam sewaktu pasang dan muncul sebagai daratan lumpur tanpa vegetasi sewaktu air
laut. Tanah dalam zona tersebut seluruhnya terbentuk dari endapan marin, yaitu terbentuk
dalam lingkungan laut/marin, yang secara khas dicirikan oleh kandungan mineral besi-
sulfida berukuran sangat halus yang disebut pirit. Pada bagian dataran bergaram ditumbuhi
bakau/mangrove karena pengaruh air laut pasang, tanahnya bersifat salin, mempunyai
reaksi alkalis (pH > 7,5), mengandung garam/salinitas tinggi, dan merupakan wilayah
tipologi lahan salin. Pada bagian yang dipengaruhi air payau, tanah umumnya bereaksi
mendekati netral (pH 6,5 – 7,5) karena pengaruh air tawar dengan kandungan garam lebih
rendah, dan merupakan wilayah tipologi lahan agak salin. Pada wilayah rawa belakang
yang dipengaruhi air tawar, tanah bereaksi semakin masam, dan terbentuk lapisan gambut
di permukaan, yang bersifat lebih memasamkan tanah.

2.2. Rawa Lebak


Lahan rawa lebak merupakan zona yang terletak makin ke arah hulu sungai, yaitu
mendekati atau berada pada daerah aliran sungai (DAS) bagian tengah. Pengaruh pasang
surut tidak ada, berganti dengan pengaruh sungai yang sangat dominan yaitu berupa banjir
besar yang secara periodik menggenangi wilayah selama musim hujan. Banjir tahunan
dapat terjadi, sebagai akibat dari volume air sungai yang menjadi sangat besar selama
musim hujan, dan tekanan balik dari arus pasang dari bagian muara. Sungai yang tidak
mampu menampung semua air, sehingga meluap membanjiri dataran banjir di kiri kanan
sungai. Selama musim hujan, rawa lebak selalu digenangi air kemudian secara berangsur-
angsur air banjir akan surut sejalan dengan perubahan musim hujan ke musim kemarau
tahun berikutnya. Topografi atau bentuk wilayah lahan lebak secara umum hampir datar
(flat) dengan lereng 1-2% secara berangsur menurun membentuk cekungan (basin) ke arah
wilayah rawa belakang dan bagian tengah menempati posisi paling rendah seperti yang
ditampilkan pada Gambar 4 berikut:

3. Reklamasi Rawa
Reklamasi rawa adalah upaya meningkatnya fungsi dan pemanfaatan rawa untuk
kepentingan masyarakat luas. Reklamasi daerah rawa juga merupakan salah satu bentuk
ekstensifikasi pertanian yang dila-kukan dengan membuka, memanfaatkan serta
melestarikan rawa sebagai sumber daya alam bagi kesejahteraan kehidupan manusia.

Tujuan pengembangan lahan rawa melalui reklamasi (Suhardjono dkk., 2010) adalah:

a. Pengembangan produktifitas pangan khususnya beras.


b. Memperluas lahan persawahan yang su-dah semakin berkurang.
c. Menyediakan lahan pertanian dan meningkatkan pendapatan bagi para transmigran.
d. Menunjang pengembangan wilayah produktif serta meningkatkan penghasilan petani.
e. Mendukung program ketahanan dan keamanan terutama di daerah pesisir serta
perbatasan.

Konsep pengembangan lahan rawa dilakukan secara bertahap dalam rangka


pengembangan sumber daya air di Indonesia dengan fungsi budidaya. Kriteria
pengembangan lahan rawa sebagai kawasan budidaya (Anonim, 2008) adalah:

a. Kawasan yang secara teknis dapat dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya.


b. Kawasan yang dapat meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub
sektor kegiatan ekonomi sekitarnya.
c. Kawasan yang apabila digunakan untuk budidaya akan meningkatkan pendapat-an
nasional dan daerah.
d. Kawasan yang apabila digunakan untuk budidaya tidak mengganggu fungsi lindung
dan pelestarian sumber daya alam.

