Anda di halaman 1dari 37

Referat

DYSLEXIA

Disusun oleh :
Liza Maria Rouly (07120120108)

Pembimbing :
dr. Waskita Roan, Sp.KJ

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa


FK UPH – Sanatorium Dharmawangsa
Periode Februari-Maret 2016
I. PENDAHULUAN1,2

Disleksia telah menjadi topik yang kontroversial selama lebih dari 100 tahun. Kata
disleksia pertama kali digunakkan pada tahun 1887 untuk menunjukkan kehilangan
‘kemampuan membaca yang didapat’, meski pun 10 tahun sebelumnya telah dikenal istilah
‘buta huruf’ atau ‘caecitas verbalis’ dengan merujuk pada teori analogi visual, yang
menyatakan bahwa buta huruf yang didapat berasal dari lesi pada bagian medial dan
inferior dari lobus oksipital kiri, serta jaras yang menghubungkan lobus oksipital.
Beberapa tahun kemudian, kasus disleksia dilaporkan pertama kali dalam Journal
British Medical pada tahun 1896 oleh dr. Pringle Morgan, seorang dokter umum. Dr.
Pringle mengangkat kasus seorang anak berusia 14 tahun bernama Percy. Dalam laporan
aslinya Pringle Morgan menyatakan bahwa: "Dia (Percy) merupakan seorang anak yang
pintar dan cerdas, lincah dalam permainan, serta tidak kalah dengan anak lain seusianya.
Kesulitan terbesar yang ia hadapi adalah kemampuannya untuk belajar membaca'. Percy
menunjukkan banyak kesalahan dalam mengeja (yang merupakan karakteristik disleksia),
seperti mengeja kata 'carefully' menjadi 'carlfully', 'peg' menjadi 'pag' dan 'Percy' menjadi
'Pray'). Percy dapat membaca angka dengan baik tetapi memiliki kesulitan dalam membaca
kata-kata tertulis, misalnya ia dapat membaca angka ‘7’, tetapi ia tidak dapat membaca
kata ‘tujuh’. Pringle menggunakan istilah ‘buta huruf kongenital’ untuk kasus Percy ini.
Pada tahun 1907, Hinshelwood kemudian menarik kesimpulan bahwa disleksia
merupakan kondisi patologis yang disebabkan oleh gangguan dari pusat visual di otak yang
menyebabkan terjadinya kesulitan dalam proses interpretasi bahasa tertulis (written
language). Meskipun telah melalui proses penelitian yang panjang, definisi disleksia belum
ditetapkan secara universal, sehingga kesulitan dalam hal diagnosis sering terjadi.

2
II. PEMBAHASAN

A. DEFINISI1,2
Kata disleksia berasal dari bahasa Yunani, dys- yang memiliki arti ‘kesulitan atau
ketidakmampuan’, dan lexis, yang memiliki arti ‘kata’. Disleksia memiliki beberapa
definisi sebagai berikut.

1. Health Council of the Netherlands, ‘Dyslexia is present when the


automatization of word identification (reading) and/or spelling does not
develop or does so very incompletely or with great difficulty.’
Disleksia terjadi bila identifikasi kata (membaca) dan/atau mengeja secara
otomatis tidak berkembang atau berkembang secara inkomplit atau dengan
kesulitan besar.

2. ‘Dyslexia is a specific learning difficulty which mainly affects the


development of literacy and language related skills.’ (British Dyslexia
Association)
Disleksia adalah kesulitan belajar spesifik, yang terutama berdampak pada
perkembangan keterampilan yang berkaitan dengan literacy (kemampuan
membaca dan menulis) dan berbahasa.

3. ‘Dyslexia is a specific learning disability that is neurological in origin.’


(International Dyslexia Association)
Dyslexia is a specific learning disability that is neurobiological in origin. It is
characterised by difficulties with accurate and/or fluent word recognition and by
poor spelling and decoding abilities. These difficulties typically result from a deficit
in the phonological component of language that is often unexpected in relation to
other cognitive abilities and the provision of effective classroom instruction.
Secondary consequences may include problems in reading comprehension and

3
reduced reading experience that can impede growth of vocabulary and background
knowledge.
Disleksia merupakan sebuah kesulitan belajar spesifik yang berasal dari masalah
neurobiologi. Ciri khas disleksia adalah kesulitan dalam pengenalan kata secara
tepat dan lancar dan kemampuan mengeja serta decoding yang buruk. Kesulitan
biasanya merupakan akibat dari defisit dari komponen fonologi dari bahasa dan
terkadang memiliki hubungan yang tidak terduga dengan kemampuan kognitif lain
dan ketentuan dalam instruksi ruang kelas yang efektif. Konsekuensi sekunder
dapat termasuk masalah dalam komprehensi membaca dan penurunan pengalaman
membaca yang dapat mengganggu perkembangan kosa-kata dan latar belakang
pendidikan.

4. ‘Dyslexia is a learning difficulty that primarily affects the skills involved in


accurate and fluent word reading and spelling.’
Disleksia adalah sebuah kesulitan belajar yang terutama berdampak pada
keterampilan membaca dan mengeja kata yang akurat dan lancar.

5. The World Health Organization, melalui ICD-10, menggambarkan disleksia


sebagai F81.0 Gangguan membaca khas
 dan F81.1Gangguan mengeja
khas. ICD-10 mengatakan bahwa 'Manifestasi utama ... adalah gangguan spesifik
dan signifikan dalam pengembangan keterampilan membaca, yang tidak semata-
mata terkait dengan usia mental, masalah ketajaman visual, atau sekolah yang tidak
memadai'. Dalam ICD-10, gangguan ini ditempatkan di bawah Axis II (kelainan
spesifik perkembangan psikologis), sedangkan dalam DSM-IV diklasifikasikan di
bawah Axis I (kelainan klinis).

4
Tabel 1. ICD-10 Diagnostic Criteria for Research (DCR-10) untuk
gangguan membaca khas (F81.0).1

6. Dalam DSM-IV, untuk menegakkan diagnosis ini, seseorang dinilai kemampuan


membacanya dengan menggunakan uji yang telah terstandardisasi dan akurat.
Diagnosis ini juga dapat ditegakkan pada orang dengan kemampuan
komprehensi/pemahaman kata di bawah usia yang diharapkan, IQ dan usia-
pendidikan yang tepat, dan hal ini ini secara signifikan berpengaruh terhadap
prestasi atau kegiatan yang memerlukan kemampuan membaca yang normal.
Definisi menurut DSM-IV mendapat banyak penolakan. Alasan penolakan tersebut
adalah sebagai berikut.
 Penelitian psikologis menunjukkan bahwa korelasi antara IQ dan
kemampuan membaca tidak signifikan (rendah).
 Variabel kognitif membaca sama antara pembaca dengan IQ tinggi dan
rendah.
 Studi intervensi menunjukkan bahwa IQ tidak menunjukan adanya
perbedaan terhadap proses remediasi (pengobatan).

