Anda di halaman 1dari 5

Perbedaan antara Royalti dan Pajak Pertambangan

Oleh : Mumu Muhajir


Kedua bentuk pungutan itu merupakan hal yang jamak dalam bidang pertambangan di seluruh
dunia. Biasanya keduanya diterapkan secara bersamaan dengan besaran persentasi yang berbedabeda. Pada dasarnya kedua hal itu mempunyai pijakan filosofis dan ekonomi yang berbeda.
Royalti merupakan bagian dari Mineral Rent atau rente mineral. Royalti berhubungan erat
dengan kegiatan produksi yang terjadi dalam pertambangan; ia diberikan kepada
pemilik/penguasa mineral atas pemberian ijin untuk mengeksploitasi mineral yang ada di suatu
wilayah. Royalti itu dikenakan karena pemilik sebenarnya sudah memberikan ijin dan
kewenangannya kepada penerima ijin untuk mengambil manfaat dari adanya kekayaan mineral
di tempat tersebut. Dalam kegiatan produksinya, si penerima ijin bekerja atas resikonya sendiri
dan juga dengan modalnya sendiri, akan tetapi bekerja di lahan bukan miliknya, karena itu ia
berkewajiban memberikan royalti kepada pemilik lahan. Ia hanya mempunyai hak untuk
menambang saja [mining right]. Padanan terdekatnya adalah dalam hal pembayaran royalti
dalam bidang hak cipta, dimana orang yang mau memanfaatkan [secara komersial] suatu lagu
yang bukan ciptaannya harus membayar royalti kepada pencipta sebenarnya lagu tersebut. Lagu
itu sendiri tetap menjadi hak milik preogratif dari penciptannya. Perbedannya dengan sistem
royalti dalam hak cipta seperti lagu di atas adalah bahwa dalam sistem royalti tambang, hak
cipta itu bisa habis.
Dalam sistem royalti, sebenarnya telah terjadi perpindahan kepemilikan kepada penerima ijin.
Hal tersebut bisa dilihat dari kewenangan penerima ijin untuk menggali dan menjual hasil
tambang itu atas nama dirinya. Tetapi dalam tambang ia tidak menjadi pemilik penuh dari hasil
tambang itu karena ia harus membayar royalti atas berapa banyaknya hasil tambang yang
digalinya.
Besaran royalti itu ditentukan dari besarnya produksi, bukan dari besarnya penjualan
produksinya. Logikanya adalah pemilik sebenarnya dari barang tambang itu tetap mempunyai
hak untuk menjual atau tidak atau memanfaatkan langsung atau tidak barang tambang itu yang
mungkin berbeda dengan kepentingan si penerima ijin. Hanya saja ia dianggap tidak mempunyai
kemampuan untuk memasarkan atau memanfaatkan barang mineral tersebut; atau kemampuan
itu ditundanya dan diserahkan kepada si penerima ijin; atau bahwa telah terjadi perpindahan
kewenangan/penguasaan/kepemilikan atas barang tambang itu sehingga si penerima ijinlah yang
paling berhak memanfaatkan barang tambang tersebut. Tetapi walaupun begitu, atas kemauan si
pemilik ijin untuk menunda/memberikan kewenangannya kepada si penerima ijin, ia berhak
mendapatkan kompensasi berupa penerimaan royalti.
Pajak Pertambangan

Sementara itu pajak pertambangan masuk dalam skema mineral fiscal; dalam arti masuk dalam
skema penerimaan negara berupa pajak. Pajak merupakan hak yang didapatkan oleh negara atas
pelayanannya kepada para beneficiaries. Dalam sistem perpajakan, si penerima ijin
membayarkan sejumlah uang atas kegiatan yang dilakukannya dan atas ijin yang didapatkannya
serta tidak diperhitungkan atas besar kecilnya kegiatan yang dilakukannya. Dengan demikian,
walaupun usaha sedang tidak beruntung atau produksi sedang menurun, ia tetap harus membayar
berbagai macam pajak yang telah ditentukan oleh negara.
Pajak tidak memperhitungkan besar produksinya, tetapi memperhitungkan kekayaan yang
dimiliki serta penghasilannya. Pajak dikenakan pada hampir semua aktivitas yang dianggap
dilayani oleh negara. Karena itu bagi beberapa pihak pajak lebih tidak menguntungkan daripada
royalti

Sistem Kontrak Bagi Hasil Migas Diganti dengan Royalti


Kalau menurut Mahkamah Konstitusi harus menggunakan sistem izin
Reporter: Arnold Sirait
10 April 2015 | 17:03

