Anda di halaman 1dari 20

Bahan Lokakarya

PENYUSUNAN RENCANA UMUM


JANGKA MENENGAH PENGEMBANGAN
RAWA
(Tahap Identifikasi)

1. PENDAHULUAN

 Wilayah lahan rawa di Indonesia menempati  20% dari total wilayah


daratan dan menurut data terakhir diperkirakan meliputi luas 33,4 juta
Ha yang sebagian besar tersebar di Sumatera (9,4 juta Ha), Kalimantan
(11,7 juta Ha), Sulawesi (1,8 juta Ha), dan Papua/Irian Jaya (10,5 juta
Ha). Dari total luas lahan rawa tersebut, sekitar 5-10 juta Ha dinilai
berpotensi untuk budidaya pertanian tanaman pangan dengan input
teknologi rendah. Sedangkan dengan input teknologi sedang atau lebih
tinggi, diperkirakan luas potensial tersebut masih lebih besar lagi.

 Di masa mendatang, potensi lahan rawa tersebut diperkirakan


peranannya akan semakin strategis untuk mendukung pembangunan
pertanian, khususnya dalam rangka program ketahanan pangan dan
pengembangan agribisnis yang menjadi fokus pembangunan dalam lima
tahun mendatang (jangka menengah). Kondisi ini berkaitan dengan
masalah-masalah sebagai berikut :

 Meningkatnya kebutuhan pangan dan komoditi pertanian, seiring


dengan laju pertumbuhan penduduk, peningkatan taraf hidup, dan
industrialisasi.
 Makin menyusutnya lahan-lahan produktif/beririgasi, khususnya di
Jawa dan sekitar perkotaan di luar Jawa, akibat alih fungsi lahan
untuk kegiatan non pertanian (permukiman, industri, prasarana
umum).
 Pengembangan pertanian di lahan kering (upland) dihadapkan pada
kompetisi dengan penggunaan lainnya (konsesi perkebunan, HPH),
keterbatasan suplai air, serta resiko erosi.

1
Bahan Lokakarya
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)

 Persoalan utama yang dihadapi dalam pengembangan lahan rawa untuk


budidaya pertanian dan permukiman, antara lain :

 Sebagian besar lahan rawa merupakan lahan marjinal yang


didominasi gambut tebal dan tanah sulfat masam (cat-clays). Lahan
rawa umumnya berdrainase buruk (tergenang) dan tanahnya belum
matang (unripe soil), sehingga kurang mendukung untuk budidaya
tanaman. Agar dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian, maka
lahan rawa harus direklamasi dan diameliorasi.
 Lingkungan rawa merupakan ekosistem alami yang spesifik sebagai
habitat berbagai flora/fauna yang penting secara ekologis dan hayati.
 Lingkungan rawa juga memiliki fungsi perlindungan untuk kawasan
sekitarnya seperti sebagai sumber air, perlindungan pantai, pencegah
banjir, dan lain-lain.
 Daerah rawa umumnya lokasinya terisolir, dengan dukungan
prasarana/ sarana yang sangat terbatas.

 Pengalaman pelaksanaan kegiatan pengembangan/reklamasi rawa


selama PJPT I memang memperlihatkan berbagai keberhasilan,
khususnya dalam meningkatkan produksi beras dan pembukaan isolasi
daerah (pengembangan wilayah). Namun di pihak lain, kegiatan
reklamasi rawa tersebut juga telah mengakibatkan dampak berupa
kerusakan lingkungan ekosistem rawa dan musnahnya habitat
flora dan fauna di beberapa lokasi. Disamping itu masih lemahnya
pengelolaan dalam O&P Jasira juga menyebabkan peningkatan produksi
dan pendapatan petani di Daerah Reklamasi Rawa yang ada belum
seperti yang diharapkan.

 Akibat berbagai kegagalan dalam pengelolaan sumberdaya lahan rawa


selama ini, termasuk Proyek Lahan Gambut Satu Juta Hektar (PLG) di
Kalimantan Tengah, Indonesia telah mendapat sorotan dan tekanan dari
aspek konservasi lingkungan baik di tingkat nasional maupun
internasional.