5
 Tidak ada alasan untuk memercayai bahwa anak-anak dengan IQ rendah
tidak dapat memiliki disleksia.

B. EPIDEMIOLOGI
Disleksia merupakan ganggun perkembangan spesifik yang paling umum. Kasus
disleksia merupakan 75% dari kasus kesulitan belajar spesifik lainnya. Prevalensi disleksia
bervariasi, dari rentang 5% hingga 20%.3 Angka ini bahkan melebihi dari jumlah
prevalensi gangguan autisme yang berjumlah 1%. Disleksia lebih banyak terjadi pada laki-
laki dibanding dengan perempuan. Disleksia dapat terjadi pada bahasa apapun, namun
prevalensi lebih rendah dijumpai pada populasi dengan bahasa tertulis yang lebih konsisten
secara fonemik, seperti pada bahasa Spanyol, Italia, Yunani, dan Ceko. Pada kelompok ini,
manifestasi lebih tampak sebagai kefasihan berbahasa yang buruk. Pada bahasa dengan
sistem logografi, seperti pada Bahasa Mandarin (dimana sebuah karakter menunjukkan
sebuah kata atau makna berarti dari sebuah kata), kesulitan dimanifestasikan sebagai
buruknya kecepatan menamai (poor rapid naming). Pada negara berbasis bahasa Inggris,
prevalensi disleksia lebih tinggi dibanding negara-negara yang telah disebutkan. Hal ini
disebabkan oleh variasi yang cukup banyak dari phoneme dan grapheme.1

C. ETIOLOGI1
Lingkungan
 Studi antar bahasa (cross linguistic study) menunjukkan bahwa prevalensi disleksia
dipengaruhi oleh sistem/ cara penulisan yang digunakkan oleh masyarakat. Hal ini
menyebabkan prevalensi disleksia pada setiap negara berbeda-beda. Sebagai contoh,
manifestasi disleksia jarang terlihat pada populasi yang menggunakan bahasa dengan
grapheme dan phoneme yang sesuai/ mirip, seperti pada bahasa Italia dan Spanyol,
sedangkan tinggi pada populasi yang menggunakkan bahasa Inggris, dimana grapheme
dan phoneme sangat beragam.
 Prevalensi disleksia lebih tinggi pada anak-anak dengan status sosial ekonomi rendah.
Penelitian pada tahun 1975, di Inggris, menyatakan bahwa prevalensi disleksia pada
anak berusia 10 tahun di Isle of Wight berjumlah 3,7%, sedangkan pada inner London
borough memiliki prevalensi 6,3%.

6
 Faktor lingkungan lain, seperti tingkat pendidikan ibu, waktu yang dihabiskan
membaca di rumah, dan ketersediaan bahan bacaan di rumah, juga dianggap penting
untuk perkembangan membaca. Studi menyatakan bahwa perbedaan kemampuan
individu dalam membaca, dua-pertiga disebabkan oleh faktor genetik dan seperlima
disebabkan oleh lingkungan, dimana gen juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Biologis
Disleksia berkembang secara familial dan herediter. Bukti ini didapat dari penelitian yang
menyatakan bahwa 40% dari orang tua yang memiliki anak dengan disleksia, juga memiliki
gangguan disleksia. Asosiasi ini lebih besar bila diturunkan oleh ayah (46%) ketimbang
oleh ibu (33%).

Studi Kembar
 Colorado Twin Project meneliti 636 pasangan kembar, dimana setidaknya salah satu
dari anak kembar memiliki disleksia. Pada pasangan kembar monozigot, sekitar 70%
sama-sama mengalami disleksia, sedangkan pada kembar dizigot dengan jenis kelamin
sama hanyalah sebanyak 48%, perbedaan yang sangat signifikan.
 Pada studi Twin Early Developmental Study (TEDS) di Inggris, hampir 4000 pasang
anak kembar berusia 7 tahun diuji untuk hasil kemampuan membaca kata dan
keterampilan decoding. Hasil dari studi ini adalah sebagai berikut.
o Genetik berpengaruh pada dua-pertiga (72%) dari perbedaan/ variasi individu
dalam membaca dan decoding
o Heritabilitas lebih besar untuk anak laki-laki
o Pengaruh genetik sama besar untuk anak dengan kesulitan membaca berat maupun
kurang berat. Studi juga memaparkan bahwa angka disleksia lebih tinggi pada
mereka yang memiliki IQ tinggi dibandingkan dengan IQ rendah.

Kromosom
Studi genetik mengidentifikasi area kromosom yang terkait dengan disleksia yaitu,
kromosom 1, 2, 3, 6, 11, 15, 18 dan empat gen, yaitu DCD2, KIAA0319 (pada kromosom
6p), DYX1C1 (pada kromosom 15) dan ROBO1 (pada kromosom 3). Gen ini bukan

7
merupakkan gen disleksia, tetapi gen inilah yang mempengaruhi variasi individu dalam
membaca, sebagai contoh gen KIAA0319 telah terbukti diperlukan untuk migrasi neuronal
selama pengembangan neokorteks.

Tabel 2. Ringkasan dalam studi genetik disleksia.4

Studi ini menjelaskan bahwa variasi normal dan ekstrim dalam kemampuan membaca
merupakan sesuatu yang diwariskan. Artinya, gen yang menjadi penyebab dari disleksia
merupakan gen yang sama yang bertanggung jawab untuk variasi normal dalam
kemampuan membaca.

D. STUDI OTAK1
Studi post-mortem menunjukan dua perubahan struktural yang signifikan pada otak
individu dengan disleksia.
 Pertama, sebuah area pada gyrus temporal superior yang dikenal sebagai temporale
planum tampak kurang asimetri pada individu tersebut. Pada individu tanpa riwayat
disleksia, biasanya area tersebut lebih besar pada bagian otak kiri dibanding dengan
otak kanan, sedangkan pada individu dengan disleksia, volume dari temporale planum
sama di kedua sisi. Area otak ini terlibat dalam pengolahan pendengaran dan bahasa.

8
 Kedua, terdapat perubahan histologis di area perisilvian hemisfer kiri dan talamus pada
individu dengan disleksia, terutama tampak sel-sel besar abnormal, ectopias ('kutil
otak') dan displasia. Kelainan sel otak ini diduga merupakan hasil dari kegagalan
migrasi saraf.