4. Sistem Irigasi Rawa


Irigasi sebagai suatu usaha penyediaan, pengaturan dan pembuangan air untuk
penunjang pertanian, dimana jenisnya termasuk diantaranya irigasi rawa. Sistem irigasi
merupakan upaya yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh air dengan
menggunakan bangunan dan saluran buatan untuk mengairi lahan pertanian. Upaya ini
meliputi prasarana irigasi, air irigasi, manajemen irigasi, kelembagaan pengelolaan irigasi
dan sumber daya manusia. Kesatuan wilayah rawa yang mendapat air dari genangan air
hujan atau pasang surut air laut disebut dengan Daerah Irigasi Rawa yang bisa disingkat
dengan DIR. Pada daerah irigasi rawa diperlukan upaya untuk menjaga dan mengamankan
jaringan irigasi agar selalu dapat berfungsi dengan baik guna memperlancar pelaksanaan
operasi dan mempertahankan kelestariannya.

Khusus untuk rawa, pengalaman Pemerintah Indonesia dalam irigasi pada praktiknya
masih minim karena beberapa permasalahan. Kendala-kendala pengembangan irigasi rawa
ini sangat mempengaruhi minat dan motivasi petani lokal untuk tetap bertahan pada
komoditas tersebut. Dorongan ekonomi membuat lahan sawah dikonversi menjadi lahan
perkebunan (Sa’ad et al, 2010). Banyaknya ditemukan lahan bongkor juga merupakan
dampak dari sistem pengelolaan irigasi rawa pasang surut yang tidak benar (Noor, 2012).
Ketersediaan dan kesinambungan air irigasi menjadi syarat mutlak pertanian irigasi rawa
pasang surut. Apabila air irigasi tidak mencukupi, berdampak langsung pada penurunan
motivasi petani dan beralih perkebunan (Panggabean, 2015).

Dari penelitian, Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Kementerian PU (2013)


juga menemukan kompleksitas permasalahan dalam pengembangan pertanian dengan
irigasi rawa, di antaranya :

a. Keterbatasan jaringan irigasi pasang surut, khususnya daerah pedalaman dengan akses
yang sulit
b. Sifat tanah dengan kadar pirit yang tinggi sehingga kurang subur ditanami.
Keterbatasan jaringan irigasi dan suplai air tidak memadai akan menyulitkan
pembersihan kadar pirit. Lahan menjadi tidak produktif dan dibiarkan terbengkalai
(lahan bongkor). Lahan bongkor (Noor, 2012) telah banyak dialihfungsikan
masyarakat menjadi lahan perkebunan sawit atau karet.
c. Keterbatasan akses ke lokasi juga menjadi hambatan. Sebagian besar mengandalkan
jalur sungai, sedangkan akses jalan darat masih sangat terbatas. Mahalnya biaya
menggunakan moda transportasi air menyulitkan petani menjual hasil produk
pertanian ke luar daerah.
d. Maraknya gangguan hama dan tikus juga menurunkan produktivitas lahan. Biaya
produksi yang cukup mahal membatasi kemampuan petani meningkatkan produksi
pertanian rawa.

Untuk mengatasi permasalahan dalam pengembangan pertanian dengan irigasi rawa


perlu adanya sebuah perencanaan irigasi (system planning) berupa pedoman teknik
perencanaan baku yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan dan pengelolaan rawa
khususnya irigasi di masa yang akan datang.

5. Perencanaan Teknik Jaringan Irigasi Rawa


Perencanaan Sistem Irigasi Rawa idealnya sama dengan perencanaan sistem irigasi
permukaan yaitu menyediakan kebutuhan air melalui pengadaan infrastruktur penunjang
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tata Cara Perencanaan Teknik Jaringan Irigasi Rawa
merupakan sebuah system planning yang memuat tahapan menuju perencanaan teknik
jaringan irigasi rawa. Penyusunan Tata Cara Perencanaan Teknik Jaringan Irigasi Rawa
selain mendasar kepada regulasi yang berlaku di Indonesia, juga mengacu kepada Standar
Perencanaan Irigasi yang diterbitkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat
Jenderal Sumber Daya Air Direktorat Irigasi dan Rawa pada tahun 2013. Tata Cara
Perencanaan Teknik Jaringan Irigasi Rawa merupakan tahap awal dari kegiatan
penyusunan sebuah rancangan pedoman perencanaan jaringan irigasi rawa. Tata Cara
Perencanaan Teknik Jaringan Irigasi Rawa terdiri dari beberapa tahapan berikut:

A. Pengumpulan Data Sekunder


Pengumpulan data sekunder yang diperlukan untuk pekerjaan Perencanaan Jaringan
Irigasi Rawa meliputi data topografi, data klimatologi, data hidrologi, data statistik,
dan data hasil studi terdahulu (bila ada). Data-data tersebut dapat diperoleh pada
instansi-instansi terkait berikut:
 Badan Informasi Geospasial (BIG) Data yang perlu diperoleh dari BIG yaitu Peta
Rupa Bumi (Peta RBI), dengan cara membeli melalui kontak email dan telepon
atau mengunjungi langsung kantor BIG atau sentra peta terdekat lokasi rencana
kegiatan.
 Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Pusat atau Wilayah
Data yang perlu diperoleh dari BMKG yaitu (a) Data Iklim Bulanan yang bisa
diperoleh gratis melalui website http://dataonline.bmkg.go.id/, dan (b) Curah
Hujan Harian yang diperoleh dengan cara membeli melalui kontak email dan
telepon atau mengunjungi langsung kantor BMKG pusat atau wilayah lokasi
rencana kegiatan.
 Dinas Hidro-Oseanografi Tentara Nasional Angkatan Laut Indonesia (Dishidros
TNI AL), Data yang perlu diperoleh dari Dishidros TNI AL yaitu (a) Peta Laut
Kertas, dan (b) Buku Daftar Pasang Surut dengan cara membeli melalui kontak
email dan telepon atau mengunjungi langsung kantor Dishidros TNI AL.
 Badan Pusat Statistik (BPS) Data yang perlu diperoleh dari BPS yaitu Data
Statistik yang bisa diperoleh dengan mengunjungi website BPS Pusat kemudian
pilih website daerah yang diperlukan. Data statistik untuk sebagian besar wilayah
sudah bisa diperoleh langsung secara gratis, namun untuk beberapa daerah masih
memberlakukan sistem beli manual hardcopy atau softcopy melalui website
daerah masing-masing.
 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Data yang perlu diperoleh
dari BAPPEDA yaitu Data Perencanaan Tata Ruang Wilayah. Data tersebut
berupa kebijakan pemerintah wilayah lokasi rencana kegiatan tentang rencana
pemanfaatan ruang dan wilayah dari lokasi tersebut. Kebijakan perencanaan tata
ruang wilayah tersebut diperoleh dengan cara membeli langsung ke instansi yang
bersangkutan dengan tarif yang berbeda disetiap wilayah.
 Data-data pekerjaan atau studi terdahulu dan terkait Data sekunder yang perlu
diperoleh dari pekerjaan terdahulu berupa produk laporan akhir pekerjaan, data
hasil survei lapangan, data pengujian laboratorium dari pekerjaan sebelumnya.
Data ini dapat diperoleh dari instansi pemilik pekerjaan atau dari konsultan
pelaksana pekerjaan.
B. Pengumpulan Data Primer
Pengumpulan data primer yang diperlukan untuk pekerjaan Perencanaan Jaringan
Irigasi Rawa meliputi data topografi, data klimatologi, data hidrologi, data statistik,
melalui kegiatan berikut:
 Survei Awal
Kegiatan survei awal dilakukan sebelum pekerjaan dilaksanakan untuk
memperoleh gambaran awal dari lokasi rencana kegiatan.
 Survei Pemetaan
Survei pemetaan atau disebut juga survei topografi dilaksanakan untuk suatu
kawasan rencana dengan kondisi eksisting yang sangat bervariasi. Untuk itu
survei pemetaan perlu disesuaikan dengan keadaan lahan dan keperluan