 Bertolak dari pengalaman selama ini, pengembangan dan pengelolaan


rawa pada masa mendatang harus direncanakan, dikelola secara hati-hati
dengan senantiasa memperhatikan fungsi pelestarian ekosistem rawa
dan pemanfaatannya secara berkelanjutan seperti diamanatkan dalam PP
No. 27/1991 tentang Rawa.
2
Bahan Lokakarya
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)

2. KLASIFIKASI ZONA RAWA

 Menurut PP No. 27/1991, rawa didefinisikan sebagai lahan genangan air


secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase
alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik,
kimiawi, dan biologis.

 Berdasarkan letak, sampainya pengaruh pasang-surut di musim hujan


dan intrusi air asin/payau di musim kemarau, maka wilayah rawa dapat
dibedakan atas :

 Zona I : Rawa Pasang Surut Payau/Salin


Lingkungan rawa yang dipengaruhi pasang-surut air laut, khususnya
pada sungai-sungai utamanya, dimana terjadi intrusi air asin/payau di
musim kemarau.

 Zona II : Rawa Pasang Surut Air Tawar


Lingkungan rawa yang masih dipengaruhi pasang-surut air laut,
khususnya pada sungai-sungai utamanya, dimana pengaruh pasang-
surut terjadi di musim hujan namun tidak pernah mengalami intrusi
air asin/payau sepanjang tahun.

 Zona III : Rawa Non Pasang Surut (Rawa Lebak)


Lingkungan rawa yang tidak terpengaruh aliran pasang-surut pada
bagian sungai utamanya. Pengaruh aliran dari hulu sungai umumnya
sangat dominan, sehingga adanya kenaikan muka air sungai atau
aliran balik (back-water) akibat air pasang di laut tidak terjadi.
Genangan air yang terjadi di wilayah rawa ini lebih disebabkan
karena luapan banjir sungai dan drainase yang terhambat (areal
cekungan).

3
Bahan Lokakarya
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)

UPLAND AREA
(BUKAN RAWA)
RAWA PASANG -SURUT RAWA NO N
PASANG -SURUT

Gambar 1. Pembagian Zona Wilayah Rawa

 Sedangkan wilayah rawa pasang-surut dan rawa lebak dapat


dikelompokkan menurut hidrotopografi (perbedaan elevasi lahan dan
muka air pasang) dan intensitas genangannya, sebagai berikut :

 Kategori Hidrotopografi di Wilayah Rawa Pasang-Surut :

 Kategori A : Merupakan areal lahan rawa yang dapat terluapi air


pasang, baik di musim hujan maupun di musim kemarau.
Permukaan lahan umumnya masih lebih rendah jika dibandingkan
elevasi air pasang tinggi rata-rata.
 Kategori B : Merupakan areal lahan rawa yang hanya dapat
terluapi air pasang di musim hujan. Permukaan lahan umumnya
masih lebih tinggi dari elevasi air pasang tinggi rata-rata di
musim kemarau, namun masih lebih rendah jika dibandingkan air
pasang tinggi rata-rata di musim hujan.
 Kategori C : Merupakan lahan rawa yang tidak dapat terluapi
oleh air pasang sepanjang waktu (atau hanya kadang-kadang
saja). Permukaan lahan relatif lebih tinggi jika dibandingkan
kategori A dan B, sehingga air pasang hanya berpengaruh pada
muka air tanah dengan kedalaman kurang dari 50 cm dari
permukaan lahan.

4
Bahan Lokakarya
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)

 Kategori D : Merupakan lahan rawa yang cukup tinggi sehingga


sama sekali tidak dapat terjangkau oleh luapan air pasang (lebih
menyerupai lahan kering). Permukaan air tanah umumnya lebih
dalam dari 50 cm dari permukaan lahan.

Kategori A Kategori B Kategori C Kategori D

Gambar 2. Kategori Hidrotopografi Wilayah Rawa Pasang-Surut

 Kategori Genangan di Wilayah Rawa Non Pasang-Surut


(Lebak) :

 Lebak Pematang : Lahan terletak di sepanjang tanggul alam


sungai dengan topografi yang agak tinggi dan genangan yang
relatif dangkal (<50 cm) dan singkat (<3 bulan). Genangan di
daerah ini digolongkan sebagai genangan musiman.
 Lebak Tengahan : Lahan terletak antara lebak pematang dan
lebak dalam. Ketinggian genangan berkisar 50-100 cm dan lama
genangan 3-6 bulan. Genangan di daerah ini digolongkan sebagai
genangan semi permanen.
 Lebak Dalam : Lahan terletak di sebelah dalam, berupa
cekungan, tergenang relatif dalam (>100 cm) dan terus menerus
(>6 bulan). Genangan tersebut dapat digolongkan sebagai
genangan permanen.