Functional Brain Imaging


Belahan kiri mendominasi semua fungsi bahasa, termasuk membaca. Tiga area utama dari
otak yang paling penting adalah, sebagai berikut.
1. Anterior, termasuk daerah Broca terletak di sebelah kiri-inferior frontal gyrus, yang
bertanggung jawab dalam produksi suara (berbicara). Sistem membaca di bagian
anterior ini diasumsikan berhubungan dengan analisis kata secara fonemik dan
artikulasi dalam membaca dan penamaan.
2. Posterior, meliputi area kedua dan ketiga.
 Daerah parietotemporal, yang meliputi daerah Wernicke dan sekitarnya
(gyrus temporal superior dan gyrus angular); daerah ini dianggap
bertanggung jawab untuk pengolahan fonologi dan pemetaan huruf untuk
bunyi (decoding);
 Daerah oksipitotemporal, pada daerah Brodmann 37 (BA37), yang
menyediakan akses ke kamus mental kata (mental dictionary of words);
daerah ini dianggap penting bagi pengenalan kata dan dikenal dengan istilah
Visual Word Form Area (VWFA).

9
Gambar 1. Aktivasi hemisfer kiri selama diberi tugas membaca (fonologi).
Pada pembaca normal, daerah bahasa posterior merupakkan daerah yang paling
teraktivasi dan daerah bahasa anterior merupakan daerah yang teraktivasi minimal.
Garis putus-putus merupakan batas daerah berbahasa posterior dan anterior.1

10
Gambar 2. Bagian otak yang berfungsi dalam proses membaca.5

Penelitian dilakukan dengan membandingkan otak individu dengan disleksia dan


individu normal menggunakkan teknologi, seperti Positron Emission Tomography (PET),
Pencitraan Resonansi Magnetik Fungsional (fMRI) dan Magnetoencephalography (MEG).
Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasi aktivasi (atau kurangnya aktivasi) dari daerah
otak selama tugas pengolahan fonologis dan terganggu pada individu dengan disleksia.

Gambar 3. Pola aktivasi hemisfer kiri pada disleksia menunjukan underactivation dari
daerah membaca posterior selama diberikan tugas membaca (fonologi), disertai dengan
aktivasi berlebih dari daerah bahasa anterior.1

11
Gambar 4. Area hemisfer kiri orak yang bekerja abnormla pada penderita disleksia.6

Kesimpulan utama dari studi ini adalah sebagai berikut.


1. Selama diberi tugas fonologis, pembaca dengan disleksia mengalami
underactivation pada daerah bahasa posterior kiri, terutama daerah oksipito-
temporal, dan terdapat aktivasi yang jelas pada bilateral anterior otak.
2. Selama uji kesadaran fonologi (phonological awareness), anak dengan disleksia

12
menunjukan aktivasi pada daerah bahasa di hemisfer kanan ketimbang hemisfer
kiri, menunjukkan perbedaan lateralisasi otak.
3. Pada anak dengan disleksia, terdapat aktivasi yang buruk dari cerebellum dan
daerah non-spesifik lainnya, makna ini masih belum jelas.
Setelah mengalami remediasi (terapi), terdapat normalisasi yang cukup besar dalam
pola aktivasi otak, terutama di daerah oksipito-temporal.

Gambar 5. Perbandingan otak anak dengan disleksia dan pembaca normal yang diteliti
saat membaca. Pembaca normal menunjukan aktivasi yang lebih besar pada daerah
frontal dan temporal/oksipital (daerah untuk analisis kata tertulis).7

13
Gambar 6. Setelah anak dengan disleksia mendapat terapi tutor 50 menit per hari selama
satu tahun untuk meningkatkan aktivitas pada daerah otak yang dorman, maka didapati
perbaikan dalam keakuratan dan kelancaran membaca, serta daerah otak yang tadinya
dorman menjadi lebih aktif.7

Kerangka disleksia berkaitan dengan 3 tingkatan dari fungsi individu - biologis,


kognitif, dan perilaku – yang relevan terhadap faktor lingkungan. Perilaku berkaitan
dengan manifestasi atau gejala disleksia, kognitif berkaitan dengan proses yang mendasari
defisit, dan biologis berkaitan dengan identifikasi proses dalam otak. Hal ini berkaitan
dengan mekanisme genetik yang mendasari abnormalitas dari struktur dan fungsi otak.

14
Gambar 7. Kerangka disleksia.1

E. DASAR KOGNITIF DISLEKSIA1


Dalam disleksia, kesulitan penting dalam membaca terjadi di tingkat kata, sedangkan
kemampuan bahasa yang lebih tinggi, seperti syntax (tata bahasa), semantics (makna) dan
pragmatics (penggunaan bahasa sosial) tidak terganggu.
Penelitian menemukan bahwa kemampuan membaca yang buruk timbul dari gangguan
pengolahan fonologi (speech) yang telah muncul bahkan sebelum anak-anak belajar
membaca dan dapat dinilai dengan uji kesiapan membaca (mis. Berima, penamaan).
Gangguan pengolahan fonologi meliputi 2 hal sebagai berikut.
1. Defisit dalam keterampilan fonologi
Keterampilan membaca melibatkan dua langkah. Pertama, anak harus mengembangkan
kemampuan untuk memecah kata yang diucapkan menjadi unit-unit suara atau fonem.
Misalnya, anak harus belajar bahwa kata ‘cat’ harus terfragmentasi menjadi fonem / k
/ - / a / - / t /, dan kata ‘ship’ ke dalam fonem / sh / - / i / - / p /. Kesulitan dalam
mengonversi segmentasi kata menjadi fonem, adalah ciri khas disleksia. Oleh karena

15
itu, anak-anak dengan disleksia menunjukkan kesadaran fonemik (phonemic
awareness) yang buruk. Phonemic awareness adalah kemampuan untuk mengenali,
memikirkan dan memanipulasi fonem menjadi kata utuh yang diucapkan.
2. Gangguan keterampilan decoding
Langkah kedua dalam belajar membaca melibatkan pemahaman tentang bagaimana
memetakan huruf cetak (grapheme) ke unit bunyi bahasa (fonem) agar kita dapat
mengidentifikasi kata dengan akurat. Misalnya, ‘cat’ tersegementasi menjadi / k / - / a
/ - / t / dan setiap huruf-huruf tersebut mewakili suara/ cara pengucapan tertentu. Anak-
anak dengan disleksia menunjukkan penurunan tajam dalam keterampilan decoding
yang dapat dinilai dengan uji membaca non-word. Hubungan antara huruf dengan
fonem dikenal sebagai prinsip abjad atau phonics. Untuk menguasai keterampilan
membaca, kita harus mengerti prinsip abjad (phonics) ini. Keterampilan Bahasa
Inggris memiliki sistem ejaan non-fonemik, dimana hubungan antara huruf dan bunyi
merupakan hubungan tidak langsung, yaitu tidak adanya kesesuaian satu-ke-satu antara
huruf dan fonem. Sebagai contoh, huruf i dalam kata ‘pin’ dan ‘pint’ memiliki suara/
cara pengucapan yang berbeda. Di sisi lain, bahasa Italia, Spanyol, Yunani dan
sebagian bahasa India memiliki kesesuaian huruf-ke-fonem yang sangat mirip.