pemetaannya. Prosedur pelaksanaan survei pemetaan untuk Perencanaan Jaringan
Irigasi Rawa dilakukan dengan mengacu kepada SNI 19-6988-2004 tentang Jaring
Kontrol Sifat Datar.
 Survei Hidrometri
Pelaksanaan survei hidrometri untuk pekerjaan Perencanaan Jaringan Irigasi Rawa
yaitu sebagai berikut: (1) Survei Pasang Surut, (2) Survei Arus, (3) Survei
Salinitas dan Kualitas Air, (4) Survei Sedimen, (5) Survei Penampang Melintang
Sungai. Prosedur pelaksanaan survei hidrometri mengacu kepada SNI 7646-2010
tentang Survei Hidrografi dengan Single beam dan Echosounder.
 Survei Tanah Pertanian
Pelaksanaan survei tanah pertanian untuk pekerjaan Perencanaan Jaringan Irigasi
Rawa bertujuan untuk mengetahui karakter tanah untuk keperluan pertanian di
lokasi rencana kegiatan.
 Survei Sosial-Agro-Ekonomi
Pelaksanaan survei sosial-agro-ekonomi bertujuan untuk mengetahui kondisi
sosial dan ekonomi (terkait pertanian) dari masyarakat sekitar yang akan
berdampak dan terdampak di lokasi rencana kegiatan.
 Survei Penyelidikan Tanah
Pelaksanaan survei penyelidikan tanah dalam Perencanaan Jaringan Irigasi Rawa
yaitu untuk mengetahui lapisan, jenis dan warna serta karakteristik tanah untuk
timbunan dalam perencanaan pondasi dan saluran air yang dibutuhkan di lokasi
rencana kegiatan.
C. Perencanaan Sistem
Perencanaan Sistem Pelaksanaan Perencanaan Jaringan Irigasi Rawa berupa
pemanfaatan tata guna lahan di daerah rawa. Pemanfataan yang dimaksud berupa
pemanfaatan usulan lahan berdasarkan pemanfaatan lahan saat ini dan hasil pengujian
laboratorium terhadap parameter tanah yang terdapat di lahan rawa tersebut.
Pemberian usulan tata guna lahan rencana di lahan rawa di tetapkan berdasarkan
kaidah penyusunan tata guna lahan rawa sebagai berikut:
 Lahan sawah dipertahankan tetap menjadi sawah
 Kebun produktif (Kebun Campur, Kebun Sawit, Kebun Kelapa, Kopi, dan
lainnya) dipertahankan tetap menjadi Kebun.
 Semak dan Belukar diusulkan menjadi Sawah.
D. Analisis dan Simulasi Hidraulika
Analisis dilaksanakan terhadap keberadaan saluran-saluran alam saat ini, maupun
saluran buatan manusia pada daerah rawa lahan rencana kegiatan. Dengan adanya
keberadaaan saluran tersebut, maka kegiatan Perencanaan Teknik Jaringan Irigasi
Rawa menjadi lebih mudah. Simulasi hidraulika dilakukan dengan menggunakan
perangkat lunak. Beberapa perangkat lunak yang bisa digunakan dalam simulasi
hidraulika antara lain: HEC-RAS, Watershed Modeling System (WMS), SMS
(Surface Water Modeling System), dan lain-lain.
E. Detail Desain
Detail desain dalam pekerjaan Perencanaan Jaringan Irigasi Rawa berupa Pintu Air.
Perencanaan desain pintu air berdasarkan rata-rata elevasi muka air saluran yang
diperoleh dari simulasi hidraulika dengan menggunakan software HEC-RAS 4.1.0
untuk tinggi dan menyesuaikan dengan lebar saluran untuk dimensi lebar pintu. Detail
desain untuk perhitungan Pintu Air mencakup: Perhitungan Dimensi, Perhitungan
Hidraulika, Perhitungan Stabilitas Konstruksi, Perhitungan Struktur.