5
Bahan Lokakarya
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)

Ele va si g e n a n g a n /b a njir

Kla sifika si Le b a k Le b a k Le b a k
Ra wa Le b a k Pe m a ta n g Te n g a h a n Da la m

< 3 3 -6 > 6
< 50 5 0 -1 0 0 > 100

Gambar 3. Kategori Genangan di Wilayah Rawa Non Pasang-Surut

 Dengan mempertimbangkan faktor-faktor pengaruh marin, ketebalan


lapisan gambut, adanya potensi sulfat masam, dan intensitas/lama
genangan, maka lahan di wilayah rawa dapat dikelompokkan dalam
beberapa tipologi lahan utama, sebagai berikut :
 Lahan Potensial : Lahan yang lapisan atasnya 0-50 cm, tidak
memiliki/ mengandung bahan pirit/sulfidik dengan kadar >2% atau
horison sulfurik sehingga mempunyai resiko atau kendala kecil
untuk budidaya tanaman.
 Lahan Sulfat Masam : Lahan yang lapisan atasnya 0-50 cm
mempunyai atau mengandung bahan pirit/sulfidik dan semua lahan
yang mempunyai horison sulfurik, walau kedalaman lapisan piritnya
>50 cm. Lahan sulfat masam dibedakan atas :
 Lahan sulfat masam aktual menunjukkan adanya horison sulfurik
(pirit yang sudah teroksidasi), pH <3.5 (sangat masam).
 Lahan sulfat masam potensial yang belum mengalami oksidasi
pirit, pH >4.0 (agak masam).
 Lahan Gambut : Lahan rawa yang memiliki lapisan gambut dari
berbagai ketebalan, yaitu mulai dari tipis (50-100 cm), sedang (100-
200 cm), tebal (200-300 cm), sampai dengan sangat dalam/tebal

6
Bahan Lokakarya
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)

(>300 cm). Lahan dengan lapisan gambut tipis <50 cm disebut lahan
bergambut (peaty soil).
 Lahan Salin : Lahan pasang-surut payau/salin. Bila lahan ini
mendapat intrusi air asin lebih dari 4 bulan dalam setahun dan
kandungan Na dalam larutan 8-15%, lahan ini disebut lahan salin.
 Rawa Lebak : Lahan rawa di Zona III yang tidak terpengaruh
pasang-surut dan dibedakan atas lebak pematang, lebak tengahan,
serta lebak dalam (lebung).

3. KONSEPSI DAN KRITERIA PENGELOLAAN RAWA

 Beberapa peraturan dan perundangan yang terkait dalam pengelolaan


rawa antara lain adalah :

 UU No. 11/1974 tentang Pengairan (dan/atau Kebijakan Nasional


tentang Sumberdaya Air).
 UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosis-temnya.
 Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
 PP No. 27/1991 tentang Rawa.
 Permen PU No. 64/PRT/1993 tentang Reklamasi Rawa.
 Berbagai peraturan lain yang terkait dengan pengairan dan
pengelolaan/ konservasi lingkungan.

 Berdasarkan PP No. 27/1991 tentang Rawa, pengelolaan rawa


dilaksanakan berdasarkan pendekatan konsepsi konservasi rawa yang
meliputi kegiatan perlindungan, pengawetan, serta peningkatan fungsi
manfaat rawa sebagai sumber air.

 Penyelenggaraan konservasi rawa dilakukan menurut asas manfaat


umum, keseimbangan dan kelestarian untuk melindungi dan
mengamankan fungsi dan manfaat rawa, dengan tujuan sebagai berikut :

 mempertahankan keseimbangan ekosistem rawa sebagai sumber air.


 mengatur perlindungan dan pengawetan rawa sebagai sumber air.
 mengatur pemanfaatan rawa sebagai sumber air.
7
Bahan Lokakarya
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)

 mengatur pengembangan rawa sebagai sumberdaya lainnya.