Kesimpulan,
 Keterampilan utama yang mengalami defisit dalam disleksia adalah kesulitan pada
taraf membaca kata tunggal.
 Masalah dalam membaca kata berasal dari defisit kognitif dalam pengolohan
fonologi, yang terdiri dari:
o Phonological awareness (sensitivitas kepada atau kewaspadaan secara
eksplisit terhadap struktur fonologi kata dalam suatu bahasa)
o Kesulitan dalam menguasai prinsip abjad, yang menghubungkan huruf
tertulis (grapheme) dengan bunyi suara (phonemes)
 Kebanyakan penderita disleksia juga mengalami memori pengolahan fonem yang
buruk dan gangguan pada rapid automatic naming (RAN).

16
Gambar 8. Proses pengolahan kata.5

Gambar 9. Ilustrasi disleksia.5


F. LANDASAN TEORI DISLEKSIA9

17
Diagram 1. Teori fonologi.8
Warna merah menggambarkan gangguan neurologis, hijau menggambarkan
gangguan kognitif dan biru menggambarkan gangguan perilaku.

Diagram 2. Teori Magnoselular.8


Teori fonologi

18
 Penderita disleksia memiliki gangguan spesifik dalam representasi, penyimpanan dan/
atau pengambilan suara dalam berbicara (speech sounds). Menurut teori ini, belajar
membaca abjad membutuhkan pengertian tentang kesesuaian antara grapheme dan
phoneme, dengan kata lain, kesesuaian antara huruf yang dibaca dengan suara yang
berbicara (speech sounds). Bila suara ini direpresentasikan, disimpan atau diambil
dengan buruk, kesesuaian grapheme dan phoneme sebagai dasar dari kemampuan
membaca abjad, juga akan terganggu.
 Dalam tingkatan neurologis, diasumsikan bahwa gangguan berasal dari gangguan
bawaan/kongenital pada perisylvian hemisfer kiri otak yang mendasari gangguan
dalam memahami representasi fonologis, atau menghubungkan antara fonologi dan
ortografi.

 Dukungan untuk teori fonologi:


1. Bukti bahwa penderita disleksia memiliki kinerja buruk dalam tugas-tugas yang
membutuhkan kesadaran fonologi (phonologic awareness). Defisit fonologis yang
lebih mendasar juga ditunjukkan oleh memori jangka pendek yang buruk dan
otomatisasi yang lambat dalam penamaan pada penderita .
2. Bukti anatomi dan studi pencitraan otak yang mendukung gagasan tentang
disfungsi perisylvian sebagai dasar untuk defisit fonologi.
 Kontra:
1. Beberapa peneliti menganggap bahwa gangguan tersebut jauh lebih luas, berakar
pada proses sensorik, proses motorik atau belajar, dan defisit fonologi tersebut
hanyalah salah satu aspek atau konsekuensi dari gangguan yang lebih umum.
2. Teori fonologi tidak dapat menjelaskan terjadinya gangguan sensorik dan motorik
pada individu dengan disleksia. Gangguan sensorik dan motorik dianggap co-
occurence dengan defisit fonologi sebagai tanda adanya disleksia, namun tidak
memiliki peran sebab-akibat terhadap etiologi dari gangguan membaca.

Teori Rapid Auditory Processing


Teori ini menyatakan bahwa defisit terletak pada persepsi pada suara.
Dukungan untuk teori ini:

19
1. Penderita disleksia menunjukkan kinerja yang buruk pada sejumlah tugas auditorik,
penderita mendengar buni / ba / menjadi / da /.
Dalam pandangan ini, defisit pendengaran merupakan penyebab langsung terjadinya defisit
fonologi, oleh sebab itu penderita mengalami kesulitan dalam belajar membaca.
Teori ini dapat menentang teori defisit fonologi karena merumuskan bahwa defisit fonologi
merupakan akibat sekunder dari defisit auditori.

Teori visual
 Teori visual menyatakan bahwa gangguan visual menyebabkan kesulitan dengan
pengolahan huruf dan kata pada suatu bacaan. Teori visual tidak menyingkirkan defisit
fonologis, tetapi menekankan kontribusi visual dalam masalah membaca, setidaknya
pada beberapa individu dengan disleksia.
 Pada tingkat biologis, etiologi dari gangguan visual didasarkan pada pembagian sistem
visual menjadi dua jalur yang berbeda, dengan peran dan sifat yang berbeda, yaitu jalur
magnoselular dan jalur parvoselular. Teori ini menyatakan bahwa jalur magnoselular
secara selektif terganggu pada individu disleksia tertentu, yang menyebabkan defisiensi
dalam pengolahan visual, melalui posterior parietal cortex, ke kontrol binokular dan
atensi visuospatial.
 Bukti untuk disfungsi magnoselular berasal dari studi anatomi yang menunjukkan
adanya kelainan dari lapisan magnoselular dari lateral geniculate nucleu, studi
menunjukkan adanya penurunan sensitivitas di range magnoselular, seperti frekuensi
spasial yang rendah dan frekuensi temporal yang tinggi , pada penderita disleksia, dan
studi pencitraan otak

Teori cerebellar
 Cerebellum berperan dalam pengendalian motorik, seperti pada artikulasi berbicara.
Gangguan artikulasi akan menyebabkan gangguan dalam pengucapan fonologis.
 Cerebellum berperan dalam otomatisasi tugas yang sudah dilakukan berulang kali,
seperti mengemudi, mengetik dan membaca. Kemampuan cerebellum yang rendah
untuk proses otomatisasi akan mempengaruhi, antara lain dalam mempelajari
kesesuaian antara grapheme dan phoneme. \

20
 Pro: Bukti yang mendukung teori ini adalah ditemukannya fakta bahwa penderita
disleksia memiliki kinerja yang buruk pada sebagian besar tugas motorik, tugas ganda
atau dual task (menunjukkan gangguan otomatisasi keseimbangan), estimasi waktu,
dan tugas lain yang berhubungan dengan cerebellum. Studi pencitraan otak juga
menunjukkan adanya perbedaan anatomi, metabolisme, dan aktivasi pada cerebellum
penderita disleksia.
 Kontra: Teori ini tidak dapat menjelaskan gangguan sensorik yang terjadi pada
penderita disleksia. Hubungan sebab-akibat antara artikulasi dan fonologi merupakan
pandangan yang telah ketinggalan zaman dari teori motorik berbicara, yang berisi
bahwa perkembangan fonologis bergantung pada artikulasi berbicara. Pandangan ini
telah lama ditinggalkan karena telah ditemukan bukti bahwa seseorang dapat memiliki
kemampuan fonologi normal meskipun mengidap disatria berat atau apraxia dalam
berbicara. Penelitian lain juga mengungkapkan bahwa masalah motorik hanya terjadi
pada subkelompok penderita disleksia, dimana disfungsi motorik hanya ditemukan
pada anak-anak disleksia yang juga memiliki gangguan hiperkinetik (ADHD).