6. Sistem Saluran Pada Daerah Rawa


Pada daerah rawa menggunakan sistem tata air mikro. Dalam sistem tata air makro,
saluran drainase dan irigasi biasanya dibedakan atas saluran primer, sekunder, dan tersier.
Saluran primer merupakan saluran terbesar yang menghubungkan sumber air atau sungai
dengan saluran sekunder. Sedangkan saluran tersier merupakan cabang saluran sekunder
dan menghubungkannya dengan saluran yang lebih kecil yang terdapat dalam sistem tata
air mikro. Dengan demikian, saluran tersier merupakan penghubung tata air makro dengan
tata air mikro.
Adapun bangunan-bangunan yang terdapat dalam tata air makro di antaranya :

A. Tanggul Penangkis Banjir


Drainase saja sering tidak mampu mengatasi meluapnya air di musim hujan
terutama pada rawa lebak. Oleh sebab itu, perlu dibuat tanggul penangkis di kanan-
kiri saluran.
B. Waduk Retarder
Waduk retarder atau sering disebut chek-dam atau waduk umumnya dibuat di lahan
rawa lebak atau lebak peralihan. Fungsi bangunan ini untuk menampung air di
musim hujan, mengendalikan banjir, dan menyimpannya untuk disalurkan di
musim kemarau.
C. Saluran Intersepsi
Saluran intersepsi dibuat untuk menangkap dan menampung aliran permukaan dari
lahan kering di atas lahan rawa sehingga tidak masuk ke lahan rawa. Letaknya pada
perbatasan antara lahan kering dan lahan rawa.
D. Saluran Drainase dan Irigasi
Saluran drainase dibuat guna menampung dan menyalurkan air yang berlebihan
dalam suatu kawasan ke luar lokasi. Sebaliknya, saluran irigasi dibuat untuk
menyalurkan air dari luar lokasi ke suatu kawasan untuk menjaga kelembaban
tanah atau mencuci senyawa-senyawa beracun. Oleh sebab itu, pembuatan saluran
drainase harus dibarengi dengan pembuatan saluran irigasi.
RESUME PERMASALAHAN PADA DAERAH IRIGASI RAWA PASANG SURUT
(Studi Kasus Pada Daerah Irigasi Telang I, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan)

1. Gambaran Umum
Daerah Irigasi Telang 1 merupakan daerah pasang surut yang terletak di Kabupaten
Musi Banyuasin yang beribukotakan di Sekayu, Provinsi Sumatera Selatan. Daerah ini
terletak di delta antara Sungai Musi di sebelah timur dan Sungai Telang di sebelah barat
yang meliputi 11 desa, 5 saluran primer, 58 blok sekunder, dan 928 petak tersier dengan
luas keseluruhan 14.848 ha lahan pertanian dan 1.856 ha lahan pekarangan penduduk. Dari
peta topografi yang ada menunjukkan bahwa daerah ini relatif datar dengan ketinggian
1.25- 1.75 m dpl (diatas permukaan laut) dan hanya sedikit lahan yang mempunyai
ketinggian diatas 1.75 m dpl.