 Berdasarkan penyelenggaraan fungsi konservasi rawa, yakni


perlindungan, pengawetan, dan peningkatan fungsi manfaat rawa, maka
wilayah rawa juga dapat dibedakan atas tiga wilayah :

 Wilayah Rawa Lindung : Merupakan wilayah rawa yang berfungsi


untuk perlindungan bagi sistem penyangga kehidupan dan/atau
perlindungan setempat.

 Wilayah Rawa Pengawetan : Merupakan wilayah rawa yang


berfungsi untuk pelestarian flora dan fauna beserta habitatnya dalam
rangka mem-pertahankan keanekaragaman hayati di lingkungan
ekosistem rawa.

 Wilayah Rawa Reklamasi : Merupakan wilayah rawa yang


potensial dapat dikembangkan lebih lanjut, dengan menggunakan
teknologi yang sesuai secara bertahap, dalam rangka
pemanfaatannya secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.

 Kriteria penetapan wilayah konservasi rawa berdasarkan fungsinya yang


meliputi rawa lindung, rawa pengawetan, dan rawa reklamasi
(peningkatan fungsi manfaat) adalah dengan mempertimbangkan :

 Kriteria kawasan lindung menurut peraturan/perundangan yang


berlaku (Keppres No. 32/1990, UU No. 5/1990).
 Penetapan kawasan menurut arahan TGHK, RUTR, dan
Pengembangan SWS/DPS.
 Kriteria kesesuaian fisik lahan dan potensi lingkungan
pengembangan.

Dengan menggunakan berbagai kriteria tersebut, maka penetapan


wilayah konservasi rawa berdasarkan fungsinya dapat dilihat pada
Gambar 4.

 Daerah Reklamasi Rawa (DR/Eksisting) dikelompokkan dalam tiga


kategori menurut kondisi dan tingkat perkembangannya sebagai
berikut :

8
Bahan Lokakarya
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)

 DR Pengembangan Penuh : Daerah Reklamasi Rawa yang


memenuhi syarat untuk dikembangkan lebih lanjut ke tahap
pengembangan penuh (full resources development), karena tidak ada
kendala serius pada aspek jaringan tata-air dan lahan. Dengan upaya
peningkatan yang diharapkan, Daerah Reklamasi Rawa ini telah
dapat ditingkatkan ke Tahap III. Dengan pengelolaan dan fasilitas
O&P memadai, diperkirakan tidak diperlukan lagi adanya intervensi
Pemerintah.

 DR Pengembangan Bersyarat : Merupakan Daerah Reklamasi yang


pengembangannya ke tahap lebih lanjut memerlukan upaya
penanganan awal berupa kegiatan rehabilitasi. Peningkatan fungsi
jaringan belum membawa pada tahap pengembangan penuh, namun
meningkatkan produksi/pendapatan petani di atas garis kemiskinan.

 DR Tidak Layak Dikembangkan Lebih Lanjut : Merupakan Daerah


Rawa yang tidak layak dikembangkan lebih lanjut untuk areal
pertanian. Upaya penanganan berupa rehabilitasi/upgrading jaringan
tidak akan membawa peningkatan produksi dan pendapatan petani
yang signifikan, akibat kendala yang sulit diatasi. Areal ini
sebaiknya dihutankan kembali atau digunakan untuk alternatif
penggunaan lain (kawasan lindung).

9
Bahan Lokakarya
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)

10
Bahan Lokakarya
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)

Gambar 4. Diagram Penggolongan Rawa

4. KERAGAAN PENGELOLAAN RAWA SELAMA INI

 SEJARAH PENGEMBANGAN RAWA :

 Pengembangan/reklamasi rawa untuk budidaya pertanian mulai


dirintis oleh petani suku Bugis dan suku Banjar sebelum pertengahan
abad 20 di pesisir timur Sumatera dan selatan Kalimantan, dengan
mengembangkan persawahan dan kebun kelapa di rawa sekitar
sungai pasang-surut.