Teori magnoselular
Teori ini dapat mengintegrasikan teori-teori yang telah dijelaskan sebelumnya dan mampu
menjelaskan semua manifestasi disleksia: visual, auditorik, taktil, motor dan akibatnya
dalam masalah fonologis.
 Gangguan magnoselular tidak terbatas pada masalah visual, tetapi secara umum untuk
semua modalitas (visual, pendengaran, dan taktil).
 Cerebellum menerima masukan besar dari berbagai sistem magnoselular di otak,
cerebellum juga diprediksi dapat terpengaruh oleh defek magnoselular secara umum.
 Bukti spesifik yang relevan dengan teori magnoselular adalah abnormalitas
magnoselular di medial serta lateral geniculate nucleus pada otak penderita disleksia,
kinerja penderita disleksia yang buruk dalam hal taktil, dan terjadinya (bersamaan)
masalah visual dan pendengaran pada penderita disleksia tertentu. Meskipun teori
pendengaran dan visual telah dinyatakan secara terpisah, pendukung teori ini sekarang
setuju bahwa gangguan visual dan pendengaran pada disleksia adalah bagian dari
disfungsi magnoselular.

21
 Kontra: Teori ini gagal dalam menjelaskan gangguan pendengaran/ auditori dan visual
pada beberapa orang dengan disleksia.

Kesimpulannya, teori fonologi tidak dapat menjelaskan mengapa terjadi gangguan sensorik
dan motorik pada pasien disleksia, sementara teori magnoseluler tidak dapat menjelaskan
tidak adanya gangguan sensorik dan motorik pada beberapa kelompok dengan
disleksia. Teori cerebellar menghadirkan kedua masalah tersebut.

G. KOMORBIDITAS10
Disleksia dapat disertai dengan komorbiditas gangguan masa kanak lain, seperti gangguan
perkembangan spesifik, gangguan yang berkaitan dengan kondisi psikiatri (kejiwaan),
maupun gangguan emosional.
Gangguan perkembangan dapat meliputi:
1. Gangguan berbicara dan bahasa spesifik
2. Gangguan aritmatika
3. Kesulitan membaca secara komprehensif
4. Gangguan perkembangan koordinasi
5. Gangguan autisme
Gangguan terkait psikiatri (kejiwaan) masa kanak yang paling umum, adalah sebagai
berikut.
1. Gangguan tingkah laku (conduct disorder)
Studi di Isle of Wight menunjukkan bahwa sepertiga dari anak berusia 10 tahun
dengan kemampuan membaca yabng buruk memiliki gangguan perilaku, dan
sepertiga dari anak yang terbukti memiliki gangguan perilaku memiliki
kemampuan membaca yang buruk. Penelitian menyatakan bahwa kemampuan
membaca dini dan tingkah laku oposisi pada dewasa muda dan gangguan konduktif
pada masa dewasa memiliki hubungan yang kuat.
2. Gangguan hiperkinetik (ADHD)
Komorbiditas disleksia dengan ADHD dilaporkan sejumlah 40 %. Hal ini
disebabkan oleh pengaruh shared genetic, namun pemberian obat pada ADHD
tidak memberikan efek pada kemampuan membaca.

22
3. Anxietas
Paling sering terjadi pada anak perempan. Anxietas menyebabkan anak menolak
untuk bersekolah, dan menganggap sekolah sebagai tempat yang tidak
menyenangkan.

Gangguan terkait dengan emosional, sebagai berikut.


1. Matthew Effect (‘yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin
miskin). Manifestasi paling menonjol dari beberapa anak adalah takut untuk gagal,
sehingga anak menghindari aktivitas membaca dan mereka menjadi semakin gagal.
Inilah yang disebut sebagai matthew effect.
2. Kepercayaan diri yang buruk, frustasi kronik, dan perilaku oposisi

H. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Riwayat perkembangan kebanyakan anak dengan disleksia biasanya tampak
normal, meskipun keterlambatan bicara ringan tampak pada beberapa kasus. Disleksia
adalah gangguan perkembangan yang spesifik, sehingga perkembangan di area lain
seharusnya normal. Informasi yang paling penting adalah riwayat perkembangan awal
membaca, pendidikan, serta riwayat kesulitan membaca dalam keluarga.Selama periode
pre-school, riwayat keterlambatan bicara pada masa kanak dapat menjadi tanda disleksia.
Indikasi dini untuk diagnosis disleksia adalah kesulitan dalam mempelajari nama objek,
warna, huruf abjad, dan bunyi huruf abjad tersebut. Kesulitan belajar rima, pembelajaran
huruf yang lambat, dan kesulitan mengingat nama huruf atau kegagalan untuk mengenali
huruf dari namanya sendiri sering terjadi. Permasalahan belajar dapat terlihat selama 2
tahun pertama sekolah (biasanya pada saat usia 5-6 tahun). Anak biasanya melupakan kata-
kata yang baru dipelajari akibat konsolidasi yang buruk dari short-term phonological
memory. Semakin bertambahnya umur anak, kesulitan menyalin kata-kata dari papan tulis
dan pengejaan yang buruk lebih terlihat. Anak juga sulit untuk mempelajari bahasa lain.
Dalam ilmu matematika, anak-anak menunjukan kesulitan bila menghadapi masalah
numerik dalam bentuk tertulis. Pada remaja dan dewasa, ketidaklancaran membaca
menjadi indikator yang sangat baik dalam penilaian disleksia, sedangkan pada penderita
yang lebih tua, membaca yang lambat dan penuh usaha dapat menjadi hallmark.

23
I. PEMERIKSAAN KLINIS10
Tiga fitur penting dari disleksia adalah perkembangan ketidakakuratan dalam membaca,
pengejaan yang buruk dan membaca yang lambat.

Ketidakakuratan dalam membaca


Proses membaca pada penderita dengan disleksia ditandai dengan distorsi, pembuangan
dan substitusi kata atau bagian dari kata-kata. Kata-kata iregular (seperti 'island') dibaca
seperti kata-kata biasa (/ is / - / land /). Beberapa anak dengan disleksia memiliki lebih
banyak kesulitan membaca dan mengeja kata fungsi umum, seperti 'the', 'were', 'is' dan
'this'.

Pengejaan yang buruk


Pengejaan yang buruk merupakan salah satu tanda yang paling mudah diamati dari
disleksia. Pembalikan orientasi huruf ( 'b' ditulis sebagai 'd') dan urutan huruf ( 'saw' ditulis
sebagai 'was') sering terlihat pada penderita disleksia yang umum di usia 5 tahun dan tidak
terlalu signifikan hingga anak mencapai usia 7 atau 8 tahun. Secara umum, anak-anak
dengan disleksia membuat beberapa kesalahan ejaan. Dua jenis kesalahan yang diamati,
yaitu kesalahan ejaan fonetik ( 'packet' misalnya ditulis sebagai 'pakt') dan kesalahan
dysphonetic (mis. 'trumpet' ditulis sebagai 'tlrnfk').