2. Permasalahan yang Terjadi


Penelitian ini dilakukan oleh Pande Munthe dan Nora H Pandjaitan dari Jurusan
Teknik Pertanian, FATETA-ITB pada bulan Februari-April 1997. Objek penelitian ini
mencakup 3 saluran primer, 14 saluran sekunder, dan 224 petak tersier, dengan luas
keseluruhan 7000 ha. Berdasarkan penelitian mereka, dikerucutkan beberapa masalah yang
terjadi di daerah irigasi rawa Telang I, antara lain:
1. Dari data Stasiun klimatologi Talang Betutu Sumsel, didapat bahwa rerata curah hujan
bulanan 213 mm, curah hujan maksimum 374 mm pada bulan Maret, dan curah hujan
minimum 75 mm di bulan Juli. Temperatur udara 27O C, kelembaban udara rerata
83.5%, lama penyinaran 5.2 jam/hari, dan kecepatan angin rata-rata 0.62 m/detik.
Berdasarkan data tersebut, menurut klasifikasi Iklim Oldeman, jaringan irigasi Telang
I ini termasuk iklim C2, dengan bulan basah berturut-turut 6 bulan, dan bulan kering
berturut-turut 3 bulan. Secara teoritis, itu berarti jaringan ini hanya dapat ditanami padi
sekali dan palawija sekali dalam setahun.
2. Kondisi lahan relatif datar, dengan tinggi muka air rerata 1.75 m (musim hujan) dan
1.50 m (musim kemarau). Detigan demikian, hal tersebut membuat daerah irigasi
Telang I pada musim hujan sebagian besar akan tergenangi, yakni daerah dengan tipe
lahan A, A/B dan B/C, sedangkan pada musim kering/kemarau, daerah yang tergenang
hanyalah lahan dengan tipe A dan A/B.
3. Jaringan irigasi rawa ini terletak di lahan rawa berdrainase buruk, yang
diklasifikasikan menjadi lahan tipe A, A/B, B/C, B, dan C.
 Tipe C ialah kondisi lahan aluvial sulpidik bertekstur halus dengan drainase buruk.
 Tipe B ialah kondisi lahan tanah gambut dangkal berdrinase sangat buruk di atas
aluvial sulpidik bertekstur halus.
 Tipe B/C ialah kondisi tanah aluvial sulpidik dengan tekstur halus berdrainase sangat
buruk.
 Tipe B/A ialah tanah dengan gambut dalam yang berdrainase sangat buruk di atas
aluvial sulpidik bertekstur halus.
 Tipe A/B ialah tanah gambut dalam belum matang berdrainase sangat buruk di atas
aluvial sulpidik bertekstur halus.
4. Karena minimnya pengetahuan petani akan pengelolaan lahan dan pola tata tanam,
lahan ini memiliki produktivitas padi yang sangat rendah, yaitu hanya menghasilkan 2
– 2.5 ton/ ha.
Hal ini diperburuk dengan cara pengelolaan dan ketergantungan petani terhadap
kebutuhan air yang hanya mengandalkan curah hujan, penggunaan padi varietas lokal,
dosis pemupukan yang belum memenuhi persyaratan, dan tingginya serangan hama
penyakit. Terlebih, buruknya pemilihan pola tata tanam (hanya menanam padi satu
kali, dan sebagian kecil melakukan penanaman palawija satu kali) membuat
penggunaan lahan tidak efisien.
5. Setelah dianalisis berdasarkan pola tata tanam yang digunakan, terjadi defisit air pada
awal penanaman padi (Oktober II) sebesar 0.9 mm/hari, dan kelebihan air yang cukup
besar sampai panen.
Tabel 1. Neraca Air untuk Tanaman Padi Varietas Umur Panjang Dengan
Waktu Tanam yang Ada
Re Eto Surplus Defisit
Bulan Tanam mm/har
mm/hari i mm/hari mm/hari
Oktober II 4.3 5.2   0.9
November I 7.8 5.1 2.7  
November II 7.8 5.1 2.7  
Desember I 7.7 4.6 4.5  
Desember II 7.7 4.6 4.5  
Januari I 5.6 4.3 1.3  
Januari II 5.6 3.9 1.7  
Februari I 6.8 0 6.8  
Sumber: Jurnal Optimasi Pengelolaan Air Pada Lahan Irigasi Pasang Surut Telang I,
Sumatera Selatan, hlm. 8.
Untuk penanaman palawija, terjadi defisit air yang cukup lama, dari tanaman berumur
satu bulan hingga panen. Defisit dan kelebihan air ini mempengaruhi pertumbuhan dan
produksi tanaman, sehingga hasil panen yang dihasilkan tidak maksimal.
Tabel 2. Neraca Air untuk Tanaman Palawija Dengan Waktu Tanam yang Ada
Re Eto Surplus Defisit
Bulan Tanam
mm/hari mm/hari mm/hari mm/hari
April I 5.1 2.4 2.7 -
April II 5.1 2.8 2.3 -
Mei I 2.7 4.1 - 1.7
Mei II 2.7 4.8 - 2.1
Juni I 1.6 4.5 - 2.9
Juni II 1.6 4.2 - 2.6
Sumber: Jurnal Optimasi Pengelolaan Air Pada Lahan Irigasi Pasang Surut Telang I,
Sumatera Selatan, hlm. 9.
6. Lahan memiliki fluktuasi pasang surut yang cukup ekstrem, mengakibatkan genangan
pada lahan di musim hujan dapat mencapai 0.5 m di atas permukaan lahan.
7. Kondisi fisik jaringan irigasi yang belum sepenuhnya bergungsi, seperti pintu pengatur
air yang belum bisa dioperasikan, menyebabkan terjadi genangan yang besar terutama
di musim penghujan.