Pemerintah berencana mengubah sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC)
menjadi royalti dan pajak, seperti pertambangan mineral. Aturan ini diusulkan dalam draf
Rancangan Undang-Undang (RUU) Minyak dan Gas Bumi (migas).
Kepala Unit Pengendali Kinerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
Widhyawan Prawiraatmaja mengatakan dalam RUU Migas yang baru, sistem kontrak bagi hasil
akan dihapus. Sistem ini akan diganti dengan sistem pajak dan royalti.
Hal ini mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU -X/2012. Dalam putusan
tersebut, pemerintah tidak boleh menggunakan sistem kontrak. "Kalau menurut Mahkamah
Konstitusi harus menggunakan sistem izin," kata dia di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat
(10/4).
Perubahan sistem ini mempengaruhi penerimaan negara yang diterima dari sektor migas. Dalam
Undang-Undang Migas Nomor 22 tahun 2001 dan draf RUU Migas saat ini sama-sama
disebutkan penerimaan negara dari sektor migas adalah dari pajak dan penerimaan negara bukan
pajak.
Bedanya, dalam UU Migas penerimaan pajak berupa pajak-pajak, bea masuk, dan pungutan lain
atas impor dan cukai, serta pajak daerah dan retribusi daerah. Penerimaan Negara Bukan Pajak
terdiri dari bagian negara, pungutan negara yang berupa iuran tetap dan iuran Eksplorasi dan
Eksploitasi, serta bonus-bonus.
Sementara di draf revisi UU Migas sekarang, penerimaan pajak terdiri dari pajak pajak
penghasilan (PPH) badan pajak atas bunga, dividen dan royalty. Penerimaan bukan pajak terdiri
dari bagian negara, bonus-bonus dan selisih pembayaran domestic market obligation (DMO)
Dalam UU Migas yang baru, nantinya pemerintah dalam kegiatan usaha hulu migas akan
memberikan izin ke dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni PT Pertamina (Persero) dan
BUMN Khusus. BUMN Khusus ini merupakan transfromasi dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas).
Dalam melakukan pengelolaan wilayah kerja, BUMN Khusus ini wajib mengadakan kontrak
kerjasama dengan perusahaan migas swasta. Artinya BUMN khusus ini tidak menjadi operator di
wilayah kerja. Sementara Pertamina bisa sebagai operator.

Perusahaan migas yang berkontrak dengan BUMN Khusus hanya diberikan satu wilayah kerja.
Jika satu perusahaan ingin mendapatkan beberapa wilayah kerja, maka harus dibentuk badan
hukum yang terpisah untuk setiap wilayah kerja.
Pelaku usaha minyak dan gas bumi yang tergabung dalam Indonesia Petroleum Association
(IPA) mengaku setuju, sistem PSC diganti menjadi royalti dan pajak.
Presiden Direktur IPA Craig Steward mengatakan baik PSC maupun royalty dan
pajak, sebenarnya tidak memilik perbedaan signifikan dari sisi keuangan perusahaan. Namun,
berdasarkan pengalaman selama ini, kontrak PSC rumit dalam hal pengadaan barang.
Dalam skema PSC terdapat biaya investasi yang dikembalikan (cost recovery) yang
menggunakan uang negara. Hal tersebut membuat pengadaan di kontraktor kontrak kerja sama
migas (KKKS) menjadi rumit karena harus mendapatkan persetujuan pemerintah.
- See more at: http://katadata.co.id/berita/2015/04/10/sistem-kontrak-bagi-hasilmigas-diganti-dengan-royalti#sthash.Zr4ziYHF.dpuf

Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa
pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas :
1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusasteraan, kesenian atau
karya ilmiah, paten, disain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek
dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual / industrial atau hak serupa lainnya;
2. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan / perlengkapan industrial, komersial atau
ilmiah;
3. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial atau
komersial;
4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak
menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1., penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2., atau pemberian pengetahuan atau
informasi tersebut pada angka 3., berupa:

a)
Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang
disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
b)
Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya,
untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau
teknologi yang serupa;
c)

Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;

5.
Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau
pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio;
6.
Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau
pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
atas pembayaran royalti tersebut dikenakan pajak penghasilan Pasal 23 dengan tarif 15 % dari
jumlah bruto yang dibayarkan (pelaksanaannya PPh dipotong oleh Wajib Pajak pemberi
penghasilan), dan apabila Wajib Pajak yang penerima penghasilan royalti tidak memiliki NPWP,
maka besar tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100 % daripada tarif semula (tarifnya jadi 30
% ).
Pembayaran royalti kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain kepada BUT dipotong/dikenakan
pajak penghasilan (PPh Pasal 26) sebesar 20 % dari jumlah bruto, atau sesuai dengan tarif dalam
tax treaty negara Indonesia dengan negara domisili Wajib Pajak Luar Negeri yang bersangkutan.
Sumber : Penjelasan Pasal 4 Angka (1) Huruf h dan Pasal 23 serta Pasal 26 Undang-Undang
Nomor : 7 Tahun 1983 sttd Undang-Undang Nomor : 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan

Anda mungkin juga menyukai