Lambat dalam membaca


Membaca lambat dan penuh usaha adalah manifestasi utama dari disleksia pada
kebanyakan anak, remaja dan orang dewasa. Seiring anak tumbuh dewasa, anak dengan
disleksia mengembangkan strategi membaca yang dapat memperbaiki kesulitan
membacanya, tetapi mereka terus mengalami kesulitan decoding, terutama dengan kata-
kata asing (unfamiliar), dan ini memperlambat kecepatan mereka membaca.

J. IDENTIFIKASI DISLEKSIA10
Manifestasi klinis yang khas dalam disleksia adalah sebagai berikut.
 Gangguan membaca yang signifikan

24
 Buruk dalam mengeja
 Membaca lambat dan penuh usaha
 Riwayat keluarga dengan disleksia
 Phoneme awareness yang buruk
 Kemampuan decoding yang buruk

Gambar 10. Paradoks disleksia.5

Kesulitan membaca biasanya dapat diidentifikasi langsung, tanpa melibatkan


pengujian yang rumit, terutama dalam kasus disleksia yang cukup berat, namun dapat juga
tertutupi oleh gangguan lain seperti gangguan tingkah laku, sehingga dibutuhkan uji lebih
lanjut.

25
Pendekatan untuk disleksia dilakukan dengan tiga langkah, yang meliputi screening
awal, diikuti oleh penilaian yang lebih komprehensif dan, yang terakhir, jika hasilnya
sesuai, dilakukan rujukan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut dengan menggunakan
uji psikometri yang telah distandardisasi.
Pendekatan tersebut diuraikan sebagai berikut.
1. Skrining awal
 Mencari riwayat perkembangan (mencakup pertanyaan tentang perkembangan
kesulitan membaca, berbicara dan berbahasa). Riwayat kesulitan membaca dalam
keluarga merupakan salah satu indikator terkuat adanya disleksia pada anak.

Petunjuk untuk mengidentifikasi disleksia


 Kesulitan yang berat dalam membaca buku dan kata
 Kemampuan berbicara oral secara signifikan lebih baik dibanding dengan kemampuan
menulis
 Kesulitan mengeja yang signifikan
 Memiliki riwayat keluarga dengan masalah membaca
 Keterlambatan dalam mempelajari abjad, nama-nama warna dan objek
 Kebencian dalam membaca

Pemeriksaan rutin untuk mengidentifikasi disleksia


 Menanyakan secara rutin tentang kepeduliannya dalam membaca dan mengeja
 Mendapatkan riwayat yang terperinci tentang perkembangan berbicara dan
berbahasa
 Mendapatkan riwayat awal kesulitan dengan penamaan (objek, warna, abjad)
 Meminta anak untuk menulis karangan bebas dan mencatat apabila terdapat
kesalahan mengeja
Berikut ini ditulis oleh seorang anak berusia 8 tahun 9 bulan yang mengalami
disleksia:
Scool is a skary plase. Th teacher soutz at me. Kids lauf and say yuar dum. I am not dum.
I get mad at tem. Ben makes fun of me. He calld me names and I kickd him under the dsk.
Mr Wall tld me oof. Tis is hw I got into troble.

26
(School is a scary place. The teacher shouts at me. Kids laugh and say, ‘You are dumb’. I
am not dumb. I get mad at them. Ben makes fun of me. He called me names and I kicked
him under the desk. Mr.Wall told me off. This is how I got into trouble.)
(Sekolah adalah tempat yang menakutkan. Guru berteriak pada saya. Anak-anak
tertawa dan berkata, 'Kamu bodoh'. Saya tidak bodoh. Aku marah pada mereka.
Ben mengejek saya. Dia memanggil nama saya dan saya menendang dia di bawah
meja. Mr.Wall menyuruh saya berhenti. Inilah yang membuat saya mendapat
masalah).
 Meminta rapot sekolah dan laporan guru, termasuk tingkat kemampuan membaca
dan hasil dari berbagai ujian membaca

Pertanyaan untuk pemeriksaan disleksia


 Apakah kamu harus membaca kata-kata secara berulang-ulang agar kata-kata itu
menjadi benar?
 Apakah sulit bagimu untuk membaca keras di kelas?
 Apakah kamu membaca lebih lambat dibanding teman lain di kelasmu?
 Apakah menurutmu menyalin dari papan tulis merupakan hal yang sulit?
 Apakah sulit bagimu untuk menuliskan gagasan?
 Apakah kamu membuat banyak kesalahan eja?

2. Penilaian yang komprehensif


Tidak ada uji tunggal untuk disleksia. Setiap penilaian kemampuan membaca harus
melibatkan uji kata-tunggal (single word) dan membaca non-kata (non-word reading),
mengeja dan fonologi (phonology awareness). Dokter mungkin juga menguji tingkat
umum fungsi intelektual.
Langkah-langkah penting untuk penilaian klinis yang komprehensif.
 Mengatur sesi yang terpisah untuk mendapatkan riwayat perkembangan dan
pemeriksaan yang detil
 Lakukan uji berikut ini:
o Uji membaca kata tunggal (A graded single-word reading test)

27
Dalam uji ini, anak diminta untuk membaca dengan keras kata-kata yang
ada pada daftar. Daftar tersebut berisi kata sederhana hingga kata
kompleks.. Pengujian dihentikan jika anak melakukan kesalahan membaca
lima kata berturut-turut. 'Usia membaca' anak kemudian dihitung dari
jumlah kata yang dibaca dengan benar. Uji yang paling umum adalah
Schonell Graded Firman Reading Ujit, yang tersedia pada sejumlah
website.

o Uji mengeja (A test of spelling)


Dalam uji ini, anak diminta untuk mengeja dengan keras kata-kata yang ada
pada daftar. Daftar tersebut berisi kata dengan kesulitan mengeja mudah
hingga sulit. Uji ini juga bisa dilakukan dengan meminta anak menulis
karangan bebas, kemudian pemeriksa melakukan penilaian mengeja dari
karangan tersebut. The Schonell Spelling Test juga tersedia di berbagai
website untuk menguji kemampuan mengeja.

o Uji membaca non-kata (A non-word reading test)


Dalam uji ini, anak diminta untuk membaca dengan keras non-kata
(pseudowords) yang ada pada daftar, dan sebaiknya pseudowords dapat
dicetak pada kartu. Non-kata (pseudowords) adalah kata yang menyerupai
kata-kata bahasa Inggris biasa, tetapi tidak masuk akal, misalnya 'Wolt',
'pobule', 'fread', 'kettuce'. Uji ini dianggap sebagai uji yang baik untuk
keterampilan decoding. Pengujian dihentikan setelah anak membuat lima
kesalahan berturut-turut. Seorang anak berusia 7 tahun harus bisa membaca
satu-suku kata non-kata (non-word) tanpa kesulitan.

o Uji kefasihan (A simple standardized test of reading efficiency, such as the


Test of Word Reading Efficiency (TOWRE)
TOWRE dapat menilai kemampuan fonologi dan merupakan uji yang sangat
baik untuk pemeriksaan klinis rutin. Uji lain seperti penamaan cepat dari
huruf dan gambar juga dapat digunakan.