3. Alternatif Solusi Permasalahan


Berdasarkan permasalahan yang terjadi, disimpulkan beberapa alternatif solusi
penyelesaian guna meningkatkan produktivitas serta meningkatkan keuntungan di daerah
irigasi rawa pasang surut Telang I, antara lain:
1. Perbaikan teknik pengelolaan air dan budidaya agar produktivitas padi meningkat.
Salah satu contoh yang dapat dilakukan adalah penggantian pola tata tanam
berdasarkan kelas lahan. Untuk kelas lahan C, dapat ditanami padi varietas unggul
baru (100 %) - padi varietas unggul lokal atau palawija (100 %) dan untuk lahan tipe
A/B, dapat ditanami padi varietas unggul baru (200 %) - palawija terpililih (100 %).
Dengan demikian intensitas pertanaman (IP) untuk kelas lahan C adalah 200 % dan
lahan A/B adalah 300 %.
Karena keberadaan air, kualitas air, dan kedalaman lapisan pirit yang ada, alternatif
PTT di daerah ini masih sangat mungkin untuk ditingkatkan. Alternatif PTT dari padi
– palawija, bisa diubah menjadi padi-padi-padi, padi-padi-palawija, atau padi-
palawija-palawija yang disesuaikan dengan kelas lahan, dengan catatan padi yang
digunakan ialah padi varietas unggul / padi varietas umur pendek.
Tabel 3. Alternatif Pola Tata Tanam dan Waktu Tanam
Kelas Lahan Okt Nov Des Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agustus Sept
A Padi I Padi II Padi III
A/B Padi I Padi II Padi III
B/C Padi I Padi II Palawija
C Padi I Padi II / Palawija Palawija
Sumber: Jurnal Optimasi Pengelolaan Air Pada Lahan Irigasi Pasang Surut Telang I,
Sumatera Selatan, hlm. 12.
2. Apabila PTT diganti, maka harus diperhatikan pengolahan tanah. Agar hasil yang
didapat lebih efektif, pengolahan tanah bisa dibantu dengan penggunaan sarana
pengolahan tanah mekanis.
3. Penyesuain waktu tanam.
Setelah dikaji ulang, keuntungan akan lebih maksimum apabila waktu tanam diubah
menjadi pada November untuk menanam padi, dan palawija ditanam pada pertengahan
Februari, sehingga tidak lagi terjadi defisit air.
4. Pengaturan tinggi muka air harus diperhatikan agar air yang teraliri sesuai dengan
kebutuhan tanaman yang dibudidayakan.
5. Diperlukan pembuatan tanggul dan pintu air pada saluran tersier guna mengatur tinggi
muka air yang masuk dan menghindari genangan di musim penghujan. Selain itu,
pembuatan tanggul dan pintu air ini dapat membuat tinggi genangan air sebesar 10 cm
di lahan terus dipertahankan.
6. Diperlukan kegiatam pencucian tanah dari zat racun bagi tanaman selama musim
tanam atau saat waktu bero.
7. Pemberian pelatihan bagi anggota Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) tentang
cara pengelolaan air di petak tersier, dan perlu ada kesepakatan antar petani tentang
waktu tanam, jenis varietas padi yang akan digunakan, serta penggunaan sarana
pengolah tanah mekanis.
8. Diperlukan upaya perbaikan teknologi produksi pertanian, terutama penyiapan lahan,
penggunan padi varietas unggul, kelengkapan jenis dan dosis pupuk, serta
pengendalian hama dan penyakit tanaman.
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Prasarana Dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian. 2017.


Pedoman Teknis Rehabilitasi /Pembangunan Irigasi Rawa.
Munthe, Pande dan Nora H. Pandjaitan. 1998. Optimasi Pengelolaan Air Pada Lahan
Irigasi Pasang Surut Telang I, Sumatera Selatan. Bulterin Keteknikan Pertanian.
12(2).
Panggabean, E.W., Angguniko, B.A. 2016. Kebijakan Pengembangan Irigasi Rawa
Pasang Surut Dengan Pendekatan Sistem Dinamik. 8(2).
Prayogo, T.B. 2020. Irigasi Rawa. Materi Perkuliahan SOP Irigasi Minggu ke-5.
Putri, Y.S.E., Wurjanto, A. 2016. Tata Cara Perencanaan Teknik Jaringan Irigasi Rawa.
Jurnal Online Institut Teknologi Nasional. 2(1).

Anda mungkin juga menyukai