 Antara tahun 1950 dan 1960-an, Pemerintah merintis reklamasi rawa


non pasang-surut dengan membangun dua buah polder, yakni di
Alabio (Kalimantan Selatan) dan Mentaren (Kalimantan Tengah).
Pada kurun waktu yang sama Pemerintah juga membangun kanal
(anjir-anjir) yang menghubungkan wilayah Kalimantan Tengah
dengan Kalimantan Selatan. Areal rawa di sekitar anjir-anjir tersebut
dimanfaatkan masyarakat untuk budidaya pertanian.

 Kegiatan reklamasi rawa dalam skala besar oleh Pemerintah dimulai


awal 1970-an terutama selama periode Pelita II (1974-1979), dengan
maksud untuk mendukung program transmigrasi dan swasembada
beras. Lahan rawa yang dikembangkan sebagian besar dilakukan di
kawasan pantai timur Sumatera (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan
Lampung) serta di Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah). Sejak masa ini luas areal rawa yang

11
Bahan Lokakarya
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)

direklamasi meningkat pesat dari 35.000 Ha pada tahun 1972


menjadi 1.3 juta Ha pada tahun 1995.

 Sampai akhir PJPT I, areal lahan rawa yang telah dibuka/direklamasi


meliputi 3.9 juta Ha. Kira-kira 2.4 juta Ha areal rawa tersebut
direklamasi oleh masyarakat/pemukim lokal, 1.3 juta Ha direklamasi
oleh Pemerintah Pusat/Propinsi, sedangkan sisanya 0.2 juta Ha
direklamasi oleh swasta/ investor (terutama untuk perkebunan).

 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN RAWA

 Pendekatan Pengembangan Bertahap


Dalam pelaksanaan pengembangan rawa, Pemerintah menggunakan
konsep pengembangan secara bertahap, dengan pertimbangan sebagai
berikut :

 Proses reklamasi tersebut terkait dengan waktu, serta


menghendaki investasi yang konsisten dan berkelanjutan.
 Diperlukan himpunan pengalaman berkaitan dengan
pengembangan rawa dan pengetahuan mengenai proses
pengusahaannya sebelum diambil keputusan tentang intervensi
teknik yang lebih lanjut.
 Diperlukan penyesuaian infrastruktur sosial ekonomi sebelum
dilaku-kan pengembangan lebih lanjut.

Berdasarkan pentahapannya, kegiatan reklamasi/pengembangan rawa


diuraikan sebagai berikut (Lihat Gambar 5) :

 Tahap I : Tahap Awal/Pembukaan, sistem teknologi dan biaya


rendah (low cost) dengan pengembangan skala luas.
 Tahap II : Tahap Peningkatan, sistem drainase semi terkendali.
 Tahap III : Tahap Pengembangan Penuh, sistem drainase
terkendali penuh dan irigasi.

 Kebijakan Pengembangan Rawa


Perkembangan orientasi kebijakan Pemerintah yang berkaitan
dengan pengembangan rawa selama PJPT I dan PJPT II dapat
diuraikan sebagai berikut :

12
Bahan Lokakarya
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)

TAHAP AWAL (PJPT -I) TAHAP LANJUTAN (PJPT –II)


 Swasembada beras  Ketahanan pangan
 Transmigrasi  Diversifikasi komoditi
 Pengembangan wilayah  Pengembangan agribisnis
 Pemerataan pendapatan  Peranserta swasta/masyarakat
 Keamanan daerah perbatasan  Desentralisasi
pantai  Peningkatan kesejahteraan
 Pelestarian lingkungan

13
Pe n d a p a ta n Ru m a h ta n g g a Pe ta n i

KK 3 20 kg se ta ra b e ra s (G a ris Ke m iskina n)

Wa ktu

TAHAP I TAHAP II

14
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Bahan Lokakarya
Bahan Lokakarya
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)

 Perkembangan kondisi wilayah lahan rawa, baik areal yang telah


direklamasi maupun yang belum dibuka (masih hutan rawa), serta
pengelolaannya dapat diuraikan sebagai berikut :

 Areal rawa yang telah direklamasi umumnya telah dimanfaatkan


untuk budidaya pertanian dan permukiman transmigrasi dengan
keberhasilan yang bervariasi. Pada beberapa lokasi, pembangunan
jaringan reklamasi rawa ini telah berhasil meningkatkan produksi
dan membuka keterisoliran daerah bersangkutan. Namun di
beberapa lokasi lainnya, pengembangan reklamasi rawa tersebut
mengalami kegagalan terutama akibat kesalahan pemilihan lokasi
dan teknologi yang diterapkan. Hal ini mengakibatkan timbulnya
berbagai gejala degradasi lahan, antara lain :

 Hilangnya lapisan gambut akibat irreversible drying.