28
o Uji kesadaran fonologi (phonology awareness)
Uji kesadaran fonologi adalah uji kemampuan dalam mengidentifikasi dan
memanipulasi fonem. Uji penghapusan fonem mudah digunakan dalam
klinik. Dokter membacakan kata dari daftar kata yang tersedia, kemudian
anak diminta untuk mengulang kata tanpa fonem pertama, tengah atau
terakhir yang berada dalam tanda kurung, sesuai instruksi dokter. Sebagai
contoh, pada kata ‘(d)raw’ maka anak tidak perlu mengucapkan fonem ‘d’
dan hanya membaca fonem‘raw’, atau pada kata lo(ca)tion, anak cukup
membacakan fonem ‘lo-‘ dan ‘tion-’, serta menghilangkan fonem co, dan
sebagainya.

3. Rujukan untuk penilaian membaca yang terstandardisasi (Standardized Assessment


of Reading)
Dalam beberapa kasus, uji ini digunakkan untuk mengkonfirmasi diagnosis, terutama
ketika temuan klinis tidak konsisten atau diragukan. Kelebihan uji ini adalah uji ini dapat
membandingkan kemampuan anak dengan populasi secara umum.

K. DIAGNOSIS10
Untuk menentukan diagnosis disleksia, dokter harus terlebih dahulu menetapkan
keparahan dari kesulitan membaca, biasanya usia membaca 2 tahun di bawah usia
kronologis anak atau nilai standar 1-1,5 s.d. di bawah rata-rata pada uji membaca dianggap
sebagai batas (cut-off). Kedua, dokter harus yakin bahwa kondisi ini merupakan kasus
idiopatik.

Diagnosis Banding

Disleksia bukan satu-satunya bentuk kesulitan membaca dan tidak semua kesulitan
membaca disebabkan oleh disleksia. Kebanyakan anak memiliki kesulitan membaca yang
sebenarnya bukan disleksia.

29
Kondisi organik
 Gangguan pendengaran, seperti otitis media berulang
 Gangguan neurologis dan visual

Disabilitas intelektual umum


Anak-anak dengan disabilitas intelektual umum gagal untuk belajar membaca, menulis dan
mengeja dibanding dengan anak seusianya. Namun, hal ini tidak mengejutkan karena
memang mereka lambat untuk mempelajari segala sesuatu.

Deprivation
Anak dengan latar belakang sosial ekonomi rendah sering kali mengalami kesulitan
membaca akibat kurangnya pendidikan dan motivasi untuk belajar.

Reading Comprehension Difficulties


Penyebab yang umum dari kesulitan membaca adalah kesulitan dalam memahami bacaan,
terutama pada anak yang lebih tua. Kondisi ini berbeda dengan disleksia. Kesulitan utama
adalah dalam memahami apa yang dibaca, bukannya ketidakakuratan dalam membaca. Hal
ini biasanya tumpang tindih dengan gangguan berbahasa, dan dapat juga terjadi bersamaan
dengan disleksia.

L. TERAPI11
Manajemen disleksia membutuhkan waktu yang panjang. Pada awal kehidupan,
terapi berfokus pada remediasi masalah membaca. Sebagaimana seorang anak bertumbuh
besar dan memasuki sekolah menengah, fokus terapi bergeser kepada peran penting dalam
mengakomodasi kebutuhan anak. Manajemen disleksia dilakukan dengan meningkatkan
kesadaran fonemik (Phonemic Awareness), yaitu kemampuan untuk memanipulasi fonem
(speech sounds) pada suku kata dan kata.
Cara ini dilakukan sebagai berikut.
 Mengajarkan anak-anak untuk dapat memanipulasi fonem dengan huruf, dan berfokus
pada instruksi dalam satu atau dua jenis manipulasi fonem, bukan pada beberapa jenis.

30
 Mengajarkan anak-anak dalam kelompok kecil
 Memberikan instruksi eksplisit yang sistematis, ketimbang instruksi yang tiba-tiba.
 Mengajarkan phonics (suara); memastikan bahwa pembaca mulai mengerti bagaimana
huruf-huruf berkaitan dengan suara yang sesuai. Instruksi phonics meningkatkan
kemampuan anak dalam belajar membaca, dan cara ini lebih efektif daripada
penggunaan instruksi "seluruh kata", dimana tidak diajarkan sedikit atau tidak ada
phonics.
 Mengajarkan pengulangan kata, dimana anak dapat mengulangi apa yang dikatakan
guru dengan suara keras. Beberapa bukti menunjukan bahwa pengulangan kata yang
dipandu memberikan dampak positif dalam pengenalan kata, kelancaran, dan
pemahaman, selain itu anak juga bisa mendapatkan umpan balik dari guru/ pemandu.
 Mengajarkan pemahaman membaca dengan pengajaran kosa-kata dan strategi
pengajaran yang menekankan interaksi aktif antara pembaca dan teks.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, manajemen disleksia untuk siswa di sekolah
menengah, perguruan tinggi dan sekolah pascasarjana diutamakan kepada akomodasi
ketimbang (remediasi) perbaikan.
Pada orang di bangku sekolah menengah dan mahasiswa dengan riwayat disleksia pada
masa kanak-kanak sering memiliki gambaran paradoksial: mereka serupa dengan rekan-
rekan mereka yang lain pada pengenalan kata, tetapi mereka terus mengalami kesulitan
fonologi yang membuat membaca kurang otomatis, lebih sulit, dan lambat.
Beberapa tekhnik ini dapat dilakukan untuk membantu mengakomodasi mahasiswa dengan
disleksia.
 Memberikan waktu ekstra dalam ujian atau kegiatan belajar-mengajar untuk
membantu mereka memecahkan kode setiap kata dan melatih teknik bahasa yang
sesuai dengan konteks.
 Menyediakan komputer/ laptop yang memiliki pengaturan ejaan
 Menyediakan Alat perekam (tape recorder) di dalam kelas
 Menyediakan buku yang telah direkam (bahan yang tersedia dari rekaman untuk
orang buta dan Disleksia, www.rfbd.org),
 Menyediakan akses ke silabus dan catatan kuliah
 Menyediakan Alternatif ujian dalam bentuk pilihan ganda

31
 Menyediakan ruangan tenang yang terpisah untuk mengerjakan ujian.
Dengan akomodasi demikian, banyak mahasiswa yang memiliki disleksia
menyelesaikan pendidikan dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk kedokteran. Hal ini
penting untuk menegaskan bahwa kesulitan fonologi merupakan hal yang berbeda dengan
kecerdasan seseorang.
Dalam memberikan konseling kepada pasien dengan disleksia, perlu diberitahukan
bahwa dua pemenang Hadiah Nobel, Niels Bohr dan Barry Bennacerraf, merupakan pasien
disleksia.
Orang dengan disleksia sering berkonsultasi dengan dokter mengenai
penatalaksanaan disleksia secara instan tanpa melalui proses pembelajaran membaca yang
tepat. Dokter harus menyadari bahwa tidak ada cara instan untuk mengobati disleksia,
namun sejumlah program sesuai pedoman di atas telah terbukti sangat efektif dalam
mengajar anak dengan disleksia.
Seiring perkembangan zaman, peneliti mengungkapkan bahwa latihan phonics
secara intensif tidak dapat memperbaiki secara signifikan (bahkan tidak mencapai angka
10%), termasuk untuk uji pembacaan kata tunggal (single word reading)12
Seperti yang telah dijabarkan, teori magnoselular memegang peranan penting
dalam terapi disleksia. Sistem visual magnosesluar mengirim input ke ‘dorsal stream’ yang
mengatur atensi visual dan pergerakan mata. Anak dengan disleksia mengeluhkan
kesulitan membaca, karena mata mereka terasa terombang-ambing saat membaca, dimana
huruf tampak buram, berterbangan, menumpuk, dan sebagainya. Hal ini disebabkan oleh
gangguan dari fungsi visual magnoselular. Mekanisme kerja sistem magnoselular dapat
dilihat pada bagan berikut.

32
Gambar 11. Sistem Magnoseluler.14

Diagram 3. Mekanisme kerja sistem magnoselular.14

Berdasarkan hal tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa dengan memperbaiki


fungsi visual magnoselular, kita dapat memperbaiki kontrol mata, dan tentunya
memperbaiki kemampuan membaca. Kini telah tersedia kacamat biru dan kuning untuk
meningkatkan imput visual dari sistem-M ini. Meskipun sistem magnoselular ini tidak
memediasi warna, sistem magnoselular menerima input terutama dari sel cone merah dan

33
hijau. Oleh sebab itu, dengan menggunakkan kacamata kuning dan biru dapat
meningkatkan input magnoselular dan memperbaiki sensitivitas visual dan kontrol mata.
Membaca dapat mengalami perbaikan hanya dalam 3-6 bulan. Kacamata biru dianggap
lebih baik karena kacamata ini dapat memperbaiki migraine pada penderita disleksia,
sedangkan kacamata kuning dianggap lebih buruk karena membuat gejala migraine
semakin berat. Selain itu, mengonsumsi makanan atau suplemen omega-3 dapat
meningkatkan sensitivitas sistem magnoselular karena dapat mempercepat fungsi neuronal
(50% membran ditutupi oleh sel saraf magnoselular yang mengandung DHA), sehingga
bisa memperbaiki kemampuan membaca anak. 13

Diagram 4. Mekanisme kerja kacamata biru terhadap sistem magnoselular..14

34
Diagram 5. Mekanisme kerja kacamata biru terhadap sistem magnoselular.14

Gambar 12. Perbaikan pada penderita disleksia setelah menggunakkan kacamata


kuning.14

35
M. PROGNOSIS10
Studi menunjukkan bahwa kesulitan membaca pada disleksia umumnya stabil dan
persisten hingga akhir masa remaja dan dewasa. Meskipun kemampuan membaca
kelompok orang dengan disleksia dan kelompok orang tanpa gangguan membaca terus
ditingkatkan, kesenjangan antara kedua kelompok tetap sangat terlihat. Menurut
Connecticut Longitudinal Study, lebih dari 70% dari mereka yang didiagnosis sebagai
penderita disleksia pada kelas 3 SD (berusia sekitar 8 tahun) tetap menderita disleksia saat
mencapai usia dewasa. Bahkan dengan intervensi membaca yang intensif, sekitar separuh
anak tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Banyak orang muda dengan disleksia mengembangkan strategi membaca untuk
menghindari kesulitan membaca mereka, tetapi mereka terus tertinggal dibanding dengan
rekan-rekan mereka, terutama dalam masalah ejaan dan kecepatan membaca. Kemampuan
mengeja tampaknya menjadi masalah besar untuk orang dewasa dengan disleksia.
Penelitian di Inggris menyebutkan bahwa lebih dari 75% menunjukkan masalah yang
signifikan dengan ejaan (dengan skor ejaan 2 s.d. dibawah rata-rata) dibandingkan dengan
rekan-rekan lain. Kemajuan perbaikan pada disleksia dapat diprediksi dengan melihat pada
keparahan awal dan tingkat intelektual umum.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Thambirajah MS. Developmental dyslexia: an overview. Advances in psychiatric


treatment 2010; 16(): .
2. Smythe I. Dyslexia. British Journal of Hospital Medicine 2011; 72(): .
3. Kershner JR. A Mini-Review: Toward a Comprehensive Theory of Dyslexia. Journal of
Neurology and Neuroscience 2015; (): .
4. Démonet JF, Taylor MJ, Chaix Y. Developmental dyslexia. THE LANCET 2004; 363():
1453. www.thelancet.com (accessed 18 February 2016).
5. Shaywitz SE. Dyslexia. Scientific American 1996; (): .
6. Démonet JF, Taylor MJ, Chaix Y. Developmental dyslexia. THE LANCET 2004; 363():
1455. www.thelancet.com (accessed 18 February 2016).
7. Higgins ES, George MS . Neuroscience of Clinical Psychiatry, The: The Pathophysiology
of Behavior and Mental Illness, 1st ed. : Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
8. Ramus F. Developmental dyslexia: specific phonological deficit or general sensorimotor
dysfunction?. Current Opinion in Neurobiology 2003; 13(): .
9. Ramus F, Rosen S, Dakin SC, Day BL, Castellote JM, White S, et al.. Theories of
developmental dyslexia: insights from a multiple case study of dyslexic adults. Guarantors
of Brain 2003; (): .
10. Thambirajah MS. Developmental dyslexia: clinical aspects. Advances in psychiatric
treatment 2010; 16(): .
11. Shaywitz SE, Shaywitz BA. Dyslexia (Specific Reading Disability). Pediatrics in Review
2003; 24(): .
12. Snowling MJ, Hulme C. Interventions for children’s language and literacy difficulties.
International Journal of Language & Communication Disorders 2012; 47(): .
13. Stein J. Dyslexia: the Role of Vision and Visual Attention. Current Developmental
Disorder Reports 2014; (): .
14. Stein J. Treatment of Dyslexia. http://www.oxfordkobe.com/TreatmentofDyslexia.pdf
(accessed 22 February 2016).

37

Anda mungkin juga menyukai