 Over-drain, sehingga lahan tidak dapat diairi/disawahkan.
 Teroksidasinya pirit yang menimbulkan pemasaman tanah.
 Terjadinya intrusi asin sampai ke pedalaman.

 Sebagian besar Daerah Rawa yang telah dikembangkan selama ini


belum didukung oleh prasarana/sarana yang memadai, terutama
transportasi. Sistem transportasi sebagian besar Daerah Rawa masih
mengandalkan jalur transportasi sungai, sehingga kegiatan
pemasaran hasil usahatani seringkali terhambat. Sementara di
Daerah Rawa yang dikembangkan masyarakat lokal, akses
transportasi dan prasarana pelayanan dasar (air bersih, kesehatan)
selama ini kurang mendapat perhatian dibandingkan di daerah
transmigrasi.

 Penyelenggaraan O&P Jaringan yang belum memadai merupakan


gejala umum yang ditemui pada Daerah Rawa. Lemahnya
penyelenggaraan O&P berkaitan dengan keterbatasan kualifikasi
petugas dan pendanaan Pemerintah di tingkat jaringan utama dan
masih rendahnya kemampuan kelembagaan serta partisipasi petani
dalam pelaksanaan O&P di tingkat jaringan tersier, kuarter, saluran
lahan (tata air mikro).

Kendala yang terkait dengan kelemahan pelaksanaan O&P dan


pengembangan tata air mikro tidak sekedar pada masalah teknis saja,
namun tampaknya justru lebih menonjol pada masalah sosial.

15
Bahan Lokakarya
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)

Rendahnya keterlibatan petani dalam proses-proses perencanaan dan


pembangunan jaringan rawa, disamping aspek-aspek lain,
menyebabkan mereka kurang mempunyai motivasi dan rasa
tanggung jawab dalam pengelolaan jaringan.

 Sementara belum keseluruhan lahan, terutama LU II, telah


dimanfaatkan penuh oleh petani. Sedangkan pola tanam yang
dikembangkan sebagian besar petani umumnya masih terbatas satu
kali padi dalam setahun (padi lokal). Masalah ini kelihatannya tidak
dapat dipecahkan hanya dari aspek penanganan prasarana fisik
jaringan, namun menyangkut faktor-faktor lain seperti keterbatasan
tenaga kerja, kebiasaan/latar belakang petani, serta peluang kerja
non-pertanian di sekitar lokasi. Di Daerah Rawa yang dekat
perkotaan, tidak jarang lahan pertanian yang ada diberakan menjadi
obyek spekulasi tanah (kasus di DR Ogan Keramasan, Sumsel).

 Program pembinaan Daerah Rawa yang dilaksanakan antar-instansi


yang terkait (PU, Pertanian, Bappeda, BPN, dll) umumnya belum
terkoordinasi/ terpadu, baik di tingkat Pusat, Daerah, Regional,
maupun Lapangan. Hal ini menyebabkan program pembinaan
Daerah Rawa selama ini terkesan tumpang tindih, tidak konsisten,
dan kurang efektif.

 Permasalahan penting yang harus pula diperhatikan adalah


meningkatnya konflik peruntukan lahan dan tataguna air di kawasan
wilayah rawa. Di Daerah Reklamasi Rawa sering dijumpai konflik
peruntukan lahan antara tanaman perkebunan dan tanaman
pangan/padi (misalnya di DR Telang I, Sumsel dan DR Gangsal,
Riau). Sementara di daerah perkotaan (DR Kota), kawasan rawa
lindung yang berfungsi sebagai retarder semakin mendapat tekanan
akibat berkembangnya permukiman, industri, dan lain-lain –
sehingga hal ini sering menimbulkan masalah banjir lokal.

 Pengembangan reklamasi rawa di beberapa lokasi sering dihadapkan


pada permasalahan hak ulayat yang bersifat khas (misalnya areal
hutan sagu di Papua/Irian Jaya dan rawa lebung di Sumsel).

 Dibandingkan dengan rawa pasang-surut, kegiatan pengembangan


rawa lebak (non pasang-surut) tampak jauh tertinggal. Hal tersebut

16
Bahan Lokakarya
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)

antara lain disebabkan karena biaya pembangunan jaringan yang


relatif tinggi serta kemanfaatannya yang masih belum seimbang.

 Dibandingkan dengan pengembangan kawasan reklamasi,


pengelolaan kawasan rawa lindung dan pengawetan (hutan rawa)
umumnya masih kurang mendapatkan perhatian, baik dari
Pemerintah maupun pihak-pihak yang terkait. Keberadaan dan fungsi
hutan rawa sebagai ekosistem alami dewasa ini semakin mendapat
tekanan, terutama akibat :

 Penebangan kayu secara legal (konsesi HPH) atau illegal.


 Kebakaran hutan, terutama di kawasan hutan gambut.
 Perambahan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan rawa,
dan penggunaan untuk pengembangan skala luas (kasus PLG).

5. STRATEGI PENGELOLAAN RAWA JANGKA MENENGAH

 LANDASAN STRATEGI NASIONAL

Strategi nasional untuk pengelolaan rawa di masa mendatang perlu


segera dirumuskan dan disepakati, dengan mengingat dan
mengantisipasi kondisi-kondisi sebagai berikut :

 Pentingnya pengembangan lahan rawa sebagai solusi untuk


mendukung program ketahanan pangan dan pengembangan
agribisnis, sebagaimana diamanatkan dalam GBHN dan Propenas.
 Masalah degradasi lingkungan ekosistem rawa yang semakin serius
dan telah mendapat sorotan dari dunia internasional.
 Desentralisasi (otonomi daerah) yang segera dilaksanakan, sehingga
perlu ditetapkan pedoman yang baku dalam
pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk lahan rawa,
yang akan menjadi kewenangan Propinsi dan Kabupaten sebagai
Daerah Otonom.
 Pengalaman pengembangan rawa selama PJPT I telah
memperlihatkan berbagai keberhasilan dan kekurangan/kegagalan,
sehingga perumusan strategi pengelolaan rawa di masa mendatang

17
Bahan Lokakarya
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)

harus dilakukan secara cermat, dengan berpedoman pada konservasi


rawa (PP No. 27/1991).

 STRATEGI PENGELOLAAN RAWA DI MASA MENDATANG

 Mengingat pengembangan rawa merupakan “investasi jangka


panjang”, maka perencanaan dan implementasinya perlu konsistensi
dan dukungan anggaran yang memadai. Dengan mengantisipasi hal
ini, perlu dibentuk satu lembaga khusus yang terkoordinatif dari
Pusat sampai Daerah yang bertanggung jawab dalam pengembangan
rawa, khususnya untuk daerah rawa baru. Lembaga ini akan
mengembangkan standar dan pedoman dalam kegiatan
pengembangan/pengelolaan rawa, termasuk perumusan standar
perencanaan/desain.
 Dalam pengembangan Daerah Reklamasi Rawa (Jaringan Rawa)
yang sudah ada perlu dibentuk lembaga koordinasi yang
mengkoordinir semua kegiatan/program instansional dan pihak-pihak
yang terkait. Hal tersebut mungkin analog dengan pembentukan
PTPA di Propinsi dan PPTPA di tingkat SWS.
 Mengingat perkembangan yang pesat selama ini, maka perlu
dilakukan Inventarisasi Potensi Lahan Rawa yang ada, mengingat
data makro yang ada sudah terlalu lama (tahun 1984) dan perlu
“updating”. Dari luasan hasil inventarisasi tersebut, maka perlu
dibuat “data dasar” untuk wilayah rawa di Indonesia, serta dapat
dibatasi areal rawa yang harus dilindungi/ diawetkan dan yang
berpotensi untuk dikembangkan/direklamasi.
 Untuk mewujudkan perencanaan rawa yang terpadu dan konsisten,
maka dalam pengembangan daerah rawa baru harus terlebih dahulu
dilakukan Masterplan. Dari hasil Masterplan tersebut, areal yang
akan direklamasi harus dipilih secara selektif – yakni areal yang
benar-benar layak ditinjau dari kesesuaian lahan dan lingkungannya.
 Pengembangan rawa minimal dalam lima tahun mendatang harus
lebih diprioritaskan untuk Program Peningkatan Daerah Reklamasi
Rawa yang Ada, mengingat biaya dan resiko lingkungan yang relatif
lebih rendah.
18
Bahan Lokakarya
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)

 Pada masa mendatang, keterlibatan sektor swasta dalam


pengembangan rawa harus ditingkatkan, khususnya dalam
mendukung pengembangan produksi pangan/padi. Hal ini misalnya
dilakukan dengan memberikan kemudahan-kemudahan ijin dan
insentif kepada pihak swasta/investor dalam pengembangan rawa.
 Masyarakat yang memperoleh manfaat dari adanya pelayanan
jaringan reklamasi rawa, pada masa mendatang secara bertahap perlu
dilibatkan peranannya dalam pembiayaan O&P Jaringan Rawa.
 Daerah Reklamasi Rawa yang dikategorikan Tidak Layak
Dikembangkan Lebih Lanjut untuk Pertanian, harus segera
direhabilitasi dan difungsikan sebagai kawasan hutan produksi atau
rawa lindung.

 Dengan akan segera diberlakukannya UU No. 22/1999 tentang


Pemerintahan Daerah, maka Kelembagaan/Institusi tingkat Propinsi dan
Kabupaten harus diperkuat (strengthening) baik dari segi SDM maupun
prasarana pendukung-nya, sehingga pengelolaan rawa oleh Daerah
dapat efektip. Disamping itu, perlu ditetapkan kewenangan (role-
sharing) masing-masing pihak yang terkait dengan pengembangan dan
pengelolaan rawa. Hal tersebut secara skematis dilukiskan pada
Gambar 6.

 Berdasarkan hasil evaluasi dan masukan dari Departemen Pertanian,


maka disusun usulan Program Kegiatan Jangka Menengah
Pengembangan Rawa dalam rangka mendukung ketahanan pangan dan
agribisnis sebagai berikut :

19
Bahan Lokakarya
Penyusunan Rencana Umum Jangka Menengah
Pengembangan Rawa (Tahap Identifikasi)

TABEL 1.
USULAN PROGRAM KEGIATAN PENGEMBANGAN RAWA JANGKA MENENGAH (TA 2001 - 2005)

TAHUN ANGGARAN
No PROGRAM KEGIATAN 2001 2002 2003 2004 2005 TOTAL

A OPTIMALISASI DAERAH REKLAMASI RAWA

1 Inve nta risa si Da e ra h Re kla m a si Ra wa Eksisting


2 Kla sifika si Da e ra h Re kla m a si Ra wa
3 Stud i, Surve y d a n De sa in :
- Ra wa Pa sa ng -Surut
- Ra wa Le b a k
- Pe ng e m b a ng a n Are a l La m unti & Da d a hup
4 Pe la ksa na a n Pe m b a ng una n : (Ha )
- Ra wa Pa sa ng -Surut 12000 12000 10000 8000 42000
- Ra wa Le b a k 7050 7000 7000 5000 26050
- Pe ng e m b a ng a n Are a l La m unti & Da d a hup 800 1000 1000 1000 3800

B PEMBANGUNAN AREAL RAWA BARU

1 Inve nta risa si Pote nsi La ha n Ra wa (Up d a ting )


2 Kla sifika si La ha n Ra wa (Are a l Lind ung & Pe ng e m b a ng a n)
3 Pe nyusuna n Ma ste rp la n
4 Prom osi Piha k Swa sta /Inve stor
5 Stud i, Surve y d a n De sa in
- Ra wa Pa sa ng -Surut
- Ra wa Le b a k
6 Pe la ksa na a n Pe m b a ng una n : (Ha )
- Ra wa Pa sa ng -Surut 2700 3000 5500 11200
- Ra wa Le b a k 2250 2500 4000 8750

SUMBER : - d io la h d a ri Re nstra d a n Pro g ra m Ke rja Pe m b a ng una n Pra sa ra na d a n Sa ra na Pe rta nia n TA 2001 - 2004
De p . Pe rta nia n & Ke huta na n

20

Anda mungkin juga menyukai